|
LOUNGE |
TANYA JAWAB |
KESEHATAN |
MUSIC |
MOVIES |
OLAHRAGA |
KULINER |
ANIME |
JOKES
GAMES |
COMPUTER |
OTOMOTIF |
PETS |
PONSEL |
DEBATE |
GALLERY |
YOUTH |
BERITA & POLITIK
CURHAT |
RELIGI |
MISTERI |
GAYA HIDUP |
EDUKASI |
SARAN |
TEST
|
marcedes;834478 saya bahkan tidak tahu kalau buddha itu lahir di india. saya hanya tahu kalau buddha itu lahir di cina dan asal agama buddha adalah cina. [/QUOTE berkata:Sama dengan saya..
bahkan saya tidak terima, kalo buddha lahir di india...
Ternyata banyak juga temen2 kita yang "kecewa" dengan aliran MLDD/IKT....
Saya juga mau sharing...keluarga saya ada sebagian yang menjadi pemeluk IKT. Saya juga sebenarnya thn 1997 udah didaftarin di surga alias "khai kuang"....tapi karena dulu tidak mengerti sama sekali (yg paling tepatnya tidak diberi penjelasan oleh mereka) pernah saya ikut temen ke vihara maitreya yg lain yg saya pikir adalah sama, ternyata sampai disana ada upacara pendaftaran di surga atau "khai kuang". Saya ditanya oleh pengurus vihara tsb apakah saya sudah pernah khai kuang, lantas aja saya bilang udah wong emang kenyataannya udah kok. Trus mereka nanya dimana saya dulu khai kuang dan saya juga memberitahu nama dan tempat fo thangnya.
Dan kata mereka khai kuang di fothang tsb beda dengan disini, jadi saya harus di khai kuang lagi. Dengan culun dan begonya saya mau aja di khai kuang lagi.
Setelah upacara selesai maka kami pun diberi hidangan berupa makanan kecil dan buah2an serta dengan sopannya para umat disana mengajak kami berbincang2 sambil mengatakan kalo besok2 ke fothang disini aja karena beda dengan yang disana. Karena udah di khai kuang disini maka harus kesini gak boleh kesana lagi.......
???????????SORRY....OUT OF TOPIC....MODERATOR : boleh gak buka topic baru dengan judul : kisah nyata /sharing dengan orang2 yang pernah "kecewa" dengan MLDD/IKT
Thanks.....
GetVisit this url :
http://www.awsurveys.com/HomeMain.cfm?RefID=Ariley
and create new account before downloading
ibu Sri Hartati?....yang punya PRJ itu ya?Ibu Sri Hartati, mungkin orang paling berjasa dalam memperkenalkan aku pada Buddha Dhamma. Kemudian aku juga teringat pada Romo Miskam yang (hahahaha saya tersenyum mengingat ini) justru sering 'berantem' dengan aku atas apa yang boleh dan tidak boleh.
ibu Sri Hartati?....yang punya PRJ itu ya?
ikutan ah..
saya lahir di keluarga yg berlatar belakang kong hu cu..
Yg mempercayai dewa dewi, juga mempercayai Buddha sebagai dewa tertinggi dalam tingkatan tertinggi..dan juga hukum KARMA
Namun, semenjak smp karena saya sekolah di skolah Kristen, saya belajar banyak tentang Agama Kristen, dan mau tdk mau ke Gereja utk mendengarkan ceramah tiap minggunya..(demi nilai2 di sekolah)
Kebetulan saya sndiri tidak begitu tertarik dgn agama yg satu ini, karena tiap x mereka slalu saja berusaha menggembar gemborkan agama mereka dan merusaha memojokkan agama lain..
Kemudian di SMA saya mulai membaca tentang spiritual, dan ke universalan agama..saya tergugah membaca tulisan2 Anand Krishna..Darisana saya mendapat pemahaman kalo agama itu semuanya sama..mereka menunjuk pada Tuhan yg sama..namun cara2 yg berbeda..
Saya meyakini hal itu..
