REFLEKSI SABDA-SABDA BUDDHA
Penyelidikan Bebas
Buddha mengarahkan murid-murid-Nya agar biasa untuk memilih dan menyelidiki. Untuk langsung mempercayai apa saja, bukanlah jiwa dari agama Buddha. Kita temukan percakapan ini antara Buddha dan siswa. siswa-Nya:
"Jika sekarang, dengan mengetahui ini dan mempertahankan ini, akankah kau berkata: "Kami menghormati guru kami dan karena rasa hormat kami kepada beliau kami menghormati apa yang beliau ajarkan?'”
"Tidak, Yang Mulia."
“Para Siswa, apa yang kalian pegang teguh, bukankah hanya yang kaukenali, kaulihat, dan kaupahami sendiri?”
“Ya, Yang Mulia."
Sesuai dengan sikap yang sepenuhnya benar dari penyelidikan benar ini, dikatakan dalam risalah Buddhis berbahasa Sanskerta mengenai logika, Jnanasarasamuccaya, 31:
"Sebagaimana orang bijaksana menguji emas dengan membakar, memotong dan menggosoknya (pada sepotong batu penguji), demikian pula kalian menerima kata-kata-Ku setelah memeriksanya dan bukan hanya karena rasa hormat terhadap-Ku."
Suatu ketika suku Kalama dari Kesaputta menemui Buddha dan berkata: 'Yang Mulia, beberapa orang petapa dan brahmana tertentu datang ke Kesaputta. Mereka mepgumumkan dan menjelaskan secara rinci pandangan mereka sendiri; tetapi mencerca, menghina, mencela dan menjatuhkan pendapat orang lain. Selain itu, Yang Mulia, datang pula petapa dan brahnma lain ke Kesaputta, melakukan hal yang sama. Ketika kami mendengar mereka, Yang Mulia, kami merasa ragu-ragu dan bingung, siapa di antara orang-orang terhormat ini yang berbicara benar dan siapa yang berbicara salah." Kemudian Buddha berkata demikian:
“Ya, Kalama, tidaklah salah bila ragu-ragu, mempertanyakan apa yang diragukan dan apa yang tak jelas. Dalam persoalan yang meragukan, kebingungan timbul."
“Janganlah percaya begitu saja pada, suatu tadisi, desas desus atau logika ataupun kesimpulan semata-mata, atau sesudah merenungkan dan cocok dengan beberapa teori, atau karena rasa hormat kepada seorang petapa. Akan tetapi Kalama, kalau setelah kalian selidiki sendiri, kau ketahui: Hal-hal ini tidak menguntungkan, patut dicela, dikecam oleh orang-orang bijaksana; hal-hal tersebut, bila, dilakukan dan dikerjakan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, maka Kalama tentu saja kalian harus menolaknya."
“Nah, bagaimana menurut kalian, Kalama? Ketika ketamakan, kebencian dan kegelapan batin timbul dalam diri seseorang, apakah hal-hal ini menimbulkan keuntungan atau kerugian bagi orang itu?"
"Kerugian, Yang Mulia."
"Lalu, Kalama, bukankah orang ini karena telah dikuasai oleh ketamakan, kebencian dan kegelapan batin, melakukan kejahatan, menyesatkan orang lain sehingga mengalami kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?"
'Ya, Yang Mulia."
"Karena itu, Kalama, bagaimana pendapat kalian, apakah hal-hal itu menguntungkan atau tidak menguntungkan?"
"Tidak menguntungkan, Yang Mulia."
"Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak?"
"Tercela, Yang Mulia."
Apakah hal-hal ini dikecam oleh orang bijaksana atau tidak ?”
'Dikecam, Yang Mulia."
"Jika dilakukan atau dikerjakan, apakah hal-hal ini menimbulkan kerugian dan penderitaan atau tidak?"
"Menimbulkan kerugian dan penderitam, Yang Mulia."
"Oleh karena itu, Kalama, sebagaimana yang Kukatakan kepada kalian tadi: Janganlah percaya begitu saja melainkan setelah kalian selidiki sendiri kau ketahui: Hal-hal ini tidak menguntungkan dan menimbulkan kerugian dan penderitam ... kalian harus menolaknya, inilah alasan-Ku membicarakannya."
"Kalama, janganlah ... percaya begitu saja. Tetapi bila kau ketahui bagi dirimu sendiri: Hal-hal ini menguntungkan, tidak tercela, dipuji oleh orang bijaksana; hal-hal ini bila dilakukan dan dikerjakan menimbulkan keuntungan dan kebahagiaan - maka, Kalama, setelah mengerjakan hal-hal ini, tinggallah di dalamnya."
