• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

[Mahayana]SUTRA INTAN/ KIM KONG KENG

singthung

IndoForum Junior E
No. Urut
7164
Sejak
21 Sep 2006
Pesan
1.634
Nilai reaksi
27
Poin
48
Demikianlah telah kudengar




Pada suatu waktu Hyang Buddha sedang berdiam di Taman Jetavana di kota Sarasvati, dimana beliau berkumpul dengan 1.250 bhiksu agung. Pada saat hampir tiba waktu makan, Yang Dijunjungi mengenakan jubah dan membawa mangkuk menuju ke kota Sarasvati untuk meminta makanan dari rumah ke rumah, kemudian kembalilah beliau ke tempat semula. Setelah selesai makan beliau merapikan kembali alat-alat makan dan jubahNya, membersihkan kaki, mengatur tempat duduk dan kemudian duduk di atasnya.

Pada saat itu, Yang Arya Subhuti bangkit dari tempat duduknya di tengah-tengah persamuan itu, membiarkan bahu sebelah kanannya terbuka,berlutut di atas kaki kanan sambil merangkapkan kedua tangan, dan bersujud dengan hormat sambil bertanya kepada Hyang Buddha :

"Yang Dijunjungi! Sungguh jarang terdapat, Tathagatha yang selalu mengingat dan melindungi para Bodhisattva serta memberi petunjuk kepada mereka. Yang Dijunjungi, jika ada pria maupun wanita bajik yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi, bagaimana seharusnya dia bertumpu dan mengendalikan hatinya?"

Hyang Buddha menjawab: "Bagus sekali, bagus sekali, Subhuti, seperti apa yang Engkau katakan, Tathagatha selalu mengingat dan melindungi para Bodhisattva serta memberi petunjuk kepada mereka.

Sekarang dengarkanlah dengan baik. Aku akan memberitahukan kepadamu bagaimana seharusnya pria maupun wanita bajik yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi bertumpu dan mengendalikan hatinya."
"Ya! Tentu, Yang Dijunjungi! Kami akan mendengarkan dengan gembira dan penuh perhatian."

Hyang Buddha kemudian menjelaskan kepada Subhuti: "Semua Bodhisattva Mahasattva harus demikian mengendalikan hatinya dengan ikrar: "Aku harus menyebabkan segala jenis makhluk hidup apakah yang terlahir dari penetasan telur, dari rahim, dari cairan atau dari perubahan wujud seketika, yang memiliki wujud atau tanpa wujud, yang memiliki kesadaran atau tanpa kesadaran, kesemuanya itu tanpa kecuali - untuk memasuki Nirvana sempurna dan berhenti bertumimbal lahir selamanya." Akan tetapi, Subhuti, sekalipun ada tak terhitung dan tak terhingga makhluk hidup yang dibebaskan dari arus tumimbal lahir, sebenarnya tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan. Mengapa? Subhuti, jika seorang Bodhisattva mengidentifikasikan dirinya sebagai "aku", sebagai manusia, sebagai makhluk hidup dan sebagai kehidupan, maka dia sesungguhnya bukanlah seorang Bodhisattva."

"Lagipula, Subhuti, berkenaan dengan pelaksanaan Dharma, seorang Bodhisattva tidak boleh terikat oleh apapun sewaktu dia memberi. Dia tidak boleh terikat oleh wujud sewaktu memberi, juga tidak boleh terikat oleh suara, bau, rasa, objek sentuhan, ataupun objek mental (dharma) sewaktu dia memberi. Subhuti, seorang Bodhisattva harus memberi dengan demikian : Dia tidak boleh terikat pada ciri atau nama-rupa. Mengapa begitu? Jika seorang Bodhisattvatidak tercemar oleh ciri sewaktu dia memberi, pahala dan kebajikannya adalah tidak terukur."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu, apakah ruang angkasa di sebelah timur dapat diukur?"
"Tidak dapat, Yang Dijunjungi."

"Subhuti, apakah ruang angkasa di sebelah selatan, barat, utara, atau ruang di antara di atas dan dibawah dapat diukur?"
"Tidak dapat, Yang Dijunjungi."

"Subhuti, pahala dan kebajikan dari seorang Bodhisattva yang tidak terikat pada segala ciri sewaktu dia memberi juga demikian tidak terukur. Subhuti, seorang Bodhisattva haruslah bersikap demikian sebagaimana yang diajarkan."

"Subhuti, bagaiman pendapatmu, dapatkah Tathagatha dilihat dari ciri fisik-Nya?"
"Tidak, Yang Dijunjungi, Tathagatha tidak dapat dilihat dari ciri fisik-Nya. Mengapa begitu? Sebab ciri fisik yang dikatakan oleh Tathagatha itu sebenarnya bukan ciri fisik sejati."

Hyang Buddha membenarkan dan berkata kepada Subhuti: "Segala sesuatu yang mempunyai ciri adalah kosong dan palsu. Apabila engkau dapat memandang semua ciri sebagai bukan ciri, barulah kamu mengenal Hyang Tathagatha sejati." Subhuti berkata kepada Hyang Buddha: "Yang Dijunjungi, apakah di masa mendatang akan ada makhluk hidup yang setelah mendengarkan ajaran ini timbul kepercayaan yang murni?"

Hyang Buddha menjawab: "Subhuti, janganlah engkau berkata demikian: 500 tahun setelah Tathagatha meninggal kelak akan terdapat mereka yang dengan tekun menjalankan sila dan mengumpulkan pahala, yang akan mempercayai ajaran ini dan menerimanya dengan tulus. Ketahuilah bahwa orang seperti ini telah menanam akar kebajikan di masa lampau bukan hanya pada satu Buddha, dua Buddha, tiga, empat, lima Buddha, melainkan telah menanam akar kebajikan pada jutaan Buddha yang tak terhitung. Mereka yang mendengar kalimat-kalimat dari Sutra ini dan membangkitkan sekejap pikiran dan keyakinan murni, semua ini akan diketahui dan dilihat oleh Tathagatha. Mereka akan memperoleh pahala dan kebajikan yang tak terukur. Apa sebabnya? Karena makhluk hidup seperti ini sudah tidak lagi terikat pada segala ciri keakuan, manusia, makhluk hidup dan kehidupan; juga tidak pada objek mental dan juga bukan objek mental. Jika hati makhluk hidup masih melekat pada ciri, maka mereka selalu terikat pada ciri yang membedakan keakuan, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Untuk alasan itulah, engkau tidak boleh terikat pada Dharma, juga pada bukan Dharma. Mengenai prinsip itu, Tathagatha sering berkata:

"Kalian para bhiksu harus mengerti bahwa Dharma yang Kuuraikan adalah bagaikan rakit. Bahkan Dharma sekalipun harus dilepaskan, apalagi yang bukan Dharma."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu, apakah Tathagatha telah mencapai Anuttara-samyak-sambodhi? Apakaha Tathagatha telah mengajarkan Dharma?"

Subhuti menjawab: "Seperti apa yang kami pahami dari ajaran Hyang Buddha, sebenarnya tidak ada ajaran tertentu yang dinamakan Anuttara-samyak-sambodhi, dan juga tidak ada Dharma tertentu yang diajarkan oleh Tathagatha. Mengapa? Sebab Dharma yang diajarkan oleh Tathagatha semuanya tidak dapat dipegang atau dibicarakan dengan kata-kata. Itulah Dharma yang tidak berwujud, dan oleh karenanya para nabi dan orang suci semuanya sama-sama memperoleh Dharma tanpa gaya - asamkrta, walaupun berbeda atas kesadaran masing-masing untuk mencapainya. "

Subhuti, bagaimana pendapatmu, kalau seseorang memenuhi jutaan dunia dengan 7 macam permata mulia dan memberikannya sebagai dana-amal, apakah pahala dan kebajikan yang diperolehnya banyak?"

Subhuti menjawab: "Banyak sekali, Yang Dijunjungi! Mengapa begitu? Sebab pahala dan kebajikan itu bukanlah pahala dan kebajikan sejati sifatnya, oleh karenanya Tathagatha mengatakan pahala dan kebajikannya sangat banyak."

"Di lain pihak, jika ada seorang lainnya menerima Sutra ini dan menjalankannya dengan tekun sekalipun hanya pada 4 bait gathanya saja atau mengajarkannya kepada orang lain, pahala dan kebajikannya akan melebihi orang yang terdahulu. Apakah sebabnya? Subhuti, semua Buddha dan jalan yang ditempuh untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi berasal dari Sutra ini.

Subhuti, apa yang disebut sebagai Buddha Dharma itu pada hakekatnya bukanlah Buddha Dharma."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu, apakah seorang yang telah mencapai tingkat Srotapanna boleh mempunyai pikiran "Aku telah memperoleh hasil Srotapana."

"Subhuti menjawab : "Tidak boleh, Yang Dijunjungi! Mengapa? Srotapanna berarti memasuki arus suci, tetapi sebenarnya dia tidak memasuki apapun. Dia tidak memasuki kesejatian suara, bau, rasa, sentuhan, dan objek mental : Oleh karenanya dia dinamakan Srotapanna."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu, apakah seorang yang telah mencapai Sakradagamin boleh mempunyai pikiran "Aku telah memperoleh hasil Sakradagamin?"

"Subhuti menjawab: "Tidak boleh, Yang Dijunjungi! Mengapa? Karena Sakradagamin berarti seorang yang kembali hanya 1 kali lagi, tetapi sebenarnya bagi dia sendiri sudah tidak ada kelangsungan pergi datang, maka dia dinamakan Sakradagamin."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu, apakah seorang yang telah mencapai tingkat Anagamin boleh mempunyai pikiran :"Aku telah memperoleh hasil Anagamin?"

Subhuti menjawab: "Tidak boleh, Yang Dijunjungi! Karena Anagamin berarti dia yang tidak kembali lagi, tetapi sebenarnya dia sendiri tidak mengandung pikiran datang atau kembali lagi, maka dia dinamakan Anagamin."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu, apakah seorang yang telah mencapai tingkat Arhat boleh mempunyai pikiran "Aku telah memperoleh Ke-arhat-an?"

Subhuti menjawab : "Tidak boleh, Yang Dijunjungi! Karena sebenarnya tidak ada Dharma yang dinamakan Arhat. Yang Dijunjungi, apabila seorang Arhat mempunyai pikiran bahwa "Aku telah mencapai Ke-arhat-an" itu berarti masih ada kemelekatan pada diri, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Yang Dijunjungi, dengan berhasilnya aku menjalankan Samadhi "Tanpa Pertentangan", Hyang Buddha mengatakan bahwa aku adalah yang terunggul di antara manusia, bahwa aku adalah Arhat yang terunggul dalam membebaskan diri dari segala nafsu keinginan. Yang Dijunjungi, aku tak pernah berpikir "Aku adalah seorang Arhat yang terbebas dari nafsu keinginan". Jika aku mempunyai pikiran "Aku telah mencapai Ke-arhat-an", Yang Dijunjungi tidak akan berkata bahwa Subhuti adalah orang yang paling berhasil menjalankan ketenangan. Karena Subhuti justru tidak merasa menjalankan kehidupan pertapaan, Ia telah diberi nama Subhuti, yang gemar menjalankan ketenangan.

Hyang Buddha berkata kepada Subhuti : "Bagaimana pendapatmu, apakah ada Dharma apapun yang diperoleh Tathagatha sewaktu berada bersama Buddha Dipankara?"

"Tidak, Yang Dijunjungi! Sebenarnya tidak ada Dharma apapun yang diperoleh Tathagatha sewaktu berada bersama Buddha Dipankara."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu, apakah para Bodhisattva memperindah tanah suci?"

"Tidak, Yang Dijunjungi, apakah sebabnya? Karena alam Buddha itu hakekatnya tidak perlu diperindah lagi, hanya dalam penjelasan digunakan kata memperindah."

"Oleh karena itu, Subhuti, para Bodhisattva, Mahasattva harus menumbuhkan pikiran suci dan jangan menumpukan hati pada segala wujud. Dia tidak boleh menumpukan hatinya pada suara, bau, rasa, objek sentuhan, dan objek mental. Dia tidak boleh menumpukan hatinya pada apapun dan dimanapun." Subhuti, andaikata ada orang yang tubuhnya sebesar gunung Semeru, bagaimana pendapatmu, apakah tubuh itu besar?"

"Subhuti menjawab: "Sangat besar, Yang Dijunjungi, apakah sebabnya? Karena apa yang diuraikan oleh Hyang Buddha itu adalah tubuh yang tidak sejati, oleh sebab itu dikatakan tubuh itu sangat besar."

"Subhuti, jika terdapat sungai Gangga yang banyaknya bagai butir-butir pasir di sungai Gangga, bagaimana pendapatmu, apakah butir-butir pasir dari semua sungai Gangga tersebut dapat dikatakan banyak?"

Subhuti menjawab: "Sangat banyak, Yang Dijunjungi jumlah dari sungai-sungai Gangga itu saja sudah tak terhitung banyaknya, apalagi isi butir-butir pasirnya."

"Subhuti, akan Kututurkan dengan sebenarnya, jika ada seorang pria atau wanita bajik, dengan menggunakan 7 macam permata mulia untuk memenuhi dunia yang banyaknya bagai butir-butir pasir di semua sungai Gangga tersebut, dan memberikannya sebagai dana amal, apakah dia akan memperoleh banyak pahala?"

Subhuti menjawab :"Sangat banyak, Yang Dijunjungi."

Kemudian Hyang Buddha memberitahukan Subhuti: "Jika ada seorang pria atau wanita bajik menerima dan mempertahankan Sutra ini sekalipun hanya pada 4 bait gatha-nya serta mengajarkan kepada orang lain, pahala dan kebajikannya akan jauh melampaui pahala dan kebajikan orang yang terdahulu."

Lagipula., Subhuti, perlu engkau ketahui bahwa semua dewa, manusia, maupun asura di dunia ini harus memberikan persembahan ke tempat dimana biar sekalipun hanya 4 bait gatha dari Sutra ini dibacakan, sebagaimana halnya pada tempat suci atau Vihara, apalagi kalau di tempat itu ada orang yang bisa menerima, mempertahankan, mempelajari, dan membacakan Sutra tersebut.

Subhuti, perlu engkau ketahui bahwa orang yang demikian itu meyakinkan Dharma yang paling utama dan langka. Di tempat manapun Sutra ini berada, di sana terdapat Buddha atau siswa yang menghormatinya."

Kemudian Subhuti berkata kepada Hyang Buddha : "Yang Dijunjungi, nama apakah yang harus diberikan kepada Sutra ini, dan bagaimana kami harus menerima dan mempertahankannya?"

Hyang Buddha memberitahukan Subhuti : "Sutra ini disebut Vajracchedika Prjana Paramita, engkau harus menerima dan mempertahankannya dengan nama ini. Apa sebabnya? Subhuti, paramita kebijaksanaan yang dibicarakan Hyang Buddha sebenarnya bukan paramita kebijaksanaan, tapi hanya untuk percakapan dinamakan paramita kebijaksanaan."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu, apakah ada Dharma yang diajarkan oleh Tathagatha?"
Subhuti menjawab :"Yang Dijunjungi, Tathagatha tidak mengajarkan sesuatu apa pun."
"Subhuti, bagaimana pendapatmu, apakah jumlah butir-butir debu yang memenuhi jutaan dunia dapat dikatakan banyak?"

"Sangat banyak, Yang Dijunjungi."

"Subhuti, butir-butir debu yang dikatakan oleh Tathagatha itu bukanlah butir-butir debu, namun hanya untuk bahasa percakapan dinamakan butir-butir debu, begitu pula jutaan dunia yang dikatakan Tathagatha itu bukanlah dunia, itupun hanya diberi nama dunia."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu, dapatkah Tathagatha dilihat dengan mengenali ke-32 ciri fisik- Nya?"

"Tidak dapat, Yang Dijunjungi, orang tidak dapat melihat Tathagatha dengan mengenali ke-32 ciri fisik-Nya. Apakah sebabnya? Karena apa yang dikatakan ke-32 ciri-ciri oleh Tathagatha itu hanyalah ciri lahiriah saja, maka dinamakan 32 ciri."

"Subhuti, jika di satu pihak ada seorang laki-laki atau wanita bajik yang mengorbankan jiwanya berkali-kali untuk tujuan amal bakti sebanyak butir-butir pasir di sungai Gangga, dan apabila di pihak lain ada seorang yang menerima dan mempertahankan hanya 4 bait gatha dari Sutra ini sekalipun, dan menjelaskannya kepada orang lain, pahala yang diperolehnya akan lebih besar daripada orang pertama."

Pada saat itu, Subhuti, setelah mendengarkan uraian yang dalam dari Sutra ini, diliputi pengertian dan rasa haru sehingga mencucurkan air mata, berkata kepada Hyang Buddha : "Sungguh menakjubkan, Yang Dijunjungi. Sungguh dalam dan luas arti kata yang dibabarkan oleh Hyang Buddha dalam Sutra ini.

Sejak memperoleh mata-kebijaksanaan sampai sekarang belum pernah kami dengar Sutra yang demikian. Yang Dijunjungi, jika seseorang dapat mendengar penjelasan Sutra ini dengan hati murni dan penuh keyakinan, maka dia akan menyadari konsepsi ciri sejati. Perlu diketahui bahwa orang demikian telah memperoleh pahala kebajikan unggul yang jarang terdapat."

"Yang Dijunjungi, ciri sejati bukanlah ciri lahiriah, oleh karenanya dikatakan oleh Tathagatha sebagai ciri sejati. Yang Dijunjungi, kini sewaktu mendengar ajaran suci demikian, kami dapat menerima dan mempertahankannya dengan keyakinan dan pengertian tanpa kesulitan. Di masa yang akan datang, pada 500 tahun terakhir, akan ada makhluk hidup yang sewaktu mendengar Sutra ini, timbul keyakinan dan pengertian serta akan menerima dan mempertahankannya, orang ini adalah yang telah mencapai pahala unggul dan luar biasa. Apakah sebabnya? Orang ini sudah tidak mempunyai konsepsi keakuan, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Mengapa begitu? Karena ciri keakuan pada hakekatnya bukanlah ciri sejati, begitu pula tentang manusia, makhluk hidup, dan kehidupan, itu semua bukan ciri sejati. Karena itu mereka yang melepaskan segala konsepsi ciri disebut Buddha.

Hyang Buddha berkata kepada Subhuti : "Demikianlah, seperti yang engkau katakan, jika ada seseorang yang setelah mendengarkan Sutra ini tidak terkejut, tidak gentar, dan tidak takut melaksanakannya, hendaknya diketahui bahwa orang ini benar-benar luar biasa. Mengapa begitu?

Subhuti, apa yang Tathagatha katakan sebagai Paramita pertama yaitu berdana sebenarnya bukan paramita pertama, hanya dalam kata-kata dinamakan Paramita pertama."

"Subhuti, Paramita Kesabaran, dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan Paramita kesabaran, oleh sebab itu dinamakan Paramita kesabaran. Mengapa begitu? Subhuti, itu bagaikan di masa lampau sewaktu Raja Kalinga memotong anggota tubuh-Ku, pada saat itu Aku tidak terikat pada ciri keakuan, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Mengapa begitu? Sewaktu anggota tubuh-Ku dipotong satu persatu, jika Aku masih mempunyai ciri tersebut, tentunya akan timbul rasa marah dan benci."

"Subhuti, selanjutnya Aku teringat bahwa di masa lalu, selama 500 kehidupan yang terakhir, Aku adalah pertapa yang melatih kesabaran. Di dalam semua kehidupan tersebut Aku tidak mempunyai ciri keakuan, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Oleh sebab itulah, Subhuti, seorang Bodhisattva harus melepaskan semua ciri, menumbuhkan pikiran Anuttara-samyaksambodhi. Dia harus menumbuhkan hati yang tidak bertumpu pada suara, bau, rasa, objek sentuhan dan dharma. Dia harus menumbuhkan hati yang tidak bertumpu pada apapun dan di manapun. Setiap tumpuan hati adalah bukan tumpuan sejati. Oleh karena itu Hyang Buddha mengatakan : "Hati Sang Bodhisattva tidak boleh bertumpu pada wujud sewaktu dia memberi". Subhuti, untuk memberi manfaat kepada makhluk hidup seorang Bodhisattva harus memberi dengan demikian. Semua ciri dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan ciri, dan semua mahkluk hidup dikatakan sebagai bukan makhluk hidup."

"Subhuti, Tathagatha adalah satu-satunya yang membicarakan kebenaran, yang membicarakan kenyataan, yang membicarakan apa yang sebenarnya, yang tidak membicarakan yang palsu, yang tidak membicarakan apa yang tidak sebenarnya. Subhuti, kebenaran yang diperoleh Tathagatha itu bukanlah nyata atau tidak nyata."

"Subhuti, seorang Bodhisattva yang hatinya bertumpu pada dharma sewaktu dia memberi itu bagaikan seorang yang memasuki kegelapan, dia tidak bisa melihat apa-apa. Seorang Bodhisattva yang hatinya tidak bertumpu pada dharma sewaktu dia memberi itu bagaikan seorang yang matanya dapat melihat di bawah cahaya matahari sehingga dia bisa melihat segala wujud."

"Subhuti, di masa yang akan datang, jika seorang laki-laki atau wanita bajik dapat menerima,mempertahankan, mempelajari dan membacakan Sutra ini, maka Hyang Tathagatha dengan kebijaksanaan Buddha akan segera mengetahui dan melihat orang tersebut. Dia akan memperoleh pahala dan kebajikan yang tak-terukur dan tak-terbatas."

"Subhuti, seorang laki-laki atau wanita bajik, di waktu pagi boleh mengorbankan tubuhnya untuk perbuatan amal bakti berkali-kali sebanyak butir-butir pasir di sungai Gangga, dan kemudian di waktu siang maupun malam melakukan perbuatan yang sama sebanyak itu, mengorbankan tubuhnya dengan demikian selama jutaan kalpa yang tak terhitung. Tetapi jika seseorang lainnya mendengar Sutra ini dan mempercayainya dengan sepenuh hati, maka pahalanya akan melampaui orang yang pertama. Apalagi kalau ada yang bisa menerima, menyalin, mempertahankan, mempelajari, membacakan, dan menjelaskan isinya kepada orang lain. Subhuti, pahala dan kebajikan dari Sutra ini adalah tak terungkapkan, tak terbayangkan, tak terbatas dan di luar semua pujian. Sutra ini dibabarkan oleh Tathagatha bagi mereka yang telah menempuh Jalan Mahayana, mereka yang telah menempuh Jalan
Utama.

Jika seseorang bisa menerima, mempertahankan, mempelajari, membacakan dan menjelaskan kepada orang lain, mereka akan diketahui dan dilihat oleh Tathagatha. Orang yang demikian memperoleh pahala dan kebajikan yang tak terukur, tak terungkapkan, tak terbatas dan tak terbayangkan sehingga dengan demikian mempertahankan Anuttara-samyak-sambodhinya Tathagatha."

"Mengapa begitu? Subhuti, seseorang yang menyukai Dharma yang lebih kecil terikat pada konsepsi keakuan, manusia, makhluk hidup, dan konsepsi kehidupan. Dia tidak dapat mendengar, menerima, mempertahankan, mempelajari, atau membacakan Sutra ini atau menjelaskannya kepada orang lain.

"Subhuti, para dewa, manusia dan asura di dunia memberikan persembahan ke tempat dimana Sutra ini ditemukan. Perlu engkau ketahui, bahwa tempat demikian adalah sebuah tempat suci bagaikan sebuah stupa dimana setiap orang harus bersujud dengan hormat, mengelilingi serta menyebarkan dupa dan bunga."

"Lagipula, Subhuti, jika seorang laki-laki atau wanita bajik yang menerima, mempertahankan, mempelajari dan membacakan Sutra ini diejek dan dicemoohkan orang lain, itu sebenarnya merupakan rintangan karma bawaan dari kehidupan sebelumnya yang akan menjerumuskannya ke kehidupan menyedihkan. Tetapi karena dalam kehidupan sekarang dia dicemoohkan orang lain, rintangan karmanya itu terhapuskan dan dia akan mencapai Anuttara-samyak-sambodhi.

"Subhuti, Aku teringat pada asamkheya kalpa yang tak terhitung di masa lalu sebelum Buddha Dipankara, Aku bertemu dengan 84.000 nayuta juta Buddha, dan memberikan persembahan serta melayani mereka semua tanpa terkecuali. Tetapi jika ada seseorang di jaman berakhirnya Dharma yang dapat menerima, mempertahankan, mempelajari dan membacakan Sutra ini, pahala dan kebajikan yang diperolehnya adalah 100 kali lebih, 1.000 kali lebih, sejuta ataupun suatu jumlah yang tak terbilang daripada pahala dan kebajikan yang Kuperoleh dari memberikan persembahan kepada semua Buddha tersebut."

"Subhuti, jika Aku harus menguraikan seluruh pahala dan kebajikan dari seorang laki-laki atau wanita bajik yang di jaman berakhirnya Dharma dapat menerima, mempertahankan, mempelajari dan membacakan Sutra ini, mereka yang mendengarkannya bisa menjadi gila dan tidak mempercayainya. Subhuti, perlu engkau ketahui bahwa arti dari Sutra ini adalah tak terbayangkan, dan buah dari pahalanya juga tak terbayangkan."

Kemudian Subhuti berkata kepada Hyang Buddha, "Yang Dijunjungi, jika seorang laki-laki atau wanita bajik bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi, bagaimana seharusnya dia bertumpu, bagaimana seharusnya dia mengendalikan hatinya?"

Hyang Buddha memberitahu Subhuti, "Seorang laki-laki atau wanita bajik, yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi harus berpikiran demikian: "Aku harus membebaskan semua makhluk hidup dari arus tumimbal lahir, tetapi bila semua makhluk hidup sudah dibebaskan dari tumimbal lahir, sebenarnya sama sekali tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan. Mengapa begitu? Subhuti, jika seorang Bodhisattva masih mempunyai ciri keakuan, ciri manusia, ciri makhluk hidup dan ciri kehidupan, maka dia bukanlah seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma tentang tekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi.

"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Sewaktu Tathagatha sedang berada bersama Buddha Dipankara, apakah ada Dharma untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi yang diperoleh?"

"Tidak, Yang Dijunjungi. Seperti apa yang kami pahami dari ajaran Hyang Buddha, sewaktu Hyang Buddha berada bersama Buddha Dipankara, tidak ada Dharma untuk mencapai Anuttara-samyaksambodhi yang diperoleh."

Hyang Buddha berkata, "Demikianlah, Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma tentang Anutarasamyak-sambodhi yang diperoleh Tathagatha. Subhuti, jika ada Dharma demikian yang diperoleh Tathagatha, maka Buddha Dipankara tidak akan memberikan pada-Ku ramalan, "Engkau akan mencapai ke-Buddha-an di masa yang akan datang dan bernama Sakyamuni." Karena sebenarnya tidak ada Dharma untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi, maka Buddha Dipankara memberikan ramalan itu pada-Ku."

"Mengapa begitu? Tathagatha berarti hakiki dari semua Dharma. Jika seseorang mengatakan Tathagatha memperoleh Anuttara-samyak-sambodhi, Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma demikian yang diperoleh Hyang Buddha. Subhuti, Anuttara-samyak-sambodhi yang dicapai Tathagatha, di dalamnya, bukanlah nyata atau tidak nyata. Oleh karena itu, Tathagatha mengatakan semua Dharma sebagai Buddhadharma. Subhuti, semua Dharma dikatakan sebagai bukan Dharma sejati. Oleh sebab itu disebut Dharma."

"Subhuti, itu bisa diandaikan sebagai tubuh seorang yang sangat besar."

Subhuti berkata: "Yang Dijunjungi, tubuh besar seseorang itu dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan tubuh besar, oleh sebab itu dinamakan tubuh besar."

"Subhuti, seorang Bodhisattva juga demikian, jika dia berkata, "Aku harus membebaskan makhluk hidup yang tak terhitung dari tumimbal lahir, maka dia tidak akan disebut seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma yang dinamakan Bodhisattva. Karena itu Hyang Buddha mengatakan semua Dharma tidak memiliki konsepsi diri, konsepsi manusia, konsepsi makhluk hidup, dan konsepsi kehidupan."

"Subhuti, jika seorang Bodhisattva mengatakan, "Aku akan menghiasi Tanah Buddha", dia tidak akan disebut Bodhisattva. Apa sebabnya? Memperindah tanah Buddha dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan memperindah. Oleh sebab itu dinamakan memperindah. Subhuti, jika seorang Bodhisattva memahami bahwa segala Dharma tidak memiliki konsepsi diri, Tathagatha menyebutnya sebagai seorang Bodhisattva sejati."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Apakah Tathagatha mempunyai mata fisik?"

"Memang begitu, Yang Dijunjungi. Tathagatha mempunyai mata fisik."
"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Apakah Tathagatha mempunyai mata dewa?"
"Memang begitu, Yang Dijunjungi. Tathagatha mempunyai mata dewa."
Subhuti, bagaimana pendapatmu? Apakah Tathagatha mempunyai mata kebijaksaan?"
"Memang begitu, Yang Dijunjungi. Tathagatha mempunyai mata kebijaksanaan."
"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Apakah Tathagatha mempunyai mata Dharma?"
"Memang begitu, Yang Dijunjungi. Tathagatha mempunyai mata Dharma."
"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Apakah Tathagatha mempunyai mata Buddha?"
"Memang begitu, Yang Dijunjungi. Tathagatha mempunyai mata Buddha."
"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Apakah Tathagatha telah membicarakan
butir-butir pasir di sungai Gangga?
"Memang begitu, Yang Dijunjungi. Tathagatha telah bicara perihal butir-butir
pasir tersebut."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Jika semua butir pasir di sungai Gangga menjadi jumlah sungai Gangga yang sama, dan semua butir pasir di dalam semua sungai Gangga tersebut menjadi tanah Buddha yang sama. Apakah jumlahnya sangat banyak?"

"Sangat banyak, Yang Dijunjungi."

Hyang Buddha memberitahu Subhuti: "Semua bentuk pikiran yang beraneka ragam dari para makhluk hidup di semua tanah Buddha tersebut diketahui seluruhnya oleh Tathagatha. Apa sebabnya? Semua pikiran dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan pikiran, karena itu disebut pikiran. Apa sebabnya?

Subhuti, pikiran yang telah lalu tidak dapat dipegang, pikiran sekarang tidak dapat dipegang, pikiran yang akan datang tidak dapat dipegang."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Jika seseorang memenuhi jutaan dunia dengan 7 macam permata mulia dan memberikannya sebagai dana amal, apakah orang itu akan memperoleh banyak pahala dari perbuatan tersebut?"

"Memang begitu, Yang Dijunjungi. Orang itu akan memperoleh sangat banyak pahala dari perbuatan tersebut."

"Subhuti, jika pahala dan kebajikan itu benar-benar nyata, Tathagatha tidak akan mengatakan memperoleh banyak pahala. Disebabkan oleh pahala dan kebajikan itu tidak nyata maka Tathagatha mengatakan memperoleh banyak pahala."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Dapatkah Tathagatha dilihat dari kesempurnaan wujud fisik-Nya?"

"Tidak, Yang Dijunjungi. Tathagatha tidak dapat dilihat dari kesempurnaan wujud fisik-Nya. Apa sebabnya? Kesempurnaan wujud fisik dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan kesempurnaan wujud fisik, oleh sebab itu disebut kesempurnaan wujud fisik."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Dapatkah Tathagatha dilihat dari kesempurnaan ciri-Nya?"

"Tidak, Yang Dijunjungi. Tathagatha tidak dapat dilihat dari kesempurnaan ciri-Nya. Apa sebabnya? Kesempurnaan ciri dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan kesempurnaan ciri, oleh sebab itu disebut kesempurnaan ciri."

"Subhuti, janganlah mengatakan Tathagatha punya pikiran "Aku telah membabarkan Dharma."

Janganlah berpikir begitu. Apa sebabnya? Jika seseorang mengatakan bahwa Tathagatha telah membabarkan Dharma dia menghina Hyang Buddha disebabkan oleh ketidakmampuannya untuk mengerti apa yang kukatakan. Subhuti, di dalam Dharma yang dibabarkan sebenarnya tidak ada Dharma yang bisa dibabarkan, oleh sebab itu disebut Dharma yang dibabarkan.

Kemudian Arya Subhuti berkata kepada Hyang Buddha, "Yang Dijunjungi, apakah ada makhluk hidup di masa yang akan datang yang akan mempercayai Sutra ini sewaktu mereka mendengarnya?"

Hyang Buddha berkata, "Subhuti, sebenarnya tidak ada makhluk hidup maupun bukan makhluk hidup. Apa sebabnya? Subhuti, makhluk hidup dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan makhluk hidup, oleh sebab itu disebut makhluk hidup."

Subhuti berkata kepada Hyang Buddha : "Yang Dijunjungi, apakah dengan memperoleh Anuttara-Samyak-Sambodhi, Hyang Tathagatha tidak memperoleh apapun?"




bersambung...
 
Hyang Buddha menjawab: "Demikianlah, Subhuti. Mengenai Anuttara-Samyak-Sambodhi, sebenarnya tidak ada sedikitpun Dharma yang bisa diperoleh. Oleh sebab itu disebut Anuttara-Samyak-Sambodhi."

"Lagipula Subhuti, Dharma ini sama rata dan setara, tanpa tinggi maupun rendah. Oleh sebab itu dinamakan Anuttara-samyak-sambodhi. Mempraktekkan semua Dharma yang baik dengan tanpa konsepsi diri, konsepsi manusia, konsepsi makhluk hidup, dan konsepsi kehidupan adalah memperoleh Anuttara-samyak-sambodhi. Subhuti, Dharma yang baik dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan Dharma yang baik. Oleh sebab itu dinamakan Dharma yang baik."

"Subhuti, jika ada timbunan 7 macam permata mulia yang jumlahnya sama dengan semua gunung Semeru di dalam jutaan dunia, dan seseorang memberikannya sebagai dana amal, dan seorang lainnya mengambil dari Prajna Paramita Sutra ini hanya 4 baris gatha saja, serta menerima, mempertahankan, mempelajari, membacakan, dan menerangkan kepada orang lain, pahala dan kebajikannya akan melampaui orang pertama tadi berjuta-juta kali atau tak terhitung banyaknya."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Jika ada orang yang mengatakan bahwa Tathagatha mempunyai pikiran : "Aku akan membebaskan semua makhluk hidup". Subhuti, jangan mempunyai pikiran demikian. Mengapa? Karena sebenarnya tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha. Jika ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha, maka Tathagatha akan mempunyai konsepsi keakuan, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Subhuti, keberadaan konsepsi keakuan dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan keberadaan konsepsi diri tetapi orang awam menganggapnya sebagai keberadaan konsepsi keakuan. Subhuti, orang awam dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan orang awam. Oleh sebab itu dinamakan orang awam."

"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Dapatkah seorang merenungkan Tathagatha dari ke 32 ciri fisik- Nya?"

Subhuti berkata, "Demikianlah, Yang Dijunjungi, seseorang dapat merenungkan Tathagatha dari ke-32 ciri fisikNya."

Hyang Buddha berkata, "Subhuti, jika Tathagatha dapat direnungkan dari ke-32 ciri fisik-Nya, maka seorang maharaja pemutar Dharma juga dapat menjadi seorang Tathagatha."

Subhuti berkata kepada Hyang Buddha, "Yang Dijunjungi, seperti apa yang kami pahami dari ucapan Hyang Buddha, seseorang tidak seharusnya merenungkan Tathagatha dari ke-32 ciri fisik-Nya."

Pada saat itu Yang Dijunjungi mengucapkan suatu gatha yang berbunyi :

Barang siapa melihat-Ku dalam wujud,
Barang siapa mencari-Ku dalam suara,
Dia mempraktekkan jalan menyimpang,
Dan tidak dapat melihat Hyang Tathagatha.

"Subhuti, engkau mungkin mempunyai pikiran bahwa Tahagatha tidak memperoleh Anuttara-samyaksambodhi dengan cara penyempurnaan ciri. Subhuti, jangan berpikiran bahwa Tathagatha tidak memperoleh Anuttara-samyak-sambodhi dengan cara penyempurnaan ciri. Subhuti, engkau tidak boleh berpikiran bahwa mereka yang telah bertekad mencapai Anuttara-samyak-sambodhi berarti penghancuran semua Dharma. Jangan berpikir demikian! Mereka yang telah bertekad mencapai Anuttara-samyak-sambodhi bukan berarti penghancuran semua ciri pada akhirnya."

"Subhuti, seorang Bodhisattva boleh memenuhi sistem dunia yang banyaknya bagai butir-butir pasir di sungai Gangga dengan 7 macam permata mulia dan memberikannya sebagai dana amal. Tetapi jika seorang lainnya mengetahui bahwa semua Dharma tidak memiliki diri dan mencapai Anuttpatika-Dharma-ksanti, pahala dan kebajikan dari Bodhisattva tersebut akan melampaui Bodhisattva yang pertama. Mengapa begitu? Subhuti, itu disebabkan karena Bodhisattva tidak menerima pahala dan kebajikan."

Subhuti berkata kepada Hyang Buddha, "Yang Djunjungi, bagaimana bisa Bodhisattva tidak menerima pahala dan kebajikan?"

"Subhuti, karena Bodhisattva tidak boleh mengharapkan pahala dan kebajikan dari perbuatan baik yang dilakukannya, mereka dikatakan tidak menerima pahala dan kebajikan."

"Subhuti, jika ada orang mengatakan Tathagatha itu datang atau pergi, duduk atau berbaring, orang tersebut tidak mengerti maksud ajaran-Ku. Mengapa begitu? Karena Tathagatha tidak datang dari manapun juga tidak pergi ke manapun. Oleh sebab itu disebut Tathagatha."

"Subhuti, jika ada seorang laki-laki atau perempuan bajik meratakan jutaan dunia menjadi titik debu, bagaimana pendapatmu, apakah masa dari titik debu itu sangat besar?

Subhuti berkata, "Sangat besar, Yang Dijunjungi. Mengapa begitu? Jika masa dari titik debu itu benar-benar ada, Hyang Buddha tidak akan mengatakannya sebagai masa titik debu. Mengapa begitu? Masa titik debu dikatakan oleh Hyang Buddha sebagai bukan masa titik debu. Yang Dijunjungi, jutaan dunia dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan dunia, oleh sebab itu disebut dunia. Mengapa begitu? Jika dunia itu benar-benar ada, maka akan ada perpaduan ciri. Perpaduan ciri dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan perpaduan ciri. Oleh sebab itu disebut perpaduan ciri.

"Subhuti, perpaduan ciri tidak dapat dibicarakan, tetapi orang awam sangat terikat pada hal tersebut."

"Subhuti, jika seseorang mengatakan bahwa Hyang Buddha membicarakan konsepsi diri, konsepsi manusia, konsepsi makhluk hidup dan konsepsi kehidupan, bagaimana pendapatmu? Apakah orang itu mengerti makna ajaran-Ku?"

"Tidak, Yang Dijunjungi, orang itu tidak mengerti makna ajaran Tathagatha. Mengapa begitu? Konsepsi diri, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan konsepsi diri, bukan konsepsi manusia, bukan konsepsi makhluk hidup, dan bukan konsepsi kehidupan. Oleh sebab itu disebut demikian."

"Subhuti, mereka yang telah bertekad mencapai Anuttara-samyak-sambodhi harus mengetahui, memandang, percaya dan mengerti semua Dharma dengan demikian. Subhuti, ciri Dharma dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan ciri Dharma, oleh sebab itu disebut ciri Dharma."

"Subhuti, seseorang boleh memenuhi jutaan dunia tak terhitung dengan 7 macam permata mulia dan memberikannya sebagai dana amal. Tetapi jika seorang laki-laki atau perempuan bajik yang telah bertekad mencapai Anuttara-samyak-sambodhi mengambil dari Sutra ini, sekalipun hanya 4 baris gatha saja dan menerima, mempertahankan, mempelajari, membacakan, dan menerangkannya dengan luas kepada orang lain, pahalanya akan melampaui orang pertama tadi."

"Bagaimana caranya menerangkan kepada orang lain? Dengan tidak terikat pada ciri : tanpa tumpuan.

Mengapa begitu?

Semua Dharma yang terkondisi Adalah bagaikan mimpi, ilusi, gelembung, bayangan, Bagaikan titik embun dan kilatan petir, Renungkanlah dengan demikian.

Sesudah Hyang Buddha membabarkan Sutra ini, Arya Subhuti, semua bhiksu dan bhiksuni, upasaka dan upasika, serta para dewa, manusia, asura, mendengarkan apa yang dikatakan Hyang Buddha, bergembira, percaya, menerima, menghormati dan mempraktekkannya."


 
"Subhuti, bagaimana pendapatmu, apakah seorang yang telah mencapai tingkat Arhat boleh
mempunyai pikiran "Aku telah memperoleh Ke-arhat-an?"

Subhuti menjawab : "Tidak boleh, Yang Dijunjungi! Karena sebenarnya tidak ada Dharma yang
dinamakan Arhat. Yang Dijunjungi, apabila seorang Arhat mempunyai pikiran bahwa "Aku telah
mencapai Ke-arhat-an" itu berarti masih ada kemelekatan pada diri, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Yang Dijunjungi, dengan berhasilnya aku menjalankan Samadhi "Tanpa Pertentangan", Hyang Buddha mengatakan bahwa aku adalah yang terunggul di antara manusia, bahwa aku adalah Arhat yang terunggul dalam membebaskan diri dari segala nafsu keinginan. Yang Dijunjungi, aku tak pernah berpikir "Aku adalah seorang Arhat yang terbebas dari nafsu keinginan". Jika aku mempunyai pikiran "Aku telah mencapai Ke-arhat-an", Yang Dijunjungi tidak akan berkata bahwa Subhuti adalah orang yang paling berhasil menjalankan ketenangan. Karena Subhuti justru tidak merasa menjalankan kehidupan pertapaan, Ia telah diberi nama Subhuti, yang gemar menjalankan ketenangan.
ada beberapa hal yang aneh ,salah satu nya adalah kutipan ini...
Ariya adalah makhluk yang memiliki kebebasan pikiran, disatu sisi kadang menjawab secara langsung disatu sisi menjawab secara tidak langsung...

bahkan bisa saja kata "aku telah mencapai ke-arahat-an" ini tidak boleh diucapkan di atas, sebagai kemelekatan juga.


sutta beberapa kali SangBuddha menyebutkan kalau dirinya telah mencapai ArahatSammasambuddha.

kutipan Potthapada Sutta [ DN ]
Apakah itu, Bhagavà, pemadaman kesadaran yang lebih tinggi?’
7. ‘Dalam masalah ini, Poññhapàda, para petapa dan Brahmana yang mengatakan persepsi seseorang muncul dan lenyap tanpa sebab dan kondisi adalah salah besar. Mengapakah? Persepsi seseorang muncul dan lenyap [181] karena suatu sebab dan kondisi. Beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan.’ ‘Apakah latihan?’ Sang Bhagavà berkata. ‘Poññhapàda, seorang Tathàgata telah muncul di dunia ini, seorang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang Sempurna, telah sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam, penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama para dewa, màra dan Brahma, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni sepenuhnya.

juga dalam suatu kasus LuantaMahabowa menyatakan Pencapaian Arahat nya depan publik Thailand...


kemudian dalam sutra mahayana
Kemudian Subhuti bertanya pada para bhikshu ini, “Para tetua, apakah kalian pernah mencapai atau merealisasi sesuatu?”
Para bhikshu menjawab, “Hanya orang-orang yang sombong yang akan mengaku mereka telah mencapai dan merealisasi sesuatu. Bagi seorang umat beragama yang rendah hati, tidak ada yang dicapai atau direalisasikan. Lalu, bagaimana seseorang yang seperti ini berpikir untuk mengatakan dirinya sendiri, ‘Inilah yang telah kucapai; inilah yang telah kurealisasikan’? Jika gagasan seperti ini muncul dalam dirinya, maka ini adalah perbuatan setan.
wah, Sangbuddha dikatakan setan, sama LuantaMahaboowa.....

yg benar mana?
 
ada beberapa hal yang aneh ,salah satu nya adalah kutipan ini...
Ariya adalah makhluk yang memiliki kebebasan pikiran, disatu sisi kadang menjawab secara langsung disatu sisi menjawab secara tidak langsung...

bahkan bisa saja kata "aku telah mencapai ke-arahat-an" ini tidak boleh diucapkan di atas, sebagai kemelekatan juga.


sutta beberapa kali SangBuddha menyebutkan kalau dirinya telah mencapai ArahatSammasambuddha.

kutipan Potthapada Sutta [ DN ]


juga dalam suatu kasus LuantaMahabowa menyatakan Pencapaian Arahat nya depan publik Thailand...


kemudian dalam sutra mahayana

wah, Sangbuddha dikatakan setan, sama LuantaMahaboowa.....

yg benar mana?

Coba dibaca berulang-ulang. Segala tindak tanduk seorang Buddha maupun Arahat sudah terbebas dari kemelekatan maupun ketidakemelekatan.

'Saya' disini tidak merujuk kepada Sang Buddha(Sakyamuni) melainkan Buddhata.
 
beberapa kutipan sutra intan ini dengan sadharmapundarika sutra itu bertolak belakang...
misalkan di sutra intan tertulis Buddha tidak menolong makhluk hidup...

sedangkan dalam sadharma pundrika sutra banyak sekali kutipan yg mengatakan sebalik nya....dan lagi dalam sadharmapundrika sutra disebut sutra tertinggi dari semua sutra..

kita ketahui dalam mahaparinibbana sutta..
YM ananda mencapai arahat ketika sang Buddha telah parinibbana.

sedangkan dalam Sadharmapundarika sutra mengatakan
Ananda telah mencapai arahat[savaka-buddha] sebelum sang buddha Parinibbana.

benar mana? ^^
 
beberapa kutipan sutra intan ini dengan sadharmapundarika sutra itu bertolak belakang...
misalkan di sutra intan tertulis Buddha tidak menolong makhluk hidup...

sedangkan dalam sadharma pundrika sutra banyak sekali kutipan yg mengatakan sebalik nya....dan lagi dalam sadharmapundrika sutra disebut sutra tertinggi dari semua sutra..

kita ketahui dalam mahaparinibbana sutta..
YM ananda mencapai arahat ketika sang Buddha telah parinibbana.

sedangkan dalam Sadharmapundarika sutra mengatakan
Ananda telah mencapai arahat[savaka-buddha] sebelum sang buddha Parinibbana.

benar mana? ^^


"Evam Me Sutam"

Kembali kepada Kalama Sutta. Sutra tersebut diperkirakan ditulis pada abad 300m-400m. Silahkan nilai sendiri.

Terlepas apakah YM Ananda mencapai tingkat kesucian Arahat sebelum atau setelah Sang Buddha parinibbana,tidak penting bagi kita karena hanya membuang waktu kita sia-sia mencari hal tersebut,lebih baik waktu digunakan hal-hal yang lebih bermanfaat bagi diri kita maupun untuk orang banyak.


Pada waktu itu Yang Mulia Maha Kassapa telah memutuskan untuk mengumpulkan sidang para bhikkhu guna memperkokoh Ajaran dan Disiplin (Dhamma-vinaya). Karena keadaan negeri Kosala yang tidak aman, sidang akan dilangsungkan di Rajagaha dibawah perlindungan Raja Ajatasattu. Semua Arahat yang masih hidup, yang jumlahnya hampir lima ratus orang, ikut ambil bagian, dan sebagai tambahan, hanya Ananda satu-satunya yang belum menjadi seorang Arahat. Ananda mengetahui sebagian besar kotbah-kotbah Hyang Buddha dan karenanya amat diperlukan oleh sidang tersebut.

Ketika tanggal yang telah ditetapkan bagi sidang makin mendekat, Anuruddha menganjurkan agar adiknya Ananda hanya boleh diikutsertakan jika ia sudah berhasil mengatasi sisa noda-noda batin yang terakhir dan telah menjadi seorang Arahat. Anuruddha tahu kekuatan suatu perangsang seperti itu. Ketika Ananda mendengar hal ini, ia memutuskan untuk mendayagunakan setiap bagian kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya untuk merealisasikan nibbana. Ia mempraktekkan empat landasan perhatian (satipatthana), suatu cara yang paling alami dan selaras dengan kecenderungan-kecenderungan dirinya.

Menjelang jam-jam dini hari, ketika ia ingin beristirahat setelah melakukan usahanya yang gigih, ia tahu dengan pasti bahwa ia telah mencapai kebebasan dari semua nafsu. Keesokan harinya sidang dimulai. Satu tempat telah disediakan untuk dirinya. Ananda muncul lewat udara dengan kekuatan adikodrati dan duduk ditempat yang telah disediakan untuk dirinya. Ketika Anuruddha dan Kassapa menyadari Ananda telah menjadi seorang Arahat, mereka menyatakan kegembiraan persaudaraan mereka terhadap dirinya dan membuka sidang yang berlangsung selama masa vassa. Para bhikkhu lainnya tidak dapat hadir di Rajagaha pada waktu itu.
 
yang anda kutip itu menurut versi theravada....
sedangkan versi mahayana berbeda...

jadi sangat subjektif kalau mengutip sumber Theravada...lalu diterapkannya menjadi mahayana...

-------------
sudah saya katakan sebelum nya 2 aliran besar ini berbeda, dan memiliki esensi bertolak belakang...mana benar mana tidak..silahkan belajar sendiri.


dalam Amitabha Sutra tertulis seperti ini:

Demikianlah telah kudengar :

Pada suatu saat Hyang Buddha berdiam di Sravasti pertapaan Jeta Taman Anthapindika bersama serombongan Bhiksu yang berjumlah seribu dua ratus lima puluh yang semuanya Arahat yang dikenal oleh semua orang seperti Sesepuh Sariputra : Mahamaudgalyayana, Mahakasyapa, Mahakatyayana, Mahakausthila, Revata, Suddhipanthaka, Nanda, Ananda, Rahula, Gavampati, Pindolabharadvaja, Kalodayin, Mahakaphina, Vakkula, Aniruddha, dan beserta Siswa-siswa terkemuka lainnya ; dan para Bodhisattva Mahasattva, Manjusri Pangeran Dharma, Ajita Bodhisattva, Gandhastin Bodhisattva, Nityodyukta Bodhisattva, dengan para Bodhisattva Mahasattva lainnya ; dan dengan Sakra, Indra atau Raja para dewata yang tak terhingga jumlahnya.
 
hmm.. iya.. jeli juga nich mata Marcedes..

sekarang kita bisa mengetahui mana yang tepat dan mana yang tidak tepat..

tapi rasanya kalo cuman kita membandingkan saja, tidak akan menemukan bukti atau kebenaran yang sebenarnya..

jadi memang perlu direalisasi baru tau mana yang betul betul benar dan mana yang betul betul salah..

hehe..

hmm setidaknya dengan ada topik ini kita dapat mengetahui bagaimana sudut pandang dari saudara kita aliran Mahayana..
 
beberapa kutipan sutra intan ini dengan sadharmapundarika sutra itu bertolak belakang...
misalkan di sutra intan tertulis Buddha tidak menolong makhluk hidup...
______________________
benar mana? ^^

Tema Dharma yang dibahas dalam kedua sutra ini berbeda, baik topik maupun level sudut pandangnya.
Dalam sutra Intan, Buddha mengajarkan mengenai Prajnaparamita, yaitu topik Sunyata dalam Aplikasinya. Hal ini bisa dilihat dari pertanyaan pembuka dari Arya Subhuti, yaitu 'Bagaimana seharusnya Bodhisattva yang bercita-cita menjadi Buddha mempraktekan Dharma?'
Setelah membacanya, kita seharusnya meresapi keseluruhan maknanya baik secara umum maupun khusus. Sebagaimana Buddha mengajarkan dalam sutta2 dalam merenungi suatu topik Dhamma, kita semestinya meresapi point2 sutra Intan secara berurutan maju, mundur, dari tengah, dst...
Point2 ini haruslah dipahami sebagai suatu rangkaian yang menunjuk pada satu pemahaman umum akan Sunyata. Demikianlah baru kita dapat dikatakan meresapi sutra.

Dalam sutra intan ini, lihatlah semua kata-kata Buddha selaras dengan prinsip Sunyata yang disebutkan di awalnya. Demikian pula, kalimat 'Buddha tidak menolong (satu pun) mahkluk hidup' adalah fakta noumenal; sekalipun pada fakta fenomenanya, jelas-jelas Buddha telah menolong kita semua.
Bukankah disebutkan juga,'Bodhisattva menolong para mahkluk yang tak terhingga jumlahnya, tapi walaupun demikian Bodhisattva tidak menolong siapapun.' (kalimatnya tidak persis seperti ini, tapi kurang lebih demikian:D)

Sedangkan dalam Sad Dharmapundarika, Buddha berbicara mengenai noumena dalam bahasa phenomena. Dalam sutra tsb, dengan banyak Bab dan sub bab; terdapat begitu banyak topik dan sudut pandang berbeda yang dijelaskan. Bisa dikatakan sutra Teratai merupakan semacam rangkuman singkat dari pelbagai topik, sedangkan sutra Intan semacam pembahasan mendetail mengenai satu topik.
Dengan cakupan sutra Teratai yang amatlah luas, maka bagaimana kita bisa membandingkan dua sutra yang berbeda jenisnya secara membuta?
Sebagian orang memang melihat keduanya bertolak belakang secara kata-kata. Namun para Suciwan (Mahayana khususnya) sampai sekarang memahami prinsip2nya sebagai selaras.
Sebelum kita menguasai penuh pemahaman dan meresapi masing-masing sutra secara menyeluruh, kita belum cukup kualifikasi untuk membandingkan keduanya. Sebab sudah tentu penilaian kita tidak cukup objektif. Ini ibarat membandingkan luas dua bidang tanah tanpa mengukur dan meneliti secara lengkap terlebih dahulu. :)

Mengenai pemilihan kata dalam terjemahan sutra di atas, saya sendiri kurang begitu 'sreg'. Memang demikianlah, setiap orang punya pemahaman dan kecocokan masing-masing.
 
ada beberapa hal yang aneh ,salah satu nya adalah kutipan ini...
Ariya adalah makhluk yang memiliki kebebasan pikiran, disatu sisi kadang menjawab secara langsung disatu sisi menjawab secara tidak langsung...

bahkan bisa saja kata "aku telah mencapai ke-arahat-an" ini tidak boleh diucapkan di atas, sebagai kemelekatan juga.


sutta beberapa kali SangBuddha menyebutkan kalau dirinya telah mencapai ArahatSammasambuddha.

kutipan Potthapada Sutta [ DN ]


juga dalam suatu kasus LuantaMahabowa menyatakan Pencapaian Arahat nya depan publik Thailand...


kemudian dalam sutra mahayana

wah, Sangbuddha dikatakan setan, sama LuantaMahaboowa.....

yg benar mana?

Apakah seorang Arahat masih memiliki 'Aku'? Kalau masih ada, tentu belum Arahat...;;)
 
yang anda kutip itu menurut versi theravada....
sedangkan versi mahayana berbeda...

jadi sangat subjektif kalau mengutip sumber Theravada...lalu diterapkannya menjadi mahayana...

-------------
sudah saya katakan sebelum nya 2 aliran besar ini berbeda, dan memiliki esensi bertolak belakang...mana benar mana tidak..silahkan belajar sendiri.


dalam Amitabha Sutra tertulis seperti ini:

Pada saat sutra ini diucapkan Buddha, Ananda masih belum Arahat penuh. Tapi saat sutra ini diulangi oleh Ananda dalam konsili pertama, Ananda adalah Arahat penuh....
 
siapa yg dapat menolong siapa mencapai pencerahan ? Tentu ada bantuan fasilitas, pengertian, dan penunjuk jalan. Tapi mencapai pencerahan tergantung usaha dan tindakan sendiri menuju ke sana. Kalo peningkatan kwalitas kesadaran , tidak ada yg bisa nolong , hanya ada bantuan.
 
Tema Dharma yang dibahas dalam kedua sutra ini berbeda, baik topik maupun level sudut pandangnya.
Dalam sutra Intan, Buddha mengajarkan mengenai Prajnaparamita, yaitu topik Sunyata dalam Aplikasinya. Hal ini bisa dilihat dari pertanyaan pembuka dari Arya Subhuti, yaitu 'Bagaimana seharusnya Bodhisattva yang bercita-cita menjadi Buddha mempraktekan Dharma?'
Setelah membacanya, kita seharusnya meresapi keseluruhan maknanya baik secara umum maupun khusus. Sebagaimana Buddha mengajarkan dalam sutta2 dalam merenungi suatu topik Dhamma, kita semestinya meresapi point2 sutra Intan secara berurutan maju, mundur, dari tengah, dst...
Point2 ini haruslah dipahami sebagai suatu rangkaian yang menunjuk pada satu pemahaman umum akan Sunyata. Demikianlah baru kita dapat dikatakan meresapi sutra.

Dalam sutra intan ini, lihatlah semua kata-kata Buddha selaras dengan prinsip Sunyata yang disebutkan di awalnya. Demikian pula, kalimat 'Buddha tidak menolong (satu pun) mahkluk hidup' adalah fakta noumenal; sekalipun pada fakta fenomenanya, jelas-jelas Buddha telah menolong kita semua.
Bukankah disebutkan juga,'Bodhisattva menolong para mahkluk yang tak terhingga jumlahnya, tapi walaupun demikian Bodhisattva tidak menolong siapapun.' (kalimatnya tidak persis seperti ini, tapi kurang lebih demikian:D)

Sedangkan dalam Sad Dharmapundarika, Buddha berbicara mengenai noumena dalam bahasa phenomena. Dalam sutra tsb, dengan banyak Bab dan sub bab; terdapat begitu banyak topik dan sudut pandang berbeda yang dijelaskan. Bisa dikatakan sutra Teratai merupakan semacam rangkuman singkat dari pelbagai topik, sedangkan sutra Intan semacam pembahasan mendetail mengenai satu topik.
Dengan cakupan sutra Teratai yang amatlah luas, maka bagaimana kita bisa membandingkan dua sutra yang berbeda jenisnya secara membuta?
Sebagian orang memang melihat keduanya bertolak belakang secara kata-kata. Namun para Suciwan (Mahayana khususnya) sampai sekarang memahami prinsip2nya sebagai selaras.
Sebelum kita menguasai penuh pemahaman dan meresapi masing-masing sutra secara menyeluruh, kita belum cukup kualifikasi untuk membandingkan keduanya. Sebab sudah tentu penilaian kita tidak cukup objektif. Ini ibarat membandingkan luas dua bidang tanah tanpa mengukur dan meneliti secara lengkap terlebih dahulu. :)

Mengenai pemilihan kata dalam terjemahan sutra di atas, saya sendiri kurang begitu 'sreg'. Memang demikianlah, setiap orang punya pemahaman dan kecocokan masing-masing.

dalam kasus Theravada arahat cuma 1...tidak ada namanya arahat setengah, arahat 3/4 atau arahat 1/4....yang ada ARAHAT to..
Pada saat sutra ini diucapkan Buddha, Ananda masih belum Arahat penuh. Tapi saat sutra ini diulangi oleh Ananda dalam konsili pertama, Ananda adalah Arahat penuh....

kalau bisa sertakan kutipan sutta[TIPITAKA] kalau ada namanya Arahat setengah, arahat 1/4 atau arahat 3/4...

karena Arahat 1/2 , 3/4, 1/4 macam demikian cuma ada dalam TRIPITAKA.
sedangkana Arahat dalam Theravada cuma ARAHAT.
Demikianlah telah kudengar :

Pada suatu saat Hyang Buddha berdiam di Sravasti pertapaan Jeta Taman Anthapindika bersama serombongan Bhiksu yang berjumlah seribu dua ratus lima puluh yang semuanya Arahat yang dikenal oleh semua orang seperti Sesepuh Sariputra : Mahamaudgalyayana, Mahakasyapa, Mahakatyayana, Mahakausthila, Revata, Suddhipanthaka, Nanda, Ananda, Rahula, Gavampati, Pindolabharadvaja, Kalodayin, Mahakaphina, Vakkula, Aniruddha, dan beserta Siswa-siswa terkemuka lainnya ; dan para Bodhisattva Mahasattva, Manjusri Pangeran Dharma, Ajita Bodhisattva, Gandhastin Bodhisattva, Nityodyukta Bodhisattva, dengan para Bodhisattva Mahasattva lainnya ; dan dengan Sakra, Indra atau Raja para dewata yang tak terhingga jumlahnya.
dikatakan pula SEPERTI Sariputta....
dan saya harap anda membaca memakai apa-adanya, bukan pakai tafsiran...
karena kalau pakai tafsiran...semuanya bisa terbalik.

ini ada beberapa contoh kalau pakai ilmu tafsiran

Tak percaya? Percayalah! Cara ini terbukti manjur digunakan untuk mencari pembenaran terhadap ayat-ayat kitab suci yang tidak baik sehingga semua kitab suci menjadi baik dengan tafsir yang bertujuan mencari pembenaran ini. Kata kuncinya: jangan mengartikan secara harfiah...
Dengan penafsiran kata-kata yang buruk atau tak masuk akal akan bisa dicari PEMBENARANnya, dan sebaliknya.
Misalnya: bila ada kata-kata,

"membunuh pencuri adalah baik". Tafsirnya: bukankah bila dibunuh maka pencuri itu akan berhenti mencuri dan tak akan menambah karma buruk? kita membantu dia sehingga tak lagi berbuat karma buruk.

"mencuri adalah baik" Tafsirnya: Bukankah kalau sesuatu harus hilang maka ia akan tetap hilang? kita hanya merupakan jalan sehingga hal itu terwujud, jadi yang salah adalah karmanya sendiri.

"Meminum minuman keras adalah baik" Tafsirnya: bukankah minum minuman keras baik bila hal itu dilakukan untuk kesehatan? Sebagai obat?

"Berbohong terhadap orang tertentu dibenarkan" Tafsirnya: bukankah ada orang-orang tertentu yang tak siap menerima kebenaran? bagaimana bila diberitahukan yang benar ia marah-marah? Bukankah dengan berbohong maka kita mencegah ia marah-marah (karma buruk)? Oleh karena itu maka kita berbuat baik karena berhasil mencegah ia berbuat karma buruk kan?

Dan berjuta tafsir yang bisa kita ciptakan sendiri untuk berbagai pembenaran.
Selamat bertafsir-ria bagi yang menyukai.
Bagaimana dengan kita sebagai pengikut Sang Buddha Gotama? Sebagai pengikut Sang Buddha sebaiknya kita tidak menafsirkan, tapi menggunakan apa yang tertulis di Tipitaka sebagai "bare truth" (kebenaran apa adanya) tanpa ditafsir atau dicari pembenarannya

Saudara Sobat Dharma yang baik,
Inilah seninya belajar spiritual, ajaran spiritual yang baik memberikan petunjuk yang jelas, lugas dan mudah dimengerti, tidak mengambang atau menggunakan kata-kata bersayap yang menyebabkan setiap pembacanya mengartikan secara berbeda.
Bila yang tertulis buruk memang demikianlah ajaran tersebut, bila yang tertulis baik memang demikianlah ajaran tersebut, bila ditafsirkan maka ajaran yang buruk bisa menjadi baik atau sebaliknya.

jadi bila memang tertulis berbeda yah memang beda...buktinya juga para sesepuh Theravada memang menolak kalau ajaran Tipitaka sama dengan Tripitaka...
lagian Mahayana juga menolak kalau Tripitaka sama dengan Tipitaka.

apa karena bikkhu Theravada tidak memiliki cukup kesaktian untuk ke alam naga ambil kitab?
-----------------------------------------------------------

kebetulan, yang di post disini perbedaan nya baru 1..

sedangkan yang saya tahu perbedaan sutra dan sutta itu masih ada lagi..
cuma saya sudah malas post masalah ini...
kalau mau baca-baca silahkan baca Sadharmapundrika sutra saja...disitu sudah banyak ke-anehan dan perbedaan dengan sutra yang esensi bertolak belakang.

belum lagi kisah jataka yg RANCU menurut saya yakni :
pangeran mahastva yang membunuh demi welas asih......padahal sudah mencapai pencerahan sempurna.


-----------------------------------

saya tidak mengadu-domba ke dua aliran, saya disini hanya memperlihatkan perbedaan-perbedaan itu ada...
kalau mau membahas lebih lanjut BENAR MANA.......
tolong yang paling pertama adalah
1.singkirkan pikiran bahwa SAYA MEMBENCI MAHAYANA

2.singkirkan pikiran bahwa DISINI menjunjung tinggi TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA [ karena sudah kebenaran yang dicari bukan pembenaran, dan karena kedua aliran sudah bertolak belakang pemahaman-nya,
jadi jangan heran kalau salah satunya pasti DI SALAHKAN. atau dianggap tidak benar..mohon maklum ]

3.Singkirkan pikiran EMOSI/MARAH.


kalau 3 persyaratan ini sudah disetujui baru saya akan post lebih lanjut perbedaan-perbedaan-nya...serta komentar-komentar...
mengapa saya anggap ini salah dan mengapa saya anggap benar.
 
dalam kasus Theravada arahat cuma 1...tidak ada namanya arahat setengah, arahat 3/4 atau arahat 1/4....yang ada ARAHAT to..


kalau bisa sertakan kutipan sutta[TIPITAKA] kalau ada namanya Arahat setengah, arahat 1/4 atau arahat 3/4...

karena Arahat 1/2 , 3/4, 1/4 macam demikian cuma ada dalam TRIPITAKA.
sedangkana Arahat dalam Theravada cuma ARAHAT.

dikatakan pula SEPERTI Sariputta....
dan saya harap anda membaca memakai apa-adanya, bukan pakai tafsiran...
karena kalau pakai tafsiran...semuanya bisa terbalik.

Saat dikatakan 1/2 Arahat, artinya adalah 1/2 jalan menuju ke-Arahat-an. Memang tidak ada, hal itu adalah bahasa non-formal, alias bahasa gaul dalam berkomunikasi. Mungkin Anda seorang yang berpendidikan tinggi dengan intelektual luar biasa sehingga memakai pelbagai istilah-istilah rumit; tapi kami yang biasa-biasa saja ini lebih suka berbicara dalam bahasa umum. Kata Arahat itu umum, sudah banyak yang tahu; tapi kata Sotapanna, Sakadagami, Anagami, belum semua orang tahu; karena alasan ini dipakai istilah 1/4 Arhat (Sotapanna), 1/2 Arhat (Sakadagami), 3/4 Arhat (Anagami).
Harap Anda memaklumi hal ini. Yang terpenting adalah makna yang dituju adalah sama. Toh bila istilah-istilah ini diterjemahkan dalam bahasa lain lagi, kita juga yang pada bingung... padahal cuma beda bahasa saja.

Jadi sebelum kita berdiskusi, adalah penting untuk menyamakan persepsi dulu. Bila tidak, tak ada gunanya berdebat kusir tak jelas.


ini ada beberapa contoh kalau pakai ilmu tafsiran

jadi bila memang tertulis berbeda yah memang beda...buktinya juga para sesepuh Theravada memang menolak kalau ajaran Tipitaka sama dengan Tripitaka...
lagian Mahayana juga menolak kalau Tripitaka sama dengan Tipitaka.
Tipitaka/Tripitaka sendiri pun bila ditafsirkan demikian maka banyak sekali hal yang tidak bersesuaian. Namun, Buddha sendiri sudah mengajarkan dasar-dasar untuk dipakai sebagai acuan penafsiran. Di sinilah pentingnya peran tradisi oral- langsung dari guru ke murid. Banyak hal yang tidak diketahui umum, yang hanya diketahui para guru silsilah. Bila tidak, mengapa setelah banyak membaca Tipitaka, kita masih belum mencapai kesucian?

Di atas Anda katakan bahwa post Konsili pertama itu versi Theravada. Apa benar Theravada berpandangan bahwa saat itu jumlah Arahat yang tersisa hanya 500 orang?

Lagipula, para ahli pun berpendapat bahwa Tipitaka Pali sekarang tidak sama persis dengan hasil Konsili Pertama, setidaknya dalam hal bahasa. Sehingga dalam penerjemahannya masih ada kemungkinan terjadi sedikit banyak perubahan. Bahkan ada pendapat bahwa saat diterjemahkan, banyak unsur-unsur Mahayana dihilangkan dari Tipitaka, sehingga tidak tersisa unsur yang dapat mendukung Mahayana secara langsung.
Saya bukan ahli sejarah sehingga tidak bisa mengatakan hal ini benar atau salah. Saya menyatakan hal ini karena selama ini Mahayana selalu dipojokkan sebagai tidak autentik, sedangkan dari pengalaman2 yang ada memperlihatkan pencapaian2 Mahayana sangat mencerminkan semangat Buddha.

Pengalaman saya pribadi, dahulu saya sangat kesulitan dalam praktek meditasi. Namun setelah mempelajari sutra2 Mahayana dan sastranya, mencoba menerapkannya, perkembangan yang terjadi sungguh menakjubkan. Dari segi pengalaman praktek langsung, saya tidak menemukan pertentangan antara Mahayana dan Theravada. Bila kedua aliran ini berbeda, maka seharusnya hal ini terlihat jelas dalam praktek, bukan hanya teori. Ternyata teori2 pun perlu pemahaman langsung dalam praktek.

Anda sepertinya amat menghormati Ajahn Mahaboowa. Coba bacalah buku Ajahn Mun, guru dari Ajahn Mahaboowa, yang ditulis/disusun sendiri oleh Ajahn Mahaboowa. Di sana tertulis jelas, pengalaman-pengalaman langsung dari Beliau yang diyakini oleh Ajahn Mahaboowa sendiri sebagai Arahat. Di sana dikisahkan bahwa pengalaman2 langsung beliau yang luar biasa, dan akan membuat Anda tercengang. Saya sendiri kaget, ternyata hal-hal seperti itu juga ada di tradisi Theravada, bukan hanya terjadi di tradisi Mahayana.
Banyak pengalaman beliau yang sulit dicari penjelasannya di Tipitaka Pali. Namun hal itu dijelaskan dalam kitab2 Mahayana secara mendetail, bahkan hal-hal yang lebih luar biasa.


apa karena bikkhu Theravada tidak memiliki cukup kesaktian untuk ke alam naga ambil kitab?

Bukan masalah sakti tidaknya, tapi karma dan jodoh. Bahkan dalam sutra pernah ada kisah sebuah kota yang penduduknya tidak menghormati Buddha tapi sebaliknya sangat menghormati Ariya Mahamongallana.
Tentu semua hal ada sebab musababnya.


-----------------------------------------------------------
kebetulan, yang di post disini perbedaan nya baru 1..

sedangkan yang saya tahu perbedaan sutra dan sutta itu masih ada lagi..
cuma saya sudah malas post masalah ini...
kalau mau baca-baca silahkan baca Sadharmapundrika sutra saja...disitu sudah banyak ke-anehan dan perbedaan dengan sutra yang esensi bertolak belakang.

belum lagi kisah jataka yg RANCU menurut saya yakni :
pangeran mahastva yang membunuh demi welas asih......padahal sudah mencapai pencerahan sempurna.
Hahahaha...
Saya sarankan sebaiknya Anda memulai menganalisa Mahayana dari dasar-dasarnya dulu. Terlalu naif bila hendak melompat ke Saddharma yang dikatakan ajaran tingkat tertinggi, sedangkan bahkan ajaran seperti Prajnaparamita masih mengganggu pikiran Anda.

Dalam tradisi Mahayana yang sistematis, pengajaran dilakukan secara bertahap atau sesuai kapasitas murid.
Secara umum, dibagi 3 tingkatan:
1. Sravakayana
2. Prayetkabuddhayana
3. Bodhisattvayana
Lalu masih ada tahap-tahap lanjutan yang bersifat Esoterik (Tantra).

Dalam Mahayana yang otentik, Sravakayana wajib dipelajari sebelum Bodhisattvayana. Namun, pengikut Mahayana diajarkan untuk tidak berhenti di tahap Sravaka/Arhat dengan mempraktekkan pengembangan Bodhicitta, Bodhisattvayana. Sehingga dalam Mahayana tidak mengherankan ada Arhat yang sekaligus Bodhisattva.

-----------------------------------
saya tidak mengadu-domba ke dua aliran, saya disini hanya memperlihatkan perbedaan-perbedaan itu ada...
kalau mau membahas lebih lanjut BENAR MANA.......
tolong yang paling pertama adalah
1.singkirkan pikiran bahwa SAYA MEMBENCI MAHAYANA

2.singkirkan pikiran bahwa DISINI menjunjung tinggi TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA [ karena sudah kebenaran yang dicari bukan pembenaran, dan karena kedua aliran sudah bertolak belakang pemahaman-nya,
jadi jangan heran kalau salah satunya pasti DI SALAHKAN. atau dianggap tidak benar..mohon maklum ]

3.Singkirkan pikiran EMOSI/MARAH.


kalau 3 persyaratan ini sudah disetujui baru saya akan post lebih lanjut perbedaan-perbedaan-nya...serta komentar-komentar...
mengapa saya anggap ini salah dan mengapa saya anggap benar.

Saya pribadi sejutu dengan 3 poin Anda. Namun, Anda sendiri yang membedakan antara Theravada dan Mahayana, berfokus pada perbedaan tanpa melihat pelbagai kesamaan yang mendasar.
Terlihat jelas bahwa tujuan Anda membedakan keduanya adalah mencari mana aliran yang BENAR dan mana aliran yang SALAH.
Sekalipun Anda tidak berminat memecah belah kedua aliran, hal ini tetap akan menjadi bibit perpecahan. Mohon Anda pertimbangkan hal ini baik-baik.

Seperti contoh kritik Anda tentang sutra Intan dan sutra Teratai. Alangkah baiknya bila sutra Intan yang dibahas terlebih dahulu sampai setidaknya makna umum sutra Intan kita pahami.
Mengutip kalimat sutra secara acak tanpa bahkan mengerti makna umum sutra itu sendiri membuat kritik Anda tidak Valid sama sekali.

Bila Anda ingin mengkritik Mahayana secara keseluruhan dengan mengajukan bukti2 pertentangan antar poin ajaran/sutra di dalamnya, alangkah baiknya Anda pelajari sistemasi Mahayana secara menyeluruh terlebih dahulu. Setidaknya Anda mengenal dengan jelas apa sebenarnya yang Anda kritik. Kritik secara membuta tentu tidak valid.
 
Saat dikatakan 1/2 Arahat, artinya adalah 1/2 jalan menuju ke-Arahat-an. Memang tidak ada, hal itu adalah bahasa non-formal, alias bahasa gaul dalam berkomunikasi. Mungkin Anda seorang yang berpendidikan tinggi dengan intelektual luar biasa sehingga memakai pelbagai istilah-istilah rumit; tapi kami yang biasa-biasa saja ini lebih suka berbicara dalam bahasa umum. Kata Arahat itu umum, sudah banyak yang tahu; tapi kata Sotapanna, Sakadagami, Anagami, belum semua orang tahu; karena alasan ini dipakai istilah 1/4 Arhat (Sotapanna), 1/2 Arhat (Sakadagami), 3/4 Arhat (Anagami).
Harap Anda memaklumi hal ini. Yang terpenting adalah makna yang dituju adalah sama. Toh bila istilah-istilah ini diterjemahkan dalam bahasa lain lagi, kita juga yang pada bingung... padahal cuma beda bahasa saja.

Jadi sebelum kita berdiskusi, adalah penting untuk menyamakan persepsi dulu. Bila tidak, tak ada gunanya berdebat kusir tak jelas.
sdr. kano yang baik,
sebaiknya anda coba baca ulang kitab-kitab sutra[sangkrit] dan sutta[pali] dengan teliti....

menurut THERAVADA mengenai ARAHAT......
Arahat telah menghancurkan 10 belenggu samyojana, dan telah merealisasikan NIBBANA...

apakah nibbana menurut Theravada....
Sang Buddha mengumpamakan dalam sutta bahwa ibarat Lilin yang telah habis dan sumbunya juga habis.....alias habis tak tersisa...
dalam bahasa lainnya disebut PADAM...yakni padamnya 5 Khandha.
dan yang paling penting adalah TIDAK TERLAHIR lagi entah di alam manapun...

pemahaman Mahayana mengenai ARAHAT
dalam Mahayana Sravaka Buddha [ Arahant ] itu disebut Bodhisatva tingkat 7 dari 10 tingkatan.
dan juga dikatakan seorang Arahant itu bisa kembali ke jalur Bodhisatva

dan Arahant dalam Mahayana ITU TERLAHIR KEMBALI dan ini dalam dalam Sutra Saddhamapundarika sutra.....
dimana Sariputra akan terlahir entah di kalpa mana dan berusaha mencapai Sammasambuddha.

coba baca baik-baik Kutipan sutra ini
Subhuti bertanya, “Mengapa kamu keluar darinya setelah kamu memasukinya?”
Manjusri menjawab, “Yang Mulia, anda harus mengetahui bahwa ini adalah perwujudan dari kebijaksanaan dan kearifan seorang Bodhisattva. Ia sesungguhnya memasuki realisasi Kearahatan dan terbebas dari samsara; kemudian, sebagai cara untuk menyelamatkan makhluk-makhluk, ia keluar dari realisasi itu. Subhuti, misalkan seorang pemanah yang ahli merencanakan untuk melukai musuh bebuyutannya, tetapi, karena salah menyangka putra kesayangannya di dalam hutan sebagai musuh, ia menembakkan panah padanya. Putranya berkata, ‘Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Mengapa ayah ingin melukaiku?’ Seketika itu juga, sang pemanah, yang berlari dengan cepat, mendorong putranya dan menangkap panah itu sebelum ia melukai seseorang. Seorang Bodhisattva adalah seperti ini: untuk melatih dan membimbing para Sravaka dan para Pratyekabuddha, ia memasuki Nirvana; tetapi, ia keluar darinya dan tidak jatuh ke tingkat Sravaka dan Pratyekabuddha. Itulah mengapa tingkat Bodhisattva disebut tingkat Buddha.”

jadi dalam Nirvana itu ada proses belajar mengajar....
dan coba baca lagi Sravaka Buddha dan Pratyekkabuddha itu masih perlu di bimbing..

tentu aneh apabila melihat keadaan arahat

Arhats, stainless, free from depravity, self-controlled, thoroughly emancipated in thought and knowledge, of noble breed, (like unto) great elephants, having done their task, done their duty, acquitted their charge, reached the goal; in whom the ties which bound them to existence were wholly destroyed, whose minds were thoroughly emancipated by perfect knowledge, who had reached the utmost perfection in subduing all their thoughts

jadi jelaslah pemahaman Arahat kedua Aliran memang BERBEDA.
dan saya tidak mengada-ngada....makanya

Hahahaha...
Saya sarankan sebaiknya Anda memulai menganalisa Mahayana dari dasar-dasarnya dulu. Terlalu naif bila hendak melompat ke Saddharma yang dikatakan ajaran tingkat tertinggi, sedangkan bahkan ajaran seperti Prajnaparamita masih mengganggu pikiran Anda.

Dalam tradisi Mahayana yang sistematis, pengajaran dilakukan secara bertahap atau sesuai kapasitas murid.
Secara umum, dibagi 3 tingkatan:
1. Sravakayana
2. Prayetkabuddhayana
3. Bodhisattvayana
Lalu masih ada tahap-tahap lanjutan yang bersifat Esoterik (Tantra).

Dalam Mahayana yang otentik, Sravakayana wajib dipelajari sebelum Bodhisattvayana. Namun, pengikut Mahayana diajarkan untuk tidak berhenti di tahap Sravaka/Arhat dengan mempraktekkan pengembangan Bodhicitta, Bodhisattvayana. Sehingga dalam Mahayana tidak mengherankan ada Arhat yang sekaligus Bodhisattva.
terima kasih atas saran anda,tapi
sepertinya anda lebih baik mengoreksi diri juga.....karena saya menampilkan bukti sutra bahkan kutipannya...anda berpendapat itu kutipan diambil dari mana? opini pribadi?

Tipitaka/Tripitaka sendiri pun bila ditafsirkan demikian maka banyak sekali hal yang tidak bersesuaian. Namun, Buddha sendiri sudah mengajarkan dasar-dasar untuk dipakai sebagai acuan penafsiran. Di sinilah pentingnya peran tradisi oral- langsung dari guru ke murid. Banyak hal yang tidak diketahui umum, yang hanya diketahui para guru silsilah. Bila tidak, mengapa setelah banyak membaca Tipitaka, kita masih belum mencapai kesucian?
aduh bro, apakah ketika anda membaca pengalaman seseorang mencapai jhana lantas anda juga mencapai jhana?
tentu saja semua ini butuh pratek dan latihan...jangankan bicara kesucian..

coba kita bicara HAL SEDERHANA dulu lah seperti olahraga renang...
apakah hanya membaca buku kemudian orang bisa berenang langsung?
sehebat apapun guru, mereka cuma petunjuk...seperti pelatih tim olah raga yang bersorak dan berteriak mengarahkan kita....tapi di lapangan kita sendiri lah yang paling menentukan.


Lagipula, para ahli pun berpendapat bahwa Tipitaka Pali sekarang tidak sama persis dengan hasil Konsili Pertama, setidaknya dalam hal bahasa. Sehingga dalam penerjemahannya masih ada kemungkinan terjadi sedikit banyak perubahan. Bahkan ada pendapat bahwa saat diterjemahkan, banyak unsur-unsur Mahayana dihilangkan dari Tipitaka, sehingga tidak tersisa unsur yang dapat mendukung Mahayana secara langsung.
Saya bukan ahli sejarah sehingga tidak bisa mengatakan hal ini benar atau salah. Saya menyatakan hal ini karena selama ini Mahayana selalu dipojokkan sebagai tidak autentik, sedangkan dari pengalaman2 yang ada memperlihatkan pencapaian2 Mahayana sangat mencerminkan semangat Buddha.

Pengalaman saya pribadi, dahulu saya sangat kesulitan dalam praktek meditasi. Namun setelah mempelajari sutra2 Mahayana dan sastranya, mencoba menerapkannya, perkembangan yang terjadi sungguh menakjubkan. Dari segi pengalaman praktek langsung, saya tidak menemukan pertentangan antara Mahayana dan Theravada. Bila kedua aliran ini berbeda, maka seharusnya hal ini terlihat jelas dalam praktek, bukan hanya teori. Ternyata teori2 pun perlu pemahaman langsung dalam praktek.

Anda sepertinya amat menghormati Ajahn Mahaboowa. Coba bacalah buku Ajahn Mun, guru dari Ajahn Mahaboowa, yang ditulis/disusun sendiri oleh Ajahn Mahaboowa. Di sana tertulis jelas, pengalaman-pengalaman langsung dari Beliau yang diyakini oleh Ajahn Mahaboowa sendiri sebagai Arahat. Di sana dikisahkan bahwa pengalaman2 langsung beliau yang luar biasa, dan akan membuat Anda tercengang. Saya sendiri kaget, ternyata hal-hal seperti itu juga ada di tradisi Theravada, bukan hanya terjadi di tradisi Mahayana.
Banyak pengalaman beliau yang sulit dicari penjelasannya di Tipitaka Pali. Namun hal itu dijelaskan dalam kitab2 Mahayana secara mendetail, bahkan hal-hal yang lebih luar biasa.
tolong jangan asal ber-opini...mohon sertakan sumber darimana anda mengatakan demikian?

memang dalam buku Cetakan tertulis bahwa Ajahn Mun di kunjungi oleh para Buddha....tetapi ada hal-hal disitu yang meragukan...
sama seperti hal-nya masalah Enstein yang mengatakan bahwa "Enstein itu beragama buddha"...dan ternyata itu keliru loh.

jadi lebih baik jangan terlalu cepat percaya sebelum membuktikannya sendiri...
lagian Ajahn Chah atau bahkan Bhante Win saja belum pernah mengatakan bertemu buddha....padahal Relik Bhante Win itu ada loh.

---------------------------------------
Saya pribadi sejutu dengan 3 poin Anda. Namun, Anda sendiri yang membedakan antara Theravada dan Mahayana, berfokus pada perbedaan tanpa melihat pelbagai kesamaan yang mendasar.
Terlihat jelas bahwa tujuan Anda membedakan keduanya adalah mencari mana aliran yang BENAR dan mana aliran yang SALAH.
Sekalipun Anda tidak berminat memecah belah kedua aliran, hal ini tetap akan menjadi bibit perpecahan. Mohon Anda pertimbangkan hal ini baik-baik.

Seperti contoh kritik Anda tentang sutra Intan dan sutra Teratai. Alangkah baiknya bila sutra Intan yang dibahas terlebih dahulu sampai setidaknya makna umum sutra Intan kita pahami.
Mengutip kalimat sutra secara acak tanpa bahkan mengerti makna umum sutra itu sendiri membuat kritik Anda tidak Valid sama sekali.

Bila Anda ingin mengkritik Mahayana secara keseluruhan dengan mengajukan bukti2 pertentangan antar poin ajaran/sutra di dalamnya, alangkah baiknya Anda pelajari sistemasi Mahayana secara menyeluruh terlebih dahulu. Setidaknya Anda mengenal dengan jelas apa sebenarnya yang Anda kritik. Kritik secara membuta tentu tidak valid.
anda sepertinya tidak menguasai dengan baik sutra mahayana....
sutra mahayana itu terbagi 2 menurut saya....

1.memiliki kesamaan dengan sutta Pali dikarenakan seperti Brahmajala sutta,Mahaparinibbana sutta semua juga ada dalam Sutra sangkrit [ tentu saja sama bukan ]

2. memiliki perbedaan dengan sutta pali, ini karena munculnya sutra seperti Saddhammapundarika sutra, Avatamsaka,dsb-nya...

jadi dalam Tubuh Mahayana sendiri sudah ada 2 esensi bertolak belakang...apalagi dibandingkan dengan Theravada...jelas saja jika dikaitkan dengan Vissudhimagga ataupun kitab Attakatha lebih jauh beda..

jadi bagian mana yang saya keliru? kalau memang ada lebih hebat dan menguasai litelatur Mahayana,sertakan bukti kutipan kalau memang sama.

oke jangan emosi, diskusi segar-segaran. ^^
 
Arahat telah melepaskan 10 belenggu, tapi belum menghancurkan belenggu yang menghalanginya mencapai Kemahatahuan Buddha. Di pandang dari sisi inilah, Mahayana menganggap Arahat bukanlah tujuan akhir. Saya kira, Teks Pali pun setuju bahwa Arahat belum mencapai Kemahatahuan Buddha.

Memang tidak mencapai Jhana saat membaca teks mengenai Jhana. Setelah mengalami Jhana atau setidaknya Apanna Samadhi, kita telah mengalaminya secara langsung. Maka kita dapat mengkonfirmasikan teori dan kenyataan.
Dalam Satipatthana sutta pun beberapa Guru memaknainya bahwa untuk memahami Dhamma, kita harus menekan 5 nivarana dulu dengan mencapai Jhana. Sebagian bilang tidak perlu. Biar kita tidak tahu mana yang tepat, tapi pastilah mencapai Jhana akan lebih baik.

Ini kutiban dari Shurangama Sutra, di mana seorang Bodhisattva yang sebelumnya Arahat memasuki bhumi Bodhisattva:
The Bodhisattva Maintaining the Earth arose from his seat, bowed at the Buddha's feet, and said to the Buddha, "I remember when Universal Light Tathagata appeared in the world in the past. I was a Bhikshu who continually worked on making level the major roads, ferry-landings, and the dangerous spots in the ground, where the disrepair might hinder or harm horse carriages. I did everything from buildding bridges to hauling sand. Throughout the appearance of limitless Buddhas in the world I was diligent in this hard labor. If there were people waiting by the walls and gates of the cities who needed someone to carry their goods, I would carry them all the way to their destination, set the things down, and leave without taking any recompense. When the Buddha Vipashyin appeared in the world, there was widespread famine. I would carry people on my back, and no matter how far the distance, I would accept only one small coin. If there was an ox-cart stuck in the mud, I would use my spiritual strength to push the wheels out and resolve the hardship. Once a king asked the Buddha to attend a vegetarian feast. At that time, I served the Buddha by leveling the road for him as he went. Vipashyin Tathagata rubbed my crown and said, 'You should level your mind-ground, then everything else in the world would be level.' Immediately my mind opened up and I saw how the particles of earth composing my own body were no different from all the particles of earth that made up the world. These particles of dust do not conflict with our nature, to the point that not even the blade of a sword could harm it. Within the Dharma-nature I awakened to the patience with the non-production of dharmas and accomplished Arhatship. My mind has returned and I have now entered the ranks of the Bodhisattvas. Hearing that Tathagata proclaim the Wonderful Lotus Flower, the level of the Buddha's knowledge and vision, I have already been certified as having understood and am a leader in the assembly. The Buddha asks about perfect penetration. Upon attentive contemplation of the body and the environment, I saw that these two defiling dusts are exactly the same. Fundamentally everything is the Treasury of the Tathagata, but then falseness arises and creates the defiling dust. When the defiling dust is eliminated, wisdom is perfected, and one accomplishes the unsurpassed Way. That is the foremost means."

The Pure Youth Moonlight arose from his seat, bowed at the Buddha's feet, and said to the Buddha, "I remember that long ago, beyond eons as many as there are sand grains in the Ganges, there was a Buddha in the world named Water-God, who taught all the Bodhisattvas to cultivate the contemplation of water and enter Samadhi. I reflected upon how throughout the body the essence of water is not in discord. I started with mucus, phlegm, saliva, marrow, and blood, and went through to urine and excrement. As it circulated through my body, the nature of water remained the same. I saw that the water in my body was not at all different from that in the world outside, even that in royal lands of floating banners with all their seas of fragrant waters."

"At that time, when I first succeeded in the contemplation of water, I could see only water. I still had not gotten beyond my physical body."

"I was a Bhikshu then, and once when I was in dhyana repose in my room, a disciple of mine peeked in the window and saw only clear water filling the entire room. He saw nothing else. The lad was young, and not knowing any better, he picked up a tile and tossed it into the water. It hit the water with a 'plunk.' He gazed around and then left. When I came out of concentration, I was suddenly aware of a pain in my heart, and I felt like Shariputra must have felt when he met that cruel ghost. I thought, 'I am already an Arhat and have long since abandoned conditions that bring on illness. Why do I suddenly have this pain in my heart? Am I about to lose the position of non-retreat?' Just then, the young lad came promptly to me and related what had happened. I quickly said to him, 'When you see the water again, open the door, wade into the water, and remove the tile.' The boy was obedient, so when I re-entered Samadhi, he again saw the water and the tile as well, opened the door, and took it out. When I came out of concentration, my body was as it had been before. I encountered limitless Buddhas and cultivated in that way until the coming of the Tathagata, King of Masterful Penetrations of Mountains and Seas. Then I finally had no body. My nature and the seas of fragrant waters throughout the ten directions were identical with True Emptiness, without any duality or difference. Now I am with the Tathagata and am known as a Pure Youth, and I have joined the assembly of Bodhisattvas."

Para Ajahn murid-murid Ajahn Mun kebanyakan mengetahui peristiwa ini melalui penuturan langsung dari Beliau. Percaya atau tidak ini kembali ke pribadi masing-masing. Di sini saya sekedar memberi info tambahan... ;)

Brahmajala sutta dan Mahaparinibbana sutta memang ada dalam Tripitaka Sanskrt bagian kumpulan Agama-sutra. Namun Brahmajala Sutra dan Mahaparinirvana (Nirvana) Sutra Sanksrt isinya berbeda dengan yang berbahasa Pali. Anda silahkan cek sendiri hal ini.

Saya tidak pernah mengatakan lebih hebat dan menguasai literatur Mahayana. Hanya saja saya mendapat beberapa informasi yang lebih jelas mengenai ini, yang sepertinya belum Anda peroleh informasinya.
Ketidakjelasan ini sepenuhnya merupakan kebodohan saya yang tidak bisa menjelaskan dengan baik dan benar sehingga memicu kerancuan dan kesalahpahaman.
Mohon dimaklumi kekurangan saya ini.

Kritik saya terhadap Anda sebenarnya karena saya merasa bahwa Apa yang Anda ragukan dan pertanyakan mengenai sutra2 seperti Saddharma, Avamtasaka dll sebenarnya mempunyai jawaban di dalam sutra itu sendiri. Hanya saja Anda belum menemukan, yang bisa karena banyak hal. Dari pengalaman pribadi saya adalah karena tidak mengerti (terjemahan yang kurang akurat) dan petunjuk/penjelasan mengenai makna sutra itu. Saya pun awalnya sama seperti Anda, merasakan banyak keraguan dan pertanyaan. Namun seiring berjalannya waktu, pelan-pelan semuanya terjawab.
Dahulu saya pertama kali membaca sutra Mahayana. Lalu karena kesulitan memahaminya, secara intuitif saya menyadari perlunya membaca sutta Pali. Sampai akhirnya jodoh mempertemukan saya dengan pelbagai sutra dengan bahasa yang dapat saya mengerti, berikut penjelasan-penjelasan yang bagaikan matahari menerangi dunia, membuka kegelapan keraguan. Berkah dan bimbingan dari seorang Guru Spiritual juga amat berpengaruh. Apalah gunanya kitab meditasi tanpa guru meditasi yang telah merealisasinya? Kalaupun berhasil kita memerlukan waktu yang amat lama.


Dari sudut pandang saya, kekeliruan Anda pertama adalah memandang Sadharma, Avamtasaka, Prajnaparamita,dll mengajarkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama Buddha.
Justru sebaliknya, menurut sistem Mahayana, Prajnaparamita merupakan kelanjutan dari ajaran dasar. Karena itu diajarkan setelah ajaran dasar. Berikutnya barulah Avamtasaka dan Saddharma.
Tanpa memahami setahap demi tahap, maka pengertian akan Avamtasaka akan sangat berbeda.
Ada Guru Agung yang pernah menjelaskan satu kata awal sutra selama lebih dari 8 jam. Guru-guru dengan kualitas demikian akan dapat menjelaskan bagaimana sutra itu selaras dengan ajaran dasar Buddha.
Sutra Mahayana umumnya memakai bahasa syair yang mendalam. Makna kata-katanya belum tentu sama seperti pengertian kita pada umumnya.
Suatu saat nanti bila Anda bertemu dengan penjelasan sutra yang dalam, maka Anda akan mengetahui bagaimana semua ajaran Buddha selaras baik teks Pali maupun Mahayana.

Teks pali dan teks Mahayana itu memiliki perbedaan mendasar karena diajarkan untuk jenis orang yang berbeda; baik sudut pandang, latar belakang pengetahuan, kultur, praktek meditasi, kecenderungan pikiran, sifat, karma, dll. Jadi, mencampur adukkan keduanya pada tahap yang salah akan mengakibatkan pertentangan pandangan. Bahkan di antara Mahayanist sendiri terjadi perdebatan, apalagi dengan theravada.

Ibarat dua buah lap top beda tipe dan merk. Bisa saja komponen part nya saling ditukarkan, tapi kita harus mengetahui detail dan fungsi masing-masing lap top dulu.
Begitu juga dalam Mahayana dan Theravada, untuk menemukan titik temunya harus dianalisa secara menyeluruh.

Seorang guru pernah mengatakan bahwa dalam Mahayana terdapat penggolongan sutra itu berdasarkan tingkatan realisasinya.Contohnya: Prajnaparamita ditempatkan sebelum Saddharma karena untuk memahami Saddharma kita harus merealisasikan Shunyata terlebih dahulu. Jika tidak, makna sesungguhnya tidak akan diraih.
Umumnya urutannya demikian:
1. Agama
2. Vaipulya
3. Prajna
4. Saddharma dan Nirvana

Agama ditempatkan paling awal karena paling mudah dipahami oleh logika manusia pada umumnya, juga sebagai pondasi ajaran yaitu bahwa ajaran Buddha untuk mengatasi Dukkha dan penyebabnya.
Vaipulya mengajarkan Mahakaruna (berbeda dengan sekedar Karuna loh) dan Upayakausalya. Sebagai pengantar dari Bodhisattvayana.
Prajnaparamita mengajarkan Shunyata dan non-dualisme/non-diskriminasi. Shunyata di sini tidak sekedar berarti Anatta, namun jauh lebih luas dan dalam. Di sini dapat kita temukan pembabaran dengan gaya yang lebih bervariasi daripada Agama. Tanpa wawasan yang cukup, orang dapat terjebak ke dalam paham Nihilisme. Untuk mencegah kesalahpahaman inilah Agama diajarkan lebih dulu.
Lalu barulah Saddharma dan Nirvana diajarkan kepada siswa yang telah memurnikan pandangannya dengan Prajnaparamita. Artinya, makna yang ditunjuk sutra bukan makna yang kita pahami secara 'biasa'. Ada makna khusus yang halus sampai-sampai siswa harus sudah merealisasikan Shunyata. Di sini Buddha mengajarkan bahwa semua jalan akhirnya menuju pada Kebuddhaan. Kebuddhaan lah tujuan akhir yang sesungguhnya.

Sama seperti orang yang tidak mengerti mengatakan,"Buddha mengajarkan tanpa-Aku, tapi masih memakai kata-kata 'Aku'......."
Namun bagi yang mengerti tidak melihat hal ini sebagai pertentangan, karena mengerti jelas bahwa Buddha tidak memiliki ke-Aku-an lagi, dan kata 'Aku' hanya dipakai sekedar untuk berkomunikasi.
Demikian juga yang telah mengerti ajaran dasar dan Shunyata tidak menemukan pertentangan apapun dalam Avamtasaka dan Saddharma dengan ajaran Buddha yang lain.

Nagarjuna mengajarkan Prajnaparamita, Shunyata, namun alirannya lebih dikenal dengan nama 'Jalan Tengah'/ Madhyamika. Hal ini merujuk pada Jalan Tengah yang menghindari 2 ekstreem(dualisme).
Asanga mengajarkan Yogacara, sistem meditasi dengan pelbagai tingkat kesadaran(ada 8 tingkat kesadaran secara exoteric dan 13 secara esoteric). Setelah mempelajari makin detail, maka makin kita temukan titik temu aliran-aliran. Kadang apa yang didefinisikan sebagai X adalah A di aliran lain, begitu sebaliknya. Sehingga yang kita perlukan adalah betul-betul memahami apa makna kata-kata itu.

Avamtasaka dan Saddharma adalah sutra yang bagaikan harta karun tak ternilai. Ibarat harta yang tak ada habis-habisnya dipakai, begitu juga sutra ini memiliki makna yang tak akan habis digali. Kompleksitasnya mengharuskan kita membaca dengan kesadaran murni yang tak bercela, untuk itu kita perlu mempraktekkan Prajnaparamita terlebih dahulu hingga setidaknya merasakan Alaya Vijnana, kesadaran dasar yang jernih.

Salam Damai dalam Dharma... _/\_
 
Arahat telah melepaskan 10 belenggu, tapi belum menghancurkan belenggu yang menghalanginya mencapai Kemahatahuan Buddha. Di pandang dari sisi inilah, Mahayana menganggap Arahat bukanlah tujuan akhir. Saya kira, Teks Pali pun setuju bahwa Arahat belum mencapai Kemahatahuan Buddha.
sdr kano yang baik,
tolong jangan langsung pindah topik begitu.....sekarang perjelas dulu Arahat dalam sutra yang saya sampaikan itu seusai atau tidak?
kalau memang sesuai..berarti pembahasan Arahat antara T dan M saja sudah berbeda...bagaimana anda mau mengatakan ke-2 aliran sama?
apalagi pengertian Nibbana dan Nirvana...
anda bisa baca sendiri kutipan sutra yang saya tulis...disitu jelas kalau nirvana dan nibbana itu berbeda makna.

mengenai kemaha-tahuan seorang Sammasambuddha..saya rasa anda lupa point dalam Ajaran Buddha apalagi Theravada...silahkan BACA baik-baik..

Ketika Yang Terberkahi tinggal di Kosambi didalam hutan simsapa. Kemudian, memungut beberapa lembar daun simsapa dengan tangannya, beliau bertanya pada para bhikkhu, "Menurut kalian, para bhikkhu; Manakah yang lebih banyak, beberapa lembar ditanganku atau yang berada diatas di hutan simsapa?"

"Daun-daun yang berada ditangan Yang Terberkahi lebih sedikit, Yang Mulia. Yang diatas di hutan simpasa lebih banyak."

"Demikianlah, para bhikkhu, hal-hal yang telah saya ketahui dengan pengetahuan langsung tetapi tidak diajarkan lebih banyak [dibandingkan dengan apa yang saya ajarkan]. Dan mengapa aku tidak mengajarkannya? Karena hal-hal tersebut tidak berhubungan dengan tujuan, tidak berhubungan dengan prinsip dari kehidupan suci, dan tidak membawa pada pembebasan, pada pelepasan, pada penghentian, pada ketenangan, pada pengetahuan langsung, pada pencerahan, pada pelepasan. Karena itulah aku tidak mengajarkannya.

"Dan apakah yang aku ajarkan?" 'Ini dukkha... Inilah penyebab dari dukkha... Inilah berhentinya dari dukkha... Inilah jalan latihan yang membawa pada berhentinya dukkha': Inilah yang aku ajarkan. Dan mengapa aku mengajarkan hal-hal tersebut? Karena hal-hal tersebut berhubungan dengan tujuan, berhubungan dengan prinsip dari kehidupan suci, dan membawa pada pembebasan, pada pelepasan, pada penghentian, pada ketenangan, pada pengetahuan langsung, pada pencerahan, pada pelepasan. Inilah mengapa aku mengajarkan hal-hal tersebut.

"Karena itu tugas kalian adalan merenungkan, 'Inilah dukkha... Inilah sumber dari dukkha... Inilah berhentinya dukkha.' Tugas kalian adalah merenungkan, 'Inilah jalan latihan yang membawa pada berhentinya dukkha."
makanya seorang Arahat tidak butuh mengetahui rumus Enstein atau pun membuat rumus baru...dengan menciptakan energi dari cahaya atau lainnya...
karena itu semua masih duniawi.

seorang Arahat mengetahui dengan pasti mengenai kebijasanaan


jadi masih pentingkah kemaha-tahuan?

jika kita membahas Arahat saja sudah berbeda. kalau Theravada itu tidak terlahir kembali, sedangkan Arahant Terlahir kembali.....

kita harus menekan 5 nivarana dulu dengan mencapai Jhana. Sebagian bilang tidak perlu. Biar kita tidak tahu mana yang tepat, tapi pastilah mencapai Jhana akan lebih baik.
menurut apa yang saya tahu, Ketika seseorang memasuki Jhana disitu 5 niravana tidak ada...kemudian dengan cara apa Vipassana?

dengan cara keluar dari Jhana disitu disebut Upacara Samadhi atau tetangga Jhana...nah saat Upacara Samadhi itulah 5 niravana juga masih takluk...kemudian saat itu melaksanakan Vipassana terutama mengambil salah satu objek dari Satipatana...
demikian yang saya tahu dalam Tradisi Theravada.

Para Ajahn murid-murid Ajahn Mun kebanyakan mengetahui peristiwa ini melalui penuturan langsung dari Beliau. Percaya atau tidak ini kembali ke pribadi masing-masing. Di sini saya sekedar memberi info tambahan...
mengenai kebenarannya, untuk sementara saya tidak memutuskan benar salah..
entahlah kalau saya sudah Arahat...nanti sy kabari ke kamu ^^

soalnya masalah Albert Enstein yang mengatakan mengenai
Agama di masa mendatang adalah agama kosmik. Agama tersebut seharusnya melampaui (transcend) konsep Tuhan yang bersifat pribadi (personal God) dan menghindari dogma-dogma teologi. Dengan mencakup bidang alam dan spiritual, agama itu harus didasari pada makna agama yang lahir dari pengalaman terhadap segala fenomena, natural, dan spiritual, dan penyatuan yang bermakna. Buddhisme menjawab deskripsi ini. Bila ada agama yang dapat mengatasi kebutuhan pengetahuan
modern, agama tersebut adalah agama Buddha.
masih tanda tanya besar...dalam bukunya tidak ditemukan kata-kata demikian...

jadi mungkinkah ada rekaan atau pembahasan enstein sewaktu pidato,, i dont'know..

---------------------------------
jadi sebelum pembahasan melebar ke topik lain...mari bahas dulu 1 Topik Arahat yang saat ini.

apakah anda setuju kalau memang beda?
 
sdr kano yang baik,
tolong jangan langsung pindah topik begitu.....sekarang perjelas dulu Arahat dalam sutra yang saya sampaikan itu seusai atau tidak?
kalau memang sesuai..berarti pembahasan Arahat antara T dan M saja sudah berbeda...bagaimana anda mau mengatakan ke-2 aliran sama?
apalagi pengertian Nibbana dan Nirvana...
anda bisa baca sendiri kutipan sutra yang saya tulis...disitu jelas kalau nirvana dan nibbana itu berbeda makna.

Betul, setelah mengamati lebih jauh, saya menemukan juga bahwa dalam Mahayana, Nirvana para Arahat dianggap berbeda dari Nirvana para Buddha. Hal ini juga diungkapkan di bab awal Saddharma sutra berjudul Kota Ilusi Nirvana. Buddha mengatakan bahwa Nirvana Arahat itu ibarat oase peristirahatan sebelum menuju Nirvana Buddha. Buddha mengajarkan Nirvana Arahat agar orang-orang yang takut akan 'perjalanan spiritual' menuju Kebuddhaan yang amat panjang dan berat tidak patah semangat.

Umumnya Nirvana itu diartikan orang sebagai suatu keadaan ketiadaan (dari nafsu, benci, avidya dan dukkha). Ketiadaan ini dapat diumpamakan sebagai kutub 'Hampa'. Sedangkan samsara diumpamakan sebagai kutub 'Materi'. Nirvana para Buddha adalah Nirvana tanpa kediaman, artinya tidak berdiam di kutub Hampa maupun Materi, melainkan di Tengah tanpa memihak. Itu adalah suatu 'keberadaan' yang suci, murni, mutlak, tunggal, tak lahir - tak mati, Aku Sejati. Inilah yang dikatakan: Nirvana adalah samsara, dan samsara adalah Nirvana.
Dari sudut pandang ini, Bodhisattva mengembara di samsara, namun batinnya tetap di Nirvana. Di sinilah perbedaan inkarnasi Bodhisattva atau Arhat dengan kelahiran kembali para mahkluk yang belum bebas dari samsara.

mengenai kemaha-tahuan seorang Sammasambuddha..saya rasa anda lupa point dalam Ajaran Buddha apalagi Theravada...silahkan BACA baik-baik..

makanya seorang Arahat tidak butuh mengetahui rumus Enstein atau pun membuat rumus baru...dengan menciptakan energi dari cahaya atau lainnya...
karena itu semua masih duniawi.

seorang Arahat mengetahui dengan pasti mengenai kebijasanaan


jadi masih pentingkah kemaha-tahuan?

jika kita membahas Arahat saja sudah berbeda. kalau Theravada itu tidak terlahir kembali, sedangkan Arahant Terlahir kembali.....
Betul, apa yang tidak diajarkan adalah yang tidak berguna. Namun, nyatanya (menurut keyakinan Mahayana) Buddha mengajarkan pelbagai sutra-sutra Sanskrt. Artinya hal-hal itu berguna...

Fungsi dari kemahatahuan itu bukan lah untuk tahu hal-hal kecil seperti rumus Einstein...:D
Pertama, kemahatahuan ini merujuk pada Mengetahui semua Dharma (kebenaran) dari Citta (kesadaran) maupun dharma (fenomena).
Kedua, Mengetahui semua yang diperlukan untuk membimbing dan menolong semua mahkluk mencapai Kebuddhaan.
Ketiga, mencapai Nirvana para Buddha itu sendiri, merealisasikan Dharmakaya Buddha.

Untuk sekedar terbebas dari kelahiran kembali di alam samsara, memang kemahatahuan tidak diperlukan. Namun, untuk menyatu dengan Dharmakaya semua Buddha, kemahatahuan ini mutlak diperlukan.

Topik ini sulit sekali menjabarkannya dengan komplit dan benar. Saat ini, saya baru bisa menjelaskannya demikian, sangat tidak memuaskan dan tidak jelas sama sekali. Maafkan kebodohan saya ini...
Saya sendiri merasakan kata-kata di atas sama sekali belum mengandung bahkan sekedar cita rasa Kebuddhaan. Hal itu hanya dapat dirasakan sendiri, dicerap langsung melalui kesadaran murni.
Mencoba menjelaskan dengan kata-kata membuatnya kehilangan makna asli.


menurut apa yang saya tahu, Ketika seseorang memasuki Jhana disitu 5 niravana tidak ada...kemudian dengan cara apa Vipassana?

dengan cara keluar dari Jhana disitu disebut Upacara Samadhi atau tetangga Jhana...nah saat Upacara Samadhi itulah 5 niravana juga masih takluk...kemudian saat itu melaksanakan Vipassana terutama mengambil salah satu objek dari Satipatana...
demikian yang saya tahu dalam Tradisi Theravada.
Tentu saja, Mahayana dalam hal ini setuju dan sama.

mengenai kebenarannya, untuk sementara saya tidak memutuskan benar salah..
entahlah kalau saya sudah Arahat...nanti sy kabari ke kamu ^^
wah, ditunggu loh bro... :D

soalnya masalah Albert Enstein yang mengatakan mengenai

masih tanda tanya besar...dalam bukunya tidak ditemukan kata-kata demikian...

jadi mungkinkah ada rekaan atau pembahasan enstein sewaktu pidato,, i dont'know..
Yah, siapa yang tahu....:)
---------------------------------
jadi sebelum pembahasan melebar ke topik lain...mari bahas dulu 1 Topik Arahat yang saat ini.

apakah anda setuju kalau memang beda?

Perbedaannya hanya pada: yang satu yakin posisi Arhat sebagai FINAL dan lain yakin Arhat belum final.
Dalam hal Dharma yang telah direalisasikan oleh Arhat, tidak ada perbedaan berarti.
Arhat sama-sama dikatakan telah bebas dari kelahiran kembali secara fisik di samsara.
Arhat sama-sama dikategorikan sebagai Asekha, yang telah menyelesaikan Pelajaran.
lalu kenapa belum final bila sudah selesai belajar? Selesai di sini adalah dalam tahapan Sravakayana. Sama seperti istilah 'Lulus SMU' bukan berarti jadi Profesor...
Dilihat dari tahap Kebuddhaan, Arhat masih belum Final...

Mahayana mengenal 6 paramita. Bila meyempurnakan 6 paramita ini, otomatis kita mencapai posisi Arhat. Jadi yang membedakan dengan Bodhisattva adalah Bodhicitta. Tanpa Bodhicitta, Arhat akan 'mandeg' di posisi Arhat. Kenapa begitu? Karena yang membuat Bodhisattva terus melaju walaupun telah bebas dari nafsu keinginan (sudah menjadi Arhat), adalah Bodhicitta. Sedangkan Arhat non-Bodhisattva tidak memiliki nafsu lagi dan tidak mengembangkan Bodhicitta, sehingga Ia menetap di dalam pencapaian-Nya.

Oleh karena itu, Bodhicitta adalah harta paling berharga dalam ajaran Mahayana.

Dikatakan, Arhat akan bangun dari samadhi nibbana Arhat-Nya setelah masa yang amat lama dan akan menyadari bahwa Kebuddhaan harus dicapai. Barulah Ia akan mulai mengembangkan Bodhicitta. Hal ini akan menunda pencapaian Kebuddhaan. Guru Atisha mengibaratkan ini sebagai 'Menyeberangi sungai yang sama dua kali' (bolak-balik, karena tiket masuk Dharmakaya tertinggal...:D)
Sedangkan Bodhisattva melompati tahap 'mandeg' ini, dengan roket Bodhicitta melesat cepat menuju Kebuddhaan. Atas alasan ini, para Guru menganjurkan untuk memasuki Mahayana secepat mungkin, sehingga tidak perlu 'menyeberangi sungai yang sama dua kali.'

Bodhicitta sering dipandang kaum non-mahayana sebagai termasuk 'kemelekatan'. Ini salah paham saja. Bodhicitta dikembangkan atas dasar Mahakaruna terhadap semua mahkluk yang dipandang sebagai ibu kandung, dan mengenyahkan ke-Aku-an (kemelekatan) jauh-jauh. Bagaimana bisa hal yang berlawanan dengan kemelekatan dikategorikan kemelekatan?

Berikut logika untuk mempermudah pengertian:
1) Apakah Mahakaruna adalah kualitas tak terpisahkan dari Buddha? => Benar.

2) Apakah Buddha bebas dari kemelekatan? => Benar

Kesimpulan:
1) Mahakaruna sifatnya bebas dari kemelekatan.

2) Bila Mahakaruna adalah kemelekatan, maka Buddha pastilah masih melekat.

Arhat pun memiliki kualitas Karuna. Dengan mengembangkan kemahatahuan, Arhat akan melihat bahwa semua mahkluk adalah para ibu kandungnya di kehidupan lampau yang tak terhitung. Lebih jauh lagi, Mahaprajna melihat bahwa semua mahkluk tiada berbeda dengan dirinya, dirinya satu dengan semua mahkluk. Maka muncul Bodhicitta yang bertekad menyeberangkan semua mahkluk yang tak lain adalah 'dirinya' sendiri. Ini sama dengan Kepala (diri ini) hendak menyelamatkan Tubuh (semua mahkluk) dari samudra derita.

Mahayana memandang bila sekedar mencapai Arhat itu sama dengan "Kepala mencapai pantai seberang (sudah bebas) tapi Tubuh masih tertinggal di pantai samsara...":D [harap dimaknai dengan analogi sebelumnya ya...:P] setelah puas istirahat bebas dari dukkha, maka kepala akan mulai sadar... Buddha cukup datang memberikan "Cermin", terpantullah bayangan 'kepala doang...' :D

Demikianlah yang saya ketahui dari ajaran Bhagavan Arya. Kekurangan dan ketidaksempurnaan penjelasan ini adalah sepenuhnya kesalahan dan kebodohan saya sebagai nara sumber, bukan kesalahan Bhagavan ataupun para audience. Biarlah Anda semua mencapai Pengetahuan Kebijaksanaan dan saya menanggung semua kekeliruan.

Om mani padme hum _\/_
Gate gate para gate para sam gate Bodhi Svaha _/\_
 
Betul, setelah mengamati lebih jauh, saya menemukan juga bahwa dalam Mahayana, Nirvana para Arahat dianggap berbeda dari Nirvana para Buddha. Hal ini juga diungkapkan di bab awal Saddharma sutra berjudul Kota Ilusi Nirvana. Buddha mengatakan bahwa Nirvana Arahat itu ibarat oase peristirahatan sebelum menuju Nirvana Buddha. Buddha mengajarkan Nirvana Arahat agar orang-orang yang takut akan 'perjalanan spiritual' menuju Kebuddhaan yang amat panjang dan berat tidak patah semangat.
sdr kano yg baik,
berarti anda sendiri juga setuju kalau memang ke-2 aliran ini berbeda...ok CLEAR CASE.

Umumnya Nirvana itu diartikan orang sebagai suatu keadaan ketiadaan (dari nafsu, benci, avidya dan dukkha). Ketiadaan ini dapat diumpamakan sebagai kutub 'Hampa'. Sedangkan samsara diumpamakan sebagai kutub 'Materi'. Nirvana para Buddha adalah Nirvana tanpa kediaman, artinya tidak berdiam di kutub Hampa maupun Materi, melainkan di Tengah tanpa memihak. Itu adalah suatu 'keberadaan' yang suci, murni, mutlak, tunggal, tak lahir - tak mati, Aku Sejati. Inilah yang dikatakan: Nirvana adalah samsara, dan samsara adalah Nirvana.
Dari sudut pandang ini, Bodhisattva mengembara di samsara, namun batinnya tetap di Nirvana. Di sinilah perbedaan inkarnasi Bodhisattva atau Arhat dengan kelahiran kembali para mahkluk yang belum bebas dari samsara.
saya bingung dengan apa yang anda katakan "Aku sejati"

ibarat manusia itu sebuah MOBIL
MOBIL terdiri dari mesin,oli,tenaga kerja,casing,jok,radio.....proses ke-6 gabungan ini maka jadilah MOBIL.....
yang manakah disebut MOBIL yang sejati?

dalam Tradisi Theravada "AKU" ini ibarat sebuah proses gabungan dari 5 khandha dan selalu berubah-ubah....jadi yang mana-nya benar-benar sejati?
manusia terdiri dari 5 khandha...dan proses gabungan itu membentuk manusia....yang manakah AKU yang sejati itu?
jikalau di tinjau dari Abhidhamma...batin saja sudah terdiri dari 4 khandha,belum lagi 4 khandha ini dibagi menjadi beberapa CETASIKA,CITTA. [ kalau tidak salah CETASIKA saja ada 33,belum lagi CITTA ]

jika itu memang ajaran Mahayana it's diffrent with Theravada.

saya bingung dengan dikatakan berkeliaran di samsara kemudian batin nya di nirvana....
kalau di rumuskan dalam Tradisi Theravada itu menjadi mustahil...

ini dia rumusan Nibbana dalam Abhidhamma.
Nibbana adalah salah satu dari acinteyya (4 hal yg tidak bisa dipikirkan oleh pikiran manusia biasa)

Nibbana ada beberapa pengertian yaitu :
1. Keadaan yg terbebas dari tanha (abhidhammatthasangaha Pali)
2. Keadaan ketenangan yg timbul dengan terbebasnya dari tanha (Paramatthadipanitika)
3. Dari Vissudhimagga ada 2 pengertian yaitu
- Nibbana adalah kebahagiaan yg terbebas dari kilesa
- Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi

Jadi kondisi nibbana akan dicapai pada saat seseorang terbebas dari kilesa

Dari sini akan muncul istilah saupadisesa nibbana yaitu padamnya kilesa secara total tapi pancakhanda masih ada
Dan Anupadisesa dimana padamnya kilesa secara total, dan padamnya pancakhanda

secara singkat, padamnya pancakhanda dapat diilustrasikan seperti ini:
Mahluk itu terdiri dari :
1. Nama khanda
2. Nama Dhamma
3. Rupa khanda
4. Rupa Dhamma

Pada Nibbana hanya ada Nama Dhamma saja (Nama/batin secara kebenaran), sementara nama dan rupa khandanya musnah

Disini yg org sering kepleset dimana dengan pernyataan nama dan rupa khanda lenyap, berarti pada waktu nibbana dicapai, mahluk juga lenyap

Ini yg dipegang oleh paham nihilisme/kekosongan karena mereka hanya melihat dari sisi KHANDA saja padahal dalam abhidhamma sudah dengan jelas menyatakan mengenai adanya NAMA Dhamma

Nibbana juga bisa dilihat dari kondisi terlepas dari obyek yaitu :

1. Animitta nibbana : nibbana yg terbebas dari obyek bayangan
Bagi mereka yg melaksanakan vipassana bhavana sehingga melihat ANICCA yg terbebas dari bayangan kemudian memusatkan PIKIRAN pada anicca yg berikutnya sampai mencapai magga phala dan ada Nibbana sebagai obyek.
Nibbana ini dicapai sebagai hasil/phala dari kekuatan sila

2. Appanihita nibbana : nibbana yg terbebas dari obyek keinginan
Bagi mereka yg melaksanakan vipassana bhavana sehingga melihat DUKKHA yg selalu berubah dan tidak dapat bertahan, kemudian memusatkan PIKIRAN pada dukkha yg berikutnya sampai mencapai magga phala dan ada nibbana sebagai obyek
Nibbana ini dicapai sebagai hasil/phala dari kekuatan samadhi

3. Sunnata nibbana : Nibbana yg terbebas dari kilesa dan Khanda 5, tidak ada lagi yg tersisa, habis
Bagi mereka yg melaksanakan vipassana bhavana sehingga melihat ANATTA, bukan aku, kekosongan, kemudian memusatkan PIKIRAN pada anatta yg berikutnya sampai mencapai magga phala dan ada nibbana sebagai obyek
Nibbana ini dicapai sebagai hasil/phala dari kekuatan Panna


Jadi disini dapat dilihat bhw saat org mencapai magga-phala dan obyeknya adalah nibbana

yang sering terjadi adalah org bermeditasi, belum mencapai magga-phala tapi mengambil obyek Nibbana.
Ini yg disebutkan dalam mulapariyaya sutta mengenai 24 obyek salah dalam meditasi

semoga bermanfaat

metta

jadi jelas lah nibbana itu seperti apa dalam Theravada.
dan jelas tidak sama dengan pengertian NIRVANA dalam mahayana...^^

Topik ini sulit sekali menjabarkannya dengan komplit dan benar. Saat ini, saya baru bisa menjelaskannya demikian, sangat tidak memuaskan dan tidak jelas sama sekali. Maafkan kebodohan saya ini...
Saya sendiri merasakan kata-kata di atas sama sekali belum mengandung bahkan sekedar cita rasa Kebuddhaan. Hal itu hanya dapat dirasakan sendiri, dicerap langsung melalui kesadaran murni.
Mencoba menjelaskan dengan kata-kata membuatnya kehilangan makna asli.
saya juga masih pemula bro. :)

Perbedaannya hanya pada: yang satu yakin posisi Arhat sebagai FINAL dan lain yakin Arhat belum final.
Dalam hal Dharma yang telah direalisasikan oleh Arhat, tidak ada perbedaan berarti.
Arhat sama-sama dikatakan telah bebas dari kelahiran kembali secara fisik di samsara.
Arhat sama-sama dikategorikan sebagai Asekha, yang telah menyelesaikan Pelajaran.
lalu kenapa belum final bila sudah selesai belajar? Selesai di sini adalah dalam tahapan Sravakayana. Sama seperti istilah 'Lulus SMU' bukan berarti jadi Profesor...
Dilihat dari tahap Kebuddhaan, Arhat masih belum Final...
khusus yang saya bold...coba baca baik-baik penjelasan dari Abhidhamma.
jadi arahat telah bebas dari kelahiran kembali...dan batin nya pun PADAM.

saya kan menjelaskan sedikit penuturan AjahnBrahm...

Ke Mana Citta Pergi Setelah Pencerahan?

