• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

"The Life Of Buddha"

76053_177020995641398_100000004961322_683446_3013659_n.jpg

Raja Bimbisara

Di sebelah Tenggara Jambudipa terdapat sebuah negara besar dan berpengaruh, yaitu negara Magadha yang berpenduduk padat dan kaya raya dan di sebelah Timurnya terletak negara Anga. Raja Bimbisara adalah Maharaja negara Magadha dan Anga tersebut dengan ibukota Rajagaha.

Setelah beberapa lama diam di Gayasisa, Sang Buddha melanjutkan perjalanan menuju Rajagaha dan berhenti di hutan kecil Latthivana.

Dalam waktu singkat tersiar berita bahwa Pertapa Gotama, putra Sakya, sekarang berada di Rajagaha dan berdiam di hutan kecil Latthivana. Beliau adalah seorang Arahat, seorang yang telah memperoleh Penerangan Agung, dan mengajarkan Dhamma yang mulia di awalnya, mulia di pertengahannya, dan mulia di akhirnya, yang telah mengumumkan kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Melihat seorang Arahat yang demikian itu bermanfaat sekali agar keinginan orang dapat terkabul.

Mendengar berita itu, Raja Bimbisara datang mengunjungi Sang Buddha dengan diikuti pengiringnya. Setelah memberi hormat, Raja kemudian duduk di satu sisi. Tetapi para pengiringnya bersikap macam-macam dan ada yang bersikap acuh tak acuh. Ada yang berlutut, ada yang hanya memberi hormat dengan ucapan, ada yang menyembah, ada yang memberitahukan namanya dan juga nama keluarganya, dan ada yang duduk diam saja.

Sang Buddha, yang melihat sikap acuh tak acuh dan kurang hormat dari pengiring Raja, tahu bahwa mereka masih belum siap untuk menerima ajaran. Karena itu, Sang Buddha memandang perlu agar Uruvela Kassapa terlebih dahulu memberikan keterangan tentang sia-sianya pemujaan yang dulu ia lakukan. Hal ini perlu untuk menyingkirkan keragu-raguan sebelum mereka siap untuk mendengarkan Dhamma. Karena itu Sang Buddha berkata kepada Uruvela Kassapa, “Oh, Kassapa, kamu sudah lama berdiam di upacara keagamaan. apakah sebabnya sehingga kamu berhenti melakukan pemujaan api yang biasa kamu lakukan? Aku bertanya padamu, oh Kassapa, mengapa kamu meninggalkan kebiasaan memuja api?”

Uruvela Kassapa menjawab, “Semua Yanna atau upacara dengan mempersembahkan sesajen bertujuan untuk memperoleh penglihatan, suara, rasa dan wanita yang menggiurkan, yang didambakan manusia. Persembahan sesajen itu menimbulkan harapan bahwa setelah melakukan persembahan tersebut orang akan dapat memperoleh hasil yang diinginkan. Telah kuketahui sekarang bahwa kesenangan-kesenangan indria tersebut merupakan kekotoran batin yang membuat orang dicengkram oleh nafsu-nafsu. Karena itu aku tidak lagi tertarik melakukan praktek pemujaan api.”

Kemudian Sang Buddha bertanya lagi, “Setelah kini kamu tidak lagi tertarik kepada penglihatan, suara dan rasa yang menjadi obyek bagi kesenangan indria, oh Kassapa, apa sebenarnya yang kamu cari di alam manusia dan alam dewa ini?” Coba kamu ceritakan.”

Kassapa menjawab, “Aku telah berhasil mencapai keadaan yang penuh damai, tanpa dikotori oleh nafsu-nafsu yang dapat menimbulkan penderitaan, tanpa keinginan untuk melekat, tanpa kemelekatan kepada alam kesenangan indria, tanpa perubahan, tanpa tergantung pada kekuatan luar dan hanya dapat dipahami oleh pribadi masing-masing. Karena hal-hal yang di atas itulah aku tidak lagi tertarik untuk melakukan praktek pemujaan api yang dulu kulakukan.”

Selesai memberi jawaban, Kassapa bangun dari tempat duduknya. Dengan jubah menutupi satu pundaknya (sebagai sikap menghormat) ia berlutut tiga kali di bawah kaki Sang Buddha dan mengaku bahwa Sang Buddha adalah gurunya dan ia adalah murid-Nya.

Setelah keragu-raguan para hadirin dapat disingkirkan dan batin mereka sudah siap untuk menerima pelajaran, mulailah Sang Buddha memberikan khotbah tentang Anupubbikatha dilanjutkan dengan Empat Kesunyataan Mulia.

Selesai Sang Buddha memberikan khotbah, sebelas dari dua belas orang yang hadir memperoleh Mata Dhamma dan yang lain memperoleh keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Kemudian Raja menceritakan tentang keinginannya semenjak kecil, “Dulu, sewaktu masih menjadi Putra Mahkota dan belum naik tahta kerajaan, aku mempunyai lima macam keinginan, yaitu pertama, semoga aku kelak naik di tahta kerajaan Magadha. Kedua, semoga seorang Arahat yang memperoleh Penerangan Agung datang di negeriku sewaktu aku masih memerintah. Ketiga, semoga aku memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Arahat tersebut. Keempat, semoga Arahat tersebut memberikan khotbah kepadaku. Kelima, semoga aku mengerti apa yang harus dimengerti dari ajaran Arahat tersebut. Sekarang semua keinginanku yang berjumlah itu telah terpenuhi.

Selanjutnya Raja Bimbisara memuji khotbah Sang Buddha dan menyatakan dirinya sebagai Upasaka untuk seumur hidup dan mengundang Sang Buddha beserta para pengikut-Nya untuk datang besok siang mengambil dana (makanan) di istana. Kemudian bangun dari tempat duduknya, jalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sebelah kanan dan pulang ke istana. Tiba di istana, Raja memerintahkan untuk menyiapkan hidangan yang lezat-lezat. Keesokan harinya, Raja memerintahkan pengawalnya untuk mengundang Sang Buddha dengan pengiring-Nya datang ke istana.

Setelah Sang Buddha tiba di istana dan mengambil tempat duduk yang disediakan, Raja sendiri turut melayani memberikan hidangan. Kemudian Raja memikirkan tempat yang layak yang dapat digunakan oleh Sang Buddha sebagai tempat tinggal. Raja teringat kepada Veluvanarama (hutan pohon bambu) yang letaknya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan desa sekelilingnya. Tempat itu mudah untuk dicapai dan menyenangkan, tidak berisik waktu siang hari dan tenang di malam hari, cocok sekali untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mereka yang ingin berlatih untuk mendapatkan Pandangan Terang.

Dengan batin yang dipenuhi pikiran tersebut, Raja Bimbisara kemudian menuang air ke lantai dari kendi emas dan menerangkan bahwa Beliau berhasrat menyerahkan Veluvanarama untuk dipakai oleh Sang Buddha beserta pengiring-Nya sebagai tempat tinggal. Sang Buddha menerima pemberian tersebut dan menggembirakan hati Raja dengan menerangkan tentang keuntungan besar yang dapat diperoleh dari dana tersebut.

Sang Buddha beserta pengiring-Nya pulang dan pindah ke tempat yang baru. Ini merupakan sumbangan tempat tinggal untuk para bhikkhu yang pertama, mulai hari itu Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menerima pemberian serupa itu.
 
ymba21.jpg


Sariputta dan Moggallana

Di Rajagaha, waktu itu hidup dua orang pemuda dari kasta Brahmana yang kaya raya, yang sejak kecil bersahabat. Yang satu bernama Upatissa, anak seorang wanita bernama Rupasari, yang lain bernama Kolita, anak seorang wanita bernama Moggalli.

Mereka berdua berguru kepada Sanjaya, seorang pertapa dari golongan Paribbajaka, yang mempunyai dua ratus lima puluh orang murid. Upatissa dan Kolita termasuk dua orang murid yang terpandai dan sering mewakili gurunya memberi bimbingan kepada murid-murid yang lain. Meskipun sudah belajar lama dan memiliki seluruh kepandaian gurunya, tetapi mereka berdua masih belum puas. Mereka kemudian berjanji bahwa siapa di antara mereka kelak yang lebih dulu memperoleh ajaran sempurna akan memberitahukan hal itu kepada yang lain.

Pada suatu hari Ayasma Assaji, seorang dari lima orang bhikkhu pertama, kembali ke Rajagaha untuk memberi laporan kepada Sang Buddha tentang perjalanannya ke berbagai tempat untuk mengajar Dhamma.

Sebagaimana biasa, Ayasma Assaji tiap pagi mengumpulkan makanan dan waktu itulah Beliau terlihat oleh Upatissa. Upatissa terkesan sekali melihat sikap Ayasma Assaji yang demikian tenang dan agung. Setiap gerakannya memberi kesan berwibawa dan menuntut penghormatan dari orang yang melihatnya. Baik berjalan ke depan atau bertindak ke belakang, atau membentangkan, atau menekuk tangannya, ia selalu kelihatan penuh keseimbangan dengan kepala agak tunduk sedikit dan mata ditujukan ke arah depan.