"Nah, bagaimana menurut kalian, Kalama? Ketika kebebasan dari ketamakan, kebencian dan kegelapan batin timbul dalam diri seseorang, apakah ini menimbulkan keuntungan atau kerugian bagi orang itu?"
"Keuntungan, Yang Mulia."
"Apakah orang ini, yang tidak dikuasai oleh ketamakan, kebencian dan kegelapan batin, menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan dan membawa orang lain ke dalam kebahagiaan?"
'Ya, Yang Mulia."
"Oleh karena itu, Kalama, bagaimana pendapat kalian, apakah hal-hal ini menguntungkan atau tidak menguntungkan?'
"Menguntungkan, Yang Mulia."
"Apakah hal-hal ini tercela atau tidak?"
"Tidak tercela, Yang Mulia."
Apakah hal-hal im dikecam atau dipuji oleh orang bijaksana?”
"Dipuji, Yang Mulia."
"Jika dilakukan dan dikerjakan, apakah hal-hal ini menimbulkan kebahagiaan atau tidak?"
"Menimbulkan kebahagiaan, Yang Mulia!”
"Oleh karena itu, Kalama, sebagaimana yang telah Kukatakan kepada kalian tadi: 'Janganlah percaya begitu saja ...tetapi ketahuilah oleh dirimu sendiri: Hal-hal ini menguntungkan ... dan menimbulkan kebahagiaan…lakukanlah hal-hal ini dan tinggallah di dalanmya,' inilah alasan-Ku membicarakannya (A. i, 188 Sutta 65, bandingkan A. i, 66 dan A, ii, Bhaddiya Sutta 193).
Pembaca dapat mencatat bahwa khotbah ini, Kalama Sutta, mengecilkan dogmatisme dan kepercayaan buta dengan ajaran penuh semangat Untuk menyelidiki secara bebas. Meskipun demikian janganlah tergesa-gesa menyimpulkan bahwa Buddha adalah "seorang pragmatis empiris yang menolak semua aiaran dan kepercayaan, yang Dharma-Nya benar benar-benar merupakan alat dan orang yang tidak mengakui ajaran agama menuju kebenaran yang mengundang setiap orang untuk menerima dan menghormati apa yang ia suka." Pembaca harus membaca dengan penuh perhatian bagian akhir dari Sutta, yang di dalamnya Buddha menekankan pentingnya tiga akar keiahatan: ketamakan, kebencian dan kegelapan batin serta lawannya, akar kebaikan: tidak tamak, tidak membenci dan bijaksana. "Demikianlah khotbah bagi suku Kalama ini menawarkan batu ujian untuk memperoleh keyakinan dalam Dharma sebagai ajaran yang bersemangat pembebasan."
Untuk diskusi yang lebih lengkap mengenai Sutta ini bacalah karangan yang memberi gambaran jelas: "A look at the Kalama Sutta " oleh Biku Bodhi yang diterbitkan oleh Buddhist Publication Society Newsletter, Spring 1988, No. 9.
Agama Buddha bebas dari paksaan dan kekerasan dan tidak meminta kepercayaan buta dari pengikutnya. Pada awalnya orang yang ragu-ragu akan senang mendengar ajakan untuk menyelidiki. Agama Buddha dari awal sampai akhir terbuka bagi semua orang yang memiliki mata untuk melihat dan pikiran untuk memahami.
Ketika Buddha tinggal di hutan mangga di Nalanda, Upali, seorang pengikut setia dari Nigantha Nataputta (Jaina Mahavira), sebagaimana yang diminta oleh Mahavira menemui Buddha dengan keinginan semata-mata berdebat dengan Beliau dan mengalahkan-Nya melalui perdebatan. Pokok persoalannya adalah teori karma yang diakui oleh Buddha maupun Mahavira, namun pandangan mereka mengenai karma berbeda. Pada akhir pembicaraan yang sangat bersahabat, Upali setelah merasa yakin terhadap argumentasi Buddha, setuju dengan pendapat Beliau, dan siap untuk menjadi pengikut-Nya, sebagai seorang umat awam, (upasaka). Meskipun demikian, Buddha mengingatkannya dengan berkata: “Mengenai suatu kebenaran, Upali, lakukanlah penyelidikan yang menyeluruh. Adalah baik bila orang terkenal seperti engkau melakukan penyelidikan yang menyeluruh." Bagaimanapun, Upali menjadi semakin puas dan senang terhadap Buddha karena mendapat petunjuk seperti itu, dan menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dharma dan Sangha. Walaupun Upali menjadi seorang umat berdasarkan keyakinan, Buddha menasihatinya agar tetap menghormati dan membantu guru-gurunya yang terdahulu sebagaimana yang biasa dilakakukannya (Upali Sutta, M. 56).
