• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Dhammapada Atthakatha

Syair 308 (XXII:3. Kisah Para Bhikkhu Yang Tinggal Di Tepi Sungai Vaggumuda)

Waktu itu, sedang terjadi kelaparan di negeri kaum Vajji. Untuk memungkinkan mereka mendapat makanan yang cukup, para bhikkhu menampilkan diri seolah-olah mereka telah mencapai tingkat kesucian, meskipun sesungguhnya mereka belum mencapainya. Karena masyarakat desa mempercayai dan menghormati mereka, maka masyarakat mempersembahkan banyak makanan kepada para bhikkhu dan hanya menyisakan sangat sedikit bagi mereka sendiri.

Pada akhir masa vassa, sebagaimana telah menjadi kebiasaan, para bhikkhu dari semua bagian negeri datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha. Para bhikkhu dari tepi sungai Vaggumuda juga datang. Mereka kelihatan sehat dan segar sedangkan para bhikkhu yang lain terlihat pucat dan lusuh. Sang Buddha berkata kepada semua bhikkhu, menanyakan bagaimana mereka mendapat makanan selama menjalani masa vassa. Kepada para bhikkhu dari tepi sungai Vaggumuda, Sang Buddha bertanya secara khusus apakah mereka mendapat kesulitan memperoleh makanan sehubungan dengan kelaparan yang melanda masyarakat. Mereka menjawab bahwa mereka tidak mendapat kesulitan sama sekali dalam mendapatkan dana makanan.

Sang Buddha mengetahui bagaimana perilaku para bhikkhu tersebut untuk mendapat dana makanan yang cukup. Tetapi Beliau ingin memberi pelajaran kepada mereka dalam hal ini, sehingga Beliau bertanya, "Bagaimana kamu mengatur sedemikian baik untuk mendapatkan dana makanan selama masa vassa ?"

Para bhikkhu bercerita bagaimana mereka berdiskusi di antara mereka sendiri dan kemudian memutuskan bahwa mereka seharusnya menyapa satu sama lain dalam cara sedemikian rupa sehingga para penduduk akan berpikir bahwa mereka benar-benar telah mencapai tingkat pengembangan batin jhana, dan tingkat kesucian.

Kemudian Sang Buddha bertanya kepada mereka apakah mereka telah benar-benar mencapai jhana, dan tingkat kesucian. Ketika mereka menjawab belum, Sang Buddha menegur mereka.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 308 berikut :

Lebih baik menelan bola besi panas seperti bara api daripada selalu menerima makanan dari orang lain dan tetap berkelakuan buruk serta tak terkendali.
 
Syair 309-310 (XXII:4. Kisah Khemaka, Anak Laki-laki Seorang Kaya)

Khemaka, selain kaya, juga sangat tampan dan banyak wanita sangat tertarik kepadanya. Banyak wanita tidak dapat menolak keinginan nafsu seksualnya sehingga mereka menjadi korban pelecehan seksual. Khemaka melakukan perzinaan tanpa penyesalan. Anak buah Raja menangkapnya tiga kali karena perbuatan asusila dan membawanya ke hadapan Raja. Tetapi Raja Pasenadi Kosala tidak dapat berbuat apa-apa karena Khemaka adalah keponakan Anathapindika. Maka Anathapindika sendiri membawa keponakannya menghadap kepada Sang Buddha.

Sang Buddha berbicara kepada Khemaka tentang keburukan perbuatan asusila dan seriusnya akibat yang ditimbulkan. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 309 dan 310 berikut ini :

Orang yang lengah dan berzina akan menerima empat ganjaran, yaitu: pertama, ia akan menerima akibat buruk; kedua, ia tidak dapat tidur dengan tenang; ketiga, namanya tercela; dan keempat, ia akan masuk ke alam neraka.

Ia akan menerima akibat buruk dan kelahiran rendah pada kehidupannya yang akan datang. Sungguh singkat kenikmatan yang diperoleh lelaki dan wanita yang ketakutan, dan raja pun akan menjatuhkan hukuman berat. Karena itu, janganlah seseorang berzina dengan istri orang lain.


Khemaka mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Syair 311-313 (XXII:5. Kisah Bhikkhu Yang Keras Kepala)

Suatu ketika ada seorang bhikkhu yang merasa sangat menyesal karena telah memotong rumput tanpa sengaja. Ia mengakui hal tersebut di hadapan bhikkhu lain. Bhikkhu yang mendapat pengakuan kesalahan tersebut mempunyai sifat sembrono dan keras kepala, ia memandang remeh terhadap kesalahan kecil.

Maka, ia menjawab kepada bhikkhu pertama, "Memotong rumput adalah pelanggaran yang sangat kecil. Jika kamu menyatakan dan mengakui kesalahan kepada bhikkhu lain, secara otomatis kamu bebas dari kesalahan. Tak ada yang perlu dirisaukan." Setelah mengatakan hal itu, ia sendiri mencabut segenggam rumput dengan kedua tangannya untuk menunjukkan bahwa ia hanya menganggap ringan terhadap pelanggaran yang tak berarti ini. Ketika Sang Buddha diberi tahu tentang hal ini, Beliau menegur bhikkhu yang sembrono dan keras kepala itu.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 311, 312, dan 313 berikut ini :

Bagaikan rumput kusa, bila dipegang secara salah akan melukai tangan; begitu juga kehidupan seorang pertapa, apabila dijalankan secara salah akan menyeret orang ke neraka.

Bila suatu pekerjaan dikerjakan dengan seenaknya, suatu tekad tidak dijalankan dengan selayaknya, kehidupan suci tidak dijalankan dengan sepenuh hati; maka semuanya ini tidak akan membuahkan hasil yang besar.

Hendaklah orang mengerjakan sesuatu dengan sepenuh hati. Suatu kehidupan suci yang dijalankan dengan seenaknya akan membangkitkan debu nafsu yang lebih besar.


Pada akhir khotbah Dhamma, bhikkhu yang sembrono dan keras kepala itu menyadari pentingnya pengendalian diri dalam kehidupan seorang bhikkhu, dan mematuhi secara ketat ‘Peraturan Pokok? (Patimokkha) bagi para bhikkhu. Beberapa waktu kemudian, melalui praktek meditasi ‘Pandangan Terang? bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat.
 
Syair 314 (XXII:6. Kisah Seorang Wanita Berwatak Iri Hati)

Seorang wanita dengan perasaan iri hati yang kuat tinggal bersama suaminya di Savatthi. Ia mengetahui bahwa suaminya berselingkuh dengan pelayan wanitanya. Pada suatu hari ia mengikat wanita pelayan tersebut dengan tali yang kuat, memotong telinga dan hidungnya, dan mengurungnya di suatu kamar. Setelah melakukan hal tersebut, ia meminta suaminya untuk menemaninya pergi ke Vihara Jetavana. Tidak lama setelah mereka pergi, beberapa kerabat pelayan tersebut datang di rumah mereka, menemukan pelayan tersebut terikat dan terkunci di suatu kamar. Mereka mendobrak kamar tersebut, melepaskannya dan membawanya ke vihara. Mereka tiba di vihara ketika Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Wanita pelayan tersebut menceritakan kepada Sang Buddha apa yang telah dilakukan oleh majikan wanitanya, bagaimana ia telah dipukuli, dan bagaimana hidung dan telinganya dipotong. Ia berdiri di tengah kerumunan orang agar semua orang dapat melihat bagaimana ia telah diperlakukan dengan buruk.

Kemudian Sang Buddha berkata, "Janganlah berbuat jahat dengan berpikir bahwa orang-orang tidak akan mengetahuinya. Suatu perbuatan buruk yang dilakukan secara rahasia, bia ditemukan, akan membawa penderitaan dan kesedihan; tetapi perbuatan baik dapat dilakukan secara rahasia, karena hal itu hanya akan membawa kebahagiaan dan bukan penderitaan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 314 berikut :

Sebaiknya seseorang tidak melakukan perbuatan jahat, karena di kemudian hari perbuatan itu akan menyiksa dirinya sendiri. Lebih baik seseorang melakukan perbuatan baik, karena setelah melakukannya ia tidak akan menyesal.

Pasangan suami istri itu mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma berakhir.
 
Syair 315 (XXII:7. Kisah Banyak Bhikkhu)

Dalam bulan pertama mereka berdiam di pinggir kota, para bhikkhu diperlakukan dan dirawat dengan baik oleh penduduk kota tersebut. Bulan berikutnya, kota itu dijarah oleh beberapa perampok, bahkan beberapa penduduk diculik sebagai sandera. Karena itu penduduk kota harus memperbaiki kota mereka dan memperkuat pertahanan. Sehingga penduduk tidak dapat lagi memperhatikan kebutuhan para bhikkhu sebanyak mereka inginkan, dan para bhikkhu harus menjaga diri mereka sendiri.

Pada akhir masa vassa, para bhikkhu tersebut datang untuk memberi hormat pada Sang Buddha di Vihara Jetavana, Savatthi. Ketika mengetahui kesulitan yang telah mereka lewati selama masa vassa, Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu, jangan terus berpikir tentang ini atau hal lainnya. Memang sulit untuk mempunyai suatu kehidupan yang tanpa masalah sama sekali. Seperti halnya penduduk kota tersebut menjaga kota mereka, demikian pula seorang bhikkhu seharusnya menjaga dan memelihara pikirannya tetap pada tubuhnya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 315 berikut :

Bagaikan perbatasan negara yang dijaga kuat di bagian dalam dan luar, begitu juga seharusnya engkau menjaga dirimu; janganlah membiarkan kesempatan baik (dalam era ajaran Sang Buddha) ini berlalu. Karena mereka yang melepaskan kesempatan ini akan bersedih hati bila nanti berada di alam neraka.

Para bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma berakhir.
 
Syair 316-317 (XXII:8. Kisah Para Pertapa Nigantha)

Suatu hari, beberapa pertapa Nigantha pergi untuk mengumpulkan dana makanan dengan mangkok mereka yang ditutupi dengan sepotong kain. Beberapa bhikkhu melihat mereka dan berkomentar, "Para pertapa Nigantha ini, yang menutupi tubuh bagian depan lebih terhormat dibandingkan dengan para pertapa Acelaka yang pergi tanpa mengenakan kain penutup apapun." Mendengar komentar ini, para pertapa tersebut menjawab dengan pedas, "Ya, sesungguhnya, kami benar-benar menutupi bagian depan kami (dengan menutupi mangkuk kami); tetapi kami menutupinya bukan karena malu pergi bertelanjang. Kami hanya menutupi mangkuk kami untuk mencegah debu pada makanan kami, karena biarpun debu sekalipun, tetap mengandung kehidupan di dalamnya."

Ketika para bhikkhu tersebut menceritakan apa yang dikatakan para pertapa Nigantha kepada Sang Buddha, Beliau menjawab, "Para bhikkhu, para pertapa tersebut yang pergi dengan menutupi hanya bagian depan tubuh mereka tidak malu dengan apa yang seharusnya memalukan, tetapi malu dengan apa yang seharusnya tidak memalukan; karena pandangan salah mereka, maka mereka hanya akan menuju ke tujuan yang buruk."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 316 dan 317 berikut ini :

Mereka yang merasa malu terhadap apa yang sebenarnya tidak memalukan, dan sebaliknya tidak merasa malu terhadap apa yang sebenarnya memalukan; maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu akan masuk ke alam sengsara.

Mereka yang merasa takut terhadap apa yang sebenarnya tidak menakutkan, dan sebaliknya tidak merasa takut terhadap apa yang sebenarnya menakutkan; maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu akan masuk ke alam sengsara.


Pada akhir khotbah Dhamma ini, banyak pertapa Nigantha menjadi ketakutan dan bergabung dalam Pasamuan Bhikkhu (Sangha).
 
Syair 318-319 (XXII:9. Kisah Murid-murid Para Pertapa Bukan Pengikut Buddha)

Murid-murid dari pertapa-pertapa Titthi tidak ingin anak-anak mereka bermain dengan anak-anak pengikut Sang Buddha. Mereka sering berkata kepada anak-anaknya, "Jangan pergi ke Vihara Jetavana, jangan memberi hormat kepada para bhikkhu dari suku Sakya !"

Suatu ketika, anak-anak laki Titthi tersebut sedang bermain dengan seorang anak laki-laki Buddhis di dekat pintu masuk Vihara Jetavana, mereka merasa sangat haus. Karena anak-anak dari murid-murid pertapa Titthi telah diberitahu oleh orang tua mereka untuk tidak memasuki vihara Buddha, mereka meminta anak laki-laki Buddhis itu untuk pergi ke vihara dan membawakan air untuk mereka. Anak laki-laki Buddhis tersebut pergi masuk ke vihara, memberi hormat kepada Sang Buddha. Setelah minum, ia menceritakan kepada Sang Buddha tentang teman-temannya yang dilarang oleh orang tua mereka untuk memasuki vihara Buddha.

Sang Buddha berkata kepada anak laki-laki tersebut agar disampaikan kepada teman-temannya yang bukan Buddhis untuk datang dan minum di vihara. Ketika anak-anak laki tersebut datang, Sang Buddha memberi khotbah kepada mereka untuk menyesuaikan wataknya yang beraneka ragam. Sebagai hasilnya, anak-anak tersebut menjadi yakin terhadap Tiga Permata (Tiratana), yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Ketika anak-anak tersebut kembali ke rumah, mereka menceritakan kunjungan mereka ke Vihara Jetavana dan tentang Sang Buddha yang telah mengajarkan Tiga Permata kepada mereka.

Karena kebodohannya, para orang tua anak-anak tersebut berteriak, "Anak-anak laki kita telah tidak setia terhadap kepercayaan kita, mereka telah dihancurkan," dan seterusnya. Beberapa tetangga yang pandai menasehati para orang tua yang sedang meratap itu untuk berhenti menangis, dan sebaiknya mengirimkan anak-anak mereka kepada Sang Buddha. Mereka menyetujuinya, dan anak-anak tersebut beserta orang tuanya pergi menghadap Sang Buddha.

Sang Buddha mengetahui mengapa mereka datang. Beliau berkata kepada mereka dalam syair 318 dan 319 berikut ini :

Mereka yang menganggap tercela terhadap apa yang sebenarnya tidak tercela, dan menganggap tidak tercela terhadap apa yang sebenarnya tercela; maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu akan masuk ke alam sengsara.

Mereka yang mengetahui apa yang tercela sebagai tercela, dan apa yang tidak tercela sebagai tidak tercela; maka orang yang menganut pandangan benar seperti itu akan masuk ke alam bahagia.


Pada akhir khotbah Dhamma ini, semua orang yang hadir menjadi yakin terhadap Tiga Permata (Tiratana), dan setelah mendengarkan khotbah selanjutnya dari Sang Buddha, mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti.
 
Bab XXIII-NAGA VAGGA


Syair 320-322 (XXIII:1. Kisah Menaklukkan Diri Sendiri)

Suatu saat ayah Magandiya, karena sangat tertarik dengan kepribadian dan penampilan Sang Buddha, telah mempersembahkan anak perempuannya yang sangat cantik untuk dijadikan isteri Sang Buddha Gotama. Tetapi Sang Buddha menolak persembahan itu dan berkata bahwa Beliau tidak akan mau menyentuh hal itu yang penuh dengan kotoran, sekalipun dengan kakinya. Ketika mendengar kata-kata ini, kedua ayah dan ibu Magandiya melihat kebenaran dalam kata-kata tersebut dan mencapai tingkat kesucian anagami. Tetapi Magandiya menganggap Sang Buddha sebagai musuh dan bertekad untuk membalas dendam kepada Beliau.

Kemudian ia menjadi salah satu dari tiga isteri Raja Udena. Ketika Magandiya mendengar kabar bahwa Sang Buddha telah datang ke Kosambi, ia menyewa beberapa penduduk dan pelayan-pelayannya untuk mencaci maki Sang Buddha saat Beliau memasuki kota untuk berpindapatta. Orang-orang sewaan tersebut mengikuti Sang Buddha dan mencaci maki dengan menggunakan kata-kata yang sedemikian kasar seperti ‘pencuri, bodoh, unta, keledai, suatu ikatan ke neraka’, dan sebagainya. Mendengar kata-kata yang kasar tersebut, Y.A. Ananda memohon kepada Sang Buddha untuk meninggalkan kota dan pergi ke tempat lain.

Tetapi Sang Buddha menolak dan berkata, "Di kota lain, kita juga mungkin dicaci maki dan tidak mungkin untuk selalu berpindah tempat setiap kali seseorang dicaci maki. Lebih baik menyelesaikan masalah di tempat terjadinya masalah. Saya seperti seekor gajah yang menahan panah-panah yang datang dari semua penjuru. Saya juga akan menahan dengan sabar caci maki yang datang dari orang-orang yang tidak memiliki moral."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 320, 321, dan 322 berikut ini :

Seperti seekor gajah di medan perang dapat menahan serangan panah yang dilepaskan dari busur, begitu pula Aku (Tathagata) tetap bersabar terhadap cacian; sesungguhnya, sebagian besar orang mempunyai kelakuan rendah.

Mereka menuntun gajah yang telah terlatih ke hadapan orang banyak. Raja mengendarai gajah yang terlatih ke medan perang. Di antara umat manusia, maka yang terbaik adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri dan dapat bersabar terhadap cacian.

Sungguh baik keledai-keledai yang terlatih, begitu juga kuda-kuda Sindhu dan gajah-gajah perang milik para bangsawan; tetapi yang jauh lebih baik dari semua itu adalah orang yang telah dapat menaklukkan dirinya sendiri.


Pada akhir khotbah Dhamma tersebut, mereka yang telah mencaci maki Sang Buddha menyadari kesalahannya dan datang untuk menghormat Beliau, beberapa di antara mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti.
 
Syair 323 (XXIII:2. Kisah Seorang Bhikkhu Yang Dahulu Sebagai Pelatih Gajah)

Pada suatu kesempatan, beberapa bhikkhu melihat seorang pelatih gajah dan gajahnya di tepi sungai Aciravati. Saat pelatih tersebut menemui kesulitan untuk mengendalikan gajahnya. Salah satu dari para bhikkhu tersebut, yang merupakan bekas pelatih gajah, berkata pada bhikkhu-bhikkhu yang lain bagaimana cara menanganinya dengan mudah. Pelatih gajah tersebut mendengarnya dan melakukan seperti yang dikatakan oleh bhikkhu tersebut. Dengan cepat gajah tersebut ditaklukkan. Setelah tiba kembali di vihara, para bhikkhu memberitahukan kejadian tersebut kepada Sang Buddha.

Sang Buddha mengundang bhikkhu bekas pelatih gajah tersebut dan berkata, "O bhikkhu yang sia-sia, yang jauh dari ‘Jalan?(Magga) dan ‘Hasil?(Phala) ! Kau tidak mendapatkan apapun dengan menaklukkan gajah. Tak ada seorangpun yang dapat pergi ke suatu tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya (yaitu nibbana) dengan menaklukkan gajah; hanya ia yang telah menaklukkan dirinya sendiri yang dapat merealisasinya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 323 berikut :

Tidak dengan mengendarai tunggangan seperti itu seseorang dapat pergi ke tempat yang belum pernah didatangi (nibbana). Namun orang yang telah dapat melatih, menaklukkan, dan mengendalikan dirinya sendiri dapat pergi ke tempat yang belum pernah didatangi itu (nibbana).
 
Syair 324 (XXIII:3. Kisah Seorang Brahmana Tua)

Suatu ketika hiduplah di Savatthi seorang brahmana tua yang memiliki uang delapan laksa. Ia memiliki empat putra. Waktu setiap putranya menikah ia memberi satu laksa kepadanya. Jadi ia telah memberikan empat laksa. Kemudian isteri brahmana tua meninggal dunia. Putra-putranya datang kepadanya dan merawatnya dengan baik. Kenyataannya mereka sangat mencintainya dan menyayanginya. Dengan berlalunya waktu, entah bagaimana, mereka membujuknya untuk memberikan empat laksa yang tersisa. Sehingga akhirnya brahmana tua tidak mempunyai uang sama sekali.

Beberapa waktu kemudian, brahmana tua pergi tinggal bersama putra tertuanya. Setelah beberapa hari, menantu perempuannya berkata kepadanya, "Apakah engkau memberi tambahan uang beberapa ratus atau ribu pada putramu yang tertua ? Tidakkah engkau mengetahui jalan menuju rumah putra-putramu yang lain ?" Mendengar hal itu, brahmana tua menjadi sangat marah dan ia meninggalkan rumah putra tertuanya dan menuju rumah putra keduanya.

Kata-kata yang sama dibuat oleh istri putra keduanya dan orang tua tersebut pergi menuju ke rumah putra ketiganya dan akhirnya ke rumah putra keempat atau putra termuda. Hal yang sama terjadi di rumah semua putranya. Sehingga, orang tua tersebut menjadi tak berdaya; kemudian, dengan membawa tongkat dan mangkuk ia pergi kepada Sang Buddha memohon perlindungan dan nasihat.

Di vihara, brahmana tua tersebut menceritakan pada Sang Buddha bagaimana putra-putranya telah memperlakukannya dan meminta pertolongan dari Beliau. Kemudian Sang Buddha memberinya beberapa syair untuk diingat dan menyuruh untuk mengucapkannya di tempat di mana ada banyak orang berkumpul.

Inti dari syair tersebut adalah "Empat putraku yang bodoh bagaikan raksasa. Mereka memanggilku : ayah!, ayah!. Tetapi, kata-kata itu hanya keluar begitu saja dari mulutnya dan bukan dari hatinya. Mereka pembohong dan penuh tipu daya. Mengikuti nasihat istrinya, mereka mengusirku dari rumah mereka. Sehingga, sekarang saya harus mengemis. Putra-putraku itu bahkan tidak melayaniku dengan lebih baik dibandingkan tongkatku ini."

Ketika brahmana tua itu mengucapkan syair-syair itu, banyak orang di keramaian tersebut mendengarnya, pergi dengan gusar menuju putra-putranya dan bahkan beberapa di antara orang-orang itu mengancam akan membunuh mereka.

Putra-putra brahmana tersebut menjadi ketakutan dan berlutut di kaki ayah mereka untuk meminta maaf. Mereka juga berjanji bahwa mulai hari itu mereka akan merawat ayah mereka dengan layak dan akan menghormati, mencintai, dan menghargainya. Kemudian mereka membawa ayah mereka ke rumah mereka; mereka juga memperingatkan istri-istri mereka untuk merawat sang ayah dengan baik. Bila para istri tidak merawatnya maka mereka akan dipukul sampai mati. Setiap putra memberi sepotong kain dan mengirim satu nampan makanan setiap hari.

Brahmana tersebut menjadi makin sehat daripada sebelumnya dan berat badannya segera kembali ke berat semula. Ia menyadari bahwa ia mendapat siraman manfaat seperti itu atas jasa Sang Buddha. Maka ia pergi menghadap Sang Buddha. Dengan rendah hati memohon Beliau untuk menerima dua nampan makanan dari empat nampan yang biasa ia terima setiap hari dari putra-putranya. Kemudian ia menyuruh putra-putranya untuk mengirimkan dua nampan makanan kepada Sang Buddha.

Suatu hari, putra tertua brahmana itu mengundang Sang Buddha ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, Sang Buddha memberi khotbah tentang manfaat yang diperoleh dengan merawat orang tua. Kemudian, Beliau bercerita kepada mereka tentang kisah seekor gajah bernama Dhanapala yang merawat orang tuanya. Dhanapala ketika ditangkap merindukan orang tuanya yang ditinggal di hutan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 324 berikut :

Pada musim kimpoi, gajah ganas bernama Dhanapalaka sukar dikendalikan; walaupun diikat kuat ia tetap tidak mau makan karena merindukan gajah-gajah lain di hutan.

Brahmana tua beserta empat putra dan istri-istrinya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Syair 325 (XXIII:4. Kisah Raja Pasenadi Dari Kosala)

Suatu hari, Raja Pasenadi dari Kosala pergi ke vihara untuk memberi hormat kepada Sang Buddha setelah raja bersantap dengan banyak. Raja mempunyai kebiasaan makan seperempat sangku (setengah gantang) nasi dan kari daging. Saat di hadapan Sang Buddha, raja merasa sangat mengantuk sehingga ia terus menerus terangguk-angguk menahan kantuk dan hampir tidak dapat mempertahankan dirinya untuk tetap terjaga. Kemudian ia berkata kepada Sang Buddha, "Bhante! Saya merasa sangat tidak nyaman setelah saya makan." Padanya, Sang Buddha menjawab, "O, Raja! Orang serakah banyak makan benar-benar menderita dengan cara seperti itu."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 325 berikut :

Jika seseorang menjadi malas, serakah, rakus akan makanan dan suka merebahkan diri, sama seperti babi hutan yang berguling-guling ke sana kemari. Orang yang bodoh ini akan terus menerus dilahirkan.

Setelah mendengar khotbah Dhamma itu, Raja mengerti pesan tersebut, berangsur-angsur mengurangi jumlah makanan yang dimakannya. Hasilnya, ia menjadi jauh lebih bersemangat dan mudah berjaga, oleh karena itu ia juga berbahagia.
 
Syair 326 (XXIII:5. Kisah Samanera Sanu)

Suatu hari, Samanera Sanu didesak oleh para bhikkhu yang lebih tua untuk naik ke atas mimbar dan mengulang bagian-bagian dari Dhamma yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha. Ketika ia telah menyelesaikan pengulangannya, ia dengan sungguh-sungguh menyebut, "Semoga jasa-jasa yang telah saya peroleh hari ini dengan mengulang syair-syair mulia ini, dinikmati pula oleh ibu dan ayah saya."

Saat itu, dewa-dewa dan raksasa yang pernah menjadi ibu samanera muda ini dalam kehidupan lampaunya turut mendengarkan pengulangannya. Ketika mereka mendengar kata-kata itu, raksasa tersebut sangat gembira dan dengan cepat berteriak, "Putraku sayang, betapa bahagianya saya dapat ikut menikmati jasamu; kau telah melakukannya dengan baik, putraku. Sangat baik! Sangat baik! (Sadhu! Sadhu!)." Karena jasa Samanera Sanu, dewa dan raksasa yang pernah menjadi ibunya menjadi sangat dihormati dan diberi tempat yang utama dalam perkumpulan mereka oleh para dewa dan raksasa lainnya.

Saat samanera tersebut tumbuh menjadi lebih tua, ia ingin kembali pada kehidupan sebagai umat biasa; ia pergi ke rumahnya dan meminta pakaiannya dari ibunya. Ibunya tidak ingin ia meninggalkan Sangha dan mencoba agar ia tidak melakukan hal itu, tetapi ia tetap teguh dengan keputusannya. Untuk mengulur waktu, ibunya menjanjikan untuk memberinya pakaian setelah bersantap makanan. Saat ibunya sedang sibuk memasak makanannya, raksasa yang pernah menjadi ibunya dalam suatu kehidupan yang lampau berpikir, "Jika putraku, Sanu meninggalkan Sangha, saya akan malu dan menjadi tertawaan di antara raksasa dan dewa yang lain. Saya harus mencoba dan menghentikannya agar tidak meninggalkan Sangha."

Kemudian samanera muda dirasuki oleh raksasa tersebut. Anak laki-laki itu berguling-guling di lantai, berkomat-kamit tidak keruan dengan air liur berleleran dari mulutnya. Sang ibu merasa ada bahaya; tetangga berdatangan dan mencoba untuk mengusir makhluk halus tersebut. Kemudian, raksasa itu berbicara, "Samanera ini ingin meninggalkan Sangha dan kembali pada kehidupan umat awam; jika ia berbuat demikian maka ia tidak akan dapat lepas dari dukkha." Setelah mengucapkan kata-kata ini, raksasa tersebut meninggalkan tubuh anak laki-laki tersebut dan anak tersebut menjadi normal kembali.

Melihat ibunya menangis dan para tetangga berkumpul di sekitarnya, ia bertanya apa yang telah terjadi. Ibunya menceritakan pada mereka, semua yang telah terjadi pada samanera muda anaknya dan juga menjelaskan pada mereka bahwa untuk kembali pada kehidupan umat awam setelah meninggalkan Sangha adalah sangat bodoh. Sesungguhnya, meskipun hidup ia seperti orang mati.

Samanera tersebut kemudian menyadari kesalahannya. Dengan membawa tiga jubah dari ibunya, ia kembali ke vihara dan segera diterima sebagai seorang bhikkhu.

Ketika berkata tentang Samanera Sanu, Sang Buddha yang berharap untuk mengajar tentang latihan batin berkata, "Anak-Ku, seseorang yang tidak mengendalikan pikirannya, yang mengembara ke mana-mana, tidak dapat menemukan kebahagiaan. Karena itu, kendalikan pikiranmu seperti seorang pelatih gajah mengendalikan seekor gajah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 326 berikut :

Dahulu pikiran ini mengembara, pergi kepada obyek-obyek yang disukai, diingini, dan kemana yang dikehendaki. Sekarang aku akan mengendalikannya dengan penuh perhatian, seperti seorang penjinak gajah mengendalikan gajah dengan kaitan besi.

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, bhikkhu Sanu memahami ‘Empat Kebenaran Mulia? Kemudian ia mencapai tingkat kesucian arahat.
 
syair 327 (XXIII:6. Kisah Gajah Bernama Paveyyaka)

Gajah Paveyyaka ketika berusia masih muda sangat kuat; kemudian tiba saatnya ia menjadi tua dan lemah. Suatu hari, seperti biasanya Paveyyaka tua pergi ke suatu kolam dan ia terjebak dalam lumpur serta tidak dapat mencapai tepi. Ketika Raja Pasenadi dari Kosala diberitahu tentang hal itu, ia mengirim seorang pelatih gajah untuk menolong gajah itu keluar dari lumpur. Pelatih gajah itu pergi ke tempat di mana gajah itu berada. Di sana, ia memerintahkan pemusik untuk membuat irama perang. Mendengar suasana militer, gajah itu merasa seakan-akan ia berada di medan perang. Semangatnya bangkit, ia mengangkat dirinya sendiri dengan seluruh tenaganya, dan segera keluar dari lumpur.

Ketika para bhikkhu menceritakan kepada Sang Buddha tentang hal ini, Beliau berkata, "Para bhikkhu ! Sama halnya dengan gajah itu menarik dirinya keluar dari lumpur, demikian pula, seharusnya kamu semua menarik dirimu sendiri keluar dari lumpur kekotoran batin."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 327 berikut :

Bergembiralah dalam kewaspadaan dan jagalah pikiranmu dengan baik; bebaskanlah pikiranmu dari cara-cara yang salah, seperti seekor gajah melepaskan dirinya yang terbenam dalam lumpur.

Para bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Syair 328-330 (XXIII:7. Kisah Sejumlah Bhikkhu)

Suatu saat para bhikkhu dari Kosambi terpecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok mengikuti ahli Vinaya, dan kelompok lainnya mengikuti guru Dhamma. Mereka tidak mau memperhatikan meskipun Sang Buddha mendesak mereka untuk berdamai. Sehingga Sang Buddha meninggalkan mereka dan menghabiskan masa vassa seorang diri berada di hutan, di mana gajah Palileyyaka melayani Beliau.

Akhir masa vassa Y.A. Ananda pergi ke dalam hutan disertai dengan lima ratus bhikkhu. Dengan meninggalkan para bhikkhu pada suatu jarak tertentu, Y.A. Ananda sendiri mendekati Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha menyuruh Ananda untuk memanggil para bhikkhu yang lain. Mereka semua datang, memberi hormat kepada Sang Buddha dan berkata, "Bhante ! Bhante pasti telah mengalami kesulitan menghabiskan masa vassa seorang diri di hutan ini."

Sang Buddha kemudian menjawab, "Para bhikkhu, jangan berkata demikian, gajah Palileyyaka telah merawat-Ku sepanjang waktu. Ia sesungguhnya satu teman yang sangat baik, satu teman yang sesungguhnya. Jika seseorang mempunyai teman baik seperti ini, ia seharusnya dekat dengannya, tetapi jika seseorang tidak dapat menemukan seorang sahabat yang baik, lebih baik tinggal sendirian."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 328, 329, dan 330 berikut ini :

Apabila dalam pengembaraanmu engkau dapat menemukan seorang sahabat yang berkelakuan baik, pandai, dan bijaksana, maka hendaknya engkau berjalan bersamanya dengan senang hati dan penuh kesadaran untuk mengatasi semua bahaya.

Apabila dalam pengembaraanmu engkau tak dapat menemukan seorang sahabat yang berkelakuan baik, pandai, dan bijaksana, maka hendaknya engkau berjalan seorang diri, seperti seorang raja yang meninggalkan negara yang telah dikalahkannya, atau seperti seekor gajah yang mengembara sendiri di dalam hutan.

Lebih baik mengembara seorang diri dan tidak bergaul dengan orang bodoh. Pergilah seorang diri dan jangan berbuat jahat, hiduplah dengan bebas (tidak banyak kebutuhan), seperti seekor gajah yang mengembara sendiri di dalam hutan.
 
Syair 331-333 (XXIII:8. Kisah Mara)

Suatu saat, ketika Sang Buddha sedang berdiam di dekat Himalaya, ia melihat bahwa banyak orang diperlakukan secara tidak manusiawi oleh beberapa raja yang licik. Kemudian muncul pikiran dalam batin Beliau, "Apakah mungkin untuk mencegah orang-orang itu dari perlakuan tidak manusiawi. Mereka seharusnya tidak diperlakukan secara tidak manusiawi, dan membuat para raja tersebut memerintah dengan adil dan bijaksana."

Mara mengetahui apa yang Sang Buddha pikirkan dan berencana untuk membujuk Sang Buddha agar memerintah sebagai seorang raja. Kepadanya, Sang Buddha menjawab, "Mara yang licik ! Ajaranmu dan ajaran-Ku sangat berbeda. Kau dan Aku tidak dapat saling berdiskusi. Inilah ajaran-Ku."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 331, 332, dan 333 berikut ini :

Sungguh bahagia mempunyai kawan pada saat kita membutuhkannya; sungguh bahagia dapat merasa puas dengan apa yang diperoleh; sungguh bahagia dapat berbuat kebaikan menjelang kematian; dan sungguh bahagia dapat mengakhiri penderitaan.

Berlaku baik terhadap ibu merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap ayah juga merupakan kebahagiaan. Berlaku baik terhadap pertapa merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap para Ariya juga merupakan kebahagiaan.

Moral (Sila) akan memberikan kebahagiaan sampai usia tua; keyakinan yang telah ditanam kuat akan memberikan kebahagiaan; kebijaksanaan yang telah diperoleh akan memberikan kebahagiaan; tidak berbuat jahat akan memberikan kebahagiaan.
 
Bab XXIV-TANHA VAGGA

Syair 334 (XXIV:1. Kisah Kapila Dan Ikan)

Pada masa Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu bernama Kapila yang sangat terpelajar dalam Kitab Suci (Pitaka). Karena sangat terpelajarnya, ia memperoleh kemashuran dan keberuntungan. Ia juga menjadi sangat sombong dan memandang rendah bhikkhu-bhikkhu lain. Bila para bhikkhu lain menunjukkan padanya apa yang pantas dan apa yang tidak pantas ia selalu saja menjawab dengan pedas, "Berapa banyak yang kau tahu ?" Hal itu menyiratkan bahwa ia tahu lebih banyak dari pada bhikkhu-bhikkhu yang lain. Dengan demikian, lama kelamaan semua bhikkhu yang baik menjauhinya dan hanya bhikkhu-bhikkhu yang tidak baik berada di sekelilingnya.

Pada suatu hari Uposatha, ketika para bhikkhu mengulang ‘Peraturan Pokok?bagi para bhikkhu (Patimokkha), Kapila berkata, "Tidak ada apa yang dikatakan sebagai Sutta, Abhidhamma, atau Vinaya. Tidak ada bedanya apakah kamu mempunyai kesempatan untuk mendengar Patimokkha atau tidak," dan lain-lainnya. Kemudian ia meninggalkan para bhikkhu yang sedang berkumpul. Jadi, Kapila merupakan rintangan bagi pengembangan dan pertumbuhan Ajaran (Sasana).

Untuk perbuatan jahat ini, Kapila harus menderita di alam neraka (niraya) antara masa Buddha Kassapa dan Buddha Gotama. Setelah itu ia dilahirkan kembali sebagai seekor ikan di Sungai Aciravati. Ikan tersebut, seperti disebutkan di atas, mempunyai tubuh berwarna keemasan yang sangat indah, tetapi mulutnya berbau tidak enak yang sangat menusuk hidung.

Suatu hari, ikan tersebut ditangkap oleh beberapa nelayan dan karena sangat indah, mereka membawanya kepada Raja. Kemudian Raja membawa ikan tersebut kepada Sang Buddha. Ketika ikan itu membuka mulutnya, bau yang tidak enak dan sangat menusuk menyebar ke sekeliling. Raja bertanya kepada Sang Buddha, mengapa ikan seindah itu mempunyai bau yang sedemikian tidak enak dan menusuk hidung.

Kepada Raja dan para pengiringnya, Sang Buddha menjelaskan, "O Raja ! Pada masa Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu yang sangat terpelajar, yang mengajarkan Dhamma pada lainnya. Karena perbuatan baik itu, ketika ia dilahirkan kembali pada kehidupan yang lain, meskipun sebagai seekor ikan, ia memiliki tubuh keemasan. Tetapi bhikkhu itu sangat serakah, sombong, dan memandang rendah orang lain; ia juga mengabaikan Peraturan Ke-bhikkhu-an (Vinaya), dan mencaci maki para bhikkhu yang lain. Karena perbuatan buruk ini, ia dilahirkan di alam neraka (niraya), dan sekarang, ia menjadi seekor ikan yang indah dengan mulut yang berbau busuk."

Sang Buddha kemudian beralih kepada ikan itu dan bertanya apakah ia mengetahui ke mana ia akan dilahirkan kembali pada kehidupan yang akan datang. Ikan tersebut memberi isyarat bahwa ia akan masuk kembali ke alam neraka (niraya) dan ia dipenuhi dengan perasaan sangat sedih. Sebagaimana diperkirakan, pada saat kematiannya, ikan tersebut dilahirkan kembali di alam neraka (niraya), untuk menerima akibat perbuatan buruk lain.

Semua yang hadir mendengarkan kisah ikan tersebut menjadi terkejut. Pada mereka, Sang Buddha memberikan khotbah tentang manfaat mengkombinasikan antara belajar dengan praktek.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 334, 335, 336, dan 337 berikut ini :

Bila seseorang hidup lengah, maka nafsu keinginan tumbuh, seperti tanaman Maluwa yang menjalar. Ia melompat dari satu kehidupan ke kehidupan lain, bagaikan kera yang senang mencari buah-buahan di dalam hutan.

Dalam dunia ini, siapapun yang dikuasai oleh nafsu keinginan rendah dan beracun, penderitaannya akan bertambah seperti rumput Birana yang tumbuh dengan cepat karena disirami dengan baik.

Tetapi barangsiapa dapat mengatasi nafsu keinginan yang beracun dan sukar dikalahkan itu, maka kesedihan akan berlalu dari dalam dirinya, seperti air yang jatuh dari daun teratai.

Kuberitahukan hal ini kepadamu : Semoga engkau sekalian yang telah datang berkumpul di sini memperoleh kesejahteraan ! Bongkarlah nafsu keinginanmu, seperti orang mencabut akar rumput Birana yang harum. Jangan biarkan Mara menghancurkan dirimu berulang kali, seperti arus sungai menghancurkan rumput ilalang yang tumbuh di tepi.
 
Syair 338-343 (XXIV:2. Kisah Seekor Induk Babi Muda)

Suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang berpindapatta di Rajagaha, ia melihat seekor induk babi muda yang kotor dan Beliau tersenyum. Ketika ditanya oleh Ananda, Sang Buddha menjawab, "Ananda, babi ini dulunya adalah seekor ayam betina di masa Buddha Kakusandha. Karena ia tinggal di dekat ruang makan di suatu vihara, ia biasa mendengar pengulangan teks suci dan khotbah Dhamma. Ketika ia mati, ia dilahirkan kembali sebagai seorang putri.

Suatu ketika, saat pergi ke kakus, sang putri melihat belatung dan ia menjadi sadar akan sifat yang menjijikkan dari tubuh. Ketika ia meninggal dunia, ia dilahirkan kembali di alam Brahma sebagai brahma puthujjana; tetapi kemudian karena beberapa perbuatan buruknya, ia dilahirkan kembali sebagai seekor babi betina. Ananda ! Lihat, karena perbuatan baik dan perbuatan buruk tidak ada akhir dari lingkaran kehidupan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 338 sampai dengan 343 berikut ini :

Sebatang pohon yang telah ditebang masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak dihancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan, maka penderitaan akan tumbuh berulang kali.

Apabila tiga puluh enam nafsu keinginan di dalam diri seseorang mengalir deras menuju obyek-obyek yang menyenangkan, maka gelombang pikiran yang penuh nafsu akan menyeret orang yang memiliki pandangan salah seperti itu.

Dimana-mana mengalir arus (nafsu-nafsu keinginan); dimana-mana tanaman menjalar tumbuh merambat. Apabila engkau melihat tanaman menjalar (nafsu keinginan) tumbuh tinggi, maka harus kau potong akar-akarnya dengan pisau (kebijaksanaan).

Dalam diri makhluk-makhluk timbul rasa senang mengejar obyek-obyek indria, dan mereka menjadi terikat pada keinginan-keinginan indria. Karena cenderung pada hal-hal yang menyenangkan dan terus mengejar kenikmatan-kenikmatan indria, maka mereka menjadi korban kelahiran dan kelapukan.

Makhluk-makhluk yang terikat pada nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak. Karena terikat erat oleh belenggu-belenggu dan ikatan-ikatan, maka mereka mengalami penderitaan untuk waktu yang lama.

Makhluk-makhluk yang terikat pada nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak. Karena itu seorang bhikkhu yang menginginkan kebebasan diri, hendaknya ia membuang segala nafsu-nafsu keinginannya.
 
Syair 338-343 (XXIV:2. Kisah Seekor Induk Babi Muda)

Suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang berpindapatta di Rajagaha, ia melihat seekor induk babi muda yang kotor dan Beliau tersenyum. Ketika ditanya oleh Ananda, Sang Buddha menjawab, "Ananda, babi ini dulunya adalah seekor ayam betina di masa Buddha Kakusandha. Karena ia tinggal di dekat ruang makan di suatu vihara, ia biasa mendengar pengulangan teks suci dan khotbah Dhamma. Ketika ia mati, ia dilahirkan kembali sebagai seorang putri.

Suatu ketika, saat pergi ke kakus, sang putri melihat belatung dan ia menjadi sadar akan sifat yang menjijikkan dari tubuh. Ketika ia meninggal dunia, ia dilahirkan kembali di alam Brahma sebagai brahma puthujjana; tetapi kemudian karena beberapa perbuatan buruknya, ia dilahirkan kembali sebagai seekor babi betina. Ananda ! Lihat, karena perbuatan baik dan perbuatan buruk tidak ada akhir dari lingkaran kehidupan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 338 sampai dengan 343 berikut ini :

Sebatang pohon yang telah ditebang masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak dihancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan, maka penderitaan akan tumbuh berulang kali.

Apabila tiga puluh enam nafsu keinginan di dalam diri seseorang mengalir deras menuju obyek-obyek yang menyenangkan, maka gelombang pikiran yang penuh nafsu akan menyeret orang yang memiliki pandangan salah seperti itu.

Dimana-mana mengalir arus (nafsu-nafsu keinginan); dimana-mana tanaman menjalar tumbuh merambat. Apabila engkau melihat tanaman menjalar (nafsu keinginan) tumbuh tinggi, maka harus kau potong akar-akarnya dengan pisau (kebijaksanaan).

Dalam diri makhluk-makhluk timbul rasa senang mengejar obyek-obyek indria, dan mereka menjadi terikat pada keinginan-keinginan indria. Karena cenderung pada hal-hal yang menyenangkan dan terus mengejar kenikmatan-kenikmatan indria, maka mereka menjadi korban kelahiran dan kelapukan.

Makhluk-makhluk yang terikat pada nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak. Karena terikat erat oleh belenggu-belenggu dan ikatan-ikatan, maka mereka mengalami penderitaan untuk waktu yang lama.

Makhluk-makhluk yang terikat pada nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak. Karena itu seorang bhikkhu yang menginginkan kebebasan diri, hendaknya ia membuang segala nafsu-nafsu keinginannya.
 
Syair 344 (XXIV:3. Kisah Seorang Bekas Bhikkhu)

Sebagai seorang murid Y.A. Mahakassapa, bhikkhu ini telah mencapai empat tingkat pencerapan mental (jhana). Suatu hari, ketika ia pergi untuk menerima dana makanan di rumah pamannya, ia melihat seorang wanita dan merasa keinginan yang sangat kuat untuk memilikinya. Kemudian ia meninggalkan Pasamuan Bhikkhu (Sangha).

Sebagai seorang umat awam, ia mengalami kegagalan karena ia tidak bekerja keras. Pamannya mengusir bekas bhikkhu itu dari rumahnya. Kemudian ia berkawan dengan beberapa pencuri. Dalam salah satu aksinya, mereka semua ditangkap oleh yang berwajib dan dibawa ke makam untuk dihukum mati.

Y.A. Mahakassapa melihat bekas muridnya ketika sedang dibawa keluar, dan berkata kepadanya, "Muridku, jagalah pikiranmu teguh pada satu obyek meditasi." Seperti diperintahkan, ia berkonsentrasi dan membiarkan dirinya masuk ke dalam keadaan pencerapan mental yang dalam. Di makam, saat petugas hukuman mati sedang membuat persiapan untuk membunuhnya, bekas bhikkhu tersebut sangat tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan atau kegelisahan. Petugas tersebut serta para penonton terpesona dan sangat tertarik dengan keberanian dan ketenangan orang itu, kemudian mereka melaporkan tentang orang itu kepada Raja dan juga kepada Sang Buddha.

Raja memberi perintah untuk melepaskan orang itu. Sang Buddha ketika mendengar tentang kejadian tersebut mengirimkan sinar Beliau dan muncul di hadapan pencuri itu sehingga ia seperti berhadapan langsung dengan Sang Buddha.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 344 berikut :

Setelah bebas dari hutan keinginan (kehidupan rumah tangga), ia menemukan hutan kesucian (kehidupan pertapa). Tapi, walaupun telah bebas dari keinginan (akan kehidupan rumah tangga) ia kembali ke rumah lagi. Lihatlah orang seperti itu ! Setelah bebas, ia kembali pada ikatan itu lagi.

Pada akhir khotbah Dhamma tersebut, pencuri yang teguh menjaga pikirannya pada timbul dan tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi menyadari sifat ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan tanpa inti dari segala sesuatu yang berkondisi. Ia mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kemudian ia pergi menghadap Sang Buddha di vihara Jetavana, di mana ia sekali lagi diterima masuk ke dalam Pasamuan Bhikkhu (Sangha) oleh Sang Buddha, dan ia dengan cepat mencapai tingkat kesucian arahat.
 
Syair 345-346 (XXIV:4. Kisah Hukuman Penjara)

Suatu hari, tiga puluh bhikkhu datang ke Savatthi untuk berpindapatta. Ketika mereka sedang mengumpulkan dana makanan, mereka melihat beberapa tawanan sedang diangkut dengan kaki dan tangan terikat rantai. Ketika tiba kembali di vihara, setelah mengingat apa yang telah dilihat di pagi hari, mereka bertanya kepada Sang Buddha apakah ada ikatan lain yang lebih kuat daripada itu.

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu ! Ikatan ini tidak ada artinya dibandingkan dengan nafsu keinginan akan makanan dan pakaian, akan kekayaan, serta akan keluarga. Nafsu keinginan ribuan, ratusan ribu lebih kuat daripada rantai itu, borgol, dan kurungan. Itulah sebabnya mengapa orang bijaksana memotong nafsu dan meninggalkan keduniawian, serta memasuki pasamuan para bhikkhu.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 345 dan 346 berikut ini :

Orang bijaksana menyatakan bahwa belenggu yang terbuat dari besi, kayu, ataupun rami tidaklah begitu kuat. Tetapi, ikatan terhadap anak-anak, isteri, dan harta benda, sesungguhnya merupakan belenggu yang jauh lebih kuat.

Orang bijaksana menyatakan bahwa belenggu seperti itu amat kuat, dapat melemparkan orang ke bawah, halus dan sukar untuk dilepaskan. Walaupun demikian, para bijaksana akan dapat memutuskan belenggu itu, mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan, serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.