• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

"The Life Of Buddha"

40645_150285374981627_100000004961322_501533_4127112_n.jpg


KISAH MENDAMAIKAN KERABAT SANG BUDDHA

Kapilavatthu, kota suku Sakya dan Koliya, kota suku Koliya, terletak di sisi – sisi sungai Rohini. Petani kedua kota bekerja di ladang yang diairi oleh sungai tersebut. Suatu tahun mereka memperoleh hujan yang tidak cukup sehingga padi serta hasil panen lainnya mulai layu.

Petani di kedua sisi sungai ingin mengalirkan air dari sungai Rohini ke ladang mereka masing – masing. Penduduk Koliya mengatakan bahwa air sungai itu tidak cukup untuk mengairi dua sisi, dan jika mereka dapat melipatgandakan aliran air ke ladang mereka, barulah itu akan cukup untuk mengairi padi sampai menguning.

Pada sisi lain, penduduk Kapivatthu menolak hal itu, apabila mereka tidak mendapatkan air, dapat dipastikan hasil panen mereka akan gagal, dan mereka akan terpaksa membeli beras orang lain.

Mereka mengatakan bahwa mereka tidak siap membawa uang dan barang – barang berharga ke seberang sungai untuk ditukar dengan makanan.

Kedua pihak menginginkan air untuk kebutuhan mereka masing – masing sehingga tumbuh keinginan jahat. Mereka saling memaki dan menantang. Pertengkaran antar petani itu sampai didengar oleh para menteri negara masing – masing dan mereka melaporkan kejadian tersebut kepada penguasa masing – masing dan orang – orang di kedua sisi sungai siap bertempur.

Sang Buddha melihat sekeliling dunia dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, mengetahui kerabat – kerabat Beliau pada kedua sisi sungai akan bertempur, Beliau memutuskan untuk mencegahnya.

Seorang diri Sang Buddha ke tempat mereka dengan melalui udara, dan segera berada di tengah sungai. Kerabat – kerabat Beliau melihat Sang Buddha, dengan penuh kesucian dan kedamaian duduk di atas mereka, melayang di udara. Mereka meletakkan senjatanya ke samping dan menghormat kepada Sang Buddha.

Kemudian Sang Buddha berkata pada mereka, : "Demi keperluan sejumlah air, yang sedikit nilainya, kalian seharusnya tidak mengorbankan hidupmu yang jauh sangat berharga dan tak ternilai. Kenapa kalian melakukan tindakan yang bodoh ini ?

Jika Tathagata tidak menghentikan kalian hari ini, darah kalian akan mengalir seperti air di sungai sekarang, kalian hidup dengan saling membenci; kalian akan menderita karena kekotoran batin tetapi Tathagata sudah bebas darinya; kalian berusaha memiliki kesenangan hawa nafsu, tetapi Tathagata tidak mencarinya lagi"

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini : ”Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara orang – orang yang membenci; di antara orang – orang yang membenci, kita hidup tanpa benci.

Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa penyakit di antara orang – orang yang berpenyakit; di antara orang – orang yang berpenyakit, kita hidup tanpa penyakit. Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa keserakahan di antara orang – orang yang serakah; di antara orang – orang yang serakah, kita hidup tanpa keserakahan.

Banyak orang pada waktu itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dharma berakhir.
 
62162_163101723699992_100000004961322_580666_6115752_n.jpg

Kematian Raja Suddhodana

Lima Tahun kemudian setelah Sang Buddha meninggalkan Kapilavatthu, Beliau kembali mengunjungi ayahnya Raja Suddhodana, yang sedang sakit parah. Raja Suddhodana sangat bahagia ketika melihat Sang Buddha lagi dan merasa lebih baik. Sang Buddha mengetahui bahwa Raja hendak mangkat dalam watu dekat dan dengan tekun memberikan khotbah kepada ayah-Nya dan setelah mendengarkan khotbah tersebut Raja Suddhodana mencapai tingkat Arahat. Tujuh hari setelah menikmati kedamaian Nibbana, Raja Suddhodana wafat. Semua orang merasa sangat sedih.
 
47343_159117510765080_100000004961322_555181_8068285_n.jpg


Waktu berlalu, Pangeran Siddharta yang telah mencapai ke-Buddha-an datang berkunjung ke Kapilavatthu, bersemayam di Nigrodharama (Taman Banyan), ketika itu Raja Suddhodana telah mangkat. Mendengar kabar kedatangan Sang Buddha, Maha Pajapati Gotami, bersama-sama dengan lima ratus wanita datang menemui Sang Buddha dan memohon kepada Beliau supaya wanita dapat ditahbiskan menjadi bhikkhuni, dan mengajukan permohonan,
"Yang mulia, akan menjadi baik, apabila seorang wanita diijinkan untuk meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata."

Tanpa menjelaskan alasan-Nya, Sang Buddha langsung menolak, dengan berkata,
"Cukup, O Gotami, jangan mengajukan permohonan supaya wanita meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata."

Untuk kedua dan ketiga kalinya Maha Pajapati Gotami mengulangi permohonannya, Sang Buddha tetap memberikan jawaban yang sama.

Kemudian, ketika Sang Buddha sedang berada di Kapilavatthu dalam perjalannya menuju Vesali, Beliau tinggal di sana pada waktu yang sesuai, saat itu Beliau berada di Mahavana (Hutan Besar) di Ruang Kutagara (Ruang Menara).

Ketika itu Maha Pajapati Gotami telah mencukur rambutnya, mengenakan jubah kuning, dengan lima ratus wanita pengikutnya, dalam perjalanan menuju Vesali, mereka tiba di Ruang Kutagara, Mahavana. Maha Pajapati Gotami dengan kaki yang bengkak, penuh dengan debu, amat berduka, sangat sedih dan penuh airmata, berdiri dengan menangis di depan pintu masuk ruangan. Yang Mulia Ananda menemui mereka yang sedang menangis dan menanyakan mengapa mereka amat berduka, kemudian beliau menemui Sang Buddha dan berkata,
"Lihatlah, Yang Mulia, Maha Pajapati Gotami berdiri di luar pintu, dengan kaki yang bengkak, tubuh yang berdebu dan amat sedih. lzinkanlah wanita meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci, dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Buddha. Adalah baik, Yang Mulia, kalau wanita diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci."

"Cukup, Ananda, jangan meminta agar wanita meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci, dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata", jawab Sang Buddha.

Untuk kedua dan ketiga kalinya, Yang Mulia Ananda atas nama para wanita memohon kepada Sang Buddha, tetapi Beliau tetap tidak mengizinkan.

"Yang Mulia, apakah wanita mempunyai kemampuan, apabila mereka meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, dapat mencapai Tingkat Kesucian Sotapanna, Sakadagami, Anagami, mencapai Arahat?"

Sang Buddha menjawab, bahwa mereka mampu untuk mencapai Tingkat-tingkat Kesucian.

Mendengar jawaban Sang Buddha ini, Yang Mulia Ananda mencoba untuk membujuk Yang Maha Sempurna dengan berkata,
"Kalau demikian, Yang Mulia, mereka mampu untuk mencapai Tingkat Kesucian. Maha Pajapati Gotami telah memberikan pengorbanan yang besar kepada Yang Mulia, sebagai ibu asuh, perawat dan memberikan susunya, ia menyusui ketika ibu Yang Mulia meninggal dunia. Yang Mulia, adalah baik apabila wanita diijinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata."

Akhirnya, setelah Yang Mulia Ananda mengajukan permohonan berkali-kali, Sang Buddha lalu berkata,
"Ananda, kalau Maha Pajapati Gotami mau menerima Delapan Peraturan Utama, ia harus melaksanakan peraturan ini sebagai persyaratan penahbisannya. Peraturan-peraturan ini harus dihormati, dijaga, dihargai, dijunjung tinggi selama hidupnya, dan tidak boleh dilanggar."

Yang Mulia Ananda lalu menyampaikan hal ini kepada Maha Pajapati Gotami, ia dengan gembira menerima Delapan Peraturan Utama. Dengan diterimanya persyaratan ini, secara otomatis ia sudah menerima Penahbisan Tertinggi, menjadi bhikkhuni.

Maha Pajapati Gotami adalah wanita yang pertama kali diterima dalam pasamuan Bhikkhuni. Wanita yang lain diterima ke dalam pasamuan setelah Maha Pajapati Gotami, oleh para bhikkhu sesuai peraturan yang telah diajarkan Sang Buddha.
 