Demikianlah Buddha menganjurkan pentingnya kebebasan berpikir dan berbicara dan toleransi.
Mengikuti jejak Buddha, Raja Asoka yang beragama Buddha, yang memerintah India pada abad ke-3 SM, menyatakan dalam Prasasti Batu XII :
"Seseorang seharusnya tidak hanya menghormati agamanya sendiri dan menjelek-jekekkan agama orang lain, tetapi ia harus menghormati agama orang lain untuk alasan ini atau itu. Dengan demikian ia menolong agamanya sendiri untuk berkembang juga memberikan bantuan kepada agama orang lain. Dengan melakukan hal yang sebaliknya ia menggali kuburan bagi agamanya sendiri dan juga merugikan agama-agama lain. Siapa saja yang menghormati agamanya sendiri dan menjelek-jelekkan agama lain, melakukannya karena kesetiaan kepada agamanya sendiri, berpikir: 'Aku akan memuliakan agamaku.' Akan tetapi dengan melakukan hal itu justru sebaliknya mclukai agamanya sendiri lebih parah. Jadi rukunlah, sungguh patut dipuji: Marilah semua mendengar, mau mendengar ajaran yang dinyatakan oleh orang lain."
Dalam agama Buddha seseorang tidak diminta untuk percaya pada sesuatu tanpa pertama-tama mengetahui apa yang dipercayainya itu. Kepercayaan buta dipantangkan dalam ajaran analisis (vibhajjavada) dari Buddha. Dalam banyak cara, kemutlakan sifat filosofi analitis dari Buddha dikemukakan secara jelas.
Kecuali Buddha, tidak ada guru di dunia ini yang memilild sifat tersebut secara lengkap. Beliau adalah ahli filsafat analitis yang tertinggi. Di sini, "ahli filsafat analitis" artinya orang yang menyatakan sesuatu setelah memecahkannya kedalam sifat-sifat yang bermacam-macani, menyusun sifat-sifatnya dalam urutan yang sesuai, membuat segalanya jelas. Vimati Vinodani, pembahasan mengenai Ulasan Winaya, menyatakan bahwa seorang ahli filsafat analitis memiliki sifat orang yang menyatakan sesuatu setelah menyelidiki sampai bagian terkecilnya; ia tidak menyatakan sesuatu secara kesatuan, tetapi memandang segala sesuatu dalam bagian-bagian, setelah membagi segala sesuatu sesuai dengan cirinya yang menonjol, setelah membuat semua bagian berbeda, maka pendapat sesat dan keraguan lenyap serta kebenaran biasa dan kebenaran tertinggi (sammuti paramattha-sacca) dapat dipahami. Dalam Sarattha-dipani, juga pembahasan mengenai Ulasan Winaya, kita menemukan catatan sebagai berikut: "Penegak metode analitis adalah Buddha, karena Beliau tidak melakukan pendekatan ekstrem dari ajaran kekekalan dan ajaran nihilis, melainkan mengaiarkan jalan tengah mengenai sebab-musabab yang saling bergantungan.”
Sebagaimana ahli anatomi yang pandai membagi anggota tubuh ke dalam jaringan dan jaringan ke dalam sel, Buddha menganalisis semua bagian apa pun ke dalam elemen-elemen dasarnya. Karena itulah Beliau disebut Vibbhajjavadi, Guru Ajaran Analisis.
Kebenaran Dharma dapat dipahami hanya melalui pengertian, tidak pemah melalui kepercayaan buta. Seseorang yang mencari kebenaran tidak puas dengan pengetahuan di permukaan. Orang seperti itu ingin menyelidiki ke dalam dan melihat apa yang tersembunyi. Ini adalah jenis pencarian yang dianjurkan dalam agama Buddha. Tipe pencarian seperti itu menghasilkan pengertian benar.
