Tiba di Prancis, Ingrid Betancourt Cerita Masa Penyanderaan
Tiga Tahun Leher Dirantai, Bertahan karena Anak
Ingrid Betancourt, politikus berkebangsaan Prancis-Kolombia yang enam tahun disandera oleh pemberontak Kolombia, kemarin (4/7) tiba di Prancis dan disambut bak pahlawan. Presiden Prancis Nicolas Sarkozy turut menyambut kedatangannya di istana kepresidenan. Tapi, semua itu tentu tak akan begitu saja menghapus kenangan enam tahun di tengah belantara bersama para pemberontak.
Betancourt menggambarkan masa-masa penyanderaan yang dialaminya itu sebagai masa tergelap dalam hidupnya. Diikat di pohon, dikerubuti serangga, dan berlumuran lumpur tebal adalah kejadian sehari-hari baginya. Bahkan, selama tiga tahun lehernya tak pernah lepas dari rantai.
"Saya merasa telah mencapai titik ketika kematian sudah demikian dekat. Saya menyaksikan langsung kematian teman-teman saya. Saya tahu kematian bisa datang kapan saja," ujarnya dalam wawancara dengan televisi Prancis, France-2.
Meski begitu, dia bertahan. Tiap hari, dia bangun pukul 04.00. Dingin, tentu. Depresi juga. Tujuannya cuma satu, mendengarkan kata-kata dukungan dari sang ibu melalui radio. Dia memang butuh kata-kata dukungan itu. Sebab, dia terus dihantui oleh pikiran bunuh diri dan ketakutan bakal dibunuh. "Kematian adalah teman paling nyata bagi seorang sandera. Kami tinggal bersama kematian," ucapnya.
Enam tahun lebih dalam tawanan, Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC), angkatan bersenjata revolusioner Kolombia, Betancourt memang dianggap sebagai salah satu modal paling berharga di antara 44 tawanan lain. Salah satu kelompok pemberontak tertua di Kolombia tersebut berharap bisa menukar Betancourt dengan teman-teman mereka yang dipenjara.
Itulah mungkin yang menyelamatkannya. Meski begitu, saat melihat teman-temannya sesama sandera dibunuh, Betancourt merasa saatnya akan tiba pula. Apalagi, mereka juga sering terlibat bentrok dengan militer. Sebutir peluru nyasar amat mungkin akan mengakhiri hidupnya.
Yang membuatnya bertahan melalui hari-hari paling gelap dalam hidupnya tersebut, menurut Betancourt, adalah ingatannya kepada keluarga, terutama putra dan putrinya. Saat dia diculik, kedua anaknya itu masih remaja. Kini, mereka sudah dewasa.
Tak aneh, saat bertemu lagi dengan kedua anaknya tersebut pada Kamis (3/7), wanita 46 tahun itu seolah tak mau lepas dari mereka. Tak henti-henti dia menciumi keduanya. "Merekalah yang membuat saya bertahan di tengah lautan keputusasaan. Tiap hari ulang tahun mereka, saya selalu menyanyikan lagu Happy Birthday untuk keduanya. Bila para penculik tersebut membawa makanan, beras, atau kacang, saya anggap itu kue. Saya rayakan ulang tahun mereka di dalam hati," tuturnya dalam salah satu surat yang ditulisnya saat masih ditawan.
Selama disandera, Betancourt menghentikan kebiasaan merokoknya. Dia tukarkan rokoknya dengan barang kebutuhan sehari-hari yang sangat langka di sana. Misalnya, sabun mandi atau obat untuk sakit perut yang dideritanya. Dia mengaku mandi dengan berpakaian penuh untuk menghindari pandangan mata para penyandera, yang semuanya laki-laki.
Ditanya apakah mereka pernah memerkosanya, Betancourt hanya berkata, "Saya telah merasakan pengalaman menyakitkan. Saya tidak ingin membicarakan itu di sini dan sekarang, di hari bahagia ini."
Betancourt juga mengaku pernah mencoba melarikan diri. Namun, yang didapatnya justru hukuman. Lehernya dirantai, tak diberi makan, dan dia harus berjalan telanjang kaki dari satu kamp ke kamp lain.
Dalam surat yang ditulisnya untuk sang ibu, tahun lalu Betancourt mengatakan, "Saya sudah mencoba menjaga kepala saya tetap di atas air. Tapi, Ma, saya sudah menyerah. Penderitaan Anda dan semua orang membuat kematian jadi tampak sebagai pilihan indah."
Sementara itu, pembebasan Betancourt jelas mendongkrak citra Presiden Sarkozy. Sebab, pembebasan politikus tersebut diupayakan sejak pemerintahan Jacques Chirac, juga Perdana Menteri Dominique de Villepin yang kebetulan teman lama Betancourt. Kenyataannya, pembebasan tersebut terjadi pada pemerintahan Sarkozy.
Sebetulnya, Sarkozy didorong untuk bernegosiasi dengan FARC, bukan menjalankan operasi militer. Karena itu, begitu diketahui Prancis tak berperan dalam operasi pembebasan tersebut, salah satu rival politik Sarkozy langsung menyerang. "Semua orang tahu, itu adalah operasi Kolombia. Mereka bekerja dengan baik. Nicolas Sarkozy tak melakukan apa-apa dalam operasi pembebasan tersebut," ucap Segolene Royal, mantan kandidat presiden Sosialis. Apalagi, Sarkozy disebut-sebut baru tahu pembebasan Betancourt hanya 15 menit sebelum media Kolombia memberitakannya.