Negeri Yang Kehilangan Bapak
Sabtu, 20 Oktober 2007
Negeri yang dulu bernama Burma ini pernah dikenal sebagai negeri yang kaya alam. Tapi, kini ia seolah kehilangan bapak. [Bagian pertama dari 3 tulisan]
Oleh: Amran Nasution
Hidayatullah.com--Dengan dalih demokrasi, Amerika Serikat terus menekan dan memboikot Myanmar. Tapi Rezim Militer ternyata tambah kuat, rakyat tambah melarat. Padahal Inggris yang menjadikan negeri makmur itu jadi merana.
Gerai permata kelas dunia di pusat Kota London, seperti Harrods, Asprey, Leviev, dan Cartier, pasti menjajakan ruby, permata merah tua itu. Harganya bisa mencapai ratusan ribu foundsterling, dan menjadi koleksi kaum selebriti ternama. Asal tahu saja, semua itu berasal dari perut bumi Myanmar. Negeri inilah penghasil ruby terbaik dunia.
Bukan cuma itu. Sekitar 20% listrik negeri tetangganya, Thailand, dihidupkan gas dari Myanmar. Menurut taksiran perusahaan minyak British Petroleum (BP) akhir tahun lalu, cadangan gas Myanmar yang sudah terbukti (proven) sekitar 19 trilyun kaki kubik. Jumlah itu memang kecil dibanding Indonesia, misalnya. Tapi diduga cadangan yang belum dieksplorasi cukup besar.
Yang pasti, Myanmar sudah dikerubuti perusahaan minyak dari mana-mana. Mulai Petronas (Malaysia), Daewoo International (Korea Selatan), PTTEP (Thailand), CNOOC dan Sinopec (China), ONGC Videsh Ltd (India), Total (Francis), dan Chevron (Amerika Serikat).
Mestinya dengan potensi sumber daya alam seperti itu, Myanmar yang berpenduduk 55 juta jiwa adalah negeri yang makmur. Ternyata tidak. Sampai sekarang badan perdagangan dan pembangunan PBB, UNCTAD, memasukkan Myanmar sebagai salah satu dari 50 negeri miskin dunia bersama Timor Leste, Afghanistan, Salomon Island, Ethiopia, dan banyak negeri Afrika.
Sejak 1962, negeri itu dikuasai militer. Sekarang, ia diperintah sebuah junta dipimpin Jenderal Senior Than Shwe, 74 tahun, yang dikenal dingin, sangat tergantung mistik dan ramalan-ramalan bintang. Tapi yang sesungguhnya membuat negeri ini melarat, ia tak pernah aman, terus-menerus ribut oleh perang saudara. Terlalu banyak air mata dan darah yang telah tumpah. Terakhir, September lalu, peluru tentara kembali mengorbankan rakyat.
Pertengahan Agustus, Junta Militer menaikkan harga minyak sampai 500%. Hal itu menimbulkan protes dari para pendeta Buddha (Biksu). Protes semakin lama membesar karena dukungan rakyat. Pada 26 September lalu, demo di Yangoon diduga diikuti 100.000 orang. Pada saat itulah ribuan polisi dan tentara dikerahkan menghalau mereka. Korban berjatuhan. Pemerintah mengumumkan 10 orang meninggal. Tapi para pengamat curiga jumlah korban jauh lebih besar. Ada yang menduga sampai 200 orang.
Hari-hari berikutnya, tentara meneruskan aksi. Jalan sudah sepi dari demonstran, tapi mereka menggerebek wihara, kampus, dan rumah-rumah. Dengan pengeras suara, para aktivis yang bersembunyi diperintahkan menyerah. Diduga 2000-an aktivis dan pendeta ditangkap dan ditahan Rezim Militer.
Sampai di sini gerakan pro-demokrasi itu seakan kehabisan napas. Apalagi bantuan dari Amerika yang diteriakkan para demontran, tak kunjung datang.
’’Negeri kecil seperti kami ini selalu dipakai tawar-menawar saja di antara kekuatan besar,’’ kata Bo Hla Tint, 63 tahun, dari kantornya di Rockville, kota kecil di Maryland, Amerika Serikat (the Washington Post, 30 September 2007).
