• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Renungan Harian... (untuk yang mau membuka hati nuraninya)

Thread ny bagus banget..!! /no1/no1

keep in touch yak,,di tnggu post2 crita lain ny /no1
 
Dimanakah kebahagiaan?

Sudah menjadi dambaan setiap manusia, untuk mencari kebahagiaan dan ketenteraman. Boleh dibilang setiap jerih payah dari sepanjang hari bahkan sepanjang hidup adalah untuk mendapatkan kebahagiaan. Dari setiap orang, setiap keluarga, setiap masyarakat, setiap suku, hingga setiap bangsa, tak ada satu pun yang tak mengharapkan kebahagiaan. Setiap tindak-tanduk dan setiap gerak-gerik, disadari atau tidak, kita ingin menjadi lebih enak dan bahagia. Dalam pikiran apalagi perasaan, terlebih kita ingin bahagia. Demikianlah kodrat setiap manusia dalam mengarungi hidup ini.

Semua ingin bahagia, masalahnya bagaimana agar kita bisa meneguk bahagia sejati dan abadi? Bagaimana agar bahagia yang didapatkan tak berakhir dengan nestapa dan air mata? Ini hal terpenting yang harus kita insafi. Banyak yang beranggapan, kalau bisa mendapatkan apa yang diinginkan tentu berbahagia. Memang benar, namun berapa lama kebahagiaan ini dapat bertahan? Lagi pula di mana ada mendapatkan, di sana akan ada kehilangan. Apa jadinya nanti kalau kita kehilangan sesuatu yang amat disukai itu? Ternyata saat mendapatkan saja kita sudah dicemaskan oleh bayang-bayang kehilangan, di mana kebahagiaan? Begitu tak berdayakah manusia menghadapi kenyataan hidup?

Berpalinglah! Kasih itulah sumber kebahagiaan sejati nan abadi. Kita berbahagia karena dalam hati ada kasih. Kita berbahagia karena kita bisa mengasihi. Kita berbahagia karena dengan kita mengasihi membuat orang lain berbahagia. Kita berbahagia karena senantiasa merasakan rahmat Tuhan yang penuh kasih. Kita berbahagia karena dalam limpahan kasih semua manusia, kita telah hidup dan dibesarkan. Selanjutnya jadilah seorang pengasih yang mulia, engkau akan berbahagia.

Saat mengulurkan tangan membantu orang lain, di sana ada kebahagiaan. Saat kata-katamu mendatangkan ketenangan dan pengharapan, di sana ada kebahagiaan. Dalam kehidupan sehari-hari, di tengah kesibukan cobalah peduli dengan orang-orang di sekeliling. Dengan peduli kita akan mengerti apa yang bisa kita lakukan sebagai wujud kasih kita untuk mereka. Begitu menoleh ke samping kita melihat orang bercucuran keringat dengan bawaan yang berat, sementara kedua tangan kita kosong tanpa bawaan. Tangan dan tenaga kita sedang dibutuhkan, ulurkanlah! Di sana ada kebahagiaan. Melihat orang di rumah letih memasak atau membersihkan rumah, segelas air segar darimu akan mendatangkan kebahagiaan bagi diri dan keluarga, lakukanlah. Saat menerima suguhan minuman, ucapan terima kasih penuh senyuman darimu, pasti mendatangkan kebahagiaan, ucapkanlah dan tersenyumlah. Sungguh, di mana ada kasih, di sana ada kebahagiaan. Di mana ada kasih, di sana ada ketenteraman dan kehangatan. Dunia amat butuh pengasih, semua makhluk butuh kasih. Berikanlah, semakin memberi, engkau akan semakin kaya akan kasih, penuh bahagia. Ternyata kebahagiaan datang bukan karena kita mendapatkan, justru karena kita memberi dan mengasihi. Cobalah, engkau pasti tersenyum bahagia.

Sumber : Kasih Lestari
 
Flower In The Desert
by Loki

A short story from Loki of the Sioux nation approximately 200 years ago. It is said to have been given to her by a medicine man.

This happened many many summers ago.

There was a young flower in the desert where all was dry and sad looking...It was growing by itself...enjoying every day...and saying to the sun "When shall I be grown up"? And the sun would say "Be patient"---Each time I touch you,you grow a little"...And she was so pleased.Because she would have a chance to bring beauty to this corner of sand...And this is all she wanted to do---bring a little bit of beauty to this world.

One day the hunter came by---and stepped on her.---She was going to die---and she felt so sad.Not because she was dying ---but because she would not have a chance to bring a little bit of beauty to this corner of the desert.

The great spirit saw her, and was listening.---Indeed,he said ...She should be living...And he reached down and touched her---and gave her life.

And she grew up to be a beautiful flower...and this corner of the desert became so beautiful because of her.



Dapatkah saya menjadi sekuntum bunga di tengah padang gersang??
Maukah Anda ???
 
The Thief

An old Zen story ...
There was once a very popular Zen master. Due to his virtue & his skillful delivering of sermons, the lecture hall was always full.
There happened to be a thief among his congregation. This man would steal every once in while a during service. Everytime he was caught, the master would counsel him & then ask the congregation to forgive him.

This went on for a while until the congregation got sick of this thief. On one particular day, a head monk representing the congregation issued an ultimatum to the master. Either he expels the thief or the entire congregation would leave.

The master answered, "Then all of you, please leave". He then explained to the shocked crowd, "All of you know that stealing is wrong, but he doesn't. If I don't teach him, who will? This man needs my guidance and my love more than any one of you. If I have to lose all of you to keep him, let this be the case".

The thief was so touched by this that he started to cry. From that day on, he never stole again.

.
.
 
The Scorpion and the Old Man
as told by Henri Nouwen

One morning, after he had finished his meditation, the old man opened his eyes and saw a scorpion floating helplessly in the water. As the scorpion was washed closer to the tree, the old man quickly stretched himself out on one of the long roots that branched out into the river and reached out to rescue the drowning creature. As soon as he touched it, the scorpion stung him.

Instinctively the man withdrew his hand. A minute later, after he had regained his balance, he stretched himself out again on the roots to save the scorpion. This time the scorpion stung him so badly with its poisonous tail that his hand became swollen and bloody and his face contorted with pain.

At that moment, a passerby saw the old man stretched out on the roots struggling with the scorpion and shouted: "Hey, stupid old man, what's wrong with you? Only a fool would risk his life for the sake of an ugly, evil creature. Don't you know you could kill yourself trying to save that ungrateful scorpion?"

The old man turned his head. Looking into the stranger's eyes he said calmly, "My friend, just because it is the scorpion's nature to sting, that does not change my nature to save."

.
.
 
POLEMIK TUHAN

Apakah Tuhan ada? Harus ditulis dengan huruf besar atau huruf kecil? Benarkah Tuhan merefleksi dalam bentuk seperti Nirvana? Lalu, mengapa, apa dan bagimana sebenarnya makanya kita memerlukan Tuhan?

Tak cukup 3 kelompok kitab yang kita kenal dengan Tri Pitaka. Tak satupun yang menyiratkan tentang Tuhan. Malahan kita berulang-ulang diingatkan oleh Sidharta Gautama untuk jangan gampang/mudah percaya pada pikiran yang membohongi kita. Ada orang bersaksi melihat Dewi Kwam Im, ada pula yang bersaksi pernah berjumpa dengan Jesus, hanya tidak diceritakan apakan setelah berjumpa mereka singgah ke kedai kopi, bersopan santun atau bersapa ramah laksana dua orang sahabat lama. Atau bahkan banyak yang mati pun rela untuk mengklaim Buddha Meitreya sudah lahir.

