• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

"The Life Of Buddha"

virya

IndoForum Beginner E
No. Urut
36574
Sejak
17 Mar 2008
Pesan
455
Nilai reaksi
11
Poin
18
24890_1145272250992_1803106176_290594_8312692_n.jpg


Riwayat Hidup Buddha Gotama yang dipaparkan di bawah ini hanyalah merupakan garis besar dari kehidupan Beliau dari kelahiran-Nya sebagai Pangeran Siddhattha sampai Parinibbana (kemangkatan mutlak), serta beberapa peristiwa penting dalam kronologi pembabaran Dhamma oleh-Nya.
 
24890_1145272290993_1803106176_290595_5470919_n.jpg


Empat asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa yang lalu, terdapat sebuah kota yang makmur bernama Amaravatã. Sebuah kota yang sempurna dalam segala hal. Indah dan menyenangkan. Dikelilingi oleh pohon-pohon hijau dan taman yang indah, memiliki persediaan makanan dan barang-barang kebutuhan yang cukup. Kaya akan barang-barang berharga untuk dinikmati oleh masyarakatnya. Kota ini menghangatkan hati para dewa dan manusia.
Di kota ini selalu terdengar suara-suara dari sepuluh macam suara seperti, suara gajah, kuda, kereta, suara genderang besar, genderang kecil, harpa, nyanyi-nyanyian, tiupan kulit kerang, tepuk tangan, dan undangan-undangan pesta. (Di kota-kota lain penuh dengan suara yang tidak menyenangkan, teriakan-teriakan dan tangisan yang menyakitkan).
Kota ini teranugerahi dengan semua karakteristik dari sebuah kota metropolitan. Tidak kekurangan mata pencaharian untuk mencukupi kebutuhan hidup seperti: berlian, emas, perak, mata kucing, mutiara, zamrud, dan selalu didatangi oleh pengunjung-pengunjung dari luar. Lengkap dengan segala barang-barang seperti di alam surga. Di sini adalah alam di mana orang-orang menikmati buah dari perbuatan-perbuatan baik.

Di kota Amaravatã ini hiduplah seorang Brahmana bernama Sumedhà. Ibunya adalah keturunan dari keluarga Brahmana dari generasi ke generasi, demikian pula dengan ayahnya. Sehingga, ia adalah seorang Brahmana murni karena kelahiran, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Ia terlahir dari seorang ibu yang kaya raya dan baik. Ia tidak dapat dicemooh karena kelahirannya dengan mengatakan, “Orang ini lahir dari golongan rendah sampai tujuh generasi leluhurnya.” Ia adalah orang yang tak dapat diremehkan atau dicela. Ia adalah seorang dengan darah Brahmana murni dengan fisik yang menarik perhatian setiap orang.
Sehubungan dengan kekayaannya: Ia memiliki harta yang tersimpan dalam gudang harta dalam jumlah yang sangat besar dan sejumlah besar hasil panen serta barang-barang kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Ia memelajari tiga Kitab Veda: Iru, Yaju, dan Sàma. Menguasai kitab-kitab ini dan dapat menghafalnya tanpa cacat. Tanpa kesulitan ia menguasai:
1. Nighandu, buku yang menjelaskan berbagai istilah,
2. Ketubha, buku mengenai literatur-literatur yang berisi bermacam literatur yang ditulis oleh para peneliti terpelajar,
3. Vyakarana (Akkharapabheda), buku Tata Bahasa yang berhubungan dengan analisis kata-kata dan menjelaskan aturan-aturan tata bahasa dan istilah-istilah seperti alphabet, konsonan, dll,
4. Itihasa (juga disebut Påraõa) yang merupakan Veda kelima yang menceritakan tentang legenda-legenda dan kisah-kisah kuno.
Ia juga ahli dalam Lokayata, karya filosofis yang menentang perbuatan-perbuatan yang dapat memperpanjang saÿsàra dan juga karya yang berhubungan dengan orang-orang besar seperti: Buddha yang akan datang, Pacceka Buddha yang akan datang. Ia juga seorang guru yang mengajarkan cerita-cerita Brahmanis yang diajarkan dari generasi ke generasi.
Orangtua Sumedhà meninggal dunia sewaktu ia masih sangat muda. Penjaga harta keluarga, membawa daftar harta, membuka gudang harta yang penuh dengan emas, perak, batu delima, mutiara, dan lain-lain, dan berkata, “Tuan muda, sebanyak inilah harta yang engkau warisi dari pihak ibu, dan sebanyak ini dari pihak ayah, dan sebanyak ini dari leluhurmu.” Ia memberitahukan Sumedhà tentang kekayaan yang diwarisinya dari tujuh generasi leluhurnya, dan berkata, “Lakukan apa pun yang engkau inginkan dari kekayaan ini.” Kemudian menyerahkannya kepada Sumedhà.
Sumedhà Pergi Bertapa
Suatu hari Sumedhà naik ke teras atas istananya, duduk bersila dalam keheningan, timbul pikiran berikut ini dalam dirinya:
“Sungguh menyedihkan kelahiran sebagai makhluk hidup; Demikian pula kehancuran dari badan jasmani; Sungguh menyedihkan mati dalam tekanan kebodohan dan di bawah kekuasaan usia tua.”
“Karena harus mengalami kelahiran, usia tua, dan sakit, aku akan mencari Nibbàna di mana usia tua, kematian, dan ketakutan padam.”
“Betapa menyenangkan seandainya aku dapat bebas dari tubuh ini secara total, karena tubuh ini penuh dengan benda-benda kotor seperti: air seni, kotoran, darah, ludah, dahak, nanah, lendir, empedu, keringat, dan lain-lain.”
“Pasti ada jalan menuju Nibbàna yang penuh dengan kedamaian. Tidak mungkin tidak ada. Aku akan mencari Jalan menuju Nibbàna sehingga aku dapat terbebas dari lingkaran kehidupan.”
“Misalnya saja, di mana ada penderitaan (dukkha), di sana juga ada kebahagiaan (sukha). Demikian pula, di mana ada lingkaran kelahiran yang merupakan timbulnya dukkha, disana juga ada Nibbàna yang merupakan padamnya dukkha.”
“Demikian pula, jika ada panas, juga ada dingin; jika ada tiga api nafsu, keserakan, kebencian, dan kebodohan, pasti juga ada Nibbàna yang merupakan padamnya tiga api ini.”
“Di mana ada perbuatan jahat, di sana juga ada perbuatan baik: Demikian pula, di mana ada kelahiran kembali, di sana juga ada Nibbàna di mana energi kelahiran kembali dipadamkan.”
Setelah munculnya pikiran-pikiran ini, ia merenungkan dalam-dalam:
“Misalnya, seseorang yang telah terjatuh ke dalam kotoran atau yang tergelincir ke dalam kubangan yang kotor dan melihat dari jauh sebuah kolam yang jernih yang dihiasi oleh lima macam bunga teratai; Jika setelah melihat kolam ini, ia tidak berusaha untuk mencari jalan dan pergi menuju kolam itu; ini bukanlah kesalahan kolam tersebut, tetapi kesalahan orang tersebut; Demikian pula, ada sebuah kolam besar Nibbàna di mana seseorang dapat mencuci kotoran batinnya, jika seseorang itu tidak mencari kolam besar Nibbàna itu, ini bukanlah kesalahan Nibbàna.”
“Seperti seseorang yang dikepung oleh musuh dan tidak berusaha untuk meloloskan diri walaupun di sana ada jalan untuk melarikan diri, itu bukanlah kesalahan jalan itu; Demikian pula jika seseorang yang ditawan oleh musuh yang berbentuk kotoran batin, tidak berusaha untuk melarikan diri walaupun telah ada jelas sekali jalan besar menuju kota emas Nibbàna di mana seseorang aman dari musuh-musuh yang berbentuk kotoran batin, ini bukanlah kesalahan jalan besar tersebut.
“Seperti, seseorang yang menderita penyakit, tidak dapat sembuh walaupun ada dokter yang ahli. Dokter itu tidak dapat disalahkan; Demikian pula jika seseorang yang sangat menderita penyakit kotoran batin tidak mencari seorang guru untuk menyembuhkan penyakit itu, meskipun di sana ada seorang yang ahli dalam melenyapkan kotoran batin, guru tersebut tidak dapat disalahkan.”
Kemudian Sumedhà lebih jauh merenungkan sebagai berikut untuk terbebas dari jasmani:
“Seperti seseorang yang dibebani oleh mayat seekor binatang yang tergantung di lehernya dan membebaskan diri dari bangkai busuk tersebut dan pergi ke mana pun yang ia inginkan dengan bebas dan bahagia. Demikian pula Aku akan pergi menuju Kota Nibbàna dan meninggalkan jasmani yang busuk ini yang bukan lain hanyalah kumpulan benda-benda menjijikkan.”
“Seperti mereka yang meninggalkan kotoran mereka di kakus tanpa pernah menengok ke belakang. Demikian pula Aku akan pergi ke Kota Nibbàna setelah meninggalkan jasmani ini yang penuh dengan benda-benda menjijikkan.”
“Seperti seorang pemilik perahu tua, bocor, dan rusak, meninggalkan perahunya dengan muak. Demikian pula Aku akan pergi ke Kota Nibbàna setelah meninggalkan tubuh ini, yang dari sembilan lubang pada tubuh di mana kotoran yang menjijikkan mengalir keluar.”
“Seperti seseorang yang membawa banyak harta yang kebetulan melakukan perjalanan dengan para perampok, meninggalkan para perampok itu dan melanjutkan perjalanan dengan aman ketika ia menyadari bahaya hartanya dirampok. Demikian pula, karena pikiran bahwa “harta kebajikanku dapat dirampok” membuat aku takut, aku akan meninggalkan jasmani ini yang seperti kepala perampok dan akan pergi mencari jalan menuju Nibbàna yang tidak diragukan lagi memberikan keamanan dan kebahagiaan bagiku.”
Mahàdàna
Setelah merenungkan hal-hal tadi, sekali lagi Sumedhà Sang Bijaksana berpikir, “Dengan memiliki banyak kekayaan ini, ayahku, kakakku, dan para leluhurku serta saudara-saudaraku selama tujuh generasi bahkan tidak mampu membawa hanya satu keping uang pun pada saat mereka meninggal dunia. Namun aku harus dapat menemukan cara untuk membawa kekayaanku ke Nibbàna.” Kemudian ia menghadap raja dan berkata, “Yang Mulia, karena pikiranku sangat terganggu oleh bahaya besar akan penderitaan yang ditimbulkan oleh kelahiran, usia tua, dan lain-lain, maka aku akan pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi petapa. Aku mempunyai banyak harta kekayaan. Ambillah hartaku itu.”
“Aku tidak menginginkan harta kekayaanmu. Kamu dapat melepaskannya dengan cara yang engkau inginkan” jawab Raja. “Baiklah, Yang Mulia” jawab Sumedhà Sang Bijaksana. Kemudian dengan tabuhan genderang besar, ia mengumumkan di seluruh kota Amaravatã, “Kepada siapa pun yang menginginkan kekayaanku, silakan datang dan ambil.” Dan ia mendanakan kekayaannya dalam suatu mahàdàna kepada semua orang tanpa membedakan status miskin atau kaya.
Melepaskan Keduniawian
Setelah melakukan mahàdàna, Sumedhà yang Bijaksana, Bakal Buddha, melepaskan keduniawian dan pergi menuju Pegunungan Himalaya dengan tujuan ke Gunung Dhammika pada hari itu juga. Dewa Sakka melihat Sumedhà mendekati Pegunungan Himalaya, memanggil Vissukamma dan berkata, “Pergilah, Vissukamma, Sumedhà, Sang Bijaksana telah melepaskan keduniawian dan bermaksud menjadi petapa. Buatkan sebuah tempat tinggal untuknya.”
“Baiklah Yang Mulia,” jawab Vissukamma. Kemudian ia membuat rancangan sebuah pertapaan yang di dalamnya terdapat sebuah bangunan gubuk beratap daun-daunan dan dilengkapi jalan setapak yang nyaman dan tanpa cacat. (Penulis menjelaskan bahwa jalan ini tanpa cacat karena bebas dari lima macam cacat yaitu:)
(1) jalan yang kasar dan tidak rata,
(2) ada pohon-pohonan di jalan tersebut,
(3) tertutup oleh semak-semak,
(4) terlalu sempit, dan
(5) terlalu lebar.
(Penulis kemudian menggambarkan jalan setapak itu dan memberikan ukuran: panjangnya enam puluh lengan (1 lengan = 45-55cm), terdiri dari tiga lajur, lajur utama di tengah dan dua lajur yang lebih sempit di kiri dan kanannya, lajur utama lebarnya satu setengah lengan, sedangkan dua lajur lainnya masing-masing lebarnya satu lengan. Keseluruhan jalan ini dibuat di atas tanah yang datar dan rata yang dilapisi oleh pasir putih.) (Gubuk yang dibangun berisi bermacam perlengkapan petapa seperti: penutup kepala, jubah, tempat air, dan lain lain. Vissukamma kemudian menulis di dinding bagian dalam gubuk, sebuah tulisan, “Kepada siapa pun yang ingin menjadi petapa, boleh menggunakan perlengkapan ini.” Kemudian ia kembali ke alam Dewa.)
Mulai Bertapa
Sesampainya di kaki Pegunungan Himalaya, Sumedhà, Sang Bijaksana berjalan di sepanjang perbukitan dan mencari tempat yang sesuai di mana ia dapat tinggal dengan nyaman. Di sana, di lekukan sungai di wilayah Gunung Dhammika, ia melihat sebuah pertapaan yang indah yang dibangun oleh Vissukamma atas perintah Dewa Sakka. Kemudian ia berjalan perlahan-lahan menuju jalan setapak, namun ia tidak melihat jejak kaki di atas jalan setapak itu, ia berpikir, “Mungkin, para penghuni pertapaan ini sedang beristirahat di dalam pondoknya setelah mengumpulkan dàna makanan yang melelahkan di pemukiman sana.” Dengan pikiran seperti itu ia menunggu beberapa saat.
Namun tidak terlihat tanda-tanda keberadaan orang di sana setelah waktu yang cukup lama. “Aku telah menunggu cukup lama, aku akan menyelidiki apakah tempat ini ada penghuninya atau tidak.” Ia membuka pintu dan masuk ke gubuk, melihat ke sana kemari, kemudian terlihat tulisan di dinding dan berpikir, “Perlengkapan ini cocok untukku. Aku akan menggunakannya dan menjadi petapa.” Setelah memutuskan demikian, dan setelah merenungkan sembilan kerugian memakai pakaian orang biasa dan dua belas keuntungan memakai jubah, kemudian ia mengganti pakaiannya dengan memakai jubah tersebut.
Meninggalkan Gubuk dan Tinggal di Bawah Pohon
Setelah ia menanggalkan pakaiannya yang mewah, Sumedhà, Sang Bijaksana, mengambil jubah yang berwarna merah seperti bunga amoja yang ditemukannya terlipat rapi di atas pasak bambu, siap untuk dipakai, ia melilitkan jubah itu di sekeliling pinggangnya. Di atasnya ia memakai jubah lain yang berwarna emas, yang juga menutupi bahu kirinya. Ia memakai penutup kepala dan mengencangkannya menggunakan penjepit rambut berwarna putih, mengambil sebuah pikulan untuk membawa perlengkapan yang di satu ujungnya digantungkan jaring tempat ia meletakkan tempat air berwarna batu karang, dan di ujung lainnya digantungkan gancu panjang (dipakai untuk memetik buah-buahan dari pohon), sebuah keranjang, tongkat, dan lain lain. Kemudian ia menggantungkan pikulan perlengkapan itu di bahunya yang sekarang penuh dengan perlengkapan petapa. Dengan memegang tongkat di tangan kanannya, ia berjalan keluar dari gubuknya. Sewaktu berjalan mondar mandir sepanjang jalan setapak sepanjang enam puluh lengan, ia mengamati dirinya dengan penampilan baru dan merasa gembira dengan pikiran:
“Keinginanku telah terpenuhi,
Indah sekali kehidupan bertapaku ini,
Kehidupan bertapa sangat dipuja oleh para bijaksana,
seperti para Buddha dan Pacceka Buddha,
Penjara rumah tangga telah ditinggalkan,
Aku telah keluar dengan selamat dari alam kenikmatan duniawi,
Aku telah memasuki kehidupan menjadi seorang petapa,
Aku akan berusaha melatih kehidupan suci,
Aku akan berusaha mendapatkan hasil dari latihan-latihan suci ini.”
Kemudian ia menurunkan pikulan perlengkapan dari bahunya, duduk diam seperti patung emas di atas batu di tengah jalan setapak, ia melewatkan hari itu di sana.
Pada waktu malam ia masuk ke gubuk, berbaring di atas papan di pinggir dipan, ia menggunakan jubah sebagai selimut dan tidur. Ketika ia bangun keesokan paginya, ia merenungkan alasan mengapa ia ada di sana:
“Karena melihat bahaya dari hidup berumah tangga, dan karena telah melepaskan harta kekayaan, aku masuk ke hutan dan menjadi petapa dengan tujuan untuk mencari jalan yang dapat membebaskan aku dari perangkap nafsu. Mulai saat ini, aku tidak boleh lalai. Ada tiga jenis pikiran salah, yaitu yang berasal dari nafsu (kàma vitakka) yang mengarah kepada kenikmatan indra, yang berasal dari kebencian (vyàpàda vitakka) yang mengarah kepada pembunuhan, perusakan, mencelakai; yang berasal dari kekejaman (vihiÿsa vitakka) yang mengarah kepada melukai dan menyakiti makhluk-makhluk lain. Pikiran-pikiran ini seperti lalat liar yang diberi makanan oleh mereka yang malas dan tidak mau melatih batin agar terbebas dari kotoran batin dan kemelekatan fisik terhadap nafsu indra. Sekaranglah waktunya bagiku untuk secara total melatih ketidak-terikatan (paviveka).”
“Sebenarnyalah, setelah melihat bahaya dari hidup berumah tangga yang menghalangi, merintangi, dan merugikan latihan-latihan ini, aku melepaskan keduniawian. Gubuk dari dedaunan ini sebenarnya sangat indah. Tanah yang baik ini kuning cerah seperti buah yang matang. Dindingnya putih keperakan. Atap dedaunan ini indah kemerahan seperti warna kaki merpati. Dipan rotan ini memiliki corak bagaikan alas tempat tidur yang mewah. Tempat tinggal ini sangatlah nyaman untuk ditempati. Kupikir, kemewahan yang dimiliki petapa sebelumku di sini tidak dapat melebihi kemewahan dari gubuk ini.” Dengan perenungan ini, ia melihat delapan cacat dalam sebuah gubuk dedaunan dan sepuluh keuntungan dari tinggal di bawah pohon. Karena itu, hari itu juga ia meninggalkan gubuk itu dan mencari pohon yang memiliki sepuluh manfaat.
Bermeditasi Dengan Hidup Hanya dari Buah-buahan
Keesokan paginya, ia memasuki perkampungan untuk mengumpulkan dàna makanan. Para penduduk menyediakan berbagai macam makanan. Setelah selesai makan, ia kembali ke tempatnya di hutan, kemudian duduk dan berpikir:
“Aku menjadi petapa bukan karena kekurangan makanan. Makanan yang lezat cenderung menambah kesombongan dan keangkuhan seseorang. Kesulitan yang timbul dari kebutuhan mempertahankan hidup dengan makanan tak akan berakhir. Baik sekali jika aku dapat menghindarkan dari memakan makanan yang berasal dari hasil pertanian dan hidup hanya dari buah-buahan yang jatuh dari pohon.”
Sejak saat itu, ia hidup hanya dari memakan buah-buahan yang jatuh dari pohon. Tanpa berbaring sama sekali, ia berlatih meditasi terus-menerus tanpa putus hanya dalam tiga postur: duduk, berdiri, dan berjalan, hingga pada hari ketujuh, ia mencapai Delapan pencapaian (delapan tingkat Jhàna) dan lima kekuatan batin tinggi (Abhi¤¤à).
Buku Buddhavaÿsa menceritakan kisah Sumedhà Sang Bijaksana, Bakal Buddha, mulai sejak ia melakukan mahàdàna, sampai kepada saat ia menjadi petapa dan mencapai kekuatan batin dan Jhàna.
 
