Kanon Pali tentang makan daging
Satu pertanyaan yang tak terhindarkan dari pembahasan di atas dalah bagaimana kata-kata yang dituduhkan sebagai sabda Sang Buddha bisa muncul di kanon Pali? Jawabannya sederhana saja: Bikhu dan pencatat yang masih tercekat kepada daging memasukkannya ke kanon. Masuk akal bukan?
Terlebih-lebih jika kita menelusuri bagaimana datangnya sutra-sutra dan terutama Vinaya. Paling tidak seratus tahun setelah Sang Buddha parinirvana, sabda, dialog, peraturan biara, versi, cerita dan berbagai kisah diturunkan dari mulut ke mulut. Menurut sarjana Buddhis Rhys Davids, bahkan sudah 300 tahun lebih Vinaya diwariskan melalui budaya oral. Dengan kata lain, semua bahan-bahan ini diajarkan melalui sekolah Buddhisme pada saat itu dalam bentuk prosa yang mapan, sehingga tak dihindari jika timbul berbagai perbedaan. Dan tak pernah terjadi bahwa sutra-sutra Pali dan Mahayana dibicarakan pada waktu dan tempat yang sama. Diungkapkan suami-istri Rhys Davids bahwa kanon Buddhis tak berbeda halnya dengan kitab religius kuno di dunia yang berkembang secara bertahap dan akhirnya merupakan produk "campuran mosaik materi sebelumnya dan sesudahnya".
Setiap sutra kita ketahui dimulai dengan rumusan "Demikianlah yang saya dengar", menunjukkan bahwa kata-kata yang diajarkan sabda Sang Buddha dan bukan dikarang-karang pengutipnya. Kejujuran yang luar biasa! Tetapi juga sekaligus menjadi bahan polemik tentang keaslian penulis pernyataan dengan mengalamatkannya kepada Sang Buddha.
Setelah Sang Buddha parinirvana, dalam seratus tahun lebih telah diselenggarakan tiga pertemuan untuk menetapkan kanon buddhis. Yakni menetapkan materi yang dianggap asli dan sah. Pertemuan ini jelas melibatkan banyak diskusi, seleksi dan penyuntingan. Sehingga apakah tidak mungkin jika selama periode ini terjadi tambal sulam terhadap sabda atau dianggap kata-kata yang disabdakan oleh Sang Buddha. Dengan tujuan untuk memenuhi cita rasa, keinginan dan penafsiran para sesepuh dari berbagai sekolah Buddhis yang mengambil bagian dari proses panjang tersebut?
Sarjana buddhis terkemuka yang telah bertahun-tahunmempelajari dan menterjemahkan sutra-sutra Pali ke bahasa Inggris tidak meragukan terjadinya kegiatan tambal sulam ini. Suami-istri Rhys Davids dalam terjemahan Dialogues of Buddha menyatakan bahwa kanon Pali ditulis dari materi legendaris yang masih belum selesai diputuskan 'nasibnya' oleh anggota dewan pertemuan sehingga "adalah bukan hanya tak mungkin, jika dianggap ada hal yang cocok untuk ditambahkan atau diubah dalam kanon."
Dalam pengantar Vinaya Texts, perterjemah T.W.Rhys David dan Hermann Oldenberg mengungkapkan dengan sangat terus-terang ketika mereka mendeklarasikan bahwa "hanya sedikit keraguan" jika sebagian besar kisah yang berkaitan dengan Sang Buddha adalah "hanya penemuan". Meskipun Rhys Davids masih berhati-hati dengan menunjukkan doktrinal berasal dari catatan kaki yang berbeda. Foucher dalam bukunya yang ditulis dengan menarik The Life of the Buddha menggemakan pendapat yang sama dengan Olderberg dan Davids.
Jika Oldenberg, Foucher, pasangan Rhys Davids dan sarjana Buddhis kondang generasi berikutnya masih mengganggap sebagian teks Pali diragukan keasliannya, pakar Buddhalogi kontemporer seperti Edward Conze selangkah lebih maju. Dalam Thirty Years of Buddha Studies, Conze mengingatkan kita bahwa Sang Buddha tidak berbicara dalam bahasa Pali tetapi dialek Magadhi. Dan semua sabdanya seperti halnya Yesus, telah kehilangan bentuk aslinya. Conze mencatat tak kurang ada 18 sekolah yang berbeda berperan selama periode sejarah Buddhisme. Masing-masing sekolah memiliki kitabnya sendiri dan mengklaim keasliannya. Lebih lanjut Conze berargumen dengan gigih bahwa adalah kecelakaan transmisi sejarah jika kitab Theravada sendiri dapat sampai kepada kita utuh sempurna.