Sebagaimana kepercayaan buta yang bertentangan dengan semangat dari sabda-sabda Buddha, berdoa dan memohon kepada kekuatan ekstemal yang takhayul juga bertentangan dengan cara hidup umat Buddha. Buddha, makhluk yang paling bijaksana dan paling suci, dalam penyelidikannya Yang menyeluruh terhadap alam semesta menemukan bahwa konsep makhluk gaib atau kekuatan luar yang sewenang-wenang hanyalah khayalan belaka. Ketakutan dalam diri manusia yang tejerat oleh kebodohanlah yang menciptakan pemikiran mengenai kekuatan eksternal yang serba tahu, berkuasa, dan sekali pemikiran itu terbentuk, manusia memasuki pesona anak kecil yang ketakutan sendiri dan membuat mereka rugi bukan kepalang.
Pemujaan yang tertinggi diberikan kepada Dia yang terbaik di antara manusia, yang memiliki jiwa besar dan berani, dengan kewaspadaan dan Pemahaman yang menembus kenyataan, memusnahkan kebodohan, noda-noda terburuk, puncak keiahatan dari semua kegilaan kita, dan mencabut akar semua nafsu. Orang yang melihat kebenaran adalah penolong kita yang sesungguhnya, tetapi umat Buddha tidak memohon kepada mereka. Umat hanya menghormati para pembabar kebenaran karena telah menujukkan jalan menuju kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang harus dicapai oleh diri sendiri: tidak ada seorangpun yang dapat membuat orang lain lebih baik ataupun lebih buruk.
Manusia harus dibiarkan sendiri untuk menjaga diri dan kekuatannya sendiri yang tersembunyi. Biarkan dia belaiar untuk berdiri sendiri. Pemikiran bahwa yang lain mengangkat dia dari tingkat yang lebih tinggi dan menyelamatkannya, cenderung membuat manusia menjadi malas dan lemah . Pikiran seperti itu merendahkan manusia. “Ketergantungan pada kekuatan eksternal biasanya dimaksudkan untuk membuat manusia pasrah tanpa usaha." Maka Buddha menasihati para pengikut-Nya agar memiliki kepercayaan pada diri sendiri. Tidak ada yang dapat memberikan kita kedamaian sejati, kecuali diri kita sendiri; yang lain hanya mungkin dapat membantu kita secara tidak langsung. Pembebasan dari penderitaan harus diusahakan oleh setiap, orang bagi dirinya sendiri.
Ilmu psikologi mengungkapkan bahwa kemungkinan-kemungkinan tak terbatas tersembunyi dalam diri manusia dan diperlukan usaha keras dari manusia itu sendiri untuk membangkitkan dan mengembangkan kemungkinan-kemungkinan tersebut. Setiap orang harus melakukan usaha yang diperlukan bagi pembebasannya. Tidak ada sesuatu di bumi atau pun di surga yang dapat menghadiahkan pembebasan kepada orang lain yang semata-mata hanya memohonnya untuk itu. Dalam tangannya sendiri terletak kekuatan untuk membentuk kehidupan seseorang.
"Jangan memohon! Kegelapan tidak menjadi terang!
Sia-sia bertanya kepada kesunyian, karena ia tak dapat bicara!
Janganlah menyakiti pikirannu yang sangat menyedihkan dengan penderitaan yang saleh!
Ah! Saudaraku, Saudariku!
Sia-sia mencari dengan persembahan dan nyanyian pujian kepada dewa-dewa yang tak dapat menolong!
Tidak pula dengan mengorbankan darah,
atau dengan menyuap buah-buahan dan kue-kue.
Dalam dirimu sendiri pembebasan harus dicari,
Setiap manusia membentuk penjara bagi dirinya."
Light of Asia , Sir Edwin Arnold
Apa yang sesungguhnya yang menggerakkan orang-orang untuk percaya kepada dewa sama sekali bukan pertimbangan intelektual.
Kebanyakan orang percaya kepada dewa karena mereka telah diajarkan untuk melakukannya sejak dini pada masa kecil, dan ini merupakan alasannya yang utama.”
"Kemudian aku berpkir bahwa alasan yang terkuat adalah kebutuhan akan keamanan, semacam perasaan bahwa ada seorang saudara tua yang akan menjagamu. Hal ini memainkan peranan yang amat besar dalam mempengaruhi kebutuhan orang-orang untuk percaya kepada seorang dewa." Bertrand Rusell.