Api menyala tergantung pada bahan bakarnya. Kata untuk " bahan bakar" dalam bahsa Pali adalah upadana. Nyala lilin bergantunng pada panas, lilin, dan sumbu. Jika salah satu darik ketiga "bahan bakara" tersebut lenyap, maka nyalanya pun berakhir. Jika angin meniup pergi panas,api pun padam. Jika sumbu telah terbakar habis, api pun padam. Dan jika lilin telah terpakai habis, api pun padam. Begitu api padam, api tidak pergi ke mana-mana. Tidak ada surga ke mana api yg baik pergi, dengan bahagianya menyala abadi. Tidak juga api menyatu dengan Api kosmik yg transenden. Itu hanyalah padam, itu saja. Dalam bahasa Pali, kata untuk "perginya" nyala api adalah Nibbana.

Citta pun tergantung dari bahan bakarnya. Sutta-sutta menyatakan bahwa citta bergantung pada nama-rupa dan ketika nama-rupa padam, citta pun sepenuhnya padam(SN 47,42). Citta tersebut pergi. Citta tersebut "nibbana". Citta tidak pergi kemana-mana; citta hanya berhenti eksis. Yang menarik , dua bhikkhuni terkenal, Kisagotami dan Patacara, menjadi tercerahkan penuh tatkala mereka melihat nyala sebuah lampu padam(Dhp275, Thig 116).

Sifat Citta

Ketika Anda mempertahankan kesadaran adidaya(kesadaran setelah pengalaman jhana/keluar dari jhana,kesadaran yg sangat kuat sekali) pada citta yg murni, hakikat dari semua jenis kesadaran menyingkapkan dirinya. anda melihat kesadaran bukan sebagai sebuah proses yg mengalir lancar, namun sebagai serangkaian peristiwa yg terpisah, berdiri sendiri-sendiri. Kesadaran dapat dibandingkan degn hamparan pasir di pantai. Secara sepintas, pasir tampak bersambungan sampai ratusan meter. Namun setelah Anda menyelidik lebih dekat, Anda temukan bahwa pasir tersusun dari partikel2 yg terpisah dan berlainan. Ada ruang kosong diantara setiap partikel pasir, tanpa sifat pasir hakiki yg mengalir di kesenjangan antara dua partikel mana pun. Demikian pula, apa yg kita anggap sebagai arus kesadaran jelas tampak sebagai serangkaian peristiwa yg terpisah, tanpa sesuatu pun yg mengalir diantaranya.

Analogi lainnya adalah analog tentang salad buah. Misal saja diatas piring terdapat sebuah apel. Dengan jelas Anda melihat apel ini menghilang dan sekarang dia atas piring muncul sebutir kelapa. Lalu kelapa itu pun lenyap dan di tempatnya semula muncul apel yg lain. Lantas apel kedua itupun lenyap dan kelapa yg lain muncul. Kelapa tsb lenyap dan sebuah pisang muncul, lalu lenyap tatkala kelapa yg lain menampakkan diri diatas piring, lalu pisang lainnya, kelapa, apel, kelapa, mangga, kelapa,jeruk dst. Begitu satu buah lenyap, sejenak berikutnya muncul buah yg baru. Semuanya buah, tetapi berbeda total satu dengan lainnya, tanpa satupun buah yg sama. Lebih lanjut tidak ada arus esensi buah yg menyambungkan dari satu buah ke buah berikutnya. Dalam analogi ini, apel mewakili sebuah peristiwa dari kesadaran mata, pisang untuk kesadaran tubuh, dan kelapa utk kesadaran pikiran. Setipa momen kesadaran terpisah satu sama lain, tanpa ada sesuatu pun mengalir dari satu moment ke momen berikutnya.

Kesadaran pikiran, si "kelapa", muncul setelah setiap jenis kesadaran lainnya dan oleh karena itu memberikan ilusi kesamaan pada setiap pengalaman kesadaran. Bagi orang kebanyakan, terdapat sebuah kualitas dalam aktivitas melihat yg juga ditemukan saat mendengar, membaui, mengecap, dan menyentuh. Kita dapat menyebut kualitas tersebut sebagai "mengetahui". Akan tetapi dengan kesadaran adidaya Anda akan melihat bahwa " mengetahui" tersebut bukanlah bagian dari melihat, mendengar, dst, tetapi muncul sesaat setalah setiap jenis kesadaran indra. Lebih lanjut, proses mengetahui ini lenyap ketika, misalnya, kesadaran mata terjadi. Dan kesdaran mata lenyap tatkala mengetahui(kesadaran pikiran) terjadi. Dalam kiasan tentang salad buah-buahan tsb, tidak dapat terjadi sebuah apel dan sebutir kelapa di atas piring secara bersamaan.

Si Pengetahu Bukanlah Diri

Dengan merenungkan kesadaran dengan cara ini - melihatnya sebagai serangkaian peristiwa yg berlainan dan terpisah, tanpa sesuatu pun yg sinambung dari satu momen ke momen berikutnya - akan melemahkan ilusi akan adanya sosok pengetahu, yg terus ada, yg selalu ada untuk menerima pengalaman dunia. Anda merubuhkan pernaungan terakhir dari ilusi tentang diri. Sebelumnya sangatlah jelas nampak bagi Anda bahwa "akulah yg mengetahui". Tetapi, apa yg nampak jelas seringkali keliru. Sekarang Anda melihatnya hanya sebagai "mengetahui, sebagai kesadaran pikiran, seperti kelapa yg kadang ada kadang tiada. Citta hanyalah fenomena lazim,pasti akan berakhir. Citta tidak dapat menjadi aku, milikku, atau suatu diri. Yang mengetahui, citta, akhirnya dipahami sebagai anatta.

Satipatthana, dipraktikkan demi tujuan merealisasi anatta, tiada inti diri. Dua peristirahatan terakhir bagi ilusi tentang diri atau jiwa adalah si pengetahu dan si pelaku. Jika Anda mengindentifikasi apa saja sebagai "Anda" yang hakiki, itu adalah yg melakukan atau yg mengetahui. Kedua khayalan yg kuat bercokol dan lama dicengkram ini berdiri di antara Anda dan pencerahan. Tembusilah ilusi2 ini, dan Anda adalah seorang pemenang arus. Tembusilah ilusi2 ini setiap saat, dan Anda adalah seorang Arahat.

Sumber: Mindfulness, Bliss, and beyond
Penulis : Ajahn Brahm

Mahayana mengenal 6 paramita. Bila meyempurnakan 6 paramita ini, otomatis kita mencapai posisi Arhat. Jadi yang membedakan dengan Bodhisattva adalah Bodhicitta. Tanpa Bodhicitta, Arhat akan 'mandeg' di posisi Arhat. Kenapa begitu? Karena yang membuat Bodhisattva terus melaju walaupun telah bebas dari nafsu keinginan (sudah menjadi Arhat), adalah Bodhicitta. Sedangkan Arhat non-Bodhisattva tidak memiliki nafsu lagi dan tidak mengembangkan Bodhicitta, sehingga Ia menetap di dalam pencapaian-Nya.

Oleh karena itu, Bodhicitta adalah harta paling berharga dalam ajaran Mahayana.

Dikatakan, Arhat akan bangun dari samadhi nibbana Arhat-Nya setelah masa yang amat lama dan akan menyadari bahwa Kebuddhaan harus dicapai. Barulah Ia akan mulai mengembangkan Bodhicitta. Hal ini akan menunda pencapaian Kebuddhaan. Guru Atisha mengibaratkan ini sebagai 'Menyeberangi sungai yang sama dua kali' (bolak-balik, karena tiket masuk Dharmakaya tertinggal...)
Sedangkan Bodhisattva melompati tahap 'mandeg' ini, dengan roket Bodhicitta melesat cepat menuju Kebuddhaan. Atas alasan ini, para Guru menganjurkan untuk memasuki Mahayana secepat mungkin, sehingga tidak perlu 'menyeberangi sungai yang sama dua kali.'

Bodhicitta sering dipandang kaum non-mahayana sebagai termasuk 'kemelekatan'. Ini salah paham saja. Bodhicitta dikembangkan atas dasar Mahakaruna terhadap semua mahkluk yang dipandang sebagai ibu kandung, dan mengenyahkan ke-Aku-an (kemelekatan) jauh-jauh. Bagaimana bisa hal yang berlawanan dengan kemelekatan dikategorikan kemelekatan?

Berikut logika untuk mempermudah pengertian:
1) Apakah Mahakaruna adalah kualitas tak terpisahkan dari Buddha? => Benar.

2) Apakah Buddha bebas dari kemelekatan? => Benar

Kesimpulan:
1) Mahakaruna sifatnya bebas dari kemelekatan.

2) Bila Mahakaruna adalah kemelekatan, maka Buddha pastilah masih melekat.

Arhat pun memiliki kualitas Karuna. Dengan mengembangkan kemahatahuan, Arhat akan melihat bahwa semua mahkluk adalah para ibu kandungnya di kehidupan lampau yang tak terhitung. Lebih jauh lagi, Mahaprajna melihat bahwa semua mahkluk tiada berbeda dengan dirinya, dirinya satu dengan semua mahkluk. Maka muncul Bodhicitta yang bertekad menyeberangkan semua mahkluk yang tak lain adalah 'dirinya' sendiri. Ini sama dengan Kepala (diri ini) hendak menyelamatkan Tubuh (semua mahkluk) dari samudra derita.

Mahayana memandang bila sekedar mencapai Arhat itu sama dengan "Kepala mencapai pantai seberang (sudah bebas) tapi Tubuh masih tertinggal di pantai samsara..." [harap dimaknai dengan analogi sebelumnya ya...] setelah puas istirahat bebas dari dukkha, maka kepala akan mulai sadar... Buddha cukup datang memberikan "Cermin", terpantullah bayangan 'kepala doang...'

Demikianlah yang saya ketahui dari ajaran Bhagavan Arya. Kekurangan dan ketidaksempurnaan penjelasan ini adalah sepenuhnya kesalahan dan kebodohan saya sebagai nara sumber, bukan kesalahan Bhagavan ataupun para audience. Biarlah Anda semua mencapai Pengetahuan Kebijaksanaan dan saya menanggung semua kekeliruan.

Om mani padme hum _\/_
Gate gate para gate para sam gate Bodhi Svaha _/\_
dalam Tradisi pandangan Theravada..
4 kesunyataan mulia itu sudah jelas..

Hidup adalah Dukka. dan kalau di bahas secara Abhidhamma, segala FENOMENA yang berubah,tidak kekal adalah Dukkha.

oleh sebab itu tidaklah mungkin seorang Arahat dalam Tradisi Theravada itu terlahir kembali demi menolong umat sedangkan dirinya sendiri tidak bebas dari DUKKHA itu sendiri.

di dalam Sutra Intan tercantum bahwa pada dasarnya bahkan TATHAGATHA sendiri tidak dapat menolong satu makhluk hidup manapun (yang ini sama harfiahnya (tidak ditafsirkan) di dalam konsep Theravada, dikatakan bahwa DIRI SENDIRI-lah yang menjadi pulau/pelindung sendiri).

KESIMPULAN
memang ajaran Theravada berbeda Dengan ajaran MAHAYANA. ^^
tapi bukan berarti berbeda lantas timbul benci....

may all being hapiness.
metta.
 
sdr kano yg baik,
berarti anda sendiri juga setuju kalau memang ke-2 aliran ini berbeda...ok CLEAR CASE.


saya bingung dengan apa yang anda katakan "Aku sejati"

ibarat manusia itu sebuah MOBIL
MOBIL terdiri dari mesin,oli,tenaga kerja,casing,jok,radio.....proses ke-6 gabungan ini maka jadilah MOBIL.....
yang manakah disebut MOBIL yang sejati?

dalam Tradisi Theravada "AKU" ini ibarat sebuah proses gabungan dari 5 khandha dan selalu berubah-ubah....jadi yang mana-nya benar-benar sejati?
manusia terdiri dari 5 khandha...dan proses gabungan itu membentuk manusia....yang manakah AKU yang sejati itu?
jikalau di tinjau dari Abhidhamma...batin saja sudah terdiri dari 4 khandha,belum lagi 4 khandha ini dibagi menjadi beberapa CETASIKA,CITTA. [ kalau tidak salah CETASIKA saja ada 33,belum lagi CITTA ]

jika itu memang ajaran Mahayana it's diffrent with Theravada.

saya bingung dengan dikatakan berkeliaran di samsara kemudian batin nya di nirvana....
kalau di rumuskan dalam Tradisi Theravada itu menjadi mustahil...

ini dia rumusan Nibbana dalam Abhidhamma.


jadi jelas lah nibbana itu seperti apa dalam Theravada.
dan jelas tidak sama dengan pengertian NIRVANA dalam mahayana...^^


saya juga masih pemula bro. :)


khusus yang saya bold...coba baca baik-baik penjelasan dari Abhidhamma.
jadi arahat telah bebas dari kelahiran kembali...dan batin nya pun PADAM.

saya kan menjelaskan sedikit penuturan AjahnBrahm...




dalam Tradisi pandangan Theravada..
4 kesunyataan mulia itu sudah jelas..

Hidup adalah Dukka. dan kalau di bahas secara Abhidhamma, segala FENOMENA yang berubah,tidak kekal adalah Dukkha.

oleh sebab itu tidaklah mungkin seorang Arahat dalam Tradisi Theravada itu terlahir kembali demi menolong umat sedangkan dirinya sendiri tidak bebas dari DUKKHA itu sendiri.

di dalam Sutra Intan tercantum bahwa pada dasarnya bahkan TATHAGATHA sendiri tidak dapat menolong satu makhluk hidup manapun (yang ini sama harfiahnya (tidak ditafsirkan) di dalam konsep Theravada, dikatakan bahwa DIRI SENDIRI-lah yang menjadi pulau/pelindung sendiri).

KESIMPULAN
memang ajaran Theravada berbeda Dengan ajaran MAHAYANA. ^^
tapi bukan berarti berbeda lantas timbul benci....

may all being hapiness.
metta.

Nirvana = Aku Sejati
Benar sekali, 'Aku' adalah konsep 'diri' yang merupakan pandangan salah. Aku Palsu ini adalah ilusi yang terbentuk dari 5 khanda.

Aku Sejati di sini dipahami sebagai 'jati diri sebenarnya' alias 'kebenaran sebenarnya' atau juga Dhamma itu sendiri.

Aku Sejati di sini bukan suatu 'diri' dalam kaitan dengan suatu Subjek dan Objek.

Konsep Aku Sejati ini sesuai Anatta. Yang memahaminya sebagai berlawanan dengan Anatta berarti sudah salah pengertian.

Jadi kata 'Aku' dalam 'Aku Sejati' ini hanya sebuah kiasan atau analogi dari Kebenaran sesungguhnya, Nirvana.

________________________________

Sutra Intan bukan berkata : 'Tathagatha tidak bisa menolong siapapun', melainkan 'Tathagatha tak menolong seorang pun.'
Dua kalimat ini berbeda makna loh...

Seorang = orang = anatta, lalu adakah 'atta' di sana? tidak ada bukan? lalu jelaslah Tathagatha mengatakan bahwa Beliau tak menolong satu 'atta' pun...
Ini yang dimaksud sutra Intan.

_______________________
Betul, sabbe dhamma dukkham, semua fenomena (dhamma) itu dukkha.

Untuk itulah dengan samadhi Prajnaparamita, Arhat atau Bodhisattva berjalan lebih jauh lagi dengan memahami sifat Shunya dari semua dharma (fenomena). Akibatnya, walaupun terjun lagi ke dalam samsara, Pikiran dari Bodhisattva tetap bebas tak terhalangi. Ia secara bebas dapat keluar masuk samsara tanpa harus mengalami dukkha. Ini lah makna yang lebih dalam dari "Teratai bersih murni tak terkotori oleh lumpur".

Sutra Intan mengatakan bahwa walapun Bodhisattva menyelamatkan banyak mahkluk tapi Bodhisattva tak menyelamatkan satu pun ('atta'). Ini adalah sifat Shunya dari 'atta'.
Kalimat ini bermakna:
Kebenaran relatif: Bodhisattva menyelamatkan banyak mahkluk
Kebenaran mutlak: Bodhisattva tak menyelamatkan siapapun. tak ada (atta) yang menyelamatkan dan tak ada (atta) yang diselamatkan.

Demikianlah Buddha mengajar dalam bahasa Mahayana. Hal ini seharusnya dimaknai secara benar. Jadi jelaslah bahwa konsep Anatta jelas sekali diaplikasikan dengan begitu indahnya.

Sutra ini judul lengkapnya Vajracheddika Prajnaparamita sutra, sutra Kebijaksanaan Sempurna (bagaikan Pedang) Intan. Jelaslah dari judulnya saja dapat kita ketahui inti sutra ini adalah memakai Prajnaparamita untuk memotong Avidya.
Patriarkh Chan ke-6, YM Hui Neng tercerahkan sepenuhnya setelah mendengarkan pembabaran sutra ini secara pribadi oleh Patriarkh ke-5, Hong Ren.

Sutra ini (juga sutra lainnya) dengan teknik tertentu dapat dipakai untuk memasuki Samadhi Alaksana (Pali: Alakhana) atau samadhi 'tanpa tanda'/tanpa ciri. Samadhi ini dapat dipakai untuk Samatha maupun Vipashyana, tergantung niat.

Hahaha... entah kenapa, hati ini ngotot bagaimanapun juga prinsip theravada jelas sejalan dalam mahayana. bagi saya, hal ini amat jelas tanpa keraguan.
di mata saya, di luar sekilas tampak berbeda tapi tetap saja dalamnya sama...
maafkan kengototan saya yang tak berbudaya ini. hahahaha:D

salam metta karuna
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.