Mengutip Profesor Waddschmidt:
...bukan tak jarang jika sutra Sanskerta seperti sutra Mahaparinirvana, lebih mencatat tradisi asli dengan benar dan mempunyai nilai yang sama dengan teks Pali...
Sarjana Hofinger kemudian menambahkan:
...sekali lagi Kaon Pali telah turun dari tahtanya di mana dia meraja begitu lama; dia sudah tak lebih berharga dibandingkan dokumen kanon Cina dan Tibet, dan kadang-kadang bahkan inferior dibandingkan mereka.
Hal lain yang tak bisa diabaikan adalah adanya bagian kitab Pali dan Sanskerta yang sengaja diubah atau dihilangkan untuk menyesuaikan keinginan atau pandangan bikhu pencatatnya. Conze mencontohkan sabda Sang Buddha yang berakhir di Dighanikaya XVI sebagai berikut: "Berakhirlah yang berwujud;tegakkanlah dirimu dalam kewaspadaan!" Tetapi dalam Sutra Mahaparinirvana hanya tertulis :Berakhirlah segala yang berwujud." Tulisan A.Fernandez yang tidak diterbitkan tentang wanita dalam Buddhisme menunjukkan teks di Sutra Lotus berbahasa Sanskerta tertulis "Jiwa yang mencapai pencerahan terbuka matanya bagi kebenaran tanpa guru yang menolongnya." Sedangkan versi Cinta tertulis, "... dia mendengar hukum Sang Buddha dan menerimanya sebagai kebenaran." Fernandez dengan mengutip sarjana Jepang Nakamura menyatakan bahwa bikhu Cina dengan sengaja telah mengubah teks tersebut untuk memenuhi tujuan mereka.
Di luar pertanyaan apakah yang sesungguhnya disabdakan Sang Buddha, kesimpulannya pasti: fakta sejarah berada di luar jangkauan kita dan meninggalkan kita dengan berbagai versi legenda Buddhis yang berbeda untuk dievaluasi. Ny.Rhys Davids dengan indah menulis pandangannya dalam hal ini:
Ketika mereka yang percaya di Timur dan sejarahwan di Barat telah menanggalkan sikap tradisionalnya...ketika kita seharusnya tidak lagi membaca, 'Sang Buddha mengatakan ini dan melarang itu,' tetapi 'ini dilakukan di biara Buddhis', maka akhirnya kita akan tiba untuk meruntuhkan superstruktur dan mengarahkan pencarian kepada sang manusianya...
Sekarang kita bisa memahami jika Zen dikenal sebagai transmisi di luar sutra, tidak mengandalkan kata dan sutra, dan tidak mendasarkan dirinya pada salah satu sutra sebagaimana sekte lainnya. Karena bagi Zen, kebenaran harus dialami secara langsung dan tidak melalui otoritas berbagai sutra, apalagi pada rumusan intelektual yang tak bernyawa. Bukan sutra apapun tetapi semangat welas asih dan cita hormat yang akan mewartakan kepada mereka. Tanpa kata-kata melainkan penginsafan realitas yang tak berbentuk di sebaliknya. Dan bukan hidup Sang Buddha tetapi pencerahannya. Inilah materi Zen. Zen tidak menolak sutra namun menganggap mereka hanyalah sarana untuk mencapai Sumber di mana mereka berasal, yakni Watak Sejati.
Di atas segala-galanya, tidak memakan daging binatang tidak terletak pada apa yang disabdakan oleh Sang Buddha dan apa yang tidak. Tetapi pada kebajikan moral dalam diri kita, welas dan belas kasih yang jika disemaikan akan membimbing kita menghargai semua bentuk kehidupan. Jelas perbuatan dengan sengaja membunuh ataupun menyebabkan pembunuhan secara tak langsung yakni dengan memakan daging, telah menentang insting terdalam umat manusia.