Moral yang Menimbulkan Akibat
Agama merupakan sesuatu yang harus didekati dengan pertimbangan dan perenungan- Jika telah dipelajari secara menyeluruh, suatu ajaran menarik hati dan pikiran seseorang, hendaknya ia menerapkan prinsip-prinsipnya dalam tingkah laku hidup sehari-hari. Adalah bodoh untuk mencoba mengikuti suatu kepercayaan bila seseorang tidak puas dengan kepercayaan itu karena alasan-alasan yang masuk akal. Seseorang harus jujur. Ia harus jujur kepada dirinya sendiri dan orang lain. Penipuan diri sendiri mengarah pada pertentangan batin dan kekecewaan. Tidak ada yang berhak mengganggu kebebasan orang lain dalam memilih suatu agama. Kebebasan berpikir merupakan hak asasi setiap manusia. Adalah salah bila memaksa seorang keluar dari cara hidupnya yang selaras dengan pandangan dan sifat kecenderungan dan dorongan batin orang itu. Paksaan dalam bentuk apa pun adalah tidak baik. Kekerasan yang terburuk adalah membuat seseorang menelan bulat-bulat kepercayaan yang tidak disukainya. Pemaksaan seperti itu tidaklah baik bagi siapa pun, di mana pun juga.
Seorang manusia harus diizinkan untuk tumbuh dengan cara yang akan membuatnya menghasilkan suatu yang terbaik. Pengawasan apa pun terhadap kebebasan berpikir merupakan gangguan langsung terhadap perkembangan jiwa. Seorang umat Buddha menganggap gangguan seperti itu sebagai jenis ketidaktoleransian yang terburuk.
Penyucian tidak datang dari kekuatan eksternal, dan penyucian diri sendiri hanya dapat datang pada seseorang yang bebas mempertimbangkan masalahnya sendiri tanpa halangan apa pun. Orang lain dapat menolong jika ia siap untuk menerima pertolongan seperti itu atau pun mencari pertolongan itu. Kebahagiaan tertinggi hanya dapat dicapai melalui pengetahuan sendiri, pencapaian sendiri, kesadaran sendiri akan kebenaran. Seseorang harus mengusahakan upaya yang tepat dan memutuskan belenggu yang menahannya dalam perbudakan untuk waktu yang lama dan memperoleh kebebasan dari penderitaan dengan usaha sendiri yang tanpa henti, dan bukan melalui meditasi yang dilakukan oleh orang lain. Para biku bukanlah imam yang melakukan upacara pengorbanan. Mereka tidak melakukan upacara penyucian dan menyatakan pengampunan dosa. Seorang biku yang baik tidak dapat dan tidak berdiri sebagai perantara antara umat manusia dan kekuatan supernatural. Umat Buddha diajarkan bahwa setiap orang, apakah ia umat awam ataupun biku, semata-mata bertanggung jawab bagi pembebasannya sendiri. Oleh sebab itu tidaklah perlu mengambil hati seorang imam sebagai perantara.
"Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
Oleh diri sendiri pula kita menderita.
Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan,
Oleh diri sendiri pula kita menjadi suci.
Tak ada yang menyelamatkan kita kecuali diri kita sendiri,
Tak ada yang dapat dan tak ada yang mungkin;
Kita sendirilah yang harus menempuh jalan itu,
Para Buddha hanyalah menunjukkan jalan."
Buddha-lah yang pertama kali dalam sejarah dunia, mengajarkan bahwa pembebasan dapat dicapai tanpa adanya Juru Selamat. Dengan ajaran dan contoh, Beliau merupakan teladan dari kehidupan yang ulet. “Usahakanlah pembebasanmu dengan sadar waspada” (appamadena sampadetha) adalah amanat Buddha yang terakhir.
Setiap mahluk hidup adalah pencipta bagi dirinya sendiri. Tak ada pencipta lain yang kita lihat dalam dunia melebihi perbuatan kita sendiri. Dengan perbuatan kita, kita membentuk karakter, kepribadian dan individualitas. Kita semua maju berkat usaha sendiri. Oleh karena itu Buddha berkata bahwa "Kita adalah ahli waris dari perbuatan kita sendiri, pemilik yang bertanggung jawab atas perbuatan kita sendiri; perbuatan kita merupakan rahim dari mana kita dilahirkan," (M. 135) dan melalui perbuatan kita sendiri, kita harus berubah ke arah yang lebih baik, membentuk kembali diri kita dan memenangkan pembebasan dari penderitaan. Bagaimana dapat terjadi sebaliknya? Jika kita, melalui kebodohan dan nafsu kita, dalam malam yang panjang mengembara dalam samsara tidak memperbaiki diri kita sendiri, bagaimana dapat berbeda dan tidak sama dengan makhluk-makhluk hidup sebagaimana yang kita lihat dalam dunia saat ini?