Pemandangan ini membuat Upatissa terpesona dan membangkitkan perasaan ingin tahu. Seketika itu ia ingin menegur, tetapi kemudian membatalkannya karena ia menganggap waktunya kurang tepat berhubung waktu itu Ayasma Assaji sedang mengumpulkan makanan. Ia menunggu sampai Ayasma Assaji selesai makan dan kemudian mendekati serta memberi hormat, “Saudara, pembawaan Anda luar biasa dan wajah Anda terang sekali. Dengan menjalankan kehidupan suci ini kepada siapakah Anda mengabdi? Siapakah guru Anda? Dan ajaran siapakah yang Anda ikuti?”

Ayasma Assaji menjawab, “Saudara, dengan menjalankan kehidupan suci ini kau mengabdi kepada seorang Pertapa Agung, anak dari suku Sakya, yang telah menjadi bhikkhu dari keluarga Sakya. Pertapa Agung itulah yang menjadi guruku. Dan ajaran-Nya yang aku ikuti.”

“Apakah yang diajar guru Anda, Saudara?”

“Aku seorang pendatang baru. Aku baru saja ditahbiskan. Aku belum berapa lama mengikuti ajaran ini, sehingga aku tidak dapat memberikan ajaran itu secara terperinci. Tetapi aku akan memberitahukan Anda garis besarnya.”

“Baik sekali, Saudara. Bagi saya sama saja apakah Anda memberitahukan garis besarnya atau secara terperinci. Aku ingin mendengar intisari dari ajaran tersebut, yang lain tidak dapat membantu apa-apa.”

Ayasma Assaji kemudian mengucapkan syair di bawah ini :

”Ye dhamma hetuppabhava,
Tessam hetum Tathagatho,
Tesanca yo nirodho ca,
Evam vadi mahasamano.”

Artinya :
“Semua benda yang timbul karena satu ‘sebab’
‘Sebabnya’ telah diberitahukan oleh Sang Tathagata,
Dan juga lenyapnya kembali,
Itulah yang diajarkan Sang Pertapa Agung.”
Mendengar syair tersebut, Upatissa seketika memperolah Mata Dhamma (Dhammacakkhu) dan berkata dalam hatinya,

“Yankinci samudayadhammam
Sabbantam nirodha dhammam.”

Artinya :
“Segala sesuatu yang timbul karena satu ‘sebab’
Di dalamnya pun terdapat ‘sebab’ yang membuat ia musnah kembali”

Kemudian Upatissa menanyakan tempat tinggal Sang Buddha. Setelah diberitahukan bahwa Sang Buddha pada saat itu berdiam di veluvanarama, Upatissa kemudian mohon diri dari Ayasma Assaji dan berjanji akan datang mengunjungi Sang Buddha bersama sahabatnya yang bernama Kolita.

Upatissa kembali ke tempat gurunya, Sanjaya, dan memberitahukan Kolita peristiwa apa yang baru saja ia alami. Ia mengulang syair yang diucapkan Ayasma Assaji dan seketika itu pula Kolita memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Kemudian mereka berdua melaporkan berita ini kepada Sanjaya dan mohon diperkenankan untuk mengunjungi Sang Buddha. Tetapi Sanjaya menolak untuk memberi izin. Akhirnya, tanpa izin, mereka berdua dengan diikuti dua ratus lima puluh orang muridnya pergi juga berkunjung kepada Sang Buddha dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dari kelompok ini dapat diceritakan bahwa mereka semua mencapai tingkat Arahat, bahkan para muridnya terlebih dahulu mencapai tingkat kesucian tersebut, kemudian disusul oleh Kolita dan yang terakhir Upatissa.

156662_180058175337680_100000004961322_704939_6682692_n.jpg
 
46630_157412890935542_100000004961322_546588_140318_n.jpg

Konferensi di Veluvana (Magha-Puja)

Ketika Sang Buddha berada di kota Rajagaha, seribu dua ratus lima puluh orang Arahat datang berkumpul. Tempat mereka berkumpul adalah di Veluvanarama (hutan pohon bambu) dan waktu itu tengah hari pada saat purnama sidhi di bulan Magha. Peristiwa yang bersejarah ini hingga kini masih tetap dirayakan sebagai Magha-Puja. Pertemuan para Arahat tersebut dinamakan Caturangasannipata atau Pertemuan Besar Yang Diberkahi dengan Empat Faktor, yaitu:

* Mereka berkumpul tanpa pemberitahuan terlebih dulu.
* Mereka semuanya Arahat dan memiliki 6 (enam) kekuatan gaib
(abhiñña)
* Semuanya ditahbiskan dengan memakai ucapan "Ehi bhikkhu".
* Waktu itu Sang Buddha mengucapkan Ovadda Patimokkha.
Ovada Patimokkha yang diucapkan Sang Buddha adalah sebagai berikut (Dhammapada 183;5):

"Sabba papassa akaranam, Kusalassa upasampada, Sacittapariyo dapanam, Etam Buddhana sasanam. Khanti paramam tapo titikkha, Nibbanam paramam vadanti Buddha, Na hi pabbajjito parupaghati, Samano hoti param vihethayanto. Anupavado, anupaghato, Patimokkhe ca samvaro, Mattaññuta ca bhattasmim, Pantham ca sayanasanam, Adhicitte ca ayogo, Etam Budhana sasanam."

Artinya: "Janganlah berbuat kejahatan, Perbanyaklah perbuatan baik, Sucikan hati dan pikiranmu, Itulah ajaran semua Buddha. Kesabaran adalah cara bertapa yang paling baik, Sang Buddha bersabda; Nibbanalah yang tertinggi dari semuanya, Beliau bukan pertapa yang menindas orang lain, Beliau bukan pula pertapa yang menyebabkan kesusahan orang lain. Tidak menghina, tidak melukai, Mengendalikan diri sesuai dengan tata tertib, Makanlah secukupnya, Hidup dengan menyepi, Dan senantiasa berpikir luhur, Itulah ajaran semua Buddha."
 
hehehe, keren nih ceritanya :D
lanjut om /no1

Baca dari halaman pertama dan seterusnya :)
udah di EDIT ..... dari cerita yg dulu belum lengkap

untk selanjut cerita ini akan bertahap dari hari ke-hari ....
karna harus cari gambar2/lukisan beserta sutta yg menerangkan lukisan tersebut ....

Sabaaar yaaah :D .....
 
154987_177771848899646_100000004961322_689485_4006874_n.jpg

Kembali ke Kapilavatthu

Setelah Raja Suddhodana menerima berita bahwa Sang Buddha berada di Rajagaha, ibukota negara Magadha, maka Beliau mengirim berturut-turut sembilan orang utusan untuk mengundang Sang Buddha pulang ke Kapilavatthu. Namun utusan-utusan tersebut 'lupa' untuk menyampaikan undangan dari Raja Suddhodana, setelah mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha dan mencapai tingkat Arahat.

Akhirnya Raja Suddhodana mengutus Kaludayi untuk mengundang Sang Buddha. Kaludayi adalah kawan bermain Pangeran Siddhattha waktu kecil dan lahir pada hari, bulan, dan tahun yang sama. Kaludayi berangkat menuju Rajagaha. Hal yang hampir sama terjadi, Ia mendengar Sang Buddha memberikan khotbah yang akhirnya membuat Kaludayi mencapai tingkat Arahat.

Ia mohon untuk diterima sebagai bhikkhu dan Sang Buddha mentahbiskannya dengan memakai kalimat "ehi bhikkhu". Kemudian Kaludayi menyampaikan undangan Raja Suddhodana kepada Sang Buddha untuk berkunjung ke Kapilavatthu. Sang Buddha menerima baik undangan tersebut. Setelah Kaludayi berdiam tujuh hari di Rajagaha, berangkatlah Sang Bhagava beserta dua puluh ribu bhikkhu menuju Kapilavatthu.


Berita kedatangan Sang Buddha beserta rombongan ke Kapilavatthu dengan cepat sampai kepada Raja Suddhodana. Beliau memerintahkan untuk segera disiapkan tempat yang letaknya di luar kota dan dikenal dengan nama Nigrodharama (hutan pohon beringin) bagi rombongan yang akan tiba. Sewaktu rombongan tiba, Raja Suddhodana, pengiring dan penduduk Kapilavatthu berduyun-duyun datang ke Nigrodharama. Peristiwa bertemunya kembali Raja Suddhodana dengan anak-NYA.
Tambahkan keterangan gambar
Kembali ke Kapilavatthu


Setelah Raja Suddhodana menerima berita bahwa Sang Buddha berada di Rajagaha, ibukota negara Magadha, maka Beliau mengirim berturut-turut sembilan orang utusan untuk mengundang Sang Buddha pulang ke Kapilavatthu. Namun utusan-utusan tersebut 'lupa' untuk menyampaikan undangan dari Raja Suddhodana, setelah mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha dan mencapai tingkat Arahat.