Tint adalah aktivis the National Coalition Government of the Union of Burma, semacam pemerintahan pengasingan. Organisasi ini pendukung Aung San Suu Kyi, wanita politisi yang menjadi pemimpin oposisi utama di Myanmar. Putri Jenderal Aung San, pendiri Myanmar itu, sudah 12 tahun dikenakan tahanan rumah di Yangoon. Dia pun mendapat hadiah Nobel Perdamaian pada 1991.
Kentara sekali kekecewaan muncul dari mereka, terutama kepada Amerika Serikat. Dari berbagai pernyataan mereka, tampak harapan yang kuat agar Amerika, sang super power, melakukan aksi konkret – campur tangan militer, misalnya – untuk menjatuhkan rezim yang sewenang-wenang. Ameriksa biasa melakukan itu. Tapi dalam kondisi sekarang, alternatif ini agaknya sesuatu yang tak mungkin dilakukan.
Pertama, militer Myanmar tak bisa dianggap sepele. Jumlah tentaranya sekitar 400.000. Bila dibandingkan rasio penduduk, berarti Myanmar memiliki jumlah tentara terbesar di dunia. Persenjataannya disediakan China, raksasa baru di perbatasan utara. Para pengamat mengatakan China sudah memberi Myanmar bantuan militer 1 milyar dollar. Tambahan lagi, tentara ini sangat terlatih dalam perang gerilya, menumpas berbagai pemberontakan etnis yang nyaris tiada henti sejak Inggris memberi kemerdekaan, 1948.
Selain dengan China, Rezim Militer Myanmar punya hubungan baik dengan India, tetangganya yang lain di sebelah barat. Ketika Minggu, 23 September lalu, puluhan ribu pendeta Buddha, mahasiswa, dan rakyat, berdemo di berbagai kota besar, di ibu kota Naypyitaw, Menteri Perminyakan India Murli Deora, menandatangani kontrak eksplorasi gas dan minyak atas nama ONGC Videsh Ltd, perusahaan BUMN India. Tetangganya yang lain, Thailand, sangat tergantung minyak dan gas Myanmar. Dalam peta geopolitik seperti itu, mana mungkin Amerika berani masuk ke sana. Walau gas dan minyak Myanmar amat menggodanya.
Tambahan lagi, Amerika Serikat tak siap membuat front baru. Ia sudah kerepotan terjebak dalam perang Iraq dan Afghanistan. The International Institute of Strategic Studies, lembaga think-tank terkemuka dalam masalah konflik politik dan militer dari London, dalam laporan tahunan yang dipublikasikan 12 September lalu, menyebutkan bahwa kegagalan dalam Perang Iraq menyebabkan Amerika Serikat kehilangan pengaruh. Akibatnya, lawan-lawannya seperti Iran dan Rusia, menjadi lebih berani, melihat Amerika sekarang hanya sebagai macan kertas.
Mau lebih jelas? Letnan Jenderal Bruce Wright, Panglima Militer Amerika di Jepang, September lalu, mengungkapkan bahwa tertambatnya pasukan militer Amerika Serikat di Iraq selama hampir 5 tahun ini, mengakibatkan pembangunan militernya terbengkalai. Rekrutmen dan peremajaan pasukan dititik-beratkan hanya pada pasukan darat yang dibutuhkan di Iraq atau Afghanistan. Sementara pasukan udara dan laut terabaikan.
Setiap tahun Kongres harus menyediakan dana 150-an milyar dollar untuk perang itu. Jumlah yang sangat menyedot anggaran Pentagon. Akibatnya peralatan tempurnya tak lagi memadai, selain umurnya pun sudah tua.’’Catatan saya, pesawat tempur Angkatan Udara kami belum pernah setua sekarang,’’ kata Wright.
Ia memberi contoh. Pesawat tempur F-15 fighter yang masih memperkuat US Air Forces rata-rata berusia 24 tahun. Sementara KC-135, pesawat pengisi bahan bakar, kebanyakan sudah berumur 46 tahun. Padahal pesawat itu merupakan elemen kunci armada tempur udara untuk misi jarak jauh.