39867_150280661648765_100000004961322_501468_2913763_n.jpg



Sumedha mengorbankan dirinya

Sumedha menatap tanpa berkedip pada sosok Buddha, yang dianugerahi dengan 32 tanda besar seorang manusia luar-biasa ( Mahapurissa ), dan 80 tanda-tanda kecil lainnya. Ia menyaksikan sosok Buddha yang indah dan bercahaya, seperti terbuat dari emas-murni, dengan aura terang di sekeliling-Nya dan enam sinar memancar dari tubuh-Nya, seperti kilat di langit biru.

Kemudian Sumedha memutuskan sebagai berikut, “Hari ini, aku akan mengorbankan diriku untuk Buddha. Agar Ia tidak menginjak lumpur dan mengalami ketidaknyamanan, biarlah Buddha beserta 400.000 Arahanta menginjak punggungku dan seolah-olah berjalan di atas jembatan kayu berwarna batu delima. Dengan menggunakan tubuhku sebagai jembatan oleh Buddha dan para Arahanta, aku pasti akan mendapat kesejahteraan dan kebahagiaan dalam jangka waktu yang lama.”

Setelah mengambil keputusan demikian, ia melepaskan sabuknya, menggelar matras kulit macan dan jubahnya di atas tanah becek kemudian berbaring tiarap diatasnya, bagaikan jembatan yang terbuat dari kayu berwarna batu delima.


Aspirasi Sumedha untuk mencapai Ke-Buddha-an

Sumedha, yang sedang bertiarap, seketika muncul keinginan untuk menjadi Buddha, “Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya ? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna dari Buddha Dipankara ? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai ke-Buddha-an.”

“Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai ke-Buddha-an dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”

“Setelah mencapai ke-Buddha-an sebagai hasi dari perbuatanku yang tiada bandingnya dengan bertiarap dan menjadi jembatan untuk Buddha Dipankara, aku akan menolong banyak makhluk keluar dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”

“ Setelah menyeberangi sungai samsara dan meninggalkan tiga alam kehiduapn, aku akan menaiki rakit Dhamma Jalan Mulia Berfaktor Delapan dan pergi menyelamatkan semua makhluk termasuk dewa.” Demikianlah pikirannya bercita-cita untuk menjadi Buddha.


Sumitta , Kelak Menjadi Yasodhara

Sewaktu Sumdedha sedang memikirkan cita-cita untuk mencapai ke-Buddha-an, seorang Brahmana perempuan muda bernama Sumitta bergabung dengan para penduduk menyambut Buddha. Ia membawa delapan kuntum bunga teratai untuk dipersembahkan pada Buddha Dipankara. Sewaktu ia sampai di tengah-tengah keramaian dan begitu matanya menatap Sumedha, ia terpesona dan seketika jatuh cinta kepadanya. Ia ingin mempersembahkan sesuatu pada Sumedha, tapi ia tidak memiliki apa-apa kecuali delapan kuntum teratai. Kemudian ia berkata kepada Sumedha, “Yang Mulia petapa, aku berikan padamu lima kuntum bunga teratai, agar engkau dapat mempersembahkannya sendiri kepada Buddha. Sisa tiga kuntum ini adalah sebagai persembahanku kepada Buddha”. Kemudian ia menyerahkan lima kuntum bunga teratai itu kepada Sumedha, kemudian menyampaikan keinginannya, “ Yang Mulia Petapa, selama waktu yang akan engkau jalani dalam mencapai Ke-Buddha-an ; semoga aku dapat selalu menjadi pendampingmu.”

Sumedha menerima bunga teratai dari Sumitta dan di tengah-tengah keramaian, mempersembahkannya kepada Buddha-Dipankara, yang datang menghampirinya.


Ramalan Pasti dari Buddha Dipankara : Sumedha kelak akan menjadi Buddha

Mengamati apa yang sedang terjadi antara Sumedha dan Sumitta, Buddha membuat ramalan di tengah-tengah keramaian :

“ O… Sumedha, perempuan ini Sumitta, akan menjadi pendampingmu dalam berbagi hidup, membantumu dengan semangat dan perbuatan yang sama dalam usahamu mencapai ke-Buddha-an, ia akan membahagiakanmu dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatannya, ia akan berpenampilan cantik dan menyenangkan, manis tutur katanya dan baik hati. Dalam usahamu mencapai ke-Buddha-an, dalam kelahiranmu yang terakhir, ia akan menjadi murid perempuan yang akan menerima warisan spiritual darimu, menjadi seorang Arahanta, lengkap dengan kemampuan batin tinggi.”

Pada saat Buddha-Dipankara menyatakan hal tersebut diatas, Petapa Sumedha memang telah memenuhi kedelapan faktor yang diperlukan untuk menerima ramalan kepastian bahwa kelak ia akan menjadi Buddha. Kedelapan faktor tersebut adalah :

1.Ia adalah manusia
2.Ia adalah laki-laki
3.Telah memenuhi semua kondisi seperti Kesempurnaan yang diperlukan untuk meraih tingkat ke-Arahatta-an dalam kehidupan itu juga
4.Dia harus bertemu muka dengan muka dengan seorang Buddha yang hidup.
5.Dia harus menjadi seorang Petapa yang percaya hukum karma (Kammavadi) atau pernah menjadi anggota Sangha dalam masa kehidupan seorang Buddha.
6.6. Dia harus memiliki kekuatan-batin / mencapai keempat Rupa-Jhana dan keempat Arupa-Jhana ( yang dikenal sebagai “Attha-Samapatti-Jhana-Labhi” ).
7.Berusaha keras untuk mengembangkan kesempurnaan tanpa memperdulikan hidupnya .
8.Dia harus memiliki kebulatan tekad yang kuat untuk menjadi seorang Buddha meskipun dia tahu bahwa dia akan menanggung penderitaan sebagai binatang, setan, dan lain-lain di dunia yang menyedihkan. Dengan kata lain, dia harus mencegah dirinya untuk mencapai tingkat Arahat, dengan tekad bulat dan tetap berdiam di dalam samsara untuk kepentingan ummat manusia dan para dewa.
Mengetahui bahwa Sumedha memiliki persyaratan ini, Buddha Dipankara menghampiri Sumedha dan berdiri di dekat kepalanya, selagi ia masih bertiarap, dengan kekuatan batin-Nya, melihat jauh ke masa depan untuk mengetahui apakah Sumedha, yang sedang berbaring tiarap di atas lumpur, yang berkeinginan untuk menjadi Buddha, dapat tercapai keinginannya atau tidak.