Akhirnya Raja Suddhodana mengutus Kaludayi untuk mengundang Sang Buddha. Kaludayi adalah kawan bermain Pangeran Siddhattha waktu kecil dan lahir pada hari, bulan, dan tahun yang sama. Kaludayi berangkat menuju Rajagaha. Hal yang hampir sama terjadi, Ia mendengar Sang Buddha memberikan khotbah yang akhirnya membuat Kaludayi mencapai tingkat Arahat.

Ia mohon untuk diterima sebagai bhikkhu dan Sang Buddha mentahbiskannya dengan memakai kalimat "ehi bhikkhu". Kemudian Kaludayi menyampaikan undangan Raja Suddhodana kepada Sang Buddha untuk berkunjung ke Kapilavatthu. Sang Buddha menerima baik undangan tersebut. Setelah Kaludayi berdiam tujuh hari di Rajagaha, berangkatlah Sang Bhagava beserta dua puluh ribu bhikkhu menuju Kapilavatthu.


Berita kedatangan Sang Buddha beserta rombongan ke Kapilavatthu dengan cepat sampai kepada Raja Suddhodana. Beliau memerintahkan untuk segera disiapkan tempat yang letaknya di luar kota dan dikenal dengan nama Nigrodharama (hutan pohon beringin) bagi rombongan yang akan tiba. Sewaktu rombongan tiba, Raja Suddhodana, pengiring dan penduduk Kapilavatthu berduyun-duyun datang ke Nigrodharama. Peristiwa bertemunya kembali Raja Suddhodana dengan anak-NYA.
 
29126_106646709378170_100000985250809_50688_8062255_n.jpg


Waktu rombongan mendekati Nigrodharama, Sang Buddha merenung, "Bangsa Sakya terkenal sebagai bangsa yang tinggi hati. Bila Aku menyambut mereka dengan tetap duduk di tempat duduk-Ku, mereka akan mencela sikap-Ku dan mengatakan, 'Sungguh keterlaluan Sang Pangeran ini, Ia telah meninggalkan tahta, menjadi pertapa dan mengaku telah memperoleh Penerangan Agung Raja Dhamma namun Ia duduk dan tidak berdiri menyambut kedatangan ayah-Nya yang sudah tua dan sangat dihormati seluruh rakyat Sakya', namun Apabila Sang Tathagata bangun untuk menghormatnya, semua kelompok makhluk yang menerima penghormatannya maka kepalanya akan terbelah belah tujuh. Untuk itu, Lebih baik Aku berjalan diudara setinggi orang dewasa".

Karena itu, setibanya Rombongan, Sang Buddha berjalan diudara setinggi orang dewasa. Dari kejauhan, Raja dapat melihat anaknya sedang berjalan-jalan di udara dan merasa sangat kagum. Tiba di pinggir hutan Nigrodharama, Raja turun dari keretanya dan bersama-sama dengan pengiringnya berjalan kaki menuju ke tempat Sang Buddha tinggal. Sang Buddha naik keudara lebih tinggi lagi dan berdiri setinggi pohon palem, sehingga dapat dilihat oleh segenap yang hadir.

Pada waktu itulah Sang Buddha mempertontonkan Yamakapatihariya atau Mukjizat Ganda, yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha, yaitu Api berkobar-kobar dari badan sebelah atas dan air dingin memancar lima ratus pancaran turun dari badan sebelah bawah. kemudian air memancar dari sebelah atas badan dan api berkobar-kobar dari badan sebelah bawah. Segenap yang hadir bersorak-sorak gembira melihat kemukjizatan tersebut.
 
41254_159123517431146_100000004961322_555202_5570088_n.jpg

Putri Yasodhara

Setelah Sang Buddha beserta rombongan selesai makan di tengah hari, berduyun-duyun orang, yang dulu pernah mengenal Pangeran Siddhattha, datang menemuinya untuk sekedar berbincang-bincang dan memberi hormat. Mereka semua merasa gembira sekali dapat bertemu lagi dengan Sang Pangeran, yang sekarang sudah menjadi Buddha, dihormati, dicintai, dan dipuja oleh demikian banyak orang.

Tetapi Yasodhara berada di kamarnya dan berpikir, “Pangeran Siddhattha sekarang sudah mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha. Beliau sekarang termasuk golongan Buddha. Apakah pantas bila aku datang menemuinya? Beliau pasti tidak dan juga tidak mungkin membutuhkanku lagi. Karena itu, apakah pantas kalau aku sekarang datang menemuinya? Aku rasa, lebih baik aku tunggu saja dan lihat apa yang akan terjadi. Kalau Beliau datang menemuiku, aku akan memberi Beliau penghormatan yang layak.”

Setelah berbicara dengan para pengunjung-Nya untuk beberapa waktu lamanya, Sang Buddha bertanya, “Di manakah Yasodhara?”

Raja Suddhodana menjawab, “Oh, Yasodhara ada di kamarnya.”

“Kalau begtu, marilah kita pergi menjenguknya.” kata Sang Buddha.

Sang Buddha menyerahkan mangkuk-Nya kepada Raja Suddhodana dan berjalan di muka menuju kamar Putri Yasodhara. Waktu tiba di depan kamar, Sang Buddha berpesan kepada ayah-Nya, “Biarkan saja Yasodhara memberi hormat kepada-Ku sebagaimana yang dikehendaki. Jangan berkata apa-apa atau melarangnya.”

Waktu Putri Yasodhara diberi kabar tentang kedatangan Sang Buddha, Putri segera memerintahkan semua pelayannya memakai baju kuning untuk memberi hormat selamat datang kepada Sang Buddha.

Setelah Sang Buddha memasuki kamar, dengan cepat Putri Yasodhara menyambutnya sambil berlutut dan memegang kaki Sang Buddha. Kemudian Putri Yasodhara melepaskan rasa rindunya dengan meletakkan kepalanya di atas kaki Sang Buddha dan menangis tersedu-sedu sehingga kaki Sang Buddha basah dengan air mata.

Sang Buddha berdiri diam saja dan dengan batin yang waspada memancarkan gaya-gaya kasih sayang dan belas kasih kepada Putri yang sedang menangis memegang kaki-Nya. Setelah lewat beberapa waktu, Putri yang sedang menangis, membersihkan kaki Sang Buddha yang basah dengan air mata untuk kemudian dengan hormat mempersilakan Sang Buddha dan Raja Suddhodana mengambil tempat duduk masing-masing yang sudah disediakan. Setelah Putri sendiri juga mengambil tempat duduk, Raja Suddhodana berkata kepada Sang Buddha,

“Yang Maha Bijaksana, waktu Putri mendengar bahwa anakku memakai jubah kuning, Putri pun memakai baju kuning. Waktu mendengar bahwa anakku makan hanya satu kali sehari, Putri pun makan hanya satu kali sehari. Waktu mendengar bahwa anakku tidak tidur di dipan yang tinggi dan mewah, Putri pun tidur di atas dipan yang rendah dan sederhana. Waktu Putri mendengar bahwa anakku tidak lagi memakai untaian bunga dan wewangian, Putri pun tidak lagi memakainya. Waktu keluarganya mengirim pesan bahwa mereka bersedia menanggung semua keperluan hidupnya, Putri tidak menggubrisnya sama sekali. Sungguh bijak menantuku Yasodhara ini.”

Sang Buddha menjawab,

“Bukan di kehidupan ini saja, oh Baginda, juga dalam kehidupan-kehidupan yang lampau Yasodhara selalu melindungi, berbakti, dan setia kepada-Ku.”
 
31996_117657338277107_100000985250809_107643_965043_n.jpg

Nanda menerima mangkuk Sang Buddha untuk menyertai Beliau kembali ke vihara; tunangannya memanggilnya agar segera kembali; sesampainya di vihara, Sang Buddha mengundangnya untuk melepaskan keduniawian menjadi seorang bhikkhu.


pada hari ke kelima kunjungan pertama Sang Buddha ke Kapilavatthu, terjadi upacara perkawinan antara seorang Pangeran Sakya bernama Nanda dan seorang puteri bernama Janapadakalyani.

Nanda adalah saudara tiri Sang Buddha. setelah ibu Sang Buddha, Mahamaya, meninggal dunia hanya beberapa hari setelah melahirkan Sang Buddha, Raja Suddhodana menjadikan Pajapati Gotami, adik perempuan Mahamaya, sebagai istrinya. Nanda adalah putera Raja Suddhodana dan Ratu Pajapati Gotami.