Dan, apakah perjumpaan mereka laksana guru dengan murid, atau Peterpan dengan fansnya. Atau Dewi Persik dengan penjawil payudaranya. Tak jelas. Itu yang dimaksudkan Sidharta Gautama. Pikiran manusia mengelabui padangannya. Sesuatu yang diyakini secara salah terus menerus, akhirnya tidak lagi dirasakasn menjadi kesalahan.

Lalu, di bagian atas aku membaca tentang Tuhan yang baik. Adakah? Atau Tuhan yang jahat? Atau Tuhan yang pengasih dan penyayang, atau Tuhan yang tampan rupawan? Bagaimana ini? Inilah kesalahan pandangan yang bisa dengan sarkas aku bilang, pandangan salah, pemikiran salah.

BAGAIMANA KAU BISA TAHU SIFAT TUHAN, BILA SIFATMU SENDIRI KAU TAK TAHU? BAGIMANA KAU BISA MENGERTI APA YANG DIINGINKAN TUHAN, BILA UNTUK MENGERTI KEINGINAN ORANG TUAMU SAJA KAMU TAK BISA.

Udah jelas kau dilarang orang tuamu memasuki agama 'anu' yang tidak seiman dengan agamamu. Tapi kau ngotot juga. Karna kau berkilah menemukan Tuhan di sana. Dan bagimana pula kau bisa menghargai Tuhan, bila wakilnya di bumi ini (orang tuamu) tidak bisa kau hargai?

Saya bertindak atas pemikiran sendiri. Terus terang saya orang yang muak dengan apa yang disebut ajaran 'Meitreya'. Agama Buddha tapi menjelek-jelekan ajaran Buddha. Agama Buddha tapi mempunyai mahluk aneh yang diberi gelar mewah "Tuhan". Agama Buddha tapi dalam kesehariannya sering mengkritik kebijakan-kebijakan Sidarta Gautama.

Blak-blakan saja, saya pernah mencoba memacari seorang gadis yang saya sama sekali tidak keberatan dengan aliran (katanya) Buddha yang dianutnya. Singkat cerita, sampailah kami pada obrolan menyangkut keyakinan.

Harap diingat yah, pahamilah tulisanku dengan objektif. Disini aku menghantam hampir semua pemeluk agama yang aku rasa punya keyakinan salah. Termasuk penganut Buddha sendiri yang sering tidak sadar atas kepongahannya mempertahankan pendapat. Padahal jelas, menjelekkan agama orang lain adalah equal dengan gali lubang kubur untuk agama sendiri.

Nah, si gadis M (dari Meitreya) tak ada angin tak ada hujan tiba-biba menyarankan aku singgah ke Vihara Sila Meitreya. "Vin, hari ini kan 'che it' mampir yah ke Vihara SIla Meitreya.....'

"Ada apa di sana' jawabku seenaknya

"Disana yah ada orang.... tapi serius, mendekatkan diri kepada Tuhan, bersembahyang pada yang maha kuasa agar kita senantiasa dilindungi" dia menguraikan.

"Wah.... sembahyang adalah konsentrasi, pemusatan pikiran ke arah yang benar, harusnya tidak boleh terikat pada sesuatu. Karena sembahyang dalam agama Buddha kan semacam terapi untuk melepaskan kemelekatan duniawi. Jangan malah sembahyang kita terikat kepada tempat. Sembahyang dimana saja asal dengan pikiran yang bersih, sama saja...." aku balas menjelaskan dengan serius.

"Beda lah.... karena di sana ada (aku lupa dia sebut apa, tapi nama dengan dialek mandarin)... yang akan memberikan aura kedamaiannya kepada kita"

"Wah, baik bener dia....."

"Kamu bukan dari aliran Meitreya yah....?" dia mulai curiga.

"Aku tidak dari aliran mana-mana, aku religius tapi sedikit atheis...." aku blak blakan saja menguraikan tentang aku dari segi keyakinanku. Aku orang kebanyakan. berapa banyak orang yang benar-benar percaya pada Tuhan saat ini? Lain halnya berapa banyak orang yang menjalankan filsafat dari para filosophi.

"Kamu tahu gak, mengapa melepaskan kemelekatan membuat saya alergi...." dia nyambung lagi topik ini.

"Kalau gak dikasih tahu, mana tahu...." jawabku

"Karena, Sidharta Gautama meninggalkan anak dan istrinya untuk melepaskan kemelekatannya, apakah itu perbuatan baik?

"Jelas itu perbuatan salah..."

"Jadi.... apa jawaban kamu, apakah seorang guru agung memberikan contoh yang salah bagi umatnya? Yang sudah hidup mati meyakininya, tapi dibohonginya dengan perbuatan-perbuatan yang salah? Kita senantiasa disuruh mengikuti perbuatan Buddha... kalau yang dilakukannya salah... bisa jadi janda semua pemeluk Buddha..." kelihatannya dia mulai emosi.

"Aihhhh.... Itu pandangan yang salah adik manis. Sidharta Gautama bergelar Buddha. Yang salah dari uraianmu tadi adalah, bahwa kau menganggab Sidharta Gautama sudah mencapai kesempurnaan sejak dari lahir. Ini salah. Salah besar. Sidharta sebelum mencapai Buddha adalah seorang manusia bodoh yang picik. Benar dia memiliki beberapa tanda-tanda kesempurnaan dari karma baik masa lalunya. Tapi tetap dia manusia. Penuh dengan kekurangan. Tiru apa yang diperbuat Buddha Gautama. Bukan perbuatan Sidharta Gautama. Sidharta sendiri sebelum mencapai Buddha pernah hampir mati konyol karena pongah dan piciknya dia akan keyakinanannya yang salah. Dia tidak sadar bahwa apa yang dilakukannya dengan puasa ektrem selama bertahun tahun bukan menambah pelepasannya pada kemelekatan, justru menimbulkan kemelekatan baru, yaitu kemelekatan pada penolakan pada tubuh jasmani. Akhirnya tubuh disiksa sedemikian rupa, untuk suatu tujuan. Itu kemelekatan. Dalam bentuk yang ekstrem. Karena keinginan untuk mencapai kesempurnaan juga suatu hal yang melekat sebenarnya. Ibaratnya, itu obsesi dia waktu dia remaja, atau laki-laki muda yang dengan picik menyia-nyiakan istri dan anaknya"

"Ha.... kamu bilang Sidharta Gautama picik, dungu, pongah?

"Yah.... sebagai manusia, setiap orang pasti picik, dungu dan ponyah.... Tak terkecuali Sidharta Gautama. Itulah mengapa aku menghormati pencapaian penerangannya. Karena dengan usahanya sendiri yang kadang mirip orang gila, akhirnya pencerahan didapatkannya. Dengan kemauannya sendiri. Yang justru didapatkannya dari pelepasan semua keinginan untuk mencapai penerangannya itu"

"Masih belum ngerti"

"Begini, adik manis. Sidharta menyadari kesalahannya dimasa lalu. Sidharta kalau kita tidak berpikiran secara sempit, kita akan melihat bahwa dia justru mengorbankan kehidupan rumah tangganya seperti sinetron di TV hanya untuk dijadikan contoh yang 'salah' dari apa yang diperbuat seorang manusia. Itu mengapa kemudian setelah menjadi Buddha, Buddha Gautama menerapkan peraturan teramat tegas dalam hal seleksi untuk masuk Sangha. Antara lain, harus ada izin dari keluarga. Tanpa itu, Batal Demi Hukum! Nah.... berarti yang diperbuat dia dulu salah kan.... karena dilarang olehnya di organisasi Sangha bentukannya"

'Terus... terus.... kamu menjelaskan dengan nyeleneh..."

