• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Tanyakan [ASK] seputar islam disini (discussion)

^ baiklah akhi, ane dapat dari sebelah, ane copas sini ya...

Mohon dibaca dan dipahami...

Sumber
Sikap dan Perlakuan Islam Terhadap Budak

Para fukaha telah merinci sejumlah hukum yang berhubungan dengan budak, di antaranya: Pertama, Islam telah menetapkan sejumlah aturan bagi orang Islam yang memiliki budak sehingga budak memiliki hak sebagaimana tuannya. Selain itu, Islam juga menetapkan sejumlah aturan sehingga fitrah dan sifatnya sebagai manusia (manusia bebas) bisa dijaga dan setara dengan manusia yang bebas. Misalnya, Islam memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat baik kepada budaknya (QS an-Nisa’ [4]: 36). Dalam hadis riwayat Muslim dituturkan bahwa Nabi saw. juga pernah bersabda, “Bertaqwalah kalian kepada Allah, dan berhati-hatilah kalian terhadap budak-budak yang kalian miliki. Sesungguhnya, mereka adalah saudaramu yang dijadikan Allah Swt. berada di bawah kekuasaanmu. Karena itu, berilah mereka makan, seperti yang engkau makan, dan berilah mereka pakaian seperti pakaian yang engkau kenakan. Janganlah memberi beban tugas yang memberatkan mereka. Jika engkau membebani mereka dengan tugas maka berlakulah baik (tidak memberatkan) kepada mereka.” (HR Muslim).

Nas-nas di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Islam telah memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat baik kepada budaknya, dan menyetarakan kedudukan mereka, secara fitrah dan kemanusiaan, dengan manusia merdeka. Dengan kata lain, Islam telah menyetarakan budak dan orang merdeka dalam hal darah dan kehormatan. Dalam fikih juga dinyatakan, jika tuan “menikmati budaknya” maka statusnya dipandang sebagaimana tatkala ia menikmati istrinya yang merdeka. Untuk itu, jika seorang budak hamil atau melahirkan anak dari tuannya, dengan segera ia harus dibebaskan secara paksa setelah kematian tuannya.

Kedua, pada saat itu, Islam telah mendorong manusia untuk membebaskan budak-budak yang mereka miliki. Al-Quran menyatakan dengan sangat jelas bahwa pembebasan budak akan membantu dirinya untuk bersyukur atas nikmat Allah Swt., dan memudahkan dirinya untuk mendaki jalan yang sukar (QS al-Balad []: 11-13).

Ketiga, Islam telah mensyariatkan sejumlah hukum yang memaksa seseorang untuk membebaskan budaknya, atau dibebaskan oleh penguasa. Jika seseorang memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan waris dengan budaknya maka ia wajib membebaskan budak tersebut, baik rela maupun tidak rela. Jika ia tidak rela maka penguasa yang akan membebaskan budak tersebut. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang memiliki budak yang memiliki hubungan kekerabatan (keluarga dan waris), maka ia adalah orang bebas.” (HR Abu Dawud).

Budak yang disiksa oleh tuannya dengan cara dibakar, dipotong salah satu anggota tubuhnya, atau siapa saja yang memukul atau mendera budak dengan deraan yang berlebihan, maka budak itu wajib dibebaskan. Jika tuannya tidak mau membebaskan maka penguasa berhak memaksanya untuk membebaskan budaknya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Siapa saja yang memukul budaknya atau menderanya maka dendanya adalah membebaskannya.” (HR Muslim).

Islam juga telah menjadikan pembebasan budak sebagai denda (kifarah) atas dosa-dosa yang dilakukan seorang Muslim. Allah telah menjadikan pembebasan budak sebagai kifarah atas pembunuhan tidak sengaja (QS an-Nisa’ [4]: 92). Pembebasan budak juga ditetapkan sebagai kifârah atas pelanggaran sumpah (QS al-Maidah [5]: 89). Pembebasan budak juga dijadikan kifarat pada kasus zhihâr dan kasus suami yang menyetubuhi istrinya pada siang hari bulan Ramadlan.

Hukum-hukum di atas telah dikaitkan dengan pembebasan budak. Ini menunjukkan bahwa Islam telah mendorong umatnya untuk berlaku baik, mendudukkan mereka pada tempat yang setara dengan orang merdeka, baik dalam hal harta dan darah, serta mendorong kaum Muslim untuk membebaskan budak.

Islam tidak mencukupkan diri hanya dengan menetapkan hukum-hukum yang memaksa seseorang untuk membebaskan budak, tetapi juga telah menetapkan hukum bagi budak untuk membebaskan dirinya sendiri, sebagaimana Islam telah menetapkan mekanisme bagi tuan untuk membebaskan budaknya (Lihat: QS an-Nur []: 33). Ayat ini berbicara tentang budak yang ingin membebaskan dirinya (mukatab).

Keempat, dalam Baitul Mal, terdapat pos khusus untuk membantu para budak membebaskan dirinya (Lihat: QS at-Taubah [9]: 60). Pos untuk pembebasan budak tidak ditentukan besar-kecilnya. Khalifah boleh saja memberikan prosentase di atas 50% untuk pembebasan budak. Bahkan ia boleh mengalokasikan semua perolehan zakat untuk pembebasan budak.


Islam dan Sistem Perbudakan

Pada dasarnya Islam telah menghapuskan perbudakan. Dengan kata lain, Islam telah mengharamkan perbudakan atas orang-orang merdeka dengan pengharaman yang pasti. Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga orang yang akan aku tuntut kelak pada Hari Kiamat. Seorang laki-laki meminta kepadaku, kemudian ia berkhianat, dan seorang laki-laki yang menjual seorang laki-laki merdeka, kemudian ia memakan hasil penjualannya itu, dan seorang laki-laki yang mempekerjakan seseorang dan tidak pernah diberi upahnya.” (HR Bukhari).

Hadis ini menunjukkan bahwa Allah Swt. melarang memperjualbelikan (memperbudak) orang-orang yang merdeka.

Adapun dalam kondisi perang, Islam telah mengharamkan secara mutlak memperbudak tawanan perang. Pada tahun ke 2 Hijrah, Allah Swt. telah menjelaskan ketentuan hukum mengenai tawanan perang, yaitu: (1) dibebaskan; (2) ditebus dengan sejumlah harta, ditukar dengan tawanan kaum Muslim atau kafir dzimmi. Hukum ini telah melarang memperbudak tawanan perang (Lihat: QS Muhammad [47]: 4).

Ada sebagian fukaha menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah memperbudak tawanan perang saat Perang Hunain. Padahal ayat di atas turun pada tahun ke 2 Hijriyah jauh sebelum peristiwa Perang Hunain. Untuk itu, mereka berpendapat bahwa dalam kondisi perang, kaum Muslim masih diperbolehkan memperbudak tawanan perang.

Sesungguhnya perbuatan dan perkataan Rasulullah hanya berfungsi untuk men-taqyîd, mengkhususkan, atau men-tafshîl (merinci) kemutlakan, keumuman, dan ke-mujmal-an (keglobalan) al-Quran, namun tidak bisa digunakan untuk menghapus al-Quran (naskh). Ayat di atas sama sekali tidak berbentuk muthlaq sehingga layak untuk di-taqyîd. Ayat di atas redaksinya juga tidak berbentuk umum sehingga absah untuk di-takhshîsh. Ayat di atas juga tidak berbentuk mujmal sehingga layak dirinci oleh sunnah. Adapun hadis yang menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah memperbudak tawanan perang di Hunain adalah hadis ahad. Khabar ahad tidak boleh me-naskh (menghapus) al-Quran yang mutawâtir. Karena itu, jika riwayat yang menuturkan perbudakan tawanan perang dalam Perang Hunain memang benar-benar sahih maka ia harus ditolak matan-nya karena bertentangan dengan khabar mutawâtir.

Fakta saat Perang Hunain menunjukkan bahwa para wanita dan anak-anak telah terlibat dalam perang, baik untuk memperkuat pasukan atau memberi semangat pasukan. Tatkala pasukan Hunain dikalahkan, wanita dan anak-anak itu dihukumi sebagai sabaya. Sabaya adalah kaum wanita dan anak-anak yang turut serta dan melibatkan diri dalam kancah peperangan. Menurut orang Arab, istilah sabaya hanya ditujukan untuk kaum perempuan dan anak-anak yang terlibat dalam peperangan, dan tidak mencakup kaum laki-laki. Rasulullah saw. membagi-bagikan mereka (sabaya) kepada kaum Muslim yang turut berperang. Sebagian Sahabat ada yang mengembalikan sabaya ini kepada keluarganya. Namun demikian, tatkala Rasulullah saw. memerangi Khaibar, Beliau tidak menawan penduduknya, baik laki-laki, wanita dan anak-anak. Beliau saw. membiarkan mereka menjadi orang-orang yang bebas (merdeka). Ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap sabaya bergantung kepada Khalifah. Khalifah boleh saja memperbudak mereka atau membebaskan mereka. Namun, hukum semacam ini hanya berlaku kepada sabaya, yakni wanita dan anak-anak yang terlibat dalam perang. Adapun laki-laki yang turut perang dan orang-orang yang berada di dalam rumahnya dan tidak ikut berperang tidak boleh diperbudak sama sekali. Dengan kata lain, tawanan perang (al-usri) tidak boleh diperbudak, sedangkan sabaya (wanita-wanita dan anak-anak yang turut perang) boleh diperbudak atau dibebaskan. Hanya saja, sabaya tidak boleh ditebus dengan harta. Tindakan semacam ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. pada saat Perang Hunain dan Khaibar. Pada saat Perang Hunain, Rasulullah saw. memperbudak sabaya, kemudian membebaskan mereka. Adapun pada saat Perang Khaibar, Beliau membebaskan para sabaya, dan tidak memperbudak mereka.

Hanya saja, tindakan Khalifah (Imam) untuk “memperbudak” sabaya tidak boleh diartikan bahwa sabaya itu hendak diperbudak secara langsung, atau bahwa Islam masih mentoleransi dan melanggengkan perbudakan. Tindakan semacam ini diberlakukan hanya dalam kondisi peperangan dan berada di bawah koridor hukum darurat perang. Dengan demikian, tindakan Khalifah tersebut semata-mata demi kepentingan politik perang (siyâsah al-harb) dan bukan ditujukan untuk memperbudak mereka secara langsung.

Dari seluruh keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Islam telah memecahkan masalah perbudakan, sekaligus juga menetapkan aturan-aturan komprehensif yang bisa mencegah terjadinya perbudakan kembali. Selain itu, Islam juga memberikan kewenangan kepada Khalifah untuk memperlakukan sabaya sesuai dengan politik dan kepentingan perang. Tidak hanya itu, Islam juga telah menghapuskan perbudakan ketika Islam melarang melibatkan anak-anak dan wanita dalam medan peperangan, seperti yang diterapkan pada hukum perang modern. Ini semua menunjukkan bahwa Islam melarang dan menghapuskan perbudakan yang terjadi di tengah-tengah manusia untuk selama-lamanya.

[Syamsuddin Ramadlan An-Nawiy]

Ada dari sumber lain nya...

Sumber
M. Quraish Shihab:

Tidak dapat disangkal bahwa perbudakan pada abad-abad yang lalu merupakan salah satu fenomena masyarakat umat manusia di seluruh dunia. Islam datang dalam situasi dan kondisi yang demikian juga. Namun dapat dipastikan Allah dan Rasul-Nya tidak merestui hal tersebut, walaupun dalam saat yang sama harus diakui pula bahwa al-Qur’an dan Sunnah tidak mengambil langkah drastis untuk menghapuskannya sekaligus.

Al-Qur’an dan Sunnah menutup semua pintu untuk berkembangnya perbudakan kecuali melalui peperangan, yakni tawanan perang, karena ketika itu demikianlah perlakukan negara-negara terhadap tawanan perangnya. Dalam hal ini al-Qur’an pun memberikan peluang untuk membebaskan mereka dengan tebusan atau tanpa tebusan –ini jelas berbeda dengan sikap umat manusia ketika itu.

Islam menempuh cara bertahap dalam pembebasan perbudakan, antara lain, disebabkan oleh situasi dan kondisi para budak ketika itu. Para budak, ketika itu, hidup bersama tuan-tuan mereka, sehingga kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka terpenuhi. Anda dapat membayangkan bagaimana jadinya jika perbudakan dihapus sekaligus, pastilah akan terjadi problem sosial, yang jauh lebih parah daripada problem pemutusan hubungan kerja [PHK] sebagaimana yang dialami bangsa kita dewasa ini. Ketika itu bukan saja pangan yang harus disiapkan, tetapi juga papan. Atas dasar itu, kiranya dapat dimengerti jika al-Qur’an dan Sunnah menempuh jalan bertahap untuk menghapus perbudakan tersebut.

Nah, dalam konteks ini, dapat juga kiranya dipahami perlunya ketentuan-ketentuan hukum bagi para budak tersebut. Itulah yang mengakibatkan adanya tuntunan dan tuntutan agama, baik dari segi hukum maupun moral, yang berkaitan dengan perbudakan.

Tahap-tahap yang ditempuh al-Qur’an dan Sunnah dalam konteks pembebasan perbudakan, antara lain, adalah menanamkan rasa persaudaraan kemanusiaan. Oleh karena itu, Rasul Saw, antara lain, berpesan, “Jangan menyebut mereka budak-budak, tetapi mereka adalah pemuda-pemudiku.” Karena itu pula para budak yang telah dimerdekakan dinamai maulâ, yang antara lain bermakna orang dekat atau pendukung.

Al-Qur’an menganjurkan kepada para pemilik budak untuk memberi kesempatan kepada para budak untuk menebus dirinya [QS an-Nûr [24]: 33]. Bahkan menganjurkan agar memerdekakan mereka tanpa tebusan. Cara kedua ini dinamai oleh al-Qur’an “‘Aqabah”, yaitu jalan mendaki [QS al-Balad [90]: 11-13] guna mencapai kedudukan yang tinggi di hadapan Allah swt. Islam menjanjikan ganjaran keterbebasan dari neraka bagi mereka yang memerdekakan budak.
Banyak hadits Nabi Saw yang menguraikan hal ini, antara lain, “Siapa yang memerdekakan hamba maka pemerdekaan itu menjadi tebusan baginya dari siksa neraka” [HR. an-Nasâ’î melalaui Abû an-Nujaih].

Sedemikian besar kesempatan yang dilapangkan Islam untuk membebaskan perbudakan, sampai-sampai ketika seorang yang sedang bergurau mengatakan akan membebaskan budaknya, maka hukum Islam menilai gurauan tersebut sebagai pembebasan. “Ada tiga hal yang keseriusannya dinilai serius dan gurauannya [pun] dinilai serius, yaitu nikah, talak, dan memerdekakan hamba” [HR. Ahmad, Abû Dâwûd, at-Tirmidzî, dan ath-Thabrani].

Di samping apa yang disebut di atas, al-Qur’an juga menetapkan dana tertentu dari zakat untuk pembebasan budak [QS At-Taubah [9]: 60] sebagaimana menetapkan sanksi hukum berupa pembebasan budak bagi sekian banyak pelanggaran agama. Misalnya pembunuhan seorang Mukmin tanpa sengaja [QS an-Nisâ’ [4]: 92], bersetubuh di siang hari Ramadhan bagi yang wajib berpuasa [HR. Bukhârî dari Abû Hurairah], sanksi hukum zhihâr [yakni mengharamkan istri sebagaimana haramnya menggauli ibu --QS al-Mujâdilah [58]: 3-4], membatalkan sumpah [QS al-Mâ’idah [5]: 89], dan bahkan –menurut Rasul Saw– memperlakukan seorang hamba sahaya secara tidak wajar, seperti menamparnya atau menyakitinya tanpa hak, maka kaffârah-nya adalah memerdekakan hamba tersebut, sebagaimana sabdanya, “Siapa yang menampar budaknya atau memukulnya, maka penghapusan dosanya adalah dengan memerdekakannya” [HR. Muslim, melalui Ibnu ‘Umar].

Adapun yang Anda dengar tentang ulama yang enggan taat kepada pemerintah atau rajanya dengan alasan raja tersebut seorang budak, maka hadits berikut merupakan jawabannya, “Dengarkan dan patuhi walau yang menjadi penguasa kamu adalah seorang hamba sahaya yang hitam lagi buruk rupanya” [HR. Bukhârî dari Anas]. Demikian, wallâhu a‘lam. « []

Wallahualam...

Semoga bermanfaat akhi...
 
wuuuuiiiiiihhhhh panjaaaaaaaang,...

tapi alhamdulillah bermanfaat,...

nuhun pisan kasep,... en nanti kalo ane ada pertanyaan lagi mohon pencerahannya lagi yaa,....
 
Thank you bro,... tapi apa hadist tersebut cukup kuat untuk membuktikan bahwa kita melarang perbudakan???

yang saya lihat dari hadist tersebut hanya tertuju untuk kasus tertentu saja dalam hal ini majikan yang marah pada budaknya.

ane tau ajaran lainpun tidak ada melarang perbudakan bahkan hindu memiki kasta dalam ajarannya,..
tapi Islam adalah agama yang benar dan andaikan ada ayat yang jelas memerintahkan nabi muhammad untuk melarang perbudakan (seperti ayat perintah shalat) saya yakin nabi akan melarangnya,....

jika ada yang menanyakan apa hukumnya perbudakan didalam islam? apa yang akan kita jawab???

sedikit hadist tentang memerdekakan budak
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Dari Nabi saw. beliau bersabda: Barang siapa memerdekakan seorang budak mukmin, maka Allah akan membebaskan setiap anggota tubuhnya dari neraka dengan setiap anggota tubuh budak itu
 
Assalamu'alaikum!!!

tman" sya pngen tnya ni Tntang Mandi Bersih
kalau perempuan gmna ??
trus kalau laki" gmna ???
trus cara n ayatnya apa ???
 
Assalamu'alaikum!!!

tman" sya pngen tnya ni Tntang Mandi Bersih
kalau perempuan gmna ??
trus kalau laki" gmna ???
trus cara n ayatnya apa ???

itu termasuk fikih bro, yang merupakan cabang dari ilmu Agama Islam yang membahas tentang hukum syariat Islam :D, itu tidak dibahas di Al-Qur'an, di Al-Qur'an itu perintah utk bersuci dan ibadah lainnya, sedangkan tata caranya dibahas di As-Sunnah/Hadits :D, tar, coba gw cariin /hmm
 
@junea : telah diperjelas dengan hadits dari postingan kang mbesrul ya...

@mbesrul : Hatur nuhun kang...

Wa'alaikum salam wr. wb...

Betul kang master, ane tambahin ya...

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, beliau berkata:

كُنَّاإِذَأَصَابَتْ إِحْدَانَاجَنَابَةٌأَخَذَتْ بِيَدَيْهَاثَلَاثًافَوْقَ رَأْسَهَا ثُمَََّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَاالْأيَْمَنِ وَبِيَدِهَااْلأُخْرَى عََََلَى شِقِّهَااْلأ يْسَرِ

“Kami ( istri-istri Nabi) apabila salah seorang diantara kami junub, maka dia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya tiga kali lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia mengambil air dengan satu tangannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh kanan dan dengan tangannya yang lain ke bagian tubuh yang kiri.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari: 277 dan Abu Dawud: 253)

Seorang wanita tidak wajib menguraikan (melepaskan) jalinan rambutnya ketika mandi karena junub, berdasarkan hadits berikut:

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha berkata:

قُاْتُ ياَرَسُولَ اللهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَرَأْسِي أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ:لاَإِنَّمَايَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيْنَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍثُمََّ تُفِيْضِيْنَ عَلَى سَائِرِ جَسَادِكِ الماَءَ فَتَطْهُرِيْن

Aku (Ummu Salamah) berkata: “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang wanita, aku menguatkan jalinan rambutku, maka apakah aku harus menguraikannya untuk mandi karena junub?” Beliau bersabda: “Tidak, cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu tiga kali kemudian engkau mengguyurkan air ke badanmu, kemudian engkau bersuci.” (Hadits Shahih riwayat Muslim, Abu Dawud: 251, an-Nasaai: 1/131, Tirmidzi:1/176, hadits: 105 dan dia berkata: “Hadits Hasan shahih,” Ibnu Majah: 603)

Ringkasan tentang mandi junub bagi wanita adalah:

1. Seorang wanita mengambil airnya, kemudian berwudhu dan membaguskan wudhu’nya (dimulai dengan bagian yang kanan).
2. Menyiramkan air ke atas kepalanya tiga kali.
3. Menggosok-gosok kepalanya sehingga air sampai pada pangkal rambutnya.
4. Mengguyurkan air ke badan dimulai dengan bagian yang kanan kemudian bagian yang kiri.
5. Tidak wajib membuka jalinan rambut ketika mandi.

Sedangkan untuk laki2x adalah sebagai berikut :

Assalamu ‘alakum warahmatullahi wabarakatuh, Secara ringkas, yang pertama dilakukan adalah kedua tangan dicuci, kemudian mandi kepala, kemudian terus dari bagian sebelah kanan, kemudian kiri, terakhir cuci kaki.

Adapun urutan-urutan tata cara mandi junub, adalah sebagai berikut:
  1. Mencuci kedua tangan dengan tanah atau sabun lalu mencucinya sebelum dimasukkan ke wajan tempat air.
  2. Menumpahkan air dari tangan kanan ke tangan kiri.
  3. Mencuci kemaluan dan dubur.
  4. Najis-najis dibersihkan.
  5. Berwudhu sebagaimana untuk shalat, dan menurut jumhur disunnahkan untuk mengakhirkan mencuci kedua kaki.
  6. Memasukan jari-jari tangan yang basah dengan air ke sela-sela rambut, sampai ia yakin bahwa kulit kepalanya telah menjadi basah.
  7. Menyiram kepala dengan 3 kali siraman.
  8. Membersihkan seluruh anggota badan.
  9. Mencuci kaki.

Berdasarkan hadits :

Aisyah RA berkata, Ketika mandi janabah, Nabi SAW memulainya dengan mencuci kedua tangannya, kemudian ia menumpahkan air dari tangan kanannya ke tangan kiri lalu ia mencuci kemaluannya kemudia berwudku seperti wudhu` orang shalat. Kemudian beliau mengambil air lalu memasukan jari-jari tangannya ke sela-sela rambutnya, dan apabila ia yakin semua kulit kepalanya telah basah beliau menyirami kepalnya 3 kali, kemudia beliau membersihkan seluruh tubhnya dengan air kemudian diakhir beliau mencuci kakinya. Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Dari berbagai sumber....

========================= begin edited==============================
Maaf diedit, ada yang kelupaan...
Niat: pada saat memulai membasuh tubuh.
Lafazh niat mandi wajib: "nawaitul ghusla liraf'il hadatsil akbari janabati fardlal lillaahi ta'aalaa"
(artinya: aku berniat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar dan najis fardlu karena Allah).
========================= end edited==============================

Demikian semoga bermanfaat..

Wallahualam...
 
wah, kalah ceped gw =))

tapi syukron bro uda bantu /no1

semoga bisa bermanfaat utk kita :)
 
wah.... Makasih Ya Tman"!!! alhamdulillah untuk pmbljran lgi!!! :D:D:D:D
 
@Cimohai
kang cimo..... ada baiknya dijelaskan dahulu penyebab seorang muslim menjadi wajib mandi (laki² 3, perempuan 6). Dan penjelasan soal air untuk mandi/bersuci. /ok

Mengenai tidak wajibnya seorang wanita membuka jalinan rambutnya, saya sedikit kurang setuju dengan penjelasan diatas. bagi saya penjelasannya kurang lengkap.

Memang tidak wajib membuka jalinan rambut (apabila maksudnya adalah ikatan pada rambut) tapi disarankan untuk dikendurkan ikatannya, agar air dapat masuk dan mengenai bagian tubuh tersebut.

Karena syarat mandi junub ada 3, yaitu
  1. Membersihkan Najis yang ada dibadan (bila ada).
  2. Niat sewaktu memulai mandi.
  3. Meratakan air diseluruh tubuh (hukumnya Zon).
Diseluruh tubuh mengandung arti, diseluruh bagian tubuh pula. /ok
Oleh sebab itu usahakan seluruh bagian rambut kita terkena air basuhan.

Sedangkan bagian tubuh yang terlepas/terpotong selama masa junub dan sebelum mandi, sebaiknya tidak dibuang. Namun dikumpulkan dan dibawa mandi. Cukup dibasahkan dengan air mandi saja.
Misalnya, rambut yg rontok, kuku yg patah dll

Sedangkan mengenai niat, cukup dengan "aku mengangkat hadas besar" sudah cukup.
 
Bermanfaat yg ginian buad dunia akhirat :D:D
 
@blitz :

baik kang, diatas mungkin lebih ke spesifikasi mandi junub, berikut informasi mandi haid bagi wanita...

تَأْخُذُإِحْدَا كُنَّ مَائَهَا وَسِدْرَهَا فَتََطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ أوْ تَبْلِغُ فِي الطُّهُورِ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُُهُ دَلْكًا شَدِ يْدًا حَتََّى تَبْلِغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا المَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطْهُرُ بِهَا قَالَتْ أسْمَاءُ كَيْفَ أتََطَهَّرُبِهَا قَالَ سُبْحَانَ الله ِتَطَهُّرِي بِهَا قَالَتْْ عَائِشَةُ كَأنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ تَتَبَّعِي بِهَا أثَرَالدَّمِ

“Salah seorang di antara kalian (wanita) mengambil air dan sidrahnya (daun pohon bidara, atau boleh juga digunakan pengganti sidr seperti: sabun dan semacamnya-pent) kemudian dia bersuci dan membaguskan bersucinya, kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air sampai pada kulit kepalanya, kemudian dia menyiramkan air ke seluruh badannya, lalu mengambil sepotong kain atau kapas yang diberi minyak wangi kasturi, kemudian dia bersuci dengannya. Maka Asma’ berkata: “Bagaimana aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah” maka ‘Aisyah berkata kepada Asma’: “Engkau mengikuti (mengusap) bekas darah (dengan kain/kapas itu).”

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa seorang wanita bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang mandi dari haid. Maka beliau memerintahkannya tata cara bersuci, beliau bersabda:

تَأْخُذُ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهُّرُ بِهَا قَالَتْ كَيْفَ أَتَطَهُّرُ بِهَاقَالَ تَطَهَّرِي بِهَاسُبْحَانَ اللهِ.قَالَتْ عَائِشَةُ وَاجْتَذَبْتُهَا إِلَيَّ فَقُلْتُ تَتَبْعِي بِهَاأَثَرَا لدَّمِ

“Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya. Wanita itu berkata: “Bagaimana caranya aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah bersucilah!” Maka ‘Aisyah menarik wanita itu kemudian berkata: “Ikutilah (usaplah) olehmu bekas darah itu dengannya(potongan kain/kapas).” (HR. Muslim: 332)

An-Nawawi rahimahullah berkata (1/628): “Jumhur ulama berkata (bekas darah) adalah farji (kemaluan).” Beliau berkata (1/627): “Diantara sunah bagi wanita yang mandi dari haid adalah mengambil minyak wangi kemudian menuangkan pada kapas, kain atau semacamnya, lalu memasukkannya ke dalam farjinya setelah selesai mandi, hal ini disukai juga bagi wanita-wanita yang nifas karena nifas adalah haid.” (Dinukil dari Jami’ Ahkaam an-Nisaa’: 117 juz: 1).

Syaikh Mushthafa Al-’Adawy berkata: “Wajib bagi wanita untuk memastikan sampainya air ke pangkal rambutnya pada waktu mandinya dari haidh baik dengan menguraikan jalinan rambut atau tidak.Apabila air tidak dapat sampai pada pangkal rambut kecuali dengan menguraikan jalinan rambut maka dia (wanita tersebut) menguraikannya-bukan karena menguraikan jalinan rambut adalah wajib-tetapi agar air dapat sampai ke pangkal rambutnya, Wallahu A’lam.” (Dinukil dari Jami’ Ahkaam An-Nisaa’ hal: 121-122 juz: 1 cet: Daar As-Sunah).
dengan ringkasan seperti ini :
1. Wanita tersebut mengambil air dan sabunnya, kemudian berwudhu’ dan membaguskan wudhu’nya.
2. Menyiramkan air ke atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air dapat sampai pada tempat tumbuhnya rambut. Dalam hal ini tidak wajib baginya untuk menguraikan jalinan rambut kecuali apabila dengan menguraikan jalinan akan dapat membantu sampainya air ke tempat tumbuhnya rambut (kulit kepala).
3. Menyiramkan air ke badannya.
4. Mengambil secarik kain atau kapas(atau semisalnya) lalu diberi minyak wangi kasturi atau semisalnya kemudian mengusap bekas darah (farji) dengannya.
Betul kang, memang diterangkan "seluruh tubuh", namun khusus untuk perempuan yang berambut panjang tidak diwajibkan menguraikan rambutnya.
Sabda Rasul Allâh SAW, “Bahwa seseorang perempuan bertanya kepada Rasul Allâh SAW: “Jalinan rambutku amat ketat, haruskah diuraikan jika hendak mandi janabah? ”Rasul Allâh SAW menjawab: “Cukuplah bila engkau menuangkan ke atasnya air tiga kali, kemudian engkau timbakan ke seluruh tubuhmu. Dengan demikian engkau telah suci.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Tirmidziy).

Wallahualam....
 
> manggut-mangggut...

> ma'acih qq xmoaaaaaa

> GBU>:D<
 
Assalamu'laykum..

Ane mau tanya bagamana jadwal solat untuk wilayah di daerah kutub??
syukron :D
 
^ Tolong akhi, selanjutnya diperhatikan dalam mengucapkan salam... terima kasih.

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Untuk pertanyaannya ..
Dari Abdullah Ibnu Amr Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Waktu Dhuhur ialah jika matahari telah condong (ke barat) dan bayangan seseorang sama dengan tingginya selama waktu Ashar belum tiba, waktu Ashar masuk selama matahari belum menguning, waktu shalat Maghrib selama awan merah belum menghilang, waktu shalat Isya hingga tengah malam, dan waktu shalat Shubuh semenjak terbitnya fajar hingga matahari belum terbit." Riwayat Muslim.

Amir Ibnu Rabi'ah Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami pernah bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam suatu malam yang gelap, maka kami kesulitan menentukan arah kiblat, lalu kami sholat. Ketika matahari terbit ternyata kami telah sholat ke arah yang bukan kiblat, maka turunlah ayat (Kemana saja kamu menghadap maka disanalah wajah Allah). Riwayat Tirmidzi.

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ruang antara Timur dan Barat adalah Kiblat." Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dikuatkan oleh Bukhari.

Amir Ibnu Rabi'ah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sholat di atas kendaraannya ke arah mana saja kendaraan itu menghadap. Muttafaq Alaihi.

Wallahualam...
 
^ Tolong akhi, selanjutnya diperhatikan dalam mengucapkan salam... terima kasih.

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Untuk pertanyaannya ..


Wallahualam...

Assalamu'alikum Akhi..
mau tanya.
jika seorang muslim bekerja sebagai Astronot di luar angkasa.
bagaimana cara untuk bersuci dan solatnya??

syukron.
 
Assalamu'alikum Akhi..
mau tanya.
jika seorang muslim bekerja sebagai Astronot di luar angkasa.
bagaimana cara untuk bersuci dan solatnya??

syukron.

Wa'alaikum salam wr. wb... >:D<

Ane jawab sepengetahuan ane yang dangkal ini ya...

Untuk cara bersuci, bisa kita kerjakan dengan tayammum, mungkin berikut penjelasannya...
1. Mazhab Hanafi :
Siapa-siapa yang tidak mendapatkan dua alat untuk bersuci (air dan debu), maka wajib melakukan shalat secara suri, dilakukan setelah masuk waktu semampu mungkin, misalnya sujud dengan isyarat, menghadap kiblat bila memungkinkan, tanpa berniat shalat, cukup dengan membaca ayat, tasbih, tasyahud atau seumpamanya, baik dalam keadaan berhadas besar atau berhadas kecil. Dan Shalat suri ini tidak dapat menggugurkan kewajiban shalat, dengan kata lain wajib mengulanginya kembali bila mendapatkan air untuk berwuduk atau debu untuk bertayammum.

2. Mazhab Maliki :
Siapa-siapa yang tidak mendapatkan air dan tanah untuk berwuduk atau tayammum, maka kewajiban shalatnya gugur sama sekali dan tidak wajib dia melakukan shalat suri dan tidak pula wajib mengulanginya atau mengqadanya.

3. Mazhab Syafi’i :
Siapa-siapa yang tidak mendapatkan air dan debu atau tidak mampu menggunakan keduanya baik ia berhadas kecil atau berhadas besar, maka wajib ia melaksanakan shalat secara hakiki (secara sungguh-sungguh) bukan secara suri (tidak sungguh-sungguh), dan tidak boleh membaca apa-apa selain Fatihah dan wajib pula mengulangnya bila mendapatkan air. Dan persoalan ini dibedakan antara orang yang berhadas kecil dan berhadas besar. Bagi yang berhadas besar wajib mandi dan berwuduk bila mendapatkan air dan wajib mengulangi shalatnya. Sedangkan bagi yang berhadas kecil hanya wajib berwuduk dan mengulangi shalat bila mendapatkan air. Namun apabila orang yang berhadas kecil atau berhada besar tadi mendapat debu saja, tidak boleh dia menggunakan debu untuk tayammum untuk mengganti shalatnya. Terkecuali diduga kuat tidak ada air di sekitarnya, maka boleh dia menggunakan debu tersebut untuk tayammum lalu dia mengganti shalatnya.

4. Mazhab Hanbali :
Siapa-siapa yang tidak mendapatkan dua alat untuk bersuci (air dan debu), maka ia wajib shalat secara hakiki (shalat secara sungguh-sungguh bukan shalat suri), dan tidak wajib baginya mengulangi shalatnya kembali (apabila mendapatkan air dan debu).

“Jika kamu tidak menemukan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). Usaplah mukamu dan kedua tanganmu dengan tanah itu.” (Qs. al-Maa-idah [5]: 6)

Untuk tata cara sholat nya pun tidak berbeda dengan seperti kita sholat biasa... Namun di dalam shalat yang darurat ini diwajibkan melaksanakan rukun-rukun shalat seperti bacaan Fatihah, Tasyahhud, Ruku’ atau Sujud. Tiga mazhab di atas yaitu Hanafi, Syafi’i, Hanbali, sepakat bahwa dalam kondisi tidak ada air dan debu untuk bersuci, kewajiban shalat tetap dilaksanakan, meskipun mereka berbeda tentang keabsahan shalat tersebut sehingga timbul perbedaan nama dan hukum, namun tetap sholat wajib dilaksanakan.
Mungkin untuk masalah kiblat, akhi dapat lihat kembali posting diatas.

Mungkin rekan yang lain ada yang lebih paham dan mengerti, mohon diralat dan dibenarkan. Semoga bermanfaat.
Wallahualam...

dari berbagai sumber
 
Assalamu'alaikum...

mau tanya nih... kalo wanita yang sedang haid boleh gak sih ziarah ke makam?
aku sih belum nemu hadits yang mengatakan tidak boleh, tapi dari dulu rasanya aku udah terbiasa mendengar larangan bagi para wanita yang sedang haid untuk ziarah ke makam...
bahkan kalo Idul Fitri juga, jika ada yang sedang haid,maka yang bersangkutan tidak ikut berziarah ke makam...

mohon pencerahannya /ok terima kasih /thx

wassalam..
 
Wa'alaikum salam wr. wb...

sepengetahuan saya, tidak ada hadits yang meng-syariatkan tentang keadaan seseorang yang berada dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun besar, baik laki-laki maupun wanita.
Mungkin rekan2x yang lain lebih mengetahui...

Wallahualam...
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.