Ketika Sang Buddha meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan tanpa rumah, posisi pewaris tahta menjadi jatuh pada Nanda. Raja telah merencanakan bahwa Nanda, setelah menikah, akan naik tahta dan meneruskannya darinya.

Pada hari pernikahan, Sang Buddha memenuhi undangan dari ayahNya, Sang Raja. setelah makan, ketika Sang Buddha bersiap-siap untuk kembali, Beliau menyerahkan mangkukNya kepada Nanda, adiknya, untuk membawakannya dalam perjalanan kembali. Nanda berpikir bahwa ketika mereka sampai di pintu gerbang istana Sang Buddha akan mengambil mangkuk itu darinya, tetapi ketika mereka sampai di pintu gerbang istana, Beliau tidak melakukan hal itu. Nanda tidak berani menyorongkan mangkuk itu kepada Sang Buddha, karena Beliau adalah kakaknya, jadi ia mengikuti Beliau di sepanjang jalan menuju taman di mana Beliau menetap. sesampainya di sana, Sang Buddha berpaling pada Nanda dan berkata, "Mau menjadi seorang bhikkhu?"

Nanda sangat menghormati Beliau untuk dapat menolaknya, maka ia berkata, "Ya, Yang Mulia."

Nanda tidak mnerima penahbisan dengan sepenuh hati, karena ia sedang dalam pernikahan. ditambah lagi, ketika ia meninggalkan istana dengan mangkuk Sang Buddha di tangannya, Janapadakalyani, tunangannya, berteriak kepadanya, "cepatlah kembali, Pangeranku!" Tetapi ia menjawab bahwa ia bersedia ditahbiskan karena hormatnya pada Sang Buddha
 
31996_117657358277105_100000985250809_107646_2451542_n.jpg


Sang Buddha membawa Nanda untuk mengagumi para bidadari surgawi; Nanda ingin memperistri salam satu dari para bidadari tersebut, dan Sang Buddha menjamin bahwa jika ia berlatih Dhamma maka ia akan dapat memperoleh keinginannya.

Setelah Sang Buddha menetap di Kapilavatthu mengajar ayah dan sanak saudaranya selama lebih kurang seminggu, Beliau kembali ke Rajagaha di Magadha. Dalam Sangha para bhikkhu yang menyertai Sang Buddha pada saat itu terdapat Bhikkhu Nanda, adik Sang Buddha yang terbujuk untuk menjadi bhikkhu, dan Samanera Rahula.

Kemudian, Sang Buddha beserta dengan sejumlah besar para bhikkhu mengunjungi Kota Savatthi di negeri Kosala, yang sebanding dalam hal luasnya degan kota Rajagaha di negeri Magadha. Nanda juga menyertainya ke sana.

Akan tetapi, sejak ia meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang bhikkhu, Nanda tidak pernah melakukan kewajiban-kewajiban seorang bhikkhu. pikirannya dipenuhi hanya dengan rencana-rencana meninggalkan kehidupan kebhikkhuan karena ia terus-menerus memikirkan Puteri Janapadakalyani, tunangannya yang ia tinggalkan pada hari pernikahan.

Persoalan ini diketahui oleh Sang Buddha. Komentar menceritakan hal ini sebagai Puggaladhittana (ajaran personifikasi), mengatakan bahwa sebagai akibat dari hal ini Sang Buddha membawa Nanda mengunjungi alam surga Tavatimsa. Dalam perjalanan itu Beliau memperlihatkan seekor monyet betina yang buruk rupa yang sedang duduk di sebuah tunggul pohon di sebuah lahan pertanian di tepi sebuah hutan. ketika mereka sampai di alam surga Tavatimsa, Sang Buddha memperlihatkan para bidadari surgawi kepada Nanda, dengan kaki mereka yang merah seperti kaki merpati dan berkali-kali lebih cantik daripada perempuan duniawi.

"Nanda! Antara Puteri Janapadakalyani, tunanganmu, dan para gadis surgawi ini, siapakah yang lebih cantik?" Tanya Sang Buddha.

Nanda menjawab, "Sekarang Puteri Janapadakalyani bagiku tampak tidak lebih cantik daripada monyet buruk rupa itu."

Dalam menerjemahkan hal ini, kita dapat mengatakan bahwa Sang Buddha memberikan suatu ajaran kepada Nanda dengan cara memperlihatkan bahwa cinta dan kecantikan adalah tiada batasnya, dan bahwa gagasan-gagasan kita sehubungan dengan apa yang cantik dan indah hanyalah karena kita belum melihat hal-hal lain yang lebih cantik dan indah.

Nanda, setelah mendengarkan Sang Buddha, menjadi bosan dan lelah akan cinta dan kenikmatan kecantikan, dan mengerahkan dirinya untuk mempraktikkan Dhamma. tidak lama kemudian, ia menjadi seorang Arahat yang tercerahkan.
 
154987_177771852232979_100000004961322_689486_3914236_n.jpg

Pangeran Rahula

Pada hari ketujuh setelah Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, Puteri Yasodhara mendandani Pangeran Rahula dengan pakaian yang bagus dan mengajaknya ke jendela. Dari jendela itu mereka dapat melihat Sang Buddha sedang makan siang. Puteri Yasodhara kemudian bertanya pada Rahula, "Anakku, tahukah engkau siapa orang itu ?". Rahula menjawab, "Beliau adalah Sang Buddha, ibu". Yasodhara tak dapat menahan air matanya yang menitik keluar dan berkata, "Anakku, petapa yang kulitnya kuning keemasan dan tampak seperti Brahma dikelilingi oleh ribuan muridnya adalah ayahmu. Beliau punya banyak harta pusaka. Pergilah kepadanya dan mintalah harta pusaka untukmu".
 
40180_150286614981503_100000004961322_501545_8052072_n.jpg


Pangeran Rahula yang masih murni dan belum tahu apa-apa pergi mendekati Sang Buddha dan sambil memegang jari tangan Sang Buddha dan menatap muka-Nya, Rahula mengatakan apa yang tadi dipesankan oleh ibunya. Kemudian ia menambahkan, “Ayah, bahkan bayangan Ayah membuat hatiku senang.”

Selesai makan siang, Sang Buddha meninggalkan istana dan Rahula mengikuti sambil terus merengek-rengek, “Ayah, berikanlah harta pusaka, Ayah memiliki banyak harta, Ayah, aku mohon dengan sangat, berikanlah kepadaku warisan.”

Tidak ada orang yang mencoba menghalang-halangi dan Sang Buddha sendiri juga membiarkan saja Rahula merengek-rengek sambil terus mengikuti jalan di samping-Nya. Tiba di taman, Sang Buddha berpikir,

“Rahula minta warisan harta pusaka ayahnya, tetapi semua harta dunia penuh dengan penderitaan. Lebih baik Aku memberinya warisan yang berupa Tujuh Faktor Penerangan Agung yang Aku peroleh di bawah pohon Bodhi. Dengan demikian ia akan mewarisi harta pusaka yang paling mulia.”

Tiba di vihara, Sang Buddha minta kepada Sariputta untuk mentahbiskan Rahula menjadi Samanera.

Mendengar berita bahwa Rahula telah ditahbiskan menjadi samanera, Raja Suddhodana menjadi sedih sekali.

Raja lalu pergi menemui Sang Buddha dan dengan sopan menegur dengan kata-kata,

“Waktu dulu anakku meninggalkan istana membuat aku sedih, sedih dan sakit sekali. Waktu Nanda meninggalkan istana hatiku menjadi hancur dan menderita sekali. Kemudian aku mencurahkan cinta dan perhatianku kepada cucuku Rahula dan mencintai melebihi cintaku kepada siapa pun juga. Sekarang Rahula dibawa kemari dan ditahbiskan menjadi samanera. Aku sangat menyesal dan tidak senang akan apa yang telah terjadi. Aku mohon dengan sangat agar mulai hari ini tidak lagi ada seorang bhikkhu atau samanera yang ditahbiskan tanpa izin dari orang tuanya.”

Sang Buddha menyetujui permohonan Raja Suddhodana dan mulai hari itu tidak mentahbiskan bhikkhu atau samanera tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin dari orangtuanya.

Keesokan harinya, setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Raja Suddhodana mencapai tingkat kesucian Anagami.
 
rahula2.jpg


Tiba di vihara, Sang Buddha minta kepada Sariputta untuk mentahbiskan Rahula menjadi Samanera
 
154987_177771845566313_100000004961322_689484_7192956_n.jpg


Enam Pangeran Sakya bersama dengan Upali, si tukang cukur meninggalkan keduniawian dan menjadi bhikkhu.

Kelompok enam pangeran yang terdiri dari (1) Raja Bhaddiya, (2) Pangeran Anuruddha, (3) Pangeran Ananda, (4) Pangeran Bhagu, (5) Pangeran Kimila, (6) Pangeran Devadatta (Saudara ipar Sang Buddha) dan Upali, si tukang cukur menikmati kenikmatan duniawi secara total bagaikan para Dewa yang menikmati kemewahan surgawi selama tujuh hari penuh sebelum mereka keluar dari kota, seolah-olah pergi bersenang-senang ke taman untuk berolah raga, diiringi oleh pasukan gajah, barisan berkuda, kereta serta infanteri. Setibanya di luar kota, empat resimen prajurit diperintahkan untuk kembali sedangkan mereka meneruskan perjalanan ke kerajaan tetangga Malla.

Begitu memasuki kerajaan Malla, enam pangeran tersebut menanggalkan perhiasan mereka, membungkusnya dengan pakaian luar dan menyerahkan bungkusan tersebut kepada Upali, sebagai hadiah perpisahan dan berkata,”Sahabatku Upali, engkau boleh pulang. Benda-benda ini akan menjamin hari tuamu”.

Upali, si tukang cukur menangis, berguling-guling di atas tanah di kaki para Pangeran, ketika hendak berpisah dari tuan-tuannya. Ia tidak berani, membantah perintah para pangeran dan ia juga bertanggung jawab untuk kembali membawa bungkusan-bungkusan hadiah tersebut. Ketika Upali, si tukang cukur, pelayan para pangeran berpisah dari tuan-tuannya, terdengar suara-suara yang keras dan menakutkan, seolah-olah hutan yang luas dan lebat itu meraung dan berguncang dalam kesedihan

Sesaat kemudian setelah Upali, si tukang cukur berpisah dari para pangeran, ia berhenti dan berpikir: “Para Penguasa Sakya sangat kasar dan kejam. Mereka akan salah menuduhku, “Upali, si tukang cukur ini telah membunuh enam pangeran” dan mereka akan menurunkan perintah untuk membunuhku. Jika para pangeran ini dapat melepaskan kemewahan dan kemuliaan istana, melepaskan perhiasan yang tidak ternilai seperti membuang ludah saja, demi untuk menerima penahbisan, mengapa aku, orang yang rendah dan malang ini tidak mampu menerima penahbisan.” Dengan pemikiran seperti itu, ia mengeluarkan benda-benda berharga yang ia bawa dan menggantungnya pada sebuah pohon, dan berkata, “Aku memberikan harta benda ini sebagai dana. Siapapun yang menemukan benda-benda ini boleh memilikinya”.

Saat enam pangeran melihat Upali si tukang cukur, mendekat dari kejauhan, mereka bertanya, “O sahabat, Upali, mengapa engkau kembali kepada kami?” Kemudian ia menjelaskan apa yang telah ia pikirkan dan apa yang telah ia lakukan. Kemudian para pangeran berkata, “O Upali, engkau tidak kembali ke istana (menurut versi Sri Lanka, “Engkau kembali kepada kami”), sungguh sangat baik! (tepat seperti yang engkau pikirkan) anggota keluarga Sakya sangat kasar dan kejam. (Seandainya, engkau kembali) mereka akan mengeksekusimu karena tuduhan yang salah bahwa engkau telah membunuh enam pangeran”.

Enam pangeran tersebut mengajak Upali bersama mereka menuju hutan mangga Anupiya dimana sang Tathagata berdiam. Setibanya di sana, mereka bersujud dengan penuh hormat kepada Sang Buddha, duduk di tempat yang bebas dari enam cacat, dan berkata: “Sang Bhagava yang termulia, kami, anggota keluarga Sakya yang kasar, kejam dan jahat karena kesombongan yang diakibatkan oleh kelahiran kami sebagai keluarga raja-raja; orang ini, Upali adalah pelayan kami selama bertahun-tahun. Kami memohon agar engkau memberikan prioritas kepadanya agar ditahbiskan terdahulu sebelum kami: (Dengan demikian) kami akan dapat memberi penghormatan kepadanya; menyapanya ketika ia mendekat, dan memberi hormat dengan kedua tangan dirangkapkan. Dengan melakukan hal demikian, keangkuhan kami sebagai keluarga Sakya yang cenderung kejam dan jahat dan kesombongan kami, para pangeran Sakya yang telah menjadi bhikkhu, dapat disingkirkan.”

Kemudian Sang Bhagava, menahbiskan Upali si tukang cukur terlebih dahulu (seperti permohonan para pangeran (kemudian diikuti oleh enam pangeran).
Tambahkan keterangan gambar
Enam Pangeran Sakya bersama dengan Upali, si tukang cukur meninggalkan keduniawian dan menjadi bhikkhu.

Kelompok enam pangeran yang terdiri dari (1) Raja Bhaddiya, (2) Pangeran Anuruddha, (3) Pangeran Ananda, (4) Pangeran Bhagu, (5) Pangeran Kimila, (6) Pangeran Devadatta (Saudara ipar Sang Buddha) dan Upali, si tukang cukur menikmati kenikmatan duniawi secara total bagaikan para Dewa yang menikmati kemewahan surgawi selama tujuh hari penuh sebelum mereka keluar dari kota, seolah-olah pergi bersenang-senang ke taman untuk berolah raga, diiringi oleh pasukan gajah, barisan berkuda, kereta serta infanteri. Setibanya di luar kota, empat resimen prajurit diperintahkan untuk kembali sedangkan mereka meneruskan perjalanan ke kerajaan tetangga Malla.

Begitu memasuki kerajaan Malla, enam pangeran tersebut menanggalkan perhiasan mereka, membungkusnya dengan pakaian luar dan menyerahkan bungkusan tersebut kepada Upali, sebagai hadiah perpisahan dan berkata,”Sahabatku Upali, engkau boleh pulang. Benda-benda ini akan menjamin hari tuamu”.

Upali, si tukang cukur menangis, berguling-guling di atas tanah di kaki para Pangeran, ketika hendak berpisah dari tuan-tuannya. Ia tidak berani, membantah perintah para pangeran dan ia juga bertanggung jawab untuk kembali membawa bungkusan-bungkusan hadiah tersebut. Ketika Upali, si tukang cukur, pelayan para pangeran berpisah dari tuan-tuannya, terdengar suara-suara yang keras dan menakutkan, seolah-olah hutan yang luas dan lebat itu meraung dan berguncang dalam kesedihan

Sesaat kemudian setelah Upali, si tukang cukur berpisah dari para pangeran, ia berhenti dan berpikir: “Para Penguasa Sakya sangat kasar dan kejam. Mereka akan salah menuduhku, “Upali, si tukang cukur ini telah membunuh enam pangeran” dan mereka akan menurunkan perintah untuk membunuhku. Jika para pangeran ini dapat melepaskan kemewahan dan kemuliaan istana, melepaskan perhiasan yang tidak ternilai seperti membuang ludah saja, demi untuk menerima penahbisan, mengapa aku, orang yang rendah dan malang ini tidak mampu menerima penahbisan.” Dengan pemikiran seperti itu, ia mengeluarkan benda-benda berharga yang ia bawa dan menggantungnya pada sebuah pohon, dan berkata, “Aku memberikan harta benda ini sebagai dana. Siapapun yang menemukan benda-benda ini boleh memilikinya”.

Saat enam pangeran melihat Upali si tukang cukur, mendekat dari kejauhan, mereka bertanya, “O sahabat, Upali, mengapa engkau kembali kepada kami?” Kemudian ia menjelaskan apa yang telah ia pikirkan dan apa yang telah ia lakukan. Kemudian para pangeran berkata, “O Upali, engkau tidak kembali ke istana (menurut versi Sri Lanka, “Engkau kembali kepada kami”), sungguh sangat baik! (tepat seperti yang engkau pikirkan) anggota keluarga Sakya sangat kasar dan kejam. (Seandainya, engkau kembali) mereka akan mengeksekusimu karena tuduhan yang salah bahwa engkau telah membunuh enam pangeran”.

Enam pangeran tersebut mengajak Upali bersama mereka menuju hutan mangga Anupiya dimana sang Tathagata berdiam. Setibanya di sana, mereka bersujud dengan penuh hormat kepada Sang Buddha, duduk di tempat yang bebas dari enam cacat, dan berkata: “Sang Bhagava yang termulia, kami, anggota keluarga Sakya yang kasar, kejam dan jahat karena kesombongan yang diakibatkan oleh kelahiran kami sebagai keluarga raja-raja; orang ini, Upali adalah pelayan kami selama bertahun-tahun. Kami memohon agar engkau memberikan prioritas kepadanya agar ditahbiskan terdahulu sebelum kami: (Dengan demikian) kami akan dapat memberi penghormatan kepadanya; menyapanya ketika ia mendekat, dan memberi hormat dengan kedua tangan dirangkapkan. Dengan melakukan hal demikian, keangkuhan kami sebagai keluarga Sakya yang cenderung kejam dan jahat dan kesombongan kami, para pangeran Sakya yang telah menjadi bhikkhu, dapat disingkirkan.”