Ajaran tentang moral yang menimbulkan akibat (kamma), yang merupakan satu-satunya penjelasan yang masuk akal menyangkut banyaknya penderitaan yang terjadi di dunia, tidak dapat disangkal. Semua penjelasan mengenai kehidupan yang menderita kecuali moral yang menimbulkan akibat, sepenuhnya tidak memuaskan, karena mereka tidak memperhitungkan fungsi yang sebenamya dari unsur batiniah (nama) yang tidak dapat dinyatakan secara jelas, namun menentukan dalam proses penjelmaan (bhava). Akan tetapi ketika seseorang memahami kehidupan yang menderita terutama sebagai bekerjanya hubungan sebab akibat dalam aspek yang tersembunyi dari proses kesadaran, maka ia akan mengetahui dan memahami asal kehidupan itu kebodohan; dan bentuk-bentuk yang tak terhitung dari penderitaan sebagai ungkapan dari dorongan berbagai jenis nafsu yang menyebabkan semuanya timbul dan lenyap dari satu kehidupan ke kehidupan lain bagaikan gelembung dalam lautan samsara yang luas. Kemudian ia menyadari arti dari moral yang menimbulkan akibat melalui kejadian tumimbal lahir, kelahiran kembali; kita mendapatkan hasil dari apa yang telah tanam di masa lampau. Sebagian hasil yang kita dapatkan, kita ketahui, bahkan kita tanam dalam kehidupan ini. Dengan sendirinya dalam cara yang sama, perbuatan kita di sini membentuk masa depan kita dan dengan demikian kita mulai memahami kedudukan kita di alam semesta yang penuh misteri ini. Namun, haruslah diingat bahwa menurut agama Buddha, tidak semuanya yang terjadi disebabkan karena perbuatan atau karma masa lampau.
Oleh karena itu janganlah kita tergesa-gesa menyalahkan ataupun memuji dewa atau mahkluk khusus yang dipuja karena penderitaan yang kita alami dan kebahagiaan yang kita rasakan. Tidak, bahkan Buddha-pun tidak dapat menyelamatkan kita dari belenggu samsara. Setiap orang harus melakukan usaha yang diperlukan untuk mencapai pembebasan. Dalam tangan kita terletak kekuatan untuk membentuk kehidupan kita. Orang lain dapat memberi bantuan secara tidak langsung, namun pembebasan dari penderitaan harus dilakukan dan dibiasakan oleh setiap orang bagi dirinya berlandaskan perbuatannya sendiri.
Kita percaya bahwa :
“ Apa pun yang dilakukan seseorang, demikian pula yang akan dihadapi oleh dirinya ;
Baik bagi orang yang baik, dan buruk bagi pelaku kejahatan ;
Demikianlah perbuatan kita semua seperti benih, menghasilkan buah yang sesuai. “
Kita melihat kekuasaan hukum alam, sebab dan akibat yang tanpa akhir dan tidak ada yang lain yang menguasai alam semesta. Seluruh dunia merupakan sasaran dari hukum sebab dan akibat. Seluruh dunia diperintah dan dikuasai oleh hukum sebab dan akibat yang tanpa akhir ini, dengan kata lain, aksi dan reaksi.
Kebudayaan Batin
Manusia merupakan proses rohani dan jasmani yang selalu berubah dan unsur terpenting dalam proses ini adalah pikiran. Menguasai pikiran merupakan jiwa dari ajaran Buddha. Kebahagiaan harus ditemukan dan kesempurnaan dicapai melalui unsur batin dalam diri kita, kesadaran kita. Akan tetapi, selama kesadaran itu kotor, tidak ada yang berharga yang dapat dicapai di sana . Oleh karenanya Buddha menekankan kesucian batin sebagai sumber, kondisi terpenting dari kebahagiaan sejati dan pembebasan dari penderitaan. Sering kali Buddha menasehati murid – murid – Nya demikian : “ Carilah dirimu sendiri, “ dan “ Kuasailah pikiranmu. “ ( D. 16 ).