Salam Metta
Satu pertanyaan yang tak terhindarkan dari pembahasan di atas dalah bagaimana kata-kata yang dituduhkan sebagai sabda Sang Buddha bisa muncul di kanon Pali? Jawabannya sederhana saja: Bikhu dan pencatat yang masih tercekat kepada daging memasukkannya ke kanon. Masuk akal bukan?
Terlebih-lebih jika kita menelusuri bagaimana datangnya sutra-sutra dan terutama Vinaya. Paling tidak seratus tahun setelah Sang Buddha parinirvana, sabda, dialog, peraturan biara, versi, cerita dan berbagai kisah diturunkan dari mulut ke mulut. Menurut sarjana Buddhis Rhys Davids, bahkan sudah 300 tahun lebih Vinaya diwariskan melalui budaya oral. Dengan kata lain, semua bahan-bahan ini diajarkan melalui sekolah Buddhisme pada saat itu dalam bentuk prosa yang mapan, sehingga tak dihindari jika timbul berbagai perbedaan. Dan tak pernah terjadi bahwa sutra-sutra Pali dan Mahayana dibicarakan pada waktu dan tempat yang sama. Diungkapkan suami-istri Rhys Davids bahwa kanon Buddhis tak berbeda halnya dengan kitab religius kuno di dunia yang berkembang secara bertahap dan akhirnya merupakan produk "campuran mosaik materi sebelumnya dan sesudahnya".
Setiap sutra kita ketahui dimulai dengan rumusan "Demikianlah yang saya dengar", menunjukkan bahwa kata-kata yang diajarkan sabda Sang Buddha dan bukan dikarang-karang pengutipnya. Kejujuran yang luar biasa! Tetapi juga sekaligus menjadi bahan polemik tentang keaslian penulis pernyataan dengan mengalamatkannya kepada Sang Buddha.
Setelah Sang Buddha parinirvana, dalam seratus tahun lebih telah diselenggarakan tiga pertemuan untuk menetapkan kanon buddhis. Yakni menetapkan materi yang dianggap asli dan sah. Pertemuan ini jelas melibatkan banyak diskusi, seleksi dan penyuntingan. Sehingga apakah tidak mungkin jika selama periode ini terjadi tambal sulam terhadap sabda atau dianggap kata-kata yang disabdakan oleh Sang Buddha. Dengan tujuan untuk memenuhi cita rasa, keinginan dan penafsiran para sesepuh dari berbagai sekolah Buddhis yang mengambil bagian dari proses panjang tersebut?
Sarjana buddhis terkemuka yang telah bertahun-tahunmempelajari dan menterjemahkan sutra-sutra Pali ke bahasa Inggris tidak meragukan terjadinya kegiatan tambal sulam ini. Suami-istri Rhys Davids dalam terjemahan Dialogues of Buddha menyatakan bahwa kanon Pali ditulis dari materi legendaris yang masih belum selesai diputuskan 'nasibnya' oleh anggota dewan pertemuan sehingga "adalah bukan hanya tak mungkin, jika dianggap ada hal yang cocok untuk ditambahkan atau diubah dalam kanon."
Dalam pengantar Vinaya Texts, perterjemah T.W.Rhys David dan Hermann Oldenberg mengungkapkan dengan sangat terus-terang ketika mereka mendeklarasikan bahwa "hanya sedikit keraguan" jika sebagian besar kisah yang berkaitan dengan Sang Buddha adalah "hanya penemuan". Meskipun Rhys Davids masih berhati-hati dengan menunjukkan doktrinal berasal dari catatan kaki yang berbeda. Foucher dalam bukunya yang ditulis dengan menarik The Life of the Buddha menggemakan pendapat yang sama dengan Olderberg dan Davids.
Jika Oldenberg, Foucher, pasangan Rhys Davids dan sarjana Buddhis kondang generasi berikutnya masih mengganggap sebagian teks Pali diragukan keasliannya, pakar Buddhalogi kontemporer seperti Edward Conze selangkah lebih maju. Dalam Thirty Years of Buddha Studies, Conze mengingatkan kita bahwa Sang Buddha tidak berbicara dalam bahasa Pali tetapi dialek Magadhi. Dan semua sabdanya seperti halnya Yesus, telah kehilangan bentuk aslinya. Conze mencatat tak kurang ada 18 sekolah yang berbeda berperan selama periode sejarah Buddhisme. Masing-masing sekolah memiliki kitabnya sendiri dan mengklaim keasliannya. Lebih lanjut Conze berargumen dengan gigih bahwa adalah kecelakaan transmisi sejarah jika kitab Theravada sendiri dapat sampai kepada kita utuh sempurna.