Kemudian mulai di bangku kuliah, saya membaca2 tentang Buddhisme, terutama Theravada..sangat menarik..
Karena apa yg saya baca tentang spiritual itu sangat sesuai dgn apa yg Buddha ajarkan. Namun saya begitu kaget begitu membaca tulisan tentang ANATTA..
Anatta ini yg sangat sulit saya pahami, bahkan membuat saya bingung sendiri..
rasanya smua yg saya terima..mulai dari kecil sampai SMA..dari aliran2 spritual, agama2..
Tidak pernah ada yg menulis begini..
Tidak ada yg menulis bahwa tidak adanya diri / roh dalam manusia..
Hanya Buddha yg mengatakan hal semacam itu..
saya mulai goyah..
Dalam benak..Jgn2 Theravada ini ajaran yg dikatakan orang Hinayana ? Sehingga tidak komplit / memaknai Dhamma dgn lebih sempit daripada aliran lain.. ?
Dalam kebingungan ini, saya berusaha mencari "penghubung" smua pengetahuan saya yg telah saya anggap benar dgn konsep ANATTA ini, saya sempat memaknai
Kalo Buddha menyebut ANATTA = tidak adanya diri pribadi (EGO), karena kita smua pada dasarnya adalah 1..tapi tetap saja kita memiliki Roh..
Tetapi setelah saya membaca tulisan Singthung ( thx ), bahwa ANATTA disni bukan hanya berati EGO, tapi juga roh / entity lain dalam diri manusia, saya mulai menghapus pandangan itu..
Hanya tetap saja, sampai saat ini..sangat sulit utk benar2 mempercayai itu...
Namun saya berpendapat daripada sekedar mendengar dan mempercayai, saya pikir ada baiknya saya membuktikan kebenaran itu sendiri... (yg entah bagaimana caranya) /hmm
ibu Sri Hartati?....yang punya PRJ itu ya?
Siti Hartati Murdaya, Ketua Umum Walubi atau Hartati yang lain???.
Saya terlahir dengan latar belakang multi ras. Kakek-nenek saya bahkan Muslim yang menjadi juru kampanye partai Masyumi di masanya. Ibu bapak saya praktis pemeluk Khong Hu CU. Khusus Bapak, bahkan latar belakang sekolah beliau yang tinggi dalam kesusastraan Cina, di hari tuanya beliau di daulat penduduk di kotaku sebagai orang yang membaca buku thong su dan ciam sie di sebuah kelenteng (Pek Khong Huoi). Saya sering terperangah pada anggapan orang atas kemampuan baca dan agama bapak saya yang diceritakan orang lain, bahkan saat ketemu dengan orang-orang dari luar kota. Karena dalam keluarga, aku melihat bapakku biasa-biasa saja.
Ibu asli lahir dari Tiongkok. Demikian juga Akong dan Ama dari pihak ibu. Semuanya asli dari Cina Daratan. Hanya Ibu yang akhirnya mengurus SKBRI. Kakekku Batak dengan marga Lubis, nenekku seorang Jawa, dan ibuku adalah etnis Cina.
Sejak kecil, aku dididik dalam keagamaan Khong Hu Cu dan Taoisme. Sampai sekarang tradisi Khong Hu Cu dan Taoisme masih saya jalankan sementara saya merasa sebagai pemeluk Buddha.
Dari SD (saya di sekolah negri) sampai SMP, agama yang saya tekuni adalah Kristen. Tidak peduli Katolik atau Protestan, saya saat itu Kristen. Melakukan kebaktian tiap minggu di gereja yang pindah-pindah. Saya tidak mau terikat pada satu gereja. Dari HKBP, Methodist, GBKP dll... Di Sekolah Minggu, saya juga sudah capek dicekoki dengan berdosanya menjalankan tradisi-tradisi Khong Hu Cu dan Taoisme. Diantaranya membakar kertas, menyembah patung dan menyembah api. Itu berusaha didogmakan kepada saya. Namun, tahun 1990, agaknya saya memang mempunyai jodoh pada agama Buddha.
Saya masuk ke sekolah swasta yang mayoritas siswa-siswinya adalah etnis Cina. Di sini pluralitas saya rasakan. Di sini, entah apa yang menggerakkan saya untuk menuliskan Buddha sebagai agamaku. Dan, aku mulai mendapat pendidikan agama Buddha. Yang seakan menjungkir balikkan apa-apa yang kuketahui dari pelajaran agama yang sebelumnya banyak aku dapat (Islam maupun Kristen serta Khong Hu Cu dan Toisme). Ibu Sri Hartati, mungkin orang paling berjasa dalam memperkenalkan aku pada Buddha Dhamma. Kemudian aku juga teringat pada Romo Miskam yang (hahahaha saya tersenyum mengingat ini) justru sering 'berantem' dengan aku atas apa yang boleh dan tidak boleh.
Tahun pertama si SMA yang memberikan aku perkenalan dengan agama Buddha adalah tahun paling berat. Kenyataan dalam agama Buddha bahwa seperti Tuhan yang sudah terdogma dikepala ternyata tidak ada, sempat membuat aku bimbang. Apakah ini bukan ajaran Iblis? Apakah ini kedurjanaan dalam kedok malaikat? (aku terpengaruh religi Abrahamic waktu itu).
Hapalan dalam bahwa Sansekerta dan Pali, praktis menjadi bagian paling sulit aku ingat. Aku terbiasa dengan sebutan dalam bahasa latin ataupun Yunani, bahkan bagiku lebih mudah mengingat sebuah istilah dalam bahsa Arab atau Ibrani. Makanya, Thanks juga kepada Sinthung yang kutipan-kutipan dalam bahasa Pali atau Sansekertanya selalu diikuti dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Selesai masalah keimanan dan bahasa, muncul sebuah fase saat aku merasa seperti dikelabuhi. Maksudku begini. Aku sangat tertarik pada ajaran agama lain yang baru pertama kali aku sadari ini, agama Buddha. Aku tertarik setengah mati. Lalu, suatu hari, aku diajak seorang teman ke Vihara Sila M. Sempat tidak tahu sama sekali ajaran apa yang saya dapat. Hanya perlahan, muncul kontradiksi antara apa yang saya dapat di bangku sekolah, dengan hal-hal yang diajarkan di Vihara ini. Terlebih yang tidak bisa saya terima adalah mengenai 5 kata yang tidak boleh diberitahukan kepada siapapun, termasuk orang tua, ibu bapak saya. Disitu saya putuskan. Ini tidak benar. Dan sepertinya bukan jodoh. Saat itu dan sampai sekarang, orang tua saya adalah Tuhan saya. Yang bisa saya ingat, yang bisa saya rasakan kasih dan cinta mereka, yang bisa saya raba, pegang, nyata, tidak berupa angan-angan, bahkan setelah mereka tidak lagi bersama saya di kehidupan saya sekarang.
Saya aktif di SMA, baik di Osis maupun di Vihara Buddha di kota saya. Oh, yah.... saya bergabung ke Vihara Buddha Buddhayana yang ada di kota saya setelah kejadian tidak mengenakkan itu. Disinilah saya aktif dalam banyak kegiatan yang brhubungan dengan Buddha Dharma. Romo Miskam, Thamrin, kemudian ada 2 orang lagi romo dari Sibolga yang kerap berkomunikasi dengan saya, boleh dibilang mereka ini orang-orang yang berjasa membuka pikiran saya akan Buddha Dhamma dengan cara debat, yang tidak jarang sampai terjadi debat kusir.... walau tidak sampai bunuh-bunuhan, hehehe....