"Yah... itu pandangan benar. Aku menjelaskan dengan pikiranku sendiri. kamu silakan punya pikiran lain. Aku membaca kitab suci, tapi kitab suci itu aku ibaratkan puisi. Bukan apa yang tertulis apa yang diartikan. Tapi selami dengan jiwa dan perasaan serta kesadaranmu. Akan kau dapatkan kebenaran disana."

"Bukankah Sidharta Gautama memang sudah karmanya akan menjadi Buddha?"

"Kau yakin seperti itu? Kalau kau yakin seperti itu, baguslah. Artinya akan semakin jelas Sidharta muda adalah orang bodoh dan picik. Karena kalau sudah dari sononya pasti jadi Buddha. Ngapain susah ninggalin istri cantik, anak montok untuk melepaskan kemelekatan? Tai justru disitu salah satu pengorbanan terbesar. Sangat jarang ada orang tua yang tega meninggalkan darah dagingnya. Apalagi bagi seorang putra mahkota yang sedang bingung. Melihat kerjaannya yang di pegunungan. tak kena laut. Diapit dua kerajaan besar lain. Apa yang bisa diwariskannya untuk rakyatnya? Malang bagi Sidharta saat itu karena dilahirkan dengan kecerdasan diatas rata-rata. Jadinya, dia punya obsesi ingin menjadi raja yang baik. Itulah picik dan pongahnya dia. Dan dia blingsatan ngotot ingin mewariskan sesuatu yang teramat berharga bagi rakyatnya bahkan bagi manusia. Makanya dia tinggalkan istana, keluarga, dicaci maki, kasihan si Rahulla, tak punya ayah lagi. Lalu menyiksa diri, hampir mati.... Bodoh dan sangat menyedihkan. Tapi, sekali lagi, menjalani kebodohan, kepongahan seperti itu secara waras, siapa yang sanggup? Itulah mengapa keegoisannya itu kemudian punya sisi lain yang disebut pengorbanan. Dan Pengorbanannya tidak tanggung-tanggung. Jiwa dan raga dikorbankan. Dan akhrinya karena hampir gagal dan hampir mati. Dia menyadari kekhilafannya. Kebodohannya, kenaifannya, kekurangajarannya... dan disaat dia melupakan itu semua. Pencerahan datang."

"Ohhhhh...."

"Awas, mulutmu masuk lalat...." Aku tertawa, "Lalu, kalau demikian. Cermat memperhatikan. Sidharta manusia. Manusia Buddha. Sidharta Gautama yang remaja sebelum mencapai Buddha tidak semua perbuatannya layak ditiru, bahkan jelas-jelas sia setelah menjadi Buddha menyadari kekeliruannya itu. Dia pernah khilaf. Tapi akhirnya dia juga disempurnakan. Tidak melalui Wahyu yang diberikan Tuhan. Dia mencapai kesadarnnya sendiri dengan dirinya sendiri. Itu yang membuat aku terpesona, entah dengan engkau"

Begitulah obrolan mengenai kepongahan dan kepicikan pikiran. Mungkin banyak yang tidak setuju dengan apa yang saya tulis. Silakan saja. Saya mengutip seadanya karna saya tidak pernah begitu hapal apa itu aturan-aturan. Apa yang harus dilakukan apa yang tidak.

Ingat berbuat baik untuk mendapat imbalan dari Tuhan adalah sebuah kemelekatan menurut aku. Karena kita tidak benar-benar niat. Kasarnya harus ada imbalan dari Tuhan. Kalau tidak untuk apa dilakukan. Beraninya kau.... Sama Tuhanmu sendiri pun kau praktekkan barter.... pikirkanlah. Itu yang harus direnungkan. Bukan yang baik-baik saja.

Semua orang dari agama manapun sudah tahu kok mana yang benar mana yang salah. Atau mana yang dusuka Tuhan, mana yang dibenciNya. Tuhan yang menciptakan semua kan (itu keyakinanmu...)

Manusia lebih superior daripada semut. Lihat bagaimana kebanyakan manusia memperlakukan semut. Lihat bagaimana manusia memperlakukan kecoa. Lihat bagaimana manusia kebanyakan memperlakukan bakteri. Hanya karena kita manusia lebih superior dari pada mereka. Apa semut, kecoa, bakteri tahu yang mereka lakukan tidak baik dan tidak disuka manusia? Alih-alih Tuhan.

Lalu bandingkan dengan manusia. Bila ada sebuah/sebentuk/sewujud/sesosok benda/mahluk yang lebi superior dari manusia, dalam hal ini aku asosiaskan dengan Tuhan, apakah kita juga tahu apa yang disukanya? Apakah kita tahu kita disayangiNya? dikasihiNya? Alih-alih disemprotnya dengan baygon, karena dianggap serangga pengganggu. Yang aku rasakan seperti itu, karena dia ciptakan juga Iblis penggoda yang dalam hal ini setara dengan racun serangga. Karena mencelakan kita.

Dan semua sebutan manis ditujukan padaNya? Maha Pemurah? Maha Pengasih? Maha Adil? Maha Sempurna? Maha Penyayang? Maha Pengampun......

Pesanku satu saja, HATI-HATI TUHANMU TAHU KAMU SEDANG ANGKAT TELORNYA. Tapi dia pasti tahu yah, karena dia kan Maha tahu juga...

Dan apakah aku percaya Tuhan? Apakah hal ini bisa menambah perbuatan baikmu bila kukatakan? AKu percaya Tuhan ada. Tapi tidak seperti Tuhan yang selama ini kau gambarkan. Tuhanku ada dalam pikiranku. Karena kita membentuk gambaran kita sendiri pada Tuhan semau kita. Karena dia adalah abstrak. Tidak ada tetapi ada. Ada tetapi tak ada. Jadi, jangan bayangkan logikamu bisa menyentuh seujung jubah Tuhan. Dia tidak seperti yang kau bayangkan. Kau dikelabuhi pikiranmu sendiri.

Tapi, yah.... No big problem kok, dari pada pikiranmu dipenuhi siasat-siasat kotor menjurus porno. Memang masih lebih baik memikirkan Tuhan.

Salam - Rough
 
Sumpah Teratai (Pemuda Megha dan Seorang Gadis)

--------------------------------------------------------------------------------

Dikutip dari buku Jalur Tua Awan Putih (Jilid 2), Bab 36 hal 66, karya Y.A.Thicht Nhat Hanh.


Putri Yasodhara mengundang Buddha, Kaludayi, Nagasamala dan ibu ratu untuk makan bersama di istananya. Setelah mereka selesai makan, dia lalu mengundang mereka untuk menemaninya pergi ke sebuah desa kecil miskin tempat ia bekerja dengan anak anak. Rahula juga bergabung dengan mereka. Yasodhara memandu mereka menuju pohon jambu air tua tempat Buddha mengalami meditasi pertama-Nya ketika masih kecil. Bhagava heran betapa kejadian itu serasa baru terjadi kemarin padahal dua puluh tujuh tahun sudah berlalu. Pohon itu tumbuh jauh lebih besar selama sekian puluh tahun.