154987_177771842232980_100000004961322_689483_6898302_n.jpg

Ratu Khema

Khema berasal dari keluarga yang berkuasa di Desa Sagala, Magadha. Ia sangat cantik, kulitnya berwarna kuning kemasan. Kecantikan Khema tersebut membuat Raja Bimbisara meminang Khema dan menjadikannya sebagai permaisuri.



Ratu Khema, amat memuji kecantikan wajahnya. Namun ia pernah mendengar bahwa Sang Buddha mengatakan bahwa kecantikan bukan hal yang utama, dan karena itu Ratu Khema menghindar untuk berjumpa dengan Sang Buddha. Raja Bimbisara mengerti sikap Ratu Khema terhadap Sang Buddha, ia juga mengetahui betapa isterinya ama mengakui kecantikan wajahnya, lalu meminta pengarang lagu untuk menciptakan sebuah lagu yang isinya memuji keindahan hutan Veluvana. Lagu itu kemudian dinyanyikan oleh para penyanyi terkenal.



Ketika Ratu Khema mendengar lagu tersebut menjadi penasaran karena hutan Veluvana yang digambarkan sebagai suatu tempat yang indah itu belum pernah ia dengar dan lihat sendiri.



“Kalian bernyanyi tentang hutan yang mana?” tanya Ratu Khema kepada para penyanyi.



“Paduka Ratu, kami bernyanyi tentang hutan Veluvana.” Jawab mereka.



Setelah mendengar lagu dari penyanyi tersebut Ratu Khema lalu menjadi ingin sekali mengunjungi hutan Veluvana.



Sang Buddha yang pada saat itu sedang berkumpul membabarkan Dhamma kepada murid-muridNa, mengetahui kedatangan Ratu Khema, lalu Sang Buddha menciptakan bayangan seorang wanita muda yang amat cantik, berdiri disampingNya.



Ketika Ratu Khema mendekat, ia melihat bayangan wanita muda yang amat cantik, ia berpikir, “Yang saya ketahui Sang Buddha selalu berkata bahwa kecantikan bukanlah hal yang paling utama. Tetapi disisi Sang Buddha sekarang berdiri seorang wanita yang kecantikannya luar biasa. Saya belum pernah melihat wanita secantik ini”, ucap ratu Khema dengan kagum. Ratu Khema tidak mendengarkan kata-kata yang diucapkan Sang Buddha, pandangannya hanya tertuju kepada bayangan wanita cantik di sisi Sang Buddha.



Sang Buddha mengetahui bahwa Ratu Khema ama serius memperhatikan bayangan wanita cantik itu, lalu Sang Buddha mengubah bayangan wanita muda yang amat cantik itu perlahan-lahan menjadi wanita tua, berubah terus sampai akhirnya yang tersisa hanyalah setumpuk tulang belulang. Ratu Khema yang memperhatikan semua itu lalu berkesimpulan, “Pada suatu saat nanti, wajah yang mudah dan cantik itu akan berubah menjadi tua, rapuh lalu mati. Ah, semua ini bukan kenyataan!”



Sang Buddha mengetahui apa yang ada dalam pikirannya, lalu berkata, “Khema, inilah kenyataan perubahan dari kecantikan wajah. Sekarang lihatlah semua kenyataan ini.”



Sang Buddha lalu mengucapkan syair, Khema, lihatlah paduan unsur-unsur ini, berpenyakit, penuh kekotoran dan akhirnya membusuk. Tipu daya dan kemelekatan adalah keinginan orang bodoh”.



Ketika Sang Buddha selesai mengucapkan syair ini Ratu Khema mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sottapana). Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, “Khema, semua makhluk di dunia ini, hanyut dalam nafsu indria, dipenuhi oleh rasa kebencian, diperdaya oleh khayalan, mereka tidak dapat mencapai pantai bahagia, tetapi hanya hilir mudik di tepi sebelah sini saja”.



Sang Buddha lalu mengucapkan syair, “Mereka yang bergembira dengan nafsu indera, akan jatuh ke dalam arus (kehidupan), seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri. Tetapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu, mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria”. (Dhammapada, Tanha Vagga No. At)



Setelah Sang Buddha selesai mengucapkan syairnya, Khema mencapai Tingkat Kesucian Arahat. Sang Buddha lalu berkata kepada Raja Bimbisara.



“Bagaimana, Khema lebih baik meninggalkan keduniawian ataukah mencapai nibbana?



Raja Bimbisara menjawab, “Yang Mulia, izinkanlah ia memasuki Sangha Bhikkhuni, jangan dulu mencapai nibbana!”



Khema meninggalkan keduniawian dan menjadi salah satu murid Sang Buddha yang terkemuka.


“Bagaimana, Khema lebih baik meninggalkan keduniawian ataukah mencapai nibbana?



Raja Bimbisara menjawab, “Yang Mulia, izinkanlah ia memasuki Sangha Bhikkhuni, jangan dulu mencapai nibbana!”



Khema meninggalkan keduniawian dan menjadi salah satu murid Sang Buddha yang terkemuka.
 
181728_150285004981664_100000004961322_501529_8094155_n.jpg



Dikisahkan pada zaman Sang Buddha, seorang bhikkhu bernama Pindola Bharadvaja, ketika pulang ke vihara setelah pindapata, melihat suatu sayembara. Seorang hartawan asal Rajagaha ingin mengetahui apakah masih ada seorang pertapa atau brahmana yang dapat menunjukkan kesaktiannya. Hartawan itu mengikat sebuah bokor cendana di atas tiang bambu. Barang siapa yang dapat mengambil bokor cendana itu tanpa menyentuh tiang bambu itu, boleh memilikinya. Sudah beberapa hari berlalu tapi belum ada satupun dari para petapa yang datang dapat memiliki bokor itu. Hartawan tersebut menjadi kecewa dan bermaksud ingin menutup sayembara karena berpikir tidak ada orang sakti di dunia ini. Bhikkhu Pindola Bharadvaja tiba di tempat itu dan dengan kekuatan gaibnya beliau terbang ke angkasa dan mengambil bokor tersebut. Selanjutnya, beliau kembali menunjukkan kekuatan gaibnya dengan terbang mengitari Rajagaha tiga kali. Semua orang kagum dan membicarakan di mana-mana. Peristiwa tersebut menjadi topik pembicaraan para bhikkhu di vihara.

Sang Buddha mendengar suara penduduk yang ramai bertepuk tangan. Beliau bertanya kepada Yang Mulia Ananda : ."Ananda, kepada siapakah mereka sedang bertepuk tangan?"

Yang Mulia Ananda menjawab : "Pindolabharadvaja telah terbang ke udara dan mengambil mangkuk yang terbuat dari kayu cendana merah dan penduduk bertepuk tangan untuknya."

Sang Buddha lalu memanggil Yang Mulia Pindolabharadvaja untuk menghadap dan berkata : "Apakah benar engkau telah melakukan seperti yang telah dilaporkan?"

"Benar, Yang Mulia."

"Bharadvaja, mengapa engkau melakukan hal ini?"


Sang Buddha lalu menegur dan menyuruhnya memecahkan mangkuk tersebut menjadi potongan-potongan kecil dan menyerahkan potongan-potongan kayu tersebut kepada para bhikkhu untuk digiling dan dijadikan bubuk kayu cendana. Kemudian Sang Buddha menetapkan peraturan yang melarang para bhikkhu menunjukkann kekuatan supranatural kepada perumah tangga. Beliau mengatakan bahwa seorang bhikkhu yang menunjukkan kekuatan supranatural kepada umat awam ibarat seorang wanita, demi sedikit uang, menunjukkan bagian-bagian tubuhnya yang memalukan di depan publik.



Dalam Vinayapitaka, Sang Buddha juga menetapkan peraturan bagi para bhikkhu bahwa barang siapa mengaku memiliki kesaktian padahal tidak memilikinya maka bhikkhu tersebut harus meninggalkan kebhikkhuan (Sangha). Namun demikian, bagi yang memang memiliki dan mempertunjukkannya kepada perumah-tangga akan dikenakan sanksi dukkata dan harus mengakui kesalahannya kepada bhikkhu lain. Jelaslah Sang Buddha sendiri tidak menginginkan para bhikkhu memamerkan kesaktian walaupun memilikinya.

Untuk hal ini, Sang Buddha mengatakan bahwa:
Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, keberuntungan dan kebahagiaan dapat dicapai

Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, kematian dapat dicegah

Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, roda samsara dapat dihentikan.

Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, kesucian dapat diperoleh.

Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, penderitaan akan berakhir.

Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, pembebasan dapat direalisasikan.
 
67535_171788699497961_100000004961322_644190_5615062_n.jpg


Raja Bimbisara segera menemui Sang Buddha dan mendiskusikan pertanyaan tentang pertunjukan kemampuan batin oleh Sang Buddha dan para bhikkhu. Sang Buddha lalu berjanji bahwa Beliau sendiri akan mempertunjukkan suatu mukjizat dan mengatakan kepada Raja Bimbisara bahwa Beliau mempunyai hak untuk melakukan hal tersebut. Sang Buddha menjelaskan bahwa meskipun Beliau melarang para bhikkhu untuk mempertunjukkan kemampuan batin, namun peraturan tersebut tidak berlaku bagi Sang Buddha. Sama seperti raja dapat memakan buah mangga dari kebunnya sendiri, tapi akan menghukum siapapun yang mengambil mangga tersebut.

Pada akhir diskusi, Sang Buddha berkata bahwa Beliau akan mempertunjukkan mukjizat-mukjizat pada bulan purnama di bulan Asadha, empat bulan kemudian, di tempat para Buddha di masa lampau mempertunjukkan kemampuan batin mereka. Mendengar perkataan tersebut, para pertapa berpikir bahwa mereka telah kalah, dan mereka membuntuti Sang Buddha dan berkata bahwa Sang Buddha berusaha menghindar dari mereka.

Pada waktunya, Sang Buddha tiba di Savatthi, demikian pula para pertapa. Para pertapa mengumpulkan dana dari para pengikutnya dan mendirikan paviliun dengan pilar-pilar dari kayu akasia dan ditutupi dengan bunga teratai. Setelah itu mereka duduk dan berkata : "Di sini kami akan mempertunjukkan mukjizat."

Ketika Raja Pasenadi Kosala mendengar tentang pembangunan paviliun, ia menawarkan untuk membangun sebuah paviliun untuk Sang Buddha, namun Sang Buddha menolaknya, karena Raja Sakka, Raja Para Dewa telah berjanji akan membangun sebuah paviliun untuk Sang Buddha. Ketika Sang Guru Agung ditanya di manakah tepatnya tempat untuk mempertunjukkan mukjizat-mukjizat tersebut, Sang Buddha berkata bahwa tempatnya adalah di bawah pohon mangga Ganda.

Ketika para pertapa mendengar bahwa Sang Buddha akan mempertunjukkan mukjizat Beliau di bawah sebuah pohon mangga, mereka langsung mencabut sampai ke akar-akarnya semua pohon mangga yang tumbuh di tempat itu, mereka bahkan mencabuti pohon mangga yang baru tumbuh sehari dan membuangnya ke hutan.

C. Mukjizat-mukjizat Awal.

Pada saat bulan purnama di bulan Asadha, Sang Buddha memasuki kota. Pada hari yang sama, tukang kebun raja bernama Ganda, melihat sebuah mangga yang telah ranum di dalam sebuah keranjang daun yang dibuat oleh semut-semut merah, dan setelah mengusir burung gagak yang berkerubung karena tertarik akan wanginya, Ganda memetik mangga itu dan bermaksud membawanya kepada raja. Namun ketika melihat Sang Buddha di dalam perjalanan, ia lalu berpikir : "Bila raja memakan buah mangga ini, ia mungkin akan memberi saya delapan atau enam belas keping uang, dan itu tidak akan cukup untuk membuat saya hidup selama satu kehidupan, namun bila saya berikan mangga ini kepada Sang Guru, maka saya akan memperoleh keselamatan untuk waktu yang tak terbatas."

Kemudian, ia mempersembahkan mangga itu kepada Sang Buddha.

Sang Buddha melihat kepada Yang Mulia Ananda, yang kemudian membuka pembungkus bingkisan yang sedianya akan diserahkan kepada raja, dan meletakkan buah mangga itu di tangan Sang Buddha. Sang Guru Agung lalu mengambil mangkukNya, menerima mangga itu dan mengatakan akan duduk di tempat tersebut. Yang Mulia Ananda membentangkan jubah dan menyiapkan tempat duduk. Ketika Sang Buddha telah duduk, Yang Mulia Ananda menuang air, memeras mangga yang ranum itu, membuat sari buah mangga dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha. Setelah Sang Buddha meminum sari buah mangga tersebut, Beliau berkata kepada Ganda : "Galilah tanah di tempat ini dan tanamlah biji mangga ini."

Tukang kebun itu lalu melaksanakan seperti apa yang dikatakan oleh Sang Buddha.

Sang Buddha kemudian mencuci tangan Beliau di atas tempat di mana biji mangga itu ditanam. Pada saat Beliau selesai mencuci tangan, tumbuhlah sebuah pohon mangga. Segeralah pohon mangga itu penuh dengan bunga dan buah. Ketika raja mendengar bahwa sebuah pohon mangga telah tumbuh secara ajaib, beliau memerintahkan bahwa tidak seorangpun boleh menebangnya dan menempatkan penjagaan. Karena pohon mangga itu telah ditanam oleh tukang kebun yang bernama Ganda, maka pohon mangga itu dikenal dengan nama Pohon Mangga Ganda. Pohon mangga ini menghasilkan cukup banyak buah mangga untuk dinikmati penduduk. Mereka menikmati buahnya yang ranum dan melemparkan biji-bijinya kepada para pertapa yang telah mencabuti semua pohon mangga yang tumbuh di kota itu.
 
40208_150830748260423_100000004961322_504005_4699535_n.jpg


Pada suatu saat, ketika berada di Savatthi, Sang Buddha memperlihatkan keajaiban ganda dalam menjawab tantangan para pertapa dari berbagai sekte. Setelah itu, Sang Buddha pergi ke Surga Tavatimsa; ibu-Nya yang telah di Surga Tusita sebagai dewa yang dikenal sebagai Santusita juga datang ke Surga Tavatimsa. Di sana Sang Buddha menjelaskan tentang Abhidhamma kepada para dewa dan brahma selama tiga bulan masa vassa. Hasilnya, Dewa Santusita mencapai tingkat kesucian sotapatti; begitu pula dengan banyak dewa dan brahma.



Selama masa itu Sariputta Thera menghabiskan vassa di Sankassanagara, tiga puluh yojana dari Savatthi. Selama ia tinggal di sana, seperti yang telah dianjurkan secara tetap oleh Sang Buddha, ia mengajarkan Abhidhamma kepada lima ratus orang bhikkhu yang tinggal bersamanya dan menutup keseluruhan ceramah pada saat berakhirnya masa vassa.



Menjelang akhir masa vassa, Maha Moggallana Thera pergi ke Surga Tavatimsa untuk menjenguk Sang Buddha. Kemudian, ia diberitahu bahwa Sang Buddha akan kembali ke dunia manusia pada saat bulan purnama di akhir masa vassa di tempat di mana Sariputta Thera melaksanakan masa vassa.



Seperti yang telah dijanjikan, Sang Buddha datang dengan sinar enam warna yang terus-menerus bersinar dari tubuh-Nya ke gerbang kota Sankassanagara, pada malam hari di bulan purnama di bulan Assayuja ketika bulan bersinar dengan terangnya. Beliau ditemani oleh sekumpulan besar dewa di satu sisi dan sekumpulan besar brahma di sisi yang lainnya. Sekumpulan besar orang yang dipimpin oleh Sariputta Thera menyambut kedatangan Sang Buddha ke dunia ini; dan seluruh kota diterangi cahaya. Sariputta Thera terpesona oleh keagungan dan kemuliaan dari seluruh pemandangan kembalinya Sang Buddha.



Ia dengan hormat mendatangi Sang Buddha dan berkata, "Bhante! Kami tidak pernah melihat ataupun mendengar kemuliaan yang begitu indah dan gemerlapam. Sungguh, Bhante dicintai, dihormati, dan dipuja oleh para dewa, brahma dan manusia!"



Kepadanya Sang Buddha berkata, "Anak-Ku Sariputta, seorang Buddha yang memiliki sifat-sifat unik sesungguhnya dicintai oleh manusia dan para dewa".



Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 181 berikut:



Orang bijaksana yang tekun bersamadhi, yang bergembira dalam kedamaian pelepasan, yang memiliki kesadaran sejati dan telah mencapai Penerangan Sempurna, akan dicintai oleh para dewa.



Kelima ratus orang bhikkhu yang merupakan murid-murid dari Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian arahat, dan banyak sekali dari kumpulan-kumpulan orang yang hadir di sana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
165174_184689994874498_100000004961322_737330_2609582_n.jpg

Sang Bhagava difitnah oleh Cincamanavika.

Pada saat Sang Buddha pergi mengajarkan Dhamma, banyak orang datang berduyun-duyun kepada-Nya. Pertapa keyakinan lain mengetahui bahwa para pengikut mereka menjadi berkurang. Mereka menjadi sangat marah, sehingga mereka membuat sebuah rencana yang akan merusak nama baik Sang Buddha.

Mereka memanggil Cincamanavika yang sangat cantik, murid kesayangan mereka, dan berkata kepadanya, "Jika dalam hatimu terdapat keyakinan pada kami, tolonglah kami. Buatlah Samana Gotama menjadi malu".

Cincamanavika menyetujui untuk melaksanakan.

Pada malam itu, dia mengambil beberapa bunga dan pergi berkunjung ke Vihara Jetavana.

Ketika orang-orang bertanya padanya kemana dia akan pergi, dia menjawab, "Apa gunanya kalian tahu kemana saya akan pergi?"

Dia lalu bermalam di tempat pertapa lain yang berada dekat Vihara Jetavana, dan dia akan kembali pagi-pagi sekali agar kelihatan bahwa dia telah bermalam di Vihara Jetavana.

Ketika ditanya, dia akan menjawab, "Saya menghabiskan malam hari dengan Samana Gotama di kamar yang harum di Vihara Jetavana".

Setelah lewat tiga atau empat bulan, dia membungkus perutnya dengan kain agar dia kelihatan hamil. Setelah delapan atau sembilan bulan, dia membungkus perutnya dengan memasukkan papan kayu tipis kedalamnya; ia juga memukuli paha dan kakinya agar kelihatan bengkak, berpura-pura merasa lelah dan lesu. Dengan demikian, ia menggambarkan seorang wanita hamil yang sungguh-sungguh dalam kehamilan yang besar. Kemudian, pada malamnya, ia pergi ke Vihara Jetavana untuk menghadap Sang Buddha.

Sang Buddha sedang menjelaskan Dhamma kepada kumpulan bhikkhu dan umat awam. Melihat Beliau mengajar di atas mimbar, ia menuduh Sang Buddha demikian:

"O kamu Samana besar! Kamu hanya berkhotbah kepada orang lain. Saya sekarang hamil karena kamu, dan kamu tidak melakukan apa-apa untuk persalinan saya. Kamu hanya tahu bagaimana menyenangkan dirimu sendiri!"

Sang Buddha menghentikan khotbahnya untuk sementara dan berkata kepadanya, "Saudari, hanya kamu dan saya yang tahu apakah kamu berkata yang sebenarnya atau tidak".

Dan Cincamanavika menjawab, "Ya, kamu benar, bagaimana orang lain tahu apa yang hanya kamu dan saya ketahui?"

Pada saat itu juga, Sakka, raja para dewa, mengetahui masalah yang terjadi di Vihara Jetavana, sehingga ia mengirim empat orang dewanya dalam bentuk tikus-tikus besar. Keempat ekor tikus tersebut pergi kebawah pakaian Cincamanavika dan menggigit putus benang yang mengikat erat papan kayu di sekeliling perutnya. Pada saat benang tersebut putus, papan kayu terjatuh, memotong bagian depan kakinya.

Akhirnya tipu muslihat Cincamanavika terbongkar, dan banyak orang yang berkerumun berteriak dengan marah, "Oh kamu perempuan jahat! Seorang pembohong dan penipu! Beraninya kamu menuduh Guru Agung kami!"

Beberapa dari mereka meludahinya dan menggiringnya keluar. Ia lari secepat yang ia bisa, dan ketika ia telah pergi agak jauh bumi terbelah dan retak, ia tertelan masuk ke dalam bumi.

Pada hari berikutnya, ketika para bhikkhu sedang membicarakan tentang Cincamanavika, Sang Buddha mendekati mereka dan berkata, "Para bhikkhu, seseorang yang tidak takut untuk berkata bohong, dan seseorang yang tidak perduli apa yang akan terjadi pada kehidupan yang akan datang, tidak akan ragu-ragu untuk berbuat jahat".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 176 berikut:

Orang yang melanggar salah salah satu Dhamma (sila keempat, yang selalu berkata bohong), yang tidak memperdulikan dunia mendatang, maka tak ada kejahatan yang tidak dilakukannya.
 
150538_178528722157292_100000004961322_694219_2058883_n.jpg

Kisah Bodhirajakumara

Suatu ketika Pangeran Bodhi membangun sebuah istana yang sangat indah untuk tempat tinggalnya. Ketika istana tersebut selesai dibangun, ia mengundang Sang Buddha untuk menerima dana makanan.

Untuk acara istimewa ini, ia menghias bangunan dengan memberi pengharum ruangan 4 macam wangi-wangian dan dupa. Juga, kain yang panjang dilembarkan di lantai untuk alas, mulai dari ambang pintu sampai ke dalam ruangan. Karena ia tidak mempunyai anak, pangeran menyatakan harapan yang sungguh-sungguh, berkata dalam hati: "Bila aku dapat mempunyai anak, Sang Buddha akan menginjak kain ini."

Ketika Sang Buddha tiba, Pangeran Bodhi dengan hormat memohon kepada Beliau sebanyak 3 kali untuk memasuki ruangan. Tetapi Sang Buddha tidak beranjak, hanya melihat pada Ananda. Ananda mengerti dan meminta kepada Pangeran Bodhi untuk memindahkan kain dari ambang pintu. Dan Sang Buddha pun masuk ke dalam istana.

Kemudian pangeran mempersembahkan makanan yang enak dan terpilih kepada Sang Buddha. Selesai makan, pangeran bertanya : " Bhante, mengapa Bhante tidak mau berjalan di atas kain alas?"

Sang Buddha bertanya balik kepada pangeran: "Bukankah pangeran membentangkan kain itu dengan harapan agar dikaruniai anak apabila Buddha berjalan di atas kain itu?"

Pangeran membenarkan pertanyaan itu. Kepadanya Sang Buddha mengatakan bahwa ia dan istrinya tidak akan memperoleh anak akibat perbuatan jahat yang mereka lakukan dimasa lampau. Sang Buddha kemudian menceritakan kisah masa lalu mereka.

Pada salah satu kehidupan mereka yang lampau, pangeran dan istrinya adalah satu-satunya orang yang selamat dari bencana kapal. Mereka terdampar pada pulau yang tidak berpenghuni. Disana mereka hidup dengan memakan telur-telur burung, anak-anak burung, dan burung, tanpa perasaan menyesal satu saat pun. Untuk perbuatan jahat itu, mereka tidak dikaruniai anak. Jika mereka mempunyai rasa sesal atas perbuatan mereka pada salah satu saat, mereka akan mempunyai satu atau dua orang anak pada kehidupan sekarang.

Kembali kepada pangeran, Sang Buddha berkata, "Seseorang yang mencintai dirinya sendiri harus menjaga dirinya sendiri di semua tahap kehidupan, atau sedikitnya dalam satu tahap kehidupannya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Attānañ ce piyaṃ jaññā
rakkheyya naṃ surakkhitaṃ
tiṇṇaṃ aññataraṃ yāmaṃ
paṭijaggeyya paṇḍito."

Bila orang mencintai dirinya sendiri,
maka ia harus menjaga dirinya dengan baik.
Orang bijaksana selalu waspada
selama tiga masa dalam kehidupannya.

Bodhirajakumara mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

--------
Notes :
Maksud tahap kehidupan di atas adalah masa kanak-kanak, masa muda, dan masa tua.
Cara terbaik menjaga diri sendiri adalah dengan mempraktekkan kebajikan.


Pangeran Bodhi adalah putra Raja Udena dari Kosambi; ibunya adalah putrid Raja Candappajjota dari Avanti. Porsi sutta dari §2 sampai §8 juga terdapat di Vin Cv Kh 5/ii. 127-29, yang membawa pada formulasi peraturan yang disebutkan di catatan berikutnya.


MA menjelakan bahwa Pangeran Bodhi tidak mempunyai anak dan menginginkan seorang putra. Dia mendengar bahwa keinginan orang-orang bisa terkabul bila mereka memberikan persembahan khusus kepada Sang Buddha, maka dia membentangkan kain putih dengan pemikiran: “Jika aku bisa mempunyai putra, Sang Buddha akan menapak di atas kain ini; jika aku tidak bisa mempunyai anak, Beliau tidak akan menapak di atas kain ini.” Sang Buddha mengetahui bahwa karena karma buruk di masa lampaunya, Pangeran dan istrinya ditakdirkan untuk tidak mempunyai anak. Jadi Beliau tidak menapak di atas kain itu. Di kemudian hari, Beliau membuat suatu peraturan disiplin yang melarang para bhikkhu menapak di atas kain putih, tetapi kemudian mengubah peraturan itu dengan mengijinkan para bhikkhu melangkah di atas kain sebagai pemberkahan kepada para perumah-tangga.


Pacchimam janatam Tathagato apaloketi. Versi Vin di sini terbaca anukampati, “memiliki kasih sayang,” yang lebih disukai. MA menjelaskan bahwa Y.M. Ananda mengatakan hal ini dengan pemikiran: “Di masa mendatang orang-orang akan menganggap para bhikkhu sebagai jalan untuk memastikan terkabulnya keinginan-keinginan duniawi mereka, dan akan kehilangn keyakinan pada Sangha jika penghormatan yang mereka lakukan tidak membawa hasil yang diinginkan.”
 
47344_159115910765240_100000004961322_555176_5626956_n.jpg

Magandiya

Brahmana Magandiya dan istrinya tinggal di kerajaan Kuru bersama dengan Magandiya, putri mereka yang amat cantik. Begitu cantiknya putrinya itu sehingga ayahnya dengan keras menolak semua pelamarnya. Suatu hari, pagi-pagi sekali ketika Sang Buddha meninjau sekeliling dunia, Beliau mengetahui bahwa sudah saatnya bagi Brahmana Magandiya dan istrinya untuk mencapai tingkat kesucian anagami. Sambil membawa mangkuk dan jubah-Nya, Sang Buddha berangkat ke tempat dimana sang brahmana biasanya melakukan pengorbanan dengan api.



Begitu melihat Sng Buddha, sang brahmana dengan seketika memutuskan bahwa Sang Buddha adalah orang yang layak menjadi suami putrinya. Ia meminta Sang Buddha untuk menunggu di sana dan dengan terburu-buru ia pergi menjemput istri dan putrinya.



Sang Buddha meninggalkan jejak kaki-Nya dan pergi ke tempat lain, yang berada di dekat-Nya. Ketika sang brahmana dan keluarga tiba, mereka hanya menemukan jejak kaki. Melihat jejak kaki Sang Buddha, istri brahmana berkata bahwa itu adalah jejak kaki dari seseorang yang telah terbebas dari keinginan-keinginan hawa nafsu. Kemudian, sang brahmana melihat Sang Buddha dan menawarkan putrinya untuk dinikahi oleh Sang Buddha.



Sang Buddha tidak menerima ataupun tidak menolak penawaran itu, tetapi pertama kali Beliau menceritakan kepada sang brahmana bagaimana putri-putri Mara menggoda-Nya pada saat Beliau baru saja mencapai ke-Buddha-an. Kepada putri-putri Mara yang cantik, Tanha, Arati dan Raga, Sang Buddha berkata, "Tidak ada gunanya menggoda seseorang yang telah terbebas dari keinginan, kemelekatan dan nafsu, karena ia tidak lagi dapat terpikat oleh godaan apapun juga".



Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 179 dan 180 berikut ini:



Beliau yang kemenangannya tak dapat dikalahkan lagi, yang nafsunya telah diatasi dan tidak mengikutinya lagi, Sang Buddha yang tiada bandingnya, yang tanpa jejak nafsu, dengan cara apa akan kaugoda Beliau?



Beliau yang tak terjerat dan terlibat nafsu keinginan yang menyebabkan kelahiran, Sang Buddha yang tiada bandingnya, yang tanpa jejak nafsu, dengan cara apa akan kaugoda Beliau?



Kemudian, Sang Buddha melanjutkan, "Brahmana Magandiya, walaupun saya melihat putri-putri Mara yang tiada bandingnya, saya tidak merasakan hawa nafsu dalam diri saya. Lagipula, apakah tubuh putrimu ini? Hanya penuh dengan air kencing dan kotoran; Saya tidak ingin menyentuhnya walaupun dengan kaki Saya!"



Begitu mendengar kata-kata Sang Buddha tersebut, mereka berdua, sang brahmana dan istrinya, mencapai tingkat kesucian anagami. Kemudian, mereka bergabung dengan bhikkhu yang lainnya dan akhirnya mereka berdua mencapai tingkat kesucian arahat.
 
41000_159115790765252_100000004961322_555174_19009_n.jpg

Magandiya kemudian menikah dengan raja dari negeri Udena. Ketika ia mendengar bahwa Sang Buddha telah memasuki kota tersebut, kebenciannya terhadap Sang Buddha muncul kembali. Lalu ia menyogok dan menghasut orang-orang untuk menghina Sang Buddha dan untuk mengusir Beliau. Ananda, yang sedang bersama Sang Buddha, tidak ingin berdiam di sana dan menerima hinaan-hinaan tersbut, tetapi Sang Buddha menasihatinya untuk mempraktikkan toleransi dan kesabaran. Sang Buddha berkata, “Seperti seekor gajah di medan perang yang sanggup menahan anak-anak panah yang dilepaskan dari busurnya, demikian juga Tathagata akan menahan cercaan dari orang-orang yang tak beragama”. Sang Buddha berkata bahwa kata-kata yang menyakitkan tersebut tak akan bertahan lama, karena adanya kekuatan kesempurnaan yang dimiliki oleh Sang Buddha. Mereka akhirnya tetap tinggal di Udena, dan semua cercaan tersebut berhenti dalam waktu yang singkat.
 
33890_167616193248545_100000004961322_612704_7868208_n.jpg


Suatu waktu, bhikkhu-bhikkhu Kosambi terbentuk menjadi dua kelompok. Kelompok yang satu pengikut guru ahli vinaya, sedang kelompok lain pengikut guru ahli Dhamma. Mereka sering berselisih paham sehingga menyebabkan pertengkaran. Mereka juga tak pernah mengacuhkan nasehat Sang Buddha.

Berkali-kali Sang Buddha menasehati mereka, tetapi tak pernah berhasil, walaupun Sang Buddha juga mengetahui bahwa pada akhirnya mereka akan menyadari kesalahannya.

Maka Sang Buddha meninggalkan mereka dan menghabiskan masa vassa-Nya sendirian di hutan Rakkhita dekat Palileyyaka. Di sana Sang Buddha dibantu oleh gajah Palileyya.

Umat di Kosambi kecewa dengan kepergian Sang Buddha. Mendengar alasan kepergian Sang Buddha, mereka menolak memberikan kebutuhan hidup para bhikkhu di Kosambi.

Karena hampir tak ada umat yang menyokong kebutuhan para bhikkhu, mereka hidup menderita. Akhirnya mereka menyadari kesalahan mereka, dan menjadi rukun kembali seperti sebelumnya.

Namun, umat tetap tidak memperlakukan mereka sebaik seperti semula, sebelum para bhikkhu mengakui kesalahan mereka di hadapan Sang Buddha. Tetapi, Sang Buddha berada jauh dari mereka dan waktu itu masih pada pertengahan vassa. Terpaksalah para bhikkhu menghabiskan vassa mereka dengan mengalami banyak penderitaan.

Di akhir masa vassa, Yang Ariya Ananda bersama banyak bhikkhu lainnya pergi menemui Sang Buddha, menyampaikan pesan Anathapindika serta para umat yang memohon Sang Buddha agar pulang kembali. Demikianlah. Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana di Savatthi. Di hadapan Beliau para bhikkhu berlutut dan mengakui kesalahan mereka.

Sang Buddha mengingatkan, bahwa pada suatu saat mereka semua pasti mengalami kematian, oleh karena itu mereka harus berhenti bertengkar dan jangan berlaku seolah-olah mereka tidak akan pernah mati.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 6 berikut ini :

Sebagian besar orang tidak mengetahui bahwa dalam pertengkaran mereka akan binasa; tetapi mereka yang dapat menyadari kebenaran ini akan segera mengakhiri semua pertengkaran.

Semua bhikkhu mencapai tingkat kesucian Sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir
 
47899_159121457431352_100000004961322_555191_5374753_n.jpg

Brahmin Kasi Bharadvaja



Suatu ketika, Sang Buddha berada di desa Ekanala, Magadha. Musim hujan telah tiba dan saat itu adalah saat menebar benih (padi). Pagi-pagi sekali di saat dedaunan masih basah oleh embun, Sang Buddha pergi ke sawah di mana Kasibharadvaja, seorang Brhamana yang petani, memiliki 500 bajak yang sedang dikerjakan. Ketika Sang Bhagava tiba, adalah saat Brahmana tersebut membagikan makanan kepada para pekerjanya. Sang Buddha menunggu di sana untuk melakukan pindapata. Tetapi ketika Brahmana itu melihat Sang Buddha, ia mengejek dan berkata :



“Saya membajak dan menanam benih, dan setelah membajak dan menanam benih, saya makan. O Pertapa, Engkau juga harus membajak dan menanam, dan setelah membajak dan menanam, baru Engkau bisa makan”.



“O Brahmana, Tathagata juga membajak dan menanam. Dan setelah membajak dan menanam, Tathagata makan”, jawab Sang Buddha.



Dengan bingung Brahmana bertanya, “Engkau mengatakan bahwa Engkau membajak dan menanam, tapi saya tidak melihat Engkau membajak?”.



Sang Buddha menjawab :

“Tathagata menanam keyakinan sebagai benih-benihnya. Aturan disiplinKu adalah sebagai hujannya. KebijaksanaanKu adalah kuk dan bajaknya. KesederhanaanKu adalah kepala-bajaknya. PikiranKu adalah talinya, Kesadaran (sati)-Ku dalah mata bajak dan tongkatnya”.



“Tathagata terkendali di dalam perbuatan, ucapan dan makanan. Tathagata melakukan penyiangan dengan kebenaran. Kebahagiaan yang Tathagata dapatkan adalah kebebasan dari penderitaan. Dengan tekun Tathagata memikul kuk/gandar hingga mencapai Nibbana. Dengan demikian Tathagata telah melaksanakan pekerjaan membajak. Ini menghasilkan buah Keabadian. Dengan pembajakan seperti ini, seseorang terbebas dari semua penderitaan”.



Setelah penjelasan ini, Brahmana tersebut menyadari kesalahannya, dan berkata, “Sudilah Yang Mulia Gotama makan nasi-susu ini. Yang mulia Gotama adalah seorang petani karena panennya menghasilkan buah Tanpa-kematian!” Setelah berkata demikian, Brahmana mengisi satu mangkuk besar dengan nasi-susu dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha. Sang Buddha menolak makanan tersebut dan mengatakan bahwa ia tidak dapat menerima makanan sebagai balasan/pembayaran dari pembabaran DhammaNya.



Brahmana berlutut di kaki Sang Buddha dan memohon agar ditahbiskan menjadi anggota Persaudaraan para Bhikku. Tak berapa lama setelah itu, Kasibharadvaja menjadi Arahat.
 
33890_167616196581878_100000004961322_612705_6532012_n.jpg


Kelaparan di kota Veranja

Pada waktu itu Veranja sedang kekurangan makanan. Sulit untuk hidup di sana. Tulang-belulang putih berserakan di seluruh kota. Orang-orang banyak yang pindah ke tempat lain untuk bertahan hidup. (Oleh karena itu) tidak mudah bagi para bhikkhu untuk memperoleh cukup makanan dalam kegiatan mengumpulkan dana makanan. Seorang pedagang kuda dari Uttarapatha di wilayah uatara sedang menetap bersama lima ratus kuda di Veranja untuk berteduh dari hujan selama musim hujan. Di kandang kuda itu si pedagang memberikan dana secara rutin sebanyak satu pattha gandum kepada setiap bhikkhu. Ketika para bhikkhu memasuki kota di pagi hari untuk mengumpulkan dana makanan dan tidak memperoleh makanan, mereka pergi ke kandang kuda dan menerima satu pattha gandum yang mereka bawa ke vihara dan mengaduknya menjadi bubur dan memakannya.

N.B: perjalanan tidak mungkin dilakukan karena hujan deras selama empat bulan musim hujan di Veranja. Oleh karena itu para pedagang kuda menetap di sana untuk berteduh dari hujan. Mereka membangun pondok, kandang dan pagar di atas tanah kering di luar kota sebagai tempat tinggal. Tempat si pedagang kuda ini dikenal sebagai kandang kuda.

(Mereka membawa gandum yang mereka peroleh dan memasaknya agar dapat bertahan lama dan bebas dari ulat dan mereka menampinya sehingga dapat digunakan sebagai makanan kuda jika tidak ada rumput. Para pedagang ini (dari Uttarapatha) memiliki keyakinan tidak seperti penduduk Dakkhinapatha. Mereka berkeyakinan dan memuja Tiga Permata. Suatu pagi saat merka pergi ke kota untuk mengadakan perdagangan, mereka melihat sekelompok bhikkhu yang terdiri dari tujuh atau delapan orang sedang mengumpulkan dana makanan tetapi tidak memperoleh apapun; dan mereka berdiskusi: “Para bhikkhu yang baik ini sedang menjalankan vassa dan bergantung pada kota Veranja ini. Tetapi sedang terjadi bencana kelaparan di sini. Mereka akan kesulitan jika tidak memperoleh makanan. Karena kita hanyalah pengunjung, kita tidak dapat memberikan nasi bubur dan makanan lain setiap hari. Tetapi kuda-kuda kita mendapatkan makanan dua kali sehari, siang dan malam. Sebaiknya kita mengambil satu pattha gandum dari makanan kuda pagi hari dan mempersembahkannya kepada para bhikkhu. Jika kita berbuat demikian, para bhikkhu baik ini tidak akan sangat menderita; dan kuda-kuda masih mendapatkan cukup makanan.” Kemudian mereka mendatangi para bhikkhu dan melaporkan hal itu; mereka juga mengajukan permohonan dengan berkata “Yang Mulia, mohon menerima persembahan satu pattha gandum dan buatlah makanan yang layak untuk kalian makan.” Demikianlah mereka secara rutin memberikan persembahan satu pattha gandum kepada setiap bhikkhu setiap hari.

(Saat para bhikkhu memasuki Veranja di pagi hari untuk mengumpulkan dana makanan dan berkeliling seluruh kota, mereka bahkan tidak memperoleh kata-kata maaf apalagi makanan; hanya setelah merka tiba di kandang kuda di luar kota baru masing-masing dari mereka memperoleh satu pattha gandum dan membawanya pulang ke vihara. Karena mereka tidak memiliki pelayan awam yang memasak untuk mereka, maka mereka membentuk kelompok yang terdiri dari delapan atau sepuluh orang dan menumbuk gandum itu dalam sebuah lumpang kecil; masing-masing memakannya setelah menambahkan air ke dalam bubur gandum itu, mereka berpikir “Dengan cara ini mereka telah menjalani kehidupan yang mudah (sallahukavutti) dan bebas dari pelanggaran memasak untuk diri sendiri (samapaka-dukkata apatti). Setelah makan baru mereka menjalani latihan pertapaan tanpa merasa khawatir.)

Sedangkan untuk Sang Buddha, para pedagang kuda itu mempersembahkan satu pattha gandum dan mentega, madu dan gula merah dalam jumlah yang mencukupi. Yang Mulia Ananda membawa persembahan itu dan menghamparkan (gandum itu) di atas batu datar. Apapun yang dipersembahkan oleh seorang yang cerdas adalah menggembirakan. Setelah menghamparkan gandum itu di atas batu datar, ia mencampurnya dengan air, dan lain-lain dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha. Kemudian para Dewa menambahkan sari makanan Dewa ke dalam hamparan gandum itu. Kemudian sang Buddha memakan gandum itu dan melewatkan waktunya dengan berdiam di dalam Phala-samapatti. Sejak terjadinya bencana kelaparan, Sang Buddha tidak keluar untuk mengumpulkan dana makanan.

Kamma masa lampau Sang Buddha yang menyebabkan Beliau mengalami kelaparan

Kamma masa lampau Sang Buddha yang menyebabkan Beliau mengalami bencana kelaparan bersama lima ratus bhikkhu siswanya adalah: sembilan puluh dua kappa yang lalu, pada masa Buddha Phussa, Sang Bodhisatta adalah seorang yang jahat karena bergaul dengan teman-teman yang jahat; saat itu Beliau mengucapkan kata-kata jahat kepada para siswa Buddha Phussa “Lebih baik kalian memakan makanan gandum yang kasar; jangan memakan nasi sali yang lezat!” kamma jahat masa lampau inilah yang menjadi penyebab Beliau mengalami kelaparan sewaktu menjalankan vassa di Veranja. (dalam Apadana Pali, kisah ini dijelaskan dengan lengkap.)
 
60204_163121913697973_100000004961322_580847_7671580_n.jpg


Kala beristrikan Sujata, kakak dari Visakha, seorang umat awam yang terkenal. Sujata sangat bangga dengan latar belakang keluarganya dan kekayaan kedua sisi keluarganya. Karena ia hanya memikirkan hal-hal yang remeh ini, maka secara batiniah ia tidak terpenuhi, tidak puas dan mudah tersinggung, dan ia pun melepaskan ketidak-bahagiaannya kepada orang lain. Ia memperlakukan semua orang dengan kasar, memukuli para pelayan, dan menyebarkan ketakutan serta teror kemanapun ia pergi. Ia bahkan tidak menaati aturan kepemilikan dalam berhubungan dengan mertua dan suaminya, yang dipandang sangat penting oleh masyarakat India.

Pada suatu hari, setelah bersantap di rumah mereka, saat Sang Buddha sedang memberikan khotbah, terdengar bentakan dan teriakan keras dari ruangan lain. Sang Guru menghentikan khotbahnya dan bertanya kepada Anathapindika perihal sumber keributan itu, yang terdengar seperti teriakan nyaring para nelayan. Si perumahtangga menjawab bahwa sumbernya adalah menantu perempuannya yang sedang membentak para pelayan. Menantunya adalah orang yang pemarah, katanya, yang tidak berperilaku semestinya terhadap suami ataupun mertuanya, yang tidak berdana, tidak berkeyakinan, dan tidak percaya, yang selalu menyebarkan konflik.

Hal yang aneh pun terjadi: Sang Buddha meminta agar menantunya dipanggil. Ketika ia akhirnya muncul di hadapan beliau, Sang Buddha bertanya kepadanya: ingin menjadi yang manakah ia dari tujuh jenis istri. Ia menjawab bahwa ia tidak memahami maksud beliau dan memohon penjelasan lebih lanjut. Maka Yang Tercerahkan menjelaskan tujuh jenis istri kepadanya dalam syair berikut:

“ Dengan pikiran yang membenci, dingin dan kejam,
Penuh nafsu terhadap pria lain, merendahkan suaminya,
Yang ingin membunuh orang yang telah meminangnya—
Istri demikian disebut pembantai.

Ketika suaminya mendapatkan kekayaan
Melalui keterampilan atau berdagang atau bertani
Ia berusaha untuk mencuri sedikit bagi dirinya—
Istri demikian disebut pencuri.

Si rakus yang malas, suka bermalas-malasan
Keras, kejam, kasar dalam berbicara,
Seorang perempuan yang sewenang-wenang terhadap bawahannya—
Istri demikian disebut tiran.

Ia yang suka menolong dan baik hati,
Yang menjaga suaminya seperti seorang ibu terhadap anaknya,
Yang berhati-hati melindungi kekayaan yang dikumpulkan suaminya—
Istri demikian disebut ibu.

Ia yang menghargai suaminya
Seperti adik menghargai kakaknya,
Yang dengan rendah hati menuruti keinginan suaminya—
Istri demikian disebut adik.

Ia yang bergembira dalam pandangan suaminya,
Seperti seorang teman menerima yang lainnya,
Dibesarkan dengan baik, bajik, taat—
Istri demikian disebut teman.

Ia yang tanpa kemarahan, takut pada hukuman,
Yang terhadap suaminya bebas dari kebencian,
Yang dengan rendah hati menuruti keinginan suaminya—
Istri demikian disebut pelayan.

Jenis-jenis istri yang disebut pembantai,
Pencuri dan istri seperti tiran,
Istri-istri demikian, dengan terurainya tubuh,
Akan terlahir di neraka yang dalam.

Tetapi istri seperti ibu, adik, teman
Dan istri yang dipanggil pelayan,
Mantap dalam kebajikan, tenang,
Dengan terurainya tubuh akan menuju surga.”
(AN 7:59)

Kemudian Sang Bhagava langsung menanyainya: “Inilah, Sujata, ketujuh jenis istri yang dapat dimiliki seorang pria. Yang manakah dirimu?”

Dengan hati yang sangat tergerak, Sujata menjawab bahwa mulai saat ini ia akan berjuang untuk menjadi pelayan bagi suaminya. Perkataan Yang Tercerahkan telah menunjukkan kepadanya cara berperilaku sebagai seorang istri. Kemudian ia pun menjadi murid Sang Buddha yang taat, yang kepada Beliau selamanya ia berterima kasih atas kebebasannya.
 
60087_163097337033764_100000004961322_580584_948018_n.jpg


Pada suatu hari, ketika ayah mertuanya sedang makan siang di rumahnya, seorang bhikkhu berhenti di rumah tersebut untuk berpindapatta, Visakha yang pada saat itu sedang berdiri di dekat ayah mertuanya, ketika melihat bhikkhu itu, ia lalu berpikir, adalah tidak tepat jika saya memberitahukan kepada ayah mertua tentang kedatangan bhikkhu tersebut. Ia lalu bergeser ke samping supaya ayah mertuanya melihat kedatangan bhikkhu itu.

Tapi ketika ayah mertua melihat kedatangan bhikkhu tersebut, beliau tidak perduli, dan meneruskan makan siangnya. Visakha berpikir, "Ayah mertuaku sudah melihat kedatangan bhikkhu itu tapi beliau tidak perduli." Akhirnya ia berkata kepada bhikkhu tersebut, "Bhante, maafkanlah ayah mertua saya sedang makan makanan sisa,"

Ayah mertua yang sedang makan, mendengar ucapan menantunya bahwa ia makan makanan sisa, lalu mengibaskan tangannya dan berkata dengan marah, "Buang makanan ini dan usir perempuan itu dari rumah sekarang juga!"

Visakha yang mendengar ayah mertuanya marah dan mengusirnya, berkata dengan lembut, "Ayah, tidaklah cukup alasan yang mengharuskan saya pergi dari rumah ini, ayah saya mengirim 8 orang penasihat untuk mengawasi saya apabila saya melakukan kekeliruan. Saya akan mengundang mereka dan menjelaskan apa yang terjadi."

Ayah mertuanya menyetujui ucapan Visakha untuk memanggil ke 8 penasihat tersebut. Ketika para penasihat itu berkumpul, Migara berkata, "Ketika saya sedang makan dengan piring emas, Visakha mengatakan saya sedang makan makanan sisa, maka saya mengusirnya keluar dari rumah ini."

"Apakah benar anakku?" tanya para penasihat. "Saya tidak mengatakan demikian yang terjadi sebagai berikut, ketika seorang bhikkhu sedang berpindapata, berdiri di depan pintu, ayah mertua yang sedang makan dengan piring emas tidak mempedulikan bhikkhu tersebut." Jadi saya berkata, "Bhante, maafkanlah ayah mertua saya sedang makan makanan sisa. Saya pikir ayah mertua saya tidak mau melakukan perbuatan baik saat ini, beliau hanya makan hasil dari perbuatan baiknya di masa lampau."

"Apakah saya berkata salah, Tuan?" tanya Visakha kepada para penasihat. "Tidak, kamu tidak bersalah, apa yang Visakha katakan seluruhnya benar", jawab para penasihat. "Mengapa tuan marah kepadanya?" tanya salah satu penasihat kepada Migara.

Akhirnya ayah mertuanya menyadari kekeliruannya, lalu Visakha berkata, "Tuan-tuan, meskipun pada mulanya tidaklah benar bila saya meninggalkan rumah ini atas perintah ayah, dan sekarang anda telah membebaskan saya atas semua tuduhan terhadap saya, maka sekaranglah waktu yang tepat bagi saya untuk pergi dari rumah ini."

