cimohai
IndoForum Junior A
- No. Urut
- 51307
- Sejak
- 27 Agt 2008
- Pesan
- 3.428
- Nilai reaksi
- 144
- Poin
- 63
^ baiklah akhi, ane dapat dari sebelah, ane copas sini ya...
Mohon dibaca dan dipahami...
Sumber
Ada dari sumber lain nya...
Sumber
Wallahualam...
Semoga bermanfaat akhi...
Mohon dibaca dan dipahami...
Sumber
Sikap dan Perlakuan Islam Terhadap Budak
Para fukaha telah merinci sejumlah hukum yang berhubungan dengan budak, di antaranya: Pertama, Islam telah menetapkan sejumlah aturan bagi orang Islam yang memiliki budak sehingga budak memiliki hak sebagaimana tuannya. Selain itu, Islam juga menetapkan sejumlah aturan sehingga fitrah dan sifatnya sebagai manusia (manusia bebas) bisa dijaga dan setara dengan manusia yang bebas. Misalnya, Islam memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat baik kepada budaknya (QS an-Nisa’ [4]: 36). Dalam hadis riwayat Muslim dituturkan bahwa Nabi saw. juga pernah bersabda, “Bertaqwalah kalian kepada Allah, dan berhati-hatilah kalian terhadap budak-budak yang kalian miliki. Sesungguhnya, mereka adalah saudaramu yang dijadikan Allah Swt. berada di bawah kekuasaanmu. Karena itu, berilah mereka makan, seperti yang engkau makan, dan berilah mereka pakaian seperti pakaian yang engkau kenakan. Janganlah memberi beban tugas yang memberatkan mereka. Jika engkau membebani mereka dengan tugas maka berlakulah baik (tidak memberatkan) kepada mereka.” (HR Muslim).
Nas-nas di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Islam telah memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat baik kepada budaknya, dan menyetarakan kedudukan mereka, secara fitrah dan kemanusiaan, dengan manusia merdeka. Dengan kata lain, Islam telah menyetarakan budak dan orang merdeka dalam hal darah dan kehormatan. Dalam fikih juga dinyatakan, jika tuan “menikmati budaknya” maka statusnya dipandang sebagaimana tatkala ia menikmati istrinya yang merdeka. Untuk itu, jika seorang budak hamil atau melahirkan anak dari tuannya, dengan segera ia harus dibebaskan secara paksa setelah kematian tuannya.
Kedua, pada saat itu, Islam telah mendorong manusia untuk membebaskan budak-budak yang mereka miliki. Al-Quran menyatakan dengan sangat jelas bahwa pembebasan budak akan membantu dirinya untuk bersyukur atas nikmat Allah Swt., dan memudahkan dirinya untuk mendaki jalan yang sukar (QS al-Balad []: 11-13).
Ketiga, Islam telah mensyariatkan sejumlah hukum yang memaksa seseorang untuk membebaskan budaknya, atau dibebaskan oleh penguasa. Jika seseorang memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan waris dengan budaknya maka ia wajib membebaskan budak tersebut, baik rela maupun tidak rela. Jika ia tidak rela maka penguasa yang akan membebaskan budak tersebut. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang memiliki budak yang memiliki hubungan kekerabatan (keluarga dan waris), maka ia adalah orang bebas.” (HR Abu Dawud).
Budak yang disiksa oleh tuannya dengan cara dibakar, dipotong salah satu anggota tubuhnya, atau siapa saja yang memukul atau mendera budak dengan deraan yang berlebihan, maka budak itu wajib dibebaskan. Jika tuannya tidak mau membebaskan maka penguasa berhak memaksanya untuk membebaskan budaknya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Siapa saja yang memukul budaknya atau menderanya maka dendanya adalah membebaskannya.” (HR Muslim).
Islam juga telah menjadikan pembebasan budak sebagai denda (kifarah) atas dosa-dosa yang dilakukan seorang Muslim. Allah telah menjadikan pembebasan budak sebagai kifarah atas pembunuhan tidak sengaja (QS an-Nisa’ [4]: 92). Pembebasan budak juga ditetapkan sebagai kifârah atas pelanggaran sumpah (QS al-Maidah [5]: 89). Pembebasan budak juga dijadikan kifarat pada kasus zhihâr dan kasus suami yang menyetubuhi istrinya pada siang hari bulan Ramadlan.