Era SMA ini adalah era paling kuat saya dalam mencoba mengerti Buddha Dharma, baik Theravada, Mahayana maupun Tantrayana. Saya bahkan 2 periode terpilih menjadi Ketua Muda Mudi Vihara. Itu terjadi di kelas 2 dan 3. Tidak menjadi ketua umum. Tapi menjadi Tim Ketua. Dan terus terang, karena tidak begitu mengerti akan Buddha Dharma. Tidak begitu paham akan cerita-cerita Buddhis yang banyaknya tidak ketulungan. Tidak hapal istilah-istilah keagamaan dalam bahasa Sansekerta atau Pali, apalagi Mandarin. Pemahaman saya pada Buddha Dharma justru tumbuh seperti ini. Saya mengerti apa yang saya maksudkan, tapi kesulitan kalau mencari padanannya dalam bahasa Sankrit, Pali atau Mandarin. Bagi saya itu hanya istilah. Yang bisa jadi sebenarnya lebih komunikatif bila ada bahasa Indonesianya. Walau tidak semua istilah bisa di Indonesiakan. Misal kata 'SILA' yang bahkan oleh pendiri negri ini diartikan sebagai 'Dasar'. Dalam agama Buddha tentu pengertian 'Dasar' ini menjadi terlalu sempit. SIla memiliki arti yang lebih luas. Itu contoh dari apa yang saya maksudkan.
Era, kuliah. Saya di Medan. USU. Disini saya sempat berkenalan dengan Bhante Jinadammo kemudian berteman dengan almarhum Bhante Nanda yang sudah meninggal dunia saat dalam tugas kunjungan ke Aceh, karena mobilnya bertabrakan. Sempat juga mencoba untuk belajar meditasi dengan serius. Tapi terrible. Saya tidak sanggup. Pikiran saya masih terlalu liar. Imajinasi saya sangat-sangat susah dikendalikan. Mungkin ini karena saya orang yang kreatif, seniman gila yang punya banyak sekali rahula-rahula yang mengekang saya.
Lalu keyakinan saya bermetafora lagi. Saya berpegang pada Jalan Tengah yang diajarkan Sang Buddha. Saya memiliki kehidupan nyata. banyak sekali keterbatasan yang mau tidak mau saya harus sadari harus saya hadapi dalam menjalankan jalan tengah yang saya pilih. Kalau diingat-ingat, saya suka tersenyum sewaktu kenangan waktu saya masih kecil dulu ikutan belajar 'ngaji' dengan teman-teman Muslim. Atau menjadi salah seorang yang melakukan liturgi waktu perayaan Natal di sekolah maupun di gereja Methodist.
Dan, ini memang gambaran hidup. Tanpa itu semua, mungkin dangkalnya pengetahuan saya akan Buddha Dharma bisa menjadi goyah dengan gampang. Tapi, pengalaman hidup dengan latar belakang yang multi etnis, multi faith ini, akhirnya justru memperkuat keyakinan/sadda saya pada Buddha Dharma. Masih ingat pesan Bhante Jinadammo dulu pada saya waktu saya tamat kuliah dan mencari peruntungan kerja di Aceh. Bahwa saya akan kesulitan ke Vihara, bahwa saya akan mendapat curahan Dhamma justru dari pemikiran sendiri dan buku-buku yang saya baca. Tidak hanya buku-buku Buddha, tetapi juga buku dari aliran kepercayaan, agama apa saja yang saya baca.
Dan Bhante benar dalam hal ini. Saya merasa bahagia dengan keyakinan yang saya anut sekarang. Saya Buddhis. Saya tahu apa yang saya cari dalam agama Buddha. Saya tidak tahu banyak istilah. Saya tahu apa maksud dari istilah istilah tersebut ketika dijabarkan. Saya tidak fanatik. Saya menghargai pluralitas. Saya menghargai sains. Saya lebih suka menyadari perbedaan-perbedaan dari macam-macam agama dan keyakinan yang ada, dari pada membohongi logika dan nalar saya dengan bertekad menyatakan semua agama adalah sama. Dengan menyadari perbedaan, saya bisa memahami perbedaan tersebut. Bila saya terjebak pada ambisi persamaan. Mungkin saya akan protes bila melihat ternyata faktanya berbicara berbeda.
Rasanya sudah panjang banget yah.....
Makasih kalau tidak ngantuk saat membacanya, hehehe...