Visakha lalu memberi perintah, "Beritahu kepada semua pembantu baik laki-laki atau perempuan, persiapkan kereta dan segalanya, saya mau pulang ke rumah orang tuaku." Ayah mertua menghampirinya, "Saya memaafkanmu, menantuku."

"Ayah, saya sebagai murid Sang Buddha, tidak dapat tinggal diam apabila ada para bhikkhu yang sedang berpindapata. Namun, apabila saya diijinkan untuk mengundang dan berdana kepada para bhikkhu, saya akan tinggal", jawab Visakha kepada ayah mertuanya.

Kemudian ayah mertuanya berkata, "Menantuku, kamu dapat mengundang para bhikkhu sesuai dengan keinginanmu." Visakha lalu mengundang Sang Buddha dan murid-murid-Nya ke rumah mertuanya untuk keesokan harinya.

Ketika dana makanan telah disajikan Visakha mengundang ayah mertua untuk bertemu dengan Sang Buddha, tetapi ayah mertuanya yang mempercayai pertapa yang berpandangan salah, melarangnya. Untuk kedua kalinya Visakha meminta ayah mertuanya untuk datang.

Namun ayah mertuanya tetap bersikeras tidak mau menemui Sang Buddha. Namun Visakha bersepakat dengan ayah mertuanya untuk mendengarkan kotbah Sang Buddha dari balik tirai.

Setelah mendengar kotbah, Migara mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Migara amat berterima kasih kepada Sang Buddha dan kepada menantunya. Sejak saat itu ia menyatakan Visakha sebagai ibunya, yang kemudian dikenal sebagai Migara mata. Visakha lalu berdana makanan dan kebutuhan lain kepada Sang Buddha dan murid-murid-Nya.

Visakha hidup bahagia dan makmur, dan dari pernikahannya itu, Visakha mempunyai sepuluh anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan.
 
39254_150286534981511_100000004961322_501544_362658_n.jpg


"Kemudian Yang Terberkahi mendekatinya serta bertanya dengan penuh simpati: "Sunita, maukah engkau meninggalkan mata pencaharian yang berat ini dan menjadi bhikkhu?"
Mendengar pernyataan ini, tubuh Sunita bergetar gembira, hatinya dipenuhi sukacita dan kebahagiaan, matanya berkaca-kaca. Begitu terharu dirinya sehingga untuk sejenak ia tak mampu berkata apa pun karena tak seorang pun pernah berkata kepadanya seperti ini. Sepanjang hidupnya, ia hanya menerima suruhan, sumpah serapah, dan makian dari orang lain. Namun kali ini ia disapa oleh Yang Terberkahi dengan suara dan kasih lembut yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Sunita menjawab: "Bhante, hamba senantiasa menerima suruhan, namun tak pernah menerima kebaikan seperti ini. Jika Bhante bersedia menerima pemulung yang kotor dan sungguh sengsara seperti diri hamba, kenapa hamba tidak bersedia meninggalkan pekerjaan yang berat dan kotor ini? Bhante, mohon tahbiskanlah hamba menjadi bhikkhu!
 
39827_150286194981545_100000004961322_501540_5602655_n.jpg


Ini adalah salah satu Kisah pelayanan seorang Guru Yang Maha Bijak, merawat orang sakit kusta dengan tangannya sendiri dan para muridnya..
''Dia yang merawat orang sakit, berarti dia merawat Tathagata ..."
 
46879_159117430765088_100000004961322_555180_7468745_n.jpg


Sopaka Yang Malang

Tersebutlah seorang anak bernama Sopaka. Ia berasal dari keluarga yang sangat miskin. Ketika Sopaka berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ibunya kawin lagi dengan seorang laki-laki yang amat kejam, jahat dan kasar. Ia selalu memukul, mencaci-maki dan membentak Sopaka kecil yang ramah, tidak berdosa dan baik hati itu. Ayah tirinya selalu berpikir:
"Anak ini selalu menyusahkan saja. Ia tidak ada gunanya. Saya amat membencinya tetapi tidak dapat melakukan apa-apa kepadanya, karena ibunya amat mencintainya. Apa yang harus saya lakukan?".
Pada suatu malam ia berkata kepada Sopaka:
"Anakku, marilah kita berjalan-jalan".
Sopaka sangat heran karena ayah tirinya berbicara begitu ramah sehingga ia berpikir:
"Ayah tiriku tidak pernah berbicara begitu ramah kepadaku. Tetapi sekarang kelihatannya amat baik. Mungkin ibuku yang memintanya untuk berlaku ramah kepadaku".
Lalu ia ikut pergi bersama ayah tirinya.
Ayah tirinya membawanya ke kuburan yang banyak mayat berserakan. Lalu ia mengikat Sopaka ke satu mayat dan meninggalkannya di sana. Sopaka segera menangis:
"Ayah, saya mohon ayah tidak mengikat saya ke mayat yang bau dan kotor ini. Saya mohon, ayah. Saya amat takut, ayah".
Sopaka menjerit sekerasnya. Tetapi ayah tirinya pergi tanpa memperdulikan Sopaka lagi.
Di sekitar tempat itu amat gelap, Sopaka amat ketakutan. Tak ada seorang pun di kuburan itu. Karena Sopaka amat ketakutan, rambutnya berdiri dan keringat mulai menetes membasahi seluruh tubuhnya. Bajunya basah oleh keringat yang menetes. Apalagi ketika ia mendengar suara-suara harimau, serigala, macan tutul, dan binatang buas lainnya, Sopaka menangis dan menjerit sekeras-kerasnya. Sopaka menyadari bahwa ia hanya seorang diri di situ dan tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya.
Tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki yang berwajah amat mulia, tampan dan bersinar amat terang mendatanginya. Sopaka mendengar ia berkata dengan suaranya yang amat lembut:
"Sopaka, janganlah menangis. Saya ada disini untuk menolongmu. Jangan takut!".
Dan pada saat itu juga Sopaka dapat melepaskan ikatannya dan berdiri di hadapan Sang Buddha di Vihara Jetavana.
Sopaka tidak mempercayai penglihatan dan pendengarannya. Meskipun Sang Buddha berada di tempat yang sangat jauh dari kuburan itu, tetapi Beliau mendengar tangisan Sopaka, dan mengirimkan sinar terang ke depan Sopaka dan memutuskan tali ikatan dengan kekuatanNya. Sesampainya Sopaka yang malang di Vihara, Sang Buddha memandikan dan memakaikannya jubah, lalu memberinya makanan, dan menghiburnya.
Ketika ayah tiri yang kejam tersebut pulang ke rumah, ibu Sopaka bertanya:
"Kemana anakku?".
"Saya tidak tahu", jawab laki-laki kejam itu.
"Ia pulang sebelum saya pulang. Saya pikir, ia sedang tidur".
Ibu Sopaka lalu mencari-cari anaknya tetapi tidak ditemukannya. Ia tidak bisa tidur sepanjang malam. Ia menangis dan menangis terus menerus memikirkan Sopaka.
Keesokan paginya ia berpikir:
"Sang Buddha pasti mengetahui semuanya, masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Saya harus ke Vihara menemui Sang Buddha, dan bertanya dimanakah anak saya berada?".
Dengan menangis dan bercucuran air mata, ia pergi ke Vihara.
Sang Buddha bertanya kepadanya:
"Mengapa engkau menangis?".
"Oh, Sang Buddha", kata ibu Sopaka, "Saya hanya mempunyai seorang anak laki-laki. Ia hilang sejak semalam. Suami saya membawanya berjalan-jalan, ketika pulang ke rumah, ia berkata bahwa ia tidak tahu apa yang terjadi dengan anak saya".
"Jangan khawatir, anakmu selamat. Ia ada di sini".
Setelah berkata demikian, Sang Buddha memanggil Sopaka, yang sekarang telah menjadi samanera, bukan sebagai Sopaka yang dahulu lagi. Ibu Sopaka amat bahagia melihat anaknya kembali.
Mendengar ajaran Sang Buddha, ibu Sopaka amat berbahagia, dan berterima kasih kepada Sang Buddha yang telah menyelamatkan anaknya. Kemudian ia menjadi pengikut Sang Buddha.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.