POLEMIK TUHAN
Apakah Tuhan ada? Harus ditulis dengan huruf besar atau huruf kecil? Benarkah Tuhan merefleksi dalam bentuk seperti Nirvana? Lalu, mengapa, apa dan bagimana sebenarnya makanya kita memerlukan Tuhan?
Tak cukup 3 kelompok kitab yang kita kenal dengan Tri Pitaka. Tak satupun yang menyiratkan tentang Tuhan. Malahan kita berulang-ulang diingatkan oleh Sidharta Gautama untuk jangan gampang/mudah percaya pada pikiran yang membohongi kita. Ada orang bersaksi melihat Dewi Kwam Im, ada pula yang bersaksi pernah berjumpa dengan Jesus, hanya tidak diceritakan apakan setelah berjumpa mereka singgah ke kedai kopi, bersopan santun atau bersapa ramah laksana dua orang sahabat lama. Atau bahkan banyak yang mati pun rela untuk mengklaim Buddha Meitreya sudah lahir.
Dan, apakah perjumpaan mereka laksana guru dengan murid, atau Peterpan dengan fansnya. Atau Dewi Persik dengan penjawil payudaranya. Tak jelas. Itu yang dimaksudkan Sidharta Gautama. Pikiran manusia mengelabui padangannya. Sesuatu yang diyakini secara salah terus menerus, akhirnya tidak lagi dirasakasn menjadi kesalahan.
Lalu, di bagian atas aku membaca tentang Tuhan yang baik. Adakah? Atau Tuhan yang jahat? Atau Tuhan yang pengasih dan penyayang, atau Tuhan yang tampan rupawan? Bagaimana ini? Inilah kesalahan pandangan yang bisa dengan sarkas aku bilang, pandangan salah, pemikiran salah.
BAGAIMANA KAU BISA TAHU SIFAT TUHAN, BILA SIFATMU SENDIRI KAU TAK TAHU? BAGIMANA KAU BISA MENGERTI APA YANG DIINGINKAN TUHAN, BILA UNTUK MENGERTI KEINGINAN ORANG TUAMU SAJA KAMU TAK BISA.
Udah jelas kau dilarang orang tuamu memasuki agama 'anu' yang tidak seiman dengan agamamu. Tapi kau ngotot juga. Karna kau berkilah menemukan Tuhan di sana. Dan bagimana pula kau bisa menghargai Tuhan, bila wakilnya di bumi ini (orang tuamu) tidak bisa kau hargai?
Saya bertindak atas pemikiran sendiri. Terus terang saya orang yang muak dengan apa yang disebut ajaran 'Meitreya'. Agama Buddha tapi menjelek-jelekan ajaran Buddha. Agama Buddha tapi mempunyai mahluk aneh yang diberi gelar mewah "Tuhan". Agama Buddha tapi dalam kesehariannya sering mengkritik kebijakan-kebijakan Sidarta Gautama.
Blak-blakan saja, saya pernah mencoba memacari seorang gadis yang saya sama sekali tidak keberatan dengan aliran (katanya) Buddha yang dianutnya. Singkat cerita, sampailah kami pada obrolan menyangkut keyakinan.
Harap diingat yah, pahamilah tulisanku dengan objektif. Disini aku menghantam hampir semua pemeluk agama yang aku rasa punya keyakinan salah. Termasuk penganut Buddha sendiri yang sering tidak sadar atas kepongahannya mempertahankan pendapat. Padahal jelas, menjelekkan agama orang lain adalah equal dengan gali lubang kubur untuk agama sendiri.
Nah, si gadis M (dari Meitreya) tak ada angin tak ada hujan tiba-biba menyarankan aku singgah ke Vihara Sila Meitreya. "Vin, hari ini kan 'che it' mampir yah ke Vihara SIla Meitreya.....'
"Ada apa di sana' jawabku seenaknya
"Disana yah ada orang.... tapi serius, mendekatkan diri kepada Tuhan, bersembahyang pada yang maha kuasa agar kita senantiasa dilindungi" dia menguraikan.
"Wah.... sembahyang adalah konsentrasi, pemusatan pikiran ke arah yang benar, harusnya tidak boleh terikat pada sesuatu. Karena sembahyang dalam agama Buddha kan semacam terapi untuk melepaskan kemelekatan duniawi. Jangan malah sembahyang kita terikat kepada tempat. Sembahyang dimana saja asal dengan pikiran yang bersih, sama saja...." aku balas menjelaskan dengan serius.
"Beda lah.... karena di sana ada (aku lupa dia sebut apa, tapi nama dengan dialek mandarin)... yang akan memberikan aura kedamaiannya kepada kita"
"Wah, baik bener dia....."
"Kamu bukan dari aliran Meitreya yah....?" dia mulai curiga.
"Aku tidak dari aliran mana-mana, aku religius tapi sedikit atheis...." aku blak blakan saja menguraikan tentang aku dari segi keyakinanku. Aku orang kebanyakan. berapa banyak orang yang benar-benar percaya pada Tuhan saat ini? Lain halnya berapa banyak orang yang menjalankan filsafat dari para filosophi.