Mengutip Profesor Waddschmidt:
...bukan tak jarang jika sutra Sanskerta seperti sutra Mahaparinirvana, lebih mencatat tradisi asli dengan benar dan mempunyai nilai yang sama dengan teks Pali...
Sarjana Hofinger kemudian menambahkan:
...sekali lagi Kaon Pali telah turun dari tahtanya di mana dia meraja begitu lama; dia sudah tak lebih berharga dibandingkan dokumen kanon Cina dan Tibet, dan kadang-kadang bahkan inferior dibandingkan mereka.
Hal lain yang tak bisa diabaikan adalah adanya bagian kitab Pali dan Sanskerta yang sengaja diubah atau dihilangkan untuk menyesuaikan keinginan atau pandangan bikhu pencatatnya. Conze mencontohkan sabda Sang Buddha yang berakhir di Dighanikaya XVI sebagai berikut: "Berakhirlah yang berwujud;tegakkanlah dirimu dalam kewaspadaan!" Tetapi dalam Sutra Mahaparinirvana hanya tertulis :Berakhirlah segala yang berwujud." Tulisan A.Fernandez yang tidak diterbitkan tentang wanita dalam Buddhisme menunjukkan teks di Sutra Lotus berbahasa Sanskerta tertulis "Jiwa yang mencapai pencerahan terbuka matanya bagi kebenaran tanpa guru yang menolongnya." Sedangkan versi Cinta tertulis, "... dia mendengar hukum Sang Buddha dan menerimanya sebagai kebenaran." Fernandez dengan mengutip sarjana Jepang Nakamura menyatakan bahwa bikhu Cina dengan sengaja telah mengubah teks tersebut untuk memenuhi tujuan mereka.
Di luar pertanyaan apakah yang sesungguhnya disabdakan Sang Buddha, kesimpulannya pasti: fakta sejarah berada di luar jangkauan kita dan meninggalkan kita dengan berbagai versi legenda Buddhis yang berbeda untuk dievaluasi. Ny.Rhys Davids dengan indah menulis pandangannya dalam hal ini:
Ketika mereka yang percaya di Timur dan sejarahwan di Barat telah menanggalkan sikap tradisionalnya...ketika kita seharusnya tidak lagi membaca, 'Sang Buddha mengatakan ini dan melarang itu,' tetapi 'ini dilakukan di biara Buddhis', maka akhirnya kita akan tiba untuk meruntuhkan superstruktur dan mengarahkan pencarian kepada sang manusianya...
Sekarang kita bisa memahami jika Zen dikenal sebagai transmisi di luar sutra, tidak mengandalkan kata dan sutra, dan tidak mendasarkan dirinya pada salah satu sutra sebagaimana sekte lainnya. Karena bagi Zen, kebenaran harus dialami secara langsung dan tidak melalui otoritas berbagai sutra, apalagi pada rumusan intelektual yang tak bernyawa. Bukan sutra apapun tetapi semangat welas asih dan cita hormat yang akan mewartakan kepada mereka. Tanpa kata-kata melainkan penginsafan realitas yang tak berbentuk di sebaliknya. Dan bukan hidup Sang Buddha tetapi pencerahannya. Inilah materi Zen. Zen tidak menolak sutra namun menganggap mereka hanyalah sarana untuk mencapai Sumber di mana mereka berasal, yakni Watak Sejati.
Di atas segala-galanya, tidak memakan daging binatang tidak terletak pada apa yang disabdakan oleh Sang Buddha dan apa yang tidak. Tetapi pada kebajikan moral dalam diri kita, welas dan belas kasih yang jika disemaikan akan membimbing kita menghargai semua bentuk kehidupan. Jelas perbuatan dengan sengaja membunuh ataupun menyebabkan pembunuhan secara tak langsung yakni dengan memakan daging, telah menentang insting terdalam umat manusia.
Salam Metta