Atas permintaan Yasodhara, banyak anak miskin berkumpul di sekitar pohon itu. Yasodhara memberitahukan Bhagava bahwa anak anak yang pernah dijumpai Beliau puluhantahun silam sekarang sudah pada menikah dan punya keluarga masing-masing. Anak anak yang ada dibawah pohon berusia antara tujuh hingga dua belas tahun. Ketika melihat Buddha tiba mereka berhenti bermain lalu membentuk dua baris untuk Beliau berjalan ditengahnya. Sebelumnya Yasodhara sudah menunjukkan mereka cara menyalami Bhagava. Mereka menaruh sebuah kursi bambu khusus di bawah pohon untuk Bhagava dan menghamparkan tikar untuk alas duduk Ratu Gotami, YAsodhara, dan dua orang bhikkhu itu.

Buddha merasa bahagia duduk di sana. Beliau mengenang kembali hari hari yang pernah dilalui-Nya bersama anak anak miskin desa Uruvela. Beliau menceritakan kepada anak anak itu tentang Svasti, si gembala kerbau dan Sujata, gadis remaja yang memberi-Nya susu segar. Beliau membabarkan tentang menumbuhkembangkan hati yang penuh cinta kasih dengan cara memperdalam pengertian. Selain itu, Beliau juga menuturkan kepada mereka kisah tentang menyelamatkan seekor angsa dari sepupu laki laki-Nya yang memanah jatuh angsa itu. Anak anak mendengarkan semua uraian Bhagava dengan penuh ketertarikan.

Buddha mengisyaratkan RAhula untuk duduk dihadapan-Nya. Lalu beliau menceritakan anak anak itu sebuah kisah kehidupan lampau.

"Dahulu kala, hiduplah seorang pemuda bernama Megha di kaki pegunungan himalaya. Dia adalah pemuda yang baik dan rajin. Kendati tak punya uang, dengan penuh keyakinan pergilah dia ke ibukota untuk belajar. Dia hanya berbekal sebatang tongkat untuk berjalan, sebuah topi, sekendi air, pakaian yang dikenakannya, serta sebuah mantel. Sepanjang perjalanan, ia berhenti dan bekerja di ladang untuk mendapatkan nasi dan terkadang uang. Sewaktu tiba di ibukota Divapati, dia sudah mengumpulkan uang setara lima ratus rupee."

"Ketika dia memasuki kota, tampaknya penduduk sedang mempersiapkan suatu perayaan penting. Ingin tahu perayaan apa, ia pun melihat ke sekeliling guna mencari orang untuk ditanyai. Pada saat itu, melintaslah seorang gadis cantik di hadapannya. Gadis itu sedang memegang sebuah karangan bunga teratai yang setengah mekar."

Megha bertanya kepadanya, "Numpang tanya dik, ada perayaan apakah hari ini?"

GAdis itu menjawab, "Engkau pasti orang asing di Divapati, kalau bukan, engkau pasti tahu hari ini Guru yang tercerahkan, Dipankara sudah datang. Beliau dikatakan bagaikan sebuah obor yang menerangi jalan bagi semua makhluk. Beliau adalah putra Raja Arcimat yang berkelana mencari Jalan Sejati dan telah menemukan-Nya. Jalan beliau menerangi seantero dunia sehingga masyarakat menyelenggarakan perayaan ini untuk menghormati beliau."

Megha sangat gembira mendengar kehadiran seorang Guru yang telah Tercerahkan. Ingin sekali ia mempersembahkan sesuatu untuk Guru itu dan memohon menjadi murid-Nya. Bertanyalah ia kepada gadis itu, "Seharga berapakah engkau beli bunga bunga teratai itu ?"

GAdis itu menatap Megha dan dengan mudah dapat melihat bahwa ia adalah seorang pemuda yang cerdas yang penuh perhatian. Gadis itu menjawab, "Aku hanya membeli lima tangkai itu saja. Dua tangkainya lagi aku petik dari kolam di rumahku sendiri."

Megha bertanya, "Berapa uang yang engkau keluarkan untuk lima tangkai itu ?"

"Lima ratus rupee."

Megha meminta untuk membeli lima tangkai teratai dengan lima ratus rupeenya untuk dipersembahkan ke Guru Dipankara. Tapi gadis itu menolak dengan berkata, "Aku membeli bunga untuk dipersembahkan kepada Beliau. Aku tidak bermaksud untuk menjualnya kepada orang lain."

Megha mencoba membujuknya. "Tetapi engkau kan masih bisa mempersembahkan dua tangkai yang engkau petik dari kolammu sendiri. Mohon ijinkanlah aku membeli lima tangkai. Aku ingin mempersembahkan sesuatu untuk Guru. Sungguh satu kesempatan langka yang sangat berharga dapat menjumpai Guru sekaliber itu dalam kehidupan ini juga.Aku ingin menemui Beliau dan bahkan memohon untuk menjadi murid-Nya. Jika engkau mengijinkan aku membeli lima tangkai terataimu itu, aku akan sangat berterima kasih kepadamu untuk seluruh sisa hidupku."

Gadis itu menatap ke tanah dan tidak menjawab.
 
Megha membujuknya. "Jika engkau mengijinkan aku untuk membeli lima tangkai teratai itu, aku akan melakukan apa saja yang kau pinta."

GAdis itu tampak tersipu sipu malu. Lama dia tidak mengangkat pandangannya dari tanah. Akhirnya ia pun berkata, "Aku tidak tahu jodoh apa yang terjalin di antara kita dikehidupan lampau. Yang jelas, aku jelas jatuh cinta kepadamu pada pandangan pertama. Kujumpai banyak pemuda namun belum pernah hatiku bergetar seperti ini. Akan kuberikan teratai teratai ini kepadamu untuk dipersembahkan kepada Yang Tercerahkan, tapi hanya jika engkau berjanji kepadaku bahwa di dalam kehidupan ini dan kehidupan kehidupan kita selanjutnya, aku akan menjadi istrimu."

Dia mengucapkan kata kata tersebut dengan tergesa gesa sehingga setelah selesai hampir saja ia kehabisan nafas. Megha tak tahu apa yang harus dikatakannya. Setelah hening sejenak dia pun berkata, "Engkau sangat istimewa dan jujur sekali. Waktu melihatmu, aku pun merasakan sesuatu yang khusus dalam hatiku. Tapi aku mencari jalan menuju pembebasan. Jika menikah, tak akan bebas kutelusuri jalur itu saat kesempatan yang tepat menampakkan diri."

GAdis itu menjawab, "Berjanjilah bahwa aku akan menjadi istrimu dan aku bersumpah ketika tiba waktunya bagi dirimu untuk mencari jalurmu, aku tak akan mencegahmu pergi. Sebaliknya, aku akan melakukan segala yang kumampu untuk membantumu sepenuhnya mencapai pencerahanmu."