Kemudian Sang Bhagava, menahbiskan Upali si tukang cukur terlebih dahulu (seperti permohonan para pangeran (kemudian diikuti oleh enam pangeran).
 
150007_175377849139046_100000004961322_669600_39281_n.jpg


YANG ARIYA UPALI

Terkemuka dalam Menjaga Sila

Enam bangsawan muda Sakya yaitu Ananda, Anuruddha, Bhaddiya, Bhagu, Devadatta dan Kimbila memutuskan bersama untuk menjadi siswa Sang Buddha. Ketika mereka meninggalkan Kapilavatthu, ibu kota kerajaan Sakya, mereka diiringi dengan rombongan besar kereta, gajah dan sejumiah pelayan untuk melayani mereka dalam perjalanan. Di perbatasan antara kerajaan Sakya dan kerajaan Magadha, mereka mengirim seluruh kereta kembali ke Kaplivatthu, dan yang tinggal bersama mereka hanyalah Upali, tukang cukur mereka.

Di tepi hutan mereka menyuruh Upali untuk mencukur rambut mereka. Kemudian mereka melepaskan baju mereka yang mewah, perhiasan, lalu mengenakan jubah yang telah disiapkan. Mereka memberikan baju dan perhiasan itu kepada Upali dan menyuruhnya kembali ke Kapilavatthu. Upali mendapati dirinya sendirian dengan barang-barang berharga di dekatnya. Dengan gemetar dipungutnya barang-barang itu. Namun ia berpikir, kalau ia membawa pulang barang-barang itu tentu orang-orang akan mencurigainya dan ia akan dituduh mencuri barang-barang itu. Kemudian ia bertanya-tanya, mengapa keenam bangsawan muda itu mau meninggalkan kehidupan keduniawian untuk memasuki kehidupan suci. Ia teringat sabda Sang Buddha, "Semua penderitaan di dunia ini lahir karena nafsu keinginan. Bila nafsu keinginan tidak dilenyapkan, kedamaian pikiran sulit dicapai".

Upali tidak lagi tertarik pada baju dan perhiasan mewah itu, dan ia pun bergegas mengejar para bangsawan muda itu untuk ikut pula menemui Sang Buddha. Mereka menjumpai Sang Buddha di Anupiya dalam perjalanan ke Rajagaha. Mereka memohon kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai bhikkhu dan memohon agar Upali dapat ditahbiskan terlebih dahulu agar mereka dapat mengurangi kesombongan hati mereka dengan menjadikan Upali sebagai senior mereka.

Dengan sikap rendah hati Upali selalu menerima apa yang dikatakan orang dengan baik dan melakukan segala hal dengan sungguh-sungguh, belajar dan melaksanakan semua aturan dengan baik melebihi para bhikkhu lainnya. Pada suatu kali Upali memohon ijin untuk tinggal di dalam hutan untuk melatih diri dalam meditasi.

Tetapi Sang Buddha menjawab, "Setiap orang mempunyai kemampuan sendiri-sendiri. Engkau tidak terlahir untuk hidup dalam kesunyian di hutan. Bayangkanlah apabila terdapat seekor gajah besar sedang mandi dengan gembira di sebuah danau. Apa yang akan terjadi bila seekor kelinci atau kucing melihat kegembiraan sang gajah, kemudian mencoba menyainginya dengan melompat ke dalam air juga?"

YA Upali kemudian menyadari bahwa beliau harus tetap berada dalam Sahgha, mengabdikan dirinya dalam peraturan dan latihan, menjaga sila dan bertindak sebagai penuntun bagi bagi bhikkhu-bhikkhu lainnya. Apabila menemui keragu-raguan sesedikit apapun, beliau segera menanyakannya kepada Sang Buddha. Beliau memegang teguh semua sila - mulai dari yang paling dasar yaitu tidak membunuh, mencuri, melakukan tindakan asusila, berdusta, minum minuman keras yang memabukkan – sedemikian baiknya sehingga orang-orang mulai datang kepadanya untuk meminta nasihatnya.

Meskipun demikian tidak berarti YA Upali mengikuti peraturan secara dogmatis. Beliau tahu bagaimana untuk membuat pengecualian. Pada suatu kali beliau bertemu dengan seorang bhikkhu tua yang sakit yang baru kembali dari perjalanan. Mendengar bahwa sakit tersebut dapat diobati dengan meminum anggur, YA Upali menemui Sang Buddha dan bertanya apa yang harus dilakukannya. Sang Buddha berkata bahwa orang yang sakit dikecualikan dari aturan yang melarang minum minuman yang diragi. YA Upali segera memberikan anggur kepada bhikku itu, yang dengan demikian menjadi sembuh dari sakitnya.

YA Upali melaksanakan sila untuk kepentingan semua bhikkhu dan untuk perbaikan Sangha. Beliau dihormati atas caranya menyelesaikan perselisihan yang seringkali mengganggu Sangha. Sesudah Sang Buddha mencapai Parinibbana, beliau memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan Ajaran Sang Buddha dengan mengulang Vinaya (peraturan kebhikkhuan) dalam Sidang Agung yang diselenggarakan di bawah pimpinan YA Maha Kassapa. Ketika pertemuan dibuka, YA Maha Kassapa berkata, "Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada bhikkhu Upali mengenai Vinaya".

YA Upali menjawab, "Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Vinaya yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa".

Kemudian YA Maha Kassapa bertanya, "Bhikkhu Upali, di mana ditetapkannya pelanggaran Parajika yang pertama?"
"Di Vesali, Bhante"
"Mengenai siapa?"
"Mengenai bhikkhu Sudinna dari desa Kalandaka"
...

Demikianlah ditanyakan tentang pokok persoalannya, asal mulanya dan tentang orang-orang yang terlibat, apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran. Ditanyakan pula tentang peraturan-peraturan yang lain, baik yang berlaku untuk para bhikkhu maupun untuk para bhikkhuni. Demikianlah semua pertanyaan dijawab oleh YA Upali dengan terang dan jelas sehingga Vinaya dapat terulang kembali dengan benar untuk dilestarikan.
 
38806_150285104981654_100000004961322_501531_7570609_n.jpg


Ananda

Ananda adalah seorang bhikkhu muda dan tampan dan ini memberinya banyak kesulitan. suatu hari, ia mengumpulkan dana makanan di Savatthi dan pada perjalanan kembali ia melihat sebuah sumur. seorang gadis petani sedang mengambil air dari sumur itu. Ananda merasa haus, maka ia meminta air dari gadis itu.

gadis itu mengenali bhikkhu muda di hadapannya adalah Ananda. dengan malu ia berkata, "Yang Mulia! aku adalah seorang petani rendah yang tidak layak menpersembahkan sesuatu untukmu."

Ketika Ananda mendengar hal ini, ia menghiburnya, "Nona! aku adalah seorang bhikkhu dan aku setara terhadap orang kaya maupun miskin!"

Gadis itu sangat tertarik pda penampilan Ananda dan tutur-katanya yg lembut. ia bahkan berkhayal untuk menikahinya. pada kenyataannya Ananda juga tidak dapat melupakan gadis itu! keesokan harinya, ketika ia melewati rumah si gadis, gadis itu tersenyum dan mengenalinya. Ananda mulai kebingungan. akan tetapi, pada saat itu ia ingat bahwa ia adalah seorang bhikkhu yang harus mentaati peraturan. ia merenungkan Sang Buddha, kekuatanNya meliputi dirinya. Ananda seketika memperoleh kebijaksanaan, seolah-olah Sang Buddha berubah menjadi angin dan menuntunnya kembali ke vihara Jetavana.

pada hari ke dua, Ananda menenangkan dirinya kemudian pergi ke kota untuk menerima dana makanan. Gadis muda itu mengenakan pakaian baru dan penataan rambut yang baru. ia berdiri di jalan menunggu Ananda. ketika ia melihat Ananad, ia mengikutinya dan menolak melepaskannya. Ananda menjadi gugup dan tidak berdaya. ia kembali ke vihara dan memberitahukan segalanya pada Sang Buddha. Sang Buddha menyuruhnya untuk membawa gadis itu menemui Beliau.

Ketika gadis itu mendengar bahwa Sang Buddha ingin bertemu dengannya, ia terkejut namun untuk mendapatkan Ananda, ia memberanikan diri menemui Sang Buddha. ketika melihatnya Sang Buddha berkata, "Ananda adalah seorang bhikkhu yang sedang berlatih, untuk menjadi istrinya engkau harus meninggalkan rumah dan menjadi bhikkhuni selama setahun, bersediakah engkau?"

"Sesuai aturanku, meninggalkan rumah memerlukan persetujuan dari orang tua, dapatkah engkau menjemput orang tuamu untuk memperoleh persetujuannya?"