"Kamu tahu gak, mengapa melepaskan kemelekatan membuat saya alergi...." dia nyambung lagi topik ini.
"Kalau gak dikasih tahu, mana tahu...." jawabku
"Karena, Sidharta Gautama meninggalkan anak dan istrinya untuk melepaskan kemelekatannya, apakah itu perbuatan baik?
"Jelas itu perbuatan salah..."
"Jadi.... apa jawaban kamu, apakah seorang guru agung memberikan contoh yang salah bagi umatnya? Yang sudah hidup mati meyakininya, tapi dibohonginya dengan perbuatan-perbuatan yang salah? Kita senantiasa disuruh mengikuti perbuatan Buddha... kalau yang dilakukannya salah... bisa jadi janda semua pemeluk Buddha..." kelihatannya dia mulai emosi.
"Aihhhh.... Itu pandangan yang salah adik manis. Sidharta Gautama bergelar Buddha. Yang salah dari uraianmu tadi adalah, bahwa kau menganggab Sidharta Gautama sudah mencapai kesempurnaan sejak dari lahir. Ini salah. Salah besar. Sidharta sebelum mencapai Buddha adalah seorang manusia bodoh yang picik. Benar dia memiliki beberapa tanda-tanda kesempurnaan dari karma baik masa lalunya. Tapi tetap dia manusia. Penuh dengan kekurangan. Tiru apa yang diperbuat Buddha Gautama. Bukan perbuatan Sidharta Gautama. Sidharta sendiri sebelum mencapai Buddha pernah hampir mati konyol karena pongah dan piciknya dia akan keyakinanannya yang salah. Dia tidak sadar bahwa apa yang dilakukannya dengan puasa ektrem selama bertahun tahun bukan menambah pelepasannya pada kemelekatan, justru menimbulkan kemelekatan baru, yaitu kemelekatan pada penolakan pada tubuh jasmani. Akhirnya tubuh disiksa sedemikian rupa, untuk suatu tujuan. Itu kemelekatan. Dalam bentuk yang ekstrem. Karena keinginan untuk mencapai kesempurnaan juga suatu hal yang melekat sebenarnya. Ibaratnya, itu obsesi dia waktu dia remaja, atau laki-laki muda yang dengan picik menyia-nyiakan istri dan anaknya"
"Ha.... kamu bilang Sidharta Gautama picik, dungu, pongah?
"Yah.... sebagai manusia, setiap orang pasti picik, dungu dan ponyah.... Tak terkecuali Sidharta Gautama. Itulah mengapa aku menghormati pencapaian penerangannya. Karena dengan usahanya sendiri yang kadang mirip orang gila, akhirnya pencerahan didapatkannya. Dengan kemauannya sendiri. Yang justru didapatkannya dari pelepasan semua keinginan untuk mencapai penerangannya itu"
"Masih belum ngerti"
"Begini, adik manis. Sidharta menyadari kesalahannya dimasa lalu. Sidharta kalau kita tidak berpikiran secara sempit, kita akan melihat bahwa dia justru mengorbankan kehidupan rumah tangganya seperti sinetron di TV hanya untuk dijadikan contoh yang 'salah' dari apa yang diperbuat seorang manusia. Itu mengapa kemudian setelah menjadi Buddha, Buddha Gautama menerapkan peraturan teramat tegas dalam hal seleksi untuk masuk Sangha. Antara lain, harus ada izin dari keluarga. Tanpa itu, Batal Demi Hukum! Nah.... berarti yang diperbuat dia dulu salah kan.... karena dilarang olehnya di organisasi Sangha bentukannya"
'Terus... terus.... kamu menjelaskan dengan nyeleneh..."
"Yah... itu pandangan benar. Aku menjelaskan dengan pikiranku sendiri. kamu silakan punya pikiran lain. Aku membaca kitab suci, tapi kitab suci itu aku ibaratkan puisi. Bukan apa yang tertulis apa yang diartikan. Tapi selami dengan jiwa dan perasaan serta kesadaranmu. Akan kau dapatkan kebenaran disana."
"Bukankah Sidharta Gautama memang sudah karmanya akan menjadi Buddha?"