Buddha Dipankara mengetahui semua tentang masa depan Sumedha, dan berkata,” Sumedha akan menjadi Buddha, bernama Gotama, setelah 4 Asankkheyya-Kappa dan 100.000 Kappa sejak saat ini.”

Setelah mendengar ramalan Buddha Dipankara yang tiada bandingnya di tiga alam, dewa dan manusia bersorak gembira, “Dikatakan Sumedha Sang petapa, adalah benar-benar seorang Bakal Buddha.” Mereka menepuk lengan kiri atas mereka dalam kegembiraan ( pada masa itu mereka tidak bertepuk tangan untuk menyatakan kegembiraan, tapi menepuk lengan kiri dengan telapak tangan kanan ). Dewa dan Brahma yang datang dari sepuluh ribu alam semesta bersama-sama dengan manusia mengangkat tangan memberi penghormatan.

Mereka juga mengungkapkannya lewat pengharapan,” Meskipun sekarang kami gagal dalam melatih ajaran Buddha Dipankara, raja dunia, kami akan bertemu lagi dengan petapa mulia ini yang kelak akan menjadi Buddha; saat itu kami akan sungguh-sungguh berusaha keras untuk mencapai pengetahuan Dhamma yang lebih tinggi.”

Setelah Buddha Dipankara membuat ramalan, Ia pergi dengan menginjakkan kaki kanan-Nya di sebelah Sumedha. Keempat ratus ribu Arahanta juga meninggalkan tempat dengan Sumedha di sisi kanan mereka ( setelah mempersembahkan bunga dan dupa ). Demikian pula dengan manusia, para Naga, musisi Surgawi ( Gandhabba ) meninggalkan tempat setelah memberi penghormatan kepada Sumedha dan mempersembahkan bunga dan dupa.

Setelah Buddha Dipankara dan keempat ratus ribu Arahanta menghilang dari pandangan, Sumedha bangun dengan gembira dari posisi tiarapnya, dan dengan pikiran dipenuhi kegembiraan dan kebahagiaan, ia duduk bersila diaas tumpukan bunga-bunga yang ditebarkan untuk menghormatinya oleh para dewa dan manusia, kemudian merenungkan :

“ Aku telah berhasil mencapai Jhana dan lima kemampuan batin. Di sepuluh ribu alam semesta, tidak ada petapa yang menyamaiku. Aku tidak melihat seorang pun yang sama denganku dalam hal kekuatan batin.” Dan Sumedhapun merasakan kegembiraan dan kebahagiaan luar biasa.
 
24890_1145273171015_1803106176_290617_6691735_n.jpg


Demikianlah pada kelahiran terakhirnya sebagai Bakal Buddha ketika Beliau terlahir sebagai Pangeran Vessantara, Beliau sampai pada akhir dari periode pengumpulan Pàramã dengan melakukan semua kebajikan-kebajikan terakhir yang melebihi segalanya, yang tiada bandingnya dan yang layak dianugerahi dengan Pencerahan Sempurna. Hal ini memberikan kesan dan penghormatan bahkan oleh bumi yang besar (Mahàpathavã) yang berguncang tujuh kali. Dan setelah mengakhiri kehidupannya di alam manusia, Bakal Buddha kita terlahir sebagai dewa bernama Setaketu di Surga Tusita. Beliau memiliki sepuluh tanda-tanda yang tidak dimiliki oleh dewa-dewa lainnya, yaitu: (1) umur panjang, (2) kerupawanan fisik, (3) kebahagiaan luar biasa, (4) kekayaan dan pengikut yang banyak, (5) kekuasaan, (6) indria penglihatan, (7) indria pendengaran, ( indria penciuman, (9) indria pengecap, dan (10) indria sentuhan.
(Jika dikatakan bahwa, “Samudra raya, dari batas cakkavala, terus sampai mencapai kaki Gunung Meru, yang kedalamannya mencapai delapan puluh empat ribu yojanà.” Tidak perlu disebutkan bahwa menghitung tetesan air di samudra itu adalah hal yang mustahil. Demikian pula halnya, orang-orang baik yang mendengar atau membaca bahwa Bakal Buddha selama empat asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa, dengan tanpa henti dan tidak mengenal lelah terus-menerus memenuhi Pàramã, càga, dan cariya dengan empat pengembangan, seseorang dapat merenungkan dalam-dalam dengan penuh keyakinan bagaimana Bodhisatta memenuhi Kesempurnaan, dan lain-lain, dalam setiap kelahiran yang lebih banyak dari jumlah tetesan air yang tidak terhitung di samudra raya.)
Seruan Mengumumkan Munculnya Buddha (Buddha Kolahala)
Dewa Setaketu, Bakal Buddha, menikmati kebahagiaan surgawi di Surga Tusita selama empat ribu tahun surga yang sama dengan lima ratus tujuh puluh enam juta tahun manusia. Kemudian, seribu tahun manusia sebelum kehidupannya di Surga Tusita berakhir, para brahmà di Alam Suddhavasa berseru, “Teman-teman! Seribu tahun dari sekarang, akan muncul seorang Buddha di alam manusia!”
Karena seruan ini yang berasal dari langit surga, muncullah seruan-seruan yang mengabarkan kemunculan Buddha (Buddha kolahala), “Seorang Buddha akan muncul!, seorang Buddha akan muncul!” yang bergema ke seluruh dunia selama seribu tahun ke depan sejak saat itu.
(Mengenai nama Bodhisatta dewa, disebutkan dalam salah satu bab dari Ratanasaïkama, Buddhavaÿsa Pàëi, sebagai berikut: Yada’ham Tusite kàye Santusito nàma’ham tadà. Yang menyebutkan bahwa dewa tersebut bernama Santusita. Juga di dalam Komentar Buddhavaÿsa dan Jinalaïkara òãkà, nama yang sama disebutkan lagi. Tetapi dalam penjelasan Pubbenivasa-katha, Vera¤ja kaõóa dari Komentar Pàràjika dan dalam penjelasan Bhayabherava Sutta dari Komentar Målapaõõàsa, nama dewa itu disebut Setaketu. Selain itu penulis Buddhavaÿsa dari Myanmar, seperti Tathàgata-Udàna Dãpanã, Màlàlaïkàra Vatthu, Jinatthapakàsani, dan lain-lain menyebutkan bahwa Setaketu adalah nama dewa tersebut. Dan menurut penjelasan dari beberapa guru, Santusita adalah nama yang berasal dari kata Tusita, nama alam dewa tempat dewa tersebut. Sedangkan Setaketu adalah nama sebenarnya dari dewa yang kelak menjadi Buddha Gotama.)
Permohonan Kepada Bodhisatta Dewa
Mendengar seruan yang memberitakan tentang akan munculnya seorang Buddha, semua raja dewa dari sepuluh ribu alam semesta, seperti Catuahàràja, Sakka, Suyàma, Santusita, Sunimmita, Vasavattã dan semua Mahàbrahmà berkumpul di suatu alam tertentu untuk mendiskusikan mengenai Bakal Buddha yang usianya tinggal tujuh hari manusia lagi, dan yang sedang mendekati ajalnya dan telah melihat lima tanda-tanda (pubbanimita). Kemudian mereka semua mendatangi Dewa Setaketu dengan beranjali dan memohon:
“O Bodhisatta dewa, Engkau telah memenuhi Sepuluh Kesempurnaan, bukan untuk memperoleh kebahagiaan Sakka, Màra, Brahmà atau Raja Dunia. Engkau memenuhi Kesempurnaan ini dengan cita-cita hanya untuk mencapai Kebuddhaan, agar memperoleh Kebebasan, juga untuk membebaskan makhluk-makhluk lain, manusia, dewa, dan brahmà. O Bodhisatta dewa, ini adalah waktu yang paling tepat bagi-Mu untuk menjadi Buddha, ini benar-benar waktu yang tepat untuk menjadi Buddha! Oleh karena itu, sudilah Engkau masuk ke rahim ibu-Mu di alam manusia. Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, semoga Engkau juga membebaskan manusia, dewa, dan brahmà dari saÿsàra dengan mengajarkan Dhamma Keabadian, Nibbàna.”
Sang Bodhisatta Melakukan Lima Penyelidikan
Bodhisatta dewa Setaketu tidak terburu-buru menyanggupi permohonan para dewa dan brahmà yang datang dari sepuluh ribu alam semesta. Sesuai tradisi para Bodhisatta terdahulu, Beliau akan melakukan lima penyelidikan sebagai berikut: 1. Waktu yang tepat bagi munculnya seorang Buddha,
2. Benua yang cocok bagi munculnya seorang Buddha,
3. Negeri yang tepat bagi munculnya seorang Buddha,
4. Keluarga di mana Bodhisatta (dalam kelahiran terakhirnya) akan dilahirkan, dan
5. Umur kehidupan dari bakal ibu Bodhisatta.
Dari lima penyelidikan ini, Bodhisatta mempertimbangkan yang pertama:
1. “Apakah waktunya tepat atau tidak bagi kemunculan seorang Buddha?” Waktu yang tidak tepat bagi kemunculan seorang Buddha adalah jika umur kehidupan manusia sedang naik dari seratus ribu tahun, karena dengan umur yang sangat panjang itu berarti penderitaan yang disebabkan oleh kelahiran, penyakit, usia tua, dan kematian tidak terlihat jelas, karena tertutup oleh panjangnya umur kehidupan sehingga manusia tidak menyadari semua penderitaan. Khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Buddha biasanya selalu berbicara tentang karakteristik ketidakkekalan (anicca), penderitaan (dukkha), dan tanpa-diri (anatta). Jika Buddha yang muncul pada saat umur kehidupan manusia lebih dari seratus ribu tahun, dan membabarkan khotbah mengenai anicca, dukkha, dan anatta, umat manusia pada masa itu akan menjadi bingung, bertanya-tanya apa yang sedang diajarkan oleh Buddha, mereka tidak akan mendengarkan apalagi memercayai khotbah tersebut. Tanpa mendengarkan atau memercayai, umat manusia akan bertanya-tanya apa yang sedang dikhotbahkan. Mereka tidak akan dapat memahami Empat Kebenaran Mulia apalagi mencapai Nibbàna. Tidak ada gunanya mengajarkan tiga karakteristik yang dapat membebaskan makhluk-makhluk dari saÿsàra kepada mereka yang tidak memercayai. Oleh karena itu, masa di mana umur kehidupan manusia lebih dari seratus ribu tahun, adalah tidak tepat bagi munculnya seorang Buddha.
Masa di mana umur kehidupan manusia di bawah seratus tahun juga bukan waktu yang tepat bagi kemunculan seorang Buddha, karena manusia pada masa itu terperangkap dalam kotoran batin yang disebabkan oleh kenikmatan indria. Khotbah Dhamma yang diberikan pada orang-orang ini tidak akan dapat bertahan; bahkan langsung lenyap bagaikan menulis di atas permukaan air, yang segera lenyap tanpa meninggalkan bekas apa pun. Oleh karena itu, umur kehidupan manusia yang pendek, di bawah seratus tahun, juga bukan waktu yang tepat bagi kemunculan seorang Buddha.
Dalam periode di mana umur kehidupan manusia berada antara seratus tahun sampai dengan seratus ribu tahun, periode inilah waktu yang tepat bagi munculnya seorang Buddha. Dalam masa ini kelahiran, usia tua, dan kematian terlihat dengan jelas, dengan demikian ajaran mengenai tiga karakteristik dan ajaran mengenai bagaimana makhluk-makhluk dapat terbebas dari saÿsàra dapat dipahami dengan mudah, dan di mana makhluk-makhluk tidak terlalu terikat dengan kotoran batin yang berbentuk kenikmatan indria. Oleh karena itu, periode ini adalah waktu yang tepat bagi kemunculan seorang Buddha. Masa di mana umur kehidupan manusia berada diantara seratus tahun dan seratus ribu tahun adalah waktu yang paling tepat bagi seorang Bodhisatta untuk mencapai Kebuddhaan. (Kebetulan, ketika para dewa dan brahmà mengajukan permohonan kepada Dewa Setaketu, umur kehidupan manusia adalah sekitar seratus tahun). Dengan demikian Bodhisatta Dewa Setaketu melihat bahwa waktunya tepat dan memutuskan, “Ini adalah waktu yang tepat bagiku untuk menjadi Buddha.”
2. Kemudian Beliau menyelidiki di pulau atau benua apa yang cocok bagi kemunculan seorang Buddha. Ada empat benua besar, masing-masing dikelilingi oleh ratusan pulau kecil-kecil. Di antaranya ada satu yang disebut Jambådãpa (disebut Jambådãpa karena banyak terdapat tanaman jambu (Eugenia jambolana) yang tumbuh di sana). Terlihat oleh Bodhisatta bahwa benua ini adalah satu-satunya tempat kemunculan Buddha-Buddha sebelumnya. 3. Kemudian Beliau menyelidiki, “Jambådãpa ini sangatlah luas, berukuran sepuluh ribu yojanà. Di manakah Buddha sebelumnya muncul di tempat yang sangat luas ini?” Kemudian Beliau melihat Majjhima-Desa, Wilayah Tengah di Jambådãpa adalah tempat kemunculan Buddha-Buddha terdahulu.
(Majjhima-Desa, Wilayah Tengah dibatasi sebelah timur oleh pohon sàla besar; di timur Kota Gajaïgala; sebelah tenggara oleh Sungai Sallavati; sebelah selatan oleh Kota Setakaõõika; sebelah barat oleh perkampungan Brahmana Thåõa; sebelah utara oleh Gunung Usiraddhaja. Wilayah Tengah itu sendiri berukuran panjang tiga ratus yojanà, lebarnya dua ratus lima puluh yojanà dan kelilingnya sembilan ratus yojanà. Wilayah di luar perbatasan disebut wilayah perbatasan (paccanta). Hanya di Majjhima-Desa seorang Buddha yang Mahàtahu, para Pacceka Buddha, Siswa-Siswa Utama, delapan puluh siswa lainnya, raja dunia, kaum kesatria yang kaya dan berkuasa, bràhmaõa, dan suku Gahapati yang dapat hidup makmur).
4. Selanjutnya Beliau menyelidiki di keluarga mana Bodhisatta akan dilahirkan pada kelahiran terakhirnya. Beliau mengetahui bahwa “Bodhisatta-Bodhisatta sebelumnya tidak pernah terlahir di keluarga dengan kasta pedagang dan kasta pelayan. Mereka selalu terlahir di keluarga raja atau brahmana, yang paling dihormati pada masa itu. Sewaktu masyarakat memberikan penghormatan tertinggi pada keluarga kerajaan, Bodhisatta akan terlahir di keluarga kerajaan. Dan ketika masyarakat lebih menghormati golongan brahmana, Bodhisatta akan terlahir di keluarga brahmana. Saat ini, keluarga bangsawan lebih dihormati daripada brahmana; aku harus terlahir di keluarga bangsawan. Di antara para raja, Raja Suddhodana adalah keturunan langsung dari Mahàsammata, raja pertama dalam kasta kesatria dari suku Sakya murni. Raja Suddhodana yang mulia ini akan menjadi ayah-Ku.
5. Akhirnya, Beliau menyelidiki siapa yang akan menjadi ibu-Nya dalam kelahiran terakhir-Nya sebagai manusia. Beliau melihat dengan jelas, “Ibu dari seorang Buddha haruslah sempurna dalam kerendahan hati dan tidak pernah berselingkuh, tidak pernah mengkonsumsi alkohol atau minuman keras lainnya; memiliki banyak jasa dan telah memenuhi Kesempurnaan selama seratus ribu kappa untuk menjadi ibu seorang Buddha. Ia terus-menerus mematuhi Lima Sãla tanpa pelanggaran. Sirã Mahàmàyà Devã, permaisuri dari Raja Suddhodana memiliki semua persyaratan ini. Oleh karena itu, Ratu Siri Mahàmàyà Devã akan menjadi ibu-Ku.” Kemudian Beliau menyelidiki lebih jauh, umur kehidupan Ratu Siri Mahàmàyà Devã hanya tinggal sepuluh bulan tujuh hari lagi.
Persetujuan Diberikan Kepada Para Dewa dan Brahmà
Demikianlah, setelah melakukan lima penyelidikan, Bodhisatta Dewa Setaketu memutuskan, “Aku akan turun ke alam manusia dan menjadi Buddha.” Setelah memutuskan demikian, kepada para dewa dan brahmà dari sepuluh ribu alam semesta yang datang berkumpul untuk memohon pada-Nya, Bodhisatta menyatakan kesediaannya; “O Dewa dan Brahmà, sekarang adalah saatnya bagi-Ku untuk menjadi Buddha seperti permohonan kalian, Anda sekalian boleh pergi sekarang; Aku akan turun ke alam manusia untuk mencapai Kebuddhaan.”
Setelah memberikan janji-Nya dan mengucapkan salam perpisahan kepada para dewa dan brahmà, Bodhisatta Dewa Setaketu memasuki Taman Nandavana dengan disertai oleh para dewa Tusita.
Taman Nandavana
Sehubungan dengan Taman Nandavana, dijelaskan menurut Nandana Vagga, dan lain-lain dari Komentar Sagàthà Vagga Saÿyutta. Disebut Taman Nandavana karena taman ini memberikan kegembiraan bagi semua dewa yang mengunjunginya.
Masing-masing dari enam alam dewa memiliki Taman Nandavana masing-masing. Semua taman ini memberikan kegembiraan yang sama, baik di alam yang lebih tinggi maupun di alam yang lebih rendah. Namun demikian, hanya Taman Nandavana di Surga Tàvatiÿsa yang akan dijelaskan di sini.
Taman Nandavana adalah tempat yang megah dan menyenangkan, lengkap dengan pepohonan surgawi, bunga-bunga, paviliun, kereta, dan berbagai hiburan yang menarik dan mengagumkan. Sebuah taman yang benar-benar taman di mana para dewa dapat menghibur diri dengan menyanyi, menari, dan menikmati berbagai hiburan yang disajikan oleh para dewa penari dan seniman dari berbagai usia yang cantik, bersuara merdu, dengan berbagai bentuk dan berwarna-warni, di mana tiap-tiap kelompok berusaha bermain lebih baik daripada kelompok lain dalam menampilkan dengan bebas bermacam kenikmatan indria kepada semua yang datang dari empat penjuru.
Taman Nandavana dianggap oleh para dewa sebagai tempat hiburan terpenting bagi mereka karena memberikan kemewahan dan kegembiraan, sebagai tempat yang menarik, dan semua yang datang untuk mencari lima kenikmatan indria—pemandangan indah, suara merdu, bau harum, rasa lezat, dan sentuhan menyenangkan—dapat merasa puas dan senang.
Taman Nandavana ini juga merupakan tempat untuk menenangkan diri bagi para dewa yang berada di akhir kehidupannya; lima pertanda muncul menjelang kematian yang memberikan peringatan kepada mereka bahwa ajal yang tidak dapat dihindari sudah mendekat. Banyak dewa yang merasa sedih dan putus asa karena akan kehilangan kehidupan yang penuh kebahagiaan. Namun begitu mereka memasuki taman ini, mereka akan kembali merasa tenang, damai, dan bahagia dengan segera.
Apa pun penyebab dari segala kesedihan dan keputusasaan mereka, begitu mereka memasuki Taman Nandavana, mereka segera tenggelam dalam kebahagiaan. Bagaikan embun dan kabut yang hilang oleh cahaya matahari pagi, bagaikan api dari sebuah lampu minyak yang padam karena tiupan angin, demikianlah dewa yang menjelang kematian dibaringkan di sana. Ada sebuah kalimat untuk menggambarkan taman ini, “Mereka yang belum pernah mengunjungi Taman Nandavana, tempat berkumpulnya semua kenikmatan indria, belum memahami kebahagiaan duniawi yang sesungguhnya.” Demikianlah daya tarik Taman Nandavana ini.
Dalam penjelasan Vera¤jakaõóa dari Vinaya Sàrattha Dãpanã Vol. I, tertulis, “Taman Nandavana di Surga Tàvatiÿsa luasnya enam puluh yojanà (menurut beberapa guru luasnya lima ratus yojanà), indah, dan dilengkapi dengan seribu jenis pepohonan surgawi.
Jinàlaïkàra òãkà dalam komentarnya mengenai Tividha Buddha Khetta juga mengatakan, “Taman Nandavana terletak di timur Kota Sudassana di Surga Tàvatiÿsa dan dikelilingi oleh tembok, api, dan gerbang permata. Luasnya seribu yojanà. Tempat rekreasi para dewa. Dua buah danau, Mahànanda dan Cåëànanda, terletak di antara Taman Nandavana dan Kota Sudassana. Danau ini sangat bersih, permukaan airnya berwarna biru gelap kehijauan, seperti langit yang bebas dari kabut dan awan.”
Saat Kematian Bodhisatta Dewa
Saat Bodhisatta Dewa Setaketu memasuki Taman Nandavana, para pengikutnya, para dewa laki-laki dan perempuan berkata kepadanya, “Setelah meninggal dari alam dewa ini, semoga Engkau terlahir di alam yang baik, tempat tujuan makhluk-makhluk yang memiliki banyak kebajikan!”
Para dewa yang menyertai Bodhisatta Setaketu juga memintanya untuk merenungkan kebajikan-kebajikan yang pernah dilakukannya pada masa lalu. Mereka mengelilingi Bodhisatta. Ketika Bodhisatta sedang berkeliling di Taman Nandavana diiringi oleh para dewa yang terus-menerus memintanya untuk merenungkan kebajikan-kebajikan yang telah dilakukannya, saat kematiannya tiba.
 