Dengan bahagia Megha menerima usulannya dan bersama berangkatlah mereka mencari Guru Dipankara. Massa begitu padat sehingga mereka hampir tidak dapat melihat Beliau di depan sana. Walaupun hanya dapat memandang wajah Beliau sekilas saja, tapi sudah cukup bagi Megha untuk mengetahui bahwa Beliau benar benar adalah Yang Tercerahkan. Megha merasakan kegembiraan yang luar biasa dan bersumpah bahwa suatu hari dirinya pun akan mencapai pencerahan tersebut. Ingin sedekat mungkin ia menghampiri agar dapat mempersembahkan Guru Dipankara bunga teratai, tapi mustahil baginya untuk bergerak maju melalui lautan manusia. Tak tahu apa yang harus dilakukan, ia pun melemparkan bunga bunga itu ke arah Guru Dipankara. Secara ajaib sekali teratai-teratai itu mendarat tepat di tangan sang Guru. Megha begitu gembira melihat betapa ketulusan hatinya terbukti. Gadis itu meminta Megha untuk melemparkan bunganya ke arah sang Guru. Gua tangkai teratai itu juga mendarat di tangan sang Guru. Guru Dipankara berseru, meminta pihak yang mempersembahkan bunga teratai untuk menampakan diri. Massa membelah diri memberikan jalan untuk Megha dan gadis itu. Megha menggandeng tangan sang gadis. Bersama mereka membungkuk hormat di hadapan Guru Dipankara. Sang Guru menatap Megha lalu berkata, "Aku memahami ketulusan hatimu, dapat kulihat engkau memiliki keteguhan hati yang besar untuk menelusuri jalur spiritual guna mencapai penerangan sempurna dan menyelamatkan semua makhluk. Berbahagialah, Suatu hari dalam kehidupan mendatang, engkau akan mencapai sumpahmu."

Setelah itu Guru Dipankara memandang gadis itu yang sedang berlutut di sisi Megha dan berkata kepadanya, "Engkau akan menjadi sahabat terdekat Megha dalam kehidupan ini maupun banyak kehidupan mendatang.Ingatlah untuk menepati janjimu. Engkau akan membantu suamimu merealisasikan sumpahnya."

MEgha dan gadis itu tersentuh mendalam sekali oleh kata kata Sang Guru. Mereka membaktikan diri untuk mempelajari jalur menuju pembebasan yang diajarkan oleh Yang Tercerahkan, Dipankara.

"Anak anak, dalam kehidupan ini dan banyak kehidupan selanjutnya. Megha dan gadis itu hidup sebagai suami istri. Sewaktu sang suami harus pergi guna menelusuri jalur spiritualnya, si istri membantunya dalam segala cara yang ia mampu. Tak pernah ia mencoba mencegahnya. Oleh sebab itu, dia merasakan syukur yang paling dalam kepada istrinya. Akhirnya, berhasillah ia merealisasikan sumpahnya dan menjadi manusia yang mencapai penerangan sempurna, seperti yang diramalkan Guru Dipankara di banyak kehidupan sebelumnya."

"Anak anak, uang dan kemasyhuran bukanlah yang terpenting dalam kehidupan. Uang dan kemasyhuran bisa hilang cepat sekali. Pengertian dan cinta kasih adalah hal yang terpenting dalam kehidupan. Jika kalian memiliki pengertian dan cinta kasih, kalian akan tahu kebahagiaan. Berkat pengertian dan cinta kasih masing-masing, Megha dan istrinya saling berbagi kebahagiaan di banyak kehidupan. Dengan pengertian dan kasih sayang, tiada yang tak bisa kalian selesaikan."

Yasodhara beranjali dan membungkuk hormat kepada Bhagava. Dia begitu tersentuh hingga menitikkan air mata. Ia tahu meskipun Bhagava menuturkan kisah itu kepada anak anak, tetapi sesungguhnya kisah itu secara khusus ditujukan kepada dirinya. Itu adalah cara Beliau menghaturkan terima kasih kepada dirinya. Ratu Gotami menatap Yasodhara. Dia pun paham mengapa Bhagava menceritakan kembali kisah ini. Dia lalu meletakkan tangannya ke atas pundak menantunya dan berkata kepada anak-anak, "Tahukah kalian siapa Megha dalam kehidupan ini? Beliau adalah Buddha. Dalam kehidupan kali ini. Beliau menjadi orang yang mencapai penerangan sempurna. Dan tahukah kalian siapa istri Megha dalam kehidupan kali ini ? Dia tak lain tak bukan adalah Putri Yasodhara kalian. Berkat pengertiannya, Pangeran Siddharta bisa menelusuri jalurnya dan mencapai kebangkitan. Sudah sepantasnya kita menghaturkan terima kasih kepada Yasodhara.

Lama sudah anak anak mengasihi Yasodhara. Sekarang mereka berpaling ke arahnya lalu membungkuk hormat kepadanya untuk menyatakan seluruh kasih yang ada di dalam lubuk hati mereka. Buddha tersentuh secara mendalam. Setelah itu, Beliau bangkit berdiri dan dengan perlahan berjalan kembali ke vihara diikuti bhikkhu Kaludayi dan Nagasamala.
 
Renungan Harian? Bagi yang mau membuka hati nuraninya.

Siapkah kita membuka hati nurani kita? pakai pisau bedah atau pake laser? dimana letaknya? kasat matakah? sudah ketemukah kuncinya?

Kenyataan hidup hari-hari belakangan ini semakin mencampakkan kita jauh dari apa-apa yang ada di kitab suci. Pada akhirnya kita dihempaskan pada batu padas kenyataan. Hidup ini tidak seperti kisah si burung pipit. Kita juga bukan murid langsung dari guru Zen. Kita adalah generasi milenium yang berkutak dengan kecanggihan teknologi dan tekergantungan pada apa yang disebut Internet.

Kemudian bagimana caranya menarik agar threat ini bisa kembali terkerek ke atas? Aku membayangkannya dengan pertarungan lagu-lagu Top Ten America yang semakin diserobot oleh penjualan musik digital. Atau rating sinetron anu yang jauh menejit dulu, terhempas ke bawah sekarang.

Jadi, apa yang aku tawarkan untuk menjadi renungan kita hari ini?

Bagimana dengan kenyataan hidup. Bagaimana dengan fakta bahwa banyak hal tidak sempurna yang kadang kita tampik karena kita terlanjur sangat terikat padanya.

Aku membicarakan ajaran Buddha. yang sekarang sudah berpinak-pinak menjadi bermacam sekte yang kadang, tak jarang saling serang hanya karena yang mengajarkannya orang yang berbeda.

Aku pernah bertemu dengan beberapa ustadz dari saudara-saudara yang Moeslim. Biasalah bila 4 lawan satu, apalagi 'masih' Buddha perlu disudutkan sedikit, dengan harapan semoga bisa pindah keyakinan.

Masalahnya adalah, penyembah berhala.

Lazim dan capek untuk menjelaskan bahwa penganut Buddha tidak menyembah siapa-siapa. Tuhan saja kita tidak sembah, apalagi patung buatan manusia? Lalu bagimana dengan arca-arca, rupang-rupang yang mewujudkan sosok Buddha, Bohisatva dan dewa yang banyak dipraktekkan umat Buddha?

1. menghormati berbeda dengan menyembah.
2. lihat dulu umat Buddhanya. apakah penganut Buddha KTP atau penganut Buddha yang memang benar-benar berani lantang bersuara ehipasiko?

Lantas mengapa patung harus dihormati? karena kita menganggapnya sebagai perwujudan orang suci itu sendiri. Bukankah itu sama dengan menyembah? Lebih jauh lagi, umat Buddha memanfaatkannya sebagai objek meditasi. Pusat kesadaran. Lantas apakah ini salah? jawab sendiri deh... ini akan bersifat sangat subjektif jawabannya.

Kemudian dengan penganut Buddhanya. Memang banyak kok penganut Buddha yang dalam hatinya, karena ketidak tahuannya ternyata sangat melekat dengan pahatan-pahatan, hasil industri yang dibentuk dalam bentuk orang suci atau dewa. Miminta perlindungan, mengharap berkah, pada seonggok patung/arca dengan percaya sepenuhnya, seperti umat lain meminta kepada Tuhan. Hanya yang ini berwujud, yang di sana tidak berwujud.