Terpengaruh oleh satu sabda Buddha, banyak orang mengubah hidupnya secara menyeluruh. Kitab – kitab Buddhis penuh dengan contoh tentang perubahan mendadak yang terjadi setelah mendapat petunjuk singkat seperti berikut ini :
“ Pembuat saluran air mengalirkan air,
Pembuat panah meluruskan anak panah,
Tukang kayu melengkungkan kayu,
Orang bijaksana menaklukkan dirinya sendiri. “ Dhp. 80
Menjaga diri sendiri dari ketamakan, dan melatih diri sendiri untuk melakukan perbuatan yang bebas dari ketamakan, adalah perbuatan yang tidak mementingkan diri sendiri, yang merupakan jalan menuju kebahagiaan dan kesejahteraan sejati dalam ajaran Buddha.
Dua khotbah Buddha yang penting ( D. 25 ; M. 22 ) dengan jelas mengungkapkan kepada kita mengapa Buddha mengajarkan Dharma, ajaran itu. Marilah kita menyimaknya :
Buddha telah mencapai Penerangan Sempurna. Beliau mengajarkan Dharma agar orang lain mencapai penerangan.
Beliau mengendalikan diri sendiri. Beliau mengajarkan Dharma agar orang lain mengendalikan diri.
Beliau tenang. Beliau mengajarkan Dharma agar orang lain mencapai ketenangan.
Setelah menyeberang ( ogha, gelombang noda ), Beliau mengajarkan Dharma agar orang lain menyeberang.
Setelah mencapai Nirwana ( dengan memadamkan api kotoran batin, parinibbuto ), Beliau mengajarkan Dharma agar orang lain mencapai Nirwana.
Dharma, ajaran Buddha, bukanlah semata – mata pengetahuan atau pun semata – mata dimiliki seperti layaknya harta benda. Buddha dengan jelas telah menunjukkan bahwa Dharma merupakan sarana untuk menyeberangi lautan penderitaan, lautan samsara atau kelahiran yang berulang – ulang, dan untuk mencapai pantai tanpa kematian, Nirwana, dengan aman dan selamat. Dharma bagaikan sebuah rakit untuk menyeberangi lautan.
Hanya ketika pikiran tidak dibiarkan untuk menyepakkan jejak dan dijaga pada jalur yang benar untuk mencapai kemajuan bertahap, ia akan berguna bagi pemiliknya dan bagi masyarakat. Pikiran yang kacau merupakan beban bagi pemiliknya maupun bagi orang lain. Semua malapetaka di dunia ditimbulkan oleh orang – orang yang belum mempelajari cara – cara menguasai pikiran serta keseimbangan dan ketenangan jasmani. Oleh karena itulah, Buddha berkata :
“ Luka apa pun dapat diperbuat oleh orang
yang saling bermusuhan dan membenci,
Pikiran yang diarahkan secara salah akan
Jauh lebih berat melukai diri sendiri. “ Dhp. 42
Kedudukan, kasta, warna kulit, kekayaan dan kekuasaan tidak dapat membuat seorang manusia menjadi orang yang berharga bagi dunia. Hanya karakter manusia yang membuat manusia menjadi besar dan patut dihormati. “ Karakter adalah apa yang keluar ketika kehidupan dijalani di bawah tekanan kegiatan, dengan maksud dan keahlian tertentu. Bagaikan intan yang merupakan karbon yang telah menjadi sasaran tekanan yang berat, demikian pula kehidupan yang dijalani di bawah semangat dan usaha spiritual yang terus menerus menghasilkan batu permata, karakter. “ karakterlah yang menerangi kebijaksanaan ( apadana sobhini panna ).
Manusia hari ini merupakan hasil dari jutaan pengulangan pikiran dan perbuatan. Ia tidak langsung jadi ; ia terbentuk dan masih membentuk. Karakternya ditetapkan terlebih dahulu oleh pilihannya sendiri. Pikiran, perbuatan yang dipilihnya, menjadi kebiasaan yang membentuknya.