Hukum-hukum di atas telah dikaitkan dengan pembebasan budak. Ini menunjukkan bahwa Islam telah mendorong umatnya untuk berlaku baik, mendudukkan mereka pada tempat yang setara dengan orang merdeka, baik dalam hal harta dan darah, serta mendorong kaum Muslim untuk membebaskan budak.
Islam tidak mencukupkan diri hanya dengan menetapkan hukum-hukum yang memaksa seseorang untuk membebaskan budak, tetapi juga telah menetapkan hukum bagi budak untuk membebaskan dirinya sendiri, sebagaimana Islam telah menetapkan mekanisme bagi tuan untuk membebaskan budaknya (Lihat: QS an-Nur []: 33). Ayat ini berbicara tentang budak yang ingin membebaskan dirinya (mukatab).
Keempat, dalam Baitul Mal, terdapat pos khusus untuk membantu para budak membebaskan dirinya (Lihat: QS at-Taubah [9]: 60). Pos untuk pembebasan budak tidak ditentukan besar-kecilnya. Khalifah boleh saja memberikan prosentase di atas 50% untuk pembebasan budak. Bahkan ia boleh mengalokasikan semua perolehan zakat untuk pembebasan budak.
Islam dan Sistem Perbudakan
Pada dasarnya Islam telah menghapuskan perbudakan. Dengan kata lain, Islam telah mengharamkan perbudakan atas orang-orang merdeka dengan pengharaman yang pasti. Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga orang yang akan aku tuntut kelak pada Hari Kiamat. Seorang laki-laki meminta kepadaku, kemudian ia berkhianat, dan seorang laki-laki yang menjual seorang laki-laki merdeka, kemudian ia memakan hasil penjualannya itu, dan seorang laki-laki yang mempekerjakan seseorang dan tidak pernah diberi upahnya.” (HR Bukhari).
Hadis ini menunjukkan bahwa Allah Swt. melarang memperjualbelikan (memperbudak) orang-orang yang merdeka.
Adapun dalam kondisi perang, Islam telah mengharamkan secara mutlak memperbudak tawanan perang. Pada tahun ke 2 Hijrah, Allah Swt. telah menjelaskan ketentuan hukum mengenai tawanan perang, yaitu: (1) dibebaskan; (2) ditebus dengan sejumlah harta, ditukar dengan tawanan kaum Muslim atau kafir dzimmi. Hukum ini telah melarang memperbudak tawanan perang (Lihat: QS Muhammad [47]: 4).
Ada sebagian fukaha menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah memperbudak tawanan perang saat Perang Hunain. Padahal ayat di atas turun pada tahun ke 2 Hijriyah jauh sebelum peristiwa Perang Hunain. Untuk itu, mereka berpendapat bahwa dalam kondisi perang, kaum Muslim masih diperbolehkan memperbudak tawanan perang.
Sesungguhnya perbuatan dan perkataan Rasulullah hanya berfungsi untuk men-taqyîd, mengkhususkan, atau men-tafshîl (merinci) kemutlakan, keumuman, dan ke-mujmal-an (keglobalan) al-Quran, namun tidak bisa digunakan untuk menghapus al-Quran (naskh). Ayat di atas sama sekali tidak berbentuk muthlaq sehingga layak untuk di-taqyîd. Ayat di atas redaksinya juga tidak berbentuk umum sehingga absah untuk di-takhshîsh. Ayat di atas juga tidak berbentuk mujmal sehingga layak dirinci oleh sunnah. Adapun hadis yang menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah memperbudak tawanan perang di Hunain adalah hadis ahad. Khabar ahad tidak boleh me-naskh (menghapus) al-Quran yang mutawâtir. Karena itu, jika riwayat yang menuturkan perbudakan tawanan perang dalam Perang Hunain memang benar-benar sahih maka ia harus ditolak matan-nya karena bertentangan dengan khabar mutawâtir.
Fakta saat Perang Hunain menunjukkan bahwa para wanita dan anak-anak telah terlibat dalam perang, baik untuk memperkuat pasukan atau memberi semangat pasukan. Tatkala pasukan Hunain dikalahkan, wanita dan anak-anak itu dihukumi sebagai sabaya. Sabaya adalah kaum wanita dan anak-anak yang turut serta dan melibatkan diri dalam kancah peperangan. Menurut orang Arab, istilah sabaya hanya ditujukan untuk kaum perempuan dan anak-anak yang terlibat dalam peperangan, dan tidak mencakup kaum laki-laki. Rasulullah saw. membagi-bagikan mereka (sabaya) kepada kaum Muslim yang turut berperang. Sebagian Sahabat ada yang mengembalikan sabaya ini kepada keluarganya. Namun demikian, tatkala Rasulullah saw. memerangi Khaibar, Beliau tidak menawan penduduknya, baik laki-laki, wanita dan anak-anak. Beliau saw. membiarkan mereka menjadi orang-orang yang bebas (merdeka). Ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap sabaya bergantung kepada Khalifah. Khalifah boleh saja memperbudak mereka atau membebaskan mereka. Namun, hukum semacam ini hanya berlaku kepada sabaya, yakni wanita dan anak-anak yang terlibat dalam perang. Adapun laki-laki yang turut perang dan orang-orang yang berada di dalam rumahnya dan tidak ikut berperang tidak boleh diperbudak sama sekali. Dengan kata lain, tawanan perang (al-usri) tidak boleh diperbudak, sedangkan sabaya (wanita-wanita dan anak-anak yang turut perang) boleh diperbudak atau dibebaskan. Hanya saja, sabaya tidak boleh ditebus dengan harta. Tindakan semacam ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. pada saat Perang Hunain dan Khaibar. Pada saat Perang Hunain, Rasulullah saw. memperbudak sabaya, kemudian membebaskan mereka. Adapun pada saat Perang Khaibar, Beliau membebaskan para sabaya, dan tidak memperbudak mereka.
Hanya saja, tindakan Khalifah (Imam) untuk “memperbudak” sabaya tidak boleh diartikan bahwa sabaya itu hendak diperbudak secara langsung, atau bahwa Islam masih mentoleransi dan melanggengkan perbudakan. Tindakan semacam ini diberlakukan hanya dalam kondisi peperangan dan berada di bawah koridor hukum darurat perang. Dengan demikian, tindakan Khalifah tersebut semata-mata demi kepentingan politik perang (siyâsah al-harb) dan bukan ditujukan untuk memperbudak mereka secara langsung.
Dari seluruh keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Islam telah memecahkan masalah perbudakan, sekaligus juga menetapkan aturan-aturan komprehensif yang bisa mencegah terjadinya perbudakan kembali. Selain itu, Islam juga memberikan kewenangan kepada Khalifah untuk memperlakukan sabaya sesuai dengan politik dan kepentingan perang. Tidak hanya itu, Islam juga telah menghapuskan perbudakan ketika Islam melarang melibatkan anak-anak dan wanita dalam medan peperangan, seperti yang diterapkan pada hukum perang modern. Ini semua menunjukkan bahwa Islam melarang dan menghapuskan perbudakan yang terjadi di tengah-tengah manusia untuk selama-lamanya.
[Syamsuddin Ramadlan An-Nawiy]
Ada dari sumber lain nya...
Sumber
M. Quraish Shihab:
Tidak dapat disangkal bahwa perbudakan pada abad-abad yang lalu merupakan salah satu fenomena masyarakat umat manusia di seluruh dunia. Islam datang dalam situasi dan kondisi yang demikian juga. Namun dapat dipastikan Allah dan Rasul-Nya tidak merestui hal tersebut, walaupun dalam saat yang sama harus diakui pula bahwa al-Qur’an dan Sunnah tidak mengambil langkah drastis untuk menghapuskannya sekaligus.
Al-Qur’an dan Sunnah menutup semua pintu untuk berkembangnya perbudakan kecuali melalui peperangan, yakni tawanan perang, karena ketika itu demikianlah perlakukan negara-negara terhadap tawanan perangnya. Dalam hal ini al-Qur’an pun memberikan peluang untuk membebaskan mereka dengan tebusan atau tanpa tebusan –ini jelas berbeda dengan sikap umat manusia ketika itu.
Islam menempuh cara bertahap dalam pembebasan perbudakan, antara lain, disebabkan oleh situasi dan kondisi para budak ketika itu. Para budak, ketika itu, hidup bersama tuan-tuan mereka, sehingga kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka terpenuhi. Anda dapat membayangkan bagaimana jadinya jika perbudakan dihapus sekaligus, pastilah akan terjadi problem sosial, yang jauh lebih parah daripada problem pemutusan hubungan kerja [PHK] sebagaimana yang dialami bangsa kita dewasa ini. Ketika itu bukan saja pangan yang harus disiapkan, tetapi juga papan. Atas dasar itu, kiranya dapat dimengerti jika al-Qur’an dan Sunnah menempuh jalan bertahap untuk menghapus perbudakan tersebut.
Nah, dalam konteks ini, dapat juga kiranya dipahami perlunya ketentuan-ketentuan hukum bagi para budak tersebut. Itulah yang mengakibatkan adanya tuntunan dan tuntutan agama, baik dari segi hukum maupun moral, yang berkaitan dengan perbudakan.
Tahap-tahap yang ditempuh al-Qur’an dan Sunnah dalam konteks pembebasan perbudakan, antara lain, adalah menanamkan rasa persaudaraan kemanusiaan. Oleh karena itu, Rasul Saw, antara lain, berpesan, “Jangan menyebut mereka budak-budak, tetapi mereka adalah pemuda-pemudiku.” Karena itu pula para budak yang telah dimerdekakan dinamai maulâ, yang antara lain bermakna orang dekat atau pendukung.
Al-Qur’an menganjurkan kepada para pemilik budak untuk memberi kesempatan kepada para budak untuk menebus dirinya [QS an-Nûr [24]: 33]. Bahkan menganjurkan agar memerdekakan mereka tanpa tebusan. Cara kedua ini dinamai oleh al-Qur’an “‘Aqabah”, yaitu jalan mendaki [QS al-Balad [90]: 11-13] guna mencapai kedudukan yang tinggi di hadapan Allah swt. Islam menjanjikan ganjaran keterbebasan dari neraka bagi mereka yang memerdekakan budak.
Banyak hadits Nabi Saw yang menguraikan hal ini, antara lain, “Siapa yang memerdekakan hamba maka pemerdekaan itu menjadi tebusan baginya dari siksa neraka” [HR. an-Nasâ’î melalaui Abû an-Nujaih].
Sedemikian besar kesempatan yang dilapangkan Islam untuk membebaskan perbudakan, sampai-sampai ketika seorang yang sedang bergurau mengatakan akan membebaskan budaknya, maka hukum Islam menilai gurauan tersebut sebagai pembebasan. “Ada tiga hal yang keseriusannya dinilai serius dan gurauannya [pun] dinilai serius, yaitu nikah, talak, dan memerdekakan hamba” [HR. Ahmad, Abû Dâwûd, at-Tirmidzî, dan ath-Thabrani].
Di samping apa yang disebut di atas, al-Qur’an juga menetapkan dana tertentu dari zakat untuk pembebasan budak [QS At-Taubah [9]: 60] sebagaimana menetapkan sanksi hukum berupa pembebasan budak bagi sekian banyak pelanggaran agama. Misalnya pembunuhan seorang Mukmin tanpa sengaja [QS an-Nisâ’ [4]: 92], bersetubuh di siang hari Ramadhan bagi yang wajib berpuasa [HR. Bukhârî dari Abû Hurairah], sanksi hukum zhihâr [yakni mengharamkan istri sebagaimana haramnya menggauli ibu --QS al-Mujâdilah [58]: 3-4], membatalkan sumpah [QS al-Mâ’idah [5]: 89], dan bahkan –menurut Rasul Saw– memperlakukan seorang hamba sahaya secara tidak wajar, seperti menamparnya atau menyakitinya tanpa hak, maka kaffârah-nya adalah memerdekakan hamba tersebut, sebagaimana sabdanya, “Siapa yang menampar budaknya atau memukulnya, maka penghapusan dosanya adalah dengan memerdekakannya” [HR. Muslim, melalui Ibnu ‘Umar].
Adapun yang Anda dengar tentang ulama yang enggan taat kepada pemerintah atau rajanya dengan alasan raja tersebut seorang budak, maka hadits berikut merupakan jawabannya, “Dengarkan dan patuhi walau yang menjadi penguasa kamu adalah seorang hamba sahaya yang hitam lagi buruk rupanya” [HR. Bukhârî dari Anas]. Demikian, wallâhu a‘lam. « []
Wallahualam...
Semoga bermanfaat akhi...