Tentu saja penjelasan seperti itu sukar diterima saudara-saudara dari penganut agama lain. Desakan-desakan dan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya hanya karena ketidak-tahuan, akhirnya berubah menjadi perasaan menyudutkan bagiku.

Dan aku tiba-tiba berujar kilat.

"Bukannya penganut Islam yang menyembah berhala?"

"?^(*THGJHUI$%*&()_)_()*^$$ED#@##"

Maksudnya begini, dari dua buah kejadian yang terpisah terjadi. Patung-patung Buddha raksasa di Afganistan sukses dihancurkan rezim Taliban. Adakah umat Buddha yang melakukan protes? Atau adakah tindakan anarkis yang mengatasnamakan Buddha dalam hal ini?

Para seniman di Denmark membuat karikatur Nabi Muhammad. Seluruh dunia bergolak. Protest keras, embargo. Stop barnag Denmark dsb....

Lalu, siapa yang menyembah berhala?

-------------------------------------------------------------------------

Kembali kepada ide awal renungan hari ini. Kenyataan. Fakta. Apa adanya. Hidup.
Berapa banyak dari kita yang sanggup menerima kenyataan? Berapa banyak dari kita yang berani dan dapat menerima fakta? Berapa banyak dari kita yang sanggup berbicara apa adanya? Bukan ada apanya? Berapa banyak dair kita yang menyadari bahwa inilah hidup yang dijelaskan panjang lebar oleh Sang Buddha sendiri?

Kita tidak mengotak-atik agama. Kita tidak mengotak-atik ajaran. Sebagai manusia biasa. Agama dan ajaran-ajaran orang suci adalah mutiara yang sebaiknya memang tidak usah diotak-atik lagi. Kita terjun diforum ini, mungkin untuk saling mengingatkan, untuk saling berinteaksi, untuk saling berteman, untuk bertukar pikiran, saling melengkapi atau mungkin saling mencerahkan. Dan, yang menjadi kapasitas kita disini adalah, apa-apa yang dilakukan penganut/umat dari ajaran agama, terutama ajaran Buddha. Jadi, kelakuaan orang yang mengaku murid Buddha. Bukan ajaran Buddhanya.

Dan kenyataan, fakta atau kebenaran. Seringnya menyakitkan.

Betapa sering kita salah menilai Sidharta Gautama sebelum menjadi Buddha sama dengan setelah dia menjadi Buddha? Betapa sering hal itu justru dijadiakan senjata untuk menjatuhkan sebuah ajaran yang luhur?

Berapa banyak dari kita yang lebih memilih diam dan tidak memikirkan apa-apa yang sebenarnya mengganjal asas keadilannya? Sidharta Gautama meninggalkan anak dan istrinya, untuk seuatu impian yang belum jelas baginya saat itu, pencerahan.

Sebagai umat yang berumah tangga, itu salah. Itu contoh yang buruk. Itu kenyataannya. Sidharta Gautama juga berbuat salah. Banyak yang tidak terima. Kenyataan pahit yang sebenarnya menyejukkan kalau kita membuka sedikit lagi hati nurani kita.

Sidharta tahu perbuatannya salah kok. Dan dia berani menanggung resiko disalahkan jutaan mungkin milyaran orang untuk sebuah keyakinan dan impian yang diambilnya. Resiko dicemooh sebagai orang tidak bertanggung jawab. Resiko sebagai laki-laki kurang ajar.

Dan, pilihan teramat berat itulah kebenarannya. Berapa orang yang mau melakukan pengrobanan sedemikian besar untuk tujuan 'nyeleneh' mencapai kesempurnaan? menjadi Buddha? Dianggap orang gila mungkin. Jamaknya laki-laki meninggalkan anak istrinya karena ada cewek lain, kalah judi, tak mau bertanggung jawab atau memang dasarnya sudah rusak.

Dan disini karena alasan yang diambil, posisi Sidharta menjadi unik.

Dan kembali ke akar ide renungan hari ini. Kenyataan ini, tidak semua orang bisa menerima. Aku sendiri kadang tidang terima. Jangan tanya perasaan Yasodara....

Dan, hidup masih saja berputar, bergelinding, memelintir siapa saja dengan liukan-liukan mautnya. Dan kadang membuai hingga terlintas pikiran hidup ini indah.

Setalah kesempurnaan dicapainya, dia justru jalan keliling keliling pohon bodhi beberapa kali beberapa hari... capek deh.... seperti orang gila saja kan?

Kenyataannya, sanggupkah kita menerima anggapan 'orang gila'?

Dan setelah akhirnya diajarkan kepada umat manusia, justru diingat-ingatkan terus dengan 'ehipasiko'.

Seperti orang plin plan saja. Dia sendiri tidak yakin dengan yang dipercayainya.

Pengertiannya... itulah kebenaran, itulah kenyataan. Dia tidak ingin bullshit. Dia tidak mengharapkan pujian. Dia tidak mengharapkan umat yang banyak. Dia juga tidak mengharapkan apa-apa lagi. Selain membabarkan Dharma, yang baik di awal, baik di tengah dan baik di akhir.
 
I died from the mineral and became a plant;
I died from the plant, and reappeared in an animal;
I died from the animal and became a man;
Wherefore then should I fear?
When did I grow less by dying?
Next time I shall die from the man,
That I may grow the wings of angels.
From the angel, too, must I seek advance;
All things shall perish save His face
Once more shall I wing my way above the angels;
I shall become that which entereth not the imaginations.
Then let me become naught, naught, for the harp string crieth unto me,
Verily unto Him do we return...

(by Jalai Al-Din)
 
thanks Dilbert untuk
postingan "Sumpah Teratai"-nya

itu episode (dari Old path white cloud) yang paling sering saya ceritakan ulang kepada adik2 di tempat kami.

ngomong2 memang ada versi bahasa Indonesianya ya? (sorry saya betul-betul ngak tahu)
ada ngak dalam e-books (pdf) untuk saya refer ke temen2.

sekali lagi thanks kepada semua yang bisa bantuin..
 
THE ELEPHANT AND THE RAT
An elephant was enjoying a dip in a Jungle pool when a rat came up to insist that he get out.
“I won’t,” said the elephant.
“I insist you get out this minute,” said the rat.
“Why?”
“I shall tell you that only after you are out of the pool.”
“Then I won’t get out.”
But he finally lumbered out of the pool, stood in front of the rat and said, "Now then, why did you want me to get out of the pool?”
“To check if you were wearing my swimming trunks,” said the rat.


Sang Gajah dan Si Tikus.
Seekor gajah tengah menikmati dirinya dengan berendam dalam suatu kolam di tengah hutan, saat si tikus datang dan memaksanya untuk ke luar.
"Tidak mau," kata Sang Gajah.
"Saya katakan kepadamu untuk keluar sekarang juga." si tikus memaksa."
"Ada apa?"
"Saya hanya akan jelaskan sesudah kamu keluar dari kolam."
"Kalau demikian, saya tidak akan ke luar."
Namun akhirnya Sang Gajah memanjat ke luar dari kolam, dan berdiri di depan si tikus dan berkata, "Sekarang katakan mengapa kamu meminta saya ke luar dari kolam?"
"Untuk memastikan kamu tidak memakai celana renangku, "jawab si tikus.