“ Pada saat kelahiran pikiran bersinar – sinar, dan dicemari oleh kotoran – kotoran secara tidak disengaja ( pabhassaramidam bhikkhave citam, tam ca kho agantukehi upakkilesehi upakkilittham ), “ kata Buddha. Begitu pula orang – orang, mendasari pemikiran mereka pada sabda Buddha, mengatakan hal yang sama dengan kalimat lain : “ Pada dasarnya makhluk hidup itu baik, tetapi secara tidak disengaja kotoran menodainya. “
Dengan perhatian dan pikiran yang sistematis menyangkut hal – hal yang ditemui seseorang dalam kehidupannya setiap hari, dengan menguasai keinginan jahatnya dan dengan mengekang dorongan hati, ia dapat menjaga pikiran dari kotoran. Adalah sulit untuk melepaskan apa yang memikat kita dan menahan kita dalam perbudakan ; sulit pula mengusir roh jahat yang menghantui hati manusia dalam bentuk pikiran – pikiran yang tidak baik. Kejahatan – kejahatan tersebut merupakan penjelmaan dari ketamakan, kebencian dan kebodohan batin : lobha, dosa dan moha, tiga jenis pasukan kematian ( mara ). Sampai seseorang mencapai puncak kesucian dengan latihan pikiran tanpa henti, ia tidak dapat mengalahkan pasukan itu secara menyeluruh. Hanya dengan melepaskan hal – hal eksternal, berpuasa dan lain – lain, tidak dimaksudkan untuk menyucikan manusia, hal – hal ini tidak membuat manusia menjadi suci dan aman. Menyiksa diri sendiri merupakan suatu perbuatan ekstrem yang keliru yang dalam pembabaran Dharma yang pertama kali oleh Buddha ditolak. Juga Beliau menolak kenikmatan hawa nafsu, dengan menyebutnya sebagai perbuatan tercela. Dengan menghindari dua jalan ekstrem, Buddha mengungkapkan pada dunia Jalan Tengah – Majjhima Patipada – yang membawa seseorang pada kedamaian, penerangan dan Nirwana ( upasamaya, sambodhaya nibbanaya ).
Spinoza menulis : “ hal – hal yang biasa terjadi dalam kehidupan, dan dihargai di antara manusia sebagai kebaikan tertinggi, dapat dikurangi oleh ketiga hal ini, kekayaan, ketenaran dan hawa nafsu, karena ketiga hal ini pikiran menjadi kacau sehingga pikiran hampir tidak dapat memikirkan kebaikan lain. “
Nafsu manusia adalah godaan. Nafsu makhluk hidup yang buta telah menimbulkan kebencian dan segala bentuk penderitaan. Musuh seluruh dunia adalah hawa nafsu yang melaluinyalah seluruh kejahatan datang pada makhluk hidup. Hawa nafsu ini ketika dihalangi oleh beberapa sebab, berubah menjadi kemarahan. Dan manusia jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri dengan nafsu akan kenikmatan, bagaikan seekor laba – laba yang jatuh ke dalam jaringnya sendiri. Namun dengan melatih perbuatan baik, mengembangkan ketenangan, dan mendapatkan cahaya kebenaran, orang – orang bijaksana berjalan terus melepaskan ikatan. Mereka yang bijaksana dianggap sebagai orang yang telah menaklukkan dirinya sendiri dengan mencabut akar dari nafsu lebih hebat daripada orang yang telah memenangkan ribuan pertempuran.
Orang – orang bijaksana melatih pikiran mereka dengan menghindari minuman keras dan memelihara kesadaran, membuat dirinya sabar dan suci. Sikap yang tenang sepanjang waktu menunjukkan seorang manusia beradab. Bukanlah tugas yang berat bagi seseorang untuk menjadi tenang jika semua hal yang menyertainya mendukung. Akan tetapi sulit untuk memusatkan pikiran ditengah – tengah keadaan yang tidak menguntungkan, dan hal yang sulit inilah yang patut dilakukan. Dengan pengendalian seperti itu orang akan dapat memperkuat karakternya.
Mengendalikan diri sendiri adalah kunci menuju kebahagiaan. Itulah yang terbaik di antara segala perbuatan yang baik. Itulah kekuatan di belakang semua pencapaian sejati. Gerakan seseorang tanpa adanya pengendalian tidak ada gunanya dan mengganggu ketenangan. Orang yang memperturutkan hawa nafsu itu bagaikan seekor burung pelatuk rakus yang terkena penyakit parah karena pisang – raja hutan yang mentah.
Seorang bijaksana pada zaman dahulu mengatakan :
“ Jika orang merenungkan objek indrawi,
maka timbul daya tarik ; dari daya tarik timbul keinginan
Keinginan membakar hawa nafsu yang dahsyat ;
Nafsu menghasilkan kenekatan ; Lalu semua ingatan berkhianat ;
Membiarkan tujuan mulia lewat, melemahkan pikiran ;
Sampai tujuan, pikiran dan manusia semuanya runtuh. “
Karena kurangnya pengendalian maka dalam pikiran kita timbul berbagai macam pertentangan. Jika pertentangan ingin dimusnahkan, kita harus melakukan sedikit kendali pada keinginan dan dorongan hati serta berusaha keras untuk menjalani kehidupan yang dikendalikannya sendiri dan suci.
bersambung.....