24890_1145273251017_1803106176_290619_4200804_n.jpg


Sang Bodhisatta Memasuki Rahim
Bersamaan dengan saat kematian Bodhisatta Dewa Setaketu, Siri Mahàmàyà, permaisuri Raja Suddhodana dari kerajaan Kapilavatthu sedang menikmati kebahagiaan istana. Ia berada dalam bagian ketiga dari tahap kedua hidupnya yang disebut majjhima vaya. (Umur kehidupan manusia pada waktu itu adalah seratus tahun. Dengan demikian umur Siri Mahàmàyà Devã pada waktu itu adalah sekitar lima puluh lima tahun empat bulan. Ini dijelaskan dalam Samanta Cakkhu Dipanã).
Festival Bintang Uttaràsàlha
Hari itu adalah tanggal 9 di bulan âsàëha (Juni-Juli) tahun 67 Mahà Era, ketika Ratu Siri Mahàmàyà berumur lima puluh lima tahun empat bulan, penduduk kerajaan sedang merayakan festival bintang Uttaràsàlha, sebuah peristiwa tradisi tahunan. Semuanya bergembira, turut serta dalam perayaan ini.
Siri Mahàmàyà Devã juga turut serta dalam festival yang berlangsung dari tanggal 9 sampai tanggal 14 ini. Selama festival ini, tidak ada orang yang meminum minuman keras dan tidak ada yang memakai hiasan bunga, menggunakan wewangian, dan hiasan lainnya. Pada hari purnama di bulan itu, permaisuri bangun pagi-pagi, mandi dengan air harum, dan melakukan dàna besar dengan memberikan uang dan benda-benda lainnya senilai empat ratus ribu. Kemudian ia mengganti pakaian dan makan pagi yang terdiri dari makanan pilihan, kemudian ia menerima Delapan Sãla, dari gurunya Petapa Devila, kemudian memasuki kamar istana yang dihias indah dan menghabiskan hari itu di atas dipan yang indah, dan menjalani Delapan Sãla.
Mimpi Mahàmàyà
Saat menjalani Delapan Sãla dan berbaring di atas dipan yang indah, pada jaga terakhir di malam purnama itu, Siri Mahàmàyà jatuh tertidur dan bermimpi, yang merupakan pertanda masuknya Bodhisatta ke rahimnya. Mimpinya adalah sebagai berikut:
Empat Dewa Catumahàràjà mengangkat dan membawanya bersama tempat tidurnya ke Danau Anotatta di Pegunungan Himalaya. Kemudian ia dibaringkan di atas batu datar berukuran enam puluh yojanà di bawah keteduhan pohon sàla yang tingginya tujuh yojanà. Setelah itu, para permaisuri dari empat raja dewa tersebut datang dan membawa ratu ke danau dan memandikannya sebersih mungkin. Kemudian mereka memakaikan pakaian surgawi kepadanya serta mendandaninya dengan kosmetik surgawi; mereka juga meriasnya dengan bunga-bungaan surgawi. Kemudian ia dibaringkan dengan kepalanya menghadap ke timur di dalam sebuah kamar dari sebuah istana emas di dalam gunung perak tidak jauh dari danau tersebut.
Pada saat itu dalam mimpinya, ia melihat seekor gajah putih bersih sedang berjalan-jalan di gunung emas tidak jauh dari gunung perak di mana ia berada di dalam istana emasnya. Kemudian gajah putih tersebut turun dari gunung emas, naik ke gunung perak dan memasuki istana emas. Gajah putih tersebut kemudian mengelilingi ratu ke arah kanan dan kemudian masuk ke rahimnya dari sebelah kanan.
Sang Bodhisatta Masuk ke Rahim
Pada saat ratu sedang bermimpi, Bodhisatta Dewa Setaketu sedang berkeliling di Taman Nandavana di Surga Tusita, menikmati pemandangan dan suara yang indah; pada saat itulah Beliau meninggal dunia dari Alam Tusita dengan penuh kesadaran. Pada saat itu juga Bodhisatta masuk ke rahim mirip teratai dari ibunya dengan kesadaran agung pertama (Mahàvipàka citta), salah satu dari sembilan belas kondisi pikiran awal (patisandhi citta), hasil dari kesadaran kebajikan agung (Mahàkusala citta) yang disertai oleh kegembiraan (samanasa sahagata), juga disertai oleh pengetahuan (¥àõa sampayutta), spontan (asaïkhàrika), dan disebabkan oleh pengembangan persiapan (parikamma bhàvanà) sebelum mencapai Jhàna Cinta Kasih (Mettà Jhàna). Peristiwa ini terjadi pada hari Kamis pagi pada hari purnama di bulan Âsàëha tahun 67 Mahà Era, penanggalan yang ditetapkan oleh Raja A¤jana, kakek Bodhisatta. Peristiwa ini ditandai dengan peristiwa bulan dan bintang Uttaràsàëha berada dalam posisi segaris.
(Tanggal dan tahun memasuki rahim dan kelahiran Bodhisatta yang disebutkan di sini disesuaikan dengan perhitungan ilmu astrologi dan ilmu sejarah raja-raja. Kitab Pàëi, Komentar, dan Subkomentar tidak menyebutkan apa-apa mengenai hal ini. Gotamapuràõa menyebutkan 2570 penanggalan Kaliyuga sebagai tahun kelahiran Buddha Gotama).
 
39011_150280811648750_100000004961322_501469_6100587_n.jpg


Lahirnya Pangeran Siddhattha Gotama

Meski Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun mereka masih belum mendapatkan keturunan. Suatu masa ketika Ratu Maya berusia 45 tahun, Ratu mengikuti perayaan Asadha yang berlangsung tujuh hari lamanya. Setelah perayaan selesai, Ratu kemudian mandi dengan air wangi dan setelah itu ia mengucapkan janji Uposatha. Selanjutnya ia pun pergi beristirahat di kamarnya. Dalam tidurnya, Ratu Maya bermimpi bahwa ada empat orang Dewa Agung yang mengantarnya ke Gunung Himalaya, kemudian membawanya ke Pohon Sala di Lereng Manosilatala. Lalu para istri dari Dewa-dewa Agung tersebut memandikannya di Danau Anotta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikan pakaian para dewata pada Ratu Maya. Ratu kemudian diajak ke istana emas dan direbahkan di atas dipan yang mewah. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan membawa sekuntum bunga teratai di belalainya memasuki kamar, kemudian mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk selanjutnya memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan. Setelah itu Ratu Maya terbangun dan tiba-tiba terjadilah sebuah gempa bumi yang singkat. Ratu Maya segera bergegas memberitahukan hal ini ke Raja Suddhodana. Para Brahmana pun dipanggil untuk memberi petunjuk akan mimpi tersebut. Setelah menganalisa mimpi ini, para Brahmana meramalkan jika Ratu Maya akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak bisa menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua raja di dunia) atau seorang Buddha (seorang yang mencapai Pencerahan Sempurna). Dan memang tidak lama kemudian, Ratu Maya menyadari bahwa ia sedang hamil. Ratu pun dapat merasakan keberadaan sang bayi yang tumbuh makin besar di dalam rahimnya dalam posisi duduk bermeditasi dengan posisi muka menghadap ke depan.
 
40311_150280961648735_100000004961322_501470_5877075_n.jpg


Ketika Ratu Mahamaya sampai pada tahap akhir dari kehamilannya, Ratu merasakan keinginannya untuk mengunjungi Devadaha, tempat tinggal sanak saudara kerajaannya. Ia memohon restu dari Raja Suddhodana dan Raja pun merestuinya.

Raja melakukan persiapan dengan megah. Setelah persiapan selesai,Raja mendudukkan Sang Ratu di dalam tandu emas baru yang diangkat oleh seribu prajurit istana, dengan dikawal oleh para pengawal dan pelayan untuk melakukan berbagai tugas selama dalam perjalanan. Dengan kemegahan dan kemuliaan demikian, Sang Ratu berangkat menuju Kota Devadaha.

Di antara Kapilavatthu dan Devadaha, terdapat hutan pohon Sala yang dinamakan Taman Lumbini, yang merupakan tempat rekreasi bagi orang-orang dari kedua kerajaan. Ketika Mahamaya Dewi sampai disana, semua pohon Sala di hutan itu berbunga dari bawah pohon hingga pucuknya. Menyaksikan taman Lumbini dengan segala keindahannya Mahamaya Dewi merasakan keinginan untuk bersantai dan beristirahat di dalamnya. Raja Suddhodana pun mengabulkan permohonan Sang Ratu.

Pada saat Mahamaya Dewi memasuki taman, semua dewa berseru yang gemanya menembus sepuluh ribu alam semesta, “Hari ini Boddhisatta akan terlahir dari kamar teratai rahim ibu-Nya.” Para dewa dan Brahma dari sepuluh ribu alam semesta berkumpul di alam semesta ini, mereka membawa berbagai macam harta benda yang indah sebagai penghormatan dalam kelahiran boddhisatta. Langit surga ditutupi oleh payung putih surgawi dan terompet kulit kerang pun ditiup.

Segera setelah Mahamaya Dewi memasuki Taman Lumbini, ia merasakan desakan untuk meraih dahan sebatang pohon Sala yang sedang mekar penuh, batangnya bulat dan lurus.Seolah-olah bergerak, dahan tersebut merunduk dengan sendirinya seperti tongkat rotan yang lunak karena dipanaskan, sehingga dahan tersebut menyentuh telapak tangan Ratu, sebuah peristiwa ghaib yang menggemparkan.

Dengan berpegangan pada dahan pohon Sala, Ratu Mahamaya berdiri dengan anggun dengan berpakaian dari bahan kain broklat berbenang emas dan selendang bersulamkan hiasan-hiasan indah berwarna putih yang mirip mata ikan yang menutupi sampai ujung jari kakinya. Pada saat itu ia merasakan tanda-tanda kelahiran. Para pelayannya buru-buru membentuk lingkaran dan menutupi area tersebut dengan tirai.

Pada saat itu, tiba-tiba sepuluh ribu alam semesta bersama-sama dengan samudera raya bergolak, berguncang dan berputar bagaikan roda pembuat tembikar. Dewa dan Brahma berseru gembira dan menyiramkan bunga-bunga dari angkasa; segala alat musik secara otomatis memainkan lagu-lagu yang indah dan merdu. Seluruh alam semesta menjadi terlihat cerah dan jernih tanpa halangan di semua arah. Fenomena-fenomena ajaib ini yang seluruhnya berjumlah tiga-puluh-dua (32) terjadi menyambut kelahiran Boddhisatta.

Pada saat kelahiran Boddhisatta, dua mata air, hangat dan dingin mengalir dari angkasa dan jatuh di tubuh Boddhisatta yang memang telah bersih dan suci dan tubuh ibunya sebagai penghormatan, mereka dapat menyesuaikan panas dan dingin dari air tersebut yang jatuh ke tubuh mereka.

Empat Maha-Brahma yang telah bebas dari nafsu indriya adalah yang pertama menerima Boddhisatta di atas sebuah jaring emas pada saat kelahiran. Kemudian mereka meletakkannya di depan sang ibu dan berkata,”Ratu, bergembiralah, seorang putra yang penuh kekuasaan telah engkau lahirkan.”

Kemudian empat raja dewa menerima Boddhisatta dari tangan empat Maha-Brahma di atas sehelai kulit rusa hitam seolah-olah benda yang sangat berharga. Kemudian manusia menerima Boddhisatta dari tangan empat raja dewa di atas sehelai kain putih.

Ketika pertunjukan pemujaan yang menakjubkan sedang berlangsung, Boddhisatta berhenti setelah berjalan tujuh-langkah ke arah utara. Pada saat itu semua Brahma, Dewa, dan manusia seketika diam, menunggu sambil berharap dengan pikiran,”Apakah yang akan dikatakan oleh Boddhisatta?”

Boddhisatta lalu menyerukan seruan berani yang terdengar oleh semua makhluk di seluruh sepuluh ribu alam semesta :

“Aggo’ham asmi lokassa!”

(Akulah yang tertinggi di antara semua makhluk di tiga alam)

“Jettho’ham asmi lokassa!”

(Akulah yang terbesar di antara semua makhluk di tiga alam)

“Settho’ham asmi lokassa!”

(Akulah yang termulia di antara semua makhluk di tiga alam)

“Ayam antima Jati!”

(Inilah kelahiran-Ku yang terakhir)

“Natthi dani punabhavo!”

(Tidak ada kelahiran ulang bagik-Ku)

Sewaktu Boddhisatta menyerukan seruan ini, tidak ada seorang pun yang dapat membantahnya; seluruh Brahma, Dewa, dan manusia mengucapkan selamat.

Pada waktu yang bersamaan dengan kelahiran Boddhisatta, tujuh pendamping berikut juga terlahir :

1.Putri Yasodhara, calon istri Pangeran Siddhatta Gotama dan Ibunda Pangeran Rahula.
2.Pangeran Ananda
3.Menteri Channa
4.Menteri Kaludayi
5.Kuda istana Kanthaka
6.Mahabodhi atau Pohon Boddhi Assattha, dan
7.Empat kendi emas

Para penduduk dari kedua kota – Kapilavatthu dan Devadaha – mengiringi Ratu Mahamaya dan putranya, Boddhisatta mulia kembali ke Kota Kapilavatthu.

Catatan tambahan
WAFATNYA RATU MAHAMAYA

Pada hari ketujuh setelah melahirkan Pangeran Siddhattha , Ratu Mahamaya wafat, dan adiknya Maha Pajapati Gotami yang juga isteri Raja Suddhodana menggantikan posisi Ratu Maha Maya sebagai ratu sekaligus ibu bagi pangeran kecil. Dari hubungan Raja Suddhodana dengan Maha Pajapati Gotami melahirkan seorang pangeran bernama Nanda dan seorang putri bernama Sundari Nanda ( Rupananda ).

Maha Pajapati Gotami merawat Pangeran Siddhattha seperti merawat putranya sendiri Pangeran Nanda . Pangeran Nanda sendiri lahir beberapa hari setelah Pangeran Siddhattha lahir.

Setelah Ratu Maha Maya wafat, ia dilahirkan menjadi seorang putra dewa dengan nama Mayadevaputta (Santusita) di surga Tusita .
 
40455_150281064982058_100000004961322_501471_3399677_n.jpg


PETAPA KALADEVILA TERTAWA DAN MENANGIS MENGETAHUI KELAHIRAN BODDHISATTA

Pada hari Boddhisatta dan ibu-Nya dibawa ke kota Kapilavatthu, para dewa Tavatimsa yang dipimpin oleh Sakka bergembira mengetahui bahwa “Seorang putra dari Raja Suddhodana telah terlahir di kota Kapilavatthu” dan bahwa “Putra mulia ini pasti mencapai Pencerahan-Sempurna di tanah kemenangan di bawah pohon Boddhi Assattha” , dan mereka melemparkan pakaian mereka ke angkasa, menepuk lengan dengan telapak tangan, dan bersuka ria.

Waktu itu, Petapa Kaladevila yang telah mencapai lima kemampuan batin tinggi dan delapan Jhana dan yang mempunyai kebiasaan mengunjungi istana Raja Suddhodana sedang makan siang disana seperti biasa, dan kemudian naik ke surga Tavatimsa untuk melewatkan hari itu di alam surga.

Ia duduk di atas singgasana permata di dalam istana permata, menikmati kebahagiaan Jhana. Sewaktu ia keluar dari Jhana, berdiri di depan pintu gerbang istana dan melihat kesana-kemari, ia melihat Sakka dan para dewa lainnya yang bergembira melempar-lemparkan penutup kepala dan jubah mereka dan memuji kebajikan Boddhisatta di jalan-jalan utama di alam surga sepanjang enam puluh Yojana. Kemudian Sang Petapa bertanya,”O dewa, apa yang membuatmu demikian bergembira? Katakanlah ada apa gerangan”.

Kemudian para dewa menjawab,”Yang Mulia Petapa, hari ini putra mulia dari Raja Suddhodana telah lahir. Putra mulia ini, duduk bersila di bawah pohon Boddhi assattha di tempat yang maha suci, di tengah-tengah alam semesta, akan mencapai Pencerahan-Sempurna, menjadi Buddha. Beliau akan membabarkan khotbah – Roda Dhamma. Kami akan mendapatkan kesempatan emas menyaksikan kemuliaan Buddha yang tidak terbatas dan mendengarkan khotbah Dhamma yang teragung. Itulah sebabnya kami bersuka-ria.”

Mendengar jawaban para dewa tersebut, Petapa Kaladevila segera turun dari surga Tavatimsa dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuknya di dalam istana Raja Suddhodana. Setelah saling menyapa dengan Raja, Kaladevila berkata,”O, Raja, aku mendengar bahwa Putramu telah lahir, aku ingin melihatnya.”

Kemudian Raja membawa putranya yang telah mengenakan pakaian lengkap, kemudian membawanya kepada sang petapa untuk memberi hormat kepada guru istana. Ketika Boddhisatta dibawa, kedua kaki Boddhisatta terbang tinggi dan turun di atas rambut sang petapa. (Tidak seorang pun yang cukup layak menerima penghormatan dari seorang Boddhisatta dalam kelahiran terakhirnya. Jika seseorang, yang tidak mengetahui hal ini, memaksakan kepala Boddhisatta untuk menyentuh kaki sang petapa, kepala sang petapa akan pecah menjadi tujuh keping).