Adalah lebih mudah bagi seekor gajah untuk memakai celana renang tikus dari pada kita memahami Ke-Budhaan.

Adalah lebih mudah untuk menertawakan si tikus.
Adalah tidak mudah untuk tidak menjadi seekor tikus.

...
 
THE ELEPHANT AND HIS OLD BLIND MOTHER

Long ago, in the hills of the Himalayas near a lotus pool, the Buddha was once born as a baby elephant. He was a magnificent elephant, pure white with feet and face the color of coral. His trunk gleamed like a silver rope and his ivory tusks curled up in a long arc.

He followed his mother everywhere. She plucked the tenderest leaves and sweetest mangoes from the tall trees and gave them to him. "First you, then me," she said. She bathed him in the cool lotus pool among the fragrant flowers. Drawing the sparkling water up in her trunk, she sprayed him over the top of his head and back until he shone. Then filling his trunk with water, he took careful aim and squirted a perfect geyser right between his mother's eyes. Without blinking, she squirted him back. And back and forth, they gleefully squirted and splashed each other. Splish! Splash!

Then they rested in the soft muck with their trunks curled together. In the deep shadows of afternoon, the mother elephant rested in the shade of a rose-apple tree and watched her son romp and frolic with the other baby elephants.

The little elephant grew and grew until he was the tallest and strongest young bull in the herd. And while he grew taller and stronger, his mother grew older and older. Her tusks were yellow and broken and in time she became blind. The young elephant plucked the tenderest leaves and sweetest mangoes from the tall trees and gave them to his dear old blind mother. "First you, then me," he said.

He bathed her in the cool lotus pool among the fragrant flowers. Drawing the sparkling water up in his trunk, he sprayed her over the top of her head and back until she shone. Then they rested in the soft muck with their trunks curled together. In the deep shadows of afternoon, the young elephant guided his mother to the shade of a rose-apple tree. Then he went roaming with the other elephants. One day a king was hunting and spied the beautiful white
elephant. "What a splendid animal! I must have him to ride upon!" So the king captured the elephant and put him in the royal stable. He adorned him with silk and jewels and garlands of lotus flowers. He gave him sweet grass and juicy plums and filled his trough with pure water.

But the young elephant would not eat or drink. He wept and wept, growing thinner each day. "Noble elephant," said the king, "I adorn you with silk and jewels. I give you the finest food and the purest water, yet you do not eat or drink. What will please you?" The young elephant said, "Silk and jewels, food and drink do not make me happy. My blind old mother is alone in the forest with no one to care for her. Though I may die, I will take no food or water until I give some to her first."

The king said, "Never have I seen such kindness, not even among humans. It is not right to keep this young elephant in chains." Free, the young elephant raced through the hills looking for his mother. He found her by the lotus pool. There she lay in the mud, too weak to move. With tears in his eyes, he filled his trunk with water and sprayed the top of her head and back until she shone. "Is it raining?" she asked. "Or has my son returned to me?" "It is your very own son!" he cried. "The king has set me free!" As he washed her eyes, a miracle happened. Her sight returned. "May the king rejoice today as I rejoice at seeing my son again!" she said.

The young elephant then plucked the tenderest leaves and sweetest mangoes from a tree and gave them to her. "First you, then me."
 
Agama artinya tidak kacau balau. Memeluk agama berarti berusaha untuk menghindari kekacauan jiwa/rohani. Kalau semakin beragama semakin kacau. Lebih baik lepas jubah agama, dan intropeksi diri, semoga kekacauan bisa reda.
 
THE DEVIL AND HIS FRIEND

The devil went for a walk with a friend. They saw a man ahead of them stoop down and pick up something from the ground.
“What did that man find?” asked the friend.
“A piece of Truth,” said the devil.
“Doesn’t that disturb you?” asked the friend.
“No,” said the devil, “I shall let him make a belief out of it.”
A religious belief is a signpost pointing the way to Truth. When you cling to the signpost you are prevented from moving towards the Truth because you think you have it already.


Mara tengah berjalan dengan seorang sahabatnya. Mereka melihat seorang pria di depan mereka yang tengah berjongkok dan memungut sesuatu dari tanah.
"Apa yang ditemukan pria tersebut?" tanya si teman kepada mara.
"Sekeping kebenaran," jawab si Mara.
"Tidakkah itu mengusikmu?" tanya si teman.
"Tidak," kata mara, "Saya malah harus membuat itu menjadi kepercayaannya."
Kepercayaan (agama) adalah suatu papan rambu yang menunjukkan arah menuju kebenaran. pada saat kita melekat kepada rambu tersebut, anda akan terhalang untuk bergerak maju ke arah kebenaran, karena Anda mengira telah memilikinya.


..
 
DANDELIONS

A man who took great pride in his fawn found himself with a large crop of dandelions.
He tried every method he knew to destroy them. Still they plagued him.

Finally he wrote the Department of Agri-culture. He enumerated all the things he had tried and closed his letter with the question: “What shall I do now?”

In due course the reply came: “We suggest you learn to love them.”

I was proud of my lawn but I too was plagued with dandelions that I kept fighting with every means in my power. So learning to love them was no easy task. I began by talking to them each day. Cordial. Friendly. They maintained a sullen silence. They were smarting from the war I had waged against them—and were suspicious of my motives. But the day came when they smiled. And relaxed. And we started to be friends.

My lawn, of course, was ruined. But how attractive my garden became!




He was becoming blind by degrees. And he fought it with every means in his power.
When medicine gave out, he fought it with his emotions. It took courage to say, “I suggest you learn to love your blindness.”
At first he would have nothing to do with it. And when he eventually brought himself to speak to his blindness his words were bitter. But he kept on speaking till the bitterness became resignation and tolerance and acceptance and, one day, much to his own surprise, friendliness... and love.
Then came the day when he was able to put his arm around his blindness and say, “I love you.” That was the day I saw him smile again.
His vision, of course, was lost forever. But how attractive his face became!

from: THE SONG OF THE BIRD
Anthony de Mello S. J.
 
semoga semua makhluk bisa menerima kenyataan...dan mulai berubah ke jalan yang lebih baik..

Mereka yang berlatih dengan benar akan mencapai penerangan,
tetapi mereka yang salah, akan jatuh. Seperti halnya, O Baginda, ketika sebatang pohon mangga digoncang, maka buah yang
tangkainya kuat tetap bertahan tak terganggu,
sedangkan yang tangkainya busuk akan jatuh ke tanah."

tanya sang raja :"Kalau begitu, tidakkah para bhikkhu tersebut jatuh karena ajaran tersebut?"

jawaban Y.M nagasena :"Dapatkah seorang tukang kayu yang membiarkan kayu tergeletak saja tanpa
melakukan apapun mengharapkan kayu tersebut lurus dan dapat bermanfaat?"

jawaban sang raja :'Tidak, Yang Mulia."

Y.M Nagasena : "Demikian juga, O Baginda, dengan hanya mengamati para muridnya saja Sang Tathagata tidak dapat membuka
mata mereka yang sudah siap untuk melihat,Tetapi dengan menyingkirkan mereka.yang salah menangkap ajaran,
Beliau menyelamatkan mereka yang sudah siap untuk diselamatkan. Dan karena
kesalahan diri sendirilah maka mereka yang berpikiran jahat terjatuh."

hanya diri sendirilah yang dapat menolong diri sendiri.
walau terbentang dengan jelas dhamma yang agung di depan mata...tapi jika hanya di amati dan masih memegang pandangan bodoh..maka diri sendiri yang akan terjatuh.

-------------------------------------------------

22. Perkataan Sang Buddha yang Sempurna
"Yang Mulia Sariputta siswa utama berkata, 'Sang Tathagata itu sempurna dalam berkata-kata. Tidak ada kesalahan dalam perkataan Sang
Tathagata. Mengenai perkataanNya, Beliau tidak perlu harus berhati-hati dengan tujuan agar orang lain
tak akan melihat kesalahannya.' ( D. iii. 217 ).
Jadi mengapa Sang Buddha menggunakan kata-kata yang kasar dan keras terhadap Sudinna si Kalanda dan menyebutnya orang bodoh?" (Vin. iii. 20)


"Itu semua bukan dengan kekasaran, O Baginda raja, tetapi semata-mata untuk menunjukkan kepadanya, dengan cara yang tidak merugikan
dia, tentang sifat tingkah lakunya yang tolol dan ceroboh. Jika orang dalam kelahiran ini tidak dapat mencapai pemahaman tentang Empat
Kesunyataan Mulia, maka hidupnya sia-sia belaka.
Sang Buddha menggunakan kata-kata kebenaran, dan bukannya melebih-lebihkan mengingatkan orang lain semata-mata
untuk menghancurkan penyakit ketidakbajikan. Kata-kata Beliau,
meskipun dengan nada yang keras, melunakkan kesombongan orang dan membuat mereka rendah hati. Kata-kata Beliau penuh dengan kasih sayang dan dimaksudkan agar bermanfaat. Sama
seperti kata-kata seorang ayah pada anaknya."

---------------------------------------------------------------------

44. Jalan Kuno
"Disabdakan oleh Sang Buddha, 'Sang Tathagata adalah penemu jalan yang tidak
diketahui sebelumnya' (S. iii. 66; S.i. 190). Tetapi Beliau juga bersabda,
'Sekarang Aku telah memahami, O para bhikkhu, jalan kuno yang telah ditempuh
oleh para Buddha sebelumnya.' (=Jalan menuju Nibbana, S. ii. 105) Ini juga
merupakan masalah yang bersisi dua."
"Karena jalan kuno yang ditunjukkan oleh para Buddha sebelumnya itu telah
lama hilang dan tidak diketahui oleh siapapun, baik manusia maupun dewa,
maka Sang Buddha bersabda, 'Sang Tathagata adalah penemu jalan yang tidak
diketahui sebelumnya.' Dan meskipun jalan tersebut telah
hancur, tidak lagi dapat dilalui dan hilang dari pandangan - tetapi Sang
Tathagata, setelah memperoleh pengetahuan yang mendalam, melihat dengan mata
kebijaksanaanNya bahwa itulah jalan yang juga digunakan oleh para Buddha
sebelumnya. Dan karena itulah Sang Buddha berkata, 'Sekarang, Aku
telah memahami, O para bhikkhu, jalan kuno yang telah ditempuh oleh para
Buddha sebelumnya.' Sama seperti jika ada orang yang telah membuka rimba dan
membebaskan sebidang tanah, tanah itu disebut tanahnya meskipun ia tidak
membuat tanah itu."
 
The Monkey Lesson
from The Chuang Tzu

An arrogant prince took his friends on a boat trip to an island famous for its monkeys; but as the royal boat docked, the monkeys - with one exception - fled in terror and hid.

The one monkey who had not fled put on an extraordinary show of agility for the visitors. He swung through the branches, leaping and twirling in the most graceful way.

The prince drew his bow and shot an arrow at the monkey; but the animal caught the arrow in mid-flight.

The prince would not be twarted by such an ostentatious monkey; and so he ordered his guards to kill the monkey with all deliberate speed. Immediately a hail of arrows pierced the monkey who fell dead at the prince's feet. Then the prince turned to his companion, Yen Bu, "You see what happens to fools who advertise their cleverness. He wanted to be noticed, to stand out from all the others of his kind. Creatures who crave such attention soon get more than they bargained for."

Yen Bu considered the monkey's actions and his fate and the prince's contemptuous words. As soon as he returned home he approached a holy man and asked to be accepted as his disciple. "I seek the humble life," he said, "the life of one who does not perform for others and therefore does not have to rely upon their approval and generous natures - which they may not possess. I seek to find my happiness within myself; and when I find it I will regard it as a treasured gem and keep it safely hidden."

Yen Bu found his happiness within himself and in keeping it hidden, he kept himself out of sight, too. Everyone belived that he had to be a great man since he so easily shunned the court. And surely, they thought, he must have gained a great fortune to be so independent of royal patronage. Everywhere he went, people were in awe of him and sought to touch the hem of his robe. Without trying, he had acquired the mystique of greatness.

..
 
THE FIRST PRECEPT: REVERENCE FOR LIFE

Aware of the suffering caused by the destruction of life,
I undertake to cultivate compassion and learn ways to protect the lives of people, animals, plants, and minerals.
I am determined not to kill, not to let others kill, and not to condone any act of killing in the world, in my thinking, and in my way of life.



THE SECOND PRECEPT: GENEROSITY

Aware of the suffering caused by exploitation, social injustice, stealing, and oppression,
I undertake to cultivate loving kindness and learn ways to work for the well-being of people, animals, plants, and minerals.
I undertake to practice generosity by sharing my time, energy, and material resources with those who are in real need.
I am determined not to steal and not to possess anything that should belong to others.
I will respect the property of others,
but I will prevent others from profiting from human suffering or the suffering of other species on Earth.



THE THIRD PRECEPT: SEXUAL RESPONSIBILITY

Aware of the suffering caused by sexual misconduct,
I undertake to cultivate responsibility and learn ways to protect the safety and integrity of individuals, couples, families, and society.
I am determined not to engage in sexual relations without love and a long- term commitment.
To preserve the happiness of myself and others,
I am determined to respect my commitments and the commitments of others.
I will do everything in my power to protect children from sexual abuse and to prevent couples and families from being broken by sexual misconduct.



THE FOURTH PRECEPT: DEEP LISTENING AND LOVING SPEECH

Aware of the suffering caused by unmindful speech and the inability to listen to others,
I vow to cultivate loving speech and deep listening in order to bring joy and happiness to others and relieve others of their suffering.
Knowing that words can create happiness or suffering,
I vow to learn to speak truthfully, with words that inspire self-confidence, joy, and hope.
I am determined not to spread news that I do not know to be certain and not to criticize or condemn things of which I am not sure.
I will refrain from uttering words that can cause division or discord, or that can cause the family or the community to break.
I will make all efforts to reconcile and resolve all conflicts, however small.



THE FIFTH PRECEPT: DIET FOR A MINDFUL SOCIETY

Aware of the suffering caused by unmindful consumption,
I vow to cultivate good health, both physical and mental,
for myself, my family, and my society by practicing mindful eating, drinking and consuming.
I vow to ingest only items that preserve peace, well-being and joy in my body, in my consciousness, and in the collective body and consciousness of my family and society.
I am determined not to use alcohol or any other intoxicant or to ingest foods or other items that contain toxins, such as certain TV programs, magazines, books, films and conversations.
I am aware that to damage my body or my consciousness with these poisons is to betray my ancestors, my parents, my society and future generations.
I will work to transform violence, fear, anger and confusion in myself and in society by practicing a diet for myself and for society.
I understand that a proper diet is crucial for self-transformation and for the transformation of society.


(Thich Nhat Hanh)


.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.