Yang membuat Letnan Jenderal Wright semakin miris, sementara itu China dengan cepat mengembangkan kemampuan tempur dengan berbagai peralatan baru dan canggih. Angkatan Udara China sekarang dilengkapi Sukhoi terbaru buatan Rusia, Su-27 Flankers dan Su-30S. Ada pula pesawat fighter J-10 buatan China sendiri yang diluncurkan Januari lalu.
China sudah membangun sistem pertahanan rudal balistik yang dipersiapkan untuk pertarungan di ruang angkasa. Januari lalu, negeri kaya baru itu melakukan uji coba rudalnya untuk menembak satelit cuaca di ruang angkasa, yang ketinggian orbitnya sama dengan posisi satelit militer Amerika Serikat. Dan sukses. Artinya, sekarang setiap saat China bisa saja menembaki satelit-satelit militer Amerika.
Padahal sistem persenjataan canggih sekarang, amat tergantung informasi satelit. Karenanya uji coba yang dilakukan China sungguh sangat bermakna. ’’Untuk pertama kali dalam sejarah kami melihat negara lain – dalam hal ini China – memiliki peralatan tempur yang lebih baru dari yang kami miliki,’’ kata Letnan Jenderal Wright kepada Kantor Berita Associated Press, akhir September lalu.
Sebetulnya, China masih menenggang rasa pada Washington. Dalam kasus nuklir Korea Utara, misalnya, peran China amat besar dalam melunakkan sikap negeri itu, sehingga bersedia membongkar instalasi nuklirnya. Dalam kasus nuklir Iran, China pun ikut menyetujui resolusi Dewan Keamanan PBB yang memojokkan Iran.
Sikap itu gampang ditebak. Tentu agar Amerika tak ikut memboikot Olimpiade Beijing tahun depan, yang sekarang sedang dikampanyekan sejumlah LSM internasional. Alasannya karena China banyak melanggar HAM. Sekarang balasan atas budi baik itu sudah datang. September lalu, Presiden Bush mengumumkan akan menghadiri Olimpide Beijing 2008.
Dalam kasus Myanmar sikap China berbeda. Awal tahun ini, China bersama Rusia memveto Resolusi Dewan Keamanan PBB usulan Amerika Serikat untuk menjatuhkan sanksi kepada Rezim Myanmar.
Menurut Du Jifeng, analis Myanmar pada the China Academy for Social Sciences, Beijing -- semacam LIPI di sini -- China khawatir jika pemerintah militer sekarang jatuh, akan digantikan Rezim pro-Barat. ’’Di mata Beijing, mempertahankan rezim yang tak populer di perbatasannya, lebih baik daripada melihat rezim itu jatuh, dengan risiko akan digantikan rezim baru yang tak bersahabat,’’ kata Du Jifeng (The Christian Science Monitor, 1 Oktober 2007).
Bagi China, negara tetangga ini tak sebatas patner dagang. Sekarang mereka berencana membangun pipa minyak dari kawasan pantai Myanmar di Teluk Benggala sampai keYunnan, provinsi paling selatan China, di perbatasan kedua negara. Pipa ini akan digunakan mengalirkan minyak impor China dari kawasan Timur Tengah.
Dengan demikian China tak perlu lagi mengangkut minyaknya dengan kapal tanker melewati Selat Melaka yang selain jaraknya jauh, menurut perhitungan sangat rawan bila terjadi konflik dengan Amerika Serikat. Selat yang amat strategis tapi sempit itu secara administratif dikuasai Indonesia, Malaysia, dan Singapore. Tapi menurut pandangan China ketiga negara itu sepenuhnya dikendalikan Amerika Serikat.
Jadi, yang bisa dilakukan Amerika sekarang, adalah melakukan kampanye internasional menyerang pelanggaran HAM yang dilakukan Rezim Militer Myanmar. Tapi masih percayakah dunia kalau Presiden Bush berkampanye tentang perlindungan HAM? Karena perbuatannyalah sudah 700.000 rakyat Iraq meninggal, 4 juta warga kehilangan tempat tinggal, mengungsi ke Syria, Jordania, atau menjadi pengungsi di dalam negeri sendiri. Apa artinya Myanmar? [PenulisPenulis adalah mantan Redaktur GATRA. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta]