• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Intisari Bhagawad Gita

Lanjutan,.......

Jika dalam mulutmu ada garam, maka juice manis apa pun yang kau minum akan tetap terasa asin. Pertama keluarkan garam itu dan bersihkan mulutmu, maka engkau akan dapat merasakan manisnya. Jika garam sudah tidak ada, engkau dapat menikmati sepenuhnya kelezatan juice yang kau minum. Demikian pula halnya jika engkau dapat menyingkirkan sifat-sifat buruk yang ada pada dirimu seperti kebencian, kemarahan, kecemburuan, kecongkakan, keserakahan, dan keakuan, maka engkau akan dapat merasakan manisnya belas kasihan, manisnya pengorbanan, manisnya kedermawanan, manisnya kesetiakawanan, dan manisnya cinta Tuhan.

Pertama-tama berusahalah memahami apa sebenarnya arti pengabdian sejati. Bhakti atau pengabdian artinya cinta kepada Tuhan. Bhakti terdiri dari kata Bha yang berarti Bhagawan, Tuhan, dan akti berarti anurakti 'cinta'. Jika kedua hal ini, cinta dan Tuhan digabung, engkau mendapatkan pengabdian sejati, sebagaimana makna kata bhakti. Bila engkau menanam pengabdian, engkau mengembangkan kemampuan untuk berkorban. Engkau berkembang dalam cinta kasih. Kemudian segala yang engkau butuhkan akan diberikan kepadamu. Cinta kasih adalah nafas kehidupan manusia. Tanpa kasih engkau tidak dapat hidup. Sesungguhnya, engkau memberikan cinta kasih hanya kepada sang atma, dirimu sendiri, bukan pada orang lain. Tetapi cinta suci kepada Yang Esa ini dibelokkan kepada raga. Di mana-mana di dunia ini kita temukan penyakit bawaroga, yaitu penyakit menyamakan diri dengan badan jasmani.

Sebagian besar pengalaman yang kau hadapi dalam hidup ini lebih merupakan wujud penyakit daripada wujud kebahagiaan. Misalnya penyakit kelaparan, makananlah obat penyakit itu. Bila engkau memberikan makan sebagai obat lapar maka penyakit itu akan lenyap. Engkau menganggap makan adalah suatu kenikmatan, tetapi sebenarnya adalah obat. Engkau memasak bermacam-macam makanan yang enak dan beranggapan bahwa rasanya memberi kenikmatan, tetapi itu tidak benar. Kadang-kadang obat diberikan dalam bentuk campuran yang mengandung sesuatu yang enak supaya rasanya manis. Demikian pula untuk penyakit lapar engkau mendapat campuran bermacam-macam makanan, tetapi sesungguhnya makanan apa pun juga adalah obat belaka.

Rasa haus juga penyakit. Bila engkau merasa haus engkau minum air yang dingin, maka penyakit itu sembuh. Demikian pula enam musuh manusia, nafsu amarah, iri hati, kecemburuan, egoisme, kebencian, dan keserakahan, semuanya adalah penyakit. Ada perbuatan-perbuatan yang berfungsi sebagai obat. Berpikir bahwa engkau menikmati bermacam-macam kesenangan adalah keliru, sebenarnya engkau mengidap berbagai penyakit. Sebelum engkau menyadari bahwa penghuni badan adalah Tuhan, engkau akan terus menderita penyakit-penyakit ini dan merana.

Segala kegiatan rohani (seperti menyanyikan bhajan dan melakukan japa) dapat dilakukan hanya dengan bantuan badan. Semua pendidikan yang telah kau peroleh, kau dapatkan dengan bantuan badan. Sifat-sifat Tuhan yang agung dan luar biasa kau pelajari melalui jasa badan. Dengan menjadikan badan sebagai dasar, engkau harus berusaha melihat Tuhan di dalamnya. Jangan terus beranggapan bahwa Tuhan ada di alam yang lain. Ia ada dalam badan kita sendiri. Dosa tidak berada di suatu alam yang jauh, hal itu tergantung pada perbuatan yang kau lakukan dengan badanmu. Baik kebajikan maupun kebatilan merupakan hasil perbuatan yang kau lakukan dengan bantuan badan. Engkau harus mencari terus menerus, berusahalah sungguh-sungguh, menemukan Tuhan dalam badanmu sendiri.

Kata orang, "Carilah, carilah dan hal itu akan kau temukan." Jika engkau mencari Dia dalam badanmu dengan kesungguhan hati, engkau pasti akan menemukan-Nya. Jika engkau mencari sesuatu dalam ruangan yang penuh barang, hanya dengan kesungguhan engkau akan dapat menemukan barang yang kau cari. Tanpa berusaha mencari barang itu tidak akan pernah kau temukan. Hanya bila engkau mengetuk pintu, pemilik rumah akan membukanya. Ibumu pun baru akan menghidangkan makan kalau engkau minta. Karena itu, engkau harus meminta dan terus meminta, ketuk pintu dan ketuklah terus, kejar dan kejar terus, cari dan carilah terus.

Barangkali engkau merasa telah lama mengetuk pintu tetapi tidak ada yang membukanya. Lihatlah apakah pintu itu benar yang kau maksudkan? Apakah engkau mengetuk pintu kebebasan atau pintu keterikatan? Apakah engkau mengetuk pintu kediaman Tuhan atau pintu tempat setan? Siapakah yang kau datangi? Kepada siapakah engkau berlindung? Apakah engkau minta kepada Yang Maha Pemurah dan Maha Pengampun yang datang dalam wujud manusia dan memberikan hidupnya sebagai contoh panutan? Apakah engkau minta kepada ibu alam semesta? Apakah engkau minta makanan dari Dia ataukah engkau minta makanan dari setan?

Barangkali engkau memandang Tuhan, tetapi engkau tidak memohon ketuhanan itu sendiri. Tentu engkau memanjatkan doa kepada Tuhan, tetapi yang kau mohon adalah barang-barang yang sepele dan hal yang bersifat duniawi. Engkau menghadapi pohon yang mengabulkan segala keinginan dan engkau hanya minta bubuk kopi yang tidak berarti. Engkau harus memohon pohon itu agar menganugerahi engkau prinsip adikodrati yang akan memenuhi dirimu dengan kebahagiaan abadi selama-lamanya.

Engkau harus senantiasa menambah dan meningkatkan bhaktimu dengan keyakinan bahwa Tuhan ada dalam badanmu sendiri. Jika engkau ingin mencari dan menemui Tuhan yang ada dalam dirimu, engkau harus mengarahkan pandanganmu ke dalam batin. Bagaimana engkau harus merindukan Tuhan? Engkau harus menangis seperti anak sapi memanggili induknya yang telah meninggalkannya bersama kawanan sapi lain. Engkau harus meratap seperti wanita setia yang kehilangan suami dan menangis sedih karena berpisah. Engkau harus menjerit memohon kepada Tuhan seperti suami istri yang tidak punya anak memohon dengan sangat agar dikaruniai anak. Begitulah sebaiknya engkau berdoa kepada Tuhan, penuh kasih serta pengabdian dan rindu ingin menghayati keberadaan-Nya dalam dirimu.

Tetapi sekarang kebanyakan doamu penuh dengan kata-kata yang muluk tanpa perasaan. Dalam benakmu ada sesuatu dan pada bibirmu ada sesuatu yang lain. Hanya bila engkau menyelaraskan gagasan dalam pikiranmu dengan perkataanmu, maka perkataanmu akan menjadi doa dan membawa hasil. Dan hanya bila engkau menerapkan doa itu dalam pengamalan nyata, ia akan menjadi ibadah. Bila engkau mencapai satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan, maka engkau menjadi seorang mahatma, 'jiwa yang agung'.

Engkau harus mawas diri apakah engkau mengikuti jalan satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan ini. Jika engkau memeriksa dirimu sendiri dengan jujur, engkau akan mengakui bahwa hampir selalu ketiga unsur itu mengikuti arah yang berbeda, tidak ada kesatuan. Kalau pikiran lain, kata-kata lain, dan perbuatan lain pula, maka engkau memiliki sifat-sifat orang jahat atau duratma, bukan sifat-sifat seorang mahatma. Ketidakserasian seperti itu akan merugikan engkau dan menjauhkan engkau dari Tuhan.

Apa pun juga pikiranmu, hal itu akan menimbulkan hasil yang setimpal. Besar kecilnya kue tergantung pada banyak sedikitnya tepung. Rasa yang tertinggal di mulut tergantung pada hidangan yang baru saja engkau makan. Begitu pula apa yang kau rasakan dalam hati akan tercermin pada caramu berbicara dan berperilaku. Pertama kali engkau harus berusaha menyucikan perasaanmu. Engkau harus menyucikan cinta kasihmu. Untuk melakukan itu engkau harus mengembangkan kshama 'kesabaran', yaitu ketawakalan dan pengendalian diri dalam segala situasi, sehingga memberikan kebaikan bagi semua bahkan pada mereka yang mungkin ingin mencelakakan dirimu. Tidak ada yang lebih tinggi daripada sifat kesabaran ini. Kesabaran sama dengan kebenaran, kesabaran adalah inti kebajikan, kesabaran adalah sari pati Weda, kesabaran adalah tanpa kekerasan yang diamalkan, kesabaran adalah kepuasan batin, kesabaran adalah belas kasihan, sesungguhnya kesabaran adalah segala-galanya. Hanya bila engkau membina kesabaran dan ketawakalan engkau akan dapat mencapai Tuhan.


note: ntar lanjut lagi...... :)
 
PERCAKAPAN 6

TIGA TAHAP JALAN SPIRITUAL


Oh Arjuna! Hanya melalui pengabdian sepenuh hati, engkau dapat memahami Aku, engkau dapat melihat Aku yang sesungguhnya, dan engkau dapat masuk ke dalam Aku serta manunggal dengan Aku."

Dengan berbagai cara, Tuhan telah mengajarkan dalam Gita tentang tiga tahap yang penting pada jalan spiritual. Pada akhir bab ke-11, ketika Krishna memberikan penampakan wujud kosmis-Nya kepada Arjuna, engkau akan menemukan tiga kata ini: jnatum, drashtum, dan praweshtum. Jnatum artinya mengetahui bahwa Tuhan ada di sini. Drashtum artinya melihat Dia secara langsung. Dan praweshtum artinya manunggal dengan Dia. Demikianlah penjelasan tahap-tahap yang harus kau ikuti untuk mencapai tujuan. Jika engkau mencari kebebasan, engkau harus mengambil ketiga langkah ini. Dalam tahap yang pertama yaitu jnatum, engkau belajar dari kitab-kitab suci atau seorang guru bahwa Tuhan benar-benar ada. Tetapi, sekedar mengetahui kebenaran ini tidak akan memberimu kebahagiaan yang tak terbatas. Engkau menemukan bahwa Tuhan ada, tetapi juga menyadari bahwa engkau terpisah dari Tuhan. Ini merupakan dwaita atau dualisme. Dwaita dapat menjadi dasar untuk langkah-langkah berikutnya pada jalan spiritual, tetapi tidak memberikan kepuasan abadi.

Lambat laun keinginanmu meningkat untuk memperoleh darshan yaitu penghayatan dan penglihatan langsung perwujudan Tuhan. Bagaimana engkau dapat melihat Tuhan dengan cara ini? Jika engkau hanya mengharapkannya, hal ini tidak mudah terpenuhi. Engkau harus benar-benar merindukan penglihatan ini; engkau harus tak henti-hentinya berhasrat untuk melihat Tuhan. Kini engkau mesti berkeinginan melihat serta menghayati secara langsung wujud atau aspek Tuhan yang mana saja yang telah kau ketahui karena membaca atau mendengarnya. Jika kerinduanmu itu sungguh-sungguh dari hati, maka lambat laun Tuhan akan menampakkan diri-Nya secara amat pribadi kepadamu dalam perwujudan yang nyata, dan memberimu penampakan Tuhan yang kau rindukan.

Ada suatu cerita yang menggambarkan hal ini.
Ada seorang anak gembala yang miskin. Ia mempunyai iman yang besar dan berhasrat sekali melihat Tuhan. Pada suatu hari ada seorang pendharma wacana atau seorang harikathadas yang datang ke desanya untuk memberikan ceramah-ceramah spiritual. Ia mengumpulkan pendengar dan menyanyikan keagungan serta kebesaran Tuhan. Anak gembala ini tidak mungkin meninggalkan kerjanya untuk mendengarkan semua dharma wacana karena sepanjang hari ia harus menunggui ternaknya. Tetapi pada malam hari setelah mengandangkan hewannya, ia datang dan ikut menghadiri ceramah. Anak gembala itu mendengarkan dengan penuh perhatian.

Pada suatu malam pendeta itu menjelaskan ciri-ciri khas Dewa Wisnu. Dalam wacananya berulang-ulang ia menggambarkan citra Wisnu secara tradisional sebagai tokoh yang berkulit hitam, memakai tanda putih di dahinya, dan mengendarai garuda putih. Pendeta itu juga menjelaskan bahwa Wisnu selalu bersedia menyelamatkan orang yang berlindung kepada-Nya dengan penuh kepercayaan. Semua penjelasan sang pendeta mengenai sifat-sifat Tuhan menimbulkan kesan yang tak terhapuskan dalam hati anak gembala itu. Pendeta itu juga mengatakan bahwa Tuhan amat menyenangi musik, dan kasih-Nya dapat diraih dengan memanjatkan doa-doa kita kepada-Nya dalam bentuk lagu yang dinyanyikan dengan penuh hormat sebagai curahan kalbu.

Nah, anak gembala ini selalu membawa bekal makanan untuk makan siang. Setiap hari ia mempersembahkan makanan itu kepada Tuhan dengan ikhlas dan penuh bhakti dan mohon agar Tuhan menyantapnya. Ia mengawali doanya dengan nyanyian, "Oh Tuhan yang hitam, Engkau mengendarai garuda putih, demikian kata orang. Datanglah. Datanglah ke mari dan terimalah persembahanku ini." Anak itu terus memanjatkan doa seperti itu selama seminggu. Ia tidak makan karena Tuhan tidak ikut menyantapkan. Pada akhir minggu badannya menjadi sangat lemah. Di samping badannya yang lemah, ia menderita kesedihan yang mendalam karena merasa bahwa nyanyiannya kurang sempurna sehingga Tuhan tidak berkenan menjawab. Ia begitu yakin bahwa Tuhan tidak mau datang menerima persembahannya karena nyanyiannya kurang sempurna. Karena itu, dengan tekad yang teguh dan bhakti yang besar ia terus berlatih menyanyi dengan harapan pada akhirnya ia pasti akan menerima belas kasihan Tuhan.

Dalam keadaan badan yang lemah ia sampai di hutan. Ia merasa amat lelah, tetapi ia tidak mau makan sebelum persembahannya diterima oleh Tuhan. Kini ia menyanyikan lagunya dengan sangat merdu. Anak gembala ini bernyanyi terus dan memohon agar Tuhan turun menyantap makanan sebagai pemuas lapar-Nya, dan minum minuman yang dipersembahkannya sebagai pemuas dahaga. Ketika ada keselarasan yang sempurna dalam perasaan, nada, dan makna lagu, Tuhan pun datang. Bagaimanakah Tuhan menampakkan diri di depan anak itu? Ia datang sebagai seorang anak pendeta. Anak gembala bertanya kepada anak pendeta yang berdiri di depannya, "Hai kawan, siapakah engkau? Apakah engkau pelancong yang lewat hutan ini?" Anak pendeta menjawab, "Aku ini Narayana. Engkau berdoa untuk melihat Aku, maka Aku datang untuk memberimu darshan." Si anak gembala melanjutkan bertanya dalam nyanyian yang merdu karena ia ingat bahwa Tuhan menyukai suara musik yang merdu. "Tetapi Engkau tidak cocok dengan gambaran tentang Tuhan bahwa Ia hitam, memakai tanda putih pada dahi-Nya, dan mengendarai garuda putih. Pendeta mengatakan bahwa seperti itulah Tuhan, namun rupanya itu tidak benar. Oh, jika engkau adalah Tuhan, lenyapkanlah keragu-raguanku dan perlihatkanlah kepadaku wujud-Mu yang sesungguhnya."

Anak gembala ini telah mendengar gambaran tentang Tuhan; sekarang ia ingin melihat dan menghayati-Nya secara langsung, tepat seperti yang didengarnya dalam ceramah. Tetapi, Tuhan tidak memiliki wujud tertentu; Ia mempunyai seribu mata, seribu telinga, seribu tangan, dan seribu kaki. Tetapi, agar para pengabdi yang merindukan-Nya merasa senang dan puas. Ia mengambil wujud tertentu seperti yang diidam-idamkan. Inilah tahap drashtum ketika seseorang merindukan penampakan Tuhan. Jika penglihatan itu diperoleh, penampakan tersebut tetap bukan wujud Tuhan yang sesungguhnya, tetapi merupakan suatu wujud yang dipilih karena doa permohonan pengabdi. Tuhan menyenangi ketulusan dan perasaan yang benar-benar timbul dari lubuk hati dan karena itu, untuk menyenangkan hati pengabdi-Nya, ia menganugerahkan darshan dalam wujud-Nya yang paling menyenangkan hati pengabdi. Untuk memuaskan hati anak gembala ini Tuhan mengambil wujud Wisnu yang bersinar indah, dan menerima makanan serta minuman yang dipersembahkan dengan penuh cinta kasih oleh anak itu.

Setelah Tuhan pergi, anak gembala itu berpikir, "Mula-mula aku mendengar uraian tentang Dia, dan aku lalu berdoa agar dapat melihat-Nya. Ia sudah datang dan aku bisa melihat-Nya langsung. Tetapi, bagaimana aku dapat mencapai Dia dan tetap bersama Dia?" Hanya dengan mendengar seorang pengabdi tidak akan merasa puas. Ia juga tidak akan mendapat kepuasan sepenuhnya hanya dengan melihat Tuhan. Setelah melihat, ia rindu ingin manunggal sepenuhnya dengan Dia. Hanya setelah itulah pengabdi akan berada dalam kebahagiaan abadi. Dalam kisah gembala ini, Tuhan telah memberikan darshan kepada anak itu lalu menghilang. Tetapi sejak saat itu citra Tuhan seperti yang dilihat anak itu dalam wujud Wisnu, tetap terukir di hatinya. Setelah terbayang wujud yang indah itu dalam mata batinnya, sekarang ia hanya memikirkan bagaimana caranya mencapai Tuhan dan menyatu dengan-Nya. Inilah tahap praweshtum yaitu tahap ketiga.

Sama seperti yang dijelaskan dalam cerita ini baik dengan mendengarkan orang pandai maupun dengan membaca dan mempelajari kitab-kitab suci, engkau memperoleh sedikit gambaran seperti apa sebenarnya Tuhan itu. Tetapi, akhirnya engkau tidak akan merasa puas sampai di sini. Ini masih merupakan tahap dualisme belaka. Engkau harus berusaha melampaui tahap dualisme ini menuju tahap yang disebut Wishishtadwaita atau nondualisme yang terbatas. Yang dimaksud ialah kerinduan yang mendalam untuk melihat dan menghayati Tuhan. Bagaimana caranya agar mendapat penampakan-Nya? Dengan membayangkan dalam hati wujud Tuhan yang mana saja yang telah kau dengar uraiannya, kemudian memikirkan dan merenungkan wujud itu terus menerus. Apa pun yang kau kerjakan, apa pun yang kau lihat, dan apa pun juga yang kau dengarkan, engkau harus menyatu dengan citra yang tergambar di hatimu.

Wujud tertentu dari Tuhan yang telah kau dengar kemudian menjadi gambaran yang selalu terbayang dalam pikiranmu. Bayangkan wujud Tuhan itu kemudian harus kau resapi dengan rasa pengabdian sehingga menjadi terukir di hatimu. Lama kelamaan perasaan ini akan makin mendalam dan makin kuat hingga pada suatu hari engkau akan mendapat penampakan Tuhan yang sesungguhnya. Jadi, mula-mula Tuhan itu dibayangkan, kemudian dirasakan, dan akhirnya dihayati secara langsung. Dengan kata lain wujud pikiran berubah menjadi wujud rasa, yang lalu berubah menjadi pengalaman nyata. Itulah tahap drashtum, yaitu tahap yang kedua pada jalan spiritual. Egkau tidak hanya akan mendapat darshan Tuhan yang telah lama kau rindukan secara pribadi, tetapi engkau juga akan mendapat kesempatan bertatap muka dan berbicara dengan Dia.

Setelah melihat Tuhan demikian dan berbicara dengan Dia secara langsung, engkau akan merasa agak puas. Tetapi jika engkau adalah pengabdi yang sejati, kesempatan emas ini pun belum memberimu kepuasan sepenuhnya. Selanjutnya engkau ingin mencapai Tuhan dan manunggal dengan Dia. Engkau berpikir, "Aku telah mendengar, jnatum, aku telah melihat, drashtum." Perasaan, "aku adalah bagian dari Tuhan," telah terwujudkan dengan melihat Dia. Sebelumnya, pada tahap jnatum, ketika melalui membaca dan mendengar, engkau bisa mengetahui adanya Tuhan, engkau merasa bahwa Tuhan terpisah dengan engkau. Tetapi dalam tahap drashtum, engkau melihat Tuhan dan merasakan bahwa engkau adalah bagian dari Dia. Itulah tahap wishishtadwaita. Tetapi selanjutnya engkau meningkat kepada rasa bahwa "Tuhan dan aku adalah satu, tidak terpisah"; inilah tahap adwaita 'nondualisme yang sempurna'. Pada tahap ini engkau merasa, "Atau aku harus manunggal dengan Dia, atau Dia harus menyatu dengan aku. Kemudian akan terjadilah persatuan yang sempurna."

Selama masih ada sungai yang terpisah jauh dari samudra yang merupakan sumber dan tujuannya, maka sungai itu tetap memakai nama sendiri dan mempunyai identitas sendiri. Tetapi setelah sungai itu menyatu dengan laut, ia mempunyai rasa seperti air laut, mempunyai bentuk seperti samudra, dan memakai nama samudra itu. Bila engkau ingin menyatu dengan Tuhan, engkau harus mempunyai perasaan Tuhan, engkau harus memperoleh wujud Tuhan engkau mempunyai semua sifat Tuhan itu sendiri. Dalam keadaan seperti itu barulah engkau dapat menyatu dengan Tuhan.

Engkau harus merasa bahwa semua sifat Tuhan terwujud dalam dirimu. "Kelapangan hati Tuhan harus menjadi bagian dari diriku. Sifat tidak mementingkan diri sendiri yang merupakan ciri khas Tuhan harus menjadi bagian dari diriku. Cinta kasih Tuhan yang tidak terbatas harus menjadi bagian dari diriku." Jika engkau memiliki perasaan ini maka engkau mencapai tahap "aku dan Dia satu", dan terjadilah kemanunggalan yang sempurna. Engkau harus tak putus-putusnya berusaha mencapai perasaan ini; kerahkan segenap tenagamu untuk mencapainya. Kemudian pada suatu hari engkau akan mencapai tujuan itu. Inilah tujuan akhir umat manusia.

Makhluk hidup mencapai pemenuhan atau tujuan akhir, hanya bila ia mencapai tempat asal kedatangannya. Bahkan dalam kehidupan duniawi pun engkau dapat melihat usaha yang merupakan langkah tahap demi tahap untuk mencapai suatu tujuan. Ambillah contoh berikut. Misalnya sejumlah mangga telah sampai ke pasar dan mangga itu kebetulan buah yang sangat kau sukai. Mungkin ada jenis mangga tertentu yang merupakan kegemaranmu. Temanmu datang dan memberitahukan kepadamu bahwa ada orang di pasar menjual mangga tersebut. Saat engkau mendengar berita ini, engkau mendapat suatu kepuasan; engkau gembira membayangkan mangga itu, walaupun belum mendapat buahnya dan belum merasakannya.

Saat engkau mendapat berita itu engkau bergegas ke pasar untuk mencari mangga itu dan apakah masih ada yang belum terjual. Ya, benar masih ada. Selanjutnya engkau melihat-lihat mangga itu. Ini memberikan lagi suatu kepuasan, namun engkau belum puas betul. Kemudian engkau menaruh mangga pilihanmu dalam tas dan membayarnya. Dalam perjalanan pulang engkau terus membayangkan mangga itu merasa mujur mendapatkan mangga lezat seperti itu dan ingin sekali merasakannya. Mengapa engkau begitu lama membayangkan buah itu? Karena engkau luar biasa menyukai buah itu dan tingkah lakumu untuk mencari dan mendapatkannya membuktikan betapa cintamu kepada buah itu.

Engkau akan merasa sangat gembira bila suatu perasaan yang telah lama kau rasakan menggebu dalam hatimu, lalu mewujud dan dapat kau lihat dengan mata jasmanimu. Sebenarnya apa pun yang engkau lihat di luar, selalu hanya merupakan pantulan pikiranmu. Bila engkau mempunyai suatu keinginan, harapan hati yang sangat kuat itu akan kau wujudkan secara nyata. Maka mangga tadi engkau bawa pulang, engkau cuci bersih-bersih, dan kau kupas. Kemudian engkau mulai makan mangga itu dan menikmati kelezatannya dengan sangat gembira. Sekarang juice mangga yang lezat itu bukan lagi sesuatu yang ada di luar dirimu, melainkan telah menjadi bagian dirimu. Dengan demikian engkau memperoleh kesenangan yang besar sekali dan engkau mengalami kebahagiaan yang tak terhingga.


lanjut,.......
 
Lanjutan,.......

Apakah alasan kegembiraan yang demikian besar? Coba kita buat urutan prosesnya. Mula-mula engkau tahu bahwa buah yang kau sukai dapat dibeli di pasar. Itu disebut jnatum yaitu mengetahui. Setelah mendengar berita itu engkau tidak berkecil hati melainkan timbul keinginan yang besar untuk memperoleh buah itu dan menikmatinya. Kemudian pergi ke pasar dengan keinginan yang menggebu-gebu untuk melihat buah itu di sana. Akhirnya engkau menemukannya dan memandangi buah itu. Tahap melihat ini disebut drashtum. Setelah melihat, engkau membeli dan memakannya. Tahap ini disebut praweshtum, masuk dan menjadi satu dengan benda yang kau inginkan.

Apakah engkau mempunyai perasaan sekuat itu terhadap Tuhan? Kerinduan seperti itulah yang harus kau kembangkan. Setelah mendengarkan serangkaian dharma wacana, setelah membaca banyak kitab suci, dan setelah mengetahui bahwa Tuhan ada, engkau harus rindu sekali ingin melihat-Nya; jika tidak demikian segala usahamu akan sia-sia. Engkau harus berusaha sekuat tenaga untuk mendapat penampakan Tuhan secara langsung.
Di sini ada sejumlah siswa dan guru. Seorang siswa yang telah memasuki tingkat pertama tidak akan merasa puas bila tetap berada di tingkat itu. Ia ingin maju ke tingkat yang lebih tinggi. Jika seorang siswa tidak naik kelas, ia akan merasa putus asa dan sedih. Ia akan merasa sangat kecewa dan teman-temannya pun akan mengolok-oloknya. Demikian pula jika pengabdianmu tetap berada pada tahap pertama yaitu tahap dwaita, tanpa ada pengikatan spiritual, engkau akan dianggap rendah oleh sesama pengabdi. Mereka akan berkata, "Lihat kawan kita ini. Ia telah mengikuti ceramah kerohanian begitu lama dan telah membaca semua kitab suci, tetapi apa hasilnya? Ia tidak menunjukkan kemajuan."

Keadaan yang tidak menguntungkan ini, yang tetap saja berada pada tahap pertama, tidak beranjak maju, merupakan ciri khas tamo guna, yaitu sifat yang lembam atau malas. engkau harus menyingkirkan sifat tamas ini dan maju dari tahap dwaita ke tahap berikutnya, yaitu wishishtadwaita. Melalui kontemplasi pada Tuhan yang dilakukan dengan tiada putusnya, engkau harus berusaha mendapat penampakan Tuhan secara langsung dalam wujud yang engkau pilih. Dengan keinginan keras engkau akan mendapatkan kesempatan yang sangat kau dambakan untuk melihat Tuhan dan berbicara dengan Dia, bertatap muka, dan mengabdi kepada-Nya dengan berbagai cara.

Namun demikian engkau belum boleh merasa puas. Engkau harus berjuang agar dapat mencapai tahap selanjutnya. Jangan berhenti, jangan merasa senang atau merasa puas sebelum engkau mencapai tahap akhir, yaitu adwaita, kemanunggalan yang sempurna dengan Dia dan kesadaran akan keEsaan Tuhan. Sekarang ini engkau hanya menginginkan ketenangan jasmani dan berusaha memperoleh kedamaian hati ala kadarnya. Ini kurang bermanfaat. Engkau harus mencapai kedamaian atma yang kekal. Bila engkau menyatu dengan-Nya, engkau adalah kedamaian itu sendiri. Atma adalah perwujudan perdamaian yang abadi. Jiwatman 'sang pribadi' harus menyatu dengan Paramatma "Tuhan yang universal', dengan demikian perjalanan yang panjang akhirnya terselesaikan dan kebahagiaan abadi terwujudkan.

Sebuah sungai berasal dari samudra dan kembali ke samudra. Tetapi bagaimana terjadinya sungai itu? Mula-mula air laut menjadi awan. Setelah air itu berubah menjadi awan terjadilah pemisahan dan dualisme. Awan sendiri, laut pun sendiri. Air laut asin, setelah menjadi awan ia manis. Kemudian awan turun menjadi hujan; engkau dapat menyebutnya hujan cinta karena hujan ini menjadi sungai dan dengan penuh semangat mengalir untuk bersatu kembali dengan samudra. Proses ini dapat dibandingkan dengan tahap wishishtadwaita atau tahap drashtum; di sini timbul kesedihan yang mendalam dan kerinduan yang meluap-luap untuk makin mendekati tujuan akhir. Bila engkau berada pada tahap ini, engkau rindu sekali ingin kembali ke kampung halaman yang telah terpisah dari engkau. Air yang ada di sungai terdorong untuk bersatu kembali dengan laut yang merupakan tempat asalnya. Akhirnya ia mencapai tujuan. Tahap ini disebut adwaita atau praweshtum.

Engkau lahir sebagai manusia dan engkau telah melewatkan sebagian masa hidupmu sebagai manusia biasa. Namun engkau telah memilih untuk menempuh jalan hidup spiritual. Engkau mencari teman yang baik, satsang. Engkau mendengarkan cerita-cerita kitab suci yang memaparkan sifat-sifat suci Tuhan. Tetapi sekarang engkau merasa bahwa semua ini belum cukup. Engkau rindu ingin memperoleh penampakan Tuhan secara langsung. Itu pun belum dapat memuaskan engkau. Hanya dengan mendapat kesempatan melihat dan berbicara dengan Tuhan engkau belum merasa mendapat kebahagiaan yang abadi. Namun bila akhirnya engkau mengalami kemanunggalan sempurna dengan Dia, maka apa yang kau inginkan terkabul sepenuhnya karena engkau menyatu dengan kedamaian dan kebahagiaan abadi, yaitu Tuhan sendiri. Inilah ajaran yang diberikan oleh Krishna kepada Arjuna dalam medan pertempuran Dharmakshetra.

Dalam Gita, Krishna menggunakan beberapa nama untuk Arjuna. Dhananjaya adalah nama yang terakhir diberikan kepadanya. Dalam kehidupan duniawi beberapa gelar dan nama dapat diberikan kepada seseorang. Dalam Gita, Tuhan sendiri dalam wujud Krishna yang memberikan nama yang berbeda-beda kepada Arjuna. Krishna berkata kepada Arjuna, "Oh Arjuna, engkau bukan putra kematian. Engkau adalah ketuhanan itu sendiri. Engkau adalah putra kekekalan." Dalam hidupnya Arjuna mengalami berbagai percobaan yang berat yang dihadapinya dengan gagah berani; untuk itu ia diberi beberapa gelar. Untuk mendapat senjata Gandhiwanya yang ampuh, ia melakukan tapa brata yang ketat dan menghadapi masalah-masalah yang berat; tetapi semua itu dijalaninya dengan ketakwaan, keberanian, dan keyakinan. Ketetapan hatinya dalam menghadapi segala hambatan akhirnya membuahkan ganjaran berupa senjata suci yang diberikan oleh Dewa Shiwa. Dalam proses meraih senjata yang bertuah itu ia pun harus menghadapi tantangan unsur-unsur alam, namun tak ada yang dapat menghambat tekadnya yang teguh untuk mencapai tujuan. Karena ia mampu meraih Dhanu atau busur sakti itu, maka Tuhan memberinya gelar Dhananjaya.

Tetapi dari segi keduniawian ia juga dapat dinamakan Dhananjaya yang artinya orang yang berhasil memperoleh harta benda. Ada suatu cerita mengenai hal ini. Dharmaraja, anak tertua dalam keluarga Pandawa, sebagai raja ingin menyelenggarakan Rajasuya Yaga yaitu suatu upacara pengorbanan agung yang diselenggarakan oleh Adiraja. Pada waktu itu Pandawa dimusuhi oleh Kurawa, putra-putra Dhritarasthra. Di samping itu perbendaharaan Pandawa kosong, mereka tidak mempunyai uang. Dalam kesulitan seperti itu hampir tidak mungkin melangsungkan yaga sehebat itu. Namun, Dharmaraja tetap berkeras hati untuk menyelenggarakannya. Ia berkata kepada Arjuna, "Adikku Arjuna, yaga ini akan memerlukan biaya yang sangat besar. Kita membutuhkan dana yang sangat banyak. Dari mana kita akan memperoleh uang itu?" Arjuna menjawab, "Kakak Dharmaraja, mengapa cemas mengenai uang, bukankah kita mempunyai pohon yang mengabulkan segala keinginan, dalam wujud Krishna? Mengapa kita takut? Kalau Krishna merestui kita, kita akan dapat memperoleh uang, berapa pun juga banyaknya."

Arjuna pergi menemui para raja yang memerintah kawasan sekitarnya untuk memberitahu mereka tentang niat Dharmaraja mengadakan upacara pengorbanan agung itu. Setelah para raja tersebut mendengar hal itu mereka siap membantu Dharmaraja dengan harta mereka, maka Arjuna kembali dengan membawa harta benda tak ternilai jumlahnya sehingga membutuhkan berpuluh-puluh gajah untuk mengangkutnya. Emas, perak, dan permata bertumpuk-tumpuk. Krishna yang telah menciptakan keadaan ini datang dan berbuat seolah-olah Ia tidak tahu apa-apa. Ia bertanya kepada Dharmaraja, "Dari mana engkau mendapatkan harta sebanyak ini? Dari mana saja semua ini? Karena tidak tahu, Dharmaraja menjawab, "Berkat usaha Arjuna saya memperoleh semua ini."

Sejak itu Krishna memanggil Arjuna dengan nama Dhananjaya. Dengan demikian Ia menyembunyikan peranan-Nya sendiri dan mengumumkan kepada dunia bahwa Arjunalah yang berhasil mengumpulkan harta sebanyak itu. Ada beberapa nama lain yang diberikan kepada Arjuna, misalnya Partha 'putra bumi'. Nama-nama ini bukan untuk Arjuna saja. Bila engkau mendengar nama-nama ini engkau dapat menggunakannya untuk dirimu sendiri; setiap nama mengandung arti yang dalam dan menunjukkan betapa besar rahmat Tuhan kepada para pengabdi-Nya. Jadikanlah nama itu bagian dari dirimu; hayatilah dan wujudkanlah artinya dengan menerapkannya dalam kehidupanmu sehari-hari.
Sekarang karena hal-hal yang sepele engkau marah dan tegang. Sifat ini sangat berbahaya; kemarahan dapat menghancurkan hidupmu. Bila engkau marah, engkau tidak dapat mencapai apa pun juga yang berarti. Engkau dianggap memuakkan dan dicemoohkan. Engkau akan kehilangan harta kekayaanmu. Semua kehormatan yang telah kau nikmati akan hancur menjadi abu. Kemarahanmu bahkan dapat memisahkan engkau dari orang-orang yang dekat denganmu. Karena marah engkau kehilangan segala sesuatu dan hidupmu sendiri tersia-siakan. Karena itu, dalam Bhagawad Gita, Krishna mengajarkan cinta kasih dan pentingnya meningkatkan cinta kasih itu untuk melawan kebencian, kecemburuan, kemarahan, dan semua sifat buruk lain yang sangat membahayakan dirimu.

Cinta kasih tidak mengenal kebencian.
Cinta kasih tidak mementingkan diri sendiri.
Cinta kasih jauh dari kemarahan.
Cinta kasih tidak pernah mengambil; Ia selalu memberi.
Cinta kasih adalah Tuhan.

Jika engkau ingin dekat Tuhan, engkau harus mengembangkan sifat suci cinta kasih ini. Hanya dengan cinta kasih engkau akan dapat menghayati Tuhan, karena Dia adalah cinta kasih itu sendiri.

Jika engkau ingin melihat bulan tidak perlu memakai lilin atau obor. Cahaya bulan itu sendiri sudah cukup untuk melihat bulan. Jika engkau ingin melihat Tuhan, engkau hanya perlu membenamkan dirimu dalam cinta kasih. Penuhilah dirimu dengan kasih, engkau pasti akan mencapai Tuhan. Tetapi selama cinta kasih ini belum benar-benar mantap dalam dirimu engkau masih memerlukan kegiatan rohani seperti bhajan, japa, dan bentuk pemujaan lainnya. Jika kasih itu telah berkembang, upacara-upacara tersebut tidak perlu lagi. Meskipun bulan bersinar terang engkau tidak akan dapat melihatnya jika matamu terpejam. Begitu pula bila matamu masih terpejam dan belum melihat kehadiran Tuhan yang penuh kasih dalam dirimu, maka perbuatan baik, termasuk kegiatan-kegiatan rohani akan membantu membuka matamu dan memperjelas pandangan sehingga engkau dapat melihat Tuhan dan menikmati kasih-Nya. Inilah makna ajaran Krishna dalam Bhagawad Gita.

Bila engkau mendengarkan kata-kata yang mulia itu dan betul-betul memahaminya serta mengamalkannya, engkau akan dapat mencapai tujuanmu yang suci. Swami telah memberikan kesempatan ini sehingga sekurang-kurangnya satu jam setiap hari engkau dapat menggunakan waktumu dengan bijaksana dan memperoleh manfaat dari ajaran yang suci ini.


note: ntar sambung lagi, udah capek....... :D
 
PERCAKAPAN 7

PENGENDALIAN LIDAH DALAM MAKAN DAN BICARA


Pintu utama menuju yoga 'persatuan dengan Tuhan' adalah pengendalian lidah; pengendalian ini meliputi bidang cita rasa dan ucapan. Gita telah menyatakan bahwa tanpa pengendalian lidah, sangat sulit untuk mengikuti jalan pengabdian dan masuk ke mahligai yoga yang menuju Tuhan.

Seperti halnya kebanyakan hewan dan burung, manusia mempunyai panca indera; kelima alat indera ini harus digunakan dengan sangat hati-hati karena harus diperhatikan kemampuan dan keterbatasannya. Engkau harus mengendalikan panca indera sebagaimana engkau mengendalikan tenaga dahsyat dan alat-alat yang digunakan sehari-hari. Umpama, bila digunakan dengan benar dan hati-hati, api akan sangat berguna bagimu, tetapi bila tanpa kendali ia akan amat berbahaya. Contoh lain misalnya listrik atau pisau; jika engkau tahu menggunakannya dengan tepat, ia akan bermanfaat; sebaliknya, ia juga dapat sangat berbahaya. Semua itu tergantung pada kehati-hatian dan ketepatan caramu menggunakannya. Wedanta telah menandaskan perlunya mengetahui penggunaan kelima indera itu secara benar dan bagaimana menerapkan pengertian tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Setiap alat indera yang dimiliki manusia mempunyai satu kegunaan khusus, tetapi lidah diberi kemampuan ganda yaitu kemampuan bicara dan kemampuan cita rasa. Dalam Gita Tuhan memperingatkan agar engkau sangat berhati-hati menggunakan lidah; Ia memuji pengabdi yang mampu mengendalikan lidahnya dengan sempurna, karena orang semacam itu akan segera memperoleh hati yang mantap, bersih, dan tabah, serta senantiasa merasakan kehadiran Tuhan. Untuk memperoleh kemampuan pengendalian itu, pengabdi melakukan latihan-latihan khusus seperti misalnya bersikap hening tanpa bicara, mengatur makanan, atau berpuasa penuh.

Puasa dapat memajukan kesehatan jasmani, dan dalam alam jiwa ia dapat memberikan kegembiraan serta kebahagiaan. Makan yang berlebih-lebihan dan tanpa aturan sangat membahayakan pengabdi. Demikian pula memuaskan diri dengan berbagai makanan yang enak-enak akan membuat pengabdi menjadi tumpul, lamban, dan malas karena meningkatnya tamo guna 'sifat tamas' Sungguh bodoh bila mengira bahwa engkau dapat terus makan-makan enak, menikmati hidangan yang lezat-lezat dan sementara itu juga berusaha menyenangkan dan mendekati Tuhan. Kedua hal ini, mengumbar nafsu makan dan dekat dengan Tuhan, tidak cocok satu sama lain. Karena itu, sejak awal engkau harus berusaha mengendalikan lidah. Bila engkau mampu mengendalikan lidah, indera yang lain dengan sendirinya akan terkendalikan juga.

Dewasa ini para pengabdi telah mengikuti berbagai aturan dan ketentuan untuk mendisiplinkan kehidupan spiritualnya, tetapi sayang hal ini tidak cukup ampuh untuk mengendalikan lidah. Sebenarnya tidak perlu bersusah payah untuk mengendalikan panca indera itu; kalau lidah sudah dapat dikendalikan dengan baik yang lain akan ikut dengan sendirinya. Karena orang belum mampu mengendalikan lidahnya, ia selalu ragu-ragu, mengalami kekacauan pikiran, pertentangan batin, dan kebingungan. Pengendalian lidah bukan hanya menyangkut makanan, tetapi juga bicara. Engkau harus menyadari bahwa tidak ada yang lebih hebat daripada kemampuan kata-kata. Karena itu engkau harus betul-betul mengendalikan pembicaraanmu secara ketat.

Dalam kehidupan sehari-hari engkau mengetahui bahwa kita harus berkorban untuk mendapatkan barang sekecil apa pun. Kita tidak dapat memperoleh barang tanpa membayar. Bahkan sering orang rela mengorbankan jiwanya untuk memperoleh suatu barang kecil yang tidak berarti. Namun, hal yang sangat penting yang mencakup semua hal lainnya dan merupakan dasar segala yang berguna, tidak diusahakan. Harta yang paling mulia itu adalah atma. Hanya bila engkau mengorbankan sesuatu, engkau akan mendapatkan yang lain sebagai gantinya. Tidakkah engkau rela mengorbankan segala-galanya untuk mencapai atma?

Jika engkau ingin membeli sayuran di pasar, engkau harus memberikan uangmu. Tanpa membayar atau mengorbankan uangmu, engkau tidak akan memperoleh sayuran tersebut. Dengan mengorbankan sesuatu engkau akan mendapat yang lain. Demikian pula jika ingin mendapat kebajikan, engkau harus membuang sifat-sifat yang tidak baik. Hanya dengan mengorbankan keinginan dan perasaan tidak senang engkau akan mendapat keseimbangan pikiran. Hanya dengan mengorbankan sifat-sifat burukmu engkau akan mendapat sifat-sifat yang mulia; hanya dengan membuang pikiran-pikiran jahat, kebiasaan buruk, dan perbuatan yang tercela, engkau akan mendapat pikiran yang baik, kebiasaan yang baik, dan perbuatan yang baik.

Banyak orang yang arif bijaksana telah mengajarkan bahwa lidah selalu ingin menikmati makanan yang enak-enak, dan bila kita mampu mengendalikan lidah, segala sesuatu akan berjalan dengan mudah. Kata lain yang digunakan untuk pengendalian ini adalah diam. Diam tidak hanya berkenaan dengan pengendalian lidah. Bukan hanya tidak bicara, tetapi juga mengheningkan pikiran. Engkau harus bebas dari segala pikiran. itulah yang disebut keheningan sejati.

Jika engkau ingin mengatur makanan yang akan kau makan, engkau tidak boleh terus menuruti kehendak lidah. Engkau harus mengembangkan buddhi yoga, artinya mengembangkan kemampuan pikiran untuk membeda-bedakan. Engkau harus menggunakan kemampuan itu untuk terus menerus mencari yang kekal dan membedakannya dari yang tidak kekal, membedakan yang mempunyai perasaan dengan yang tidak mempunyai perasaan; itulah yang dinamakan buddhi yoga 'yoga akal budi'. Engkau harus menyelidiki dan mengetahui apakah makanan yang kau makan mengandung sifat satwa, rajas, atau tamas. Apakah makanan itu mempunyai standar kemurnian yang tinggi? Bila engkau mampu menimbang-nimbang seperti ini dan makan dengan bijaksana, engkau tidak akan terpengaruh oleh celaan atau pujian, engkau akan selalu berada dalam keseimbangan batin.

Namun, bila engkau makan secara sembarangan, tanpa memikirkan apakah makanan itu layak atau tidak, semata-mata untuk memuaskan rasa lapar dan menuruti cita rasa, engkau tidak akan mampu menguasai keterikatan serta keinginanmu. Engkau akan tak berdaya apa-apa. Jika orang mencerca engkau, mengkritik, atau menyalahkan engkau, engkau akan merasa kecil dan beranggapan bahwa seluruh dunia membencimu. Kebahagiaanmu lenyap seketika bila engkau dicela orang; engkau akan merasa sedih dan merasa bahwa hidupmu tidak berarti. Sebaliknya jika engkau dipuji dan dihargai, engkau akan membusungkan dada dan merasa bangga; maka sungguh sulit untuk menguasai perasaanmu. Apakah yang menyebabkan ketidakseimbangan ini? Sebab utama yang paling penting dari kelemahan semacam ini adalah jenis makanan yang kau makan.

Gita menandaskan perlunya bersikap sangat hati-hati bila memilih makanan yang engkau makan. Engkau harus selalu ingat pentingnya makanan yang satwa untuk membantu menjaga keseimbangan batin dalam segala situasi sehingga engkau tidak berbesar hati bila dipuji atau berkecil hati jika dicela. Juga dijelaskan dalam Gita bahwa periuk dan alat-alat masak lainnya harus murni, demikian pula proses memasaknya harus murni. Periuk belanga yang digunakan harus betul-betul bersih. Kemurnian tidak banyak berarti kebersihan fisik, tetapi juga cara perolehan peralatan dan bahan-bahan makanan itu. Engkau harus melihat apakah alat-alat itu diperoleh dengan cara yang halal dan dengan bekerja jujur, ataukah perolehan barang itu melalui cara yang tidak terpuji. Barang-barang yang diperoleh dengan cara yang tidak halal dan digunakan untuk memasak tidak hanya akan melahirkan pikiran-pikiran yang buruk, tetapi juga akan menggiring engkau ke jalan yang salah.

Langkah berikutnya ialah memperhatikan kemurnian proses memasak itu sendiri dengan memastikan pikiran dan perasaan orang yang memasak. Tiga hal yang telah disebut itu harus diperhatikan sebaik-baiknya dan diawasi. Pada umumnya orang hanya memperhatikan kebersihan periuk dan alat-alat masak, tetapi dua lainnya tidak yaitu kebersihan atau kesucian tukang masak dan kebersihan makanan itu sendiri. Engkau tidak mengetahui perasaan dan pikiran tukang masak, dan engkau juga tidak mengetahui apakah pedagang-pedagang memperoleh barang dagangannya yang kau beli di pasar dengan cara halal atau tidak.

Karena itu, sebelum engkau makan, engkau harus berdoa dan mempersembahkan seluruh makanan kepada Tuhan agar dibersihkan dan disucikan. Doa sebelum makan ini bukan untuk kepentingan Tuhan, melainkan untuk kebaikanmu sendiri, dengan memohon rahmat Tuhan, makananmu akan tersucikan. Doa yang dapat diucapkan sebelum makan adalah bait ke-24 dalam bab ke-4 kitab Bhagawad Gita dan baik ke-14, yaitu sebagai berikut:
Brahmaarpanam, Brahma Havir,
Brahmaagnau Brahmanaa Hutam,
Brahmaiva Tena Gantavyam,
Brahma Karma Samaadhinaha.
arti:
Upacara persembahan adalah Brahman,
Persembahan itu sendiri adalah Brahman,
Dipersembahkan oleh Brahman dalam api suci yang juga Brahman.
Hanya dialah mencapai Brahman yang dalam seluruh kegiatannya khusyuk sepenuhnya dalam Brahman.
Aham Vaishvaanaro Bhutvaa,
Praaninaam Dehamaashritaha,
Praanaapaana Samaa Yuktaha,
Pachaamy Annam Chatur Vidham.
arti:
Aku adalah Waishwaanaro, kemampuan yang memenuhi alam semesta yang berada dalam badan segala makhluk hidup.
Menyatu dengan nafas yang masuk dan keluar,
Aku mencerna segala macam (empat jenis) makanan.
Sebelum doa ini diucapkan, makanan hanya berupa makanan belaka, tetapi setelah kau persembahkan kepada Tuhan, ia menjadi prasadaam 'makanan suci'. Doa itu menghapuskan segala cacat cela pada periuk dan bahan makanan, serta menghilangkan pengaruh negatif apa pun yang terserap masuk ke dalam makanan dalam proses pengolahannya.

Menurut Bhagawad Gita, mengendalikan lidah dengan makan makanan yang satwik secara terbatas, sangat penting bagi seorang pengabdi. Aspek kemampuan lidah yang kedua adalah bicara. Seperti telah dijelaskan, perkataan mempunyai pengaruh yang kuat pada pikiran dan seluruh proses mental. Pengaruhnya sangat hebat. Ia bisa memotong pikiran. Ia bisa menghancurkan hatimu bahkan dapat membunuhmu. Tetapi ia juga dapat memberikan kehidupan, semangat, dan membantu engkau mencapai tujuan. Dua akibat yang bertentangan itu ditimbulkan oleh kata-kata yang kau ucapkan.

Dengan menggunakan kata-kata yang tepat, engkau dapat mengubah seluruh pikiran seseorang. Sayang, banyak cendekiawan tidak mempercayai hal ini. Mereka beranggapan, "Mana bisa mengubah pikiran orang hanya dengan perkataan? Apakah telah diadakan percobaan untuk membuktikan adanya kemampuan dalam kata-kata itu? Perkataan tidak lain hanyalah kumpulan bunyi yang terdengar oleh telinga. Namun pikiran adalah hal yang sangat halus. Bagaimana mungkin pikiran yang halus seperti itu dipengaruhi oleh bunyi? Hal itu tidak mungkin." Karena itu mereka berpendapat bahwa pikiran tidak mungkin dapat diubah dengan perkataan.

Dengarkanlah cerita ini:
Ada seorang pejabat Indian Administrative Service (IAS) yang juga berpendapat seperti cendekiawan itu. Ia kebetulan menjabat sebagai sekretaris Pendidikan di suatu daerah. Pada suatu hari ia mengunjungi sebuah sekolah dan melihat suatu kelas pada saat seorang guru sedang mengajarkan Weda kepada sekelompok murid. Guru rohani ini mengajar terus menerus selama beberapa jam dan berbicara tiada putusnya. Setelah lama mendengarkan, pejabat itu merasa pusing. Akhirnya ia berkata kepada guru, "Pak Guru, mereka masih anak-anak. Tidak ada gunanya menyiksa mereka selama berjam-jam dengan ceramah yang begitu panjang. Bagi mereka pelajaran ini tidak ada artinya sama sekali. Ajaran kitab suci dan makan Weda yang mendalam itu tidak mungkin dimengerti oleh anak-anak kecil ini." Guru itu menjawab bahwa justru anak-anak usia seperti itu mudah diberi pengertian tentang jalan yang benar. Ia beranggapan bahwa dengan diajarkannya kebenaran yang mulia ini sejak dini, keraguan dalam hati anak-anak tersebut dapat dilenyapkan, dan mereka dapat dituntun pada jalan yang benar. Pejabat itu berkata, "Saya tidak percaya semua itu. Bagaimana mungkin pikiran dapat diubah oleh kata-kata saja? Saya tidak percaya hal itu bisa terjadi."


Lanjut.......
 
Lanjutan......

Dengan berbagai cara, beberapa penjelasan, serta argumentasi, guru itu berusaha meyakinkannya, namun pejabat IAS itu tidak mau mendengar dan tidak mau mengerti kata-kata guru itu. Pikirannya tertutup. Terlalu banyak pendidikan kadang-kadang dapat mengakibatkan sakit jiwa; timbul keragu-raguan, lalu otak yang bicara; dalam sekejap segala kebajikan lenyap, dan akan tidak jalan. Setelah guru itu menyadari bahwa jerih payahnya memberi penjelasan kepada pejabat itu sia-sia belaka, ia memutuskan akan membuktikan pandangannya dengan pelajaran yang praktis sehingga pejabat itu pasti mengerti. Ia menyuruh murid yang termuda berdiri dan berkata, "Nak, tolong seret pegawai IAS ini ke luar ruangan. Lakukan segera!"

Begitu pejabat itu mendengar kata-kata Pak Guru, ia naik pitam. Ia lalu beteriak, "Kau ini siapa? Saya ini pejabat Administrasi India, Sekretaris Pendidikan Daerah, dan kau suruh anak kecil mengusir aku! Betul-betul kurang ajar kau ini ya!" Pak Guru berkata kepada pejabat itu, "Baik Pak, saya tidak memukul, tidak menghantam, bahkan menyentuh pun tidak. Saya tidak berbuat apa-apa terhadap Bapak. Tetapi Bapak sudah begitu marah hanya karena mendengar kata-kata. Apakah kiranya yang menyebabkan Bapak marah? Karena kata-kata saya itu, bukan?" Demikianlah cara Pak Guru menunjukkan kepadanya bahwa kata-kata sangat kuasa; kata-kata mempunyai kemampuan yang ampuh untuk mencelakakan atau untuk menimbulkan hal yang baik, sesuai dengan cara kita menggunakannya. Setelah mendapat pelajaran ini, pejabat itu pergi dan pengalaman itu menjadikan ia lebih bijaksana.

Dalam kitab-kitab suci engkau juga akan menemukan pernyataan yang menunjukkan bahwa kata-kata sangat ampuh dan dapat menghancurkan dunia. Di situ dikatakan bahwa jika engkau menebang pohon, ia masih bisa tumbuh; atau jika sebatang besi dipatahkan menjadi dua, tukang besi dapat menyambungnya kembali dengan memanaskannya dan menempanya menjadi satu. Tetapi , jika engkau menghancurkan hati dengan kata-kata yang berbisa, tidak mungkin dapat diutuhkan kembali. Kata-kata dapat menyebabkan kesulitan yang tak berkesudahan dan dapat pula memberikan kebahagiaan yang tak terhingga. Karena itu, engkau harus sangat berhati-hati agar tidak menggunakan kata-kata yang dapat menyakiti atau melukai hati orang lain.

Bila engkau tergelincir dan jatuh, mungkin badanmu lecet sehingga engkau merasa agak sakit, tetapi tidak akan ada akibat yang serius yang berlangsung lama. Mungkin juga engkau luka, tetapi dapat diobati dan segera sembuh. Akan tetapi jika perkataanmu tergelincir sehingga menyakiti hati orang lain, luka yang ditimbulkannya tidak dapat disembuhkan oleh dokter mana pun di dunia. Karena itu, janganlah mengeluarkan kata-kata yang kiranya dapat menyakiti hati orang lain. Pada suatu hari kata-kata yang kau gunakan itu akan berbalik kepadamu. Nah, gunakanlah selalu kata-kata yang lembut dan sedap didengar.

Telah Kukatakan bahwa lidah sangat menyukai rasa manis; engkau dapat berkata kepadanya, "Oh lidah, engkau sangat senang kepada yang manis-manis, mengapa engkau tidak melekat pada nama Tuhan yang manis? Oh lidah, engkau tahu apa artinya korban yang sejati; engkaulah perwujudan korban suci itu. Gunakanlah dirimu hanya untuk menyanyikan nama Tuhan. Kidungkanlah Narayana, Govinda, Madhawa sehingga engkau tersucikan."

Nah, mengapa kita katakan bahwa lidah tahu arti pengorbanan yang sesungguhnya dan sama sekali tidak mementingkan diri sendiri? Ya, inilah yang kau alami sehari-hari. Misalnya, jika engkau memberikan sesuatu yang manis kepada lidah, ia akan merasakannya, dan segera setelah mengecap manisnya yang nikmat itu, ia berkata dalam hati, "Oh, biarlah kuberikan makanan yang lezat ini kepada perut agar ia juga dapat menikmatinya." Tetapi, jika yang dirasakannya itu tidak enak, umpama sesuatu yang pahit, maka lidah tidak akan memberikannya kepada perut, melainkan akan segera mengeluarkannya agar tidak menyusahkan perut. Baik atau buruk, manis maupun pahit, tidak akan ditahan oleh lidah semata-mata untuk kenikmatannya sendiri. Lidah hidup tanpa mementingkan diri sendiri, dan hidup secara terhormat, sadar akan keterbatasannya. Selamanya ia puas tetap terkurung dalam mulut. Pernahkah ia keluar sesekali pun? Tidak. Apa pun yang dikerjakannya, dilakukannya dalam mulut tanpa mengeluh.

Lidah masih mempunyai sifat penting yang lain; ia memiliki ketabahan yang luar biasa. Betapa pun besar kesulitan dan masalah yang dihadapi, apa pun juga kesulitan yang ditimbulkan pihak lain, ia tetap pada tempatnya sendiri, tidak pernah keluar batas, dan selalu tawakal. Ia hidup di tengah-tengah penghuni yang sangat jahat, berdampingan dengan gig gerigi yang amat tajam dan kuat. Dengan kemahirannya ia berusaha agar tidak tergigit atau terlukai oleh sesama penghuni mulut yang sangat garang itu. Karena kepandaian serta ketawakalannya yang luar biasa itu, ia dapat bertahan hidup dengan baik di antara penghuni yang begitu mengerikan, tanpa pernah mengalami cedera sama sekali.

Dengan demikian, lidah dapat memberikan beberapa pelajaran yang sangat penting dan berguna untukmu. Misalnya, ia mengajarkan bahwa engkau bisa hidup di tengah-tengah orang yang sulit diajak bergaul; dengan hati-hati, ketabahan, dan keluwesan, engkau harus dapat hidup dengan gembira walau berada dalam keadaan yang sulit. Namun, dewasa ini tidak banyak orang dapat mengikuti teladan yang baik itu. Kebanyakan mereka juga cenderung menjadi jahat setelah bergaul dengan orang yang jahat. Semua perasaan yang baik, sifat-sifat yang baik, pikiran yang baik, perbuatan yang baik, hilang lenyap seketika, dan mereka kehilangan segala kebajikan serta keutamaan mereka. Agar tidak menderita akibat buruk seperti itu, penting sekali engkau mampu mengendalikan lidahmu.

Swami sering sekali mengatakan kepada para pelajar, "Murid-murid-Ku, janganlah kalian bicara terlalu banyak. Tenaga Tuhan yang ada dalam dirimu akan terbuang percuma dalam proses itu. Karena terlalu banyak bicara, daya ingatmu akan hilang dan engkau akan menjadi lemah. Akibatnya engkau akan cepat tua. Di samping itu engkau akan mendapat nama buruk."

Sebuah radio misalnya, engkau hidupkan untuk mendengar warta berita atau lagu-lagu rohani, tetapi setelah selesai engkau lupa mematikannya kembali sehingga radio itu berbunyi terus tanpa tujuan. Berapa daya listrikkah terbuang karena terus menerus berbunyi sepanjang hari? Bukankah itu suatu pemborosan energi? Badan kita pun dapat dibandingkan dengan sebuah radio dan akal budi sebagai alat yang menghidupkannya, tetapi tidak mematikannya lagi. Dalam pengandaian ini pikiranmu sama saja dengan suara tak berguna dalam bentuk kata-kata dan ucapan yang mengoceh tanpa henti sepanjang hari. Kekuatan suci dalam dirimu akan terbuang-buang karena bicara yang tak habis-habisnya semacam ini. Dari mulai bangun pada pagi hari sampai malam ketika akan tidur, engkau terus saja bicara, kalau tidak dengan suara keras, engkau berbicara dalam hati. Mungkin volume suara direndahkan, namun bicara tetap berlangsung. Kekuatan atma dalam dirimu terbuang percuma seperti halnya radio yang berbunyi terus menerus menghabiskan listrik. Apakah bunyinya keras atau pelan, energi tetap terbuang.

Penyebab utama keadaan cepat tua dan pikun adalah bicara itulah, banyak bicara dan terlalu banyak bicara. Banyak bicara tidak baik. Engkau harus bisa diam. Sejak lahir engkau tidak pernah membiasakan berdiam diri. Sekarang engkau harus meningkatkan kebiasaan itu. Sesungguhnya kedua fungsi lidah sangat erat hubungannya satu sama lain. Terlalu banyak bicara menyebabkan timbul rasa lapar yang tidak wajar. Bila pembicara merasa lapar, dengan sendirinya ia akan makan lebih banyak. Karena makan yang berlebihan itu, akan timbul perasaan yang kemudian dinyatakan dalam bicara yang lebih banyak lagi. Dalam keadaan seperti ini hampir tidak mungkin lagi mengendalikan indera.

Jika engkau memberi kuda makanan yang baik dan mengikatnya pada sebuah tonggak, ia akan menjadi sangat gelisah, tersiksa, dan tidak bisa diam. Bila kuda kau beri makanan yang baik, ia juga perlu disuruh bekerja. Demikian pula jika engkau makan yang enak-enak tanpa diikuti kerja dan gerak badan, engkau akan merasa gugup dan gelisah. Di samping itu, engkau akan menjadi egoistis dan angkuh. Gerak badan yang baik dapat menyehatkan badan dan akan mengendalikan kecenderungan-kecenderungan yang negatif. Salah sat tujuan utama kegiatan spiritual adalah agar makanan yang engkau makan dapat digunakan untuk mengabdi masyarakat. Engkau harus bertekad untuk senantiasa berbuat baik. Walau menghadapi kesulitan, janganlah engkau melenceng bagaikan nyala api yang tertiup angin. Engkau harus memiliki rasa percaya diri yang teguh.

Perhatikan seekor burung kecil yang hinggap di atas pohon dan bertengger beberapa saat lamanya. Misalkan angin bertiup sehingga dahan tersebut bergoyang ke kiri dan ke kanan. Burung kecil tadi tidak merasa takut akan goyangan itu. Mengapa? Karena ia tidak sepenuhnya tergantung pada kemampuan dahan itu. Ia mengandalkan sayapnya dan karena itu mempunyai keyakinan diri yang kuat sehingga sama sekali ia tidak merasa khawatir akan jatuh karena goncangan dahan itu. Namun, dewasa ini orang cepat merasa ketakutan dengan kesulitan hidup sehari-hari yang kecil sekali pun. Ia tidak mempunyai rasa percaya diri seperti yang dimiliki oleh burung kecil itu. Mengapa demikian? Sebabnya tidak lain karena kebanyakan makan makanan yang bersifat tamas, penuh dengan sampah, yang melahirkan perasaan yang dikuasai rajas sehingga menimbulkan nafsu dan amarah. Akibatnya ia tidak mempunyai kesempatan untuk menghayati sifat sejati manusia yaitu keseimbangan jiwa dan sifat yang satwa.

Pemuda sekarang penuh keragu-raguan. Mereka melihat binatang dan burung berhubungan satu sama lain dengan caranya masing-masing, menikmati kebebasan, maka mereka berpikir mengapa mereka tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan seperti satwa itu. Jawaban yang tepat adalah , "Ya, engkau pun berhak atas kebebasan, namun kebebasan yang pantas untuk manusia, bukan kebebasan ala binatang." Engkau mesti menikmati kebebasan manusia yaitu kebebasan yang berlaku bagi manusia. Hiduplah sebagai manusia sejati; kembangkan sifat-sifat yang cocok untuk manusia. Jangan menamakan diri manusia kalau ingin menikmati kebebasan seperti binatang.

Sifat manusia adalah pengorbanan, cinta kasih, belas kasihan, kemurahan hati, simpati, tanpa kekerasan, dan sifat-sifat mulia yang lain. Janganlah mengembangkan sifat kebinatangan seperti egoisme, amarah, ketamakan, kebencian, kecemburuan, dan sebagainya. Sifat-sifat kebinatangan ini tidak boleh ada pada diri manusia.

Khususnya jangan sekali-kali engkau membiarkan egoisme, kecongkakan, dan iri hati bersarang dalam dirimu. Ketiga sifat ini paling buruk di antara sifat-sifat buruk yang ada pada manusia. Jika engkau ingin memperoleh sifat-sifat yang baik saja yaitu sifat manusia dan bukan sifat binatang, engkau harus mengendalikan lidah, baik dalam hal bicara maupun dalam hal makan. Inilah jalan yang mudah bagi manusia. Bhakti yoga yaitu jalan pengabdian, menghendaki agar engkau menggunakan lidah dengan baik, yang berarti bahwa engkau menggunakan makanan dengan baik dan menggunakan perkataan dengan baik.

Terutama dalam zaman Kali ini, lidah dapat disucikan dengan mudah dengan menyebut nama suci Tuhan berulang-ulang. Daripada menghabiskan energi Tuhan yang sangat berharga dan waktu yang berharga untuk mengobrol, lebih baik lidah digunakan untuk menyanyikan lagu pujian Tuhan dan menyebut nama-Nya berulang-ulang. Nyanyikanlah nama Tuhan! Itulah cara yang baik untuk melewatkan hidupmu. Penuhilah hidupmu dengan kemuliaan dan kesucian kehadiran-Nya.


note: tolong disikapi dengan bijak..... :)
 
nice bro ...........
lanjut........

copas apa nulis sendiri bro?
 
PERCAKAPAN 8

HANYA MELALUI CINTA KASIH ENGKAU DAPAT MENCAPAI TUHAN


Tuhan menyatakan dalam Bhagawad Gita, "Inilah janji-Ku kepadamu. Jika engkau mengingat Aku dengan kasih, akan Kuberi engkau kemampuan kearifan, buddhi yoga sehingga engkau dapat masuk ke dalam diri-Ku untuk selamanya dan manunggal dengan Aku."

Bhakti yoga adalah kemampuan membedakan yang membuat engkau mampu membedakan diri sejati dari yang bukan diri sejati, membedakan yang kekal dari yang tidak kekal atau dapat berubah. Kemampuan membedakan ini terdapat hanya pada orang yang telah melakukan pengabdian suci dan penuh cinta kasih terhadap Tuhan. Pengabdian adalah jalan yang mudah untuk memperoleh kebijaksanaan, sesungguhnya ia adalah satu-satunya jalan menuju pengetahuan spiritual yang tertinggi. Dalam Bhagawad Gita bab kedua belas Tuhan berkata, "Orang yang berbhakti kepada-Ku sangat Kucintai." Apakah bhakti?
Bhakti adalah kasih yang mengalir dengan tiada putusnya kepada Tuhan. Bila kasih ditujukan pada hal-hal yang bersifat sementara, itu bukan pengabdian, melainkan hanya merupakan suatu bentuk keterikatan. Tetapi jika kasih ditujukan kepada sesuatu yang permanen, maka hal itu menjadi bhakti. Bhakti atau pengabdian mulai dengan sikap bahwa engkau adalah hamba Tuhan, daasoham. Kemudian engkau melangkah maju ke tahap peleburan yakni langsung menyatukan diri dengan Tuhan, maka engkau mengatakan soham 'aku adalah Dia. Tuhan dan aku satu'.

Dalam prakteknya, bhakti mempunyai dua bentuk utama. Bentuk pertama berupa berbagai kegiatan persembahyangan dan upacara yang diadakan oleh penganut, misalnya kebiasaan persembahyangan dengan memakai enam belas jenis sajian, berziarah ke tempat-tempat suci, mandi di sungai-sungai yang dianggap suci, dan sebagainya. Semua itu adalah contoh pengabdian biasa. Tetapi dalam Gita Tuhan mengajarkan bahwa itu bukan satu-satunya jalan untuk mengembangkan bhakti. Ada bentuk bhakti yang lebih tinggi yang dapat disebut sebagai pengabdian sejati, ini merupakan usaha untuk mengembangkan sifat yang sempurna dan selalu diliputi oleh kasih kepada Tuhan. Itulah yang dinamakan parabhakti 'bhakti yang utama'.

Maka ada perbedaan yang jelas antara bhakti 'pengabdian biasa' dan parabhakti 'pengabdian utama'. Pengabdian biasa menggunakan benda-benda duniawi untuk memuja Tuhan, seperti bunga dan daun. Dari manakah asal benda-benda ini? Dapatkah engkau membuatnya? Apakah engkau dapat menciptakannya? Tidak. Benda-benda itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, di mana segi pengorbanannya jika engkau mempersembahkan kepada Tuhan benda-benda yang diciptakan oleh Tuhan sendiri? Persembahan seperti itu hanya dapat dipandang sebagai pengabdian biasa. Tetapi mempersembahkan bunga hatimu yang suci kepada Tuhan, yang tidak ada hubungannya dengan keduniawian, dan mempersembahkannya dengan penuh cinta kasih kepada Tuhan yang bersemayam dalam hatimu, inilah parabhakti, pengabdian yang tertinggi. Pengabdian yang demikian itulah harus engkau cita-citakan.

Pengabdian utama ini dapat juga disebut meditasi. Meditasi umumnya diartikan sebagai pemusatan pikiran terhadap suatu objek, dan melalui objek itu menuju yang akhir. Tetapi ini bukan cara meditasi yang benar. Jika kau periksa asal kata dhyanam yang berarti meditasi, engkau akan mendapati bahwa yang dimaksud adalah meditasi terhadap Tuhan, hanya kepada Tuhan. Karena itu, meditasi sama dengan bhakti, kedua-duanya merupakan proses pemusatan pikiran terhadap Tuhan dengan mengesampingkan yang lain-lain, hanya mengingat Dia. Tanpa meditasi atau bhakti seperti itu tidak mungkinlah manusia menghayati kemuliaan Tuhan yang tak terbatas dan memperoleh pengetahuan spiritual yang sejati.

Engkau ingin menikmati buah, tetapi engkau tidak akan mendapatkannya tanpa berbunga lebih dahulu sebelumnya. Mula-mula tumbuh kembang, kemudian baru buah. Bhakti tak ubahnya dengan bunga. Tanpa lebih dahulu bhaktimu dan membiarkannya berkembang, tidak mungkinlah engkau mendapatkan buah kebijaksanaan spiritual. Dalam tahap berkembang, sang bhakta harus menganggap dirinya daasoham 'aku adalah Dia, aku adalah Brahman, aku adalah Tuhan'. Dengan cara ini pandita agung Widyaranya memulai sadhana (latihan pengabdian) dengan tahap daasoham, lambat laun sadhananya meningkat dari daasoham ke soham.

Pada suatu hari ketika Widyaranya sedang membahas sadhana dengan murid-muridnya, beliau bertanya, "Swami, Anda selalu mengajar kami untuk mengatakan, 'Daasoham, Daasoham' tetapi kini anda berulang-ulang mengucapkan, 'Soham, Soham', dan 'Shiwoham, Shiwoham,' 'aku Shiwa, aku Tuhan'. Apakah ini berarti bahwa ada suatu perubahan dalam pengabdian Anda?" Guru itu menjawab, "Anak-anakku, selama ini aku selalu mengatakan, 'daasoham...ya Tuhan, aku ini hamba-Mu, aku hamba-Mu', tetapi, pada suatu hari Cittacora 'si pencuri hati' (julukan untuk Krishna) datang dan mencuri 'daa'. Setelah Ia masuk ke dalam hatiku dan mengambil 'daa' dari 'daasoham', Ia meninggalkan aku hanya dengan soham. Kemudian Ia datang kepadaku dalam mimpi serta berkata, "Mula-mula engkau harus memulai sadhana-mu dengan daasoham, namun engkau makin lama makin dekat dengan Aku. Kini engkau sangat dekat dan sangat Kucintai. Karena itu engkau dapat mengucapkan soham saja, karena engkau dan Aku telah menjadi satu."

Contoh lain mengenai sadhana ini adalah cerita tentang dua murid Ramakrishna Paramahamsa. Yang satu adalah seorang kepala keluarga dan yang kedua adalah seorang sanyasin yang telah meninggalkan keduniawian. Bhakta yang menempuh hidup berkeluarga itu bernama Nagamahaasaya, merasa dirinya sebagai Tuhan, karena itu ia selalu mempraktekkan prinsip daasoham. Keampuhan tahap daasoham ialah bahwa dengan bersikap merendahkan diri dan pasrah, rasa keakuan segera lenyap. Selama engkau mempunyai rasa keakuan, engkau tidak dapat memperoleh pengetahuan atma yang suci. Keakuan ini terdapat di mana-mana. Bahkan Arjuna yang telah lama menjadi sahabat Krishna dan memperoleh banyak dorongan dari Krishna, diliputi oleh rasa keakuan sepanjang hidupnya. Hanya setelah Arjuna melemparkan busurnya, memasrahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan berkata, "Perintahlah daku ya Tuhan, aku akan melaksanakan apa yang Kau katakan," maka Krishna memberinya Gita dan mengajarkan pengetahuan yang tertinggi kepadanya. Selama masih ada rasa keakuan, engkau tidak dapat mencapai atma dan menghayati kenyataan yang tertinggi. Bila engkau telah menerima rahmat Tuhan, engkau tidak akan diliputi rasa keakuan lagi, karena bagaimana mungkin terang dan gelap berada pada saat dan tempat yang sama? Hal ini tidak mungkin.

Karena itu, Nagamahaasaya mulai dari yang paling rendah yaitu daasoham 'aku adalah hamba-Mu'. Sebaliknya Vivekananda mengembangkan kelapangan pikiran dan perasaan dengan selalu mengucapkan, "Shiwoham, Shiwoham", 'aku Shiwa, aku yang tak terbatas, aku Tuhan.' Karena perbedaan lingkungan hidup mereka, Nagamahaasaya dan Vevekananda menempuh jalan yang berbeda untuk menanggulangi kemampuan maya. Nagamahaasaya, kepala keluarga, dengan mengikuti jalan daasoham, makin lama makin kecil, sampai pada suatu saat ia menjadi demikian kecil hingga lolos dari cengkeraman macan maya yang sangat mengerikan; dengan menghilangkan rasa keakuannya ia bebas sedangkan bagi Vivekananda, rantai maya yang membelenggunya putus terpotong-potong setelah ia meluaskan dirinya demikian besar dengan "Shiwoham, Shiwoham" 'aku Shiwa, aku Shiwa'.

Jika dalam dirimu engkau membina gagasan yang suci dan mulia, "Aku Tuhan", engkau tak akan terganggu apa-apa, tidak akan ada yang dapat menghalangimu. Tentu saja sekedar mengucapkan kata-kata ini tidak akan ada artinya; pernyataan ini harus timbul dari penghayatan yang nyata. Engkau harus mengatasi kesadaran jasmanimu dan mengendalikan inderamu secara ketat. Kemudian, dengan selalu menyatukan dirimu dengan Tuhan, pada suatu saat engkau akan memperoleh pengetahuan yang tertinggi. Atau dapat pula engkau menempuh jalan daasoham yang secara efektif menghilangkan egoisme dari hatimu, kemudian engkau akan dipenuhi dengan kebahagiaan.

Ada tiga jalan yang secara berturut-turut menuju pada kesadaran Tuhan, yaitu dwaita 'dualisme', wishishtadwaita 'nondualisme yang terbatas', dan adwaita 'nondualisme'. Mula-mula engkau akan menyatakan, "Aku adalah abdi Tuhan". Di sini ada dua perwujudan, yang satu Tuhan dan yang lain engkau, pengabdi, Tuhan dianggap berada di suatu tempat dan engkau ingin mencari-Nya, mendekati-Nya, dan ingin sangat erat dengan-Nya. Sedikit demi sedikit engkau maju di jalan ini sehingga akhirnya engkau akan berhadapan dengan Tuhan, maka engkau akan mengatakan kepada-Nya, "Ya Tuhan, aku ini abdi-Mu". Pada tahap kedua ini engkau berdiri tegak di hadapan Tuhan dan menyatakan dirimu sendiri sebagai abdi Tuhan. Kemudian pada tahap ketiga engkau menyatakan, "Aku adalah Engkau dan Engkau adalah aku. Kita ini satu".

Tahap pertama ketika engkau menyatakan, "Aku adalah abdi Tuhan", dan menganggap Tuhan berada di suatu tempat yang jauh adalah dwaita.Tahap kedua ketika engkau berkata langsung kepada Tuhan, "Ya Tuhan, aku adalah abdi-Mu", dan engkau merasakan kehadiran-Nya dalam hatimu adalah tahap wishishtadwaita. Tahap ketiga ketika engkau menyadari kebenaran, "Oh Tuhan, aku adalah Engkau dan Engkau adalah aku", dan engkau tidak bisa membedakan antara engkau dan Tuhan adalah tahap adwaita 'nondualisme'. Karena itu engkau memulai perjalananmu dari tahap dualisme dan berakhir pada tahap nondualisme. Engkau memulai sadhanamu dengan bentuk pengabdian yang umum yaitu memuja Tuhan dengan wujud dan sifat serta melakukan berbagai upacara dan bentuk pemujaan lahiriah lainnya. Tetapi kemudian engkau meningkat menuju aspek ketuhanan yang tidak berwujud dan mutlak. Dengan demikian mula-mula engkau mengembangkan diri secara spiritual sebagai hamba Tuhan, tetapi akhirnya engkau menyatu secara sempurna dengan Tuhan.

Pikirkan sejenak sebuah lingkaran yang besar dan bayangkan di sebelahnya ada sebuah lingkaran yang jauh lebih kecil. Lingkaran yang besar dapat diumpamakan dengan Tuhan sedangkan yang kecil sebagai jiwa atau individu. Di sini, individu berbeda dan terpisah dari Tuhan, inilah dwaita 'dualisme'. Jika kau masukkan lingkaran kecil ke dalam lingkaran besar, engkau menjadi wishishtadwaita, 'nondualisme yang terbatas'; kini jiwa menjadi bagian dari Tuhan, ia ada dalam Tuhan. Apa artinya jiwa menyatu sempurna dengan Tuhan? Lingkaran kecil harus meluaskan dirinya dan tumbuh makin lama makin besar sehingga menyamai ukuran lingkaran besar. Pada tingkat ini kedua lingkaran tidak dapat dibedakan, jiwa dan Tuhan menjadi satu, manusia telah manunggal dengan Tuhan. Inilah yang dinamakan adwaita 'nondualisme yang sempurna'.

Dalam jalan pengabdian, kepasrahan mutlaklah yang membuat jiwa makin besar dan manunggal dengan Tuhan. Bila engkau mengyingkirkan keterbatasan pribadimu dan menyadari prinsip ketuhanan yang berada dalam dirimu, kelemahanmu akan lenyap dan engkau akan dapat mengembangkan keluasan pikiran yang akhirnya akan mencapai puncaknya dalam kemanunggalan dengan Tuhan. Bagaimana engkau dapat memperoleh pengertian tentang sifat ketuhananmu? Bagaimana engkau dapat menyadari ketuhanan dalam dirimu? Hanya dengan latihan yang tekun, dengan abhyasa, engkau akan mendapat kesadaran itu. Untuk memperoleh keterampilan sekecil apa pun di dunia engkau harus selalu berlatih dan menyempurnakan diri, apakah keterampilan membaca, menulis, berjalan, atau makan, semuanya itu dapat dicapai hanya melalui latihan. Jika engkau mulai berlatih dengan langkah pertama akhirnya engkau akan sampai pada langkah terakhir. Dalam hal ini langkah terakhir berarti mencapai pengetahuan utama yang membuat engkau bebas.

Ada dua jenis pengetahuan. Yang satu adalah pengetahuan spiritual dan yang lain adalah pengetahuan duniawi. Menyelidiki sifat-sifat suatu benda merupakan pengetahuan biasa yang berhubungan dengan dunia. Tetapi pengertian tentang prinsip batiniah yang menjadi dasar dan tujuan setiap benda yang ada di dunia, itulah yang disebut pengetahuan spiritual, itulah yang disebut kebijaksanaan. Tanpa kebijaksanaan ini, tanpa pengetahuan spiritual ini, tidak mungkin engkau memiliki pengetahuan yang sejati mengenai dunia. Jadi, untuk memahami dunia sekalipun, dengan ciri-cirinya yang lebih dalam, engkau harus mempunyai pengetahuan spiritual.

Suatu kegiatan tidak mungkin dilaksanakan tanpa badan. Badan diperlukan untuk segala macam pekerjaan dan kegiatan; ia menjadi landasan semua pengamalan. Gunakanlah badanmu untuk mencapai tujuan dan untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi orang lain. Agar gagasan ini mudah dimengerti oleh anak-anak, bayangkan sejenak bahwa engkau pergi bertamasya ke hutan dengan membawa semua alat-alat memasak serta bahan makanan. Sebelum mulai memasak, mula-mula kau kumpulkan tiga batu yang akan digunakan untuk menumpangkan periuk. Kemudian ari dan beras kau taruh dalam periuk. Di bawah periuk, di antara ketiga batu itu engkau menyalakan api. Apakah guna api di bawah periuk itu? Karena panas api, beras dalam periuk jadi matang. Tanpa periuk, jika beras ditaburkan langsung ke dalam api, engkau tidak akan memperoleh nasi yang kau inginkan. Panas api memancar ke periuk lalu diteruskan ke ari dan akhirnya dari air ke beras. Dengan cara demikian beras matang dan engkau dapat menikmati makananmu.

Dalam hutan kehidupan ini engkau mencari kebahagiaan yang dapat dibandingkan dengan makanan yang kau siapkan. Tiga batu itu adalah sifat satwa, rajas, dan tamas. Badanmu dapat dianggap sebagai periuknya. Perasaan dan keinginanmu adalah air, dan kerinduan serta aspirasi spiritualmu adalah beras. Api yang dinyalakan di antara ketiga batu itu adalah sadhana yang menyucikan yang digunakan untuk mencari kebijaksanaan. Api yang menyucikan ini memanaskan badan, melalui badan diteruskan ke perasaan dan keinginan; ini semua dimasak dan diubah menjadi kerinduan spiritual yang tertinggi sehingga akhirnya menghasilkan makanan matang, makanan spiritual, atmajnana, penghayatan akan Yang Esa yang selama ini telah kau dambakan. Tidak mungkin engkau dapat mewujudkan kebijaksanaan spiritual semacam itu secara langsung dalam hatimu, dengan serta merta, tanpa lebih dulu melalui proses memasak. Melalui badan dan perbuatan yang baik engkau harus membakar nafsu atau keinginanmu dan mengubahnya menjadi kerinduan spiritual; inilah yang kemudian menuntunmu menuju penghayatan pengetahuan yang utama.

Cara yang benar untuk melaksanakan meditasi adalah dengan mengendalikan keinginan secara bertahap, pelan, dan mantap. Dengan mengendalikan panca indera dan keinginanmu, engkau dapat melakukan segala kegiatan dengan wajar dan spontan tanpa mengharap pahala. Sebenarnya tidak mungkin ada pekerjaan tanpa hasil. Bila engkau melakukan suatu kegiatan, tentu akan ada akibat atau hasilnya; ini adalah buah kegiatan itu. Jadi, bukannya tidak ada hasil, tetapi Gita mengajarkan agar engkau tidak menaruh minat pada buah itu. Hasilnya pasti ada, tetapi janganlah hendaknya engkau bekerja dengan maksud memperoleh buahnya; bekerjalah semata-mata karena engkau menganggapnya sebagai panggilan tugas.

Pada waktu melaksanakan kewajibanmu kadang-kadang timbul suatu keinginan dan akan ada pula hasilnya, dengan kata lain, buahnya. Hal itu tidak menjadi soal. Laksanakan terus kewajibanmu. Gita tidak mengajarkan bahwa kerja tidak akan menghasilkan buah. Orang yang tidak mengerti apa sebenarnya yang dimaksud dengan mengorbankan hasil kerja, lalu tidak mau bekerja. Tetapi kerja harus dilakukan. Sebelum nasi matang api tetap dibutuhkan. Sebelum engkau mengerti rahasia yang lebih dalam dari pekerjaan dan pengorbanan hasil kerja, engkau harus tetap bekerja dan melaksanakan kewajibanmu.

Sifat yang mulia dan tingkah laku yang baik menggambarkan kesejatian seseorang, kebenaran ini didasarkan atas cinta kasih. Apakah engkau melakukan karma yoga, mengorbankan hasil kegiatanmu, atau bhakti yoga, merenungkan kemahaadaan Tuhan, atau jnana yoga, melakukan penyelidikan batin untuk memperoleh kebijaksanaan, dasar dari segala kegiatan spiritual ini adalah cinta kasih. Kebenaran, kedamaian, kebajikan, dan tanpa kekerasan, sathya, shanti, dharma, dan ahimsa tidak terpisah satu sama lain. Pada hakikatnya semuanya tergantung pada cinta kasih. Jika cinta kasih mengisi pikiran, ia menjadi kebenaran, Bila cinta kasih menyatakan dirinya dalam bentuk kegiatan, ia menjadi dharma atau kebajikan. Bila perasaanmu diliputi oleh cinta kasih, engkau menjadi perwujudan kedamaian. Arti sejati kata damai adalah cinta kasih. Bila engkau mengisi pengertianmu dengan cinta kasih, ia menjadi ahimsa. Melaksanakan cinta kasih adalah dharma, berpikir cinta kasih adalah sathya, merasakan cinta kasih adalah shanti, dan mengerti cinta kasih adalah ahimsa. Untuk seluruh nilai ini cinta kasihlah yang mendasarinya. Dalam buddhi yoga yang diajarkan dalam Gita pada bab pengabdian, dikatakan, "Isilah dirimu dengan cinta kasih dan gunakan kasih ini untuk mencapai Aku. Dengan cara itu engkau akan memupuk kedekatan dan kemesraan dengan-Ku".

Anak-Ku yang tercinta. Tanganmu sangat kecil, tetapi dengan tangan yang kecil itu engkau mencoba melayani Aku. Matamu sangat kecil dan ciptaan-Ku tak terhingga besarnya. Dengan dua mata yang kecil itu engkau mencoba melihat jagat raya-Ku yang sangat luas ini. Telingamu sangat kecil, tetapi dengan dua telinga yang kecil itu engkau berusaha mendengarkan kata-kata-Ku. Dengan dua kakimu yang kecil engkau mencoba mendekati Aku. Namun, sekedar melayani Aku dengan dua tangan sekecil itu tidak akan banyak hasilnya. Sekedar melihat dunia-Ku dengan mata sekecil itu juga tidak akan seberapa berguna. Sekedar mendengarkan kata-kata Ilahi-Ku dengan dua telinga sekecil itu tidak akan banyak membantu. Dan sekedar mendekati Aku dengan dua kaki sekecil itu tidak akan banyak manfaatnya. Tetapi ada suatu hal yang dapat kau lakukan yang akan banyak pengaruhnya dan memberikan hasil yang benar-benar berarti. Caranya adalah dengan menempatkan Aku dalam hatimu selama-lamanya. Bila engkau telah menyemayamkan Aku dalam hatimu, maka kegiatan yang lain-lain tidak penting lagi.

Pemujaan apa pun yang kau lakukan dengan menggunakan mata, telinga, dan kakimu, semuanya itu hanya membantu mengendalikan pikiranmu. Tetapi bila engkau memohon Tuhan agar bersemayam di hatimu, pengendalian pikiran dan panca inderamu menjadi sangat mudah. Pikiran dan inderamu akan tenang dengan sendirinya. Tidak akan diperlukan suatu usaha khusus untuk mengorbankan hasil kegiatanmu. Krishna berkata, "Bila engkau mulai memikirkan serta merenungkan Aku semata-mata, segala sesuatunya akan Kutangani dengan sendirinya". Untuk mencapai tingkat ini engkau harus membina kepercayaan yang kokoh dan tak tergoyahkan akan adanya Tuhan yang bersemayam dalam hatimu.

Tuhan selalu utuh dan sempurna; untuk mencapai Tuhan yang sempurna itu engkau harus mempunyai kepercayaan yang sempurna pula. Bila dia sempurna dan engkau tidak sempurna, kemampuan yang mengikat engkau dan Tuhan tidak dapat berkembang. Untuk mencapai cinta kasih yang sempurna yaitu Tuhan, engkau pun harus mempunyai hati yang sempurna, penuh dengan kepercayaan dan kasih. Sebaliknya jika engkau penuh keragu-raguan, engkau merongrong asas cinta kasih yang murni ini yang merupakan sifatmu yang sejati. Keragu-raguanmu itu akan menodai hatimu dan menjauhkan engkau dari Tuhan Yang Maha Mengetahui, Mahakuasa, dan Maha Ada yang mengetahui setiap pikiranmu. Apa pun yang kau pikirkan, hadirkanlah Dia di dalamnya Ingatlah Dia dengan sebulat hati, sarat dengan kasih dan kepercayaan; maka engkau pasti akan mencapai Dia. Dalam Gita Tuhan berkata bahwa engkau akan dicintai-Nya bila engkau memuja Tuhan sepenuhnya dengan hati yang bulat. Itu berarti melihat Dia di mana-mana, dalam setiap benda. Gita menyatakan, "Adveshta sarva bhutanam", 'Janganlah membenci siapa pun dan apa pun dalam semua ciptaan' karena Dia ada pada setia nama dan wujud. Bila engkau memiliki rasa cinta yang memenuhi seluruh dirimu, engkau akan sangat dikasihi-Nya.

Semua sifat yang mulia ada seutuhnya pada setiap manusia, namun tidak banyak orang yang mencoba menyadari hal itu; mereka menyia-nyiakan waktunya hanya untuk melakukan kegiatan duniawi. Tetapi engkau harus pula melakukan kegiatan-kegiatan batin yang membantumu mencapai tujuan. Misalnya, engkau bersembahyang dengan sarana upacara yang bersifat lahiriah, tetapi engkau hendaknya melakukan kebhaktian yang bersifat batiniah juga dengan mempersembahkan bunga hatimu kepada Tuhan. Dengan demikian akan ada kesatuan itu dalam segala tindak tandukmu, baik lahir maupun batin, hidupmu akan disucikan dan engkau akan mengalami kepuasan dalam segala perbuatan.

Dalam Bhakti Yoga atau jalan bhakti telah diajarkan bahwa cinta kasih adalah dasar segala-galanya; cinta kasih adalah satu-satunya sifat terpenting yang harus dikembangkan. Seluruh pikiranmu harus diresapi oleh sifat ini sehingga kebenaran akan menetap dengan sendirinya dalam hatimu. Seluruh tingkah lakumu hendaknya dijiwai cinta kasih. Kemudian dharma dengan sendirinya akan terlihat dalam segala usaha atau perbuatanmu. Seluruh perasaanmu hendaknya diresapi cinta kasih. Maka engkau akan mendapatkan kedamaian yang mendalam. Dan seluruh pengertianmu hendaknya diliputi oleh cinta kasih sehingga engkau tidak dapat membenci atau menyakiti apa pun. Karena itu, cinta kasih adalah dasar kedamaian batin. Cinta kasih adalah asal muasal kebenaran. Cinta kasih adalah dasar dharma dan ahimsa. Sebab itulah Swami sering berkata, "Kasih adalah Tuhan, Tuhan adalah Kasih".

Inti sari ajaran bhakti yoga ialah mengembangkan dan mengamalkan cinta kasih ini. Dengan mengamalkan cinta kasih engkau akan mempunyai pandangan yang luas dan dengan demikian engkau dapat mengembangkan sepenuhnya semua sifat mulia yang ada dalam dirimu.

note: coba pake spoiler nih biar kagak ngabisin banyak tempat..... :D
 
PERCAKAPAN 9

NAFSU DAN AMARAH, KEBURUKAN KEMBAR


Hanya bila engkau dapat menenangkan pikiranmu engkau akan mampu mengatasi nafsu, dan hanya setelah engkau berhasil menguasai nafsu engkau akan mampu mengendalikan amarah. Karena itu, langkah pertama untuk menaklukkan nafsu dan amarah ialah dengan membebaskan diri dari proses berpikir. Hal ini berlaku baik untuk pengabdi maupun orang awam, namun seperti telah diajarkan dalam Gita, bab Bhakti Yoga, keheningan pikiran sangat penting bagi seorang bhakta.

Pikiran itu sarat dengan energi dan hidup bahkan ia dapat lebih kuat daripada zat atau bahan yang terkuat. Engkau mulai berpikir sejak saat lahir. Bahan yang membentuk pikiranmu sangat halus, bahan itu timbul dari makanan yang kau makan. Karena itu, bila engkau hanya makan makanan yang suci engkau akan memperoleh pikiran yang suci. Bila seseorang dipenuhi dengan pikiran yang suci, segala tindakannya akan suci, dan kata-katanya pun akan suci. Pikiran suci itu ibarat pisau atau pedang yang tajam. Engkau dapat menggunakan pikiran yang baik ini untuk mencari pikiran jahat, perasaan jahat, serta perbuatan yang jahat dan kemudian menghancurkannya.

Sebaliknya, jika engkau makan makanan yang tidak baik, maka perasaan yang tidak baik, perbuatan yang tidak baik, dan pikiran yang tidak baik akan tumbuh subur. Bukan itu saja, tetapi karena makanan yang tidak baik itu badanmu akan menjadi lemah, pencernaan tidak sempurna, dan timbul berbagai gangguan jasmani. Dalam Gita, Tuhan telah menandaskan bahwa baik untuk kesejahteraan duniawi, maupun untuk mengembangkan potensi spiritual yang ada pada manusia, diperlukan badan yang kuat dan suci; untuk ini penting sekali makan makanan yang baik saja, dan yang disucikan dengan mempersembahkannya terlebih dahulu kepada Tuhan sebelum dimakan.

Pikiran dan proses pikiran merupakan wujud manas (mind). Jika pikiran diarahkan kepada keduniawian dan hal-hal yang berhubungan dengan itu, maka proses pikiran terarah kepada kekayaan dan harta benda, karena inilah yang mendasari kehidupan dalam dunia yang kasat mata. Kata kekayaan biasanya menunjukkan milik dan kesenangan duniawi seperti emas, rumah, tanah, dan anak. Kekayaan dalam bentuk lain ialah kemasyhuran, jabatan, dan kedudukan. Tetapi menurut Bhagawad Gita baik harta benda maupun jabatan bukanlah kekayaan yang sejati yang dianggap sebagai kekayaan adalah sifat yang baik, tingkah laku yang baik, dan pengetahuan tentang atma.

Nama dan ketenaran duniawi, harta benda dan keluarga, semuanya bersifat sementara. Semua itu bisa hilang bahkan pada waktu engkau masih hidup; bencana dan kemalangan dapat mengakibatkan musnahnya nama dan kemasyhuran, harta dan keluarga. Apalagi, tidak ada satu pun dari semua ini yang akan mempunyai hubungan dengan engkau setelah engkau meninggal. Tetapi sifat yang baik, tingkah laku yang baik, pengetahuan atma, dan semua sifat-sifat yang mulia akan membantu engkau menuju Tuhan dan manunggal dengan Dia.

Kemasyhuran yang sejati tidak tergantung pada keindahan badan atau daya tarikmu. Bukan pula karena kekayaan atau kemampuan fisikmu, melainkan sifat-sifatmu yang baik. Dalam kitab suci engkau akan menemukan cerita tentang Wishwamitra yang mengandalkan kemampuan fisiknya lalu ingin membalas dendam kepada resi Washishta. Washishta hanya mengandalkan kemampuan Tuhan; ia seorang Brahma Rishi, jiwa agung yang selalu berada dalam kesadaran Tuhan, dan ia menggunakan Brahma tattwa sebagai pelindung gaib, perlindungan yang timbul karena kesadarannya selalu berada dalam prinsip Tuhan.

Ketika digempur dengan panah maut dan senjata Wishwamitra yang pada waktu itu adalah raja berkuasa dan lalim, Washishta tetap tenang. Panah Wishwamitra sama sekali tidak mempan, bagaikan panah yang mengenai gunung batu. Semua senjata Wishwamitra patah ketika mengenai badan Washishta, dan jatuh ke tanah tanpa daya. Sebenarnya kemampuan fisik itu adalah suatu kelemahan. Hanya kemampuan yang dilandaskan pada sifat ketuhanan dan kemampuan kebajikan, merupakan kemampuan yang sejati. Ketika Wishwamitra menyadari hal ini, ia melakukan olah tapa mati raga yang keras agar dapat mencapai tingkat spiritual yang tinggi seperti Washishta. Setelah melakukan tapa brata yang sangat lama, akhirnya ia mencapai pengetahuan Brahman dan Washishta sendirilah yang menyatakan dia sebagai Brahma Rishi.

Kurawa bersaudara berjumlah seratus orang; mereka pun mengandalkan kemampuan fisik, uang, dan kemampuan militer raja-raja yang bersekutu dengan mereka. Akhirnya mereka semua mati dalam peperangan yang mereka timbulkan dan tak ada seorang putra pun yang masih hidup untuk melakukan upacara perabuan jenazah ketika orang tua mereka meninggal. Alangkah buruknya nasib mereka! Durhodhana dan saudara-saudaranya bukannya mencari pertolongan Tuhan, melainkan hanya bergantung pada kemampuan fisik, uang, dan kemampuan-kemampuan pribadi. Sebaliknya, Pandawa bersaudara, berlindung pada Krishna dan hanya memohon rahmat-Nya.

Ketika Arjuna memeluk kaki Krishna dan menyerahkan diri kepada-Nya, Krishna sangat gembira dan mengangkatnya seraya berkata, "Bangkitlah, oh Dhananjaya. Kekuatan sejati terletak pada keyakinan. Pada akhirnya keadilan akan selalu menang dan keserakahan akan selalu musnah; ini adalah kebenaran dharma yang tidak pernah berubah dan berlaku sepanjang masa". Ia menyakinkan Arjuna pada saat pertempuran bahwa siapa pun yang berlindung pada Tuhan akan mendapat rahmat-Nya dan setiap usahanya akan berhasil. Mereka yang menolak perlindungan Yang Mahakuasa, tidak akan mendapat rahmat-Nya dan akhirnya akan mengalami kegagalan serta kehancuran.

Jika engkau ingin mendapat rahmat Tuhan, engkau harus mengendalikan keinginan-keinginan duniawimu. Segala hasil yang timbul dari kegiatanmu dalam alam bhutakasha, dunia fana, tidak lebih nyata dari buah impian belaka. Rumah-rumah besar dan bungalow yang engkau lihat dalam mimpi hilang lenyap seketika pada saat engkau terjaga dan membuka mata. Benda-benda itu tidak nyata dan tak akan pernah menjadi kenyataan. Pengalamanmu dalam mimpi hilang lenyap pada waktu jaga, dan pengalaman di alam juga terhapus dalam alam mimpi.

Dalam Gita, Tuhan mengajarkan bahwa Chittakasha adalah bentuk halus bhutakasha dan chidaakasha adalah bentuk chittakasha yang lebih halus lagi. Dari ketiga alam yang saling bertembusan atau saling mencakup ini, yaitu alam kesadaran pada waktu jaga, alam kesadaran mimpi, dan alam kesadaran pada waktu tidur nyenyak, maka chidaakashalah yang paling halus dan memenuhi semuanya. Tetapi yang lebih tinggi dari semua itu adalah Tuhan yang tidak terbatas, Brahman, Paramatma, asas kebenaran yang tertinggi. Asas ini adalah yang terhalus dari yang halus, terkecil dari yang kecil, tetapi juga yang terbesar dari yang besar. Di antara yang kuasa, Tuhanlah yang Mahakuasa. Tidak ada lagi yang lebih besar. Carilah Dia, semayamkanlah Dia di dalam hatimu dan engkau akan selamat. Ketahuilah bahwa yang berkuasa dari yang kuasa ialah atma, dirimu sendiri. Inilah kebenaran Brahman, kebenaran atma.

Mereka yang ingin mencapai kebenaran Brahman yaitu tujuan tertinggi, harus memulai perjalanan mereka dari tahap daasoham seperti yang telah dijelaskan sebelum ini. Pada tahap pertama ini seorang bhakta menganggap dirinya sebagai abdi atau utusan Tuhan, ini adalah tahap dwaita atau dualisme. Lambat laun kata daa dibuang sama sekali dan tinggal soham 'aku adalah Dia'. Dalam proses itu ia masuk ke tahap wishishta-adwaita, tahap utama yang kedua dalam jalan spiritual.

Kemudian bila ia terus melakukan soham, setelah beberapa lama suku kedua pada kata daasoham yaitu so, juga akan hilang dan hanya aham yang akan tinggal. Aham artinya 'aku', diri yang murni tanpa perubahan atau keterbatasan. Proses dari daasoham ke aham hampir menyerupai proses penyembuhan pada luka; kulit keras yang menutupi luka akhirnya lepas dengan sendirinya pada saat luka telah sembuh. Bila daa dan so yang menutupi "aku" yang murni telah lepas maka engkau akan sampai pada tahap terakhir, adwaita atau nondualisme. Maka engkau menyatu dengan kebenaran yang esa, aham aham ..... Aku adalah Aku.

Bila engkau menyatakan, "Aku Brahman, Aku Dia", engkau masih berada dalam tahap wishishtadwaita, masih ada dualisme karena masih terdapat dua yang ada, "Aku" dan "Brahman". Jadi hal ini belum merupakan adwaita yang sempurna, Pertama-tama ketika engkau mengatakan daasoham, daasoham 'Oh Tuhan, aku ini hamba-Mu', Tuhan terpisah dan hamba pun terpisah, status mereka pun jelas berbeda. Sebaliknya bila engkau mengatakan, "Aku Brahman", walaupun masih nampak adanya dualisme, perbedaan antara engkau dan Brahman tidak seperti subyek dan objek yang terpisah, tetapi lebih seperti melihat bayangan atau gambarmu sendiri pada cermin.

Bila ada orang yang berbeda-beda, bila banyak individu yang terpisah tersendiri, maka akan ada banyak pula bayangan atau pantulan cermin yang berbeda-beda. Tetapi dalam tahap wishishtadwaita engkau hanya melihat bayanganmu sendiri di mana-mana, karena engkau adalah semuanya. Diri yang esa terpantulkan menjadi banyak, seperti matahari yang satu tampak sebagai bayangan yang terpisah-pisah dalam sejumlah jambangan yang berisi ari. Jadi dalam tingkat wishishtadwaita engkau sendirian, tidak ada orang lain. Satu-satunya yang masih memisahkan engkau dari Tuhan adalah cermin. Engkau selalu melihat bayanganmu sendiri, dan engkau melihat dirimu sendiri sangat dekat dan berhadapan dengan Tuhan, selalu berdekatan dengan kaki-Nya.

Tetapi bila engkau melihat hanya satu Tuhan yang memenuhi segala sesuatu, lalu apakah perlunya bayangan? Apakah ada tempat di mana tidak ada Dia? Bila seluruh jagat adalah rumah Tuhan Yang Maha ada dimanakah engkau harus mencari pintu untuk memasuki rumah-Nya? Jika ada jalan yang terpisah dan rumah terpisah, maka harus ada pintu yang membuka ke jalan, tetapi sebenarnya sama sekali tidak ada di jalan. Bila Tuhan ada di mana-mana, bagaimana mungkin ada tempat khusus untuk mencari dan menemukan-Nya? Tidak, tidak ada tempat yang khusus bagi-Nya. Bila engkau menyadari bahwa Ia ada di mana-mana setiap saat, maka pengertian yang benar mengenai ketuhanan bukanlah seperti suatu benda yang bayangannya dapat dilihat di berbagai tempat, tetapi merupakan kesadaran bahwa hanya engkau, sang atma, diri yang esa, berada di mana-mana, ada di setiap benda secara utuh. Pengertian inilah, bahwa Tuhan memenuhi segala sesuatu, merupakan satu tiada duanya, disebut adwaita.

Sebagai bagian dari pemujaan keagamaan, dalam doa sering orang mengucapkan, "Ya Tuhan, aku ini pendosa, jiwaku penuh dosa, aku telah berbuat banyak dosa." Tetapi siapakah orang yang berdosa ini? Mungkinkah ada orang yang terpisah dari Tuhan? Mungkinkah ada orang seperti itu? Pertanyaan diri sebagai pendosa dan berbuat dosa ini tidak baik bagimu. Lebih baik engkau berkata, "Aku Shiwa, aku Tuhan, aku kedamaian, aku cinta kasih, akulah ananda 'kebahagiaan murni yang abadi'." Mengusahakan gagasan dan pikiran yang mulia seperti itu dalam dirimu adalah cara yang terbaik untuk mencapai tujuan.

Dalam Bhagawad Gita, pada daftar sifat-sifat mulia yang harus dimiliki oleh seorang bhakta, Tuhan memulai dengan adveshta sarva bhutanam 'janganlah membenci makhluk hidup apa pun'. Jika engkau menghadapi kebahagiaan dan kesengsaraan dengan keseimbangan batin, maka tidak ada lagi masalah kebencian itu. Jika engkau menyadari bahwa seluruh umat manusia dan segala makhluk dijiwai oleh kemampuan adikodrati yang sama, maka tidak akan ada peluang bagi kebencian.

Jika engkau menyadari bahwa Tuhan Yang Maha Esa bersemayam dalam semuanya, maka mana mungkin engkau membenci orang lain? Di manakah yang lain itu? Dalam hubungan ini mungkin engkau bertanya, ditujukan kepada siapakah kalimat adveshta sarva bhutanam itu? Apakah ia dimaksudkan untuk mereka yang telah menyadari prinsip adikodrati yang esa yang ada secara sama dalam diri mereka sendiri dan dalam setiap orang? Tidak!, Jelas bukan untuk mereka. Ajaran ini diberikan untuk mereka yang belum menyadari kebenaran agung akan persatuan semua makhluk.

Engkau akan mengalami kebahagiaan yang luar biasa bila engkau dijiwai oleh sikap daasoham. Engkau akan merasa sangat bahagia karena menghirup madu Tuhan, dan engkau tidak ingin lepas dari keadaan itu. Engkau lalu mengambil kesimpulan bahwa jika engkau beralih dari perasaan sebagai hamba menuju keadaan "Aku Brahman", engkau tidak akan dapat lagi menikmati manisnya madu Tuhan. Gula tidak mengetahui rasa manis dirinya; mungkin engkau beranggapan bahwa jika engkau menyatu dengan gula, engkau tidak akan dapat lagi menikmati manisnya gula itu. Karena engkau mengecap manisnya madu Tuhan dalam tahap daasoham, mungkin engkau lebih suka tetap berada pada tahap menghamba sehingga engkau bisa selalu merasakan manisnya madu Tuhan dan tidak ingin menyatu dengan Dia.

Misalnya, Hanuman mengalami kebahagiaan yang sangat mendalam karena sikapnya yang tak tergoyahkan, "Aku adalah hamba Sri Rama." Tetapi, berapa lamakah perasaan ini dapat berlangsung? Perasaan ini berlangsung selama engkau mendapat rahmat Tuhan dan dekat pada-Nya. Jika pada suatu saat engkau berpisah dari-Nya, maka mungkin sekali engkau akan mengalami penderitaan batin yang tak terhingga. Dalam tahap soham masalah penderitaan batin tidak ada karena dalam keadaan yang berbahagia itu engkau selalu bersama Tuhan dan tidak ada kemungkinan mengalami perpisahan atau penderitaan. Dalam tahap daasoham ada kemungkinan perpisahan antara Tuhan dan hamba-Nya, namun dalam tahap soham rasa kebahagiaan itu tidak akan terhenti karena kemungkinan perpisahan tidak akan timbul.

Jika engkau ingin mencapai kebenaran akhir tentang dirimu dan mengalami kebahagiaan atma, engkau perlu menguasai keinginan atau hawa nafsumu. Pada saat timbul suatu pikiran, engkau harus menyelidiki kualitas pikiranmu itu. Bertanyalah kepada dirimu sendiri, "Apakah pikiran ini berguna atau merusak kemajuan spiritualku?" Sejak permulaan pengabdi harus sangat berhati-hati dan memperhatikan agar gagasan yang buruk tidak menetap dalam pikiran mereka. Bagi kebanyakan orang, tidak mungkin mengosongkan pikiran, tetapi sekurang-kurangnya bila gagasan yang tidak baik timbul, engkau bisa berbuat sesuatu. Jangan biarkan ia mengendap dalam dirimu. Janganlah jika kau berikan tempat berlindung.

Ubahlah segera pikiran yang buruk menjadi pikiran yang baik. Demikian pula engkau harus berusaha untuk melakukan perbuatan yang baik saja, dan gunakan setiap kesempatan untuk mengubah perbuatan yang baik menjadi suatu kebhaktian dengan mengabdikannya kepada Tuhan. Dengan mengubah segala pikiran menjadi pikiran yang mulia dan seluruh pekerjaan menjadi pemujaan kepada Tuhan, engkau akan maju dengan sendirinya pada jalan yang suci. Dengan mengendalikan pikiranmu seperti itu, engkau akan mampu pula mengendalikan amarah yang mungkin timbul. Banyak orang merisaukan hal ini, apa kiranya jalan yang terbaik untuk mengendalikan amarah yang datang dan mencoba menguasai diri mereka.

Inilah cara yang paling baik untuk mengendalikan amarah. Pada saat engkau menyadari bahwa rasa marah timbul dalam dirimu, tertawalah sekeras-kerasnya. Atau pergilah ke kamar mandi lalu mandi dengan air dingin. Boleh juga engkau minum segelas air yang dingin dan menenangkan dirimu di tempat yang sejuk. Pada saat rasa marah timbul akan sangat membantu bila engkau meninggalkan tempat itu dan pergi ke tempat lain. Jika dengan semua cara ini engkau masih belum berhasil mengendalikan amarahmu, berdirilah di depan cermin dan pandanglah wajahmu; setelah melihat wajahmu itu engkau past akan merasa muak sehingga engkau akan dapat segera mengendalikan amarahmu. Inilah beberapa cara untuk menghadapi rasa marah.

Ada satu hal lagi yang dapat kau lakukan bila rasa marah timbul yaitu dengan mencari sebab amarah itu. Dapatkah rasa marah itu dibenarkan? Ingatlah bahwa jika amarahmu akan mencelakakan orang lain, engkau akan berdosa, dan hal ini tentu tidak baik untukmu. Orang biasa sangat sulit melaksanakan cara ini, namun cukuplah kau ingat, jangan terburu-buru menggunakan lidahmu pada waktu marah dan melontarkan kata-kata yang keras. Berpikirlah sebentar. Dalam berbagai cara, rasa marah melemahkan orang yang berusaha melakukan sadhana. Bila engkau berusaha mengendalikan amarahmu pada saat perasaan itu timbul, usaha ini akan menguatkan badanmu dan menyucikan pikiranmu.

Gita menyatakan bahwa orang yang lemah tidak akan pernah mencapai kesadaran diri yang sejati; karena itu, untuk memperoleh pengetahuan atma, penting sekali engkau mengendalikan raga dan dwesha sepenuhnya 'perasaan suka dan kebencianmu' atau 'keinginan dan amarahmu'. Sesungguhnya hal ini sangat perlu bagi setiap orang, tidak hanya bagi pengabdi. Raga dan dweshalah yang bertanggung jawab atas segala sesuatu di dunia ini. Selama engkau sibuk dengan urusan duniawi, terang atma tidak akan menyinari engkau. Karena itu, raga dan dwesha 'rasa tertarik dan rasa tak suka' untuk hal-hal duniawi, harus disingkirkan dari hatimu, kemudian pengetahuan atma dapat tumbuh di situ. Jika engkau memiliki pengetahuan atma dalam hatimu, engkau akan menikmati kedamaian, maka keharuman kedamaian akan tersebar ke sekelilingmu. Sebaliknya, jika engkau diliputi oleh perasaan yang buruk, pikiran yang buruk, dan perbuatan yang buruk, semua itu akan terus mencemari hatimu dan akan meracuni orang lain pula.

Apakah baik atau buruk, pikiran apa pun yang meliputi hatimu dan bercokol di sana akan segera menyebar ke orang-orang di sekitarmu, dan orang-orang ini akan mulai memancarkan perasaan yang sama. Kadang-kadang agak sulit membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Jika engkau memegang sekuntum bunga mawar di tangan kananmu, kesemerbakan bunga itu tidak hanya menyentuh dirimu, tetapi juga orang-orang di sekitarmu. Jika bunga yang sama kau pegang dengan tangan kiri, keharuman-nya akan menyentuh orang-orang itu juga. Mungkin engkau membedakan antara kanan dan kiri, tetapi keharuman tidak ada bedanya sama sekali. Apakah engkau percaya kepada Tuhan atau tidak percaya kepada Tuhan, hal ini hanya berkaitan dengan perasaan dan kepercayaanmu. Bagi Tuhan, jika engkau mempunyai pikiran yang baik, melakukan pekerjaan yang baik, dan mengucapkan kata-kata yang baik, walaupun engkau tidak percaya kepada Tuhan, engkau akan dicintai-Nya. Dalam Gita Tuhan berkata, "Siapa pun dia, jika ia mampu mengendalikan keinginan dan amarahnya, jika ia telah menaklukkan raga dan dwesha, ia Kucintai."

Filsafat India telah dikelompokkan menurut mereka yang percaya kepada Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Weda, dan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan dan tidak mematuhi amanat-amanat-Nya. Yang pertama disebut astika, yang belakangan disebut nastika. Namun perbedaan yang sebenarnya antara astika dan nastika didasarkan atas kualitas watak mereka, bukan atas kepercayaan mereka. Astika adalah orang yang percaya kepada diri yang sejati yang esa pada dirinya. Ada juga orang yang tergolong astika-nastika yaitu orang yang bertakwa kepada Tuhan dan berdoa kepada-Nya apabila timbul kesulitan-kesulitan pribadi, tetapi begiu kesulitan itu teratasi dan ia merasa senang lagi, lalu ia lupa akan Tuhan.

Prahlada, putra raja raksasa yang bernama Hiranyakashipu adalah salah seorang abdi Tuhan yang paling hebat dan dapat dianggap seorang astika. Sikap astika ini tidak dipelajari, hal ini ada sejak lahir. Walau dihadapkan pada berbagai kesulitan yang besar, Prahlada dapat terus menikmati kebahagiaan dirinya yang sejati dan mengetahui adanya Tuhan dalam hatinya. Ahlada berarti 'kegembiraan atau kebahagiaan', pra berarti 'berkembang'. Karena itu Prahlada adalah seorang yang selalu bahagia. Jadi, bila engkau selalu memikirkan Tuhan, perasaan bahagia ini akan memancar dengan kecemerlangan yang indah, dan engkau akan menyatu dengan Brahman. Dalam Weda kita dapatkan pernyataan agung ini, "Brahmavid Brahmaiva Bhavati" 'Ia yang mengetahui Brahman sesungguhnya menjadi Brahman sendiri'.

Pertama-tama dalam tahap permulaan engkau harus berusaha mengendalikan raga dan dwesha atau kama dan krodha 'keinginan dan amarah'. Ini akan memungkinkan sifat Tuhan memancar dari dalam dirimu. Sifat yang buruk tidak baik bagi siapa pun. Karena itu, mengendalikan keinginan dan amarah adalah tugas utama bagi setiap pengabdi. Jadikanlah hal ini sadhana yang utama pada awal jalan spiritualmu. Dengan demikian, engkau akan mampu menunaikan hidup yang benar dan mencapai tujuan. Tetapi bila engkau membiarkan keinginan dan amarah tetap bercokol dalam dirimu, maka kegiatan spiritual apa pun yang kau lakukan akan sia-sia dan kehidupanmu pun akan sia-sia belaka.
 
PERCAKAPAN 10

CINTA KASIH DAN PENGORBANAN, OBAT UNTUK AMARAH DAN NAFSU


Amarah lahir dari nafsu. Nafsu timbul dari pikiran. Karena itu, pikiranlah yang bertanggung jawab atas amarah dan nafsu. Engkau tidak dapat memperoleh kain tanpa benang dan benang tanpa kapas, demikian pula engkau tidak dapat memperoleh amarah tanpa nafsu, dan nafsu tanpa pikiran. Dalam Gita, Guru Dewa menamakan nafsu dan marah itu analam, secara harfiah artinya 'api'. Ada bahaya terkena panasnya api walaupun api itu agak jauh dari engkau. Bila api yang menyala di luar dirimu berbahaya, maka betapa engkau harus lebih berhati-hati bila api itu berkobar dalam hatimu. Api hawa nafsu dan amarah ini mempunyai kemampuan yang sangat luar biasa untuk menghancurkan seluruh kualitas manusia dan memadamkan percikan ketuhanan yang ada dalam hatimu sehingga hanya sifat setan yang masih ada. Api nafsu ini tidak mempunyai tujuan jangka panjang; ia tidak akan reda setelah mencapai suatu tujuan; sebaliknya, ia tidak pernah merasa puas. Seleranya yang menggelora tak kunjung padam. Bahan bakar apa pun engkau masukkan ke dalam api, entah kayu, minyak, atau yang lain-lain, tidak akan pernah cukup Kata alam berarti 'kepuasan', dan analam artinya 'tanpa kepuasan'. Api nafsu dan amarah ini yaitu analam, tidak mengenal kepuasan sama sekali.

Hampir semua barang di dunia ada batasnya, tetapi lapar api ini tidak mempunyai batas sama sekali. Karena sifatnya seperti itu, bagaimana cara mengendalikannya? Tuhan berkata dalam Gita, "Engkau dapat menaklukkan nafsu dengan penyangkalan diri dan pengorbanan." Di mana ada cinta kasih, di sana tidak akan ada amarah. Jika engkau mengembangkan cinta kasih, tidak akan ada tempat di hatimu bagi kebencian dan amarah. Hati itu ibarat kursi untuk satu orang, hanya dapat diisi dengan satu kualitas, kualitas lain tidak dapat masuk atau mendudukinya pada saat yang sama. Seorang pengabdi harus berusaha membina kasih dalam hatinya. Jika engkau hendak menaklukkan amarah dengan cinta kasih, engkau harus mengembangkan cinta kasih dengan cara yang mulia. Cinta kasih selalu bersedia memancar bebas, memaafkan atau mengabaikan cacat cela dan kelemahan orang lain. Cinta kasih mempunyai kualitas yang luar biasa, ia hidup dengan memberi dan memaafkan, sedangkan ego atau sang 'aku kecil' hidup dengan mendapat dan melupakan. Di mana ada cinta kasih, tidak ada tempat bagi egoisme, dan di mana ada egoisme, tidak akan ada cinta kasih.

Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak dapat kau capai bila engkau memancarkan cinta kasih. Dengan cinta kasih engkau dapat mengatasi segala hambatan. Karena itu, untuk mengalahkan amarah secara tuntas, engkau harus mengisi hatimu dengan cinta kasih dan menjadikan kasih sebagai suatu kemampuan yang berpengaruh atau paling penting dalam hidupmu. Bila engkau menyadari bahwa penghuni hatimu adalah penghuni setiap hati manusia, bahwa Tuhan yang kau puja yang duduk di singgasana hatimu juga bersemayam dalam setiap hati manusia maka tidak mungkin engkau bisa membenci atau marah pada siapa pun juga di dunia ini. Bila Tuhan Yang Esa itu ada dalam setiap hati manusia, bagaimana mungkin engkau memandang rendah dan menghina orang lain. Karena itu, penuhilah dirimu dengan kasih dan binalah hingga tak terhapuskan lagi dari dalam hatimu.

Seperti telah diutarakan sebelumnya oleh Swami, bila cinta kasih dikaitkan dengan pikiran, ia menjadi kebenaran, bila cinta kasih dijadikan dasar perbuatan, perbuatanmu menjadi dharma, bila perasaanmu dijiwai oleh cinta kasih, hatimu penuh dengan kedamaian yang tertinggi, dan bila engkau menjadikan cinta kasih sebagai penuntun pengertian dan cara berpikirmu, maka akal budimu akan dijiwai oleh sikap tanpa kekerasan. Karena itu, kasih adalah kebenaran, kasih adalah kebajikan, kasih adalah kedamaian, kasih adalah tanpa kekerasan. Semua sifat yang agung itu didasari oleh cinta kasih. Jika pikiranmu tidak dijiwai oleh cinta kasih, tidak akan ada kebenaran. Jika cinta kasih tidak menjiwai perbuatanmu, tidak akan ada dharma. Jika engkau tidak merasakan cinta kasih dalam hatimu, tidak akan ada kedamaian. Dan jika engkau tidak melandasi pikiranmu dengan cinta-kasih, tanpa kekerasan tidak akan menetap dalam akal budimu. Jadi, seperti gula adalah bahan baku dari segala macam gula-gula, demikian juga cinta kasih adalah bahan pokok untuk sathya 'kebenaran', dharma 'kebajikan', shanti 'kedamaian', dan ahimsa 'tanpa kekerasan. Cinta kasih adalah ketuhanan itu sendiri. Cinta kasih adalah Tuhan dan Tuhan adalah cinta kasih. Cinta kasih adalah kemampuan Tuhan yang menghidupkan segala-galanya. Dengan cinta kasih engkau dapat dengan mudah mengalahkan kebencian dan kemarahan. Karena itu, hiduplah selalu dalam kasih.

Amarah dapat menjadi sumber bermacam-macam kesulitan dan menghadapkan engkau pada masalah yang tak terhitung banyaknya. Ia menghancurkan kewibawaanmu dan meruntuhkan prinsip kemanusiaan pada dirimu. Mula-mula amarah masuk dalam bentuk yang sangat halus dan lambat laun memenuhi semuanya. Pada mulanya ketika ia masuk, ia hanya minta tempat yang kecil. "Berilah aku tempat duduk sedikit saja," katanya. Bila sudah mapan, ia berkata, "Sekarang aku akan membuat tempat untuk berbaring dan tinggal di sini." Tetapi, sifat buruk semacam itu jangan kau beri tempat sedikit pun di dalam hatimu. Sekali kau biarkan rasa marah memasuki dirimu, tidak akan mungkin menyingkirkannya. Walau kau jadikan dia teman dan kau beri uang lima juta rupiah ia tidak akan mau meninggalkan engkau. Ia adalah racun paling berbahaya yang tidak boleh kau beri tempat berpijak sedikit pun dalam dirimu.

Pada mobil, lampu belakang terus memberi tanda (peringatan) sebelum mobil berhenti. Demikian pula sebelum kemarahanmu meledak, matamu menjadi merah, bibirmu gemetar, dan seluruh badan menjadi panas. Pada saat engkau menunjukkan gejala ini, sebaiknya tinggalkan segera tempat itu dan carilah tempat yang sepi lalu duduklah sampai perasaanmu tenang kembali. Seperti telah Kukatakan kemarin, dapat juga engkau mandi air dingin. Bila rasa marah dinyatakan dalam kata-kata, hal itu dapat menimbulkan komplikasi dan masalah yang tidak ada habis-habisnya kelak. Walaupun marahmu dapat dibenarkan dan untuk mempertahankan kebenaran, engkau tetap harus belajar untuk mengatakan kebenaran itu dengan cara yang manis yang simpatik, dengan cara yang dapat diterima oleh orang lain, tanpa menyakiti perasaan orang lain. Karena itu, setiap pengabdi harus belajar mengendalikan amarahnya dengan mengembangkan dan mengisi hatinya dengan cinta kasih.

Sekarang baiklah kita bicarakan tentang bagaimana mengatasi nafsu. Untuk mengalahkan nafsu engkau harus mengembangkan sifat suka berkorban, engkau harus benar-benar mempraktekkan penyangkalan diri. Penyangkalan diri tidak berarti bahwa engkau meninggalkan keluarga dan pergi ke hutan; juga tidak berarti bahwa engkau harus meninggalkan harta bendamu dan menjadi pertapa. Sesudah engkau menyadari cacat suatu benda, sesudah engkau mengetahui sifat kesementaraannya dan bahwa ia tidak berguna dalam usahamu mencapai tujuan, dengan sendirinya engkau tidak akan menginginkannya lagi, bahkan pada waktu menempuh hidup berumah tangga yang penuh dengan kesibukan duniawi, engkau dapat mengetahui cacat dan kelemahan hal-hal yang bersifat duniawi. Umpamanya, barangkali ada makanan tertentu yang sangat kau sukai, mungkin di piringmu telah tersedia beraneka ragam hidangan yang terbuat dari makanan itu, dan engkau telah siap akan menyantap dengan penuh selera, tetapi tiba-tiba juru masak datang dan berkata. "Tuan, jangan makan hidangan itu, ada serangga beracun yang jatuh dan mati di dalamnya." Begitu engkau mendengar hal ini dan tahu kalau makanan itu berbahaya bila dimakan, engkau tidak akan mau memakannya sekalipun sebelumnya engkau sangat menyukai hidangan itu dan ingin sekali menikmati.

Begitu pula engkau harus mengetahui sifat atau keadaan benda-benda duniawi. Mereka terus mengalami perubahan dan pada suatu saat kelak tidak ada lagi. Setelah menyadari hal ini, bagaimana mungkin engkau tetap ingin mendapatkan dan ingin terus menikmatinya? Makanan hanyalah obat untuk penyakit yang disebut lapar. Bagaimana mungkin hal ini dapat menjadi kegemaran yang mewah? Bila engkau sakit dan diberi obat, apakah engkau akan menolaknya jika obat itu terasa tidak enak? Karena itu, ketahuilah kenyataan bahwa benda-benda yang kau pergunakan di dunia ini semata-mata obat untuk penyakit yang kau derita.

Bila penyakit akan sembuh, kebutuhan akan obat berkurang. Bila engkau sehat engkau sama sekali tidak perlu minum obat; tetapi bila engkau harus minum obat yang tepat yang dapat menyembuhkan penyakit. Engkau tidak bisa menolak obat hanya karena kurang enak dan kurang sedap cita rasanya, tetapi ingin supaya sembuh. Sekarang engkau mengejar berbagai hal yang menarik dan enak yang tidak akan menyembuhkan penyakitmu, tetapi sebaliknya akan membahayakan. Engkau gembira karena engkau mengalami hal-hal yang menyenangkan di dunia dan hidupmu sangat senang menikmati berbagai hal yang tampaknya memberimu kesenangan hidup dan kegembiraan. Tetapi semua itu bukan kesenangan yang sejati karena kelak engkau pasti harus menghadapi akibatnya jika sekarang engkau mengumbar dirimu.

Bayangkan sebuah pohon dengan cabang-cabangnya yang berbunga dan berbuah lebat. Pohon itu kelihatan hebat dan menarik. Pada suatu hari pohon ini mengering dan kembangnya berguguran. Apakah karena kekurangan air atau pupuk? Apakah karena lalai memberi makan? Tidak, ada semacam hama yang menyerang akarnya dan mematikan pohon yang indah ini. Demikian pula bila engkau membiarkan hawa nafsu dan kebencian memasuki hatimu, maka pada suatu hari engkau akan hancur secara tiba-tiba. Hal ini pasti terjadi.

Dalam dunia yang fana ini engkau mengira bahwa orang kaya adalah orang yang sangat penting, tetapi dalam dunia spiritual kekayaan duniawi tidak ada artinya. Amal kedermawanan adalah sifat yang jauh lebih besar artinya daripada segala harta kekayaan. Jika tidak ada amal kedermawanan, harta kekayaan tidak ada nilainya sama sekali. Engkau mempunyai empat anak, masing-masing akan meminta hartamu. Yang pertama adalah amal kedermawanan. Yang kedua adalah pemerintah. Yang ketiga pencuri. Dan yang keempat api. Masing-masing ingin mewarisi kekayaanmu, tetapi jika engkau serahkan seluruh kekayaan kepada anak pertama, yaitu amal kedermawanan, maka yang lain tidak akan mendapat bagian. Bila kau dermakan dengan tulus dan ikhlas untuk amal, engkau akan melihat bahwa ketiga lainnya akan menghargai keputusanmu dan tidak akan menuntut hak mereka.

Umpamanya kita mengetahui bahwa pemerintah memberikan pembebasan pembayaran pajak penghasilan bila kita menyumbang untuk amal. Bahkan api pun akan takut kepadamu dan pencuri tidak akan mengganggu engkau. Jadi, bila engkau memberi untuk amal yang diibaratkan sebagai putra yang patut menerima warisan, maka lain-lainnya yang mestinya akan berusaha menuntut kekayaanmu akan menghormati tindakanmu dan tidak ingin mengganggu. Tetapi, bila engkau memiliki harta benda dan tidak melakukan amal kedermawanan, pencuri akan melirik kekayaanmu dan pemerintah juga akan berusaha mengambil bagian dari kekayaanmu itu. Jika mereka berdua karena suatu hal tidak dapat berbuat apa-apa, maka pada suatu hari api akan membinasakan milikmu itu. Karena itu Gita telah menyimpulkan bahwa amal kedermawananlah yang sesungguhnya amat penting, bukan kekayaan.

Begitu pula dalam kehidupan manusia, bukan kefasihan berbicaralah yang penting, melainkan kebenaran yang diucapkan. Jika tidak akan ada kebenaran dalam ucapanmu maka apa pun yang kau katakan tidak akan ada nilainya sama sekali. Gita juga mengajarkan bahwa bukan hidup itu sendiri yang penting, melainkan watak yang baik. Hidup tanpa watak yang baik tidak ada gunanya. Engkau harus mengembangkan watak yang baik dan memperoleh nama yang harum sehingga asas kemanusiaan akan bersinar dalam dirimu. Tugasmu yang amat penting adalah mempunyai pikiran yang baik, perbuatan yang baik, berbicara yang baik, dan hidup yang benar. Engkau harus sangat berhati-hati dengan kata-kata dan perbuatanmu sehingga engkau tidak mendapat nama yang buruk. Daripada hidup seratus tahun sebagai gagak pemakan bangkai binatang lain, jauh lebih baik hidup beberapa saat sebagai angsa dengan nama yang tidak tercela dan watak yang tak bernoda. Gita menamakan manusia yang mulia itu yang hidupnya penuh dengan kebaikan, adalah seorang Paramahamsa (manusia yang sangat suci).

Perbuatan yang baik jauh lebih penting daripada kemampuan fisik. Badan yang tidak digunakan untuk membantu orang lain tidak ubahnya seperti mayat. Gunakanlah badanmu untuk mengabdi umat manusia, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhanmu sendiri yang egois. Dewasa ini apa pun yang dilakukan, dipikirkan, atau diucapkan oleh seseorang, terutama terdorong oleh kepentingan diri sendiri. Untuk mengatasi kecenderungan ini engkau harus selalu mencari kesempatan untuk menolong orang lain dan mengembangkan prinsip bhakti sosial ini. Dalam proses ini, dengan perbuatanmu yang baik, seluruh umat manusia akan tersucikan. Sangat sulit untuk lahir sebagai manusia. Engkau harus merenungkan bagaimana caranya memanfaatkan dengan baik kesempatan hidup yang langka ini yang telah dikaruniakan kepadamu, serta mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik yang akan dapat mengatasi kelemahan nafsu dan amarah yang menyebabkan tersia-sianya kesempatan baikmu ini. Bagaimana caranya mengatasi kebiasaan buruk yang telah mengakar dan menggantikannya dengan kebiasaan baik?

Ada sebuah contoh,
Pada suatu hari seekor anjing yang bagus kebetulan masuk ke rumahmu; engkau tidak tahu siapa pemiliknya. Binatang itu sangat menarik. Agar ia mau diam sebentar dan engkau dapat menikmati keindahannya, engkau beri anjing itu makanan. Keesokan harinya kira-kira pada waktu yang sama anjing itu datang lagi dan kau beri makan lagi karena engkau senang dikunjung olehnya. Demikianlah setiap hari anjing itu datang untuk mencari makanan dan lambat laun setelah beberapa lama, rasa sayangmu bertambah dan anjing ini datang secara teratur serta tinggal lebih lama di rumahmu. Suatu saat, ia tidak mau pergi lagi dan sejak waktu itu ia terus tinggal di rumahmu. Tetapi kebahagiaan yang kau nikmati dengan melihat keindahan fisik tidak berlangsung lama; setelah keindahan itu tidak lagi diikuti oleh kebahagiaan, engkau merasa muak. Dalam hal anjing ini, engkau bosan melihatnya terus menerus, lalu engkau mencari akal untuk membebaskan diri dari anjing tersebut.

Mula-mula engkau harus bertanya kepada dirimu sendiri mengapa anjing itu menyukai engkau dan sekarang tinggal di rumahmu. Sebabnya adalah dari sejak semula engkau memberinya makan setiap hari, engkau juga membelainya, mengaguminya dan sangat memperhatikannya. Perbuatan yang berulang setiap hari inilah yang menimbulkan keterikatan antara engkau dan anjing itu. Sekarang engkau harus mengembangkan kebiasaan yang baru (abhyasa) yang akan memutuskan keterikatan ini dan membantumu menyingkirkan anjing itu. Untuk ini cara yang terbaik adalah membalik proses semula yang telah menimbulkan keterikatan dan membuat engkau sangat cinta kepada benda itu.

Dalam masalah anjing ini, jika ia tidak diberi makan selama beberapa hari dan semua orang tidak mengacuhkannya, tidak memperhatikannya sama sekali, maka anjing itu akan segera pergi dengan kemauannya sendiri. Karena itu, kebiasaanlah yang penting, melalui kebiasaan engkau mengembangkan beberapa keterikatan tertentu dan memperoleh sifat-sifat yang tidak diinginkan, dan melalui perbuatan yang berulang-ulang juga engkau dapat mengubahnya. Bhagawad Gita mengatakan bahwa segala kebiasaan dimulai dengan berbuat. Bab Bhakti Yoga ayat keduabelas mengatakan, "Melalui latihan engkau dapat memperoleh ilmu pengetahuan, melalui ilmu pengetahuan engkau dapat menjalankan meditasi, melalui meditasi engkau dapat menumbuhkan semangat pengorbanan, dan hanya bila engkau telah melakukan pengorbanan engkau akan mendapat kedamaian batin." Karena itu, segala sesuatu dimulai dengan abhyasa atau perbuatan yang berulang-ulang.

Selama berkali-kali kelahiran engkau telah terpikat oleh kecantikan dan dikuasai oleh keinginan serta amarah hingga hawa nafsu ini telah mendarah daging. Kini engkau telah menjadi budak nafsu. Sekedar kata-kata tidak akan berhasil menyingkirkannya. Setelah terjadi keterikatan begitu lama, sifat-sifat negatif ini telah berurat berakar sehingga walaupun batangnya kau potong pada permukaan, ia akan tumbuh kembali. Bila nafsu telah menjadi bagian dirimu, hanya dengan membalik proses dan dengan mempraktekkan sikap yang tak terpengaruh serta penyangkalan diri, engkau akan mampu menyingkirkan hamba yang telah bersarang dalam dirimu. Mula-mula nafsu sangat menarik dan menyenangkan. Lama kelamaan engkau akan merasa muak, tetapi pada saat itu sudah sangat sulit bahkan sebenarnya hampir tidak mungkin menghilangkannya. Karena itu, yang paling baik bila sejak semula engkau mengembangkan sikap tidak terpengaruh dan penyangkalan diri sebagai bagian dari sifatmu dan jangan memberi tempat atau mementingkan keinginan dan hawa nafsu. Jika engkau tidak mempunyai keikhlasan berkorban dan kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsu, engkau tidak siap menerima rahmat Tuhan.

Sapi atau kuda yang tidak dapat dikendalikan, mobil tanpa rem, atau hidup tanpa pengendalian indera, semuanya berbahaya. Pengendalian indera itu sangat penting. Dalam Yoga Sutra, Patanjali menandaskan perlunya pengendalian yang ketat atas kecenderungan pikiran untuk berlari ke segala jurusan mengikuti nafsu. Pikiran dan indera harus dikendalikan dan dibatasi, bahkan kebahagiaan yang melebihi batas dapat berbahaya. Segala sesuatu ada batasnya, ada batas-batas yang wajar.

Suhu badan yang normal 37°C, jika naik satu derajat saja berarti akan ada suatu penyakit. Hanya bila suhu itu berada pada batas-batas yang tepat, hal itu menandakan bahwa badan kita sehat. Demikian pula tekanan darah kita dikatakan normal bila angka menunjukkan 120 di atas 80. Jika tekanan naik sampai 150 di atas 90, hal itu menandakan kondisi badan kita tidak normal, mungkin suatu tanda bahwa kita sakit. Demikian juga denyut nadi kita seharusnya sekitar 75, jika meningkat akan ada suatu penyakit. Begitu juga dengan matamu, ia berfungsi dengan baik sampai batas cahaya tertentu. Jika cahaya tidak terlalu terang, mata tidak dapat melihat dan akan rusak. Sama halnya dengan telinga, bunyi yang dapat didengar terbatas. Jika tingkat bunyi melebihi batas itu, misalnya di dekat pesawat udara, kereta api, atau pengeras suara, pendengaran akan terganggu.

Kita melihat bahwa hidup ini hampir sama dengan perusahaan terbatas. Jika engkau akan melakukan usaha dagang terlalu luas dengan kemampuan perusahaan yang terbatas, engkau akan menanggung beban terlalu besar. Karena itu, engkau harus membatasi tingkah lakumu dan menempuh hidupmu dalam batas-batas yang telah ditetapkan. Hal ini juga dapat dinamakan disiplin. Disiplin sangat perlu untuk kemajuan hidup spiritual seseorang, tanpa disiplin, manusia tidak berbeda dengan binatang. Tetapi disiplin pun harus dilaksanakan dalam batas-batas tertentu; bahkan disiplin perlu diatur jika engkau ingin menikmati hidup. Engkau mengetahui bahwa segala sesuatu ada batasnya, jika engkau tetap berada dalam batas-batas itu, engkau tidak akan mengalami kesulitan dalam hidupmu.

Engkau harus memperhatikan dua musuh manusia yang mengerikan ini, yaitu kama dan krodha 'nafsu' dan 'amarah', dan berusahalah mengendalikan mereka. Musuh-musuh ini tidak berada di luar dirimu, melainkan ada dalam dirimu. Jika engkau dikalahkan oleh musuh dalam dirimu, bagaimana engkau berharap dapat mengalahkan musuh di luar dirimu? Tetapi jika engkau mampu menguasai musuh dalam dirimu, musuh-musuhmu yang lain dapat ditaklukkan dengan mudah. Bhagawad Gita mengajarkan bahwa nafsu dan amarah merupakan hambatan utama menuju pembebasan, karena itu penting sekali mereka harus dikuasai. Pada hari mendatang akan kita bicarakan musuh-musuh lain yang menghalangi jalanmu, seperti kedengkian dan kekikiran.
 
PERCAKAPAN 11

PENGUNDURAN DIRI YANG SEJATI IALAH MEMUSATKAN PIKIRANMU KEPADA TUHAN


Setelah engkau mengetahui cacat dan kelemahan pada benda-benda duniawi, engkau tidak lagi ingin memiliki benda-benda itu. Jika engkau ingin mencapai Tuhan dan mendapat penampakan-Nya, sifat paling penting yang harus kau kembangkan adalah wairagya 'ketidakterikatan' atau pengunduran diri dari keduniawian. Ketidakterikatan memberi engkau kemampuan untuk mengarahkan pandanganmu ke dalam batin; hal ini memungkinkan engkau mengarahkan perhatian pada pikiranmu ke alam batin dan menghayati keindahannya. Pikiran itu sangat kuat dan berubah terus, ia bertekad mencapai tujuan. Arjuna memohon kepada Krishna agar membantunya dalam pengendalian pikiran. Ia berkeluh kesah, "Ya Tuhan, pikiranku sangat kuat dan tetap berontak." Krishna menjawab, "Arjuna, jika engkau melaksanakan ketidakterikatan, engkau pasti mampu mengendalikan pikiranmu."

Pikiran dapat diumpamakan sebagai pohon pipal. Ada angin atau tidak daun pipal selalu bergetar. Demikian pula pikiran selalu berubah dan mudah terombang-ambing. Di samping itu, pikiran sangat kuat dan keras kepala. Misalkan saja gajah, binatang ini juga sangat kuat dan kadang-kadang amat galak. Namun, dengan tongkat yang berujung runcing engkau dapat menguasainya. Kuda tidak pernah diam; itulah sebabnya ia dinamakan ashok yang artinya 'bergerak terus'. Ia selalu menggerakkan kakinya, telinganya, kepalanya, atau ekornya. Karena ingin bergerak terus, ia berjalan kian kemari, tetapi dengan tali kekang ia dapat dikendalikan dan diarahkan sesuai dengan kehendak sang penunggang.

Contoh lain adalah kera yang suka berkelana kian kemari, mencerminkan ketidaktenangan dan ketidaktetapan; tetapi dengan latihan, ia pun dapat dikendalikan. Karena itu, sebagaimana halnya dengan tongkat engkau dapat mengendalikan gajah yang mungkin sangat galak dan kuat, sebagaimana halnya dengan kekang engkau dapat mengendalikan kuda yang sangat gelisah dan tidak tenang, sebagaimana halnya dengan latihan, kera pun dapat dikendalikan, demikian pula pikiran yang juga kuat dan tidak tetap, dapat dikendalikan dengan ketidakterikatan dan latihan terus menerus, dengan kata lain dengan wairagya dan abhyasa.

Ketidakterikatan berarti menyadari sifat benda-benda yang sementara dan tidak membiarkan pikiran serta perasaan terikat pada hal-hal yang fana ini. Ini tidak berarti bahwa engkau merasa muak atau benci pada benda-benda itu, melainkan dalam hati engkau tidak terikat kepadanya. Tidak mungkin kita bersikap sama sekali tidak acuh pada benda-benda duniawi. Namun, engkau dapat meniadakan rasa "milikku", rasa memiliki. Bila engkau telah menghilangkan rasa memiliki itu, engkau dapat maju terus dan menikmati berbagai macam benda duniawi, hal itu tidak akan membahayakan. Dalam dunia yang fana ini segala sesuatu, setiap orang, dan semua benda mengalami perubahan. Dunia terdiri dari tiga macam perubahan, tumbuh, hidup, dan mati. Semua benda tunduk pada perubahan ini. Jika engkau mengkhayal bahwa dunia yang bersifat sementara dan tidak langgeng ini adalah abadi, dan engkau terikat pada benda-benda yang ada di dalamnya, itu sungguh-sungguh pikiran sinting.

Dalam pura Wisnu engkau akan melihat gambar Garuda. Dalam pura Shiwa engkau akan menemukan gambar Nandi 'lembu jantan'. Dalam pura Rama engkau akan melihat gambar Hanuman atau kera. Semua itu menggambarkan keterikatan yang benar yaitu keterikatan kepada Tuhan yang abadi dan ketidakterikatan pada dunia yang bersifat sementara. Seluruh perhatian Nandi, Garuda, dan Hanuman terpusat pada kaki Tuhan, mereka hanya melihat Tuhan, bukan dunia. Makna gambar itu adalah engkau tidak boleh terlalu memikirkan yang bersifat sementara, melainkan selalu memusatkan diri dan merenungkan yang bersifat abadi yaitu Tuhan itu sendiri. Bila engkau telah menyadari cacat benda-benda duniawi, sifat kesementaraannya dan ketidaklanggengnya, maka lambat laun engkau tidak ingin memilikinya. Banyak cerita yang menunjukkan bahwa Adiraja yang kaya raya, memiliki kemewahan dan harta benda yang tak terhingga, tidak mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian hati dari kekayaan tersebut. Untuk mendapat kedamaian mereka pergi ke hutan dan bertapa. Di sini mereka mendapat kepuasan hati dan hiburan batin yang mereka dambakan.

Ketidakterikatan tidak hanya berarti menyadari kekurangan dan kelemahan benda-benda yang bersifat sementara itu. Ada juga sifat positifnya, yaitu memanfaatkan sebesar-besarnya benda-benda duniawi itu. Engkau harus selalu berusaha menggunakan benda itu sebaik-baiknya dan memberikan penghargaan semestinya. Hanya dengan menyadari keterbatasan dan kesengsaraan yang ditimbulkan oleh benda-benda duniawi itu, engkau tidak akan memperoleh kebahagiaan. Engkau harus pula mengetahui bagaimana cara menggunakan benda itu untuk melakukan tugasmu di dunia, dengan demikian engkau akan memperoleh kepuasan batin. Dalam arti yang lebih luas, ketidakterikatan yang sejati adalah membuang kesengsaraan dunia dan memperoleh kebahagiaan batin. Meninggalkan keluarga, istri, anak, dan harta milik lalu pergi ke hutan tidak dapat dinamakan ketidakterikatan. Ketidakterikatan sesungguhnya adalah menyadari kelemahan suatu benda disamping menyadari segi-segi positifnya.

Bila engkau menemui kesulitan, entah fisik, mental, keuangan, atau kesulitan apa pun, mungkin engkau lalu mengembangkan perasaan tidak terikat pada objek yang menyebabkan keadaan itu. Hal ini wajar. Misalnya, seseorang meninggal dan jenazahnya dibawa ke tempat perabuan untuk dikremasikan. Bila engkau melihat situasi tersebut engkau mengalami ketidakterikatan tertentu dan berfilsafat bahwa badan kita ini suatu ketika harus lenyap. Tetapi ketidakterikatan ini hanya sementara, perasaan sementara, tidak dapat dianggap sebagai wairagya sejati.

Contoh lain ialah bila seorang ibu sedang melahirkan; karena tidak dapat menahan sakit, ia berteriak bahwa ia lebih suka mati. Ini juga bukan ketidakterikatan yang sejati. Sesudah bayinya lahir, misalnya bayi itu perempuan, segera ia ingin agar lain kali mendapat bayi laki-laki. Situasi yang sama terjadi jika seseorang tidak berhasil mencapai hal yang diinginkannya, di sini pun ia mengalami semacam ketidakterikatan. Semua sikap ini bersifat sementara, lain sekali dengan ketidakterikatan yang langgeng.

Ketidakterikatan yang langgeng disebut pula ketidakterikatan yang kuat, bertentangan dengan ketidakterikatan yang loyo atau lemah. Seseorang mungkin telah bertekad untuk berziarah ke salah satu dari tempat-tempat suci di India, namun lalu ada keinginan yang kuat untuk menundanya hingga bulan berikutnya. Bila untuk mengerjakan sesuatu yang baik, seperti misalnya berziarah, orang akan cenderung ingin menundanya. Sebaliknya, kalau untuk mengerjakan hal-hal yang tidak baik, orang ingin melakukannya segera di tempat itu juga tanpa membuang waktu. Biasanya orang tidak berusaha keras untuk mengerjakan hal-hal yang baik. Hal ini dapat disebut sebagai wairagya yang lemah yang berkecenderungan menunda pelaksanaan niat-niat yang baik atau perbuatan-perbuatan yang baik. Tetapi sikap semacam itu tidak akan membantu engkau mencapai tujuan spiritual. Hanya wairagya yang kuat, ketidakterikatan yang kuat yang amat penting untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan spiritual.

Jika engkau beranggapan bahwa suatu perbuatan adalah baik dan suci, janganlah hal itu kau tunda. Engkau harus segera melaksanakannya dan mengusahakan agar perbuatan baik ini selesai dengan sukses. Inilah jalan yang mudah ditempuh yang diajarkan oleh sang Buddha bagi semua manusia. Setelah Gautama Buddha menyadari bahwa badan ini tidak langgeng bahwa tidak ada satu benda duniawi pun yang dapat bertahan selamanya, Beliau bertekad akan mencari dan menemukan kebenaran yang abadi. Beliau meninggalkan keluarganya, kerajaannya, dan pergi ke hutan untuk mencapai penghayatan kesunyatan. Ada lagi seorang raja besar yang mempunyai jiwa pengorbanan dan ketidakterikatan yang kuat yaitu Harischandra. Walaupun sebenarnya ia adalah Adiraja, karena suatu kemalangan ia menjadi penunggu tempat perabuan.

Pada suatu hari, ketika Harischandra pertama kali melakukan tugasnya di tempat perabuan, ada jenazah seorang kaya yang dibawa ke sana oleh sejumlah besar handai taulan. Mereka membawa jenazah itu, membakarnya, dan segera kembali ke rumah masing-masing. Biasanya bila jenazah dibakar, harus ditaruh beban diatasnya sebab jika dipanasi jenazah itu akan melengkung seolah-olah akan bangun, dan kemudian terbaring kembali. Hari itu hanya Harischandra yang tetap tinggal di tempat perabuan, di antara teman dan kaum kerabat orang yang meninggal itu tidak ada seorang pun yang tinggal untuk memperhatikan jenazah tersebut. Harischandra pergi untuk mengambil kayu api lagi, tiba-tiba ia melihat jenazah itu bangun. Ia sangat terkejut lalu datang mendekat untuk mengamatinya.

Ketika Harischandra mendekati api, ia melihat jenazah itu telah kembali dalam posisi berbaring. Beberapa saat ia mengira bahwa jenazah itu hidup, duduk seolah-olah mencari keluarga dan kawan-kawannya, namun segera ia menyadari bahwa apa yang terjadi itu hanyalah ilusi sementara seakan-akan mayat itu hidup karena panas api. Harischandra berpikir, "Seperti aku mengira mayat itu hidup, aku mengira dunia ini pun nyata. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Dunia ini hanya tampaknya saja seakan-akan nyata." Harischandra menyayangkan bahwa orang sekaya itu tidak mempunyai sanak keluarga atau teman yang mau menunggu pembakaran jenazahnya sampai selesai. Ia berpikir, bagaimana pun kedudukan dan kekayaan seseorang, setelah ia meninggal, istri dan anak-anaknya sekalipun tidak merasa terikat kepadanya. Setelah mengalami hal ini Harischandra mempunyai rasa ketidakterikatan yang kuat terhadap benda-benda dan wujud keduniawian.

Setiap hari, bahkan setiap saat terjadi perubahan dalam semua benda di dunia ini. Perubahan ini tidak semu, bukan khayalan, tetapi alamiah dan merupakan sifat yang wajar pada setiap benda. Bila engkau telah menyadari bahwa dunia ini pada dasarnya merupakan panggung bagi terjadinya perubahan alamiah yang tak putus-putusnya dan bahwa perubahan itu telah menjadi sifat benda-benda duniawi, maka engkau akan bebas dari kesengsaraan. Siapa saja yang menyadari bahwa ada racun yang membawa maut dalam gigi ular berbisa, tidak akan mendekatinya. Jika engkau melihat seekor kalajengking dengan ekornya yang tegak ke atas mendekati engkau dan siap menyengatmu, tidakkah engkau lari menjauhinya? Hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa atau orang yang bodoh sekali akan mendekati binatang itu sehingga kena sengatannya dan meninggal.

Tuhan telah mengajarkan dalam Gita bahwa daripada menderita karena keterikatan dan mengalami kekecewaan bila harus terjadi perubahan, jauh lebih baik bila sejak semula tidak terikat pada benda dan hal-hal yang bersifat duniawi. Namun kini engkau terus merencanakan berbagai hal dan menginginkan macam-macam agar dapat memperoleh kebahagiaan yang sementara. Engkau menghabiskan tenagamu sendiri untuk memikirkan dan membuat rencana. "Aku mau membuat ini, aku mau membuat itu," atau "Aku akan mengerjakan ini, bukan itu," dan melibatkan diri dalam bermacam-macam proyek dan kegiatan. Tetapi engkau harus menanggung akibatnya dikemudian hari.

Bibit apa pun yang kau tanam melalui perbuatanmu akan matang dan kembali kepadamu dalam bentuk panen yang merupakan akibat dari perbuatanmu itu sendiri. Jika bibit itu tergolong pada suatu varietas tertentu, engkau tidak bisa berharap dapat memperoleh kembali akibat dari jenis yang lain. Apa pun perbuatan yang kau lakukan, buahnya yang sesuai akan diberikan kepadamu dalam bentuk karangan bunga yang dikalungkan pada lehermu. Pada waktu engkau lahir dari rahim ibumu, tidak ada kalung atau karangan bunga yang terlihat. Tidak ada rangkaian mutiara, tidak ada untaian batu permata, juga tidak ada kalung emas di lehermu, namun suatu kalung pasti ada pada lehermu. Kalung itu terangkai dari akibat-akibat perbuatanmu pada masa lalu yang telah kau lakukan pada kelahiran-kelahiran sebelumnya. Kalung itu yang diberikan kepadamu oleh Sang Pencipta akan menghias lehermu walaupun tidak tampak oleh mata biasa. Orang yang menyadari kebenaran bahwa setiap perbuatan akan menimbulkan akibat akan melakukan pekerjaan yang baik-baik saja dan akan memanfaatkan hidupnya hanya untuk melakukan perbuatan yang akan memberinya hasil yang baik. Hal ini telah diajarkan dalam Gita sebagai kegiatan spiritual yang sangat penting bagi para pengabdi. Pengamalan ini akhirnya akan membuat engkau mengabaikan dan tidak menginginkan hal-hal yang bersifat duniawi dan akan menghasilkan kebijaksanaan sejati. Ada sebuah contoh yang menggambarkan sifat dunia yang maya ini dan ketidakterikatan kepada maya yang harus kau miliki.

Raja Janaka memiliki keahlian yang luar biasa dalam Brahmajnana 'pengetahuan mengenai Brahman'. Ia dinamakan "Raja Wideha". Wideha artinya 'tiada jasmani', dengan kata lain, orang yang tidak mempunyai rasa kesadaran jasmani. Pada suatu malam setelah makan ia membicarakan masalah administrasi dengan para menterinya. Ia agak terlambat kembali ke ruang tidurnya. Makanan telah disiapkan, tetapi tidak disentuhnya. Ia duduk santai di atas sofa dan permaisurinya memijat kakinya. Raja Janaka segera tertidur. Permaisuri menyuruh semua dayangnya meninggalkan ruangan agar raja yang sangat lelah tidak terganggu. Raja diselimuti, lampu dikecilkan, dan Permaisuri duduk menungguinya. Tak lama kemudian Raja Janaka membuka mata, duduk, kemudian memandang ke sekelilingnya dengan heran bercampur ragu, dan sangat aneh ia bertanya, "Apakah ini nyata, atau apakah itu nyata? Apakah ini benar-benar atau apakah itu yang benar?"

Permaisuri agak ketakutan karena pandangan raja yang seakan-akan kebingungan dan pertanyaannya aneh, ia mencoba menanyakan apa sebenarnya maksud pertanyaan itu, tetapi raja tidak menjelaskan atau menjawabnya. Raja tetap bertanya, "Apa ini benar, apa itu yang benar?" Permaisuri memanggil para menteri, penasehat, dan pejabat-pejabat penting lainnya. Mereka berkumpul lalu bertanya kepadanya, "Maharaja, apa gerangan yang membingungkan Yang Mulia? Apa sebenarnya Yang Mulia tanyakan?" Namun, raja tidak menanggapi pertanyaan mereka. Akhirnya menteri memanggil Pandita Agung Washishta di balairung. Resi Washishta bertanya kepada raja, "Apa yang Baginda tanyakan? Apakah yang membingungkan Baginda? Kiranya saya bisa menjelaskan." Raja menjawab semua pertanyaan dengan pertanyaan pula, "Apa itu kebenaran, apa ini kebenaran? Apa ini kenyataan, apa itu kenyataan?"

Resi Washishta yang maha mengetahui itu memejamkan matanya dan melakukan meditasi sejenak untuk mengetahui apa yang menyebabkan raja berbuat aneh. Washishta tahu bahwa Raja Janaka secara tiba-tiba terbangun dari mimpi. Dalam mimpinya itu ia kehilangan kerajaannya lalu berkelana seorang diri dan merana di hutan. Ia merasa amat lapar, lelah, dan terpencil. Sementara mengembara dalam hutan, ia tak henti-hentinya berseru, "Aku lapar, aku lapar." Kebetulan ada beberapa perampok di hutan itu. Mereka sedang duduk di lapangan di dekatnya siap akan makan dengan menggunakan piring dari daun-daunan. Para perampok itu merasa iba melihat Janaka lalu mengajaknya ikut makan.

Pada saat itu juga datanglah seekor harimau. Mereka semua lari untuk menyelamatkan diri. Harimau itu melahap makanan mereka. Janaka dengan terhuyung-huyung berjalan lagi dalam hutan seraya berseru, "Oh, aku lapar. Aku sangat lapar." Ketika terbangun, didapatinya dirinya berada dalam istana di atas kursi kerajaan serta didampingi oleh Permaisuri. Di atas meja di dekatnya ada baki perak penuh dengan makan yang mewah dan sangat lezat. Ia mulai bertanya apakah ia adalah orang yang kelaparan yang merana seorang diri, meminta-minta makanan dari perampok dalam hutan yang seram ataukah ia adalah seorang Adiraja yang tinggal dalam istana megah di tengah-tengah segala kemewahan. "Apakah ini benar ataukah itu benar?"

Segera Maharesi Washishta mengetahui apa yang membingungkan sang raja lalu berkata, "Baginda Janaka, tak satu pun dari dua peristiwa ini benar. Anda sajalah yang benar. Anda, Anda sendirilah kebenaran. Anda yang hadir sebagai kesadaran murni, baik dalam keadaan mimpi maupun dalam keadaan jaga, Anda yang menyaksikan kedua keadaan ini, itulah kenyataan yang sejati. Hidup merupakan mimpi malam. Keduanya maya, penuh dengan cacat dan cela karena semua itu terus berubah, dari suatu benda ke benda lain; maka semua itu tidak sejati. Hanya Anda yang tetap tidak berubah dalam semua keadaan ini adalah kenyataan yang sejati, bebas dari segala perubahan dan maya." Hal ini juga ditekankan dalam Gita ketika Krishna menjelaskan kebenaran yang penting bahwa dunia ini selalu berubah dan hanya diri sejati sajalah yang tidak berubah.

Swami telah menjelaskan sebelumnya bahwa ketidakterikatan tidak berarti meninggalkan segala sesuatu lalu pergi ke hutan dan hidup sebagai sanyasin. Tapa brata tidak dimaksudkan sebagai sikap badan yang tertentu atau mati raga. Yang dimaksud dengan tapa adalah kesedihan sangat mendalam yang kau alami bila engkau merasa terpisah dari Tuhan. Bila engkau menanggung penderitaan batin karena keterpisahan ini, maka di mana pun engkau berada, engkau melakukan tapa. Selama mengalami kesedihan yang mendalam ini dan aspirasi yang kuat untuk mencapai Tuhan, engkau tidak akan terpengaruh oleh ketiga guna atau ketiga sifat yaitu tamas, rajas, dan satwa. Pada waktu itu semua guna akan lebur menjadi satu. Penyatuan ketiga guna inilah yang dinamakan tapa. Inilah yang menimbulkan kebahagiaan yang tak terlukiskan, yaitu kebahagiaan ananda. Jadi, tapa yang sejati ialah suatu keadaan ketika ketiga guna itu menyatu dan menimbulkan ananda atau kebahagiaan abadi. Untuk lebih mengerti hal ini, perhatikan contoh dari kehidupan kita sehari-hari.

Setiap hari engkau menikmati manfaat listrik. Ada kipas listrik di kamarmu. Tiga buah daun kipas dihubungkan dengan mesin kipas. Jika daun-daun kipas itu berputar ke arah yang berbeda-beda, kipas itu tidak akan menghasilkan banyak angin. Tetapi jika daun-daun kipas itu berputar ke satu arah, seolah-olah hanya satu daun yang berputar, maka engkau dapat menikmati angin yang menyenangkan dari kipas itu. Jadi, kesejukan angin hanya timbul bila ketiga daun bekerja sama dan berputar searah. Demikian pula, bila ketiga guna menyatu dan bekerjasama, engkau akan mendapat kebahagiaan. Dalam gambaran ini, hatimu dapat diumpamakan sebagai kamar yang berisi kipas. Budi atau intelek sebagai tombol listrik. Kekuatan spiritualmu, energi yang berasal dari atma, dapat diumpamakan sebagai listrik yang menggerakkan kipas. Sadhana adalah proses penjernihan intelek yang memutar tombol untuk menyalakannya. Bila ketiga guna ini bekerja sama dengan harmonis, sama seperti daun-daun kipas itu, maka seluruh penderitaan batinmu akan berubah menjadi kebahagiaan. Dengan cara ini engkau dapat mengubah tenaga hidupmu dan seluruh kemampuan rohanimu menjadi tapa dan kebahagiaan.
 
PERCAKAPAN 12

SUCIKAN DIRIMU, USAHAKAN AGAR PERBUATAN, PIKIRAN, DAN PERKATAANMU SELARAS


Pikiran merupakan titik pusat bagi roda kehidupan, suatu titik sumber dari segala kegiatan duniawi. Agar dapat menembus titik pusat ini dan memperoleh penampakan atma atau diri yang abadi, wairagya amat penting.

Wairagya artinya ketidakterikatan atau pengunduran diri yaitu ketidakterikatan pikiran dan indera dari objek-objek duniawi. Pikiran menutupi diri yang sejati karena itu, kadang-kadang pikiran digambarkan sebagai selubung yaitu selubung kekaburan batin yang menutupi atma. Pikiran sendiri terikat oleh panca indera, dan panca indera tertarik oleh objek-objek indera serta sekaligus terikat olehnya. Karena itu, langkah pertama ialah mengendalikan panca indera, untuk ini ketidakterikatan sangat penting.

Bila engkau sudah tidak terikat pada objek-objek indera, maka panca indera tidak dapat lagi mengikuti pikiran dan perasaanmu. Pikiran serta perasaan yang bebas dari ikatan indera akan menjadi suci dan jernih, ia tidak akan menggunakan pengaruhnya lagi untuk menutupi atma. Bila selubung pikiran itu lenyap maka diri yang sejati akan mendapat penampakan dirinya yang esa. Kemudian engkau akan menyatu dalam kemanunggalan dengan semua yang ada dan menikmati ananda yang merupakan sifatmu yang sejati. Gita telah mengajarkan kepada kita bahwa wairagya 'pengunduran diri' sangat penting untuk menyadari atma.

Hal ini diajarkan juga dalam Yoga Sutra Patanjali yang menyatakan bahwa ketidakterikatan adalah pikiran yang tidak terpengaruh oleh indera dan objek-objek yang menarik indera itu. Pikiran yang demikian itu, karena tidak diperbudak oleh indera dan objek-objek indera adalah suci dan tidak terpengaruh oleh maya. Engkau mencapai kesucian pikiran bila engkau memandang semua objek duniawi sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan selalu berubah. Telah dijelaskan dalam Upanishad bahwa makhluk dunia dari yang paling rendah hingga yang paling mulia, bahkan makhluk-makhluk surgawi pun tidak langgeng dan berubah terus. Menyadari hal ini engkau harus melepaskan semua keterikatan kepada objek-objek indera; setiap keterikatan lambat laun pasti akan membelenggumu.

Seperti api akan segera mati bila kayu api dibuang, demikian pula bila objek-objek indera disingkirkan, indera menjadi tidak berdaya. Kitab-kitab suci menyatakan dengan jelas bahwa hanya orang yang menganggap surga sekalipun sebagai sesuatu yang tidak berarti, dan orang yang tidak mempedulikan apapun juga kecuali kesadaran atma adalah seorang wairagya sejati, pertapa yang tulen. Ada suatu cerita dalam Katha Upanishad bahwa ketika Nachiketa, seorang anak laki-laki menghadap Yama, Dewa Kematian, Yama berkata kepadanya, "Aku akan membuat engkau menjadi penguasa penuh atas segala kekayaan dan segala kemampuan yang ada di dunia dan aku akan memberimu seluruh kesenangan surgawi." Nachiketa menjawab, "Dunia ini dan semua loka di akhirat hanya bersifat sementara, semua itu tidak langgeng. Saya tidak ingin yang tidak tetap. Saya hanya ingin mendapat penampakan atma. Saya ingin menghayati kebenaran terakhir yang tidak pernah berubah. Dunia dengan belenggunya dan kesengsaraan yang menyertainya adalah untuk orang-orang yang terlena oleh objek-objek indera. Saya tidak tergiur oleh yang demikian itu."

Misalnya engkau tinggal di suatu rumah beberapa lama. Pada suatu saat engkau harus pindah ke tempat lain. Semua barangmu kaukemasi dan kau bawa ke rumah yang baru dengan truk. Biasanya sandal-sandal tua dan sapu-sapu rongsokan pun kau bungkus dan kau bawa semuanya karena engkau merasa memilikinya. Mengapa engkau berbuat seperti itu? Karena engkau telah terikat oleh kelekatanmu pada objek-objek indera itu. Barang-barang tua itu kaukemasi dengan penuh perhatian dan kau bawa karena engkau terikat kepada benda-benda itu, engkau merasa semua itu milikmu. Tetapi ada contoh lain tentang seorang pemimpin perguruan tinggi atau seorang kepala sekolah.

Pada lembaga pendidikan itu tentu ada sejumlah barang yang berharga. Misalnya dalam laboratorium ada alat-alat yang sangat mahal, juga ada banyak meja, kursi, dan beberapa jenis meubel lainnya, jam dinding, dan sebagainya. Bila kepala sekolah ini pensiun atau dipindahkan ke sekolah lain, ia tidak merasa terikat dengan barang-barang berharga yang akan ditinggalkan. Alasannya ialah karena ia tahu betul bahwa tak satu barang pun adalah miliknya. Barang-barang itu adalah milik pengurus, yayasan atau pemerintah. Karena itu, ia meninggalkan sekolah tanpa rasa keterikatan dan tanpa mempedulikan benda tersebut.

Di mana ada rasa "punyaku" atau rasa memiliki, di situ ada penderitaan. Bila engkau tidak punya rasa memiliki engkau tidak akan terikat oleh apa pun dan tidak akan menderita. Karena itu, semua belenggu, penderitaan, dan kesedihan ini hanya disebabkan oleh rasa "keakuan" atau "kemilikan". Seperti halnya kepala sekolah, engkau dapat menggunakan semua benda yang ada di dunia. Benda-benda itu sendiri jangan dibuang dan jangan menghentikan perbuatan serta kegiatanmu. Hal-hal yang dilepas hanyalah keterikatanmu terhadap benda-benda itu dan lepaskan pula keterikatanmu terhadap dunia serta kegiatan-kegiatanmu di dalamnya. Keterikatan ini harus dialihkan dan diubah. Dengan kata lain, janganlah ingin menikmati hasil kegiatanmu. Laksanakan tugasmu tanpa rasa keterikatan sama sekali sambil menyadari cacat cela pada benda-benda itu.

Bila engkau telah mengerti ketentuan-ketentuan yang mengatur dunia dan mengetahui cacat yang merupakan sifat benda duniawi, engkau akan mampu mengatasi keterikatanmu terhadap mereka. Sebelum engkau dilahirkan, siapakah orang tua dan siapakah anak? Sebelum perkawinan, siapakah suami dan siapakah istri? Setelah kelahiranlah ada orang tua dan ada anak. Sebelumnya tidak ada hubungan dan sesudahnya pun tidak akan ada hubungan. Hanya dalam masa transisi yang singkat timbul rasa memiliki dan keterikatan. Semua ini disebabkan oleh kelemahan dalam cara memandang dan cara pendekatanmu. Keterikatan ini timbul karena pikiran yang picik dan pandangan yang sempit.

Segala kesedihan dan penderitaanmu disebabkan oleh perasaan dan sikapmu sendiri. Tidak ada peluang bagi rasa kemilikan bila engkau telah menyadari kelemahan dan kekurangan objek-objek duniawi. Berusahalah memahami asa ketidakterikatan. Engkau haus mencapai suatu tingkat, di saat engkau tidak lagi mempunyai rasa keterikatan atau perbudakan walaupun dalam keadaan mimpi atau keadaan tidur nyenyak sekalipun. Jika dalam keadaan jaga engkau mempunyai rasa keterikatan, keterikatan itu dalam wujud yang halus akan ada pula dalam mimpi dan pada waktu tidur nyenyak. Keadaan dalam alam mimpi dapat diibaratkan seperti bayangan pada cermin. Apa yang kau alami dalam keadaan terjaga, bayangannya akan tampak pada alam mimpi. Karena itu, keadaan pada alam terjaga dan keadaan pada alam mimpi sama seperti benda dan bayangannya. Jika pada alam jaga engkau menempuh jalan yang benar, mengenal kebenaran, dan tingkah lakumu berada pada sinar kebenaran, maka engkau akan menempuh jalan yang benar pula dalam alam mimpi. Agar dapat maju meningkatkan diri dalam alam jaga engkau harus menyadari cacat cela objek-objek indera dan perlahan-lahan mengatasinya dengan cara melepas keterikatanmu pada benda-benda itu.

Karena waktu berjalan terus, segala sesuatu mengalami perubahan. Makanan yang baru dimasak terasa enak dan lezat. Dalam keadaan masih segar makanan itu mempunyai potensi yang sangat baik untuk memberi kemampuan dan kesehatan. Tetapi, setelah berselang dua hari makanan itu akan basi dan beracun. Apa pun juga yang kau anggap baik, berguna, sehat, dan menguntungkan, setelah beberapa lama berubah menjadi sesuatu yang tidak baik, tidak berguna, tidak sehat, dan berbahaya. Begitu pula kita ketahui adanya empat macam pengabdi; aarthi 'yang menderita', aarthaarthi 'yang mengejar anugerah materi', jignasu 'yang menekuni pengetahuan spiritual', dan jnani 'yang bijaksana'. Dengan berlalunya waktu, orang yang sama akan maju melalui semua tahap ini.

Kita juga dapat merenungkan perubahan yang terjadi dalam hidup manusia. Anak yang baru lahir disebut bayi, setelah beberapa tahun ia disebut anak-anak, dua puluh tahun kemudian ia dinamakan orang dewasa, dan tiga puluh tahun berikutnya ia menjadi kakek. Orangnya itu-itu juga, bukan empat orang, tetapi karena waktu terus berlalu, orang itu diberi nama yang berbeda sesuai dengan tahap hidup yang berlainan yang sedang dilaluinya.

Hidup sebagai manusia sulit sekali diperoleh, dan kehidupan ini mengalami banyak perubahan seiring dengan berlalunya waktu. Apabila hal itu berlaku untuk manusia, maka betapa hal ini lebih berlaku bagi semua makhluk dan benda lain di dunia. Jika engkau bertanya, apakah cacat yang paling besar pada manusia, engkau akan mendapati bahwa cacat itu adalah perubahan pada jasmaninya, entah baik entah buruk, perubahan ini tidak dapat dihindarkan. Karena perubahan telah merupakan sifat dari segala sesuatu dalam dunia ini, seyogyanya engkau tidak mengembangkan keterikatan atau rasa "memiliki" sesuatu atau seseorang.

Siapakah ayah? Siapakah ibu? Siapakah anak-anak? Siapakah anggota keluarga? Siapakah teman? Semua ini adalah wujud-wujud yang berubah, engkau tidak bisa memberikan jawaban yang sama selama-lamanya. Bila engkau telah menyadari segala perubahan yang terus terjadi dalam semua hubungan kekerabatan ini maka bagaimana engkau ingin mempunyai keterikatan kepada mereka? Gita telah mengajarkan bahwa kita harus menyadari segala perubahan yang terjadi seiring dengan lewatnya waktu sebagai kelemahan dan cacat yang mendasar. Karena itu kembangkanlah ketidakterikatan sepenuhnya terhadap wujud-wujud yang tidak sempurna yang selalu mengalami perubahan ini, mereka itu tidak langgeng.

Wairagya adalah disiplin penting pertama yang harus dilaksanakan. Yang kedua adalah abhyasa atau pengamalan terus menerus. Pengamalan atau latihan apa yang dapat disebut abhyasa? Salah satu di antaranya adalah tapa 'mati raga'. Pada saat orang mendengar kata tapa ia menjadi agak ketakutan. Ia membayangkan bahwa bertapa itu berarti tinggal di hutan, makan buah-buahan dan umbi-umbian yang ada di sana, dan menantang segala macam resiko serta penderitaan. Sebenarnya hal itu bukan tapa, itu hanya menimpakan hukuman dan penderitaan jasmani pada badanmu.

Bukan badanlah yang harus mengalami penderitaan melainkan pikiran. Tapa adalah upaya menyiksa sifat rajas dan tamas dalam pikiranmu, rasa diri sebagai pelaku, dan rasa memiliki, sehingga hal-hal tersebut lepas dari dirimu. Tapa juga berarti menghilangkan cacat yang terkandung dalam alat indera. Inilah tapa yang sejati. Ada tiga jenis tapa: yang pertama adalah tapa jasmani, yang kedua tapa suara untuk lidah, dan yang ketiga tapa batin.

Tapa jasmani adalah menggunakan badan untuk berbuat baik, termasuk memuja Tuhan dan menyatakan rasa syukurmu dengan melayani para mahatma. Jika engkau mendapat restu mereka, maka rasa keakuan dan rasa kemilikanmu lambat laun akan berkurang. Bila sifat negatif ini berkurang, maka secara otomatis sifat-sifat dan perbuatan yang baik akan berkembang. Engkau akan tertarik pada pergaulan yang baik, kepada satsang. Di sini engkau mulai membaca dan mempelajari Gita, Ramayana, Upanishad, dan kitab-kitab suci agung lainnya.

Selain ini engkau juga akan beramal untuk pendidikan, untuk obat dan rumah sakit, untuk memberi makan orang-orang miskin, dan hal-hl yang baik lainnya, seperti juga kebiasaan beramal secara tradisional seperti menghadiahkan emas, sai, dan tanah, merupakan salah satu cara untuk menggunakan badan dalam kegiatan suci, demikian pula kini engkau tidak akan mengerjakan sesuatu yang merusak atau terlarang, maka engkau tidak menempatkan dirimu di bawah pengaruh rajo dan tamo guna. Engkau melepaskan dirimu dari belenggu rajo dan tamo guna. Engkau melepaskan dirimu dari belenggu kedua sifat ini. Semua ini dapat dianggap sebagai mati raga atau tapa jasmani.

Tapa suara adalah mengucapkan kata-kata yang baik serta mulia. Bahkan pada waktu engkau mengucapkan suatu kebenaran engkau tidak boleh keras atau menusuk perasaan, engkau harus berhati-hati jangan sampai menyakiti hati orang lain. Walau hal itu benar, engkau tidak boleh galak atau melukai orang lain. Dalam hal ini Gita telah mengajarkan bahwa kebenaran itu harus manis dan lemah lembut. Pergunakanlah lidah suci yang telah dianugerahkan Tuhan kepadamu itu untuk memberi kegembiraan dan kebahagiaan serta menolong mereka. Janganlah lidahmu menyebabkan orang lain menderita batin. Pergunakan lidahmu untuk menggambarkan kemuliaan Tuhan. Gunakanlah kata-kata yang sangat bermanfaat bagi orang lain. Engkau harus mampu menjelaskan kepada orang lain semua pengalaman yang baik dan agung yang telah kau miliki. Engkau patut menunjukkan jalan yang benar bila orang lain menempuh jalan yang keliru, dengan menggunakan kata-kata yang baik dan lemah lembut. Jagalah jangan sampai dusta memasuki hatimu atau memasuki pembicaraanmu. Engkau harus benar-benar mahir melaksanakan kebenaran dan tanpa kekerasan.

Jika engkau mengikuti jalan kebenaran, mungkin akan banyak kesulitan yang harus kau hadapi. Ada seorang resi bijaksana yang sedang bertapa. Ia telah bersumpah untuk menempuh jalan kebenaran dan tanpa kekerasan, apa pun yang terjadi. Seorang pemburu kejam yang mendengar hal ini mencoba membujuk pertapa itu agar membatalkan sumpahnya. Pemburu itu mengejar seekor rusa sedemikian rupa sehingga menjangan tersebut lewat di depan resi yang sedang tekun melakukan tapa. Resi itu melihat rusa bersembunyi dalam semak-semak. Si Pemburu datang berlari-lari dan bertanya kepada pertapa itu, "Apakah Anda melihat rusa lewat di sini?" Resi itu berada dalam konflik batin yang hebat. Jika ia mengatakan yang sebenarnya, ia akan mencelakakan rusa itu, tetapi jika ia tidak mengatakan yang sebenarnya, berarti ia melanggar sumpah. Di satu pihak ia akan berdosa karena menyebabkan makhluk lain menderita, di pihak lain ia akan berdosa karena berbohong.

Sang pertapa menemukan jalan yang baik sekali untuk mengatasi dilema ini. Ia menjawab pemburu dengan kata-kata yang membingungkan. Jawabnya: "Mata yang memandang tidak dapat berbicara dan mulut yang bicara tidak dapat melihat. Aku tidak bisa membuat yang melihat itu berbicara dan yang dapat berbicara melihat. Itu suatu kebenaran." Walau pun berada dalam keadaan yang sangat menyulitkan kita tidak boleh mengatakan yang tidak benar, tetapi mungkin kita juga tidak dapat mengatakan yang sebenarnya. Bila engkau melakukan tapa suara, kadang-kadang timbul hal yang sulit seperti ini. Engkau harus melakukan segala usaha agar dapat lolos tanpa mengatakan hal yang tidak benar. Dalam keadaan bagaimana pun jangan berbohong. Jika engkau tidak dapat mengatakan yang sebenarnya lebih baik engkau diam dan tidak berbicara daripada mengatakan yang tidak benar.

Kemudian tapa yang ketiga yaitu tapa batin. Dalam tapa ini engkau harus mengembangkan sifat-sifat yang baik dan kebajikan. Pikiran apa pun yang terlintas dalam benakmu akan tercermin pada wajahmu. Karena itu orang mengatakan bahwa wajah merupakan indeks pikiran. Segala pikiran akan tercermin pada wajahmu. Bila engkau sedang bersedih hati, wajahmu akan memperlihatkan perasaan itu. Bila engkau mempunyai pikiran yang suci wajahmu akan kelihatan riang. Dengan cara ini pengaruh pikiran serta gagasan-gagasannya dapat diketahui dengan mudah.

Hanya bila engkau mempunyai pikiran-pikiran yang suci, perasaan yang suci, dan ide yang suci, hidupmu akan bahagia dan gembira. Kalau pikiranmu sedang kusut, lalu ada orang yang datang untuk berbicara dengan engkau, walaupun engkau berusaha tersenyum, senyummu akan kelihatan tidak wajar dan akan menampakkan perasaan hatimu yang terganggu itu. Jangan sampai engkau terhanyut dalam keadaan seperti itu, usahakan agar hatimu selalu gembira. Bilakah engkau merasa bahagia dan riang? Hanya bila pikiranmu baik dan suci. Agar bisa memiliki pikiran yang baik dan suci, sedapat mungkin engkau harus berlatih mengendalikan pikiran.

Setidak-tidaknya selama beberapa jam sehari engkau harus berlatih untuk diam, tidak berbicara. Dengan demikian pikiranmu akan diistirahatkan dari kegiatan berbicara dan membentuk gelombang pikiran. Konsentrasi kepada Tuhan sambil mengulang-ulang nama-Nya akan menyebabkan kesucian lahir dan batin. Seperti halnya engkau mandi dan membersihkan badan setiap hari, pikiran pun harus dibasuh dan dibersihkan secara teratur agar kesegaran serta kesuciannya pulih kembali. Kini engkau hanya memperhatikan kebersihan jasmani, tetapi kebersihan batin pun tidak kalah pentingnya bagi hidupmu. Pikiran yang baik, perasaan yang baik, dan perbuatan yang baik bersama-sama akan melahirkan kesucian batin.

Sesungguhnya tapa berarti mengusahakan kesatuan fisik, vokal, dan mental dengan mengusahakan satunya perbuatan, perkataan, dan pikiran. Inilah tapa yang sejati. Seorang mahatma, seorang jiwa besar, adalah orang yang mampu menikmati kesatuan dari ketiga hal ini. Jika pikiran, perkataan, dan perbuatan tidak sama maka seseorang tidak bisa dinamakan orang besar. Tapa berarti memusnahkan sifat rajo dan tamo 'sifat yang penuh nafsu dan malas' dengan cara menyatukan kedua sifat itu dengan sifat satwa yang harmonis. Hal ini dapat ditimbulkan dengan mengendalikan tamo guna dengan bantuan rajo guna; dengan jalan itu engkau dapat menikmati keselarasan ketiga sifat yang telah menyatu itu. Akhirnya engkau harus mengatasi pengaruh satwa guna itu sendiri.

Misalnya engkau menginjak duri. Jika engkau ingin mencabut duri itu dari kakimu, engkau tidak perlu mencari alat khusus. Duri yang lain dapat dipakai untuk mencabut yang pertama. Kemudian engkau dapat membuang kedua duri itu. Demikian pula kedua guna yang lebih rendah yang selalu menyusahkan engkau, dapat dilenyapkan dengan duri satwa guna. Sebelum kedua guna itu lenyap, engkau memerlukan satwa guna. Satwa guna dapat digambarkan sebagai rantai emas, rajo guna sebagai rantai tembaga, dan tamo guna sebagai rantai besi. Ketiga rantai itu sama-sama mengikat dirimu. Nilai masing-masing logam mungkin berbeda, namun semuanya mengikat.

Jika seseorang terikat oleh rantai emas, apakah ia akan merasa bahagia? Tentu tidak! Apa pun bahan rantai itu apakah emas, tembaga, atau besi; belenggu tetap belenggu. Karena itu satwa guna sekalipun menyebabkan keterikatan, dan akhirnya engkau harus pula melepaskannya. Engkau harus membebaskan dirimu dari segala ikatan; tetapi sebelum engkau mencapai Tuhan, engkau masih membutuhkan satwa guna. Setelah engkau manunggal dengan Tuhan, satwa guna tidak lagi. Dalam keadaan seperti itu tidak ada lagi masalah tiga guna itu. Hanya bila engkau telah mempersembahkan ketiga sifat itu kepada Tuhan dan mampu melampauinya, engkau akan terbebas dari ikatan rantai itu.

Gita telah mengajarkan bahwa untuk mengendalikan pikiran, abhyasa dan wairagya 'pengamalan yang tiada putusnya dan pengunduran diri' sangat penting. Latihan atau pengamalan tidak hanya berarti melakukan upacara keagamaan setiap hari. Menggunakan badan, pikiran, dan ucapan sedemikian rupa sehingga engkau tidak terjerat dalam keterikatan, itulah yang dimaksud dengan pengamalan. Pengamalan atau latihan artinya mengarahkan seluruh hidupmu untuk mencapai Tuhan. Setiap kata yang kau ucapkan, setiap gagasan yang kau pikirkan, dan setiap kegiatan yang kau lakukan harus suci dan selalu mengarah pada kebenaran. Kebenaran dan kesucian adalah alat yang sejati untuk melaksanakan tapa. Aku menghimbau agar engkau membina sifat-sifat mulia ini sehingga dengan demikian hidupmu akan tersucikan.

Dewasa ini orang bukannya mengikuti jalan tapa guna, melainkan cenderung mengikuti tamo guna yaitu bermalas-malas dan enggan berpikir. Ia mengabaikan dan melupakan kemampuannya untuk melaksanakan tapa. Bila engkau membiarkan pandangan bebas berkelana dalam dunia yang bersifat sementara dan cepat berlalu, hal ini akan menjadi tamas. Bila engkau memusatkan pandangan dan kesadaranmu pada Tuhan yang kekal, makan ini menjadi tapas. Swami telah sering memberikan contoh ini. Misalnya ada pintu terkunci. Jika engkau ingin membukanya engkau harus memasukkan kunci pada lubang kunci dan memutarnya ke kanan, pintu akan terbuka, Tetapi, jika engkau memutarnya ke kiri, pintu akan tetap terkunci. Padahal kunci dan anak kuncinya sama. Bedanya hanya cara engkau memutar kunci itu. Jika kau putar pikiranmu ke arah Tuhan engkau mendapat kebebasan. Jika engkau memutarnya ke arah benda-benda duniawi, engkau tetap terikat. Pikiran yang sama itu menjadi sumber kebebasan atau keterikatan.

Wairagya sejati atau pengunduran diri adalah pemusatan pikiran kepada Tuhan, kepada perwujudan yang kekal. Ketidakterikatan dan pengorbanan ini harus dirasakan betul-betul. Jangan kau biasakan menunda-nunda latihan rohanimu. Misalnya engkau akan menghadiri perkawinan, engkau menyiapkan pakaian jauh-jauh hari sebelumnya. Atau misalkan engkau kebetulan ingin nonton bioskop, engkau cepat-cepat menyiapkan diri. Bahkan untuk jalan-jalan saja engkau segera siap. Bila engkau tidak bisa nonton bioskop hari ini, engkau dapat dengan mudah menundanya hari berikutnya. Jika engkau tidak dapat bisa jalan-jalan sekarang, bisa saja engkau melakukannya pada saat yang lain. Tetapi, perjalanan menuju Tuhan tidak dapat ditunda atau dibatalkan. Engkau harus selalu siap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi. Waktu tidak bisa menunggu. Waktu tidak mengikuti kita, kitalah yang harus mengikuti waktu. Waktu terus berlalu dan membawa segala sesuatu bersamanya.

Gita mengajarkan kepadamu bahwa engkau boleh menikmati benda-benda duniawi, tetapi sementara itu engkau tidak boleh membiarkan dirimu terikat kepada benda-benda itu dengan anggapan bahwa engkau memilikinya. Rasa pengunduran diri atau ketidakterikatan ini adalah salah satu aspek filsafat kerohanian yang paling penting diutarakan dalam Gita.
 
PERCAKAPAN 13

MENYIA-NYIAKAN WAKTU SAMA DENGAN MENYIA-NYIAKAN HIDUP

Tuhan mengatakan dalam Gita, "Siapa yang terus menerus mengingat Aku, sangat Kucintai. Karena itu, ingatlah Aku selalu. Persembahkan kepada-Ku pikiran dan akal budimu. Serahkanlah segala-galanya kepada-Ku. Maka engkau pasti akan mencapai Aku."

Dalam Gita telah dikatakan bahwa suka duka, panas dingin, untung rugi, kritik dan pujian, harus dihadapi dengan pikiran yang seimbang. Keseimbangan pikiran ini adalah salah satu dari 64 sifat seorang pengabdi. Sangat sulit mengetahui apakah seorang pengabdi mempunyai ke-64 sifat. ini. Tetapi mereka menyatu dan dapat dikelompokkan menjadi dua sifat utama: abhyasa 'pengamalan terus menerus' dan wairagya 'pengunduran diri atau ketidakterikatan'. Pengamalan merupakan gabungan dari tiga jenis tapa atau mati raga. Yaitu tapa jasmani, tapa mental, dan tapa ucapan. Pengunduran diri berarti mengenal cacat cela benda, dan hidup tanpa keterikatan pada benda-benda itu, dengan kata lain, hidup sebagai saksi. Jika engkau dapat menggabungkan kedua sifat penting ini abhyasa dan wairagya dalam hidupmu, maka pengalaman spiritual lainnya tidak akan diperlukan lagi.

Jika engkau ingin mengembangkan kedua sifat ini engkau harus mulai sejak kanak-kanak dan menggunakan hidup pada masa mudamu dengan cara yang suci dan mulia. Dewasa ini orang baru melaksanakan kegiatan spiritual setelah mencapai usia tua. Setelah mereka sepenuhnya menikmati benda-benda yang mewah, dan setelah muak serta bosan dengan semua kesenangan duniawi, barulah mereka mempertimbangkan untuk mulai menempuh jalan spiritual. Setelah melewatkan hidup mereka dengan perkiraan bahwa ada kebahagiaan yang sejati pada objek-objek indera, pada kehidupan keluarga, pada anak-anak, pada harta kekayaan, dan pada nama serta kemasyhuran, mereka akan menemui kekecewaan pada hari tua mereka. Mereka akan menyadari bahwa tidak ada kebenaran pada benda-benda ini dan kedamaian batin serta kebahagiaan abadi tidak datang dari dunia yang kasat mata atau dari usaha mengejar objek-objek duniawi. Maka setelah dihantui oleh kekosongan pengalaman mereka dan senja kehidupan mulai menjelang, mereka mulai melakukan kegiatan spiritual.

Tetapi, pada masa tua bila engkau menderita segala macam kelemahan fisik dan mental, dan mempunyai segala macam keterbatasan, akan sulit sekali melaksanakan dan menempuh kehidupan spiritual yang berat. Sekalipun demikian engkau tidak perlu berkecil hati karena mengira bahwa tidak ada jalan untuk kemajuan spiritual bagi orang lanjut usia. Beberapa peluang dan kesempatan akan timbul bagi mereka. Dari pada sama sekali tidak memikirkan Tuhan dalam hidupmu, lebih baik memikirkan Dia setidak-tidaknya pada masa tua. Tidak ada pembatasan apa pun mengenai waktu, tempat, atau umur untuk mengingat Tuhan. Itulah sebabnya Guru Ilahi telah mengatakan dalam Gita, "Setiap saat, di manapun juga, ingatlah kepada-Ku." Tetapi Guru Gita juga telah mengatakan bahwa kesempatan yang paling baik untuk pengamalan spiritual dengan sungguh-sungguh adalah pada waktu muda. Semasa badanmu masih sehat, alat-alat inderamu masih kuat, dan kemampuan mentalmu masih besar, itulah saat yang paling baik untuk melakukan latihan-latihan spiritual.

Prosesnya hampir sama dengan memesan makanan di rumah makan dengan cara membeli kupon makan sebelumnya. Setelah memesan tempat, kapan saja engkau pergi ke rumah makan itu, engkau akan mendapat makanan, sudah ada jaminan bagimu. Sebaliknya jika engkau pergi ke rumah makan hanya pada waktu lapar, di luar waktu yang telah ditentukan, dan tanpa kupon pemesanan tempat, mungkin engkau tidak akan dilayani. Dalam hal itu engkau tidak dijamin, engkau mungkin dapat makan mungkin pula tidak. Sifatnya untung-untungan. Demikian pula dengan orang yang baru mulai memikirkan masalah kerohanian pada masa tuanya. Mereka mungkin dapat maju dalam kehidupan spiritual, mungkin juga tidak. Tetapi kalau sejak masa muda mereka telah melaksanakan kegiatan atau latihan spiritual dengan sebaik-baiknya, mereka pasti akan berhasil dalam bidang ini di hari tua.

Bila engkau menyia-nyiakan waktumu dengan bersenang-senang pada waktu muda, menyia-nyiakan kemampuan indera dan kemampuan jasmanimu, maka pada masa tuamu jika engkau ingin mencapai tujuan akhirmu untuk manunggal dengan Tuhan, mungkin engkau tidak akan memperoleh kesempatan. Tidak ada artinya sama sekali menaruh makanan lezat di atas daun pisang lalu menyuguhkannya kepada setan, dan kemudian setelah segala yang bermanfaat dihabiskan oleh kemampuan-kemampuan setan, sisanya dipersembahkan kepada Tuhan. Apakah engkau dapat menyenangkan Tuhan dengan mempersembahkan sisa-sisa kepada-Nya? Tentu tidak. Tidak mungkin. Badan seorang pemuda dapat dibandingkan dengan daun pisang yang lembut. Makanan yang lezat dapat diumpamakan dengan benda-benda yang dinikmati oleh alat-alat indera. Setelah pertama-tama menghidangkan semua makanan lezat kepada setan, kemudian engkau mencoba mempersembahkannya kepada Tuhan. Setelah seluruh kemampuan, tenaga dan kemampuan habis dimakan oleh setan-setan amarah, ketamakan, hawa nafsu, dan kecongkakan, engkau berusaha menghaturkan sisanya kepada Tuhan. Tetapi itu tidak benar dan persembahan semacam itu tidak akan diterima oleh-Nya. Dalam hubungan ini, Guru Agung dalam Gita telah menandaskan bahwa masa muda adalah masa yang sangat berharga yang harus digunakan dengan sangat hati-hati untuk meningkatkan kehidupan spiritual.

Bila engkau telah memiliki suatu barang beberapa lama dan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa, mungkin engkau tidak mengerti nilai sejati barang tersebut. Baru setelah barang itu hilang dan engkau merasa kehilangan engkau mulai merasakan betapa tinggi nilai barang itu. Selama engkau memiliki mata, engkau tidak merasa betapa bernilai dan berharga mata itu. engkau baru akan merasakan pentingnya penglihatan bila engkau kehilangan daya penglihatan itu. Begitu juga bila engkau berada dalam keadaan sehat dan semua alat-alat indera berfungsi dengan baik, engkau tidak menyadari nilainya yang sebenarnya. Setelah kesehatanmu merosot dan alat-alat indramu terganggu, maka engkau menyesali serta meratapi kehilangan kemampuan serta kekuatanmu itu. Namun ratap tangis pada saat itu tiada berguna lagi. Selama masa mudamu engkau membolehkan kebiasaan-kebiasaan buruk dan berbagai sifat yang buruk menjadi teman akrabmu dan berurat akar dalam dirimu. Kemampuan dan kemampuan yang disalah gunakan pada masa muda itu akan menjadi musuhmu pada masa tua.

Kebanyakan pemuda tidak berusaha menggunakan kemampuannya untuk membeda-bedakan dengan baik. Anak muda tidak menggunakan kemampuan budinya untuk mengetahui siapa teman mereka yang sejati dan siapa musuh, siapa guru mereka dan siapa pengikutnya, siapa sutradara dan siapa pemain. Bila engkau tidak membina akal budimu untuk memahami arti kehidupan, apakah salah kalau engkau disebut kera? Bila engkau menghayati kualitas manusia dengan baik dan mengerti makna serta pentingnya kehidupan manusia, maka inderamu tidak akan membuat engkau kebingungan.

Sekarang ini engkau memakai Tuhan untuk kepentingan jasmanimu. Engkau tidak menggunakan badanmu untuk memuja Tuhan. Sekarang engkau memanfaatkan Tuhan untuk sembahyang mohon kesehatan bila sedang sakit dan untuk cara-cara lain guna menguatkan badanmu. Sebaliknya engkau tidak menggunakan badan dan seluruh kemampuan serta kemampuan fisik yang kau miliki untuk memuja Tuhan. Engkau membayangkan bahwa kelak akan ada banyak waktu untuk sembahyang sehingga engkau terus menyia-nyiakan waktu. Engkau mengira setelah pensiun engkau bisa mulai merenungkan Tuhan dan melakukan latihan spiritual. Barangkali engkau mengira sementara ini lebih baik menikmati hidup dan menikmati hal-hal keduniawian, mumpung masih muda. Tetapi bagaimana mungkin engkau mulai berpikir soal Tuhan setelah engkau tua, sesudah segala kemampuanmu lenyap?

Bila sekarang engkau tidak menggunakan seluruh kemampuan dan kemampuanmu untuk memuja Tuhan, maka kelak engkau akan sangat terlambat. Bila anak-anak mengolok-ngolok engkau dan menyebutmu "kera tua", apakah pada waktu itu engkau mempunyai kemampuan untuk melakukan sadhana secara intensif? Bila rambutmu sudah putih, bila engkau hampir tidak mampu berjalan, bila engkau hampir tidak mampu melihat, bila seluruh alat-alat indera sudah lemah, apakah engkau akan dapat menggunakannya untuk memuja Tuhan? Tidak, itu tidak mungkin. Bukan hanya itu, tetapi kitab-kitab suci India telah menyatakan beberapa hal tertentu untuk orang-orang tua secara tegas dan jelas. Dikatakan bahwa bila anak buah Dewa Kematian menemukan engkau dan berkata, "Mari! Mari!", bila sanak saudaramu mengatakan tidak ada gunanya menyimpan mayat di sini, bila mereka semua berkata, "Ambillah! Ambillah!" dan bila istri serta anak-anakmu menangis tersedu-sedu, dapatkan engkau memikirkan Tuhan pada saat itu? Dapatkah engkau menyuruh sanak saudaramu berhenti menangis, menunggu sebentar, karena engkau mau mengingat Tuhan beberapa saat?

Semasa muda engkau harus mengumpulkan segala hal yang diperlukan untuk membangun landasan yang kokoh guna masa depan yang bahagia. Apakah engkau beranggapan bahwa mengingat Tuhan mungkin dilakukan setelah pensiun? Tidak, tidak mungkin. Engkau harus melakukan sadhana dengan sungguh-sungguh sebelum lanjut usia. Sebaliknya, setelah pensiun engkau bahkan menyibukkan diri dalam bisnis, membuang-buang waktu pergi ke klab-klab dan dengan berbagai cara lain engkau menghamburkan serta menyia-nyiakan hidupmu yang berharga. Pernah seorang ibu rumah tangga bertanya kepada suaminya, "Apakah engkau tidak memikirkan masalah ketuhanan sekurang-kurangnya pada masa tuamu sekarang ini? Sebelumnya semasa engkau sibuk, engkau tidak pernah punya waktu untuk memikirkan hal itu. Cobalah lakukan sekarang." Suaminya yang sibuk bisnis itu menjawab, "Untuk mati pun aku tidak punya waktu, apalagi untuk memikirkan Tuhan." Tetapi apakah engkau mengira bahwa kematian itu tidak datang pada orang yang mengatakan bahwa ia tidak punya waktu untuk mati? Apakah kematian datang hanya menuruti kemauannya? Tidak, waktu tidak menunggu siapa pun. Karena itu, semasa engkau masih mempunyai waktu engkau harus menggunakan waktumu itu dengan sebaik-baiknya.

Musuh yang disebut kematian beserta bala tentara yang disebut penyakit selalu siap memerangi badanmu. Manusia mati dalam keadaan yang sangat menyedihkan dan tak berdaya pada saat ia diserang oleh penyakit dan kematian. Tetapi tidak ada laskar yang dapat menyerang mereka yang dikasihi Tuhan. Karena itu, semasa muda engkau harus berusaha memperoleh rahmat Tuhan dan menyiapkan dirimu untuk menghadapi tantangan musuh bila mereka datang hendak mengepung dan menyerang engkau. Terutama engkau harus mempunyai keyakinan yang kokoh bahwa perjalanan hidup ini sangat panjang. Perjalanan lain apakah dengan bis, kereta, atau pesawat terbang tidak berlangsung lama. Tetapi perjalanan hidup ini sangat lama. Orang yang tidak mempersiapkan dirinya untuk menghadapi segala kemungkinan dalam perjalanan yang panjang itu akan sangat menderita bila ia dihadapkan dengan masalah dan kesulitan yang nyata. Engkau semua mengetahui bahwa dalam gerbong kereta api yang digunakan untuk mengangkut barang biasanya ada catatan kapan gerbong itu harus kembali ke depot. Setelah menggunakan gerbong selama waktu tertentu, kendaraan itu harus dikembalikan pada waktu yang telah ditetapkan. Badanmu sama dengan gerbong itu. Di sini pun tanggal kapan harus kembali telah ditulis oleh Tuhan sendiri, namun engkau tidak menyadarinya.

Engkau tidak tahu bahwa engkau harus kembali. Orang-orang lupa sama sekali akan kebenaran yang amat penting ini. Bila engkau benar-benar ingin menikmati kebahagiaan hidup setelah lanjut usia maka pada masa mudamu engkau harus berusaha mendapatkan rahmat Tuhan. Dalam hidup manusia, masa kanak-kanak dan masa muda sangat penting, Tanpa menyadari betapa tinggi nilai masa ini engkau membuang-buang waktu pada masa mudamu. Ibarat engkau menggunakan mangkuk emas berhiaskan permata dan berlian untuk sesuatu yang tidak berarti. Untuk menyalakan api nafsumu engkau memakai kayu cendana yang mahal harganya. Periuknya sangat mahal, bahan bakarnya juga mahal, tetapi makanan yang engkau masak dengan alat-alat itu hambar dan tidak berharga. Badan yang demikian berharga dan bahan bakar yang demikian suci dihambur-hamburkan untuk menikmati hal-hal yang remeh, tidak berguna dan tidak berarti dalam hidup. Barang-barang tak berharga ditaruh dalam kotak yang berharga dan digunakan untuk kenikmatan hidup. Sama saja dengan engkau menggunakan bajak emas untuk membajak ladang hatimu dan hasilnya tidak lain hanyalah rumput-rumput yang tidak berguna.

Ladang hatimu sangat berharga dan suci. Guru Ilahi telah menyatakan bahwa Ia adalah kedua-duanya: ladang dan pemiliknya. Ia pemilik sejati hatimu dan badanmu. Ia mengidentifikasikan Diri-Nya dengan mereka. Apa yang kau lakukan dengan hati dan badan yang suci ini? Engkau memakai bajak emas untuk menanam tanaman yang tidak berguna yaitu pemenuhan nafsu. Orang yang menyadari kemuliaan hati dan kemuliaan perasaan tidak akan menyalahgunakannya. Hidup harus dimanfaatkan untuk kebaikan, untuk kesejahteraan orang lain, untuk mencapai tujuan yang suci, untuk menempuh jalan yang suci, dan untuk menghasilkan cahaya yang cemerlang dalam hati dan pikiranmu. Engkau harus menggunakan hidup ini untuk manunggal dalam Tuhan. Hanya dengan demikian engkau berhak berkata bahwa hidupmu telah disucikan dan murni.

Dikatakan bahwa sangat sulit dan hampir tidak mungkin mendapat kehidupan sebagai manusia. Apakah keistimewaan hidup manusia itu? Mengapa demikian sulit mendapatkannya? Segala kesenangan yang dinikmati oleh binatang dan burung dapat juga kau nikmati. Sehubungan dengan itu, mengapa dinyatakan bahwa hidup sebagai manusia itu sangat berharga dan sangat istimewa? Karena engkau memiliki kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah. Karena engkau mempunyai kemampuan untuk melenyapkan keterikatan dan kebencian. Sebab itu engkau harus menggunakan akal budi yang telah dianugerahkan kepadamu untuk membedakan antara cara hidup seperti binatang dan hidup sebagai manusia. Tanpa membedakan antara atma dan anatma, diri sejati dan yang bukan diri sejati, tanpa mengembangkan yoga akal budi, engkau akan menjadi korban hasutan. Engkau tidak dapat menemukan kedamaian batin karena engkau tidak mengikuti jalan yang benar.

Dengan kemauan yang keras kaum muda harus melakukan ketiga macam tapa: fisik, mental, dan vokal dan dengan demikian memberi contoh kepada dunia. Engkau harus menggunakan rajo guna untuk menundukkan tamo guna, dan memakai satwa guna untuk mengalahkan rajo guna. Sangat tidak mungkin menghayati satwa guna selama hatimu masih terisi oleh rajo dan tamo guna. Bila kepalamu kosong engkau dapat mengisinya dengan pikiran-pikiran yang baik, namun bila kepala sudah terisi penuh dengan segala macam pikiran yang tidak berguna, bagaimana mungkin mengisinya dengan sesuatu yang suci dan agung? Engkau telah mengisi kepalamu dengan segala macam hal duniawi. Pertama engkau harus membuang semua itu dan mengosongkan kepalamu. Kemudian engkau dapat mengisinya dengan perasaan dan pikiran yang suci.

Banyak di antara engkau mengikuti jalan yang tidak berarti dan menempuh hidup yang tidak berarti. Ketika lahir engkau menangis, dan engkau menangis ketika ajal menjelang. Di antara kedua saat itu engkau menangis untuk hal-hal yang tidak berguna. Apakah engkau menangis bila engkau melihat memudarnya dharma? Untuk itulah engkau harus menangis, untuk itulah engkau harus menggunakan kemampuan dan kemampuanmu, yaitu untuk memperbaiki kemerosotan dharma dan membantu menyembuhkan luka-luka akibat merosotnya dharma. Apakah dharma itu?. Dharma adalah selalu mengingat dan merenungkan Tuhan dengan tiada putusnya. Dharma adalah melakukan tugas sehari-hari sambil selalu ingat pada Tuhan. Gita tidak mengajarkan bahwa engkau harus meninggalkan keluargamu, bahwa engkau harus meninggalkan kekayaan dan harta benda, dan kemudian pergi ke hutan. Tidak! Uruslah keluargamu. Kerjakan tugasmu. Tetapi pusatkan pikiranmu selalu kepada Tuhan. Apapun yang engkau lakukan, jangan melupakan tujuanmu. Jika engkau melupakannya engkau akan tersesat dan menyimpang ke jalan yang tidak benar. Tujuan Ilahimu harus dipahat dalam pikiranmu. Dengan selalu ingat akan tujuan, engkau dapat melakukan tugasmu sehari-hari.

Jangan ada cacat dan cela dalam perkataanmu. Engkau harus selalu berusaha berbicara yang benar. Beberapa orang berpikir bahwa dalam kesulitan mereka bisa mengubah kebenaran. Bahkan kadangkala mereka merasa perlu berbohong. Tetapi dalam situasi yang sulit cukup bijaksana bila engkau bersikap diam, tidak berkata jujur atau bohong. Jika engkau berkata yang sebenarnya, katakanlah hal itu dengan halus dan lemah lembut. Jangan berkata yang sebenarnya dengan cara yang tidak simpatik, atau berbohong secara simpatik. Bila menghadapi masa yang sulit dan merupakan cobaan, engkau harus belajar menghindari situasi yang mencurigakan tanpa berbohong. Dalam keadaan tertentu engkau harus bersikap sangat hati-hati. Engkau harus belajar bagaimana berbicara tanpa menyakiti hati orang. Dikatakan bahwa, "Orang yang beruntung adalah orang yang tahu bagaimana berbicara tanpa menyakiti hati orang lain." Janganlah menyakiti orang lain, jangan pula sampai engkau disakiti orang lain.

Ada suatu cerita,
Seorang ibu rumah tangga mengikuti suatu pertemuan seperti yang kita adakan sekarang. Ia berkonsentrasi dan mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang sedang dijelaskan. Ketika itu pendeta sedang menjelaskan Ramayana dan ia mengatakan bahwa bagi seorang istri, suami adalah satu-satunya tujuan hidup. Selanjutnya ia berkata, "Sudah menjadi kewajiban seorang istri memuaskan suaminya dan membuatnya bahagia. Selalulah memperlakukan suamimu sebagai Dewa." Setelah mendengarkan semua ini, ibu rumah tangga itu pulang. Ia sangat terkesan oleh ceramah ini dan bertekad untuk melaksanakan apa yang telah dipelajarinya. Begitu suaminya pulang ia mengambil air dan membasuh kakinya sebelum sang suami sempat membuka sepatu. Ia beranggapan bahwa dengan cara begitu ia melakukan pelayanan yang penuh bhakti kepada suaminya. Sang suami merasa bingung dan sangat heran. Ia masuk ke rumah, duduk, dan siap untuk membuka sepatu serta mengeringkan kakinya, tetapi sebelum ia berbuat demikian sang istri bergegas menghampiri suaminya dan membuka sepatunya.

Setelah kejadian ini, sang suami pergi ke kantor dan menelpon dokter. Ia tidak tahu kalau istrinya baru saja menghadiri ceramah pendeta. Dokter datang dan memberikan pil tidur. Kata dokter kelihatannya ia terserang histeria, namun setelah beristirahat satu dua hari mungkin ia akan sembuh kembali. Sang suami makan dan menyuruh istrinya beristirahat, kemudian ia pergi ke kantor. Sang istri kembali pergi mendengarkan ceramah berikutnya. Pada hari itu pendeta menjelaskan hubungan antara suami istri. Ia berkata, "Siapakah suami? Siapakah istri? Tidak ada yang kekal. Semua ini hanya bersifat sementara dan tidak tetap. Sebenarnya tidak ada apa-apa." Kemudian guru itu menambahkan, "Hanya Tuhan yang benar. Ialah satu-satunya kenyataan yang sejati." Sang istri pulang dan duduk di kamar pemujaannya.

Hari itu sang suami pulang setengah jam lebih awal dari kantornya karena mengira kalau-kalau istrinya sakit dan barangkali ia dapat membantu. Ia mengetuk pintu dan memberitahu istrinya bahwa ia datang seraya minta agar dibukakan pintu. Dari tempat sembahyang istrinya menjawab, "Tidak ada ibu, tidak ada ayah, tidak ada rumah, tidak ada apa-apa, suami pun tidak ada." Ia sangat terkejut melihat kelakuan istrinya, tetapi akhirnya ia dibukakan pintu juga. Setelah masuk ke dalam rumah ia segera menelpon dokter jiwa. Dokter datang dan memeriksa wanita itu secara teliti, lalu memberikan hasil pemeriksaan, ia menyatakan bahwa setelah mendengar semua ceramah kitab suci ini ia memperlihatkan tingkah laku yang ganjil, namun jika ia bisa ditahan di rumah ia akan cepat sembuh. Segala usaha dilakukan agar sang istri tidak lagi menghadiri ceramah. Semua orang diberitahu. Sopir dan semua pembantu di rumah diberitahu agar tidak mengizinkan ia pergi.

Setelah pencegahan ini dilakukan terhadap dirinya atas perintah dokter, ia tidak menghadiri ceramah selama dua hari dan ia mulai bertingkah laku seperti biasa. Jadi ketidakterikatan yang timbul dalam dirinya hanya bersifat sementara dan tidak mendalam. Hal itu tidak berlangsung lama. Kini sang suami merasa bahagia. Pekerjaan sehari-hari berjalan kembali seperti biasa. Setelah sebulan, wanita ini pergi lagi ke tempat ceramah. Pada hari itu pendeta menjelaskan ajaran Gita. Guru mengatakan bahwa bila seseorang menggunakan kata-kata, ia harus mengucapkan kebenaran dan tidak mengatakannya dalam cara yang menimbulkan kecurigaan. Wanita itu mendengar hal ini lalu pulang. Suaminya memberitahu bahwa hari itu ada resepsi pernikahan dan minta agar ia siap pergi bersamanya. Segera sang istri menyiapkan diri lalu pergi bersama suaminya.

Upacara pernikahan sedang berlangsung. Ada suatu tradisi di tempat itu, yaitu kalung yang akan dipakai oleh mempelai wanita disodorkan kepada setiap sesepuh agar disentuh dan diberkati. Ayah mempelai wanita menghampiri nyonya itu, mengenalinya dan bertanya, "Bagaimana khabar ibumu? Apakah semuanya baik?" Pertanyaan ini hanya untuk sopan santun saja, berbasa-basi dengan dia sambil menyodorkan kalung itu dan minta agar disentuh serta diberkati. Wanita itu menjawab, "Ibu saya sehat, tetapi seminggu yang lalu ibu mertua saya meninggal mendadak dan jenazahnya diperabukan." Tamu yang duduk di sebelahnya berkata kepadanya, "Mengapa engkau mengatakan hal yang tidak baik pada waktu menyentuh dan memberkati kalung ini yang maksudnya agar mempelai wanita hidup lama dan bahagia bersama keluarganya di masa datang?" Ibu rumah tangga itu menjawab, "Apakah saya harus berbohong hanya untuk kalung ini? Tidak. Saya tidak akan pernah berkata bohong. Memang kenyataannya ibu mertuaku meninggal minggu yang lalu." Seorang wanita muda yang duduk di sebelahnya berkata, "Bu, Ibu semestinya tahu tempat dan waktu, dan menyadari keadaan dan suasana sebelum mengatakan sesuatu."


Bila engkau mendengarkan suatu pelajaran spiritual pada suatu hari tertentu, engkau akan melaksanakannya dengan keyakinan dan kemauan yang kuat, tetapi hanya untuk hari itu. Cara ini bukan cara yang benar untuk mengikuti pelajaran spiritual. Engkau harus menggunakan akal budimu untuk bisa mengerti suasana tempatmu berada, sebelum engkau menggunakan kata-kata dalam suatu keadaan tertentu. Bila engkau mengerjakan sesuatu atau mengatakan sesuatu, engkau harus mengetahui bahwa kebenaran adalah cara yang mudah untuk mencapai tujuan akhir. Lidah jangan sampai dikotori oleh hal yang tidak benar. Badan jangan sampai dicemari oleh kekerasan. Pikiran jangan sampai dinodai oleh perasaan buruk. Hanya bila engkau menyucikan ketiganya itu, lidah, badan dan pikiran, engkau akan dapat memperoleh penampakan suci Tuhan.
 
PERCAKAPAN 14

INGATLAH TUHAN, LUPAKAN DUNIA


Dari segala hal yang berharga di dunia, waktulah yang paling berharga. Pikirkanlah bagaimana engkau mempergunakan waktu yang berharga itu. Tugasmu yang utama sebagai manusia adalah mempersembahkan badan, karya, dan waktumu kepada Tuhan yang merupakan perwujudan waktu itu sendiri.

Bila engkau kurang sehat atau sakit, kesehatanmu kadang-kadang dapat dipulihkan dengan obat. Namun, waktu yang telah berlalu hilang selama-lamanya, tidak ada cara untuk mengembalikannya dan kemudian menggunakannya kembali. Engkau harus berusaha sekuat tenaga untuk menggunakan waktu yang amat berharga ini dengan cara yang suci. Waktu tidak terbatas ia berlalu terus selama-lamanya. Tetapi waktu yang diberikan kepadamu sangat sedikit. Banyak di antara kalian yang membuang-buang waktu atau menghamburkan masa hidupmu karena mengira bahwa dunia yang fana ini nyata, akibatnya engkau menggunakan seluruh waktumu yang sedikit itu untuk menikmati kesenangan duniawi. Kalau engkau merenungkan sejenak apa yang telah kau capai dan bagaimana engkau telah menggunakan waktumu yang sangat berharga, engkau akan menyesal karena engkau telah menyia-nyiakan waktu begitu saja.

Ketika lahir engkau menangis, "Koham? Koham?" Siapakah aku? Jika kau habiskan waktu seluruh hidupmu hanya untuk memelihara hidupmu, kapankah engkau mampu mengerti siapakah engkau sebenarnya? Hidupmu mengandung arti yang lebih dalam daripada hanya mengurus kepentingan jasmani saja. Engkau memulai hidupmu dengan "Koham?" 'Siapakah kau?' dan engkau harus mengakhirinya dengan "Soham". 'Aku adalah Dia. Aku adalah itu!" Engkau harus menyadari bahwa engkau sendirilah yang bersifat Tuhan itu, dan mengakhiri hidupmu dalam Prasanthi 'kedamaian tertinggi' yang merupakan kenyataanmu yang sejati. Sayang kebanyakan di antara kalian hanya memusatkan perhatian pada kesenangan duniawi, menginginkan hasil yang cepat, dan sama sekali tidak memikirkan akibat perbuatanmu itu pada masa yang akan datang.

Bila seekor katak melihat lalat atau cacing di depannya, ia senang sekali dan ingin segera menangkapnya, menelan semuanya, dan merasakan nikmatnya. Tetapi, di belakang katak itu ada seekor ular sedang menunggu dan siap menangkap katak tersebut untuk dimakan. Ular merasa senang sekali mendapat makanan beberapa katak yang pada saat itu sedang sibuk dengan kenikmatannya sendiri. Ular itu tidak tahu kalau seekor buruk merak sedang mengintai dari belakang, mengarahkan kukunya kepadanya. Burung merak tersebut merasa gembira mengira bahwa ia akan dapat menerkam dan memakan ular yang tidak menyadari bahaya yang mengancam jiwanya sehingga ia tidak memperhatikan pemburu yang bersembunyi di belakangnya dan siap membunuhnya. Begitu pula engkau juga hanya memikirkan pemuasan keinginanmu dan mengharapkan kenyamanan yang akan kau peroleh, sama sekali tidak memikirkan apa yang mengintai di belakangmu dan menunggu kesempatan untuk menerkam engkau. Engkau menghamburkan waktu tanpa menyadari bahaya yang mungkin menimpa di kemudian hari. Engkau tidak dapat mengetahui kapan, dimana, dan dalam keadaan apa bahaya akan muncul menghadangmu. Karena itu, setelah menyadari betapa suci dan berharganya waktu, sekarang engkau harus menyucikan waktu yang diberikan kepadamu dan menggunakannya sebaik-baiknya.

Mungkin engkau bersedia mengeluarkan berjuta-juta dolar untuk membeli apa yang kau inginkan, tetapi waktu yang telah dipakai tidak dapat diperoleh kembali betapa pun besarnya jumlah uang yang akan kau bayarkan. Masa muda adalah masa yang paling berharga dan paling suci dalam kehidupan manusia. Masa muda merupakan kesempatan emas bagimu untuk menggunakan waktumu dengan sebaik-baiknya dan menyucikan hidupmu. Dalam kehidupan manusia, masa muda, seperti air yang mengalir di sungai, tidak dapat dikembalikan. Pemuda masa kini harus menyadari kenyataan ini. Gunakanlah waktumu sebaik-baiknya maka engkau memperoleh kepuasan dalam hidupmu. Sadarilah selalu berbagai segi roda waktu, sadarilah betapa penting sesungguhnya waktu itu. Pikirkan lebih dahulu apa yang mungkin terjadi di kemudian hari dan ingatlah selalu akan tujuan hidupmu.

Dalam bab tentang bhakti dalam kitab Bhagawad Gita dikatakan bahwa waktu adalah unsur yang paling penting dalam hidupmu. Guru Dewa mengajarkan dalam Gita bahwa walaupun engkau tidak begitu berhasil melaksanakan ketidakterikatan kepada benda-benda duniawi, jika engkau melaksanakan semua pekerjaan dan kewajibanmu seperti sembahyang, mempersembahkan segala yang engkau kerjakan kepada Tuhan, maka hidupmu akan diberkati-Nya. Krishna berkata kepada Arjuna, "Kerjakanlah tugasmu Arjuna! Jika engkau harus bertempur, bertempurlah! Tetapi, sementara bertempur, ingatlah Aku. Bila demikian engkau tidak terkena dosa. Jika engkau mempersembahkan segala-galanya kepada-Ku dan selalu menempatkan Aku dalam hatimu, engkau tidak akan menderita akibat dari perbuatanmu. Engkau tidak disuruh pergi ke hutan untuk bertapa atau meninggalkan sanak saudaramu. Engkau tidak usah meninggalkan keluargamu, rumahmu, dan harta bendamu. Apa pun yang engkau lihat, apa pun yang engkau katakan, apa pun yang engkau kerjakan, lakukanlah semua itu sebagai kerja-Ku dan persembahkan kepada-Ku. Itulah cara yang benar untuk menyucikan waktumu. Jika engkau melaksanakan hidupmu seperti ini, Kupastikan, engkau akan selamat!"

Sayang sekali sekarang ini kita tidak menemukan kemampuan pengunduran diri seperti ini, tujuan yang bulat, keyakinan yang mendalam, dan rasa tanggung jawab, keikhlasan mempersembahkan sepenuhnya pikiran, dan akal budi kepada Tuhan. Orang-orang terpelajar dan warga masyarakat dewasa ini tidak mempunyai pandangan yang dijiwai oleh keyakinan yang mendalam. Namun, engkau harus membina keyakinan yang kuat. Jangan harap engkau dapat mengetahui atas dasar perbuatanmu dan atas dasar kebaikan serta kekuranganmu, hidup macam apa yang akan kau alami di kemudian hari, atau dalam suasana apa dan dimana engkau akan hidup. Tak seorang pun tahu hal ini kecuali Tuhan. Jika engkau mempersembahkan segala-galanya kepada-Nya, Ia akan melindungimu dalam keadaan apa pun. Seorang pengabdi harus membina pikiran yang teguh dan kokoh. Apa pun yang kau kerjakan, engkau harus mempunyai kemauan dan tekad yang teguh. Tanpa itu semua engkau tidak dapat mencapai sesuatu, betapa pun kecilnya.

Ada seekor burung kecil yang bertelur di tepi pantai. Ia ingin hidup senang. Beberapa kali ombak datang dan menghempas telur-telurnya ke tengah laut. Burung itu patah semangat dan putus asa karena setiap kali bertelur ombak datang menyapunya. Akhirnya ia menjadi sangat marah kepada samudra. Mungkin engkau berpikir, "Apa yang dapat dilakukan oleh burung sekecil itu terhadap lautan yang demikian luas?" Tetapi, ia tidak mempunyai pikiran semacam itu, menganggap dirinya hanya seekor burung kecil yang tidak mampu berbuat apa-apa terhadap lautan yang sangat luas. Tidak, bahkan sebaliknya, burung kecil ini mengambil keputusan dan bertekad akan meminum habis semua air laut yang dahsyat itu. Itulah sumpah dipegangnya dengan teguh. Siang dan malam ia berdiri di tepi laut, memasukkan paruhnya ke dalam laut, mengambil air sedikit demi sedikit ia bertekad mengeringkan lautan. Ia percaya bahwa dengan cara demikian akhirnya ia akan dapat menaklukkan lautan.

Setelah menyadari bahwa ia tidak akan berhasil, ia minta bantuan burung Garuda, kendaraan Wisnu. Dengan pertolongan Garuda ia berhasil mendapatkan rahmat Wisnu. Sekarang lautan merasa ketakutan dan dengan sopan minta maaf kepada burung kecil itu. Samudra meyakinkan burung kecil itu bahwa telurnya tidak akan dihancurkan lagi oleh ombak dan ia dipersilahkan bersarang di tepi pantai tanpa gangguan. Betapa kecil burung ini dan betapa luasnya lautan! Engkau pun memandang dirimu kecil, tetapi engkau tidak boleh putus asa dan putus harapan. Engkau tidak boleh berkecil hati, beranggapan bahwa engkau tidak berarti sedangkan Tuhan tiada terbatas, Maha Ada, memenuhi segala sesuatu, dan Mahakuasa.

Mungkin engkau bertanya-tanya dalam hati, "Mengapa Tuhan menaruh perhatian kepadaku? Apakah gerangan yang dapat kupersembahkan kepada-Nya yang akan diterima-Nya dengan senang hati bila seluruh jagat raya ini sudah merupakan milik-Nya? Jika malaikat dan dewata sekalipun tidak dapat melihat Dia, bagaimana mungkin aku mengharapkan dapat melihat wujud-Nya?" Tetapi gagasan yang merendahkan dan mengecilkan diri sendiri seperti ini tidak dapat menolong engkau; selama engkau berpikir seperti itu, engkau tidak akan memperoleh rahmat Tuhan dan tidak mampu mengabdi kepada-Nya. Jangan memperlihatkan kelemahan seperti itu. Engkau harus menempatkan Tuhan di hatimu dan mohon kepada-Nya, "Tuhanku terkasih, aku tahu Engkau menempati seluruh jagat raya, tetapi Engkau pun ada dalam hatiku. Dengan segala kemampuanku akan kupertahankan agar Engkau tetap berada dalam diriku. Benar, Engkaulah yang terbesar di antara yang besar, namun Engkau pun yang terkecil di antara yang kecil. Dalam wujud yang kecil itu Engkau selalu tinggal dalam hatiku." Jika engkau mempunyai kepercayaan yang teguh pada diri sendiri dan berkemauan keras untuk menyemayamkan Tuhan di dalam hatimu, maka engkau pasti akan mencapai-Nya.

Seorang raja bernama Bhagiratha setelah bersumpah untuk menolong leluhurnya mencapai sorga, mampu membuat sungai Gangga mengalir dari langit ke bumi, karena ia mempunyai kemauan yang sangat keras. Bahkan Gautama Buddha dengan tekad yang kuat dan banyak bermatiraga dapat mencapai nirwana. Pada suatu hari setelah mengetahui bahwa Buddha mengemis makanan, ayahnya mengirim pesan kepada Buddha, "Oh anakku, kakekmu seorang raja, ayahmu seorang raja, dan engkau sendiri seorang raja. Ayah mendengar bahwa engkau, seorang raja dari keturunan semulia itu, mengemis makanan. Kita tidak kekurangan harta dan kekayaan dalam kerajaan ini, tidak kurang kemewahan apa pun juga. Engkau dapat memiliki apa saja yang engkau inginkan. Ayah sangat prihatin mendengar bahwa engkau yang dapat menikmati segala macam kemewahan dan kesenangan sebagai raja di istana, telah mengemis, tidur di atas tanah yang keras, dan hidup melarat sebagai pengemis. Anakku, kembalilah ke istana. Ayah akan menyambutmu dan mempersiapkan segala sesuatunya untukmu. Seluruh kerajaan adalah milikmu."

Buddha mendengarkan semua ini dengan rasa ketidakterikatan yang sempurna, kemudian berkata kepada utusan raja, "Tolong katakan kepada Raja. Ya, kakekku seorang raja. Ayahku seorang raja, dan aku pun seorang raja. Tetapi kini aku seorang sanyasin. Aku telah meninggalkan keduniawian. Dan aku percaya bahwa orang tuaku yang sebenarnya adalah sanyasin dan nenek moyangku yang sejati juga para sanyasin. Jika engkau menginginkan aku kembali, pertama engkau harus menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut. Apakah engkau kuasa menyelamatkan aku dari kematian? Dapatkah engkau menjauhkan penyakit dan menjamin kesehatanku? Apakah engkau mempunyai kemampuan untuk mencegah ketuaan dan menurunnya kemampuan fisikku? Mampukah engkau membebaskan aku dari semua bencana ini? Jika engkau dapat memberi jawaban yang benar atas pertanyaan-pertanyaan ini, aku akan segera kembali ke istana."

Buddha melihat bahwa kelahiran adalah penderitaan, bahwa hidup adalah penderitaan, dan bahwa akhir hidup ini juga penderitaan. Ia memberi jawaban yang benar kepada ayahnya. Setelah melihat segala kesengsaraan hidup dan setelah menyaksikan sekian banyak orang menderita, ia tidak dapat terus hidup dalam kekaburan batin dan khayalan, semua itu tidak lain hanya ketololan belaka. Kehidupan sang Buddha merupakan pelajaran bagimu. Dalam waktu yang terbatas yang telah diberikan kepadamu, engkau harus menyadari sifatmu yang sejati. Itulah tujuan hidup manusia yang sebenarnya. Badan terdiri dari lima unsur, dan pada suatu hari ia akan musnah. Penghuni badanmu adalah satu-satunya yang kekal. Jika engkau menyelidiki kebenaran, engkau akan menyadari bahwa tidak ada yang namanya usia tua dan kematian bagi diri Sejati yang menghuni tubuhmu. Jika engkau dapat mengerti bahwa penghuni ini, yang merupakan kenyataanmu yang sejati adalah Tuhan, maka engkau akan mengetahui kebenaran dan menikmati yang tak terhingga.

Pada buku Gita bab ketigabelas dijelaskan tentang Kshetra dan Kshetrajña, 'medan' dan 'yang mengetahui medan'. Apakah perbedaan antara kedua kata ini. Kshetra terdiri dari dua suku kata Sanskerta, kshe dan tra. Kshetrajña terdiri dari tiga suku kata kshe, tra dan jña. Kedua suku kata kshe dan tra terdapat dalam kedua kata tersebut. Artinya Kshetra itu tanpa jña, atau medan tanpa pengetahuan. Apakah yang dimaksud dengan medan tanpa pengetahuan yang tertinggi ini? Itulah badan, tempat persemayaman Tuhan, tempat kediaman-Nya di bumi.

Dalam kehidupan sehari-hari engkau menyebut tubuh itu "badanku". Dengan kata lain engkau mengakui bahwa engkau bukan tubuh itu, tetapi bahwa badan ini adalah milikmu. Begitu pula penghuni menganggap bahwa ia bukan Kshetra, tetapi Kshetra itu miliknya. Bila engkau berkata, "Ini milikku," maka engkau menyatakan bahwa engkau dan bendanya berbeda. Bila engkau mengatakan "Ini saputanganku," engkau menandaskan keterpisahanmu dengan saputangan itu; benda itu sesuatu yang lain dari engkau. Bila engkau berkata, "Ini badanku," berarti engkau terpisah dari badanmu. Demikian pula bila Tuhan menyatakan bahwa medan itu adalah milik-Nya, maka Ia bebas meninggalkannya kapan saja Ia inginkan.

Badan diberikan kepadamu agar engkau menyadari siapa engkau sebenarnya agar engkau menyadari siapa penghuninya. Tanpa badan engkau tidak akan dapat mengetahui Dia, engkau tidak akan dapat melakukan kegiatan apa pun dan mengikuti karma apa pun. Segala karma hanya dapat dilaksanakan dengan pertolongan badan. Badan terdiri dari dua puluh unsur, yaitu: lima alat indera, lima alat kegiatan, lima macam prana, dan lima selubung. Bila kepada yang dua puluh ini ditambahkan pikiran (manas), kemampuan membedakan (buddhi), tempat perasaan dalam hati (chitta), dan ego (ahamkara), bersama atma, maka seluruhnya menjadi 25 unsur yang menjadikan manusia. Pengetahuan mengenai badan dan jiwa di dalamnya ini dinamakan sankhya berhubungan dengan jalan kebijaksanaan sankhya yoga yang terdapat dalam bab kedua dalam Bhagawad Gita.

Orang tolol yang lahir dalam maya dan hidup dalam maya, tidak pernah mengenal maya atau khayalan apa adanya. Seluruh dunia ini adalah maya, semua keterikatan adalah maya, kehidupan keluarga adalah maya, kematian adalah maya, semua yang kau lihat dan pikirkan adalah maya. Hidup ini sendiri adalah maya. Di manakah para raja dan kaisar yang demikian bangga akan prestasinya? Mereka semua telah tergilas oleh roda waktu. Hari, bulan, tahun dan yuga, semuanya telah luluh satu dalam yang lain. Waktu berjalan terus dan dalam arus ini semuanya, segala sesuatu dan setiap orang, benda dan manusia, terbawa hanyut. Sesuatu yang sedang hanyut dalam arus waktu, tidak dapat membantu yang lain yang juga sedang hanyut.

Siapa dapat menyelamatkan siapa? Satu-satunya yang abadi yang tidak terbawa hanyut oleh waktu dan yang dapat memelihara semuanya adalah Tuhan. Hanya dialah yang dapat melindungi semuanya. Ia adalah tepian yang kokoh pada sungai waktu yang tak ada ujungnya. Berpeganglah pada Dia, itulah rahasia hidup, itulah ciri-ciri seorang manusia yang sejati. Percayalah pada Tuhan dan jangan percaya pada dunia, itulah cara yang benar untuk menempuh hidupmu dan menikmatinya. Ingatlah selalu akan tiga asa ini. Pertama jangan lupa pada Tuhan; kedua jangan percaya dunia; dan ketiga jangan takut mati. Inilah asas kemanusiaan yang utama.

Dalam Gita engkau jumpai kira-kira 64 keutamaan yang merupakan sifat seorang pengabdi. Tak seorang pun memiliki semua sifat ini; jika engkau dapat melaksanakan satu atau dua dari sifat-sifat itu, sudah cukup. Milikilah kepercayaan yang teguh kepada Tuhan. Bila engkau mempunyai keyakinan yang mendalam, engkau tidak lagi memerlukan yang lain-lain. Dalam satu kotak korek api mungkin terdapat 50 batang korek. Jika engkau memerlukan api engkau dapat menggoreskan satu batang. Satu saja sudah cukup. Engkau tidak perlu menggoreskan kelimapuluh batang itu semuanya. Demikian pula jika dari ke-64 keutamaan itu kau praktekkan satu saja hingga sempurna, itu sudah cukup. Sifat yang paling penting adalah prema, 'kasih tanpa pamrih'. Swami sudah sering mengatakan, "Cinta kasih adalah Tuhan dan Tuhan adalah cinta kasih. Hiduplah dalam cinta kasih." Jika engkau hidup dalam cinta kasih dan selalu ingat serta merenungkan Tuhan, Tuhan akan mengatur segala-galanya dalam hidupmu. "Bila engkau memiliki keyakinan dan pengabdian yang sempurna, menyerahkan semuanya kepada-Ku, engkau akan sangat Kucintai," kata Krishna.

Bhakti yang sejati atau pengabdian tidak hanya berarti melaksanakan upacara-upacara agama seperti menyanyikan lagu-lagu rohani, mengulang-ngulang mantra, berdoa dalam hati atau bersama-sama atau duduk melakukan meditasi. Bhakti berarti keyakinan yang tak tergoyahkan pada Tuhan. Ada empat macam pengabdi: arthi, arthaarthi, jignasu, dan jnani. Tipe arthi ialah orang yang berdoa kepada Tuhan bila ia berada dalam kesulitan dan mengalami banyak cobaan serta kesengsaraan. Hanya pada saat itulah ia ingat pada Tuhan dan memuja-Nya. Pengabdi tipe kedua adalah arthaarthi. Pengabdi ini memuja Tuhan dan mohon agar ia diberi kekayaan, jabatan, dan kekuasaan; ia mohon keturunan dan umur yang panjang, dan mendambakan rumah, harta, ternak, emas, permata, serta hal-hal semacam itu. Banyak orang yang mendambakan anugerah keduniawian ini tanpa menyadari bahwa kekayaan yang sejati adalah kebijaksanaan, bahwa harta yang sejati adalah tingkah laku yang baik, bahwa permata yang paling berharga adalah watak yang baik. Mereka bernafsu untuk memperoleh kekayaan duniawi, tetapi tidak mengerti arti dan makna yang lebih dalam dari semua simbol lahiriah harta benda duniawi itu.

Pengabdi tipe ketiga adalah jignasu. Pengabdi ini tidak henti-hentinya menekuni asa kerohanian. Di manakah Tuhan? Siapakah Tuhan? Bagaimana aku dapat mencapai Tuhan? Apakah hubunganku dengan Tuhan? Siapakah aku? Bila engkau masuk dalam tahap jignasu, engkau sibuk mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan ini untuk memperoleh pengetahuan kerohanian. Mula-mula engkau harus mencari jawaban, "Siapakah aku? Dari mana dunia ini timbul? Apakah tujuanku?" Sebagai jignasu engkau bergumul dengan ketiga pertanyaan penting ini dan berusaha mendapat pengertian dengan mendekati orang-orang bijaksana, dengan mendengarkan ajaran-ajaran mereka dan melayani atau mengabdi pada mereka, dan dengan mempelajari kitab-kitab suci. Usaha pertama untuk mendengarkan agar memperoleh pengetahuan secara tidak langsung, harus diikuti dengan melihat untuk memperoleh pengetahuan secara langsung. Akhirnya, bila engkau telah mengetahui ajaran-ajaran itu dengan sempurna, engkau meninggalkan tahap jignasu dan memasuki tahap jnani, yaitu orang yang mengetahui kebenaran. Jnana berarti pengetahuan. Apakah pengetahuan duniawi yang dimaksudkan? Tidak. Jnana tidak menyangkut pengetahuan duniawi, jnana adalah pengetahuan spiritual yang sejati, pengetahuan adikodrati. Jnana adalah kebijaksanaan, ia berarti penghayatan kesatuan, pengalaman yang esa tiada duanya.

Bergumul dengan benda-benda duniawi saja akan menyebabkan kesengsaraan yang tiada habisnya. Jika engkau mendasarkan pengalamanmu hanya pada pengetahuan duniawi, engkau akan menderita atau menikmati semua akibat pengetahuan tersebut. Misalnya kalau engkau memukul meja dengan keras dan merasa bangga melakukannya. Engkau dapat membanggakan diri bahwa engkau telah menghantamnya dan engkau pasti sudah membuatnya menderita tetapi segera setelah itu engkau terkejut karena ternyata meja itu memberikan pukulan kembali yang sama kerasnya, akhirnya engkau pun merasa kesakitan. Dalam pengetahuan duniawi selalu akan ada reaksi seperti ini, pantulan dan gema. Apapun yang engkau lakukan akan berbalik kembali kepadamu, apa pun yang engkau pikirkan akan memantul kembali kepadamu.

Tetapi dalam alam spiritual tidak ada reaksi, tidak ada pantulan dan tidak ada gema. Di sana hanya ada pengetahuan adikodrati, yaitu pengetahuan sejati. Dalam alam itu tidak engkau temukan benda-benda yang dapat bereaksi, tidak ada yang dapat memantulkan atau menggemakan karena di sana tidak ada yang lain. Di sana semuanya satu. Kalau ada wujud yang kedua pasti akan ada keinginan untuk memilikinya atau menjauhinya, dengan kata lain, akan ada perasaan ingin atau perasaan takut. Tetapi bila engkau berada sepenuhnya dalam pengetahuan kesunyataan engkau tidak akan menghayati apa pun atau siapa pun lainnya, tidak akan ada yang kedua. Maka tidak akan timbul keinginan atau ketakutan. Keadaan seperti itu dapat disebut kebijaksanaan, pengetahuan yang tertinggi. Dalam keadaan yang amat mulia itu engkau tidak melihat apa-apa dan tidak mendengar apa-apa. Engkau hanya merasakan suatu kebahagiaan yang amat mendalam. Inilah kebahagiaan abadi, yaitu sat-chit-ananda.

Ada suatu cerita yang menggambarkan keempat tipe pengabdian yang telah kita bicarakan. Pada suatu hari, seorang kaya yang mempunyai empat istri harus pergi ke luar negeri untuk suatu tugas penting. Ia tinggal beberapa bulan di luar negeri. Sebelum pulang ia menulis surat kepada masing-masing istrinya Dalam surat itu dikatakannya bahwa ia akan pulang beberapa minggu lagi dan jika ada sesuatu yang diinginkan dari luar negeri itu, mereka boleh mengirim daftar barangnya dan dengan senang hati ia akan membawa barang-barang itu untuk mereka.

Istri yang keempat adalah yang termuda dan karena itu banyak sekali keinginannya. Ia menulis, "Suami tercinta, belikanlah saya beberapa perhiasan yang indah, beberapa sari sutra, dan semua barang baru yang sedang model di sana." Sang suami yang menerima surat itu lalu membeli barang-barang tersebut. Istri yang ketiga kurang ceria, ia menderita berbagai penyakit. Ia mengirimi suaminya daftar obat dengan penjelasan bahwa kesehatannya sedang terganggu dan ia ingin mendapat obat-obatan luar negeri agar kesehatannya membaik.

Istri yang kedua memiliki minat spiritual yang besar. Ia menulis kepada suaminya minta buku-buku yang baik di negeri itu, buku tentang kehidupan orang-orang suci yang agung yang menggambarkan pengalaman hidup mereka. istri ini selalu mencari buku spiritual yang baik yang dapat menimbulkan inspirasi dalam cita-cita kerohaniannya, karena itu ia minta agar suaminya mencarikan buku-buku seperti itu dan membawa baginya. Istri yang pertama mulai menulis, "Manisku, saya tidak membutuhkan apa-apa untuk diri saya sendiri. Saya akan senang sekali kalau engkau bisa pulang dalam keadaan selamat dan sehat walafiat."

Ketika pulang ia membawa apa yang diminta oleh istri-istrinya. Untuk yang termuda, istri yang keempat, ia membawa perhiasan dan sari sutra yang indah-indah. Untuk istri yang ketiga ia membawa obat-obatan dan tonikum yang mutakhir. Untuk istri yang kedua ia bawakan beberapa kitab suci dan buku kerohanian lainnya. kemudian ia tinggal bersama istri pertama yang menulis, "Pulanglah dengan selamat. Saya tidak butuh apa-apa." Istri ini hanya membutuhkan suaminya sendiri. Ketiga istri lainnya merasa iri hati pada istri yang pertama karena suaminya tinggal bersama dia. Mereka mengirim pesan yang isinya, "Setelah sekian lama tidak bertemu dengan kami, satu kali pun kanda tidak datang mengunjungi kami. Apa gerangan sebabnya?" Sang suami menjawab, "Aku telah memberi engkau masing-masing apa yang engkau minta. Salah satu dari engkau minta perhiasan yang terbaru, sudah aku belikan; yang lain minta obat-obatan, aku bawakan, Yang satu lagi minta buku-buku kerohanian, telah kubawakan pula. Yang terakhir menginginkan diriku sendiri, maka aku tinggal bersama dia sekarang."

Suami ini melambangkan Tuhan sendiri, dan keempat istrinya ibarat keempat jenis pengabdi. Tuhan akan memberi engkau apa yang engkau minta. Siapa yang hanya minta Tuhan sendiri, untuk pengabdi itulah Tuhan akan datang dan bersemayam dalam hatinya. Tuhan adalah kalpataru 'pohon yang mengabulkan segala keinginan'. Tuhan adalah kamadhenu 'sapi surgawi' (dalam mitologi India, kamadhenu dapat memberikan apa pun juga yang diinginkan). Ia akan memenuhi permintaan setiap orang. Ia Maha Tahu dan Ia ada di mana-mana. Ia mengetahui apa yang engkau inginkan dan memberikannya kepadamu. Sebenarnya seluruh jagat ini adalah pohon yang mengabulkan keinginan. Melalui dunia ini Tuhan memuaskan hati setiap orang, apa pun kemauan dan keinginan mereka. Tidak banyak orang yang mengerti kenyataan ini. Ada suatu cerita yang menggambarkan keadaan ini.

Ada orang berjalan cukup lama di bawah terik matahari. Akhirnya ia menemukan keteduhan di bawah pohon yang rindang, maka ia berhenti di situ untuk beristirahat. Ia sangat lelah setelah berjalan lama dalam panas terik dan sekarang naungan pohon itu dirasakannya nyaman. Sementara duduk di bawah pohon tersebut ia merasa kehausan lalu berkata dalam hatinya, "Betapa nikmatnya seandainya aku mendapat segelas air dingin." Tiba-tiba entah dari mana muncullah segelas air dingin. Rupanya ia duduk di bawah pohon yang mengabulkan segala keinginan, tetapi ia tidak mengetahui hal itu. Setelah minum air itu, terlintaslah gagasan lain dalam dirinya, "Betapa enaknya kalau ada bantal yang empuk dan tempat tidur yang nyaman, aku dapat benar-benar beristirahat." Seketika itu juga muncullah bantal dan tempat tidur, diberi oleh Tuhan sendiri. Kini orang itu merasa amat nyaman.

Setelah mendapatkan tempat tidur dan bantalnya, ia berpikir, "Sungguh unik dan indah tempat tidur dan bantal ini. Kalau saja istriku ada di sini, alangkah menyenangkan." Istrinya datang seketika itu juga. Segeralah istrinya muncul, pria itu merasa sangat ketakutan karena ia tidak yakin. "Betulkah ia istriku ataukah setan?" Begitu ia berpikir seperti itu, perempuan itu berubah menjadi setan. Kini ia betul-betul diliputi rasa takut dan dengan ngeri berpikir, "Apakah setan ini akan memakan aku?" Begitu ia berpikir demikian setan itu menerkamnya menelannya bulat-bulat.

Pelajaran yang dapat kita petik dari cerita ini ialah, bila engkau berada di bawah pohon yang mengabulkan keinginanmu, apa pun yang engkau pikirkan akan menjadi kenyataan. Seluruh jagat ini dapat diumpamakan sebagai pohon pengabul keinginan. Jika engkau mempunyai keinginan yang baik, engkau akan mendapat hasil yang baik, jika engkau punya pikiran yang buruk, hasil buruklah yang akan kau peroleh. Karena itu, engkau tidak boleh mempunyai pikiran atau perasaan yang buruk. Itulah sebabnya Swami sering berkata," Jadilah orang yang baik, kerjakan yang baik, dan lihatlah yang baik. Inilah jalan menuju Tuhan."

Seluruh jagat ini adalah ciptaan Tuhan dan ditembus oleh kehendak-Nya. Di mana-mana ada Tuhan. Jangan berpikir buruk tentang siapa pun juga. Kendalilah hawa nafsumu sepenuhnya dan berpikirlah yang baik saja. Apakah engkau tua atau muda, hanya gagasan baik saja yang boleh kau izinkan memasuki pikiranmu dan selalulah berkeinginan menempuh hidup yang baik. Inilah arti yang sesungguhnya hidup sebagai manusia. Dalam bahasa Sanskerta manusia disebut nara 'yang tidak dapat dibinasakan' tetapi akan selalu kembali kepada Tuhan. Ra berarti 'binasa' dan na artinya 'tidak'. Karena itu nara berarti 'yang tidak dapat musnah', yaitu 'putra kekekalan'. Upanishad mengatakan, "Engkau bukan makhluk yang dapat mati, engkau adalah putra kekekalan." Manusia juga disebut manawa. Ma berarti 'ketidaktahuan', na berarti 'tidak', dan wa berarti 'tingkah laku'. Manawa artinya 'orang yang bertingkah laku tanpa ketidaktahuan'. Namun kini kalian semua bertingkah laku secara tolol. Dengan pikiran, perkataan, dan perbuatanmu, engkau tidak memberikan nilai yang benar kepada kata manusia.

Telah dikatakan bahwa kematian lebih manis daripada gelapnya kekaburan batin. Engkau harus menjauhkan ketidaktahuan dalam hidupmu dengan memperoleh pengetahuan. Jika engkau ingin menghilangkan kegelapan, engkau harus membawa terang. Jika engkau ingin memiliki kebijaksanaan, engkau harus memperoleh rahmat Tuhan. Bila engkau mendapatkan rahmat-Nya, kekaburan batinmu akan lenyap. Penyair Thyagaraja bernyanyi, "Oh Rama, jika aku memiliki rahmat-Mu, apa yang kutakutkan? Apa yang dapat dilakukan oleh planet-planet ini kepadaku?"

Kehidupan manusia tidak dilandaskan pada enam musuh: nafsu birahi, kecongkakan, kemarahan, ketamakan, kedengkian, dan egoisme; hidupnya didasari sepenuhnya oleh rahmat Tuhan. Karena itu, engkau harus berpikir dalam-dalam dan berusaha memahami asas kebijaksanaan ini, dan engkau harus ingin memperoleh rahmat Tuhan. Dengan demikian, engkau akan memberi contoh kepada dunia. Ingatlah hal ini: di mana-mana dan dalam keadaan apa pun, ingatlah selalu kepada Tuhan. Dalam zaman Kali sekarang ini tidak ada yang lebih utama dari pada pengamalan spiritual ini. Ulangilah selalu nama Tuhan yang suci dengan tiada putusnya dan usahakan agar Ia bersemayam selama-lamanya dalam lubuk hatimu.

note: agar dibaca dengan bijak........ :D
 
PERCAKAPAN 15

BERHENTILAH MENGANGGAP TUBUH SEBAGAI DIRIMU MAKA ENGKAU AKAN MENGETAHUI DIRIMU YANG SEJATI


Krishna menasehati Arjuna, "Arjuna, tinggalkanlah sifat pengecut itu! Bangkitkan sifat kepahlawananmu dan bertempurlah! Kelemahan hati yang timbul dalam dirimu tidak pantas bagi seorang pahlawan besar!"

Apakah penyebab kemurungan Arjuna? Penyebabnya ialah ketidaktahuan. Karena ketidaktahuan ia menyamakan diri dengan tubuh, dan karena menyamakan diri dengan tubuh, ia menjadi bingung dan bimbang, ia kehilangan tekad dan keberanian, dan tidak mampu menyelesaikan apa-apa. Krishna berkata kepada Arjuna, "Selama sifat pengecut ada pada dirimu, tugas sekecil apapun tidak akan dapat kau selesaikan. Engkau akan tetap dibayangi kesedihan. Tahukah engkau apa yang menyebabkan kesedihan ini? Tidak lain ialah keterikatanmu; engkau dimabukkan oleh rasa bangsaku, kerabatku, dan teman-temanku. Sikap memiliki ini bersumber dari ketidaktahuan. Keterikatan dan ketergila-gilaan ini akan selalu membuat engkau bimbang dan menjebloskan engkau ke jurang kesedihan. Itulah sebenarnya musuh-musuh yang harus engkau taklukkan.

Selama engkau diliputi oleh sikap memiliki ini, hanya memikirkan dirimu sendiri, keluargamu, bangsamu, dan harta bendamu, cepat atau lambat pasti engkau akan terlempar ke lembah kesedihan. Engkau harus beralih dari sikap aku dan punyaku ke tingkat yang lebih tinggi dengan senantiasa berpegang pada sikap kita dan punya kita. Dari sikap mementingkan diri sendiri engkau harus berangsur-angsur maju ke sifat tanpa pamrih, dari keterikatan menuju kebebasan.

Telah menjadi kebiasaan bahwa setelah siswa selesai mengikuti ujian kelas 10, mereka ingin melihat hasilnya untuk mengetahui bagaimana keadaannya. Hasil ujian itu biasanya dimuat di koran-koran, hampir dua halaman penuh diperlukan untuk mencantumkan nomor-nomor ujian yang lulus. Di suatu negara bagian mungkin sebanyak 100.000 siswa ikut ujian. Bila hasilnya telah diumumkan, setiap anak hanya memperhatikan nomornya sendiri; kurang sekali perhatiannya pada nomor orang lain. Ketika ia meneliti deretan nomor dalam daftar untuk melihat apakah nomornya (tercantum) di sana, ia sama sekali tidak menghiraukan nomor teman-temannya. Begitu pula yang terjadi ketika melihat foto yang baru keluar dari studio. Engkau hanya ingin melihat foto gambarmu sendiri; engkau tidak begitu berminat mencari apakah gambar orang lain juga muncul. Inilah suatu contoh sikap yang mementingkan diri sendiri dan kurang memiliki wawasan yang luas. Engkau harus membuang jauh-jauh sikap picik semacam ini dan maju terus hingga sama sekali tidak mementingkan diri lagi. Jika engkau telah mencapai sikap kita dan punya kita, engkau akan mampu berbhakti demi kesejahteraan seluruh dunia.

Sebelum perang Mahabharata, Arjuna telah terlibat dalam beberapa peperangan, tetapi belum pernah ia dirisaukan oleh kesedihan dan keterikatan. Kini Arjuna sangat prihatin karena menyadari musuh yang harus dihadapi adalah kakeknya sendiri, sanak keluarganya sendiri, dan gurunya sendiri. Rasa memiliki inilah penyebab kesedihannya. Ia menjadi korban kemabukan; rasa punyaku menjalar dalam hatinya. Karena sikap ini tumbuh, akibatnya yaitu dukacita ikut menjadi-jadi. Sebelumnya, ketika Krishna pergi ke keraton Kurawa melaksanakan misi perdamaiannya, Arjuna sangat bernafsu ingin segera berperang. Ia mencoba meyakinkan Krishna bahwa Misi-Nya akan sia-sia, pasti menemui kegagalan.

Pada waktu Arjuna berkata kepada Krishna, "Krishna, perjuangan untuk menuntut kebenaran tidak bisa diselesaikan dengan jalan damai. Kurawa tidak akan pernah menyetujui syarat-syarat perdamaian Kakanda. Kebencian serta keserakahan mereka tidak mungkin dapat diredakan. Buat apa Kakanda membuang-buang waktu? Pandawa dan Kurawa betul-betul bertolak belakang; bagaimana mungkin mereka bisa bekerja sama? Barangkali mereka bisa rukun di surga atau di neraka, tetapi di atas bumi ini tidak mungkin terjadi hal seperti itu. Misi Kakanda akan menemui kegagalan." Arjuna berkata demikian, kepahlawanannya meluap-luap dan tekadnya membaja karena pada waktu ia tidak melihat kakek, guru, kerabat keluarga, dan teman-temannya yang akan menghadapinya. Sebelum wawasan rasa memiliki ini berkembang dalam hatinya sehari menjelang perang Mahabharata, tampaknya Arjuna punya pandangan yang sangat luas. Tetapi sekarang setelah berada dalam medan pertempuran untuk berperang mempertahankan dharma yang telah lama ia dambakan, mata Arjuna menjadi pudar, hatinya berat, dan pikirannya kacau. Ketika ia menyaksikan sanak saudara dan beberapa temannya berkumpul di pihak lain, siap bertempur melawannya, ia merasa pusing. Ia berkata, "Krishna, aku tidak mau bertempur!"

Bila engkau berada dalam medan pertempuran, apakah tepat waktunya untuk memandang musuhmu sebagai keluarga? Ketika Krishna mendengar kata-kata Arjuna, Beliau marah sekali, Beliau berkata kepada Arjuna, "Ini pengecut. Tidak pantas engkau bersikap demikian! Seorang yang gagah berani seperti engkau, yang selalu melangkah dengan bangga dan tegap seperti pahlawan sejati, sepertinya sekarang menderita rasa takut-takut. Seorang yang menjadi penakut semacam itu tidak bisa menjadi murid Yogeswara, Master dari segala Master Yoga. Aku malu menerima engkau sebagai murid-Ku. Perang sudah hampir mulai. Persiapan tahap terakhir untuk perang ini telah berlangsung selama tiga bulan dan rencana pertempuran telah dibuat. Andaikata sejak semula engkau memperlihatkan keraguan ini, pasti Aku tidak mau menjadi kusir keretamu. Pada tahap terakhir ini engkau ragu-ragu, sesudah engkau menulis surat meminta kawan dan keluarga membantu engkau, setelah mereka menyatakan setuju dan kini mereka telah berkumpul di sini, engkau meletakkan senjatamu dan menyerah secara memalukan. Begitukah cara bertindak seorang pahlawan? Engkau merusak semangat ksatria sejati, yang demi tugasnya telah bersumpah wajib mempertahankan kehormatan dan kebajikan. Jika engkau terus menunjukkan sikap pengecut, penakut dan lemah, generasi mendatang akan menertawakan sifatmu. Engkau menyandang nama Arjuna, namun tidak bertindak sesuai dengan makna nama itu!"

Apakah arti Arjuna? Artinya keramat dan suci. Jika orang yang begitu mulia seperti Arjuna meletakkan senjatanya dan bertekad tidak mau bertempur mempertahankan dharma, hal itu hanya disebabkan oleh ketidaktahuan. Narayana, Tuhan, karena mengetahui keadaan penyakit ini, berketetapan akan membasminya. Pada permulaan Gita, seharusnya Krishna sudah dapat mengajarkan yoga pengabdian dan yoga kewajiban atau kerja tanpa pamrih, tetapi Krishna sengaja tidak melaksanakan hal itu. Ia baru mulai berbicara mengenai hal itu dalam bab kedua. Bab pertama seluruhnya diperuntukkan bagi kesedihan dan keprihatinan Arjuna. Sama sekali Krishna tidak mengganggu keadaan itu. Dalam bab kedua, dari bait kesebelas dan selanjutnya Krishna memulai ajaran-Nya. Sebelumnya Krishna hanya mendengarkan dengan penuh kesabaran. Kemudian beliau bertanya, "Arjuna engkau sudah selesai? Apakah engkau telah menumpahkan seluruh isi hatimu?"

Sama halnya dengan murid-murid yang pikirannya ringan setelah mengikuti ujian, Arjuna pun merasa lega setelelah mengemukakan seluruh perasaannya. Lalu Krishna berkata, "Penyakit kebimbangan yang mengerikan ini telah berjangkit dalam dirimu. Aku tahu cara mengobati rasa bimbang ini. Akan Kusembuhkan penyakitmu. Ketidaktahuanlah yang menyebabkan kebingungan ini; ketidaktahuan itu membuat engkau menjadi bimbang." Kemudian Krishna mulai mengajarkan Sangkhya Yoga kepada Arjuna. Sangkhya Yoga mengajarkan kemampuan membedakan atma dan anatma, antara diri sejati dan diri khayal, antara yang kekal dan yang berubah.

Bila seseorang diliputi kesedihan yang mendalam dan menderita kekaburan batin, apa yang harus dilakukan untuk melepaskannya dari belenggu khayalan? Bila seorang pasien berada dalam keadaan bahaya, yang pertama harus dilakukan oleh dokter ialah berusaha menyelamatkan pasien itu. Sesudah itu dokter bisa memberikan berbagai pengobatan. Umpama pasien berada dalam keadaan kritis hampir mati, pengobatan apapun yang diberikan akan sia-sia jika keadaannya yang gawat tidak ditanggulangi lebih dulu. Setelah ia bebas dari maut, barulah berbagai prosedur pengobatan dapat dilakukan. Misalnya bila seseorang tenggelam di sungai, engkau harus mengangkatnya lebih dulu, membawanya ke pinggir, dan memberikan pernapasan buatan; kemudian engkau dapat mulai memberikan perawatan berikutnya untuk mengembalikan sirkulasi darah dan membantu memulihkan keadaannya. Tentunya engkau tidak akan mulai memberikan berbagai perawatan selama ia masih berada di dalam air, tenggelam.

Krishna memberi Arjuna semangat dan keberanian untuk menyelamatkannya agar tidak tenggelam dalam kesedihan dan keputus-asaan. Pertolongan pertama yang diberikan Beliau adalah memberikan pelajaran mengenai diri sejati dan yang bukan diri sejati, dan perbedaan di antara keduanya. Beliau berkata, "Arjuna, selama engkau dikuasai oleh ketakutan dan kecemasan, engkau tidak akan mampu mencapai apa-apa. Bangkitkanlah keberanianmu! Ketahuilah bahwa engkau adalah atma, bukan badan ini; maka engkau tidak akan mengenal rasa takut. Aku dapat menolong engkau mencapai berbagai hal yang besar dan agung; namun hanya bila engkau mendasari tindakanmu dengan pengetahuan sejati dan tetap gagah berani." Sampai di sini Krishna tersenyum, tetapi Arjuna menangis.

Yang selalu tersenyum ialah Narayana 'Tuhan'. Yang menangis adalah nara 'manusia'. Orang yang menangis itu pandir, bodoh. Krishna adalah atma. Arjuna adalah anatma; yang satu pengejawantahan pengetahuan dan yang lain diliputi kebodohan. Krishna berkata, "Aku akan menjelaskan kepadamu sesuatu yang amat penting. Sekarang ini tingkah laku kita berbeda. Aku tersenyum, sedangkan engkau menangis. Tetapi kita berdua bisa sama; apakah Aku menjadi seperti engkau atau engkau menjadi seperti Aku. Jika Aku menjadi seperti engkau maka Aku akan menjadi penakut; tetapi ini sama sekali tidak mungkin. Kelemahan semacam itu tidak mungkin memasuki diri-Ku. Sebaliknya jika engkau menjadi seperti Aku, maka engkau harus mengikuti Aku dan melakukan apa yang Aku katakan." Sampai di sini Arjuna menjawab, "Swami, saya akan benar-benar melakukan apa yang Swami katakan. Saya akan mematuhi segala perintah Swami." Setelah memberi Arjuna semangat dan kekuatan batin, Krishna berhasil memulihkan tekadnya yang membaja; sejak saat itu Arjuna siap tempur mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Tuhan.

Dalam Sangkhya Yoga yang pertama dipaparkan adalah kebenaran tertentu mengenai jasmani dan rohani. Krishna berkata, "Arjuna, engkau mengira bahwa orang-orang ini kaum kerabatmu dan teman-temanmu. Tetapi siapa kerabat itu dan siapa pula teman itu? Siapa badan dan siapa penghuninya? Semua badan tidak ubahnya dengan gelembung-gelembung udara. Semua sanak saudara dan teman-temanmu tidak hanya ada sekarang ini, tetapi mereka sudah ada pada kelahiran-kelahiran sebelumnya. Engkaupun sudah ada sebelumnya, dan Aku pun sudah ada pula. Badan, pikiran, dan budi, semua itu alat belaka. Tidak ubahnya dengan pakaian yang engkau kenakan; semua itu hanya barang yang engkau ganti sewaktu-waktu. Mengapa mengikatkan diri kepada semua itu, tergila-gila sehingga engkau menanggung kesedihan dan rasa duka yang tidak perlu? Lakukanlah kewajibanmu. Segala kehormatan yang pantas bagimu sebagai pangeran akan engkau peroleh; tetapi di medan laga tidak ada tempat bagi perasaan kecut dan hati yang lemah. Bertempur untuk mempertahankan dharma dan kelemahan yang ada dalam dirimu bertentangan satu sama lain. Sifat pengecut dalam medan pertempuran bukan sifat seorang pahlawan besar. Cita-citamu benar dan engkau datang untuk bertempur. Karena itu bangkit dan bertempurlah!" Dengan kata-kata ini Krishna melenyapkan kemurungan Arjuna dan mengembalikan keberanian serta semangat juangnya.

Dritharashtra, ayah yang buta dari seratus Kurawa bersaudara, bertanya kepada Sanjaya, yang melaporkan seluruh kejadian kepadanya, "Sanjaya, apa yang dikerjakan anak-anakku dan apa yang dikerjakan Pandawa?" Pada saat itu Sanjaya menjelaskan kepada raja segala kejadian di medan perang. Lapangan tempat pertempuran dinamakan Dharmaksherta, karena secara historis tempat itu merupakan tempat keramat untuk mengadakan kurban dan hal-hal suci lainnya. Sekaligus, secara historis, tempat itu juga menjadi arena bermain bagi keturunan Kuru yang jahat, yaitu keluarga dinasti Kurawa; maka tempat itu disebut juga Kurukshetra. Pada waktu lahir tubuh masih suci tanpa noda; ia belum menjadi korban keenam musuh manusia yaitu nafsu, amarah, ketamakan, kemabukan, kecongkakan, dan kedengkian. Bayi yang baru lahir selalu bahagia, ia menangis hanya jika merasa lapar. Siapapun yang memandangnya, apakah ia seorang pencuri atau seorang raja, sang bayi gembira; ia tersenyum dan tertawa kalau ada orang yang mendekati, apakah orang itu mau mencium atau mencubitnya. Karena anak kecil itu suci, badannya dapat dinamakan dharmakshetra. Badan yang tidak terpengaruh oleh guna 'sifat-sifat buruk' disebut dharmakshetra.

Selama pertumbuhannya, badan terus menerus mengumpulkan berbagai macam sifat buruk yaitu kedengkian, kebencian, keterikatan, dan sebagainya. Bila semua sifat ini berkembang dalam badan maka ia menjadi kurukshetra. Karena itu, badan yang sama dapat menjadi dharmakshetra dan dapat pula dinamakan kurukshetra. Baik dan buruk keduanya terkandung dalam hatimu. Rajas dan tamas berhubungan dengan rasa punyaku, sifat pemilikan. Kata Pandawa berarti kesucian dan sifat sattvik. Untuk menggambarkan sifat putih dan suci, kata yang kita pakai ialah pandu. Putra-putra Pandu suci, dan makna perang antara Pandawa dan Kurawa ialah perang batin dalam diri setiap individu, perang antara baik dan buruk, antara yang suci dan yang kotor. Perang antara Pandawa dan Kurawa tidak berlangsung lama, tetapi perang antara kekuatan baik dan kekuatan jahat berjalan terus selama hidupmu; tidak ada akhirnya. Peperangan ini berlangsung di medan dharma.

Bila memasuki padang Dharmakshetra harus terjadi perubahan sifat pada dirimu; itulah makna medan pertempuran ini. Ketika Dritharashtra, ayah seratus Kurawa bersaudara, bertanya kepada Sanjaya, "Apa yang dikerjakan anak-anakku?" Dalam batinnya ia menginginkan bahwa kalau anak-anaknya terjun ke medan dharma, akan terjadi perubahan yang mendalam pada diri mereka. Ia tahu kalau mereka itu jahat, namun setelah memasuki padang yang keramat itu mungkin terjadi perubahan pada hati nurani mereka. Bila seseorang memasuki medan perang Dharmakshetra, medan itu memungkinkan perubahan mental. Dritharashtra dan Kurawa melambangkan orang-orang yang menganggap barang yang bukan milik mereka sebagai miliknya. Mereka melambangkan sifat ingin memiliki. Walaupun ia bukan badan, ia menganggap badan itu dirinya yang sesungguhnya. Ia bukan indera, tetapi dengan bangga ia merasa bahwa ia adalah indera. Siapa saja yang menganggap suatu kerajaan yang bukan miliknya sebagai miliknya, ia adalah Dritharashtra. Jika engkau mengamati semua orang keturunan Dritharashtra yang mempunyai sikap ingin memiliki, engkau akan melihat bahwa mereka semua menyamakan diri dengan tubuh dan indera.

Mungkin engkau bertanya-tanya mengapa Gita diajarkan kepada Arjuna. Diantara Pandawa, beberapa saudaranya yang lain seperti Dharmaja misalnya, dianggap lebih memenuhi syarat dalam bidang kerohanian daripada Arjuna. Mengapa Gita yang keramat itu tidak diajarkan kepada Dharmaja yang tersohor dengan kekuatan moralnya? Atau jika engkau mempertimbangkan kekuatan fisik, maka Bhima yang paling perkasa diantara lima bersaudara itu, pastilah memenuhi syarat untuk mendapat pelajaran itu. Krishna bisa mengajarkan Gita kepada Bhima, tetapi Ia tidak melakukannya. Mengapa tidak? Mengapa hanya diberikan kepada Arjuna? Engkau harus mengerti maknanya dalam hal ini. Dharmaraja adalah perwujudan dharma, tetapi ia tidak mempunyai wawasan ke masa depan; ia tidak memikirkan akibat tindakannya. Yang ia miliki pandangan ke belakang, bukan pandangan ke depan. Bhima misalnya, tentunya ia sangat perkasa, namun ia tidak begitu cerdik. Ia mampu mencabut pohon, tetapi kurang kemampuan menganalisis. Sebaliknya, Arjuna punya pandangan ke depan. Umpamanya Arjuna berkata kepada Krishna, "Lebih baik aku mati daripada bertempur melawan orang-orang ini, sebab nanti ini merupakan penderitaan yang berat, meskipun kita menang perang.

Bertentangan dengan penderitaan batin Arjuna karena memikirkan segala kesengsaraan yang akan diakibatkan oleh perang ini, Dharmaraja siap maju bertempur, walaupun nantinya seusai perang ia sangat prihatin dengan pembunuhan massal yang telah terjadi. Ingatlah permainan dadu yang sangat terkenal itu; setelah Dharmaraja kehilangan segala-galanya, termasuk kekayaannya, kerajaannya, dan bahkan istrinya, ia sangat menyesali apa yang telah terjadi. Bila seseorang yang tidak timbang menimbang dan tidak mempunyai pandangan ke depan harus mengambil keputusan dalam keadaan gawat, ia senantiasa menyesali tindakannya dikemudian hari. Begitu juga sifat Raja Dasaratha, ayah Rama. Dasaratha pun kurang pandangan ke depan dan kurang pertimbangan.

Dasaratha ikut dalam peperangan antara pada dewa dan setan, disertai oleh ratu mudanya, Kaikeyi. Kaikeyi adalah putri dari ratu Kashmir; ia sangat pandai dalam ilmu perang. Sebenarnya Kaikeyilah yang mengajar Rama ilmu panah dan teknik perang. Ketika Dasaratha sedang bertempur dalam peperangan, salah satu roda keretanya lepas. Kaikeyi menggunakan jarinya untuk menahan agar roda tidak terpisah dari poros kereta. Dengan demikian ia menyelamatkan jiwa Dasaratha. Setelah mencapai kemenangan, Raja Dasaratha melihat bahwa tangan Kaikeyi mengeluarkan darah banyak sekali. Melihat keadaannya yang menyedihkan itu, Dasaratha diliputi oleh rasa cinta yang meluap-luap dan begitu bangga dengan keberanian serta pengorbanannya sehingga ia berkata, "Kaikeyi, engkau boleh minta dua hadiah, apa saja yang engkau inginkan, dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhinya." Ia tidak menentukan hadiah apa yang boleh diminta istrinya. Ia menjanjikan hadiah itu tanpa memikirkan akibatnya. Kini Kaikeyi menagih hadiah itu pada saat yang sangat tepat baginya. Ketika tiba saatnya Dasaratha menyerahkan kerajaan kepada Rama, Kaikeyi minta agar Rama dibuang ke hutan, dan agar anaknya, Bharata, dinobatkan menjadi raja. Maka Dasaratha sangat menyesal karena telah menjanjikan hadiah itu tanpa syarat apapun; tetapi sudah amat terlambat untuk menariknya kembali. Kesedihannya atas hal itu mengakibatkan kematiannya.

Kita tahu bahwa Krishna sangat sayang kepada Arjuna, tetapi itulah alasannya sehingga Beliau mengajarkan Gita kepada Arjuna, dan bukan kepada saudaranya yang lain? Tidak. Krishna mempertimbangkan semua akibatnya, segala kaitannya, dan menganggap hanya Arjunalah yang memenuhi syarat menerima ajaran Gita. Arjuna telah memikirkan lebih dulu apa yang akan terjadi sesudah perang dan karena itu ia menyatakan tidak mau bertempur, karena akibatnya sangat buruk. Ia tidak menyesal setelah perang usai, tetapi sebelumnya. Sikap menyesal sebelum bertindak, bukan sesudahnya, hanya dapat ditemukan dalam hati yang suci. Arjuna benar-benar memiliki hati yang murni dan suci. Krishna dan Arjuna tidak terpisahkan selama 75 tahun, karena Arjuna merupakan perwujudan kemurnian dan kesucian. Meskipun mereka hidup bersama selama 75 tahun, belum pernah dalam 75 tahun itu Krishna mengajarkan Gita kepada Arjuna. Mengapa demikian? Krishna tidak mengajarkan Gita selama masa itu karena Arjuna memperlakukan Krishna sebagai ipar dan kawan akrabnya. Selama masa itu Arjuna hidup dalam kesadaran badan.

Pada saat Arjuna pasrah dan menempatkan diri sebagai murid, maka Krishna menjadi gurunya dan Arjuna menjadi murid Krishna. Hanya setelah penyerahan diri di pihak Arjuna, Krishna mengajarkan Gita kepadanya. Ini berarti bahwa jika engkau benar-benar ingin memperoleh pengetahuan spiritual dari orang lain, engkau harus menghubungkan diri dan orang itu sebagai murid dan guru, baru kemudian pengalihan pengetahuan itu dapat berjalan lancar. Ada seorang guru besar bernama Uddalaka. Pada masa itu tidak ada guru yang lebih hebat daripadanya. Tetapi ia mengirim anaknya ke guru lain untuk mempelajari berbagai kitab suci. Ayahnya sendiri tidak bisa mengajar anaknya. Ia berbuat demikian karena ia menganggap dirinya sebagai ayah, dan dalam hubungan sebagai ayah dengan putranya, anak yang bernama Swetaketu itu tidak dapat diberi pelajaran sebagaimana mestinya mengenai pengetahuan yang tertinggi. Keadaannya sama dengan Krishna dan Arjuna; selama hubungan sebagai ipar berlangsung diantara mereka, Arjuna tidak dapat menerima pengetahuan dari Krishna. Tetapi bila perasaan sebagai ipar tidak ada lagi dan perasaan berada di hadapan Paramatma 'Tuhan Yang Mahakuasa' menjiwai Arjuna, maka Arjuna akan dapat menerima pelajaran dari Krishna.

Hanya setelah Arjuna menyerahkan dirinya sepenuhnya dan merasakan bahwa Krishna adalah perwujudan Tuhan, Krishna mulai mengajarnya. Arjuna berkata kepada Krishna,

"Tvameva maataa cha pitaa tvameva
Tvameva bandhuscha sakhaa tvameva
Tvameva vidyaa dravinam tvameva
Tvameva sarvam mama devadeva"
Artinya,
'Engkau ibuku, Engkau Ayahku
Engkau kerabat yang terdekat, Engkau kawanku terdekat
Engkau kebijaksanaanku, Engkau hartaku
Engkau segala-galanya bagiku
Engkau Tuhanku, Tuhanku satu-satunya'
Dengan ucapan ini ia menyerahkan dirinya sepenuhnya, dan saat itulah Krishna menerimanya sebagai murid. Lalu Krishna berkata, "Lakukan pekerjaan-Ku. Kerjakan segala sesuatunya bagi-Ku dan Aku akan melindungi engkau." Dalam Sangkhya Yoga, Krishna menjelaskan cara yang perlu untuk membuat Arjuna menyerah sepenuh hati kepada kehendak-Nya. Hal paling penting yang dilakukan Krishna adalah membebaskan Arjuna dari kesadaran badan. Selama kesadaran badan bercokol. jalan kebhaktian, atau jalan penyelidikan batin, engkau tidak akan mampu melaksanakan
disiplin yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Kesadaran badan dan keterikatan yang ditimbulkannya akan tetap mencemari hatimu. Tanpa membersihkan hatimu dari sampah itu, tidak mungkin mengisinya dengan perasaan yang suci. Kalau sebuah gelas penuh dengan air, bagaimana engkau akan mengisinya dengan susu? Engkau harus membuang airnya terlebih dahulu. Krishna berkata, "Arjuna, engkau diliputi oleh kesadaran badan. Pertama engkau harus melepaskan diri sama sekali dari kesadaran tubuh ini. Barulah Aku dapat mengisi hatimu dengan gagasan yang suci."

Sangkhya Yoga berkaitan dengan usaha Krishna untuk membebaskan Arjuna dari keterikatannya, kebingungannya, dan kesedihan serta penderitaan yang diakibatkan oleh hal itu. Setelah kesadaran badan ini lenyap, Krishna siap memberikan ajaran tertinggi tentang kesadaran atma kepada Arjuna. Untuk membangkitkan Arjuna dari tidur ketidaktahuannya, Krishna harus menggunakan banyak argumentasi. Beliau berkata, "Engkau pernah membinasakan seluruh hutan tanpa ragu. Juga pada waktu melindungi ternak sapi, engkau tidak berpikir panjang dan menggempur sanak saudara serta guru itu juga. Banyak alasan kesedihanmu, tetapi yang mendasar adalah ketidaktahuanmu. Karena engkau tidak sadar akan sifatmu yang sejati, engkau diliputi kedukaan. Kini engkau berteriak menyerukan Tuhan dan dharma. Saat engkau berseru kepada Tuhan, itulah yoga. Bila engkau berseru memanggil-Ku, Aku akan melindungimu dan memberikan segala yang engkau butuhkan."

"Engkau menangis karena berbagai hal, namun apakah engkau menitikkan air mata bila terjadi kemerosotan dharma? Untuk menghentikan kemerosotan dharma, untuk berjuang memulihkan dharma, engkau harus memiliki keberanian." Krishna berkata kepada Arjuna, "engkau tidak boleh memupuk sifat lemah apa pun. Hanya setelah engkau membuang penyebab kelemahan itu, kekuatan suci (Tuhan) akan dapat masuk dan bersemayam di hatimu. Jika engkau tidak mempunyai keberanian, biri-biri pun akan membuat kau takut, apa lagi orang jahat. Engkau harus mempunyai kemampuan menghadapi segala keadaan. Jika engkau lari ketakutan, kera pun akan menyerang engkau. Setiap orang tahu jika engkau memegang tongkat dan berdiri tegap, kera tidak akan berani menyerangmu. Tetapi jangan memperlihatkan punggung; melainkan tunjukkan wajahmu. Dengan demikian engkau akan mampu berbuat sesuatu."

Vivekananda juga mengatakan hal seperti itu, "Jangan takut!" nasehatnya. "Keberanian adalah suatu alat untuk mencapai keberhasilan dalam hal apa saja." Dewasa ini orang perlu lebih berani dan mempunyai tekad yang lebih kuat, tetapi mereka tidak boleh bersikap berani yang membabi buta dan bodoh. Keberanian harus disertai pertimbangan; maka usahamu pasti berhasil.

Para siswa harus sangat berhati-hati bila mengatakan yang benar. Tentu saja mereka harus mengatakan yang benar, tetapi harus hati-hati jangan sampai terus bicara dan menyakiti orang lain. Kendalikanlah lidahmu. Bila terjadi salah pengertian dengan orang lain, jika engkau memberitahukan segala kekurangannya dengan pertimbangan bahwa engkau mengatakan apa adanya, maka dikemudian hari pasti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Engkau tidak boleh membenci orang lain. Bila engkau membina cinta kasih masalah kebencian dan rasa iri hati tidak akan timbul. Bila hatimu memiliki kasih, perkataanmu akan lemah lembut. Andaikata pun timbul amarah, hal itu tidak akan berlangsung lama. Ada empat jenis manusia. Kemarahan seseorang yang bersifat satwik hanya berlangsung beberapa saat, lalu segera reda. Menurut Gita, orang seperti itu berjiwa besar. Jenis kedua adalah orang yang amarahnya berlangsung beberapa menit dan cepat reda. Jenis ketiga adalah orang yang marahnya sepanjang hari. Jenis yang paling rendah adalah orang yang amarahnya berlangsung seumur hidup.

Guru agung Gita telah mengajarkan hal ini dengan cara lain. Kemarahan orang yang baik ibarat menulis di atas air, sama sekali tidak berbekas. Kemarahan orang jenis kedua seperti menulis di pasir, suatu waktu tulisan itu akan terhapus. Kemarahan orang jenis ketiga seperti menulis pada batu. Dalam jangka waktu lama tulisan itu pun akan terkikis. Tetapi kemarahan orang jenis ke empat seperti menulis pada lempengan baja, tulisan itu tidak akan hilang kecuali jika baja tersebut dicairkan dan dicetak kembali. Hanya bila baja itu kau masukkan ke dalam api maka tulisan pada logam itu akan lenyap; hanya melalui proses perubahan yang keras kita dapat mengubahnya.

Hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan kehidupan sehari-hari dapat ditemukan dalam Bhagawad Gita. Tidak mungkin engkau dapat mengambil seluruh ajaran yang terdapat dalam Bhagawad Gita dan mengamalkannya. Tetapi engkau dapat mengambil ajaran-ajaran yang langsung dapat diterapkan dalam hidupmu sekarang dan mengamalkannya sehingga engkau dapat memperoleh manfaat langsung dari ajaran-ajaran itu dan dengan demikian maju menuju tujuan spiritualmu.
 
PERCAKAPAN 16

BUANG KETIDAKTAHUAN MAKA DUKA AKAN MENINGGALKAN ENGKAU


Kata sangkhya sebenarnya berarti 'kebijaksanaan'. Pada bab kedua kitab Bhagawad Gita yang berjudul Sangkhya Yoga, Krishna mulai mengajarkan jalan kebijaksanaan kepada Arjuna. Untuk mendapat kebijaksanaan, engkau harus melakukan penyelidikan batin. Pada waktu melaksanakan penyelidikan batin engkau harus memisahkan diri dari perasaan dan pikiranmu. Krishna berkata kepada Arjuna, "Arjuna, rasa takut, sedih, menderita, semua ketakutan dan kelemahan ini berhubungan dengan pikiran dan perasaan. Mengapa kelemahan ini ada pada dirimu? Akan Kuberitahukan kepadamu. Pikiran yang tidak murni dan (kekeliruanmu) menyamakan diri dengan pikiran yang tidak murni itu menyebabkan kelemahan hati dalam dirimu".

Krishna menamakan Arjuna seorang Kripanah yang kadang-kadang diterjemahkan dengan 'orang yang hina' atau 'orang miskin' bahkan 'orang yang kikir', tetapi arti ini tidak sesuai untuk menggambarkan Arjuna. Arjuna bukan orang kikir dan ia bukan fakir miskin; juga bukan orang yang keji atau berbudi rendah. Kata-kata yang dipakai sebagai arti kripanah tidak dapat digunakan untuk menggambarkan Arjuna. Tetapi dalam istilah Upanishad kata ini juga dipakai untuk menyatakan ketidaktahuan atau kekaburan batin. Maka yang dimaksud Krishna ketika Beliau menyebut Arjuna, Kripanah, ialah Arjuna masih berada dalam kekaburan batin. Karena kekaburan batinnya, Arjuna tenggelam dalam duka dan penderitaan, juga diliputi rasa takut. Rasa duka timbul bila mengalami perpisahan. Hidup dapat dianggap sebagai arus, sesaat manusia berkumpul kemudian berpisah lagi. Kehidupan manusia terus mengalami penggabungan dan pemisahan. Cara lain untuk menyatakan peralihan ini ialah dengan menganggap kejadian itu sebagai saat-saat sandhya.

Sandhya adalah saat ketika dua waktu yang berbeda dihubungkan. Sandhya adalah saat antara gembira dan sedih, atau saat antara siang dan malam, atau saat antara datang berkumpul dan berpisah lagi. Pada saat sandhya ini engkau berada dalam keadaan gembira sekaligus sedih. Namun keadaan itu tidak lama; mungkin engkau maju terus dan memasuki keadaan bahagia sepenuhnya, atau engkau jatuh dalam kesedihan. Sudah tentu engkau hanya menginginkan kebahagiaan, bukan kesedihan. Kebijaksanaan adalah jalan yang menolongmu agar tetap berada dalam kebahagiaan abadi. Sangkhya Yoga mengajarkan cara mencapai kebahagiaan yang kekal melalui ketidakterikatan dan kasih kepada Tuhan. Dalam Gita, bab Sangkhya Yoga, engkau temukan dua kata yaitu Rishikesha dan Gudhakesa. Rishikesa adalah penguasa indera, dan Gudhakesa adalah orang yang sudah belajar mengendalikan inderanya. Krishna adalah penguasa indera sedangkan Arjuna sudah mampu mengendalikan inderanya. Tetapi pada mulanya Arjuna tenggelam sepenuhnya dalam kesadaran tubuh dan sama sekali tidak menguasai inderanya.

Arjuna mulai khawatir setelah ia memikirkan akibat pertempuran yang akan terjadi melawan sanak keluarga dan kawan-kawan. Ia sangat prihatin dengan apa yang akan terjadi setelah orang-orang tersebut binasa secara jasmani, dengan kata lain, Arjuna hanya berpikir dalam kesadaran badan. Badan dikaitkan dengan tamas 'kelembaman'; dapat dianggap sebagai wadah, tempat atau pakaian yang dipakai oleh jiwa seperti lazimnya engkau melepaskan pakaian yang kotor atau usang dan mengenakan yang baru, begitu pula engkau membuang badan dan memakai yang baru. Krishna memperlihatkan bahwa kematian itu mirip sekali dengan membuang kain yang sudah usang. Nah, bila orang awam mendengarkan hal ini mungkin mereka merasa ragu-ragu.

Setelah delapan puluh atau sembilan puluh tahun, bila akibat keuzuran mulai terasa, engkau mudah menerima bahwa badan ini sudah seperti pakaian yang usang. Maka engkau akan setuju bahwa pakaian usang itu harus ditanggalkan. Tetapi bila seseorang meninggal waktu masih muda, sebelum menginjak usia tua, rasanya seperti meninggalkan pakaian baru. Misalnya tubuh yang baru berusia dua puluh tahun ditinggalkan, apakah itu pakaian usang? Jelas masih baru. Krishna menjawab keragu-raguan ini dengan memberikan sebuah contoh. Misalnya pada suatu waktu engkau pergi berziarah dan membeli sepotong kain. Kain itu engkau bawa pulang dan engkau simpan di lemari; kemudian setelah lima atau sepuluh tahun, ketika menaruh pakaian engkau temukan kain itu dan teringat bahwa engkau membelinya beberapa tahun yang lalu. Engkau bawa kain itu ke tukang jahit untuk dibuat kemeja. Engkau pakai kemeja itu. Pada suatu hari ketika engkau pergi ke tempat ibadat, engkau duduk dan membungkuk, tiba-tiba punggung kemeja robek. Engkau pikir kemeja itu baru, tetapi mengapa cepat sekali robek? Mengapa hanya tahan sebentar sekali? Kemejanya baru, tetapi bahannya sudah lama; kain itu stok lama. Badan yang digunakan hanya sebentar tampak seakan-akan engkau membuang badan baru, tetapi sebenarnya ia stok lama. Engkau peroleh dari kelahiran-kelahiran yang telah lalu.

Ada lagi contoh lain untuk menjelaskan hal ini. Ada dua orang, yang satu muda dan satu lagi tua. Pemuda yang berumur 18 tahun berulang-ulang memukuli sebuah batu, dua puluh pukulan dengan palu, tetapi batu itu tidak pecah. Ia lalu duduk beristirahat. Kemudian datang orang yang tua, hanya dengan dua pukulan dengan palu batu itu pecah. Apa yang membawa hasil yang menakjubkan ini? Batu itu tidak pecah setelah dipukuli dua puluh kali oleh si pemuda, tetapi segera pecah walau hanya dipukul dua kali oleh orang yang berumur 80 tahun? Kesalahan dalam berpikir yaitu engkau hanya menghitung beberapa pukulan oleh orang tua itu dan mengira bahwa batu pecah akibat dua pukulan itu, tetapi sebenarnya batu pecah setelah kena 22 pukulan. Dua puluh pukulan oleh anak muda, setelah itu ditambah 2 pukulan lagi oleh orang tua itu, maka pecahlah batu itu. Begitu pula mungkin engkau telah banyak melakukan latihan rohani dan menikmati berbagai pengalaman spiritual dalam kehidupan yang lampau, kemudian engkau meninggal. Dalam hidup ini engkau mulai lagi melakukan kegiatan spiritual dan sebelum mencapai usia tua mungkin engkau telah mencapai kesempurnaan. Ketika memikirkan hal ini, mungkin engkau hanya memperhitungkan kehidupan sekarang ini, hanya mempertimbangkan upaya dan hasil kegiatan dalam kelahiran ini, tetapi dalam pandangan Tuhan, seluruh kehidupanmu terdahulu, segala upaya dan hasilnya dipertimbangkan. Krishna berkata, "Nak, pada akhirnya setiap badan akan dihancurkan oleh waktu; ketahuilah engkau sudah pernah hidup dalam tubuh-tubuh yang tidak terhitung banyaknya dan telah melalui siklus kelahiran dan kematian yang tidak terhitung jumlahnya pada masa lampau, sejauh manusia dapat menghitung."

Kata badan dalam bahasa Sanskerta ialah sarira, artinya 'yang menjadi usang'. Lahir dalam bentuk segumpal daging; selama pertumbuhannya ia menjadi badan yang indah dan menarik, tetapi akhirnya ia menjadi tua, habislah kekuatan dan daya tariknya. Badan merupakan barang yang lembam dan tidak punya kesadaran; selama hidup ia mengalami berbagai perubahan dan akhirnya jompo. Tetapi sekarang mungkin engkau merasa ragu. Mengapa dikatakan lembam atau tidak sadar? Ia berbicara, ia berjalan, ia hidup, dan ia bekerja; badan yang hidup ini tidak bisa dikatakan lembam. Tetapi kalau engkau memutar kunci sebuah jam, ia juga akan bekerja dan bergerak. Dari saat itu jarum jam akan berputar dan belnya berdenting setiap jam. Namun, belum cukup alasan untuk mengatakan bahwa jam itu hidup. Karena tenaga yang diperolehnya setelah engkau putar, jam itu bekerja dengan semestinya. Begitu pula karena adanya tenaga hidup yang diberikan oleh Tuhan, badanmu dapat berbicara dan melakukan berbagai kegiatan. Tanpa prinsip ketuhanan yang menghidupkannya, badan tidak dapat berfungsi, sama seperti jam tidak dapat hidup tanpa diputar.

Tetapi, kini timbul pertanyaan lagi. Jam bekerja, tetapi bentuk dan ukurannya tidak berubah, sedangkan badan tumbuh. Bagaimana penjelasanmu dalam hal ini? Jika ia lembam, mengapa ia tumbuh? Barang yang lembam tidak tumbuh. Tetapi, jika engkau menyapu lantai dan mengumpulkan debunya serta membuangnya ke tempat sampah, tumpukan debu itu pun akan makin tinggi. Bila engkau terus memberi makan badan ini dengan segala macam makanan, badan ini pun akan tumbuh. Karena makanan menumpuk dalam badan, makan badan tumbuh. Tumpukan sampah dapat tumbuh, tetapi tidak dapat dikatakan hidup. Begitu pula hanya karena engkau lihat badanmu tumbuh engkau tidak dapat menyimpulkan bahwa ia hidup. Badan itu sendiri hanya merupakan barang yang tidak giat atau lembam, tetapi penuh dengan kesadaran, karena dasarnya ketuhanan. Ingatlah selalu asas itu; kesadaran Tuhan itulah yang menunjang dan menggiatkan asas kehidupan pada setiap makhluk. Dengan pengertian itu lakukanlah tugasmu.

Bila Krishna mengatakan Arjuna seorang yang bodoh apakah ini berarti bahwa Arjuna tidak berpendidikan? Tidak, sama sekali tidak demikian. Arjuna menguasai bermacam-macam ilmu; ia mahir dalam ilmu perang, dalam ilmu administrasi, dan banyak keterampilan profesional lainnya. Tetapi, dalam bidang kerohanian ia tidak terlatih. Setiap orang mempergunakan kemampuan dan bakatnya untuk menekuni satu bidang tertentu dan mengembangkan kemahirannya dalam bidang itu. Ada orang yang menggunakan kemampuannya untuk menguasai musik, ada yang menulis buku puisi, lainnya pula mengembangkan bakatnya dalam bidang seni lukis dan seni ukir. Bayangkan pada profesor di universitas kita. Salah seorang sangat ahli dalam bidang fisika, yang lain kimia, lainnya lagi matematika, dan ada lagi yang menguasai bidang biologi. Demikianlah mereka unggul dalam bidang masing-masing, tetapi mereka tidak tahu banyak bidang akademis lainnya. Umpamanya dalam hal mempelajari Weda; beberapa orang mempergunakan segala kemampuannya untuk mempelajari Weda hingga mencapai keahlian mengidungkan ayat-ayat Weda dengan lancar dan baik sekali. Kamaldhani kita sangat tersohor dalam bidang ini. Tidak ada yang menyamainya dalam bidang ini; ia mencapai keahlian luar biasa dalam Weda. Tetapi jika engkau bertanya kepadanya, "Siapakah Sita?", ia akan menjawab, "Ia istri Krishna". Ia tidak banyak mengetahui ilmu duniawi. Hal ini dikarenakan setiap orang mengerahkan segenap kemampuannya untuk satu bidang ilmu tertentu dan mencapai spesialisasi. Begitu pula Arjuna sebagai putra raja mencapai keahlian luar biasa dalam ilmu panahan, tetapi dalam bidang lain pengetahuannya tidak begitu mendalam.

Satu-satunya yang menguasai serta ahli dalam segala bidang adalah Tuhan. Itulah sebabnya Beliau disebut Mahatahu. Yang Mahatahu juga Mahakuasa dan Maha Ada. Hanya Tuhanlah yang memiliki ketiga sifat ini, Mahatahu, Mahakuasa, dan Maha Ada. Karena mengetahui masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang, dan mengetahui bahwa Arjuna telah siap, Krishna mengajarkan kebenaran spiritual yang mulia kepada Arjuna. Krishna berkata kepada Arjuna, "Ketahuilah sifat badan yang sementara dan ingatlah selalu asasnya; dengan asas ketuhanan itu sebagai pusat perhatianmu, lakukanlah tugasmu. Mula-mula lepaskanlah segala keterikatanmu. Engkau diliputi oleh kesadaran badan (menganggap tubuh sebagai diri yang sejati). Keterikatan ini sangat berbahaya. Ia dapat menghancurkan seluruh kemampuan pertimbanganmu". Ada suatu cerita mengenai hal itu.

Pada suatu hari Indra, dewa tertinggi, dikutuk sehingga menjadi babi di bumi. Karena lahir sebagai babi, ia melewatkan seluruh waktunya dengan hidup berkeluarga dalam air yang kotor dan berlumpur. Ketika Batara Narada lewat dan melihat babi ini beserta keluarganya, ia mengenali Indra dalam wujud itu. Narada sangat kasihan kepadanya. Narada berkata kepada babi itu, "Indra, lihatlah betapa merosot martabatmu, wujud badan apa yang engkau pakai itu? Mengapa ini bisa terjadi? Tetapi, tidak apa, jangan khawatir, akan kubebaskan engkau dari kutuk ini. Aku bisa menggunakan segala kemampuan tapaku untuk menolong engkau". Ia berkata kepadanya dengan penuh rasa simpati, dengan mengatakan bahwa tokoh yang seharusnya menikmati segala kesenangan surgawi telah dijadikan wujud yang amat menyedihkan seperti itu. Alangkah malang hidupnya sekarang. Indra dalam wujud babi menjawab, "Narada, mengapa engkau menghalangi kebahagiaanku? Kebahagiaan yang aku peroleh dari air kotor ini tidak akan dapat kuperoleh di tempat lain. Hidup yang amat menyenangkan yang aku nikmati bersama istri dan anak-anakku dalam air yang berlumpur ini tidak dapat kuperoleh di surga. Tolong jangan mencampuri urusan hidupku dan menghalangi kebahagiaan yang kunikmati sepenuhnya di tempat ini. Silahkan urus dirimu sendiri". Indra yang terbius oleh khayal keterikatan, tidak menyadari nasibnya yang menyedihkan itu.

Bila engkau diliputi moha atau 'keterikatan', engkau akan tertipu mentah-mentah. Kesan atau pandangan yang keliru ini disebabkan oleh kekuatan maya yang tidak terpatahkan. Jika engkau ingin menghancurkan kekuatan maya ini, engkau harus mengembangkan kekuatan atma. Karena itu, Krishna mengambil prakarsa untuk mulai mengajarkan atma vidya atau pengetahuan tentang diri sejati kepada Arjuna. Hanya setelah engkau memperoleh pengetahuan tentang atma, engkau dapat melakukan tugasmu dengan baik. Tanpa pengetahuan ini engkau bahkan tidak bisa memahami tugas harian yang menyangkut keduniawian dengan sepatutnya. Tetapi, sekedar mendengarkan ajaran spiritual hanya sedikit manfaatnya. Bila engkau mendengarkan ajaran Gita, engkau merasa sangat bahagia dan penuh kegembiraan; semuanya tampak sangat sederhana. Tetapi kegembiraan yang engkau alami hanya bersifat sementara. Bila engkau mencoba melaksanakan ajaran itu akan timbul banyak masalah dan kesulitan. Tetapi engkau harus tetap berusaha. Ajaran itu tidak banyak artinya jika tidak engkau amalkan; apa yang engkau dengar dan apa yang engkau baca harus betul-betul kau resapi dan kau hayati. Maka engkau akan memperoleh sesuatu yang benar-benar bermanfaat dari ajaran itu.

Krishna Chaitanya, ketika berziarah, sampai di Srirangapatnam, sebuah desa di India Selatan. Dalam sebuah pura di desa ini telah berkumpul sejumlah orang. Seorang guru, pendeta yang sangat ahli, sedang mengajar dan menjelaskan Gita. Pendeta itu membaca teks, murid menirukan, lalu pendeta memberikan penjelasannya. Salah seorang murid duduk di pokok sambil mencucurkan air mata, murid-murid lainnya memegang buku Gita dan mengulang setiap bait, dengan penuh perhatian mendengarkan penjelasan pendeta. Air muka mereka selalu berubah waktu teks dijelaskan. Kadang-kadang mereka gembira, kadang-kadang serius. Tetapi murid yang duduk di pokok tidak demikian; air mukanya tidak berubah. Ia hanya mengeluarkan air mata terus menerus.

Chaitanya melihat hal ini. Ia mendekati orang itu dan bertanya, "Mengapa engkau menangis? Ketika Gita dijelaskan dengan begitu gembira, apa sebab engkau sedih?" Orang itu menjawab, "Swami, saya tidak tahu siapakah Anda. Saya tidak mengerti bahasa Sanskerta. Saya tidak bisa mengucapkan ayat-ayat itu. Karena saya tidak mengerti bahasa Sanskerta, saya tidak ingin mengulang ayat-ayat itu dengan ucapan yang salah, karena mungkin nanti saya berdosa karenanya. Karena itu, saya hanya membayangkan dalam pikiran saya Krishna mengajarkan Gita kepada Arjuna, dengan menoleh ke belakang untuk berbicara kepada Arjuna yang duduk di belakang-Nya di atas tempat duduk kereta. Saya menangis karena saya membayangkan Krishna memutar kepalanya seperti itu begitu lama untuk meyakinkan Arjuna. Memutar kepala seperti itu tentu menimbulkan rasa sakit. Kalau saja Arjuna duduk di depan dan Krishna di belakang maka tidak menyebabkan Tuhan merasa sakit. Pikiran itulah yang sangat menusuk hati saya. Itulah sebabnya saya menangis". Chaitanya merasa bahwa inilah abdi Tuhan yang sejati. Orang itu sangat mencintai Krishna dan menghayati Krishna begitu mendalam dalam cerita Krishna mengajarkan Gita kepada Arjuna, sehingga ia merasa menjadi bagian dari Krishna sendiri. Chaitanya menyimpulkan bahwa penghayatan semacam itu jauh lebih mulia daripada hanya mendengarkan dan mengulang-ulang ayat-ayat Gita.

Sekarang pun sementara Gita dijelaskan, beberapa diantara kalian menulis dengan tekun dan khidmat dalam buku catatannya sementara yang lain memegang Gita dan mengikuti ayat-ayat itu agar mengerti. Namun, semua ini hanya kegiatan lahir saja dan tidak akan menimbulkan rasa bhakti yang mendalam. Jika engkau ingin agar hatimu sarat dipenuhi dengan intisari ajaran ini, engkau harus mengusahakan pengalaman batin yang sebenarnya. Lakukanlah ini dengan melaksanakan makna ayat-ayat Gita dalam kehidupanmu sehari-hari; walaupun engkau hanya mengamalkan salah satu ayat, itu lebih dari cukup. Apa gunanya mencatat seratus ayat? Jika engkau mengisi kepalamu dengan seluruh isi buku, maka kepalamu itu merupakan buku pula. Yang penting adalah apa yang terukir dalam hatimu. Jika dari seluruh ajaran ini hanya ada satu yang terukir di hatimu, cukuplah sudah, hanya itu yang diperlukan. Penuhilah hatimu dengan cinta kasih; itu sudah cukup. Tidak perlu engkau mengisi kepalamu dengan ilmu yang tinggi-tinggi dan pengetahuan buku, melainkan jauh lebih baik bila engkau mengisi hatimu dengan cinta kasih.

Krishna berkata kepada Arjuna, "Kesedihan dan ratap tangismu tidak ada artinya jika engkau melandasi segala pemikiranmu hanya pada ikatan jasmani dan hubungan keluarga. Bersikaplah mawas diri, maka engkau akan mampu memahami hal-hal yang Aku jelaskan. Engkau merasa sedih untuk orang-orang yang tidak perlu disedihkan. Engkau membuat dirimu sendiri sengsara tanpa alasan. Engkau tidak perlu menderita seperti itu. Engkau merasa sedih karena ketidaktahuanmu. Lenyapkanlah ketidaktahuan ini. Hanya bila ketidaktahuan ini tidak tersisa sedikitpun dalam hatimu, engkau akan mampu memahami pengetahuan ini".

Ketidaktahuan itu laksana api. Api itu mungkin hampir padam sepenuhnya kecuali beberapa bara api. Tetapi kalau ada angin, percikan api dari bara itu bisa menjadi lautan api. Karena itu, tidak boleh ada sisa api yang tertinggal sedikitpun juga. Ketidaktahuan juga seperti penyakit. Misalnya penyakitmu hampir sembuh, tetapi masih ada sisa sedikit. Jika setelah pulang dari rumah sakit engkau tidak melakukan diet sebagaimana mestinya, penyakit akan segera kambuh dan menjalar lagi. Jangan sampai ada sisa penyakit sedikitpun. Dapat pula engkau bandingkan ketidaktahuan itu dengan hutang. Misalkan engkau telah membayar semua hutangmu, hanya tersisa hutang kecil sebesar seratus ribu rupiah. Tetapi kalau engkau biarkan bunganya menumpuk, apa yang akan terjadi? Hutang itu akan mulai menumpuk lagi. Karena itu hutang harus dibayar seluruhnya. Begitu pula bila masih ada bekas keterikatan dan nafsu dalam hatimu, rasa dukamu mungkin bisa menyala dan berkobar lagi. Itulah sebabnya Krishna memperingatkan Arjuna, "Kalau engkau membiarkan sisa keterikatan sekecil apa pun dalam hatimu, apa pun yang Aku ajarkan akan sia-sia. Engkau harus memusnahkan sama sekali seluruh rasa keterikatanmu yang telah dipelihara begitu lama oleh ketidaktahuan yang menutupi hatimu. Untuk membantumu melakukan hal ini, Aku mengajarkan engkau Sangkhya Yoga".

Bab Sangkhya Yoga, bab kedua, merupakan bagian Gita yang amat penting. Kalau engkau dapat memahami perbedaan antara atma dan anatma, perbedaan antara diri sejati dan diri khayal yang bersifat keduniawian, maka semua bab-bab lainnya akan sangat mudah dipahami. Karena itu, engkau harus mempelajari bab kedua ini bait demi bait, dan bila perlu selama dua atau tiga hari gunakan untuk konsentrasi, cobalah memahami Sangkhya Yoga dari lubuk hatimu. Setiap kata dalam setiap bait pada bab ini, mulai dari ajaran Krishna, dapat dianggap sebagai permata yang langka. Hanya bila engkau mengerti sepenuhnya isi dan makna Sangkhya Yoga engkau akan mampu memahami seluruh Gita.
note: lagi-lagi saya ingatkan agar dibaca dengan bijak...... :)
 
PERCAKAPAN 17

KUASAILAH NAFSUMU MAKA DUNIA AKAN MENJADI MILIKMU


Ke mana pun engkau memandang, apakah ke bumi, atau ke surga, atau bahkan perut bumi, apa pun yang engkau temukan di mana saja, terdiri dari gabungan lima unsur, hanya lima unsur itu. Tidak ada lainnya lagi. Apa pun yang pernah engkau inginkan, apa pun yang pernah engkau pakai, apa pun yang pernah engkau hilangkan, berjuta-juta benda ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah perubahan wujud dari lima unsur tersebut. Sepanjang masa benda-benda yang tak tepermanai banyak dan ragamnya ini terus menerus berubah; semua benda itu bersifat sementara, tak henti-hentinya berubah dari satu nama dan bentuk ke nama dan bentuk lainnya.

Kembang yang mekar hari ini menjadi kering besok. Kembang yang kering besok akan busuk beberapa hari kemudian. Makanan yang dimasak hari ini akan basi besok. Besok lusa makanan ini beracun. Setelah busuk makanan itu tidak bisa dikembalikan seperti semula. Rupa cantik hari ini menjadi buruk besok. Bahkan atom-atom yang menjadikan bulan dapat berakhir di bumi, dan atom-atom yang menjadikan zat di bumi mungkin pindah ke bulan. Sekali setiap tujuh tahun seluruh atom yang terdapat dalam badan manusia mengalami perubahan total. Sungguh bodoh kalau engkau mengira bahwa badan dan indera yang terbuat dari lima unsur ini kekal abadi, atau pun benda apa saja yang terbuat dari lima unsur tersebut mempunyai nilai yang lestari. Hanya indera luar yang menginginkan benda-benda tidak kekal semacam itu.

Gita mengajarkan bahwa hal yang tidak kekal ini yang engkau namakan badan, pikiran, dan indera, terdiri dari 24 asas. Ia terdiri dari panca indera yang wadak, yaitu telinga, kulit, mata, lidah, dan hidung, yang disebut karma indriya dalam bahasa Sanskerta. Kelima indera tersebut mencapai objek melalui alat indera yang sangat halus yang bernama jnana indriya. Jnana indriya terdiri dari bunyi, sentuhan, penglihatan, rasa, dan bau. Karma indriya dan jnana indriya tidak terpisahkan; tanpa yang halus yang kasar tidak berfungsi. Misalnya, mungkin engkau mempunyai mata, tetapi tidak punya penglihatan, mungkin engkau mempunyai telinga, tetapi tidak punya pendengaran, mungkin engkau mempunyai lidah, tetapi tidak dapat merasakan.

Di samping indriya, ada lima selubung atau kosha. Selubung ini dapat dianggap sebagai beberapa badan yang saling menembusi satu sama lain dalam keadaan yang secara berturut-turut makin halus, masing-masing lebih halus daripada yang mendahuluinya. Selubung yang paling kasar adalah selubung makanan yang terdiri dari badan jasmani. Kemudian selubung vital yaitu nafas dan tenaga. Berikutnya selubung pikiran dan perasaan yaitu badan halus yang berhubungan dengan pikiran dan perasaan yang lebih rendah. Setelah itu, selubung budi, yaitu badan yang lebih halus yang berhubungan dengan pikiran yang lebih tinggi dan intuisi. Selubung terakhir ialah selubung kebahagiaan, ini merupakan badan yang terhalus, di luar segala aspek pikiran; di sini hanya tabir ketidaktahuanlah yang menutupi atma. Di samping asas yang telah dijelaskan sebelum ini, juga ada lima kekuatan vital atau prana yang menghidupkan semua fungsi badan; salah satu diantaranya berhubungan dengan pernapasan, yang lain dengan pembuangan atau pembersihan, yang ketiga dengan sirkulasi, yang keempat dengan pencernaan, dan yang kelima dengan aliran ke atas yang menghidupkan pusat-pusat yang lebih tinggi.

Di samping keduapuluh asas ini, ada empat aspek pikiran yaitu: (1) pikiran yang lebih rendah atau bagian yang berpikir, di sebut manas, (2) intelek yang intuitif dan kemampuan timbang menimbang atau kearifan yang disebut buddhi, (3) kesadaran diri pribadi atau ego, disebut ahamkara, dan (4) wadah perasaan dan ingatan, disebut chitta. Semuanya ini bersama dengan atma yang merupakan dasarnya menjadi 25. Sangkhya menjelaskan tentang berbagai asas ini yang membentuk setiap individu. Bab ini disebut Sangkhya Yoga karena menolong engkau menyadari atma, yaitu kenyataan yang esa yang mendasari ke 24 asas tubuh ini, yang sebenarnya hanya merupakan perwujudan ketidaktahuanmu. Ke-24 asas inilah yang merupakan ilusi sehingga engkau tampak sebagai makhluk yang terpisah. Bila engkau terus melewatkan hidupmu dengan menggantungkan diri pada ke-34 kemampuan ini, yang mengalami perubahan dengan tiada putusnya, bagaimana engkau bisa mencapai kebahagiaan abadi yang merupakan sifatmu yang sejati dan yang sama sekali tidak terpengaruh oleh kesementaraan ini?

Segala kegembiraan yang engkau alami sekarang ini hanya akan menyebabkan duka di kemudian hari. Sukacita ini timbul dan tenggelam; ia tidak kekal. Krishna menandaskan bahwa kita tidak boleh berkiblat kepada indera dan membiarkan diri hanyut olehnya. Betapapun tinggi pendidikanmu, apa pun pangkatmu, apa pun jabatanmu, kalau engkau tidak bisa mengendalikan nafsu, engkau tidak akan memperoleh ketenangan batin. Ketenangan batin hanya dapat diperoleh dengan mengendalikan nafsu. Mungkin engkau mengira bahwa mengendalikan nafsu sangat sulit bagimu, tetapi dalam bab Sangkhya Yoga Krishna mengajarkan beberapa cara agar engkau berhasil menguasai nafsu.

Krishna mengatakan bahwa ada dua tipe manusia: Arya dan bukan-Arya. Arya adalah orang yang mengikuti jalan yang benar, jalan yang suci, jalan yang mulia. Mereka bergaul dengan orang-orang mulia dan menerapkan ajaran mereka. Sebagai hasilnya, mereka menghayati kebenaran spiritual dan menikmati kehidupan rohani. Berlawanan dengan mereka adalah orang yang berpikiran buruk, berhati jahat, diliputi kegelapan batin, dan menempuh kehidupan yang tidak terpuji. Itulah sifat bukan-Arya (anarya). Tingkah laku mereka yang jahat sangat bertentangan dengan tingkah laku orang Arya, seperti gelap lawan terang. Karena itu, kedua kelompok itu dapat digambarkan sebagai dewa dan setan, makhluk terang dan makhluk gelap. Kata Krishna, "Arjuna, sampai saat ini Aku menganggap engkau Arya, tetapi Aku melihat engkau menempuh jalan yang keliru. Engkau tenggelam dalam kegelapan; engkau hanyut dalam ketidaksucian. Keliru kalau menyebut engkau seorang Arya; engkau memperlihatkan sifat sebagai bukan-Arya".

Krishna memberi Arjuna beberapa peringatan untuk membangkitkan semangatnya agar berusaha keras menjadi seorang Arya. Beliau berkata kepadanya, "Penyebab utama kesedihanmu adalah sikap keterikatanmu, dan sumber keterikatanmu adalah ketidaktahuan. Akibat ketidaktahuan-mu itulah maka engkau dikuasai oleh nafsu. Jika engkau ingin membebaskan diri dari keterikatan dan rasa sedih itu engkau harus mengendalikan inderamu. Engkau harus mengerti benar sifat-sifat organ indera. Dalam perjalanan hidup, panca indera itu sangat penting; mereka laksana kuda yang menarik keretamu ke tempat tujuan. Namun, hanya bila engkau mampu mengendalikan kuda-kuda tersebut, kereta dan pengendaranya bisa selamat. Jika engkau biarkan kuda tak terkendali, pasti kereta dan penumpangnya akan mengalami kecelakaan. Karena itu, jika engkau ingin sampai ke tempat tujuan dengan selamat, kendalikanlah sepenuhnya kuda itu, yaitu panca inderamu".

Krishna memberikan nama baru bagi panca indera, yaitu matraha yang berarti 'yang mengukur dan menilai'. Apa yang dimaksud dengan mengatakan bahwa panca indera mempunyai kemampuan menilai? Misalnya, apakah yang menentukan bahwa suatu makanan pahit atau manis? Lidahlah yang mengukur dan menentukan rasa makanan, menentukan manis atau pahit. Atau engkau bisa menggambarkan wajah seseorang dengan mengatakan bahwa romannya biasa, tetapi hidungnya mancung. Apa yang mengukur panjang hidung itu? Yang menentukan adalah mata. Begitu juga telinga menentukan apakah satu musik itu indah atau tidak. Dengan cara itulah semua panca indera mengukur berbagai macam sifat yang berbeda. Matraha juga mempunyai arti lain, yaitu 'terbatas'. Bagaimana batas ini berlaku pada indera? Tuhan memberi engkau hidung sehingga dapat menghidu dan bernafas, menarik dan mengeluarkan nafas. Engkau harus mempergunakan hidung untuk hal-hal yang telah dikhususkan dan berbahagialah. Jika engkau menggunakannya dengan baik berarti engkau menjalankan perintah Tuhan karena hidungmu engkau pakai sebagaimana mestinya.

Dengan bertingkah laku yang baik dan menaati perintah Tuhan, engkau akan selalu mendapat hasil yang baik. Jika hidungmu tidak engkau gunakan untuk bernafas atau menghidu hal-hal yang baik, melainkan untuk menyedot tembakau, maka engkau tidak menggunakannya sebagaimana kehendak Tuhan, dan engkau tidak mematuhi perintah Tuhan. Mengenai lidah engkau diingatkan Tuhan, "Anakku, pergunakanlah lidahmu untuk berbicara dengan lembut dan jangan menyakiti hati orang lain. Gunakanlah kata-kata yang menyenangkan mereka". Perhatikan pula fungsi lidah yang lain. Gunakanlah lidah untuk makan makanan yang sehat dan sattvik. Makanlah makanan yang bervitamin dan mengandung protein. Sebaliknya, jika engkau menggunakan lidah atau indera pengecap untuk merokok, untuk minum-minuman keras, untuk makan daging kambing, dan sebagainya, berarti engkau menyalahgunakan lidah dan mengingkari perintah Tuhan. Dengan cara itu engkau harus menggunakan semua alat indera untuk tugas-tugas tertentu yang telah ditetapkan oleh Tuhan, itu berarti engkau memenuhi maksud yang ditentukan untuk setiap indera. Tingkah laku yang teratur ini akan membantu engkau mencapai tujuan hidupmu.

Bila alat indera ini kontak dengan objeknya, mereka akan mengukur sifat-sifat yang berbeda. Misalnya, indera peraba mengukur sifat panas dan dingin, sebagai akibatnya, engkau mengalami rasa senang atau sedih. Hanya dengan memiliki alat indera itu engkau tidak merasa senang atau sedih. Bila alat indera itu kontak dengan objeknya, barulah engkau akan mengalami kegembiraan atau kesedihan. Sekarang engkau berada di sini, ini berarti telingamu pun ada di sini. Andaikata ada sesuatu yang terjadi di kampungmu, entah baik entah buruk, engkau tidak akan merasa bahagia atau pun sedih, senang atau susah, selama telingamu tidak mendengar berita itu. Kemudian engkau menerima telepon dan engkau tahu apa yang terjadi di kampung. Jika berita itu baik, engkau merasa gembira, jika beritanya buruk engkau merasa sedih. hanya bila indera bersentuhan dengan objeknya engkau akan merasa gembira atau sedih.

Ada banyak sekali objek indera di dunia, tetapi engkau harus menjaga agar alat inderamu tidak berhubungan dengan terlalu banyak objek. Objek-objek itu tidak kekal. Kalau terjerat ke dalam hal-hal yang kecil atau remeh, seluruh hidupmu akan tidak berarti dan tidak suci. Engkau dapat melihat contoh ini pada beberapa binatang atau serangga yang menjadi korban akibat salah satu atau dua alat inderanya. Misalnya, jika seekor rusa mendengar musik yang merdu, ia lalu sangat tertarik dan dapat dengan mudah ditangkap.

Karena itu, rusa terikat oleh suara. Gajah yang besar dapat dijinakkan melalui indera atau alat peraba, karena itu ia terbelenggu akibat sentuhan. Dengan cara ini banyak binatang dapat diikat dan dikuasai melalui alat indera yang berbeda-beda. Umpamanya jika kelekatu melihat cahaya, ia tertarik pada cahaya itu lalu terikat dan binasa karenanya. Begitu pula ikan makan umpan lalu tertangkap karena terikat pada rasa. Dan lebah memasuki kembang karena tertarik oleh baunya, lalu terperangkap pada malam hari ketika daun-daun bunga itu menutup. Masing-masing binatang tadi terikat oleh kelima inderanya, karena itu ia lebih rendah daripada semua binatang ini. Ada sebuah cerita tentang hal itu.

Pada suatu hari Dakshina Murthi mengadakan perjalanan. Ia menganggap masing-masing dari kelima unsur alam adalah gurunya. Pada suatu ketika ia pergi ke tepi pantai; ia menikmati ombak dan berbagai hal yang menarik di laut. Sementara ia melepaskan pandangannya, ombak pun datang dan membawa serta kotoran ke tepi. Ia melihat pada saat kotoran jatuh ke laut, ombak datang dan mendorong serta membuangnya ke pantai. Dakshina Murthi berpikir, "Mengapa laut yang begitu dalam dan luas perlu menghempaskan kotoran yang begitu kecil ke tepi? Tidak dapatkah laut itu menelannya?" Lalu ia bermeditasi. Dalam meditasi itu ia mengerti bahwa jika laut membiarkan setiap kotoran yang jatuh tinggal dalam air, maka kotoran ini lama kelamaan akan menumpuk dan pada suatu ketika akan menutup seluruh lautan dan mencemarinya. Ia menyimpulkan bahwa sejak semula lautan pasti telah bertekad tidak akan membiarkan kotoran, debu, atau sampah apa pun juga masuk ke dalamnya, dengan demikian laut tetap bersih dan suci.

Demikian pula sejak permulaan engkau harus menjaga agar gagasan dan ide buruk jangan sampai masuk ke dalam pikiranmu, betapapun kecilnya. Kotoran sekecil apa pun tidak boleh dibiarkan memasuki hatimu. Sebelum kotoran itu melekat engkau harus segera membuangnya. Jika engkau membiarkannya dengan anggapan bahwa kotoran itu tidak berarti karena kecil dan tidak akan membahayakan maka kotoran itu akan tumbuh dalam hatimu. Karena itu, jika engkau mengerti fungsi alat-alat indera dan belajar menggunakannya dengan tepat, engkau akan mendapat manfaatnya dan tidak akan terganggu. bila engkau terikat oleh alat indera itu, engkau tidak akan memperoleh kebahagiaan ataupun kedamaian pikiran. Ada cerita lagi untuk menggambarkan hal ini.

Ada seorang raja besar yang mempunyai lima istri, tetapi mereka tidak pernah mau mendengar kata raja. Ia mungkin raja bagi setiap orang, tetapi ia tidak merajai istri-istrinya. Karena itu, ia sangat menderita. Sebuah mahkota menghias kepalanya, tetapi di dalam kepalanya hanya ada aneka kecemasan. "Aku diperbudak istri-istri ini dan aku amat menderita", pikirnya. "Di dunia ini adakah orang yang tidak takut pada istrinya? Kalau ada, bagaimana ia mengendalikannya? Bagaimana caranya agar tidak dikuasai oleh istri?" Untuk menanyakan hal ini secara langsung kepada setiap penduduk tentu dianggap kurang layak. Karena itu, ia memutuskan untuk mengadakan rapat umum dan mengundang semua laki-laki supaya hadir. Dua tenda berukuran besar didirikan di alun-alun. Tenda yang satu di pinggir sebelah kiri dan yang lain di pinggir sebelah kanan.

Raja mengumumkan bahwa tenda pertama untuk orang yang mampu menguasai istrinya, dan yang kedua untuk orang yang dikuasai istrinya. Semua orang laki-laki di negeri itu datang berbondong-bondong ke ibu kota; semuanya langsung masuk ke tenda yang kedua. Raja pergi ke tempat itu dan melihat bahwa tenda yang besar itu, yang disediakan bagi orang yang dikuasai oleh istri, penuh sesak. Ia agar terhibur karenanya setelah mengetahui bahwa ia buka satu-satunya orang yang dikendalikan oleh istri. Tetapi sebelum pertemuan dimulai ia melihat satu orang kesepian menunggu dalam tenda pertama yang diperuntukkan bagi orang yang dapat mengendalikan istri. Tenda yang besar itu kelihatan kosong melompong kecuali satu orang itu. Raja sangat senang melihatnya. Ia menghampirinya dan mengatakan bahwa ia sangat senang karena dalam kerajaannya sekurang-kurangnya ada satu orang yang bisa menguasai istrinya.

Raja bertanya, "Ceritakanlah kepadaku apa rahasianya sehingga engkau dapat menguasai istrimu?" Orang itu menjawab, "Tidak Tuanku, tidak demikian. Saya tidak menguasai dia. Sayalah yang dikuasai sepenuhnya oleh istri saya". Raja berkata, "Kalau begitu, mengapa engkau masuk dalam tenda ini?" Jawab orang itu, "Istri saya menyuruh saya agar masuk ke tenda ini, bukan yang lain, maka itu saya di sini. Istri saya dengan tegas memerintahkan supaya saya tidak masuk ke tenda yang ditempati oleh orang-orang yang diperbudak istri, tetapi menyuruh saya ke tenda ini". Raja sangat marah kepada orang itu dan memerintahnya, "Engkau harus segera pergi! Apa pun alasannya engkau tidak bisa diam di tenda ini! Ikutlah bersama orang-orang itu di tenda yang kedua!" Warga itu pucat pasi ketakutan. Ia berlutut dan memohon dengan sangat kepada Maharaja dengan menangkupkan tangan sebagai tanda memohon, "Oh Raja, dengarlah permohonan saya. Tuanku boleh menghukum saya. Tuanku boleh berbuat sekehendak Hati Tuanku terhadap saya. Tetapi saya tidak bersedia mengingkari istri saya dan pindah ke tenda lain". Maka raja menyadari bahwa tidak ada seorangpun dalam kerajaannya yang tidak diperbudak istrinya.

Raja ini adalah pikiran, ia tidak pernah mampu memuaskan semua istrinya, yaitu indera. Mata meminta, "Bawa aku ke tempat yang indah-indah". Lidah menghendaki makanan yang enak-enak. Telinga memerintah agar lagu yang paling merdu dimainkan. Kulit hanya ingin merasakan sentuhan yang menyenangkan. Dan hidung mau mencium wangi-wangian yang terbaik di dunia. Siapa yang mampu memuaskan semua nafsu indera itu? Diantara mereka tidak ada koordinasi dan kerja sama. Jika engkau menyerah kepada alat indera, mereka akan menimbulkan kesulitan yang besar. Dari sekarang engkau harus mencari jalan untuk menguasai nafsu-nafsu itu sepenuhnya, maka engkau akan mencapai sesuatu yang benar-benar berguna. Pahlawan sejati di atas bumi ini adalah orang-orang yang benar-benar mampu mengendalikan hawa nafsunya.

Bila organ-organ indera itu meminta, jangan kau dengarkan. Tetapi engkau harus menyuruh pikiran minta pendapat akal budi. Apa pun yang menjadi keputusan budi, pikiran akan memerintahkan kepada alat indera, dan indera harus mematuhinya. inilah cara yang benar untuk menguasai nafsu. Orang yang mendasarkan hidupnya pada pikiran yang rendah akan hancur dan lebih jelek daripada binatang. Orang bijaksana akan melandasi hidupnya dengan pikiran yang luhur, dengan akal budi, kemampuan timbang menimbang, ketajaman pikiran, dan intuisi, atau apa yang disebut buddhi. Orang yang mengikuti budinya menjadi manusia utama. Jika engkau melandasi hidup dengan budimu, ia akan membawamu langsung ke tujuan akhir. Tetapi, jika hidupmu dilandasi oleh pikiran dan perasaan semata-mata, maka setiap saat akan terjadi perubahan-perubahan baru sehingga sulit meramalkan apa yang akan terjadi terhadap dirimu dan kemana arah tujuanmu. Ini sama dengan menyeberangi sungai yang deras atau lautan yang diamuk badai dengan perahu kecil. Engkau tidak tahu kapan kapalmu akan kebanjiran dan kapan bencana akan menyergap engkau.

Ada seorang ulama besar bernama Hazrat Muhammad. Ia adalah orang yang amat saleh dan benar-benar bijaksana. Ia mampu mengendalikan nafsu sepenuhnya. Pada suatu hari diketahuilah bahwa akhir hayatnya akan segera tiba; semua muridnya berkumpul di dekat tempat tidurnya. Ia menderita sakit tenggorokan yang sudah parah dan berusaha mati-matian untuk menguasai rasa sakitnya. Rupanya ia ingin mengatakan sesuatu, namun tidak bisa bicara. Murid-muridnya ingin sekali mengetahui amanat apa yang hendak disampaikan oleh guru mereka pada saat-saat terakhir hidupnya di dunia. Mereka mencoba membantu dan memohon, "Swami, Anda ingin mengatakan sesuatu kepada kami, silahkan katakan apa itu". Maka setelah menghimpun segenap kekuatannya, dengan susah payah Muhammad mampu berbicara, "Anak-anakku, selama ini aku selalu diikuti oleh maya 'kekuatan khayal'. Maya berkata kepadaku, 'Semua orang lain menjadi budakku, tidak seorangpun mampu membebaskan dirinya dari kekuasaanku, namun entah bagaimana engkau telah mampu menaklukkan aku'. Lalu aku menjawab, 'Maya, jangan mengatakan bahwa aku telah menaklukkan engkau sama sekali bila masih ada sisa hidup dan nafas beberapa saat padaku. Sebelum menghembuskan nafas yang terakhir sulit dikatakan bahwa seseorang telah menguasai engkau sepenuhnya'. Anak-anakku terkasih, sampai saat ini aku telah berhasil menaklukkan maya, tetapi aku tidak tahu apakah aku masih mampu terus menguasainya hingga nafasku yang terakhir. Pada saat-saat terakhir ini, untuk membebaskan diriku dari maya, aku selalu mengingat Tuhan dan berdoa kepada-Nya dengan sepenuh hatiku". Kemudian ia pun terdiam dan dengan itu ia mengakhiri hidupnya.

Sebagaimana dipaparkan dalam cerita ini, engkau harus waspada hingga menghembuskan nafas terakhir, tidak menyerah kepada hawa nafsu. Untuk mencapai atma engkau harus mengendalikan indera. Karena itu, pengendalian indera merupakan bagian yang penting pada jalan pengetahuan yang diajarkan oleh Krishna dalam Sangkhya Yoga. Bila engkau mampu mengendalikan inderamu sepenuhnya, dengan mudah engkau dapat menguasai bhakti yoga, karma yoga, jnana yoga, dan yoga-yoga lain. Mula-mula mungkin engkau menemukan kesulitan. Bila engkau belajar mengendarai mobil, pertama-tama engkau harus berlatih di lapangan. Hanya setelah engkau menguasai mobil dan teknik mengendarainya, engkau bisa lewat di jalan raya dan jalan-jalan sempit dalam kota. Jika engkau mencoba mengendarai mobil di tengah-tengah lalu lintas kota sebelumnya, tidak saja sulit bagimu, tetapi juga berbahaya. Begitu juga setelah engkau menguasai nafsu dan tidak tergiur oleh daya tarik duniawi maka engkau akan mampu menghadapi situasi apa saja tanpa kekhawatiran atau kesulitan. Untuk menguasai nafsu engkau harus mempunyai pandangan yang luas; lakukan penyelidikan batin dengan penuh semangat untuk menemukan apakah atma dan apa anatma. Setelah memiliki kemampuan timbang menimbang ini, engkau dapat bergerak dengan selamat di dunia sambil tetap mengingat tujuan.

Indera yang terus bergoncang tidak akan pernah memberimu kebahagiaan abadi. Hanya bila engkau mendapat pengetahuan atma engkau akan mengalami kebahagiaan sejati. Pendidikan dan pengetahuan lain hanya dapat membantu engkau menambah penghasilan. Pendidikan sejati hanyalah pengetahuan atma. Dengan pengetahuan atma itu engkau akan dapat menikmati kesatuan segala ciptaan. Bila engkau dapat menghayati persamaan dirimu dengan ketuhanan yang ada dalam segala ciptaan maka tidak akan ada lagi pertentangan yang timbul dari kesadaran rasa perbedaan. Bila engkau menghayati bahwa segala sesuatu adalah Tuhan, bahwa alam semesta ini tiada lain melainkan Tuhan, maka engkau bahkan akan menghentikan kebiasaan timbang menimbang karena bila segala sesuatu telah dihayati sebagai kemanunggalan, masalah timbang menimbang tidak ada lagi.

Seperti telah Swami katakan sebelum ini, indera dapat sangat berbahaya; indera-indera itu bisa menjadi seperti kuda liar. Bila engkau tidak mengekangnya, ia akan lari membawa kereta semaunya. Kendalikanlah inderamu dengan bantuan pikiran. Kuasailah indera perasa, indera penghidu, indera penglihatan, indera pendengaran, indera peraba, dan semua kesan serta pengaruh inderamu. Berkali-kali Swami telah mengingatkan engkau agar tidak melihat atau mendengar terlalu banyak. Karena bila engkau melihat sesuatu dan mendengar tentang itu engkau akan mulai memikirkan soal itu. Kalau engkau memikirkan sesuatu engkau mempunyai keterikatan pada benda itu dan ingin memilikinya. Bila engkau membicarakan suatu hal tertentu maka engkau memikirkan wujudnya. Karena itu, apa pun benda itu, pertama-tama engkau harus bertanya dalam hati, "Apakah ada cacat dan celahnya?" Jika engkau menyadari cacatnya, engkau tidak akan mempunyai keterikatan kepadanya. Jika engkau ingin mencapai Tuhan, engkau harus membebaskan dirimu dari pandangan yang keliru, rabaan yang keliru, ucapan yang keliru, dan pendengaran yang keliru.

Latihan rohani dimulai dengan pengendalian lidah. Alasannya ialah karena lidah mempunyai dua fungsi. Mata hanya punya satu kemampuan yaitu melihat. Begitu pula telinga hanya punya satu kemampuan yaitu mendengar, dan hidung punya satu kemampuan saja yaitu menghidu. Tetapi lidah mempunyai dua kemampuan; ia dapat berbicara dan merasakan. Karena itu, engkau harus melakukan usaha khusus untuk mengendalikannya. Engkau tidak berhak mencela orang lain; engkau tidak punya hak untuk memikirkan hal-hal yang buruk tentang orang lain; jauh lebih baik bila engkau memikirkan kekuranganmu sendiri. Lihatlah hal-hal yang baik pada diri orang lain dan singkirkan hal-hal yang buruk dari dirimu. Jika engkau belum mampu menilai dirimu sendiri, bagaimana mungkin engkau akan mampu menilai orang lain? Pertama-tama sempurnakan dulu hidupmu sendiri. Hanya setelah engkau menyelamatkan dirimu sendiri engkau akan dapat membantu menyelamatkan orang lain. Karena itu, janganlah menggunakan kata-kata yang jahat kepada orang lain, atau memandang orang lain dengan pandangan yang jahat, atau memikirkan yang buruk tentang orang lain. Isilah waktumu hanya dengan pikiran yang baik, mendengarkan hal yang baik, dan berbicara yang baik.

Untuk melakukan pengendalian diri engkau harus melakukan latihan rohani. Latihan yang terus menerus dan ketidakterikatan sangat penting untuk pengendalian inderamu. Bila engkau menyadari bahwa segala sesuatu ini tidak kekal, engkau akan dapat mengendalikan inderamu dan mempunyai rasa tidak terikat. Kalian adalah arya, bukan anarya. Ikutilah jalan yang benar dan kembangkan kesucian batinmu. Hanya bila engkau memiliki sinar kebijaksanaan yang tak kunjung padam dalam dirimu, engkau akan dapat menolong orang lain dengan pikiran yang baik, pandangan yang baik, dan nasehat yang baik. Orang yang berbuat demikian benar-benar memiliki sifat Tuhan. Orang yang menunjukkan sifat yang bertentangan dengan sifat Tuhan adalah setan. Setan hanya menyukai kegelapan. Lenyapkanlah kegelapan dan isilah dirimu dengan cahaya terang. Jika engkau menempuh jalan terang maka apa pun juga masa lalumu, Tuhan akan menerima engkau dan melimpahkan rahmat-Nya kepadamu.

Wibhisana, adik raja raksasa, menyerahkan diri kepada Rama dan mengabdi kepada-Nya. Sugriwa, panglima angkatan perang yang berpihak kepada Rama, ketika melihat Wibhisana, memperingatkan Rama, "Ia adik Rawana. Ia seorang raksasa. Ia mencintai kegelapan. Karena berselisih dengan kakaknya ia meninggalkan kakaknya. Jangan percaya kepadanya dan jangan melindunginya. Berbahaya mempercayai seorang adik yang menjadi musuh kakaknya". Rama tersenyum dan berkata, "Sugriwa, bukankah engkau juga musuh kakakmu sendiri, Bali? Sebelum mencela orang lain sadarilah kekuranganmu sendiri terlebih dahulu". Selanjutnya Rama menyatakan, "Aku akan melindungi siapa saja yang datang kepada-Ku dan menyerahkan dirinya kepada-Ku dan berkata, 'Aku milik-Mu'. Aku tidak peduli siapa dia". Sugriwa menjawab, "Swami, Swami melindunginya dan Swami menjanjikan bahwa bila perang selesai dan Rawana kalah, Swami akan menjadikannya raja Langka. Tetapi misalkan Rawana sendiri sekarang datang dan menyerahkan dirinya kepada Swami. Kerajaan apa yang akan Swami berikan kepadanya?" Rama menjawab, "Jika Rawana memilki gagasan begitu mulia dan menyerahkan diri kepada-Ku, Aku akan menyuruh saudara-Ku Bharata turun tahta dan menjadikan Rawana raja negara Ayodhya. Aku tidak pernah minta apa-apa kepada siapapun. Minta tolong bukan cara hidup-Ku. Tetapi bila Rawana mempunyai pikiran yang baik seperti itu, Aku bersedia meminta agar Bharata menyerahkan tahtanya". Semua Avatar menunjukkan pikiran yang suci serta pandangan yang luas dan dengan demikian memberikan teladan kepada seluruh dunia.

Sifat utama yang menjadi landasan segala perbuatan luhur dan hidup bahagia tanpa kekhawatiran adalah pengendalian nafsu. Krishna berkata, "Tidak ada yang tidak bisa engkau capai bila engkau mampu menguasai nafsu. Dunia ini sendiri dapat engkau ciptakan. Tetapi bila engkau diperbudak oleh indera dan terperangkap dalam hawa nafsu maka engkau menjadi budak seluruh dunia. Karena itu, Arjuna, jadikanlah nafsu-nafsu itu budakmu; hanya dengan demikianlah engkau akan dapat mengemban misi-Ku. Bangkitlah Arjuna! Belajarlah mengendalikan inderamu. Jangan membiarkan dirimu mabuk kesenangan atau kusut hati karena sedih. Sebab utama kesedihan ini adalah ketidaktahuan. Engkau tidak tahu perbedaan antara kebenaran dan bayangan, antara atma dan anatma, tetapi, mulailah dari sekarang membedakan antara kedua hal itu maka engkau akan mampu mengendalikan inderamu dan seluruh dunia ini akan menjadi milikmu".
 
PERCAKAPAN 18

KETAHUILAH BAHWA ENGKAU ADALAH PENGHUNI BADAN, BUKAN BADAN


Krishna berkata, "Arjuna, pusatkanlah pikiranmu selalu kepada-Ku karena Aku tidak lain adalah atma, dirimu yang sejati. Dengan pikiranmu terpusat kepada-Ku, laksanakanlah kewajibanmu."

Orang yang bekerja dengan menyadari kenyataan dirinya yang sejati akan mampu menyelesaikan karya-karya yang agung. Kegiatan semacam itu, yang dilakukan dengan kesadaran atma, bebas dari keterikatan. Agar dapat melaksanakan tugasmu dengan menyadari sepenuhnya bahwa dirimu adalah atma, diperlukan pengendalian indera secara sempurna. Ini persyaratan yang sangat penting. Jika engkau telah mampu menguasai inderamu sepenuhnya, engkau dapat dilukiskan sebagai seorang stithaprajna, yaitu orang yang memiliki pengetahuan tertinggi. Bila engkau menerima dua hal yang berlawanan seperti kesenangan dan kesedihan, panas dan dingin, laba dan rugi, kehormatan dan penghinaan dengan pikiran yang seimbang serta tetap teguh dalam kesadaran dirimu yang sejati, maka engkau telah memiliki sifat-sifat orang bijaksana. Sifat orang bijaksana ialah memperlakukan segala sesuatu tanpa perbedaan. Bila engkau mengetahui sifat Indera yang sesungguhnya akan mudah bagimu mengikuti jalan untuk menjadi benar-benar bijaksana. Tetapi, jika engkau tidak menyamakan dirimu dengan atma, melainkan terus menyamakan dirimu dengan badan saja, tidak mungkinlah engkau mencapai keadaan mulia itu.

Krishna berkata kepada Arjuna, "Ingat, sebenarnya engkau adalah sang penghuni, dehi, dan bukan badan, deha. Engkaulah yang memakai baju, engkau bukan baju itu. Engkau penghuni rumah, bukan rumah. Engkau yang mengetahui lapangan, kshetrajna, tetapi engkau menganggap dirimu medan itu, kshetra. Menikmati hal-hal yang sementara hanya akan memberimu hal-hal yang berubah-ubah; kesenangan dan kenikmatan yang sementara ini hanya akan mengakibatkan kesedihan. Hal yang berubah-ubah akan menyebabkan pikiranmu berubah-ubah. Karena itu, tetapkan pikiranmu dan laksanakan kewajibanmu dengan mengingat atma. Jangan memikirkan atau merisaukan masalah kelahiran dan kematian atau kesenangan dan kesedihan yang selalu engkau alami. Kelahiran dan kematian hanya berkaitan dengan tubuh, hal itu tidak terjadi pada dirimu yang sejati. Engkau bukan tubuh; engkau adalah eksistensi yang kekal yang bebas dari kelahiran dan kematian. Engkau tidak memiliki awal atau akhir. Engkau tidak pernah lahir dan tidak akan pernah mati, tidak pula engkau membunuh siapa pun. Engkau atma. Engkau memenuhi segala sesuatu. Sesungguhnya engkau adalah Tuhan sendiri; atma adalah Brahman dan Brahman adalah atma."

Setelah menyadari bahwa sifat api menghasilkan panas, adakah orang yang merasa sedih akan kenyataan bahwa api membakar? Adakah orang yang menderita setelah tahu bahwa es itu dingin? Sifat api membakar dan sifat es mendinginkan apa saja yang menyentuhnya. Begitu pula segala sesuatu yang lahir pada suatu saat akan mati. Ini wajar. Apa yang datang begitu saja, akan pergi begitu saja. Karena itu janganlah menyedihkan hal-hal yang wajar, hal yang alami seperti lahir dan mati, senang dan susah. Kenalilah cacat dan kelemahan segala sesuatu; pada suatu saat, apapun juga yang ada di dunia ini akan mengalami perubahan. Kelima unsur yang ada dimana-mana, juga ada dalam dirimu dan ada dalam setiap orang.

Bila engkau mencari-cari sesuatu di seluruh pelosok dunia ini engkau akan mendapatkan bahwa sebenarnya yang engkau cari hanyalah kelima unsur ini. Hanya kelima unsur ini yang akan engkau temukan dalam setiap benda di dunia. Tetapi karena unsur-unsur itu sudah ada dalam dirimu, apa gunanya mencarinya dalam benda-benda di luar dirimu? Kalau mencari atau menginginkan sesuatu yang tidak engkau miliki, itu wajar. Tetapi tidak wajar kalau mencari dan menginginkan barang yang telah engkau miliki. Hanya ada satu eksistensi yang melebihi kelima unsur itu yaitu Tuhan. Inilah yang harus engkau cari. Jnana atau 'kebijaksanaan' adalah melihat yang Esa itu di mana-mana. Kesatuan yang memenuhi segala sesuatu itu adalah atma. Carilah dia dan pegang teguh. Bila segala perbuatanmu dilandaskan pada atma maka perbuatanmu itu menjadi suci dan murni. Bila segala kegiatanmu kau lakukan demi atma atau untuk kesenangan Tuhan maka engkau akan tersucikan dan penuh kebijaksanaan. Banyak resi sejak jaman dulu telah berusaha keras untuk mencapai keadaan stithaprajna ini, untuk selalu menetap pada alam spiritual yang tertinggi.

Pada suatu hari Raja Yunani, Alexander, tiba di tepi sungai Sindhu. Ia bermaksud menaklukkan dan menjarah India, untuk itu ia datang dengan sejumlah besar tentara. Pada masa itu tidak ada jalan raya; jalan yang ada tidak banyak dan hanya berupa jalan setapak. Raja menyeberangi sungai Sindhu dan bersama tentaranya memasuki hutan. Penunjuk jalan yang mendahului tentara itu menemukan seorang yogi tertelentang di bawah pohon dalam keadaan tidur nyenyak dengan kaki lurus. Yogi ini telah mencapai keadaan stithaprajna; ia orang yang bijaksana. Seorang tentara menghampiri, membangunkan yogi itu, dan menyuruhnya pindah agar tidak menghalangi jalan, tetapi sang yogi tidak mempedulikan himbauan tentara itu. Ia tidak bergeser. Tentara Yunani menakut-nakuti yogi itu seraya mengatakan Kaisar Agung Yunani, Alexander, akan datang dengan bala tentaranya untuk menduduki India dan merampas seluruh negeri. Sementara tentara itu menghardik sang yogi, Raja Alexander tiba di tempat tersebut. Tentara Yunani itu sangat marah melihat sikap sang yogi yang sama sekali tidak mempedulikan perintahnya walaupun raja telah datang. Yogi itu tidak menunjukkan rasa hormat sebagaimana mestinya kepada kaisar. Karenanya tentara itu mengancam akan memenggal kepala sang yogi.

Ketika sang yogi mendengar bahwa tentara Yunani itu mau memenggal kepalanya, ia tertawa terbahak-bahak seraya berdiri. Wajah yogi itu sedikitpun tidak menunjukkan rasa takut; ia sangat tenang. Kaisar melihat cahaya pada wajah yogi lalu berkata, "Tentaraku mengancam akan memenggal kepalamu, namun engkau kelihatan gembira. Jika engkau orang biasa pasti engkau segera menyerah, menyembah-nyembah minta ampun. Tetapi engkau hanya tersenyum. Apa artinya ini?" Sang yogi menjawab, "Aku perwujudan sat chict ananda, Aku kebenaran, kesadaran, dan kebahagiaan abadi. Aku senantiasa bebas. Senjatamu tidak akan bisa melukai aku. Api tidak akan bisa membakar aku. Air tidak bisa membasahi aku. Angin tidak bisa menerbangkan aku. Aku tidak pernah lahir dan tidak akan pernah mati. Aku adalah atma yang kekal, itulah kenyataan-ku yang sejati. Tentara ini mengancam akan membunuh aku dengan memenggal kepalaku. Sungguh menggelikan, karena mendengar itu aku tertawa." Ketika kaisar mendengar kata-kata itu, ia sangat keheranan. Pikirnya, "Biasanya orang takut sekali menghadapi kematian atau bila diancam akan dibunuh, jarang sekali orang tertawa dan gembira menghadapi kematian. Di India ada orang-orang yang telah mencapai tingkat rohani yang begitu luhur sehingga mautpun bukan merupakan ancaman. Bagaimana mungkin aku menjarah bangsa seperti itu? Tidak aku batalkan niatku." Setelah mengambil keputusan ini ia bersama bala tentaranya kembali dan meninggalkan India.

Sejak dahulu orang agung seperti yogi ini sudah ada di India. Dengan cara hidupnya mereka mengajarkan kepada bangsa-bangsa lain kebenaran yang tertinggi mengenai kehidupan rohani. Kebanyakan orang yang tidak mengetahui metode untuk mengendalikan indera, tersesat serta mengikuti jalan yang keliru. Tetapi sesungguhnya mengendalikan indera itu mudah sekali. Bagi orang yang tidak tahu, apa saja dirasakan sulit; bagi orang yang tahu, apa saja dirasakan mudah. Berusahalah memahami; engkau akan menyadari bahwa segala kesenangan dan kenikmatan indera akan menimbulkan kesedihan. Langkah pertama untuk mengendalikan nafsu adalah mengetahui cacat dan permasalahan yang berhubungan dengan segala benda duniawi. Hanya untuk kenikmatan dan kesenangan yang bersifat sementara, engkau membiarkan dirimu dirundung kesulitan dan masalah yang akan terus menghantui engkau setelah kenikmatan yang sesaat itu terlupakan. Seseorang yang menderita suatu penyakit makan makanan yang tidak sesuai dengan dietnya dan merasa senang sementara. Setelah melanggar pantangan dalam dietnya dan memakan yang dilarang mungkin ia merasakan kepuasan yang sifatnya sementara, tetapi tidak lama kemudian ia akan mengalami akibatnya yang tidak menyenangkan dari perbuatannya; bahkan hal itu dapat menimbulkan keadaan yang membahayakan. Begitu pula orang yang menyerah pada godaan kenikmatan sementara akhirnya kelak akan menderita berbagai masalah. Banyak raja yang sangat berkuasa mendirikan rumah-rumah yang besar dan istana, menikmati kemewahan, makan beraneka ragam makanan yang lezat-lezat, bepergian dengan mobil mewah, dan memanjakan dirinya dengan berbagai kemewahan yang tidak berguna. Namun bila engkau memikirkan lebih mendalam apakah raja yang menikmati kemewahan atau sebaliknya kenikmatan yang menikmati raja, engkau akan dapat mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya kemewahanlah yang menikmati dia. Dialah yang dinikmati oleh objek-objek indera. Sebenarnya kemewahan itu yang memakan dia sampai habis. Ia akan cepat menjadi lemah, terserang penyakit, dan menjadi tua. Jika benar ia menikmati objek indera maka mestinya ia mendapat kesehatan dan kekuatan objek-objek itu, tetapi karena dia yang dinikmati oleh objek indera, kesehatannya merosot dan masa hidupnya makin pendek. Karena tidak menyadari kebenaran ini, ia mengejar kebahagiaan sementara. Ia memusatkan pandangannya pada objek-objek indera yang tidak kekal tanpa menyadari akibat mengerikan yang akhirnya pasti akan datang karena keinginan yang membabi buta untuk memenuhi nafsu.

Seseorang mendatangi ahli nujum yang dapat membaca guratan tangan. Ia memperlihatkan tangannya. Ahli nujum itu mengatakan bahwa ia mempunyai garis-garis tertentu yang berarti bahwa ia akan menjadi kaya sekali. Ketika mendengar hal itu ia sangat gembira. Setelah memeriksakan tangannya lebih lanjut, ahli nujum mengatakan bahwa ia akan mendapat banyak kehormatan. Orang itu bertambah gembira. Kemudian setelah memeriksakan tangannya lebih teliti lagi, ahli nujum itu berkata, "Engkau akan menduduki jabatan yang sangat tinggi." Orang itu merasa amat senang, seakan-akan ia dikatakan akan menjadi perdana menteri hari itu juga. Tidak lama kemudian ahli nujum memberitahukan bahwa ia akan mempunyai banyak anak. Kegembiraan orang itu bertumpuk-tumpuk. Setelah mengatakan semua itu, ahli nujum itu berkata, "Tetapi masa hidupmu sangat pendek." Ketika mendengar hal ini, segala kegembiraannya sirna; ia menjadi sangat sedih dan lemas karena putus asa. Sebab itu, berapa pun banyaknya kekayaanmu, apa pun jabatan yang engkau duduki, kehormatan apapun yang engkau peroleh, dan berapa pun banyaknya anak yang kau punyai, jika masa hidupmu terbatas, apa artinya semua ini?

Kalau engkau sudah tidak ada lagi, apa nilai benda-benda itu bagimu?
Berapa banyak raja dan berapa banyak kaisar pernah hidup? Dalam keadaan bagaimanakah mereka meninggalkan dunia ini? Contohnya Harischandra yang memerintah seluruh India; bukankah ia harus meninggalkan dunia ini? Raja Nala yang memerintah seluruh dunia; dapatkah ia membawa segenggam tanah sekalipun? Mandata, contoh yang cemerlang dari jaman Krita, adakah suatu yang dapat dibawanya? Raja Rama membuat jembatan di atas laut, apakah ada bekasnya? Raja-raja itu muncul dan meninggalkan dunia. Tidak seorang pun dapat membawa walau hanya segenggam tanah. Jika engkau merenungkan sejarah umat manusia pada masa lampau engkau akan mengerti betapa tidak kekalnya sesungguhnya dunia ini. Karena itu, hal yang sejati dan kekal tidak bisa didapat serta tidak akan pernah bisa diketemukan dalam dunia ini.

Semua yang engkau lihat dalam dunia fana ini hanya bayangan apa yang ada dalam dirimu. Hanya ada satu hal dalam dirimu yang memenuhi segala sesuatu yaitu sathyam, Shivam, dan sundaram, 'kebenaran, kebajikan, dan keindahan' yang kekal. Berusahalah untuk mencapai kebenaran yang kekal itu. Berusahalah hidup yang baik; menyatulah dengan sifat Tuhan yang merupakan perwujudan keindahan itu sendiri. Setelah menjelaskan sifat-sifat orang yang bijaksana kepada Arjuna, Krishna membawa Arjuna ke medan laga. Krishna berkata kepadanya, "Pusatkan seluruh perhatianmu kepada-Ku. Pusatkan pikiranmu hanya pada-Ku. Patuhi perintah-Ku dan lakukan tugasmu. Untuk melaksanakan kewajibanmulah badan ini diberikan kepadamu. Karena perbuatanmu pada masa lalu, engkau mendapat kelahiran ini; kini dengan menyucikan dan meluruskan semua perbuatanmu engkau dapat menyucikan hidupmu."

Satu-satunya cahaya yang tidak dapat dimatikan di dunia ini adalah cahaya diri yang sejati, atma jyothi. Seperti halnya listrik, selama ada listrik bola lampu akan menyala. Kalau tenaga listrik mati, bola lampu tidak bersinar lagi. Hanya kalau ada baterai dalam lampu senter, senter itu berfungsi. Begitu pula bila indera tidak mendapat tenaga, ia tidak bekerja. Matahari dan bulan pun, yang tidak memerlukan minyak, baterai, atau listrik, akhirnya akan kehilangan cahayanya, apa lagi engkau. Kalau hal ini berlaku bagi gunung-gunung yang perkasa, apa lagi bagi sebuah batu krikil seperti engkau ini yang terperdaya dalam kesadaran badan? "Karena kesedihan yang bersumber pada keterikatanmu dengan sanak keluarga dan handai taulan, engkau tenggelam dalam ketidaktahuan. Engkau dihanyutkan oleh air matamu sendiri. Bangkitlah! Bangunlah! Jangan berhenti sebelum tujuan tercapai!" Demikian ajaran Krishna kepada Arjuna.

Matahari dan bulan bersinar di dunia ini. Tetapi mereka tidak bisa menyinari Tuhan. Cahaya dalam rumah dapat menyinari benda-benda yang ada di dalamnya, tetapi ia tidak dapat menyinari Tuhan. Bagaimana engkau tahu bahwa matahari dan bulan bersinar dan api membakar? Karena memiliki mata engkau dapat melihat kecemerlangannya. Jika engkau tidak mempunyai mata, cahaya matahari dan bulan tidak dapat engkau lihat. Tetapi apa yang menyebabkan mata dapat melihat? Walaupun engkau sedang tidur atau bila matamu dipejamkan masih ada cahaya dalam kesadaranmu. Karena itu engkau mengambil kesimpulan bahwa yang bersinar lebih cemerlang daripada matamu adalah budi. Dengarlah cerita ini.

Ada dua orang, yang satu buta dan yang lain pincang. Mereka berkawan dan bersama-sama mengemis dari kampung ke kampung. Si Buta punya kaki yang baik dan si Pincang punya mata yang baik. Si Pincang duduk di atas bahu di Buta. Dengan saling tolong mereka bisa berjalan dari satu kampung ke kampung lainnya. Pada suatu hari dalam perjalanan mereka menjumpai ladang mentimun yang indah. Si Pincang berkata kepada si Buta, "Bung, ada mentimun di ladang ini. Ayo kita masuk dan makan sedikit; kita istirahat sebentar lalu jalan lagi." Kata si Buta kepada si Pincang, "Bung, hati-hati mungkin ada yang menjaga ladang ini." Si Pincang berkata, "Tidak, tidak ada siapa-siapa." Kata si Buta lagi, "Tolong beritahu saya apakah ladang ini dipagari atau ada pintunya." Si Pincang berkata, "Tidak ada pintu dan tidak berpagar. Kita bisa makan." Si Buta segera berkata, "Bung, mentimun ini pasti pahit sekali, kalau tidak masakan tidak ada penjaganya, tidak ada pagar dan tidak ada pintu untuk melindunginya?"

Seseorang mungkin tidak dapat melihat, tetapi jika ia menggunakan budinya, ia lebih luhur daripada orang yang melihat. Karena itu, sesungguhnya budilah yang memberikan sifat yang bercahaya kepada mata. Dari manakah budi memperoleh kekuatannya itu? Budi bercahaya karena kekuatan atma. Maka karena atma budi bersinar dan karena budi, mata bersinar dan dapat melihat, dan karena mata melihat, cahaya matahari dan bulan dapat dilihat, dan karena matahari dan bulan seluruh alam bersinar. Kita mengetahui sekarang bahwa sumber utama yang menyinari segala-galanya ialah atma. Ia merupakan tombol yang paling penting. Karena itu, atmalah yang harus engkau sembah.

Ingatlah selalu pada atma, karena dengan selalu mengingat atma dalam segala hal yang kau lakukan engkau akan dapat mencapai tingkat kebijaksanaan yang sejati. Kata stithaprajna yang kita pakai, yang berarti orang bijaksana, oleh beberapa orang dianggap ada kaitannya dengan orang bersifat duniawi. Kekacauan pikiran ini terjadi karena dikatakan bahwa, "Bila semua orang jaga (melek), stithaprajna tidur, dan bila ia jaga semua orang lainnya tidur." Menurut batasan semacam itu engkau akan mengambil kesimpulan bahwa mereka yang bekerja atau giliran malam seperti petugas jaga malam dan kepala stasiun yang jaga pada malam hari ketika orang lain sedang tidur, dan tidur pada siang hari ketika orang lain jaga, semua adalah stithaprajna. Tetapi tentunya tidak begitu maksudnya.

Orang-orang yang melandaskan hidupnya pada dunia yang fana ini akan sadar sepenuhnya pada dunia ini dan objek-objeknya. Sebaliknya stithaprajna akan tidur, tidak terpengaruh, dan kebal terhadap barang-barang duniawi. Orang awam tidak tergugah oleh keindahan atma, ia tidur dalam keindahan itu. Tetapi terhadap keduniawian dan objek-objek nafsu ia sadar dan matanya terbuka lebar. Karena itu stithaprajna adalah orang yang tidur dalam hal keduniawian dan sadar sepenuhnya akan asas atma. Stithaprajna tidak berarti orang yang menjauhi keduniawian dan masuk hutan. Krishna berkata, "Kerjakanlah tugasmu di dunia ini. Hiduplah di tengah kesibukanmu sehari-hari, tetapi tetap pusatkan perhatianmu pada atma, maka engkau akan menjadi seorang stithaprajna."

Di sini bisa timbul keragu-raguan. Mengapa orang semacam itu perlu bekerja? Tetapi jika seorang stithaprajna mempunyai sikap demikian dan tidak bekerja, ia tidak akan dapat mengilhami orang lain supaya bekerja. Orang bijaksana harus memberi contoh kepada orang awam untuk dijadikan teladan. Ia sendiri tidak mempunyai kepentingan kerja, juga tidak mempunyai ambisi apapun mengenai kerja, tetapi demi kebaikan umat manusia ia harus bekerja. "Karena itu Arjuna," kata Krishna, "Jadilah orang yang ideal. Engkau sangat dekat dengan Krishna. Engkau sanak keluarga-Nya dan engkau sangat dicintai-Nya. Camkanlah makna yang mendalam semua ajaran ini. Aku ingin menjadikan engkau contoh bagi dunia. Aku akan menggunakan engkau sebagai alat-Ku. Engkau akan menolong melaksanakan beberapa hal yang besar bagi-Ku di dunia ini."

Apapun yang dikatakan Krishna adalah untuk kesejahteraan seluruh dunia dan untuk memberi contoh yang ideal kepada umat manusia. Semua Avatar melaksanakan tugas yang sangat suci, tetapi orang biasa tidak dapat mengetahui ke-Ilahi-an tugas-tugas itu. Dalam hal ini Krishna berkata kepada Arjuna, "Arjuna, Aku menerima tugas sebagai kusir keretamu bukan karena Aku senang dengan pekerjaan ini dan sangat menginginkannya. Juga bukan untuk kepentingan kuda Aku melaksanakan ini. Apakah engkau kira Aku sendiri tidak mempunyai kereta dan kuda sehingga Aku perlu mengendarai kereta dan kudamu? Kesadaran badan yang engkau miliki memenuhi seluruh pribadimu; sudah mendarah daging dalam dirimu. Aku memainkan seluruh lakon ini agar engkau sembuh selamanya dari penyakit kesadaran badan ini."

Tuhan tidak ingin dipuji oleh siapa pun. Arjuna selalu memanggil Krishna, "Bhava, Bhava, Bhava," sebutan kesayangan yang juga berarti abang ipar. Pada suatu ketika, waktu sedang duduk-duduk di pasir di tepi sungai Yamuna, Krishna memberitahu Arjuna, "Arjuna, Aku tidak senang dipanggil Bhava begitu saja tanpa alasan". Di dunia ini banyak orang memuji-muji Tuhan dengan menggunakan kata-kata seperti itu, tetapi Tuhan tidak akan menyetujui dan menerima pujian ini. Pujian semacam itu sudah umum dan wajar diucapkan orang untuk mendapatkan perhatian dan pertolongan, seperti orang yang menghadap pejabat untuk mencari muka. Pujian yang tidak berdasar itu seperti air yang dicampur minyak wangi, bisa dibaui saja, tidak bisa diminum. Engkau dengar pujian itu, tetapi tidak bisa kau masukkan ke dalam hati. Tuhan hanya menerima perasaan sejati yang dengan tulus timbul dari lubuk hatimu.

Krishna berkata kepada Arjuna, "Aku tidak mau dipuja tanpa alasan, tetapi Aku tidak ingin engkau berhenti memanggil-Ku Bhava. Walaupun Aku melarang engkau, engkau tetap memanggil Aku dengan kata itu. Karena itu Aku sungguh-sungguh ingin menjadi abang iparmu". Maka Krishna memberikan Subhadra, adik-Nya, untuk menikah dengan Arjuna dan dengan demikian Ia benar-benar menjadi ipar Arjuna. Balarama, kakak Krishna, tidak menyetujui pernikahan Subhadra dengan Arjuna. Bahkan Balarama tidak mau menghadiri upacara perkawinannya, melainkan ia pergi ke hutan. Sejak itu Balarama tidak begitu mencintai Krishna. Satu sifat yang luar biasa yang kita lihat pada Krishna ialah bahwa perbuatan-Nya selalu sesuai dengan perkataan-Nya. Inilah sifat manusia yang sejati. Apa yang engkau pikirkan harus selaras dengan apa yang engkau katakan, dan apa yang engkau katakan, itu harus kau lakukan. Ketuhanan adalah satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan. Dan itulah sifat manusia yang sejati. Itu juga arti yang lebih dalam dari perkataan Swami yang sering diucapkan, yaitu, "Studi yang baik bagi umat manusia adalah mempelajari manusia".

Krishna berkata kepada Arjuna, "Aku hendak menjadikan engkau teladan, karena itu Aku mengajarkan sifat-sifat stithaprajna kepadamu di sini, di medan pertempuran. Pertama Aku hendak menjadikan engkau orang yang bijaksana, lalu dengan menjadikan engkau sebagai contoh, Aku akan mengajar orang-orang lain. Pertama-tama engkau harus mengerti prinsip yang amat penting ini bahwa engkau bukan badan, engkau penghuni. Kalau engkau telah mengerti itu, engkau tidak akan dibingungkan lagi oleh kesadaran badan. Badan bersifat sementara. Tuhan kekal dan abadi. Engkau bukan baju, tetapi orang yang memakai baju. Karena itu dikatakan bahwa badan adalah rumah Tuhan dan penghuninya adalah Tuhan sendiri. Dunia ini tidak kekal dan penuh dengan penderitaan, tidak ada gunanya bernaung di dalamnya. Semua orang yang engkau kenal akan berubah. Hanya Tuhan merupakan perwujudan yang kekal. Ia bagaikan lampu yang tidak dapat dipadamkan.

Berlindunglah kepada-Nya. Ia cahaya yang maha utama, Paramjyothi;
Ia cahaya setiap jiwa, Jiwanjyothi;
Ia cahaya yang tidak terbatas dan tidak terpadamkan, Akhandajyothi;
Ia satu-satunya cahaya, tiada duanya, Adwaitajyothi"
Dengan jalan ini Krishna mengubah hati Arjuna yang tadinya penuh dengan kekotoran. Dengan menjelaskan seluruh pengetahuan yang mulia ini kepadanya, Beliau membuat hati Arjuna suci dan bersinar serta mengubahnya menjadi seorang stithaprajna.
note: mohon dibaca dengan bijak...... :)
 
PERCAKAPAN 19

PENGENDALIAN NAFSU ADALAH KUNCI UNTUK MENCAPAI KEBIJAKSANAAN ROHANI


Bila engkau telah mampu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan duniawi dan mencapai ketidakterikatan, pencapaian surga yang tertinggi pun tampaknya sepele dan tidak penting bagimu. Arjuna berkata kepada Krishna, "Krishna, walaupun penguasaan dan pemerintahan ketiga dunia diserahkan kepadaku, tidak akan kuterima; Aku tidak berminat pada hal-hal semacam itu". Kata-kata ini menunjukkan betapa mendalamnya ketidak-terikatan yang telah dicapai arjuna setelah menyerahkan dirinya dan siap menerima ajaran Gita. Pada saat itu ia telah membebaskan dirinya dari keduniawian dan mengikatkan diri pada asas transendental yang mengejawantah dan ada di hadapannya sebagai Sri Krishna. Ketidakterikatan seperti itu, tidak terpengaruh oleh dunia dan segala objeknya, dan keterikatan kepada Tuhan, harus kau jadikan tujuanmu juga. Inilah takdir bagi seluruh umat manusia karena dalam evolusi kerohaniannya setiap pribadi lama kelamaan akan mencapai ketidakterikatan, tidak terpengaruh oleh objek-objek indera dan sekaligus memiliki keinginan yang kuat untuk menyadari atma dalam dirinya.

Jika engkau ingin membangun rumah biasa dan kecil sekalipun, engkau sangat berhati-hati membuat fondasi yang benar. Betapa harus lebih berhati-hati bila engkau meletakkan fondasi yang kuat untuk rumah pengetahuan diri yang sejati, rumah atma-jnana. Untuk memberikan landasan yang kuat seperti itulah Krishna dalam mengajarkan Gita kepada Arjuna menandaskan perlunya mengendalikan alat-alat indera dengan mengembangkan sikap tidak terikat pada keduniawian; ini persyaratan yang penting untuk membangun landasan yang kuat. Jika dasarnya tidak kokoh, rumah atma-jnana tidak akan tahan lama; rumah itu akan cepat roboh.

Ketidakterikatan dan sikap menjauhi keinginan duniawi tidak begitu saja muncul menjadi dasar atma-jnana, dasar itu tidak terjadi dalam satu saat. Sifat-sifat ini harus terus dikembangkan dan dilaksanakan bersama dengan pengabdian dan pengendalian indera. Jika engkau hendak menyalakan pelita, engkau memerlukan minyak, wadah untuk minyak itu, dan sumbu. Demikian pula jika engkau ingin menyalakan lampu kebijaksanaan, perlu ada ketidakterikatan, pengabdian, dan pengendalian indera. Ketidakterikatan dapat dibayangkan sebagai tempat dan pengabdian minyaknya. Pengendalian indera dapat diumpamakan sebagai sumbu. Setelah menyatukan ketiga unsur itu engkau bisa menyalakan lampu diri sejati di dalam batinmu. Untuk menyalakan lampu ini dalam hati Arjuna, Krishna memperingatkannya bahwa pertama-tama ia harus mengendalikan inderanya.

Tidak semua orang dapat melakukan pengendalian ketat terhadap hawa nafsu atau inderanya. Walaupun mereka berusaha dalam hal ini dan berhasil mengendalikan indera sampai taraf tertentu, orang awan tidak akan meneruskannya karena mereka amat yakin bahwa segala kesenangan yang mereka alami bersumber dari indera dan objek-objek indera. Jika mereka harus sama sekali berhenti menikmati kesenangan, mereka merasa bahwa berakhirlah hidup mereka. Mereka menganggap kenikmatan indera ini satu-satunya sumber kebahagiaan yang sesungguhnya karena ini sesuatu yang langsung mereka alami dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan kebahagiaan dalam pengetahuan atma, pengetahuan suci, satu kali pun tidak pernah mereka rasakan. Bila engkau memegang seekor burung apakah akan engkau lepaskan burung itu untuk mengejar dua burung yang ada dalam semak belukar? Cara berpikir ini menyebabkan mereka beranggapan bahwa gilalah kalau meninggalkan kenikmatan indera yang dialami setiap hari untuk memusatkan perhatian pada atma jnana yang tidak pernah dialami.

Karena itulah engkau temukan banyak orang mencela ajaran ketidakterikatan dan pengendalian indera yang diajarkan dalam Bhagawad Gita. Kata mereka, sungguh tiada gunanya dan tidak cocok untuk orang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi mereka mencela karena mereka tidak mengerti proses yang sesungguhnya terjadi. Segala kesenangan sementara yang mereka nikmati hanya merupakan sekilas bayangan dalam pikiran yang berasal dari kebahagiaan sejati yang ada di dalam hati. Karena selalu memikirkan orang tertentu atau suatu objek, pikiran meninggalkan tempat peristirahatannya dan mendekati orang atau objek itu seraya mengambil wujudnya, kemudian ia memperdayakan diri sendiri dengan merasa menikmati objek itu. Tapi ini bukan kesenangan sejati, ini hanya kesenangan terbatas yang dikhayalkan oleh pikiran, pantulan dari kegembiraan batin yang sejati yang merupakan sumber segala kegembiraan.

Untuk menjelaskan hal ini baiklah kau perhatikan contoh ini:
Bayi kecil suka mengisap jempolnya dan menelan ludahnya. Ia merasa senang karena ia mengira bahwa dari jempolnya keluar susu, tetapi kenyataannya ludah yang dikira susu, keluar dari mulutnya sendiri, bukan dari jempolnya. Ia tertipu karena mengira bahwa sumber kesenangannya berasal dari luar dirinya. Ada lagi contoh lain. Seekor anjing mendapat tulang yang keras. Setelah mendapat tulang, anjing itu sangat senang dan tidak mau membaginya dengan anjing lain, lalu ia membawa tulang itu ke tempat yang sunyi. Di sana ia memandang dan mengagumi tulang itu lalu mulai menggerogotinya. Karena tulang tua, benda itu keras sekali. Dengan penuh semangat dan mengerahkan segala kamampuannya anjing itu terus menggigit hingga sebuah giginya lepas. Darahnya menetes dan mengalir ke tulang. Anjing yakin kalau darah itu keluar dari tulang dan ia sangat menikmati rasanya. Tetapi kenyataannya darah tidak keluar dari tulang, melainkan dari mulutnya sendiri. Tentunya anjing tidak menyadari kebenaran ini; sama halnya dengan bayi tadi, ia tertipu karena mengikuti khayalan pikirannya sendiri.

Begitu pula orang yang diliputi ketidaktahuan mengira bahwa ia mendapat kesenangan dari objek-objek indera, tetapi kesenangan terbatas yang ia alami bukan berasal dari luar dirinya. Kesenangan sejati tetap berada dalam hatinya sendiri, dan kegembiraan batin yang tidak berubah inilah yang memberi kesan pada objek tertentu sehingga objek itu tampak seolah-olah merupakan sumber kesenangan. Dengan demikian ia mengira mendapatkan kesenangan dari benda-benda duniawi, tetapi sesungguhnya kesenangan itu hanyalah pantulan kecil dari kebahagiaan yang tidak terbatas yang tersembunyi dalam dirinya. Karena ia tertipu oleh pikiran bahwa kegembiraan dan kesenangan duniawi itu pengalaman yang sejati dan kebahagiaan yang dapat ia peroleh dari dalam batinnya hanyalah khayalan, ia tidak tertarik sama sekali mencari kebahagiaan rohani dan hanya sibuk mencari kenikmatan duniawi yang ia kira bisa didapatkan dari objek-objek indera.

Jika suatu objek benar-benar memberi kesenangan, semestinya semua orang menyukainya. Tetapi sebagaimana kau ketahui, tidak demikian keadaannya. Jika suatu objek tertentu memberikan kegembiraan dan kesenangan pada beberapa orang, objek itu mungkin tidak disukai oleh orang lain dan tidak memberikan rasa senang. Jika sifat menggembirakan itu benar-benar terkandung dalam objek itu, semestinya semua orang senang padanya. Ada orang yang suka sekali dengan mentimun, sedang orang lain mungkin tidak suka sama sekali. Jika sifat menyenangkan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mentimun, seharusnya ia akan memberikan rasa senang kepada semua orang, tetapi kenyataannya beberapa orang suka sedangkan orang lain tidak. Mengapa reaksi orang-orang itu berbeda-beda? Mengapa ada barang yang disenangi oleh seseorang dan tidak disenangi oleh orang lain? Ini berarti bahwa kegembiraan yang dialami seseorang tidak berkaitan langsung dengan objek yang secara keliru dikira merupakan sumbernya, melainkan kegembiraan itu bersumber dari dalam batin. Kegembiraan itu hanya merupakan pantulan dari sumber kegembiraan yang tiada habisnya yang ada di dalam batin seseorang.

Perasaan suka dan tidak suka yang sekarang kau rasakan hanya bersifat sementara, tidak kekal. Suatu saat mungkin engkau merasa lapar sekali; ada orang yang menghidangkan makanan untukmu dan pada saat itu engkau rasakan makanan itu sangat enak. Apa yang menyebabkan hidangan itu terasa lezat bagimu? Tidak lain adalah rasa laparmu. Selama perutmu lapar engkau rasakan semua makanan yang disuguhkan sangat lezat. Setelah perutmu kenyang, makanan seenak apa pun yang disediakan bagimu, sama sekali tidak menarik seleramu. Bila engkau lapar, makanan yang sederhana sekalipun akan terasa enak, sangat menyenangkan. Tetapi begitu rasa lapar dipuaskan, makanan yang paling lezat pun tidak akan terasa enaknya. Untuk memahami perubahan ini engkau harus mengetahui bahwa semua rasa suka dan tidak suka itu bersumber pada dirimu, pada pribadi-pribadi; rasa itu tidak berasal dari objek itu. Segala perasaan suka dan duka bersumber pada batin manusia, bukan pada objek di luar dirimu.

Orang biasa mengira kegembiraan atau penderitaan yang dirasakan karena berada di antara orang-orang yang ia senangi atau tidak disenangi, berasal dari mereka itu. Tetapi tidak demikian halnya. Kesenangan dan ketidaksenangannya sendirilah yang menyebabkan kegembiraan dan kesedihannya. Bisa dilihat bahwa jika orang merasa senang sekali dengan orang lain, sangat bersimpati kepadanya, maka bagaimanapun sikap atau perbuatan orang itu, ia tetap menyukai orang itu. Apakah alasan kesetiaan yang tak tergoyahkan ini, rasa sayang yang dimiliki terhadap orang lain, walaupun orang itu mungkin mengatakan atau berbuat sesuatu yang tidak baik? Sebabnya ialah bila engkau senang kepada seseorang, segala perkataan dan perbuatan orang itu akan kau rasakan menyenangkan. Bila engkau menganggap seseorang sangat menyenangkan maka engkau merasa sangat mencintai orang itu, sifat yang disebut cinta ini sebenarnya suatu perasaan keterikatan pada dirimu yang engkau tujukan kepada orang lain. Dalam keterikatan seperti itu baik cinta maupun kegembiraan yang tampaknya ada, berasal dari dirimu sendiri. Apakah orang lain mempunyai perasaan seperti itu atau tidak, perasaan yang engkau alami berasal dari dalam dirimu sendiri; perasaan itu sama sekali bukan merupakan bagian orang lain. Hal serupa dikatakan oleh Yajnawalkya kepada istrinya, Maitreyi, dalam kitab Briha-daranyaka Upanishad. Yajnawalkya berkata kepada Maitreyi, "Istriku tersayang, engkau mencintai aku bukan demi aku melainkan demi dirimu sendiri. Segala yang engkau cintai dan sangat senangi, hanya engkau cintai demi dirimu (yang sejati). Dirimu (yang sejati)-lah yang paling kau sayangi, dan demi dirimu inilah orang lain kau cintai; perasaan cinta yang engkau miliki terhadap orang (atau makhluk) lain, semuanya hanya merupakan sebagian manifestasi dari cinta mendalam yang selalu kau rasakan kepada dirimu (yang sejati)". Jadi di dunia ini setiap orang, siapa pun dia, mencintai orang lain hanya demi dirinya (yang sejati), bukan demi orang lain. Jika ia mencintai suatu objek, ia mencintainya untuk diri (sejati), dan bukan untuk objek itu. Bila cinta murni diri sejati itu dinodai oleh kesadaran badan, terjadilah keterikatan dan sikap mementingkan diri sendiri. Hal itu pasti mengakibatkan penderitaan.

Badan tidak kekal; kematian sudah pasti bagi setiap orang. Walaupun seseorang hidup seratus tahun, suatu saat ia tetap harus menghadapi kematian. Semua orang tahu hal itu. Tetapi anehnya orang yang menghadapi kematian menangisi dan memprihatinkan orang yang sudah mati. Setiap orang pasti akan menghadapi maut, karena itu, setiap orang harus dianggap akan mati. Sekalipun mereka sendiri termasuk akan mati, mereka merasa sedih dan sengsara bila memikirkan seseorang yang sudah mati, seakan-akan kematian merupakan hal yang luar biasa dan tak terduga-duga, bukannya dianggap sebagai akhir yang wajar yang akan menimpa setiap orang. Penderitaan ini, terutama bila orang yang meninggal itu sangat dicintai, tidal lain disebabkan oleh keterikatan. Setelah mengetahui betul-betul bahwa kematian pasti datang, jika engkau masih merasa prihatin kepada badan lain, pastilah karena keterikatan yang berkembang terhadap badan itu. Keterikatan inilah yang menyebabkan segala kesedihanmu. Karena itu, sebab utama kesedihan bila seseorang meninggal adalah keterikatan, bukan cinta.

Pada dasarnya setiap manusia selalu mencari kesenangan. Ia haus kesenangan dan tidak pernah menginginkan kesedihan. Orang selalu menginginkan keuntungan, tidak pernah kerugian. Itulah sifat manusia. Keuntungan, kesenangan, dan kebahagiaan melekat pada sifat manusia; ada pada inti kehidupan manusia. Setiap orang sejak kecil hanya menginginkan kemujuran, bukan penderitaan. Bagi seorang usahawan, hal pertama yang dipikirkannya adalah keuntungan. Di negara bagian Andhra Pradesh, bila pedagang menakar bahan makanan seperti beras, jika bilangan kilogramnya melebihi enam, mereka tidak mengatakan tujuh, melainkan mereka akan berkata, "Enam tambah satu". Sebabnya ialah dalam bahasa Telugu kata tujuh juga berarti menangis. Pemilik toko menggunakan kata lain untuk menghindari mengucapkan kata yang tidak menyenangkan itu. Itulah sebabnya untuk bilangan tujuh ia mengatakan enam tambah satu. Begitulah orang tidak ingin menghadapi kesusahan dan kerugian; ia hanya ingin mendapatkan hasil serta keuntungan dan kebahagiaan yang berasal dari hal itu. Di antara semua keuntungan dan hasil yang bisa diperoleh, yang paling utama, yang memberikan kebahagiaan tertinggi ialah pengetahuan atma. Itulah kebahagiaan yang harus engkau cari dan kau jadikan milikmu.

Lihatlah setangkai bunga mawar; pada saat engkau memandangnya, kegembiraan muncul dari hatimu. Begitu pula bila engkau melihat orang yang cantik atau apa saja yang indah di dunia ini, seketika engkau merasa gembira. Banyak sekali orang yang bertamasya untuk melihat-lihat pemandangan. Mereka ingin mendapatkan kebahagiaan dari pemandangan itu. Karena itu engkau dapat melihat keindahan alam, engkau dapat melihat keindahan pada manusia, dan engkau merasa bahwa ada kebahagiaan dalam keindahan benda-benda itu. Tetapi berapa lamakah kebahagiaan dan keindahan ini berlangsung? Mawar yang engkau petik hari ini, besok sudah mulai kering; keindahannya musnah. Pada saat keindahannya berkurang, kebahagiaan yang tadinya kau peroleh dari bunga itu berkurang juga. Sama dengan jenjang perkembangan hidup manusia, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua. Masa kanak-kanak dapat dikatakan mencerminkan ketuhanan. Selama masa kanak-kanak orang tidak banyak mengalami kebencian, kecemburuan, kemarahan, dan lain-lain. Yesus berkata bahwa karena anak-anak sesungguhnya tidak mempunyai sifat-sifat buruk, mereka dapat dianggap memiliki sifat ketuhanan. Dalam masa kehidupan itu tidak ada pikiran jahat atau sifat jahat, baik dalam pikiran maupun dalam badan. Anak itu indah karena ia tidak punya perasaan buruk yang timbul dari pikiran buruk. Dalam pertumbuhannya sedikit demi sedikit ia mengembangkan sifat-sifat buruk. Pada saat tumbuhnya sifat-sifat buruk, keindahan anak-anak hilang. Karena itu, dari pikiran jahatlah timbul kata-kata dan perbuatan jahat yang menyebabkan lenyapnya keindahan itu.

Kita melihat bahwa keindahan seseorang berangsur-angsur pudar. Keindahan sementara ini tidak memberikan kebahagiaan abadi. Engkau tahu, keledai yang baru lahir pun sangat indah. Setelah makin besar perutnya pun menjadi besar dan tidak sedap dipandang. Selama tidak ada sifat-sifat buruk, semua kelihatan indah. Karena itu, di dunia ini siapa pun orangnya atau apapun barangnya, engkau akan mendapati bahwa keindahannya terbatas dan kegembiraan yang diperoleh dari objek itu juga terbatas. Kegembiraan dan keindahan selalu berjalan seiring; tidak ada keindahan tanpa kebahagiaan dan tidak ada kebahagiaan tanpa keindahan. Apakah yang mempunyai kebahagiaan abadi dan keindahan abadi dalam dirinya? Tidak lain ialah atma. Atma tidak mengalami pergantian atau perubahan apa pun. Sesungguhnya ia tidak mempunyai bentuk sama sekali; keindahan dan kebahagiaan itu sendirilah bentuknya.

Meskipun kegembiraan secara alami timbul dari lubuk hatimu, engkau mengira engkau mendapatkan kesenangan dari objek indera dan alat-alat penginderaan. Tetapi tidak demikian halnya. Segala kegembiraan berasal dari dalam dirimu sendiri dan engkau keliru mengira bahwa ia berasal dari sesuatu di luar dirimu. Kitab suci menyebutkan Brahmananda 'kebahagiaan amat mendalam yang berasal dari alam surga, alam Brahma, sang pencipta'. Kebahagiaan yang dialami karena adanya persentuhan indera dengan objeknya sangat kecil bila dibandingkan dengan kebahagiaan yang berasal dari Brahmananda. Kebahagiaan dari alat-alat indera dapat digambarkan sebagai setetes air dalam lautan Brahmananda. Tetapi lautan Brahamananda yang sangat luas ini pun hanya sekecil atom bila dibandingkan dengan kebahagiaan yang tidak terbatas yang memancar dari dalam hati nurani. Itulah sumber utama segala kebahagiaan. Hati dapat dibandingkan dengan cahaya yang sangat indah dan cemerlang yang memancarkan sinarnya ke segala penjuru. Berusahalah memahami cahaya rohani yang gemilang ini yang selalu bersinar dan meliputi seluruh alam.

Pada siang hari matahari menyinari bermacam-macam benda di dunia; malam hari pun bersinar walaupun tidak begitu terang. Karena itu engkau dapat mengatakan bahwa matahari dan bulanlah yang menyebabkan terangnya dunia dan benda-benda di dalamnya. Tetapi dalam mimpi engkau juga melihat berbagai macam benda; di manakah matahari dan bulan pada saat itu? Matahari yang engkau lihat pada siang hari, pada waktu jaga, tidak ada dalam keadaan mimpi; juga tidak ada bulan atau cahaya apa pun yang menyinari benda-benda itu. Namun engkau dapat melihat seluruh alam, yaitu alam mimpi. Apakah yang menerangi alam ini? Dalam keadaan tidur nyenyak hanya ada gelap, hanya ada tamo guna. Tidak ada pengetahuan atau kebijaksanaan dalam keadaan itu. Tetapi bagaimana engkau mengetahui gelap itu? Cahaya kesadaran apakah yang memungkinkan engkau melihat dan mengetahui kegelapan itu? Keadaan tidur nyenyak digambarkan sebagai keadaan tidak sadar; alam mimpi digambarkan sebagai alam bawah sadar, dan keadaan jaga sebagai keadaan sadar. Ada keadaan atau tingkat kesadaran ke-empat, yaitu turiya, yang lebih tinggi daripada semua tahap kesadaran ini; turiya dapat digambarkan sebagai keadaan suprasadar.

Pada keadaan turiya engkau dapat melihat segala sesuatu, di mana pun juga, dan menikmati kebahagiaan tertinggi. Cahaya apakah yang menyinari alam kebahagiaan ini dan menyebabkan engkau dapat mengalami sukacita sepenuhnya? Cahaya itu adalah sinar yang memancar dari atma. Cahaya inilah yang menerangi semua alam lain sehingga engkau dapat melihatnya. Dalam Weda para resi telah mengajarkan tentang alam turiya ini. Mereka berkata, "kita dapat melihat alam yang melebihi alam lain, termasuk gelapnya alam tanpa mimpi. Di luar alam tanpa mimpi adalah cahaya atma yang agung yang menerangi alam jaga, alam mimpi, dan alam tanpa mimpi". Supaya dapat sedikit memahami hal ini, perhatikanlah contoh dalam keadaan jaga. Bila engkau memejamkan mata selama satu menit, apakah sebenarnya yang engkau lihat? Engkau akan mengatakan tidak ada apa-apa, hanya gelap pekat. Lalu timbul pertanyaan, "Siapakah yang melihat kegelapan ini?" Karena engkau melihat kegelapan, engkau gambarkan demikian, maka mestinya ada cahaya kesadaran yang memungkinkan engkau melihat kegelapan ini. Itulah cahaya atma, atma jyothi. Hanya melalui cahaya tertinggi inilah cahaya lainnya bersinar.

Pada waktu perayaan Dipawali engkau menyalakan satu lilin dan dari lilin itu engkau menyalakan semua lilin serta lampu lainnya. Nyala pertama merupakan dasar untuk menyalakan lainnya; karena mempunyai nyala pertama inilah maka engkau dapat menyalakan banyak lilin yang lain. Nyala pertama yang menjadi pokok untuk menyalakan yang lain-lain ialah atma-jyothi; lampu-lampu lain yang dinyalakan dengan satu atma-jyothi ini adalah lampu-lampu individual yang menggambarkan setiap makhluk. Beraneka ragam lampu dalam semua makhluk yang tidak terhingga banyaknya dinyalakan dengan bantuan satu atma-jyothi. Karena atma jyothi inilah mata dapat melihat. Ia memancarkan sinar dari dalam dan menerangi segala makhluk, segala benda, dan semua sumber cahaya seperti matahari serta bulan. Mungkin engkau bertanya, karena engkau tidak dapat melihat atma-jyothi ini, bagaimana engkau tahu bahwa ia menerangi semua benda dan sumber cahaya? Contoh sebuah baterai dapat menjelaskan hal ini.

Engkau tidak dapat melihat tenaga listrik yang ada dalam baterai, tetapi kalau tombolnya kau tekan, arus listrik mengalir, engkau dapat melihat nyala dalam bola lampu. Jika tidak ada tenaga listrik dalam baterai, engkau tidak akan dapat menyalakan bola lampu itu. Badan dapat dianggap sebagai lampu listrik yang diatur oleh sel baterai yaitu pikiran; mata adalah bola lampu dan budi adalah knop yang mengaturnya. Dalam baterai pikiran ini tersimpan tenaga istimewa yang bersumber dari atma. Dalam baterai listrik biasa tenaga listrik cepat habis, tetapi arus atma mengalir terus melalui pikiran. Weda menyatakan bahwa pikiran merupakan wadah untuk menyimpan tenaga atma. Sumber tenaga yang tiada habisnya inilah yang memberikan kesenangan sementara bila seseorang melihat benda yang bagus.

Segala kebahagiaan dan kesenangan yang engkau nikmati di dunia ini hanya sementara dan hanya merupakan pantulan dari kebahagiaan yang tidak terhingga yang ada di dalam dirimu. Karena ketidaktahuan engkau mengira bahwa kebahagiaan itu berasal dari objek-objek indera dan mengira bahwa kebahagiaan sementara inilah yang sejati. Tetapi sesungguhnya hanya yang kekallah yang sejati. Kebahagiaan sementara yang dikaitkan dengan benda-benda duniawi bukanlah kebahagiaan sejati. Hanya atmananda, kebahagiaan atma yang abadilah yang sejati, yang lain timbul dan tenggelam. Segala yang engkau lihat dalam alam sadar hilang lenyap dalam alam mimpi. Segala suka duka yang engkau alami dalam alam mimpi engkau tinggalkan ketika engkau kembali ke alam sadar. Orang dan benda yang engkau lihat dalam alam sadar akan tampak sebagai bayangan yang berubah-ubah dalam alam mimpi, kemudian bayangan itu terserap seluruhnya dan lenyap dalam tahap tidur nyenyak. Dengan demikian kebahagiaanmu berubah karena alam ini berubah.

Segala kebahagiaan duniawi yang engkau kira kekal abadi akhirnya akan menyebabkan kesulitan dan mengakibatkan kesedihan. Sebab itu Krishna berkata kepada Arjuna, "Perhatikan hanya kebenaran yang mendasar, maka perwujudannya tidak akan menyusahkan engkau". Dasarnya yang pokok tidak berubah, sedangkan perwujudannya yang tergantung pada dasar itu terus berubah. Jika dasar serta perwujudannya berubah, tidak mungkin engkau hidup.

Perhatikan contoh yang sederhana ini:
Bila bepergian dari satu tempat ke tempat lain mungkin engkau menggunakan kendaraan yang berbeda-beda seperti mobil, kereta api, bus, dan lain-lain. Laju mobil cukup cepat, begitu juga bus, atau bahkan berjalan kaki pun kadang-kadang cepat. Apapun yang engkau kendarai, kendaraan itu melaju di atas jalan yang tetap tidak bergerak atau tidak berubah. Misalkan bersamaan dengan lajunya mobil atau bus, jalan ikut bergerak cepat. Apakah yang terjadi. Perjalananmu tidak bisa maju. Agar tujuan dapat dicapai, jalan harus diam. Begitu pula engkau dapat menikmati benda-benda duniawi yang tidak kekal dan terus berubah karena sumber atma, penghuni hatimu, tetap dan tidak bergerak. Tetapi Krishna memperingatkan Arjuna, "Arjuna, dunia ini fana; ia berubah-ubah dan penuh dengan penderitaan. Hidup di dunia yang terus mengalami perubahan dan pergantian ini tidak memungkinkan engkau menikmati kebahagiaan abadi. Lepaskan dia dan carilah pengetahuan rohani; carilah atma. Atma tetap tidak berubah-ubah; dalam atma engkau akan menemukan kebahagiaan yang tiada habisnya yang selama ini kau cari dengan sia-sia di luar dirimu, dalam keduniawian.

Mungkin engkau mengira bahwa jika anak-anak muda yang duduk di sini diajari pengendalian indera atau pengendalian nafsu, mereka akan menjadi manusia lamban yang tidak berdaya. Tetapi tidak ada yang mengajar mereka supaya tidak mempergunakan indera mereka. Mereka hanya diberitahu agar belajar mengendalikan indera mereka sebaik-baiknya. Pada mobil ada rem, kalau ada bahaya engkau menggunakan rem itu untuk menghentikan mobil. Murid-murid harus memperhatikan ini dengan baik. Kalau Swami menyuruh engkau mengendalikan indera dan mengendalikan pikiran, mungkin ada yang bertanya-tanya apakah dengan demikian engkau dapat hidup dan melaksanakan tugas sehari-hari. Swami tidak menyuruh engkau mengendarai mobil dengan menaruh kaki pada rem, tetapi agar engkau menggunakan rem jika perlu mengendalikan mobil, bila ada suatu bahaya. Bila ada bahaya seperti pikiran jahat, perasaan jahat, penglihatan jahat, atau pendengaran jahat, dan sebagainya maka engkau harus mengendalikannya. Jika engkau tidak menggunakan rem sama sekali sudah pasti engkau akan mendapatkan kesulitan. Sapi jantan yang tidak dapat dikendalikan, kuda tanpa tali kekang, mobil tanpa rem, dan manusia tanpa pengendalian hawa nafsu, semuanya berbahaya dan berakibat malapetaka.

"Karena itu Arjuna," kata Krishna, "Kendalikanlah indera serta pikiranmu dan ketahuilah cacat yang melekat pada semua benda duniawi. Maka engkau dapat hidup bahagia di mana pun juga". Wedanta tidak pernah mengajarkan bahwa engkau harus meninggalkan keluarga atau meninggalkan tugas-tugas hidupmu. Gunakanlah inderamu sebaik-baiknya sesuai dengan etika, pada waktunya, serta pada tempatnya. Dalam hubungan inilah Bhagawad Gita mengajarkan disiplin dengan memperhatikan batas-batas dalam segala kegiatan. Jika apa yang engkau lakukan benar dan berada dalam batas-batas kewajaran maka tidak akan membahayakan, tetapi bila dilakukan secara berlebih-lebihan, kegiatan yang naifpun bisa berakibat buruk. Misalnya, makan terlalu banyak dapat mengakibatkan gangguan pencernaan dan mengganggu pikiran. Begitu juga terlalu banyak berpikir akan berbahaya untuk pikiran. Sama pula halnya dengan keterikatan; keterikatan yang berlebihan juga merupakan penyakit jiwa, tetapi keterikatan yang ada batasnya tidak begitu berbahaya. Sebagaimana rem pada mobil digunakan untuk kesejahteraan dan perlindungan penumpang, begitu pula organ-organ indera harus dikendalikan dan digunakan untuk kesejahteraan dan perlindungan penghuni badan. Itulah sebabnya Krishna tak henti-hentinya mengajarkan agar Arjuna melakukan pengendalian indera.

Pengendalian indera ini seperti sumbu lampu hatimu. Hanya memiliki sumbu pengendalian indera tidaklah cukup. Engkau juga harus mempunyai minyak, yaitu bahan bakar lampu; itulah pengabdianmu. Juga harus ada tempat minyak, itulah ketidakterikatanmu. Jika engkau mempunyai tempatnya, minyak, dan sumbu, dengan mudah engkau dapat menyalakan lampu. Meskipun begitu harus ada seseorang yang datang dan menyalakan lampu itu. Seseorang itu adalah Tuhan. Setelah engkau mencapai ketidakterikatan, mempunyai rasa pengabdian, dan dapat mengendalikan indera, Tuhan akan datang dan menyalakan lampu dalam hatimu. Untuk Arjuna, Krihsnalah yang melakukan pekerjaan suci itu yaitu menyalakan lampu dan menampakkan keindahan serta kecemerlangan atma-jyothi dalam hati Arjuna.

Misalkan engkau mempunyai kembang, sebuah jarum, dan benang, apakah semua itu dapat begitu saja menjadi untaian bunga? Tidak. Harus ada orang yang merangkai kembang itu. Mungkin engkau mempunyai emas dan permata, tetapi tanpa bantuan tukang emas, engkau tidak akan mendapat perhiasan yang indah dari bahan tersebut. Walaupun ada kecerdasan dan pengetahuan, tanpa bantuan guru, bagaimana engkau bisa menjadi orang terpelajar? Walaupun ada buku penuh dengan huruf dan engkau melihatnya, tetapi kalau engkau tidak diajari membaca, buku itu tidak ada artinya dan tidak berguna bagimu. Ada atma, ada ajaran spiritual, ada kerinduan akan penerangan batin, tetapi masih harus ada guru untuk menyampaikan ilmu keabadian itu kepadamu. Dalam hal atma vidya, pengetahuan suci tentang diri yang sejati, guru yang datang mengajar engkau adalah guru untuk seluruh dunia, Jagath Guru, Tuhan sendirilah yang akan menuntun engkau untuk mencapai tujuan. Jika engkau siap menyadari kenyataan sejati yang mendasari segala benda duniawi dan menemukan asas ketuhanan dalam dirimu maka engkau memerlukan guru sejati, jagath guru, untuk mengajarkan engkau, dan Beliau pasti akan datang untuk melakukan hal itu. Untuk Arjuna, guru spiritualnya adalah Krishna, dan Beliau mulai mengajarkan pengendalian indera atau pengendalian hawa nafsu kepada Arjuna.

Engkau harus meluangkan waktu untuk merenungkan makna yang mendalam ajaran pengendalian indera dan hawa nafsu yang diajarkan Krishna kepada Arjuna dalam media pertempuran Dharmakshetra.
 
PERCAKAPAN 20

TANPA PENGETAHUAN DIRI SEJATI, PENGETAHUAN KEDUNIAWIAN TIADA BERGUNA


Dalam Bhagawad Gita Krishna mengajarkan bahwa bila engkau mengembangkan pengetahuan spiritual, segala ketidaktahuanmu akan lenyap, maka kesusahan, kesulitan, dan kesedihanmu akan lenyap pula.

Selama engkau menyamakan dirimu dengan tubuh, engkau akan terus menerus mengalami kesulitan dan kesedihan. Sebab utama engkau memperoleh badan ini adalah agar engkau dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan engkau menuai buah dari perbuatanmu yang lampau, karmamu yang lalu. Tetapi mengapa engkau menumpuk karma ini? Sebab terjadinya karma ialah raga dan dwesha, keinginan atau keterikatanmu kepada sesuatu dan ketidaksenangan atau penolakan terhadap yang lain. Apakah kiranya penyebab daya tarik dan penolakan ini? Sebabnya ialah sifat mendua itu. Engkau menganggap dunia ini nyata dan penuh dengan benda-benda yang terpisah dari dirimu. Dari manakah sumber sifat mendua ini? Sumbernya adalah ketidaktahuan, selubung hitam yang menyelimuti pengetahuan kesejatianmu. Engkau telah melupakan sifat keesaan seluruh makhluk, engkau tidak lagi menyadari dasar ketuhanan segala yang ada. Engkau tidak lagi melihat atma, dirimu yang sejati. Karena ketidaktahuan inilah maka engkau mengalami kesedihan dan kesengsaraan. Jika engkau ingin membebaskan diri dari kegelapan ketidaktahuan ini, engkau harus mendapat cahaya pengetahuan. Satu-satunya yang dapat menghilangkan kegelapan ialah terang, demikian juga satu-satunya yang dapat melenyapkan kebodohan ialah kebijaksanaan atau pengetahuan spiritual. Ketidaktahuan telah menutupi pengetahuan ketuhanan sehingga engkau tidak bisa melihat kebenaran. Sama seperti bara yang tertutup abu, kebijaksanaanmu tertutup oleh abu ketidaktahuanmu dan karena itu engkau tidak mampu menyadari kenyataanmu yang sejati.

Di matamu ada daya penglihatan, tetapi kalau ada katarak, engkau tidak dapat melihat. Hanya setelah dilakukan operasi penglihatanmu akan pulih kembali. Begitu pula hanya setelah diadakan operasi spiritual dan awan kebodohan dilenyapkan maka matahari kebijaksanaan akan bersinar dengan leluasa, sama seperti sinar matahari yang masuk ke kamar lewat jendela bila gordennya dibuka. Prinsip ketuhanan ada pada setiap pribadi, jadi tidak mungkin kalau seseorang sama sekali tidak memiliki kebijaksanaan. Tidak dapat diragukan bahwa seluruh umat manusia akan mencapai sifat ketuhanan. Kehidupan manusia, bila dikembangkan hingga tidak terbatas, akan sama dengan Tuhan. Pikiran manusia, bila dikembangkan hingga tidak terbatas, akan sama dengan daya cipta yang telah menjadikan alam semesta ini. Diri sejati pada manusia dan ketuhanan yang ada dalam dirinya adalah satu dan tidak berbeda. Tambahkanlah ketidakterbatasan pada dirimu maka engkau akan menjadi bersifat Tuhan. Sayangnya, karena mempunyai perwujudan badan, engkau lupa akan sifat ketuhananmu, ketidakterbatasanmu; engkau hanya menyadari pribadimu yang terbatas. Jika engkau ingin mencapai ketidakterbatasan, engkau harus melakukan penyelidikan batin mencari ketuhanan yang ada pada dirimu sendiri.

Bayangkan seseorang yang mendirikan rumah untuk dirinya sendiri. Sejak rumah itu selesai dibangun ia menganggap rumah itu miliknya. Jika ia mati, rumah itu diambil oleh ahli warisnya dan orang itu lalu menyatakan bahwa rumah itu rumahnya. Andaikata lama kelamaan pemilik rumah ini jatuh miskin dan ia harus menjual rumah itu untuk membayar hutangnya. Orang yang membeli rumah itu menyatakan rumah yang baru dibeli sebagai rumahnya. Nah, siapa sebenarnya pemilik rumah itu? Apakah milik orang yang membangun, orang yang mewarisi, atau orang yang membeli? Rumah itu tidak berubah; dengan kata lain bendanya tetap sama seperti semula. Yang berubah ialah orang yang menyatakan diri sebagai pemiliknya. Rumah itu tetap berdiri di sana, tetapi yang menempati berkali-kali berubah. Begitu pula ada eksistensi yang tidak berubah, yaitu atma. Seperti halnya rumah itu, atma tidak terpengaruh oleh para pemilik yang selalu berganti-ganti. Masing-masing menyatakan diri sebagai pemilik aku yang mereka anggap sebagai diri pribadinya. Demikianlah rasa kepemilikan ini terus berubah berganti-ganti, tetapi atma yang dinyatakan sebagai milik pribadi itu tetap tidak terpengaruh oleh pernyataan ini. Adakah obat untuk menyembuhkan penyakit rasa memiliki ini? Berbagai wejangan maupun kitab-kitab suci menyatakan bahwa pikiranlah yang menimbulkan sifat kepemilikan ini. Dikatakan bahwa di samping panca indera, pikiran dapat dianggap sebagai indera yang keenam. Tetapi sebenarnya ia bukan indera seperti indera-indera yang lain; sebenarnya pikiran itu adalah penguasa semua indera lainnya.

Jika tidak ada pikiran, baik anggota badan maupun alat-alat penginderaan tidak akan dapat bekerja sama sekali. Pikiran berkedudukan sebagai pengendali alat-alat indera; ia berfungsi sebagai jembatan menuju kehidupan batin seseorang. Mungkin engkau berada di sini, mata dan telingamu menangkap apa yang terjadi, tetapi jika pikiranmu tidak ada di sini, jika ia melayang-layang ke kampungmu dan memikirkan kejadian di kampung itu maka apa yang terjadi di sini tidak akan terkesan dalam ingatanmu. Setelah itu engkau akan bertanya pada orang yang duduk di sebelahmu, "Apa yang dikatakan oleh Swami? Aku sedang melamun". Apa sebabnya engkau tidak mendengar walau telingamu ada di sini? Apakah sebabnya engkau tidak melihat walau engkau duduk di sini? Penyebabnya ialah pikiran. Kalau pikiranmu sedang melayang-layang, meskipun engkau duduk di sini, engkau tidak akan menyadari siapa yang ada di sebelahmu; walaupun telingamu ada di sini, engkau tidak tahu apa yang sedang dibicarakan. Makna yang kita peroleh yaitu, pikiranlah yang mengendalikan alat-alat indera; panca indera harus tunduk kepada pikiran. Kalau pikiran dalam keadaan hening, tenang, panca indera tidak akan berfungsi sama sekali. Ada dua keadaan pikiran. Satu, pikiran yang tidak suci, manas, yang kedua adalah pikiran yang suci, chitta. Kalau pikiran diperbudak oleh indera atau nafsu maka ia tidak suci; bila ia menguasai panca indera, tetapi tunduk kepada budi, maka ia suci. Dua keadaan itu hanya merupakan dua segi dari satu pikiran.

Ada suatu contoh:
Sifat saputangan seperti yang Swami pegang ini ialah warna putihnya. Warna putih itu sudah merupakan pembawaannya. Bila saputangan itu engkau pakai, ia kena debu, lalu engkau katakan kotor. Setelah dicuci engkau menganggap saputangan itu bersih lagi. Nah, kain yang bersih dan kain yang kotor itu satu. Kain itu juga, karena kena debu menjadi kotor. Setelah kain itu dicuci dan kotorannya hilang, kain menjadi tanpa noda dan engkau namakan kain bersih. Engkau katakan bahwa tukang cuci membuat kain itu putih. Tetapi sebenarnya ia tidak menjadikan kain itu putih; warna putih sudah merupakan sifat kain itu. Tukang cuci hanya menghilangkan debunya. Begitu juga jika pikiran menyerap kotoran dari panca indera, ia dapat digambarkan sebagai pikiran kotor, tetapi bila pikiran dijauhkan dari panca indera serta kesan indera telah dihapuskan, ia kembali suci. Dalam hubungan inilah engkau dapat mengerti arti kedua kata untuk menggambarkan pikiran, chitta dan manas. Bila pikiran tidak mengandung kotoran atau kecemaran indera, ia dinamakan chitta. Bila terpengaruh oleh indera, ia disebut manas, pikiran yang tidak suci. Manas tidak lain adalah sejumlah buah pikiran; dapat dipandang sebagai proses berpikir. Dalam proses berpikir ini ia menjadi kotor. Ia menyerap kesan indera yang tidak baik dan menjadi kotor; dalam keadaan yang demikian, pikiran engkau namakan manas. Manas tidak mempunyai bentuk tertentu. Jika kau jauhkan pikiran dari indera dan kau arahkan kepada Tuhan, engkau akan dapat membebaskannya dari segala kesulitan dan kesedihan yang berhubungan dengan pikiran yang kotor, yang timbul dari kesan-kesan indera.

Karena itu engkau harus berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan pikiran dari indera dan mengarahkannya kepada Tuhan. Hal ini disebut meditasi atau yoga, persatuan dengan Tuhan. Dengan ini engkau membersihkan pikiran yang kotor dan menjadikannya murni kembali. Pikiran memerlukan sedikit ketenangan. Seperti halnya badan memerlukan istirahat, pikiran perlu ketenangan. Bagaimana pikiran dapat memperoleh ketenangan? Hanya kalau engkau mengendalikan proses berpikir dan memperlambat arus pikiran maka pikiranmu akan mendapat ketenangan. Pikiran selalu mencoba bergerak keluar melalui indera untuk mencapai berbagai objek indera; ini menimbulkan proses berpikir. Jika engkau mengendalikan kecenderungan pikiran yang mengarah keluar ini lalu mengarahkannya ke dalam batin kepada Tuhan, pikiran kotor akan berkurang. Dengan demikian engkau akan menggunakan pikiran dengan baik dan juga memberinya kesempatan beristirahat. Hal ini dinamakan abhyasa yoga 'yoga yang dilakukan terus menerus'. Baiklah kita simak hal ini lebih jauh.

Bila engkau bepergian melalui sungai yang lebar dan deras, pengetahuan apakah yang paling penting engkau miliki? Engkau harus mempunyai pengetahuan berenang. Itu yang nomor satu. Bisa berenang lebih penting daripada pengetahuan yang lain-lain. Jika engkau melalui sungai yang besar, tetapi tidak bisa berenang, betapa pun tinggi pendidikanmu, engkau menghadapi resiko tenggelam. Sebelumnya Swami sudah sering menuturkan cerita ini. Karena ada beberapa murid baru di sini, cerita itu akan diulangi lagi. Ada seorang sarjana terkenal yang harus menyeberangi sungai untuk menghadiri suatu pertemuan penting. Angin dan arus sungai datang dari arah yang berlawanan sehingga perjalanan sangat lambat hari itu. Nah, sarjana ini punya kebiasaan suka bicara, kadang-kadang bicara dalam hati, berulang-ulang mengucapkan ayat-ayat kitab suci, atau bicara kepada siapa saja yang dekat. Hari itu tukang sampan sedang diam asyik mengemudikan sampannya. Sarjana ini, satu-satunya penumpang dalam sampan itu, tidak punya teman bicara sehingga ia mula bicara dengan tukang sampan. "Bapak bisa baca dan menulis?" tanyanya. Tukang sampan menjawab, "Tidak, saya tidak bisa membaca dan menulis". "Wah, Bapak ini orang aneh", kata sarjana itu. "Dewasa ini pemerintah telah mendirikan sekolah di setiap desa, mestinya Bapak sedikit-sedikit bisa membaca dan menulis".

Untuk menghabiskan waktu sang sarjana terus bicara dengan tukang sampan itu, Ia bertanya lagi, "Bapak tahu musik?" Tukang sampan menjawab, "Swami, saya tidak tahu juga!" "Bapak memang orang aneh. Di setiap jalan ada bioskop dan di sekelilingnya ada dua pengeras suara mengumandangkan lagu-lagu populer. Lagi pula siaran radio penuh dengan rekaman lagu-lagu pop. Tidakkah Bapak punya radio transistor untuk mendengarkan musik?" Tukang sampan mengakui, "Saya tidak tahu transistor, apa itu transistor?" Sarjana itu menjawab, "Jika dalam zaman kali ini Bapak tidak tahu transistor, Bapak telah menyia-nyiakan sebagian dari hidup Bapak; sedikitnya seperempat hidup Bapak tenggelam di air". Ia mengajukan pertanyaan yang lain, "Bapak membawa koran?" "Saya tidak punya pendidikan sama sekali; apa gunanya saya membawa koran, Swami?" Sang sarjana berkata lagi, "Tidak apa-apa. Orang biasa bawa koran meskipun tidak punya pendidikan. Lipat saja dan kepit di ketiak; itu sudah umum di mana-mana. Jika Bapak tidak bawa koran, Bapak telah menyia-nyiakan hidup lebih banyak lagi, sekurang-kurangnya separuh hidup bapak sudah masuk ke dalam air".

Beberapa menit kemudian sarjana itu bertanya lagi, "Bapak punya jam? Tolong saya diberi tahu jam berapa sekarang?" "Bila saya tidak berpendidikan dan tidak tahu jam, apa gunanya saya punya jam, Swami?" "Walaupun Bapak tidak tahu cara melihat jam, Bapak paling tidak bisa pakai jam tangan plastik; sekarang ini jam tangan sudah model. Coba pikir berapa banyak hidup Bapak terbuang-buang. Jika Bapak tidak bawa radio, tidak punya koran, dan juga tidak punya jam tangan, maka tiga perempat hidup Bapak sudah masuk dalam air".

Sementara itu angin kencang bertiup dan tiada berapa lama timbul angin ribut. Sampan mulai oleng ke kiri dan ke kanan, air sungai pun segera meluap. Tukang sampan tidak mampu lagi menguasai sampannya. Ia bertanya kepada sarjana itu, "Swami, apakah Swami bisa berenang?" Sarjana menjawab, "Tidak, saya tidak pernah belajar berenang". Ketika ia akan jatuh dari sampan, tukang perahu berkata kepada sang sarjana, "Oh Swami, sungguh sayang! Alangkah sia-sianya! Jika Swami tidak bisa berenang maka sekarang seluruh hidup Swami akan masuk ke dalam air".

Bila engkau bepergian menyeberangi sungai yang deras arusnya, engkau harus bisa berenang. Kalau tidak bisa berenang, segala pengetahuan lainnya; filsafat, fisika, kimia, botani, perniagaan, matematika, politik, dan sebagainya, tidak ada gunanya. Dalam perjalanan hidup engkau melewati sungai yang deras dan tidak dapat diramalkan engkau harus tahu bagaimana caranya agar tetap di atas air dan bisa berenang. Untuk menyeberang dengan selamat engkau harus mempunyai pengetahuan atma dan engkau harus mengembangkan kemampuan timbang menimbang agar mengetahui apa yang berguna dan apa yang tidak berguna untuk menyeberangi sungai kehidupan duniawi. Bila engkau tidak mengembangkan kemampuan dalam bidang ini maka tidak akan ada jalan bagimu untuk berhasil dalam hidup. Selama engkau menjadikan kekayaan, harta benda, dan keduniawian sebagai landasan hidupmu, engkau tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan sejati. Ada dua hal yang harus dicapai oleh setiap orang. Pertama adalah kebebasan luar dan yang lain kebebasan dalam. Kebebasan luar berbicara masalah kemerdekaan, bebas dari ikatan atau pembatasan luar atau lahiriah. Kebebasan dalam atau kebebasan batin berarti bebas dari ikatan indera; engkau mengendalikan inderamu sepenuhnya. Setiap orang harus mewujudkan dua kebebasan ini.

Di dunia luar, selama engkau berada di bawa perintah orang lain seperti raja atau perintah negara asing, engkau tidak akan mendapat kebahagiaan sejati. Dalam dunia spiritual, selama engkau masih diperbudak oleh indera, engkau juga tidak akan dapat menikmati kebebasan sejati. Untuk kebebasan duniawi pun pengendalian indera sangat penting. Tetapi untuk menguasai dunia rohani, satu sifat paling penting yang harus engkau kembangkan adalah pengendalian indera dengan mengendalikan pikiran. Setelah engkau berhasil mengendalikan pikiran, engkau akan mendapat kebahagiaan sejati, lahir dan batin, karena engkau akan dapat melihat Tuhan di mana-mana.

Pengendalian pikiran dan indera merupakan kemenangan yang harus dicapai oleh seluruh umat manusia. Sampai saat ini engkau ketagihan berbagai macam kesenangan dan kenikmatan; engkau terus menerus berdoa memohon kebahagiaan, tetapi engkau tidak berusaha sungguh-sungguh mencari di mana kebahagiaan itu bisa didapatkan. Krishna berkata kepada Arjuna, "Engkau menipu dirimu sendiri, mengira bahwa engkau bisa mendapat kebahagiaan dan ketenangan dalam hidupmu sehari-hari; engkau tidak akan menemukan kebahagiaan sejati dalam hidupmu itu. Objek indera tidak dapat memberikan kebahagiaan yang engkau cari. Hanya bila engkau mengendalikan inderamu engkau akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan." Apakah engkau percaya akan adanya Tuhan atau tidak percaya adanya Tuhan, engkau harus mampu mengendalikan inderamu. Jangan dibiarkan bergairah dan mengejar objek-objek indera. Bila indera bergairah, ini akan mengakibatkan berbagai kelemahan dan dalam proses itu engkau lupa akan Tuhan. Jangan menuruti hawa nafsu, melainkan pusatkan pikiranmu kepada Tuhan; tanpa rahmat-Nya kekuatanmu akan meninggalkan dirimu dan engkau tidak akan dapat melakukan pekerjaan yang berguna.

Selama Arjuna mendapat rahmat dan dekat dengan Krishna, ia seorang pahlawan yang perkasa dan mampu menyelesaikan berbagai pekerjaan yang hebat. Setelah Krishna meninggalkan raga-Nya, Arjuna kehilangan seluruh keberanian dan kekuatannya. Ketika Arjuna membawa para wanita dan anak-anak mereka ke Hastinapura, ibu kota Pandawa, di hutan ia diserang oleh gerombolan perampok. Arjuna berusaha keras melawan para perampok itu dan membebaskan wanita dan anak-anaknya dari cengkraman para perampok yang ganas, tetapi ia tidak berhasil. Dalam berbagai pertempuran selama perang Mahabharata, Arjuna mampu bertempur dan mengalahkan begitu banyak perwira yang perkasa, tetapi ia tidak mampu menyelesaikan pekerjaan kecil seperti menumpas perampok di hutan dan menolong membebaskan wanita dan anak-anaknya yang ia lindungi. Apakah sebabnya? Sampai saat itu Arjuna selalu berpikir bahwa keberanian dan kekuatannya yang telah membawa berbagai kemenangan yang diperolehnya. Tetapi kekuatan itu bukan miliknya; kekuatan itu diberikan kepadanya oleh Tuhan. Walaupun seseorang mungkin dikaruniai kekuatan dan tenaga sorgawi, ia terkecoh dan mengira bahwa kekuatan yang ia miliki semata-mata adalah kekuatannya sendiri sebagai manusia. Demikianlah keadaan Arjuna. Setelah ia kehilangan kekuatan anugerah Tuhan, ia tidak mampu menyelesaikan pekerjaan sekecil apa pun.

Manusia dapat melakukan bermacam-macam kegiatan karena sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya. Sifat ketuhanan itu memberinya segala tenaga, kekuatan, dan kemampuan. Tanpa tenaga dan kekuatan Tuhan ini manusia tidak dapat menyelesaikan apa-apa. Tanpa kualitas ketuhanan, pekerjaan yang paling tidak berarti pun tidak akan menghasilkan buah. Perhatikan contoh ini. Misalnya engkau membuat amplop bagus dari kertas. Engkau menuliskan alamat Swami di atas amplop itu dengan tulisan yang indah dan di dalamnya kau masukkan surat yang manis, ditulis dengan huruf indah, dan dihias dengan aneka warna yang menyedapkan mata. Pinggiran amplop ini juga kau beri hiasan yang berseni dan indah serta berwarna. Surat telah engkau masukkan ke dalam amplop, engkau lem dan engkau poskan. Namun dengan segala usaha dan keahlianmu, surat itu tidak pernah sampai kepada Swami. Mengapa demikian? Sebabnya ialah engkau tidak menempelkan perangko pada amplop itu. Segala hiasan dan tulisan indahmu tidak menolong agar surat itu sampai ke Swami.

Surat yang dimasukkan dalam kotak surat di asrama pun tidak akan sampai ke Prasanthi Nilayam yang jauhnya kurang dari satu setengah kilometer jika tanpa perangko. Tetapi jika surat itu dibubuhi perangko, ia akan melalui ribuan kilometer dan sampai ke tempat tujuannya dengan baik. Kantor pos tidak akan melihat hiasan, huruf-huruf yang indah, atau warna serta gambarannya. Mereka tidak akan memperhatikan karya senimu yang indah itu. Mereka hanya melihat apakah surat itu diberi perangko yang benar. Begitu pula Tuhan hanya mau tahu kesucian hati. Ia tidak mengindahkan segala kesarjanaan, keberhasilan, jabatan, serta kekayaanmu. Hanya orang-orang yang memikirkan keduniawianlah yang melihat hal itu, tetapi Tuhan tidak (menghiraukannya). Tidak ada gunanya mempunyai serentetan gelar kesarjanaan dan mencapai keahlian dalam suatu bidang jika hatimu tidak disucikan. Dalam sistem pendidikan yang kita pakai di sini, nilai-nilai yang engkau amalkan setiap hari berupa kebenaran dan kejujuranlah yang akan menopang engkau sepanjang hidupmu dan menjadi harta milikmu yang utama.

Apakah orang lapar akan merasa kenyang jika hanya engkau tunjukkan kepadanya bermacam-macam makanan lezat? Apakah orang miskin dapat bebas dari kemiskinan hanya dengan mendengarkan tentang kekayaan? Apakah orang sakit dapat disembuhkan jika engkau hanya menceritakan kepadanya berbagai macam obat yang bisa menyembuhkannya? Hanya dengan mendengarkan kebenaran utama Bhagawad Gita dan kitab-kitab suci lainnya engkau tidak akan memperoleh manfaat yang banyak. Jika engkau mengambil beberapa pelajaran yang engkau serap dari ceramah-ceramah yang engkau dengarkan, dan kau laksanakan paling tidak satu dua kebenaran maka engkau akan dapat memperoleh kebahagiaan sejati. Yang teramat penting dalam ajaran-ajaran ini adalah pengendalian indera. Krishna berkata kepada Arjuna, "Arjuna, jika engkau tidak mampu mengendalikan inderamu, apa yang dapat engkau capai di dunia ini?" Sama seperti Prahlada mengatakan kepada ayahnya, dan Swami telah berulang kali mengatakan, "Oh Raja, engkau mampu menaklukkan begitu banyak musuh, tetapi engkau tidak dapat menaklukkan pikirannya sendiri, bagaimana ia akan bisa berhasil merasakan madu surgawi yang manis?

Hal paling penting yang harus engkau sadari yaitu, prinsip atma yang sama ada dalam setiap hati manusia. Hanya ada satu matahari untuk semua manusia. Makhluk yang berbeda-beda tidak mempunyai matahari sendiri-sendiri, tidak ada matahari tersendiri untuk setiap jenis kehidupan yang berlainan, tidak ada matahari tersendiri untuk kehidupan yang berlainan di setiap pelosok dunia yang berbeda-beda. Hanya ada satu matahari. Ada jambangan tanah liat, ada mangkuk kuningan, ada mangkuk perak atau tembaga, mungkin ada ribuan mangkuk yang berbeda-beda, semuanya berisi air, tetapi hanya ada satu matahari bersinar di langit yang bayangannya tercermin dalam air di setiap mangkuk. Karena bayangan yang banyak itu, kelihatannya matahari banyak, tetapi walaupun mangkuk-mangkuk itu berbeda dan bayangan matahari banyak, matahari yang dipantulkan hanya satu. Nilai setiap mangkuk juga berbeda; mangkuk perak sangat mahal dibandingkan dengan mangkuk tanah liat, namun demikian matahari yang dipantulkan hanya matahari yang satu itu juga.

Begitu pula dari yang paling pandai sampai kepada orang yang paling dungu, dari yang paling kaya sampai yang paling hina, tubuhnya berbeda-beda, tetapi atma yang dipantulkan dalam badan-badan itu, Yang Maha Esa yang bersemayam dalam semua badan itu adalah satu atma juga. Pakaian yang engkau pakai dan perhiasan yang engkau kenakan mungkin sangat mahal; orang miskin tidak akan mampu memiliki barang yang mahal seperti itu. Ini seperti perbedaan nilai mangkuk-mangkuk itu, tetapi ketuhanan di dalam semua badan itu hanya satu. Kalau engkau telah menyadari kebenaran ini, engkau akan dapat melakukan pengendalian indera dengan mudah. Daripada berusaha mengendalikan orang lain, engkau akan berusaha mengendalikan dirimu sendiri. Karena siapa yang akan menggunakan kekuasaan atau wewenangnya dan siapa yang dikuasai? Cacat dan kesalahan ada pada setiap orang. Kalau seseorang berbuat salah, mungkin tugasmulah menunjukkan jalan yang benar. Tetapi yang paling penting adalah memperbaiki dirimu sendiri dan mengerjakan tugas yang diberikan kepadamu dengan selalu menyadari bahwa Tuhan Yang Maha Esa ada pada setiap orang. Ketidaktahuan itu sangat dalam. Ia menutupi kebenaran yang sejati. Tidak mungkin menyingkirkan ketidaktahuan yang tebal ini bagaimanapun besar usahamu. Pada pagi hari jam 7.00 meskipun tinggi badanmu hanya kira-kira 1,5 meter, panjang bayanganmu kira-kira 15 meter. Bagaimana mengurangi panjang bayangan lima belas meter ini? Mungkinkah melawan bayangan itu? Kalau engkau peringatkan dia, apakah ia akan mendengarkan kata-katamu? Jika engkau mencelanya, akan berkurangkah panjangnya? Apapun yang kau lakukan, panjangnya tidak akan berkurang tetapi bila matahari makin tinggi, panjang bayangan makin pendek dengan sendirinya. Kalau matahari berada di atas kepala bayanganmu dengan sendirinya akan jatuh di kaki dengan kakimu, hilang dari pandangan mata. Walaupun tinggimu 1,5 meter ketidaktahuanmu 15 meter! Karena itu engkau harus berusaha melakukan penyelidikan batin sehingga kebijaksanaanmu tambah. Bila matahari kebijaksanaan membumbung makin tinggi, ketidaktahuan akan makin berkurang, dengan cara ini ketidaktahuanmu dapat dimusnahkan sama sekali, ini salah satu jalan.

Ada jalan lain, pada waktu engkau mengetahui bahwa bayanganmu panjangnya 15 meter. Engkau menyadari bahwa engkau tidak dapat mengalahkannya dengan menghadapi dan mencoba menginjaknya; juga engkau menyadari bahwa dengan berpaling ke arahnya, bayanganmu tidak makin pendek atau lenyap dari pandangan. Jangan melihat ke arah bayangan, berpalinglah ke arah matahari, maka bayanganmu dengan sendirinya akan ada di belakangmu, dan betapapun besarnya, engkau tidak akan melihatnya lagi karena ia tetap berada di luar pandangan. Sebab itu, engkau tidak perlu memikirkan ketidaktahuan ini, melainkan pikirkanlah selalu matahari kebijaksanaan; dengan jalan itu engkau menempatkan bayangan kekaburan batin di belakangmu dan matahari di depanmu, maka engkau tidak akan terkena pengaruh bayangan ini lagi. Ini berarti engkau harus selalu mengarahkan pandanganmu kepada Tuhan. Kedua jalan ini harus kau tempuh. Arahkan selalu pandanganmu kepada Tuhan dan gunakan budimu untuk meningkatkan kebijaksanaan.

Jika engkau tidak mengarahkan dirimu kepada Tuhan dan meningkatkan kebijaksanaan, tetapi harus berpaling kepada keduniawian, maka seperti halnya bayangan dan matahari yang sedang terbenam, kekaburan batinmu akan terus bertambah dan engkau akan tersesat.
"Karena itu," Krishna memperingatkan Arjuna, "Gunakanlah akal budimu untuk meningkatkan pengetahuan dan dengan demikian ketidaktahuanmu akan termusnahkan. Pada saat ketidaktahuan terbinasakan, pandangan mendua akan lenyap. Kalau pandangan mendua sudah tersingkirkan, kebencian dan keterikatanmu akan lenyap. Kalau kebencian dan keterikatan sudah lenyap, kesadaranmu juga musnah. Jika tidak ada lagi kesadaran badan maka tidak akan ada kesedihan."

Ketahuilah, jika engkau ingin mengatasi kesadaran badan maka keterikatan dan kebencian harus disingkirkan. Bila keterikatan dan kebencian hilang, pandangan mendua akan musnah. Bila pandangan mendua lenyap, ketidaktahuan lenyap. Karena itu Wedanta mengajarkan bahwa hanya melalui kebijaksanaanlah engkau dapat memusnahkan ketidaktahuan dan mencapai tujuan akhir. Pengetahuan apakah yang harus engkau kembangkan? Dapatkah pengetahuan itu dicapai dengan memperoleh pengetahuan duniawi di dunia? Tidak. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan keduniawian; pengetahuan ini hanya berhubungan dengan pengalaman batin. Hanya bila engkau mengembangkan rasa percaya diri maka engkau dapat mengembangkan kepercayaan yang kuat kepada Tuhan. Jika engkau tidak percaya kepada dirimu sendiri, engkau tidak dapat benar-benar percaya kepada Tuhan. Jika engkau percaya kepada dirimu sendiri maka engkau dapat percaya kepada Tuhan. Untuk mengembangkan kepercayaan yang kuat dalam dirimu, engkau harus terus menerus melakukan penyelidikan batin.

Sejak bangun bagi sampai mau tidur pada malam hari engkau tak henti-hentinya mengatakan saya, saya, saya, saya sendiri, dan punya saya. Tetapi pada waktu engkau mengatakan saya pun, tahukah engkau siapa sebenarnya saya ini? Engkau berkata, "Ini badanku. Ini akal budiku. Ini perasaan batinku. Ini inderaku", tetapi pernahkah engkau bertanya dalam hati, "Siapakah aku?" Jika engkau tidak pernah menanyakan kebenaran dirimu, apa gunanya segala pengetahuan yang engkau miliki? Jika engkau tidak mau berusaha melakukan sendiri penyelidikan batin ini, siapa yang mau datang dan menghapus tulisan di dahimu? Engkau bukannya melakukan penyelidikan diri, tetapi malahan engkau biarkan pikiran buruk memasuki kepalamu sehingga segala yang engkau pikirkan sia-sia. Engkau harus menyadari bila engkau mengatakan, "Ini saputangan saya", maka engkau berbeda dengan objek itu, yaitu saputangan. Engkau mengatakan, "Ini badan saya", engkau tidak mengatakan, "Saya badan ini". Bila engkau berkata, "Ini badan saya", engkau mengatakan bahwa engkau dan badan berbeda dan terpisah satu dengan yang lain. Jika engkau menyelidiki siapakah engkau ini yang mengatakan hal tersebut maka engkau akan dibimbing kepada sang penghuni. Engkau harus menyelidiki siapakah penghuni itu, dengan kata lain, siapa yang memiliki ini semua. Hanya bila ada pemiliknya akan ada artinya mengatakan, "Ini barang saya, ini tanah saya". Hanya si pemilik barang akan berkata, "Ini barang saya". Dalam hal badan dan pikiran, pemilik ini adalah penghuninya. Pemilik ini tidak akan mengalami perubahan apa pun; ia tidak akan pernah meninggalkan engkau. Karena itu, dengan jalan penyelidikan batin, engkau harus berusaha menemukan dan menyadari ketuhanan yang tidak berubah dalam dirimu, yaitu kenyataan yang sejati.

Setiap peminat kehidupan rohani harus melakukan penyelidikan batin. Dalam segala kegiatan spiritual yang engkau lakukan, engkau harus menggunakan tiga perempat waktumu untuk penyelidikan batin, maka engkau akan mendapat hasil yang penuh. Hanya dengan menggunakan waktumu sebaik-baiknya, dengan menyucikan badanmu, dan dengan menyucikan semua perbuatanmu, engkau akan dapat mencapai tujuan. Sebab utama segala penderitaan adalah kelemahan indera. Jagalah agar inderamu kuat dan terkendali, arahkan pikiranmu ke jalan yang benar dan milikilah tekad yang membaja. Bhagawad Gita mengajarkan bahwa engkau harus menguasai inderamu, bukan membinasakan mereka. Gita tidak mengajarkan bahwa engkau harus meninggalkan pekerjaan, melainkan agar engkau tidak mengharapkan hasil dari karyamu. Karena itu engkau harus melakukan pekerjaanmu. Walaupun Tuhan tidak perlu melakukan pekerjaan tertentu, engkau dapatkan Beliau bekerja dengan tiada hentinya. Jika Tuhan terus bekerja, tidakkah engkau harus pula bekerja?

Laksanakan tugasmu dan gunakan inderamu dengan benar. Gunakan inderamu dalam batas-batas yang wajar, untuk tujuan yang telah ditetapkan. Jangan menggunakan inderamu untuk hal yang tidak benar. Inilah ajaran utama dalam Bhagawad Gita.
note: lagi-lagi saya tekankan agar dibaca dengan bijak..... :)
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.