
Beragam Harapan terhadap Obama
WASHINGTON - Dua kandidat presiden Demokrat yang 16 bulan terakhir bersaing, Barack Obama dan Hillary Clinton, mengadakan pertemuan tertutup Kamis (5/6) malam (kemarin pagi WIB). Tak dijelaskan detail pembicaraan keduanya selama pertemuan tersebut. Juru bicara kedua pihak hanya mengatakan, mereka membicarakan langkah Demokrat menuju pemilu November mendatang.
''Senator Clinton dan senator Obama bertemu malam ini (kemarin siang WIB) dan telah melakukan diskusi yang produktif tentang kerja penting yang harus dilakukan untuk menghadapi pemilu presiden pada November mendatang,'' ujar juru kampanye Obama dan Hillary. ''Ini akhir proses primary. Mereka membicarakan bagaimana melakukan kampanye dalam persatuan,'' kata juru kampanye Obama, Robert Gibbs.
Pertemuan itu terendus media saat The New York Times menyatakan bahwa Hillary memberikan sinyal pertemuan tersebut setelah Obama berkampanye di Virginia. Isu yang diembuskan Washington Post menyatakan, mereka bertemu di rumah senator Demokrat Dianne Feinstein di Washington.
Berbagai spekulasi merebak terkait dengan pertemuan rahasia kedua senator Demokrat tersebut. Ada yang menduga Obama meminang Hillary untuk dijadikan calon wakil presiden. Jika itu benar, Hillary akan mendampingi Obama dalam pemilihan presiden November mendatang melawan John McCain dari Republik.
Namun, kemungkinan Hillary menolak pinangan menjadi calon wakil presiden sama besar dengan kemungkinan menerima. Sehari sebelum pertemuan tersebut, tim kampanye Hillary menyatakan, senator New York itu tidak sedang mengejar posisi calon wakil presiden. ''Dia akan melakukan apa pun untuk membuat kandidat Demokrat memenangi Gedung Putih. Tapi, dia tidak mengincar kursi wakil presiden,'' ujar juru kampanye Hillary. Meski begitu, beberapa pendukung Hillary menyatakan, mantan ibu negara tersebut tak akan menolak jika ditawari.
Sementara itu, kepastian munculnya Obama sebagai calon presiden Demokrat menimbulkan reaksi beragam dari berbagai belahan bumi. Editor The Times Afrika Selatan Ray Hartley menyebut, Obama meningkatkan harapan bahwa AS akan menjadi negara superpower yang bertanggung jawab dan tidak mencampuri konflik di Iraq. "Tidak diragukan lagi, Afrika Selatan merayakan kemenangan Obama atas Hillary," kata Hartley. Dia juga berharap Obama mampu menghapus politik rasial di AS.
The Times Inggris menanggapi kemenangan Obama itu sebagai kebangkitan kembali kepercayaan warga Amerika. "Jadi presiden atau tidak, Obama akan menorehkan sejarah. Kemenangan Obama menjadi salah satu bukti bahwa AS merupakan tanah yang menjanjikan kesempatan tanpa pandang bulu."
Alphayo Otiento, seorang wartawan di Kenya, menganggap Obama selalu membawa harapan dan inspirasi. "Dia mampu membuat orang yang tidak pernah memilih ikut pergi ke tempat pemilihan untuk memberikan suara," katanya.
Menurut The Times India, kemenangan Obama tidak disambut terlalu baik. Sebab, mereka merasa belum ada visi apa pun yang ditunjukkan oleh Obama. Warga India lebih mengenal visi John McCain dan Hillary.
Israel menyambut negatif kemenangan Obama dan prediksi bahwa dia akan menjadi presiden AS. Maklum, kebijakan-kebijakan yang dilontarkan Obama tentang Iran dan perang Iraq terkesan tak menguntungkan Israel. Schmuel Rosner, seorang kolumnis di Haaretz, menyatakan bahwa kemenangan Obama atas Hillary sama sekali tidak mengejutkan. ''Namun jika disuruh memilih, kami lebih suka John McCain atau Hillary Clinton saja yang menjadi presiden AS," ungkapnya.
Warga Sunni dan negara-negara Liga Arab menyimpan harapan terhadap presiden baru AS mendatang. Mereka berharap presiden baru bisa memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan Presiden Bush di Timur Tengah. Mereka juga berharap presiden baru AS bisa mengekang pengaruh Syiah Iran. Bagi mereka, tidak masalah siapa yang akan terpilih, asalkan bisa melanjutkan proses perdamaian di Timur Tengah.
''Kebijakan pemerintahan Bush di Timur Tengah telah gagal di beberapa sektor. Pemerintahan baru AS harus mengevaluasi kesalahan itu dan cukup berani menyadari bahwa masalah sebenarnya adalah Palestina,'' ujar mantan Perdana Menteri Jordania, Taher Masri.
Namun, berbagai kritik juga dilontarkan kepada Barack Obama. Meski telah memberikan janji perubahan, dukungannya untuk Israel membuat sebagian besar warga Timur Tengah marah. Yang lebih membuat marah adalah pernyataan bahwa Jerusalem akan menjadi ibu kota Israel. ''Ucapannya atas Jerusalem telah menimbulkan keraguan akan hadirnya kesempatan damai,'' ujar Saeb Erakat, negosiator Palestina.