"Kau yakin seperti itu? Kalau kau yakin seperti itu, baguslah. Artinya akan semakin jelas Sidharta muda adalah orang bodoh dan picik. Karena kalau sudah dari sononya pasti jadi Buddha. Ngapain susah ninggalin istri cantik, anak montok untuk melepaskan kemelekatan? Tai justru disitu salah satu pengorbanan terbesar. Sangat jarang ada orang tua yang tega meninggalkan darah dagingnya. Apalagi bagi seorang putra mahkota yang sedang bingung. Melihat kerjaannya yang di pegunungan. tak kena laut. Diapit dua kerajaan besar lain. Apa yang bisa diwariskannya untuk rakyatnya? Malang bagi Sidharta saat itu karena dilahirkan dengan kecerdasan diatas rata-rata. Jadinya, dia punya obsesi ingin menjadi raja yang baik. Itulah picik dan pongahnya dia. Dan dia blingsatan ngotot ingin mewariskan sesuatu yang teramat berharga bagi rakyatnya bahkan bagi manusia. Makanya dia tinggalkan istana, keluarga, dicaci maki, kasihan si Rahulla, tak punya ayah lagi. Lalu menyiksa diri, hampir mati.... Bodoh dan sangat menyedihkan. Tapi, sekali lagi, menjalani kebodohan, kepongahan seperti itu secara waras, siapa yang sanggup? Itulah mengapa keegoisannya itu kemudian punya sisi lain yang disebut pengorbanan. Dan Pengorbanannya tidak tanggung-tanggung. Jiwa dan raga dikorbankan. Dan akhrinya karena hampir gagal dan hampir mati. Dia menyadari kekhilafannya. Kebodohannya, kenaifannya, kekurangajarannya... dan disaat dia melupakan itu semua. Pencerahan datang."
"Ohhhhh...."
"Awas, mulutmu masuk lalat...." Aku tertawa, "Lalu, kalau demikian. Cermat memperhatikan. Sidharta manusia. Manusia Buddha. Sidharta Gautama yang remaja sebelum mencapai Buddha tidak semua perbuatannya layak ditiru, bahkan jelas-jelas sia setelah menjadi Buddha menyadari kekeliruannya itu. Dia pernah khilaf. Tapi akhirnya dia juga disempurnakan. Tidak melalui Wahyu yang diberikan Tuhan. Dia mencapai kesadarnnya sendiri dengan dirinya sendiri. Itu yang membuat aku terpesona, entah dengan engkau"
Begitulah obrolan mengenai kepongahan dan kepicikan pikiran. Mungkin banyak yang tidak setuju dengan apa yang saya tulis. Silakan saja. Saya mengutip seadanya karna saya tidak pernah begitu hapal apa itu aturan-aturan. Apa yang harus dilakukan apa yang tidak.
Ingat berbuat baik untuk mendapat imbalan dari Tuhan adalah sebuah kemelekatan menurut aku. Karena kita tidak benar-benar niat. Kasarnya harus ada imbalan dari Tuhan. Kalau tidak untuk apa dilakukan. Beraninya kau.... Sama Tuhanmu sendiri pun kau praktekkan barter.... pikirkanlah. Itu yang harus direnungkan. Bukan yang baik-baik saja.
Semua orang dari agama manapun sudah tahu kok mana yang benar mana yang salah. Atau mana yang dusuka Tuhan, mana yang dibenciNya. Tuhan yang menciptakan semua kan (itu keyakinanmu...)
Manusia lebih superior daripada semut. Lihat bagaimana kebanyakan manusia memperlakukan semut. Lihat bagaimana manusia memperlakukan kecoa. Lihat bagaimana manusia kebanyakan memperlakukan bakteri. Hanya karena kita manusia lebih superior dari pada mereka. Apa semut, kecoa, bakteri tahu yang mereka lakukan tidak baik dan tidak disuka manusia? Alih-alih Tuhan.
Lalu bandingkan dengan manusia. Bila ada sebuah/sebentuk/sewujud/sesosok benda/mahluk yang lebi superior dari manusia, dalam hal ini aku asosiaskan dengan Tuhan, apakah kita juga tahu apa yang disukanya? Apakah kita tahu kita disayangiNya? dikasihiNya? Alih-alih disemprotnya dengan baygon, karena dianggap serangga pengganggu. Yang aku rasakan seperti itu, karena dia ciptakan juga Iblis penggoda yang dalam hal ini setara dengan racun serangga. Karena mencelakan kita.
Dan semua sebutan manis ditujukan padaNya? Maha Pemurah? Maha Pengasih? Maha Adil? Maha Sempurna? Maha Penyayang? Maha Pengampun......
Pesanku satu saja, HATI-HATI TUHANMU TAHU KAMU SEDANG ANGKAT TELORNYA. Tapi dia pasti tahu yah, karena dia kan Maha tahu juga...
Dan apakah aku percaya Tuhan? Apakah hal ini bisa menambah perbuatan baikmu bila kukatakan? AKu percaya Tuhan ada. Tapi tidak seperti Tuhan yang selama ini kau gambarkan. Tuhanku ada dalam pikiranku. Karena kita membentuk gambaran kita sendiri pada Tuhan semau kita. Karena dia adalah abstrak. Tidak ada tetapi ada. Ada tetapi tak ada. Jadi, jangan bayangkan logikamu bisa menyentuh seujung jubah Tuhan. Dia tidak seperti yang kau bayangkan. Kau dikelabuhi pikiranmu sendiri.
Tapi, yah.... No big problem kok, dari pada pikiranmu dipenuhi siasat-siasat kotor menjurus porno. Memang masih lebih baik memikirkan Tuhan.
Salam - Rough