Sang Buddha tidak mempersulitnya. kondisinya bukan tidak memungkinkan dan gadis itu segera pulang ke rumah untuk menjemput ibunya. sang ibu dengan sangat gembira menyetujui puterinya menjadi seorang bhikkhuni terlebih dulu sebelum menikahi Ananda.

Demi untuk menjadi istri Ananda, gadis itu dengan gembira mencukur rambutnya dan menjadi seorang bhikkhuni. ia mendengarkan khotbah Sang Buddha dengan penuh semangat dan berlatih sesuai petunjuk Sang Buddha. keinginan dan emosinya menjadi tenang setelah hari demi hari berlalu dan dalam kurang dari setengah tahun, ia menyadari bahwa di masa lalu pengejaran cintanya adalah suatu hal yang memalukan.

Buddha selalu membabarkan bahwa lima bentuk keingainan adalah Dhamma yang kotor dan sumber penderitaan. hanya jika kelima keinginan dibersihkan makan pikiran menjadi murni dan hidup menjadi damai.

Gadis itu menyadari obsesinya pada Ananda adalah kotor dan buruk. ia menyesalinya dan suatu hari, ia bersujud di depan Sang Buddha dan sambil menangis ia menyatakan penyesalannya, "Buddha! aku sadar sekarang, aku tidak akan bodoh lagi seperti sebelumnya. aku sangat bersyukur padaMu. dalam rangka untuk mengalihkan keyakinan orang-orang bodoh seperti kami, Engkau telah berusaha keras memikirkan berbagai cara! mulai sekarang, aku akan menjadi bhikkhu selamanya, mengikuti jejak Sang Buddha sebagai kurir kebenaran.

pengajaran Sang Buddha yang sungguh-sungguh akhirnya menjadikannya sebagai seorang bhikkhuni teladan!

Gadis itu adalah Matanga yang terkenal. dengan mengijinkan seorang gadis petani menjadi seorang bhikkhuni, Buddha menerima banyak kritikan dan pertentangan dari orang-orang karena sistem kasta yang berlaku pada masa itu. akan tetapi, Sang Buddha menganggap keempat kasta adalah setara. insiden ketertarikan Matanga pada penampilan Ananda dan perubahan dari kemalangan menjadi kjebahagiaan telah menjadi persoalan yang sangat menarik bagi komunitas Buddhis dan suatu kisah yang menarik sepanjang masa
 
47343_159117520765079_100000004961322_555184_2090057_n.jpg


Ananda

Gadis itu sangat tertarik pda penampilan Ananda dan tutur-katanya yg lembut. ia bahkan berkhayal untuk menikahinya. pada kenyataannya Ananda juga tidak dapat melupakan gadis itu! keesokan harinya, ketika ia melewati rumah si gadis, gadis itu tersenyum dan mengenalinya. Ananda mulai kebingungan. akan tetapi, pada saat itu ia ingat bahwa ia adalah seorang bhikkhu yang harus mentaati peraturan. ia merenungkan Sang Buddha, kekuatanNya meliputi dirinya. Ananda seketika memperoleh kebijaksanaan, seolah-olah Sang Buddha berubah menjadi angin dan menuntunnya kembali ke vihara Jetavana.

Ananda dilahirkan pada hari, bulan, dan tahun yang sama dengan Sang Buddha dan terkenal sekali karena sumbangannya untuk kemajuan dan perkembangan Buddha Dhamma.

Selama 20 tahun setelah mencapai Penerangan Agung, Sang Buddha belum mempunyai seorang pembantu tetap. Setiap hari secara bergantian bhikkhu Nagasamala, Nagita, Upavana, Sunakkhata, Sagata, Radha, dan Meghiya, dan samanera Cunda membantu dan melayani Sang Bhagava (Buddha), meskipun tidak teratur.

Pada suatu hari dalam khotbah-Nya di Rajagaha, Sang Bhagava menyinggung tentang perlunya ditunjuk seorang pembantu tetap karena merasa usia-Nya yang sudah meningkat. Semua murid utama-Nya yang terdiri dari delapan puluh Arahat, seperti Sariputta dan Mogallana, menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap. Tetapi semuanya ditolak. Para Arahat kemudian menganjurkan Ananda, yang selama itu diam saja, untuk memohon kepada Sang Bhagava agar dapat diterima menjadi pembantu tetap. Jawaban Ananda dalam hal ini sungguh menarik sekali. Ananda mengatakan, “Kalau Sang Bhagava memang memerlukan Ananda sebagai pembantu tetap, Sang Bhagava boleh mengatakannya.”

Kemudian Sang Buddha berkata, “Ananda, jangan membiarkan orang lain menganjurkan engkau untuk memohon pekerjaan tersebut. Atas kemauan sendiri engkau dapat menjadi pembantu tetap Sang Buddha.”

Baru setelah itulah Ananda menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap asal saja Sang Buddha berkenan meluluskan delapan permintaannya, yaitu untuk menolak empat hal dan meluluskan empat hal lainnya.

Empat hal yang Ananda mohon supaya ditolak adalah :

1. Apabila Sang Buddha menerima pemberian jubah yang bagus, maka jubah itu tidak boleh diberikan kepada Ananda.

2. Kalau Sang Buddha menerima hadiah, maka hadiah tersebut tidak boleh diberikan kepada Ananda.

3. Bahwa Ananda tidak boleh diminta untuk tidur di kamar pribadi Sang Buddha yang harum baunya (Gandhakuti).

4. Kalau Sang Buddha menerima undangan pribadi, maka undangan itu tidak termasuk untuk dirinya.

Ananda mengatakan kalau Sang Buddha melakukan satu dari empat hal yang tersebut di atas, maka orang akan bercerita bahwa Ananda menjadi pembantu tetap karena ingin mendapat jubah bagus, makanan enak, tempat tinggal yang menyenangkan dan agar bisa ikut serta kalau Sang Buddha mendapat undangan.

Empat hal yang Ananda mohon Sang Buddha menerimannya :

1. Kalau Ananda menerima sebuah undangan atas nama Sang Buddha, maka Sang Buddha harus memenuhinya.

2. Kalau ada orang datang dari tempat jauh, supaya ia boleh membawanya menghadap kepada Sang Buddha.

3. Setiap waktu ia diperbolehkan untuk bertanya kepada Sang Buddha, apabila ia merasa ada sesuatu yang diragu-ragukan.

4. Apa pun juga yang Sang Buddha khotbahkan sewaktu ia tidak hadir, supaya Sang Buddha bersedia mengulangnya kembali.

Kalau hal ini tidak diperkenankan, orang akan bertanya-tanya, apa sebenarnya faedah dari pengabdian tersebut. Hanya kalau delapan permohonan ini dikabulkan, ia akan mendapat kepercayaan khalayak ramai dan mereka tahu bahwa Sang Buddha mempunyai kepercayaan besar terhadap dirinya. Setelah Sang Buddha setuju dan memberikan anugerah (Vara) berupa Delapan Hak Istimewa tersebut, maka mulai hari itu Ananda resmi menjadi Buddha-Upatthaka (pembantu tetap Sang Buddha).

Selama 25 tahun lamanya Ananda melayani Sang Buddha, mengikuti-Nya sebagai sebuah bayangan, mengambilkan air, mencuci kaki-Nya, menemani kemana pun Sang Buddha pergi, membersihkan kamar-Nya dan hal-hal lain lagi.

Justru karena hubungan erat inilah, maka Ananda mempunyai kesempatan istimewa untuk mendengarkan semua khotbah Sang Buddha. Dibantu dengan ingatan kuat yang dimilikinya, maka Ananda dapat mengulang semua khotbah Sang Buddha. Karena itu Ananda juga dinamakan Bendahara Dhamma (Dhamma-bhandagarika).

Ananda mencapai tingkat Arahat tiga bulan setelah Sang Buddha mangkat, yaitu pada hari pembukaan Sidang Agung Pertama di Goa Sattapanni, kota Rajagaha yang diketuai oleh Maha Kassapa. Di sidang tersebut, Ananda mengulang khotbah-khotbah (Sutta) Sang Buddha, sedangkan Upali mengulang tata tertib (Vinaya) para bhikkhu dan bhikkhuni.

Patut pula dicatat sebagai jasa Ananda bahwa berkat sokongannya yang kuat, Putri Pajapati berhasil diterima menjadi bhikkhuni oleh Sang Buddha, yang menjadi permulaan berdirinya Sangha Bhikkhuni.

Dan Ananda jugalah, atas perintah Sang Buddha, merancang jubah bhikkhu dengan mengambil contoh sawah-sawah di Magadha.

Ananda meninggal dunia pada usia 120 tahun. Pada hari akan meninggal dunia, Ananda pergi ke tepi Sungai Rohini. yang menjadi perbatasan antara Kapilavatthu dan negara Koliya. Setelah memberikan khotbah kepada para keluarganya yang berkumpul di kedua tepi sungai, Ananda berjalan ke tengah Sungai Rohini dan di situlah dari tubuhnya keluar api yang membakar badan jasmaninya.