Petapa Kaladevila, menyaksikan peristiwa yang mengherankan dan luar biasa dari keagungan dan kekuatan Boddhisatta, memutuskan, “Aku tidak akan menghancurkan diriku.” Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya dan bersujud didepan boddhisatta dengan tangan dirangkapkan. Menyaksikan pemandangan menakjubkan ini, Raja Sudhodana juga bersujud di depan anaknya.

Kaladevila, yang telah mencapai lima kemampuan batin dan delapan Jhana, dapat mengingat peristiwa-peristiwa yang lampau sampai 40 Kalpa yang lalu dan dapat melihat masa depan sampai 40 Kalpa kedepan. Dengan demikian ia dapat mengetahui dan melihat peristiwa-peristiwa selama delapan puluh kalpa.

Setelah mengamati karakteristik besar dan kecil dari Boddhisatta Pangeran, ia mengetahui dan meramalkan bahwa Pangeran akan menjadi Buddha. Mengetahui bahwa “Anak ini adalah manusia luar biasa”, Sang Petapa tertawa penuh kegembiraan.

Kemudian , Sang petapa merenungkan apakah ia dapat menyaksikan Pagneran mencapai ke-Buddha-an. Ia mengetahui bahwa sebelum Pangeran mencapai ke-Buddha-an, ia akan sudah meninggal dunia dan terlahir di alam Arupa-Brahma dimana tak seorang pun yang dapat mendengarkan Dhamma abadi disana, meskipun muncul ratusan atau ribuan Buddha untuk mengajarkan Dhamma. “Aku tidak akan berkesempatan untuk menyaksikan dan memberikan penghormatan kepada manusia menakjubkan ini yang memiliki Kesempurnaan kebajikan. Ini adalah kerugian terbesar bagiku.” Setelah berkata demikian Kaladevila bersedih dan menangis.

Ketika orang-orang yang hadir disana menyaksikan sang petapa tertawa dan kemudian menangis, mereka terheran-heran,”Yang-Mulia Petapa pertama-tama tertawa dan kemudian menangis, betapa anehnya.” Kemudian mereka bertanya, “Yang Mulia, apakah ada sesuatu yang berbahaya terhadap putra raja kami?”

“Tidak ada bahaya sama sekali, malah sebenarnya Beliau akan menjadi Buddha”.

“Kalau begitu, mengapa engkau bersedih?” tanya orang-orang itu lagi.

“Karena aku tidak akan dapat menyaksikan pencapaian Pencerahan-Sempurna oleh manusia luar biasa ini yang memiliki kualitas-kualitas yang menakjubkan. Ini adalah kerugian besar bagiku. Karena itulah aku bersedih”, jawab sang petapa.

Kemudian, Kaladevila sang petapa merenungkan, “Walaupun aku tidak berskesempatan untuk menyaksikan Pangeran mencapai ke-Buddha-an, aku ingin tahu apakah ada di antara sanak-saudaraku yang berkesempatan untuk menyaksikannya.” Kemudian dia meilihat keponakannya, Nalaka, yang memiliki kesempatan tersebut. Jadi ia pergi mengunjungi rumah adiknya dan memanggil keponakannya dan menyuruhnya dengan berkata :

“Keponakanku Nalaka, seorang putra telah lahir di istana Raja Suddhodana. Beliau adalah seorang Boddhisatta. Beliau akan mencapai ke-Buddha-an setelah berusia tiga-puluh-lima tahun. Engkau, keponakanku, adalah seorang yang layak melihat Buddha. Oleh karena itu, engkau lebih baik menjadi petapa, hari ini juga.”

Meskipun lahir dari orangtua yang memiliki kekayaan delapan puluh tujuh crore, pemuda Nalaka percaya kepada pamannya, dan berpikir,”Pamanku tidak akan menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat. Ia mengatakan hal ini tentu demi kebaikanku.” Dengan pendapat ini, ia membeli jubah dan mangkuk dari pasar. Mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah, dan berkata kepada dirinya sendiri, ”Aku akan mejadi petapa untuk mengabdi pada Buddha, pribadi yang termulia diseluruh dunia.“
 
39181_150281928315305_100000004961322_501472_2702104_n.jpg


Boddhisatta Pangeran mencapai Anapana Jhana Pertama

Sementara itu, Boddhisatta setelah melihat sekeliling dan tidak melihat seorang pun, segera mengambil posisi duduk bersila dengan tenang. Kemudian Beliau mempraktikkan meditasi anapana, berkonsentrasi pada napas masuk dan keluar, dan segera mencapai rupavacara Jhana Pertama.

Para perawat yang meninggalkan tugasnya berkeliaran ke sana kemari di meja-meja dan bersenang-senang sebentar. Semua pohon-pohon kecuali pohon jambu tempat Boddhisatta duduk, memiliki bayangan alami sesuai pergerakan matahari, pada sore hari, bayangan pohon akan berada di sebelah timur. Namun, bayangan pohon jambu tempat dimana Boddhisatta duduk tidak bergerak sesuai posisi matahari, bahkan di tengah hari, aneh, bayangan pohon itu tetap seperti semula, besar dan bundar, dan tidak berpindah.

Para perawat, tiba-tiba teringat,”Oh, putra junjungan kita tertinggal dibelakang sendirian”. Mereka bergegas kembali dan masuk ke tirai, melihat dengan takjub, Boddhisatta Pangeran duduk bersila dalam kemuliaan, dan juga melihat keajaiban (patihariya) dari bayangan pohon yang tetap berada di posisi dan bentuk yang sama, tidak berpindah. Mereka berlari menuju Raja dan melaporkannya. Raja dengan tenang mendatangi Boddhisatta dan mengamati, melihat dengan mata kepala sendiri dua keajaiban tersebut, ia mengucapkan,”O, Putra Mulia, ini adalah kedua kalinya bahwa, aku, ayah-Mu, bersujud pada-Mu”, kemudian bersujud di depan anaknya dengan penuh cinta dan penuh hormat.
 
38011_150282114981953_100000004961322_501473_5066768_n.jpg


MENYELAMATKAN BURUNG BELIBIS

Suatu kali Pangeran Siddhattha berjalan-jalan di taman dengan Devadatta, saudara sepupunya. Devadatta yang membawa busur dan anak panah melihat serombongan burun belibis terbang. Devadatta membidikkan anak-panahnya. Seekor belibis terkena dan terjatuh ke tanah. Pangeran Siddhatta bergebas menghampiri belibis yang terluka itu. Dengan penuh kasih-sayang diobatinya luka pada sayap belibis dengan daun-daun yang diremas.

Devadatta meminta belibis itu. Pangeran Siddhattha tidak mau memberikannya. Menurut Pangeran Siddhattha, bila belibis itu mati maka ia menjadi milik Devadatta. Tetapi karena belibis itu masih hidup maka ia menjadi milik dari orang yang menyelamatkan hidupnya. Akhirnya keduanya pergi ke Dewan Para Bijaksana untuk mendapat keputusan.

Dewan memutuskan bahwa hidup adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya dan bukan milik yang mencoba menghancurkannya. Dengan demikian maka belibis itu adalah milik Pangeran Siddhattha yang menyelamatkan hidupnya. Setelah sembuh belibis itu dilepas kembali oleh Pangeran Siddhattha. Demikianlah kasih sayang Pangeran Siddhattha terhadap sesama makhluk hidup.
 
40671_150282338315264_100000004961322_501481_4186581_n.jpg


PERTUNJUKAN MEMANAH

Setelah sang ayah, Raja Suddhodana, membangun tiga istana untuk anaknya yang demikian indah dan megahnya, yang belum pernah dinikmati oleh raja-raja sebelumnya, ia berpikir,”Anakku telah berumur enam belas tahun, setelah menganugerahkan mahkota kerajaan dengan membuka payung putih, aku akan menyaksikannya menikmati kemewahan dan kemuliaan sebagai Raja”.

Kemudian ia memerintahkan untuk mengirim pesan kepada 80.000 sanak-saudaranya, keluarga Sakya, ”Para Pengeran Sakya, Putraku telah berumur enam belas tahun sekarang. Aku akan menjadikannya Raja. Semua Pangeran Sakya harap membawa putrinya, yang telah cukup umur, ke istanaku”.

Ketika para Pangeran Sakya menerima pesan dari Raja Suddhodana, mereka menolak permintaannya, menjawab dengan nada menghina, “Pangeran Siddhattha kurang berpendidikan, meskipun ia memiliki penampilan yang menarik. Tidak memiliki ketrampilan dalam menjalani kehidupan, ia tidak akan mampu menjalani kewajibannya sebagai kepala keluarga. Jadi kami tidak dapat mengabulkan permintaan Raja Suddhodana untuk menyerahkan putri kami”.

Menerima jawaban dari para Pangeran Sakya – ayah dari para putri – Raja Suddhodana mendatangi Boddhisatta Pangeran dan menjelaskan masalah ini. Kemudian Boddhisatta berkata,”Ayahku, Aku tidak harus mempelajari apapun. Ketrampilan apa yang engkau mau Kuperlihatkan ? “ Raja Suddhodana menjawab, “Anakku, Engkau harus memperlihatkan kepada para sanak saudara ketrampilan memanah dengan busur yang hanya dapat ditarik dengan kekuatan seribu pala.” Pangeran kemudian berkata,”Kalau begitu, Ayah, umumkan dengan tabuhan genderang di seluruh kerajaan bahwa 7 hari lagi, Aku akan mengadakan pertunjukan memanah”. Kemudian Raja Suddhodana mengumumkan ke seluruh kerajaan Kapilavatthu diiringi tabuhan genderang.

Setelah membuat pengumuman yang diiringi oleh tabuhan genderang, persiapan dilakukan untuk mempersiapkan arena bagi Boddhisatta Pangeran memperlihatkan ketrampilan memanahnya juga membangun panggung-panggung penonton bagi para menteri, para putri, pengikut, para pelayan, prajurit, dan kerabat lainnya. Pada hari ketujuh, setelah semua persiapan selesai dilakukan, raja dan para menterinya, para jenderal dan tamu-tamu semua duduk di tempat yang telah disediakan ; Boddhisatta telah mengambil tempat duduk di singgasana bertatahkan permata di tengah-tengah arena, mengambil busur yang diserahkan oleh para pelayan kerajaan. ( Busur yang memerlukan tenaga seribu atau dua ribu unit berat pala untuk menariknya ).

Duduk bersila di atas singgasana, Pangeran memegang busur dengan tangan kirinya, memelintir tali busur di jari-Nya hingga talinya menegang; kemudian Ia memetik-metik tali busur itu dengan tangan kanan-Nya untuk menyesuaikan. Suara getaran yang ditimbulkan oleh tali busur tersebut begitu kerasnya hingga gemanya terdengar di seluruh wilayah kerajaan Kapilavatthu seolah-olah terbang di angkasa.

Beberapa orang bertanya-tanya, “Suara apakah itu?” dan dijawab oleh yang lainnya, “Itu adalah suara petir yang menggelegar”. Yang lain lagi berkata,”Oh, tidak tahukah engkau; itu bukan suara petir; itu adalah suara yang dihasilkan ketika Pangeran Sakya Siddhattha, yang dengan anggun dan penuh keagungan, menarik busur yang memerlukan seribu orang ( atau dua ribu unit berat pala ), untuk menariknya dan memetik tali busurnya”.

Seluruh delapan puluh ribu Pangeran Sakya dan kerabat istana merasa gembira menyaksikan pertunjukkan yang luar biasa dari Boddhisatta yang memetik dan menyesuaikan tali busur.

Setelah itu, Pangeran Siddhatta mempertunjukkan berbagai variasi keahlian memanah yang membuat para penonton berdecak kagum.

Demikianlah, Boddhisatta Pangeran memperlihatkan keahliannya dalam memanah untuk menaklukkan rasa tidak percaya, penghinaan, fitnahan, dan celaan atas dirinya oleh para kerabat kerajaan – sebuah prestasi yang di atas rata-rata, sangat menakjubkan, dan jarang terlihat. Setelah peristiwa itu, semua kerabat kerajaan, yang keraguannya telah lenyap dengan bergembira berseru,”Belum pernah dalam dinasti Sakya menyaksikan sebuah keahlian seperti yang kita saksikan sekarang”, menghujani Boddhisatta dengan puji-pujian.
 
38810_150282684981896_100000004961322_501510_6748492_n.jpg


Kecantikan Ratu Yasodhara

Di antara empat-puluh ribu (40.000) Putri Sakya, yang paling terkemuka adalah Putri Yasodhara yang memiliki nama gadis Bhaddakaccana.

Yasodhara Dewi, seperti telah dijelaskan sebelumnya, adalah salah satu pendamping kelahiran Boddhisatta. Ia terlahir dari salah satu raja Sakya bernama Suppabuddha, putra dari kakek Boddhisatta, Raja Anjana dari kerajaan Devadaha, Ibu Putri Yasodhara adalah Putri Amitta, yang adalah saudara perempuan Raja Suddhodana. Putri diberi nama Yasodhara karena memiliki reputasi baik dan pengikut yang banyak ( Yaso = banyak pengikut dan ber-reputasi baik; dhara = pembawa; demikianlah putri adalah ia yang memiliki banyak pengikut dan ber-reputasi baik ).

Ia cantik dan berkulit emas bagaikan patung yang dibalut dengan emas murni atau seolah-olah daging dan tubunya terbuat dari emas murni. Dengan tubuh yang proporsional dan tanpa cacat,ia memancarkan pesona, ia tidak tertandingi dalam hal kecantikan dan tingkah laku bagaikan bendera kemenangan yang dinaikkan di jalan-jalan raya di taman bermain Kilamandala milik Raja Mara bernama Manobhu.



Upacara Pelantikan

Delapan puluh ribu kerabat kerajaan yang dipimpin oleh raja Suddhodana, ayah Boddhisatta, berkumpul di ruang pertemuan yang besar dan megah untuk merayakan penobatan Boddhisatta Pangeran Siddhatta yang dilengkapi dengan dinaikkannya payung putih kerajaan di atas kepalanya, pancuran air dingin (abhiseka) dan secara resmi naik tahta.

Dari empat puluh ribu putri yang diserahkan oleh para kerabat Sakya, 10.000 putri ditugaskan untuk melayani Yasodhara Dewi. 30.000 sisanya ditugaskan sebagai pelayan di tiga istana, masing-masing 10.000.
 
40302_150282854981879_100000004961322_501511_7548455_n.jpg


MELIHAT EMPAT PERTANDA

1) Melihat Pertanda Orang Tua

Ketika Bodhisatta Pangeran sedang berada dalam perjalanan menuju taman kerajaan, para dewa berunding, “Waktunya bagi Pangeran Siddhattha untuk menjadi Buddha semakin dekat. Mari kita memperlihatkan pertanda kepadanya yang akan membuatnya melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.” Mereka menyuruh salah satu dewa menyamar sebagai orang tua, berambut putih, tidak bergigi, punggung yang bungkuk, berjalan gemetaran menggunakan tongkat. Pertanda orang tua ini yang adalah penjelmaan dewa tidak dapat dilihat orang lain selain Bodhisatta dan kusirnya.

Saat melihat orang tua, Bodhisatta Pangeran bertanya kepada kusir, “O kusir, rambut orang itu tidak seperti orang lain, rambutnya semua putih. Badannya juga tidak seperti badan orang lain; giginya tidak ada; hanya ada sedikit daging (di tubuhnya); punggungnya bungkuk ia gemetaran. Disebut apakah orang itu?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, orang seperti itu disebut orang tua.”


Sang Bodhisatta Pangeran yang belum pernah mendengar kata ‘orang tua’ apalagi melihatnya, bertanya lagi kepada si kusir, “O kusir, belum pernah aku melihat yang seperti ini, yang rambutnya putih, tidak bergigi, begitu kurus dan gemetaran dengan punggung bungkuk. Apakah artinya orang tua?” Si Kusir menjawab, “Yang Mulia, orang yang tidak hidup lama lagi disebut orang tua (orang tua adalah orang yang memiliki waktu hidup yang pendek).”


Sang Bodhisatta kemudian bertanya, “O kusir, bagaimana itu? Apakah Aku juga akan menjadi orang tua? Apakah Aku tidak dapat mengatasi usia tua?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, semua kita, termasuk Anda, juga saya, akan mengalami usia tua; tidak seorang pun yang dapat mengatasi usia tua.” Bodhisatta Pangeran berkata, “O kusir, jika semua manusia, semua dari mereka tidak dapat mengatasi usia tua, Aku, yang akan mengalami usia tua, tidak ingin lagi pergi ke taman kerajaan dan bersenang-senang di sana. Berbaliklah dari tempat di mana orang tua tadi terlihat dan pulang ke istana.”


“Baiklah Yang Mulia,” jawab si kusir yang segera berputar di tempat di mana orang tua tadi terlihat dan kembali ke istana emas.

(2) Melihat Pertanda Orang Sakit

Tertipu dan tertarik oleh lima kenikmatan indria yang diatur oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana, untuk menghalang-halanginya melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, Pangeran Siddhattha menghabiskan waktunya menikmati kenikmatan dan kemewahan istana; desakan perasaan religius-Nya, yang dipicu oleh kebencian terhadap kelahiran dan usia tua, perlahan-lahan menghilang.


Setelah empat bulan berlalu dalam kemewahan hidup, Bodhisatta Pangeran pergi lagi mengunjungi taman kerajaan dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda berdarah murni seperti sebelumnya. Dalam perjalanan itu, Pangeran melihat pertanda yang diciptakan oleh para dewa untuk kedua kalinya; orang itu sangat kesakitan diserang penyakit, dan hanya dapat duduk dan berbaring jika dibantu oleh orang lain; ia berbaring lemah di tempat tidurnya dengan ditutupi oleh kotorannya sendiri.


Sang Pangeran bertanya kepada kusirnya, “O kusir, mata orang itu tidak seperti mata orang lain; terlihat lemah dan goyah. Suaranya juga tidak seperti orang lain; ia terus-menerus menangis melengking. Tubuhnya juga tidak seperti tubuh orang lain. Terlihat seperti kelelahan. Disebut apakah orang seperti itu?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, orang seperti itu disebut ‘orang sakit.’”

Sang Bodhisatta yang belum pernah melihat orang sakit sebelumnya, bahkan mendengar kata ‘orang sakit’ saja belum pernah bertanya lagi kepada kusirnya, “O kusir, Aku belum pernah melihat orang seperti itu, yang duduk dan berbaring harus dibantu oleh orang lain, yang tidur ditumpukan kotorannya sendiri dan terus-menerus menjerit. Apakah orang sakit itu? Jelaskanlah kepada-Ku.” Si Kusir menjawab, “Yang Mulia, orang sakit adalah orang yang tidak mengetahui apakah ia akan sembuh atau tidak dari penyakit yang dideritanya saat ini.”


Sang Bodhisatta bertanya lagi, “O kusir, bagaimana ini? Apakah Aku juga bisa sakit? Apakah Aku tidak dapat mengatasi penyakit?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, kita semua, termasuk Anda, juga saya, akan menderita sakit; tidak seorang pun yang dapat mengatasi penyakit.” Bodhisatta berkata, “O kusir, jika semua manusia, semua dari mereka tidak dapat mengatasi penyakit, Aku, yang akan menderita sakit, tidak ingin lagi pergi ke taman kerajaan dan bersenang-senang di sana. Berbaliklah dari tempat di mana orang sakit tadi terlihat dan pulang ke istana.”


“Baiklah Yang Mulia,” jawab si kusir yang segera berputar di tempat di mana orang sakit tadi terlihat dan kembali ke istana emas.
 
26385_103275929715248_100000985250809_24878_1969915_n.jpg


(3) Melihat Pertanda Orang Mati

Tertipu dan tertarik oleh lima kenikmatan indria yang diatur oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana, untuk menghalang-halanginya melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, Pangeran Siddhattha menghabiskan waktunya menikmati kenikmatan dan kemewahan istana; desakan perasaan religius-Nya, yang dipicu oleh kebencian terhadap kelahiran, usia tua, dan penyakit, perlahan-lahan menghilang.


Setelah empat bulan berlalu dalam kemewahan hidup, Bodhisatta Pangeran pergi lagi mengunjungi taman kerajaan dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda berdarah murni seperti sebelumnya. Dalam perjalanan itu, Pangeran melihat pertanda yang diciptakan oleh para dewa untuk ketiga kalinya, yaitu, banyak orang berkumpul dan ada tandu jenazah yang berhiaskan kain berwarna-warni yang untuk ketiga kalinya diciptakan oleh para dewa; Pangeran bertanya kepada kusirnya, “Kusir, mengapa orang-orang ini berkumpul? Mengapa mereka mempersiapkan tandu yang dihias kain berwarna-warni?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, orang-orang itu berkumpul dan mempersiapkan sebuah tandu karena ada seseorang yang mati.”


(Ia belum pernah melihat tandu jenazah sebelumnya; hanya pernah melihat tandu biasa. Oleh karena itu ia bertanya, “Mengapa orang-orang ini berkumpul dan mempersiapkan tandu?”)

bahkan mendengar kata ‘orang mati’ saja belum pernah bertanya lagi kepada kusirnya, “O kusir, jika mereka berkumpul dan mempersiapkan sebuah tandu, antarkan Aku ke tempat orang mati itu.” Si kusir menjawab, “Baiklah, Yang Mulia,” dan mengarahkan keretanya menuju tempat orang mati itu berbaring. Ketika Bodhisatta melihat orang mati itu, ia bertanya, “O kusir, apakah orang mati itu?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, jika seseorang mati, sanak saudaranya tidak akan dapat bertemu dengannya lagi, dan ia juga tidak dapat bertemu dengan sanak saudaranya juga.”


Sang Bodhisatta bertanya lagi, “O kusir, bagaimana ini? Apakah Aku juga bisa mati seperti orang itu? Apakah Aku tidak dapat mengatasi kematian? Apakah ayah-Ku, ibu-Ku, dan sanak saudara-Ku tidak dapat bertemu dengan-Ku lagi suatu hari nanti? Apakah Aku juga tidak akan bisa bertemu dengan mereka lagi suatu hari nanti?” Si kusir menjwab, “Yang Mulia, kita semua, termasuk Anda, juga saya pasti mengalami kematian; tidak seorang pun yang dapat mengatasi kematian.” Bodhisatta berkata, “O kusir, jika semua manusia, semua dari mereka tidak dapat mengatasi kematian, Aku, yang akan mengalami kematian, tidak ingin lagi pergi ke taman kerajaan dan bersenang-senang di sana. Berbaliklah dari tempat di mana orang mati tadi terlihat dan pulang ke istana.”


“Baiklah Yang Mulia,” jawab si kusir yang segera berputar di tempat di mana orang mati tadi terlihat dan kembali ke istana emas.

(4) Melihat Pertanda Seorang Petapa

Tertipu dan tertarik oleh lima kenikmatan indria yang diatur oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana, untuk menghalang-halanginya melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, Pangeran Siddhattha menghabiskan waktunya menikmati kenikmatan dan kemewahan istana; desakan perasaan religiusnya, yang dipicu oleh kebencian terhadap kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian, perlahan-lahan menghilang.


Setelah empat bulan berlalu dalam kemewahan hidup, Bodhisatta Pangeran pergi lagi mengunjungi taman kerajaan dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda berdarah murni seperti sebelumnya. Dalam perjalanan itu, Pangeran melihat pertanda yang diciptakan oleh para dewa untuk keempat kalinya, seorang petapa dengan kepala gundul dan janggut dicukur, mengenakan jubah berwarna kulit kayu; “O kusir,” Pangeran berkata, “Kepala orang ini tidak seperti kepala orang-orang lain; kepalanya dicukur bersih dan janggutnya juga tidak ada. Pakaiannya juga tidak seperti pakaian orang-orang lain, berwarna seperti kulit kayu. Disebut apakah orang seperti itu?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, ia adalah petapa.”


Sang Bodhisatta bertanya lagi, “O kusir, apakah ‘petapa’ itu? Jelaskanlah kepadaku.” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, petapa adalah seseorang yang, berpendapat bahwa lebih baik melatih sepuluh kebajikan (kusalakammapatha), yang dimulai dari kedermawanan (dàna), telah melepaskan keduniawian dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu; ia adalah seorang yang berpendapat bahwa lebih baik melatih sepuluh perbuatan-perbuatan baik yang sesuai kebenaran, yang bebas dari noda, yang suci dan murni, telah melepaskan keduniawian dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu; ia adalah seorang yang berpendapat bahwa lebih baik tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain, berusaha untuk menyejahterakan makhluk lain, telah melepaskan keduniawian dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu.”


Setelah itu, Bodhisatta berkata kepada kusir, “Orang ini benar-benar mengagumkan dan mulia karena telah melepaskan keduniawian, berpendapat bahwa lebih baik mempraktikkan sepuluh perbuatan-perbuatan baik yang sesuai dengan kebenaran, yang bebas dari noda, yang suci dan murni. Orang ini benar-benar mengagumkan dan mulia karena telah melepaskan keduniawian, berpendapat bahwa lebih baik tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain, berusaha untuk menyejahterakan makhluk lain. Karena ia benar-benar mengagumkan dan mulia, kusir, antarkan Aku ke tempat petapa tadi.” Si kusir menjawab, “Baiklah, Yang Mulia.”

Si kusir membawa keretanya menuju si petapa. Sesampainya di sana, Bodhisatta bertanya kepada si petapa, jelmaan dewa, “O Sahabat, apa yang sedang engkau lakukan? Kepalamu tidak sama dengan kepala orang-orang lain; pakaianmu juga tidak sama dengan pakaian orang-orang lain.” Si petapa menjawab, “Yang Mulia, aku dikenal sebagai petapa.” Bodhisatta bertanya lagi, “Apakah yang engkau maksudkan dengan petapa?” Si petapa, jelmaan dewa melalui kekuatan batin (Iddhipada), menjawab, “Yang Mulia, aku adalah orang yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga, mencukur rambut dan janggutku dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu, dan berpendapat, lebih baik mempraktikkan sepuluh kebajikan yang dimulai dari kedermawanan, yang juga dikenal dalam empat julukan. Dhamma berarti kebenaran, Sama berarti sesuai dengan kebenaran, Kusala berarti tidak ternoda dan Pu¤¤a berarti suci dan murni baik sebab maupun akibatnya; dan juga berpendapat bahwa lebih baik tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain dan berusaha untuk menyejahterakan makhluk lain.”

Bodhisatta Pangeran menyatakan persetujuannya, “Engkau benar-benar mengagumkan dan mulia. Engkau telah meninggalkan kehidupan rumah tangga, mencukur rambut dan janggutmu, dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu, dan berpendapat bahwa lebih baik mempraktikkan sepuluh perbuatan-perbuatan baik yang memiliki julukan istimewa Dhamma, Sama, Kusala, dan Pu¤¤a dan juga berpendapat bahwa lebih baik tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain, berusaha untuk menyejahterakan makhluk lain”.
 
38519_150282981648533_100000004961322_501512_5483251_n.jpg


Sementara itu, Pangeran Siddhattha merasa bahwa Ia perlu menengok isteri dan putra-Nya yang baru lahir sebelum meninggalkan keduniawian.
Dengan hati penuh cinta, pangeran berdiri diam di pintu sambil memandangi mereka. Ia tak berani memindahkan tangan Putri Yasodhara dan menimang putra-Nya kendatipun Ia sangat ingin melakukannya, karena Ia tidak menginginkan Putri Yasodhara terjaga dan tidak mengijinkan-Nya pergi. Setelah bertekad bulat, Ia keluar dan kamar tersebut dan menutup pintu perlahan-lahan.

Channa dan Kanthaka sudah siap dan menunggu pangeran di depan istana kediaman-Nya. Pada malam purnama, bulan Asalha, 594 S.M, di usia ke 29 tahun, pada waktu jaga pertengahan malam, diam-diam Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dengan menunggangi Kanthaka. Channa, yang terlahir pada hari yang sama dengan sang pangeran, ikut meninggalkan istana dengan berpegangan pada ekor kuda tersebut. Mereka berhasil menerobos ketatnya penjagaan dan meninggalkan Kota Kapilavatthu.
 
39875_150283118315186_100000004961322_501513_5128961_n.jpg

MENYEBERANGI SUNGAI ANOMA DAN MENCUKUR RAMBUT


Setelah mencapai tepi Sungai Anomà, Bodhisatta mulia mengistirahatkan kuda-Nya di tepi sungai dan bertanya kepada Channa, “Apa nama sungai ini?” Ketika dijawab oleh Channa bahwa sungai tersebut adalah Sungai Anomà, Bodhisatta menganggap itu adalah pertanda baik, dan berkata, “Pertapaan-Ku tidak akan gagal, bahkan sebaliknya akan memiliki kualitas yang baik,” (karena anomà artinya ‘bukan sesuatu yang rendah’). Kemudian menepuk Kanthaka dengan tumit-Nya untuk memberikan aba-aba kepadanya untuk menyeberangi sungai, dan Kanthaka melompat ke sisi seberang sungai yang lebarnya delapan usabha dan berdiri di sana.


Setelah turun dari punggung kuda, dan berdiri di atas pasir di tepi sungai, Bodhisatta menyuruh Channa, “Channa sahabat-Ku, bawalah kuda Kanthaka bersama dengan semua perhiasan-Ku pulang. Aku akan menjadi petapa.” Ketika Channa mengatakan bahwa ia juga ingin melakukan hal yang sama, Bodhisatta melarangnya sampai tiga kali dengan mengatakan, “Engkau tidak boleh menjadi petapa. Channa sahabat-Ku, pulanglah ke kota.” Dan Ia menyerahkan Kanthaka dan semua perhiasan-Nya kepada Channa.

Setelah itu, dengan mempertimbangkan, “Rambut-Ku ini tidak cocok untuk seorang petapa; Aku akan memotongnya dengan pedang-Ku.” Bodhisatta, dengan pedang di tangan kanan-Nya memotong rambut-Nya dan mencengkeramnya bersama mahkota-Nya dengan tangan kiri-Nya. Rambut-Nya yang tersisa sepanjang dua jari mengeriting ke arah kanan dan menempel di kulit kepala-Nya. Sisa rambut itu tetap sepanjang dua jari hingga akhir hidup-Nya meskipun tidak pernah dipotong lagi. Janggut dan cambang-Nya juga tetap ada seumur hidup-Nya dengan panjang yang cukup untuk terlihat indah seperti rambut-Nya. Bodhisatta tidak perlu mencukur-Nya lagi.
 
19371_277209806940_263212646940_3255332_1984495_n.jpg


MENJALANI PERTAPAAN

Setelah menjadi petapa, Bodhisatta tinggal di hutan mangga yang disebut Anupiya tidak jauh dari Sungai Anomã selama 7 hari pertama, dan kemudian Ia pergi menuju ke Rajagaha, ibukota Kerajaan Magadha. Di Rajagaha, Ia menolak tawaran Raja Bimbisara yang akan memberikan separuh kekuasaannya setelah mengetahui identitas Bodhisatta.
 
19371_277209846940_263212646940_3255336_7084481_n.jpg


Setelah itu, Ia melanjutkan perjalanan dengan menuruni Bukit Pandava dan menuju ke Kota Vesali, tempat seorang guru agama yang ternama, Alara Kalama yang tinggal bersama para siswanya. Di sana Bodhisatta bergabung dan menjadi siswa dari Alara Kalama.

Dalam waktu singkat karena memiliki kepandaian yang luar biasa, Bodhisatta telah mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Alara Kalama bahkan mencapai pencapaian yang sama dengan guru-Nya itu. Namun setelah merenungkan sifat dan manfaat dari pencapaian-Nya ini, Ia menyimpulkan bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah membawa pada Pembebasan Sejati. Oleh karena itu Ia mohon pamit kepada guru-Nya untuk melanjutkan pencariannya atas jawaban terhadap persoalan hidup dan mati, usia tua, dan penyakit, yang senantiasa dipikirkan-Nya.

Kemudian Bodhisatta meninggalkan Vesali dan berjalan menuju Negeri Magadha. Ia menyeberangi Sungai Mahi, dan sejenak kemudian sampai di sebuah pertapaan lain di tepi sungai itu. Pertapaan itu dipimpin oleh seorang guru agama yang sangat dihormati. Bernama Uddaka Ramaputta (Uddaka, putra Rama). Kemudian Bodhisatta pun bergabung dan menjadi siswa dari Uddaka Ramaputta. Dalam waktu yang singkat pula, Ia mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Uddaka Ramaputta bahkan melampauinya. Namun, Bodhisatta segera mengetahui bahwa pencapaian-Nya itu bukanlah apa yang Ia cari. Karena tidak puas dengan pencapaian-Nya itu. Ia meninggalkan pertapaan Uddaka Ramaputta.
 
39324_150283258315172_100000004961322_501514_3564306_n.jpg


Setelah meninggalkan pertapaan Uddaka Ramaputta, Petapa Gotama menuju ke Senanigama (kota niaga Senani) di Hutan Uruvela. Ketika disanalah Petapa Gotama bertemu dengan 5 orang petapa (pancavaggiya) yang terdiri dari Kondanna, Vappa, Mahanama, Assaji dan Bhaddiya.

Selama di Hutan Uruvela, Petapa Gotama menjalankan latihan tapa yang paling berat (dukkaracariya), yang sulit dipratikkan oleh orang biasa. Ia menyatakan tekad usaha kuat beruas empat yang dikenal sebagai padhana-viriya, sebagai berikut: “Biarlah hanya kulit-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya urat daging-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya tulang belulang-Ku yang tertinggal! Biarlah daging dan darah-Ku mengering!” Dengan tekad ini, Ia tak akan mundur sejenak pun, namun akan melakukan usaha sekuat tenaga dalam praktik itu.

Dalam praktik pertapaan yang keras tersebut, Petapa Gotama berlatih untuk mengurangi makan sedikit demi sedikit hingga tidak makan sama sekali. Karena melakukan hal tersebut, tubuh-Nya berangsur-angsur menjadi semakin kurus dan akhirnya hanya tinggal tulang belulang. Karena kurang makan, sendi-sendi dalam tubuh dan anggota tubuh-Nya menyembul seperti sendi rerumputan atau tanaman menjalar yang disebut asitika atau kala (Latin: Polygonum aviculare dan S. lacustris).

Enam tahun sudah Petapa Gotama menjalankan pertapaan yang keras dan tiba pada tahap kritis dimana Ia berada di ambang kematian. Hingga suatu hari ketika berjalan-jalan, Ia pingsan dan terjerembab karena tubuh-Nya dilanda panas yang tak tertahankan dan karena kurang makan berhari-hari. Ketika itu, seorang anak laki-lagi pengembala kebetulan lewat di tempat terjatuhnya Petapa Gotama. Setelah membangunkan Petapa Gotama, anak gembala itu menyuapkan air susu kambing bagi-Nya.
 
40675_150283554981809_100000004961322_501515_1941245_n.jpg


DANA NASI SUSU GHANA OLEH SUJATA

Sudah menjadi tradisi (dhammata) bagi seorang Bodhisatta untuk menerima persembahan nasi susu ghana pada hari Beliau akan mencapai Kebuddhaan; dan menerima makanan ini hanya menggunakan cangkir emas seharga satu lakh. Sujàtà, berpikir, “Aku harus menempatkan nasi susu ghana ini dalam cangkir emas,” mengambil sebuah cangkir berharga satu lakh dari dalam kamarnya. Kemudian ia menuangkan nasi susu ghana yang telah matang ke dalam cangkir dengan memiringkan pancinya. Semua nasi susu ghana tersebut masuk ke dalam cangkir sampai tetes terakhir bagaikan tetesan air yang mengalir dari daun teratai paduma. Seluruh nasi susu ghana mengisi cangkir tersebut sampai penuh, tidak lebih tidak kurang.


Cangkir emas berisi nasi susu ghana tersebut ditutup dengan sebuah cangkir emas yang lain lagi dan dibungkus dengan kain putih yang bersih. Dan setelah berdandan dan menghias diri dengan pakaian lengkap, ia membawa cangkir emas di atas kepalanya dan pergi ke dekat pohon banyan. Ia sangat gembira melihat Bodhisatta dan menganggapnya sebagai dewa penjaga pohon banyan, ia berlutut penuh hormat. Kemudian ia menurunkan cangkir emas dari kepalanya, membukanya dan membawa cangkir emas harum, dan mendekati Bodhisatta dan berdiri di dekat-Nya.

Mangkuk tanah liat, yang dipersembahkan kepada Bodhisatta oleh Brahmà Ghatikàra pada waktu melepaskan keduniawian dan dengan setia menemani-Nya selama enam tahun dukkaracariya, menghilang secara misterius pada saat istri orang kaya, Sujàtà datang memberikan nasi susu ghana. Karena tidak melihat mangkuk-Nya, Bodhisatta mengulurkan tangan kanan-Nya untuk menerima dàna tersebut. Sujàta menyerahkan dàna makanan ghana dalam cangkir emas dan meletakkannya di tangan Bodhisatta. Bodhisatta menatap Sujàtà, yang memahami maksud tatapan tersebut, kemudian Sujàtà berkata, “ O Yang Mulia, aku mendanakan nasi susu dalam cangkir emas, terimalah beserta cangkir emas ini dan pergilah ke mana pun Engkau suka.” Kemudian ia mengucapkan doa, “Keinginanku telah terkabul, semoga keinginan-Mu terkabul pula!” Kemudian ia pergi tanpa sedikit pun memikirkan cangkir emas seharga satu lakh tersebut seolah-olah hanya sehelai daun kering.

Bodhisatta juga bangkit dari duduk-Nya, setelah mengelilingi pohon banyan dengan hormat, Beliau berjalan menuju tepi Sungai Neranjarà, membawa cangkir emas berisi nasi susu ghana. Di Sungai Neranjarà terdapat sebuah tangga bernama Suppatitthita, tempat banyak Bodhisatta turun dan mandi pada hari pencapaian Kebuddhaan. Bodhisatta meninggalkan cangkir emas-Nya di tangga, setelah selesai mandi, Beliau naik dan duduk menghadap ke timur di bawah keteduhan sebatang pohon. Kemudian, Beliau menyiapkan empat puluh sembilan gumpalan nasi susu ghana, tidak lebih tidak kurang, berukuran sebesar biji kacang palmyra (bukan sebesar kacang palmyra) dan kemudian memakan semuanya tanpa meminum air. Gumpalan nasi susu ghana tersebut akan menjadi nutrisi (àhàra) untuk mempertahankan kebutuhan nutrisi tubuh-Nya selama empat puluh sembilan hari (sattasattàha), kemudian berdiam di sekeliling pohon Bodhi setelah mencapai Pencerahan Sempurna. Selama empat puluh sembilan hari, Buddha diam dalam kebahagiaan Jhàna dan buahnya, tanpa memakan makanan apa pun, tanpa mandi, tanpa mencuci muka, dan tanpa membersihkan tubuh-Nya.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.