Keluarganya di kedua tepi sungai mengumpulkan abu sisa badan jasmaninya, dibagi dua dan kemudian mereka mendirikan dua buah stupa sebagai penghormatan kepada Ananda, satu di Kapilavatthu dan satu lagi di negara Koliya.

Seperti diketahui di halaman muka, Ananda adalah putra tunggal dari Pengeran Sukkhodana, adik Raja Suddhodana.
 
47343_159117517431746_100000004961322_555183_4590198_n.jpg


Anathapindika

Pertemuan pertama Anathapindika dengan Sang Buddha terjadi segera setelah vassa ketiga sejak Sang Buddha mencapai Pencerahan Sempurna. Pada masa awalnya, Sang Buddha belum menetapkan peraturan apapun mengenai tempat berdiam bagi para bhikkhu. Para bhikkhu tinggal dimanapun yang mereka mau—di hutan, di bawah pohon, di bawah bebatuan yang menonjol, di jurang, di gua, di kuburan, dan di ruang terbuka. Pada suatu hari, seorang pedagang kaya dari Rajagaha, ibukota dari kerajaan Magadha, menjadi pengikut setia Sang Buddha. Ketika melihat cara hidup para bhikkhu, ia menyarankan kepada para bhikkhu untuk bertanya kepada Sang Guru apakah beliau mengijinkan mereka untuk menerima tempat tinggal yang permanen. Ketika Sang Buddha memberikan ijinnya, si pedagang langsung mendirikan tidak kurang dari enam puluh tempat tinggal bagi para bhikkhu, ia menjelaskan bahwa ia perlu mengumpulkan jasa kebajikan. Dengan dibangunnya vihara pertama itu, maka sebuah landasan telah dibuat untuk penyebaran Dhamma, karena sekarang telah ada pusat pelatihan bagi Sangha.

Kemudian Sang Bhagava, sambil membimbing Anathapindika selangkah demi selangkah, berbicara kepadanya mengenai memberi, kemoralan, surga; bahaya, kesia-siaan, dan sifat menodai dari kenikmatan indria; manfaat pelepasan. Ketika beliau melihat bahwa hati dan pikiran Anathapindika sudah siap— mudah menerima, tidak terganggu, bersemangat dan damai— beliau menjelaskan kepadanya ajaran unik Yang Tercerahkan: Empat Kebenaran Mulia mengenai penderitaan, sebabnya, berakhirnya, dan jalan untuk mengakhirinya. Dengan itu, mata kebenaran yang tanpa noda, bersih dari debu (dhammacakkhu) terbuka bagi Anathapindika: “Apapun yang memiliki sifat alami timbul, semua juga memiliki sifat alami tenggelam.“ Anathapindika telah memahami kebenaran Dhamma, mengatasi semua keraguan, dan tanpa goyah; mantap dalam pikiran, ia sekarang mandiri dalam Ajaran Sang Guru. Ia telah merealisasi jalan dan buah pemasuk-arus (sotapatti).

Ia kemudian mengundang Sang Guru untuk bersantap keesokan harinya di rumah saudara iparnya, dan Sang Guru menerimanya. Setelah bersantap siang, Anathapindika bertanya kepada Sang Buddha apakah ia boleh membangun sebuah vihara bagi Sangha di kampung halamannya, Savatthi. Sang Buddha menjawab: “Yang Tercerahkan menyukai tempat yang tenang.”

“Saya mengerti, O Guru, saya mengerti,” jawab Anathapindika, yang bersuka cita karena persembahannya diterima.
 
40245_150284641648367_100000004961322_501526_4623079_n.jpg


Mempersembahkan Jetavana

Anathapindika, seorang donatur utama Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk menemui Sang Guru Agung ketika Beliau sedang bersemayam di Veluvana (Hutan Bambu) di Rajagaha. Anathapindika lahir di Savatthi, putera seorang milyuner yang bernama Sumana. Sebelumnya ia bernama Sudattha, dan karena sifatnya yang dermawan, ia kemudian dikenal dengan nama Anathapindika (Si Pemberi Makan Kepada Yang Tidak Mampu). Anathapindika seorang pedagang yang sukses, yang berdagang dengan armada angkutan yang terdiri dari lima ratus kendaraan.

Anathapindika mengerti permintaan yang terkandung di dalam persetujuan Sang Buddha, ia lalu mencari tempat yang tenang dan sunyi di dekat Savatthi, di mana Sang Buddha dapat menetap. Ia akhirnya menemukan tempat yang sesuai untuk Sang Buddha, yaitu taman milik Pangeran Jeta. Pangeran Jeta memberitahu Anathapindika bahwa taman itu tidak dijual, kecuali tanah tersebut ditutupi dengan kepingan-kepingan uang emas. Anathapindika menyatakan keinginannya membeli taman itu seharga berapapun yang dikatakan oleh Pangeran Jeta, tetapi Pangeran Jeta tetap tidak menyetujuinya. Anathapindika lalu merundingkan kepada para pejabat istana tentang pernyataan Pangeran Jeta yang akan menjual taman itu apabila ditutupi dengan kepingan uang emas dan para pejabat istana menyetujui permintaan tersebut. Anathapindika lalu memerintahkan para pegawainya untuk membawa beberapa kereta berisi kepingan-kepingan uang emas, dan menutupi Hutan Jeta itu dengan kepingan uang emas yang dibawa. Ada sebagian kecil tanah hutan itu uang tidak tertutupi dengan kepingan uang emas dan Pangeran Jeta yang melihat hal itu mengatakan bahwa bagian tanah tersebut adalah persembahan darinya. Anathapindika menyetujui dan membangun pintu gerbang dan sebuah bangunan.

Anathapindika lalu membangun Vihara Jetavana ini dengan indah, membangun ruangan-ruangan untuk belajar, ruangan persembahan dana, perapian, gudang, kamar mandi, koridor, sumur, kolam, kamar-kamar dengan penghangat ruangan, paviliun-paviliun. Milyuner ini menghabiskan lima puluh empat kati kepingan emas untuk menyelesaikan bangunan di Vihara Jetavana ini.

Sang Buddha berdiam di Vihara Jetavana selama sembilan belas masa musim hujan, masa vassa. Di Vihara Jetavana inilah Sang Buddha melewatkan sebagian besar masa hidup Beliau, dan di tempat ini pula Sang Buddha banyak membabarkan Dhamma Yang Mulia.
 
71688_171777269499104_100000004961322_644085_1967373_n.jpg


Raja Pasenadi

Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala mendatangi mereka dan bertanya: “Para Mulia, di manakah Beliau berada saat ini, Sang Bhagava, yang sempurna dan tercerahkan sempurna? Kami ingin menemui Sang Bhagava, yang sempurna dan tercerahkan sempurna.”

“Itu adalah tempat kediaman Beliau, Baginda, yang pintunya tertutup. Pergilah ke sana dengan tenang, tanpa terburu-buru, masuki berandanya, berdehemlah, dan ketuk pintunya. Sang Bhagavā akan membukakan pintunya untukmu.” Raja Pasenadi menyerahkan pedang dan turbannya kepada Dīgha Kārāyaṇa di sana pada saat itu juga. Kemudian Dīgha Kārāyaṇa berpikir: “Raja akan melakukan pertemuan pribadi sekarang! Dan aku harus menunggu di sini sendirian!” Tanpa terburu-buru, Raja Pasenadi dengan tenang mendatangi kediaman dengan pintu tertutup itu, memasuki beranda, berdehem, dan mengetuk pintu. Sang Bhagavā membuka pintu.

Kemudian Raja Pasenadi memasuki tempat kediaman itu. Bersujud dengan kepala di kaki Sang Bhagavā, ia membanjiri kaki Sang Bhagavā dengan ciuman dan mengusapnya dengan tangannya, memperkenalkan namanya: “Aku adalah Raja Pasenadi dari Kosala, Yang Mulia; aku adalah Raja Pasenadi dari Kosala, Yang Mulia.”

“Tetapi, Baginda, atas alasan apakah yang engkau lihat sehingga memberikan penghormatan yang begitu tinggi pada tubuh ini dan memperlihatkan persahabatan demikian?”

“Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’ Sekarang, Yang Mulia, aku melihat beberapa petapa dan brahmana yang menjalani kehidupan suci terbatas selama sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun, atau empat puluh tahun, dan kemudian belakangan aku melihat mereka berpenampilan rapi dan dengan hiasan indah, dengan rambut dan janggut tercukur rapi, menikmati dan memiliki lima utas kenikmatan indria. Tetapi di sini aku melihat para bhikkhu menjalani kehidupan yang murni dan sempurna selama mereka hidup dan bernafas. Sesungguhnya, aku tidak melihat ada kehidupan suci lainnya yang semurni dan sesempurna ini. Itulah sebabnya mengapa, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.