• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Dhammapada Atthakatha

Syair 277-279 (XX:2. Kisah Yang Berhubungan Dengan Anicca, Dukkha Dan Anatta)

Anicca
Setelah menerima pelajaran meditasi dari Sang Buddha, lima ratus bhikkhu pergi ke sebuah hutan untuk berlatih meditasi. Tetapi mereka mengalami sedikit kemajuan, sehingga mereka kembali kepada Sang Buddha dan menanyakan pelajaran meditasi lainnya yang akan membuat mereka mencapai hasil yang lebih baik. Dalam benak hati-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa pada masa Buddha Kassapa, bhikkhu-bhikkhu itu bermeditasi dengan obyek ketidakkekalan.

Kemudian Beliau berkata, "Para bhikkhu, semua keadaan yang berkondisi adalah subyek dari perubahan dan akan musnah, oleh karena itu tidaklah kekal."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 277 berikut :

Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini; maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Dukkha
Kisahnya sama dengan kisah Anicca. Sang Buddha mengetahui bahwa terdapat kelompok 500 bhikkhu yang lain bermeditasi dengan obyek dukkha, sehingga Beliau berkata, "Para bhikkhu, segala perpaduan hidup adalah menderita dan tidak memuaskan, maka segala kelompok kehidupan (khandha) adalah dukkha."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 278 berikut :

Segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucain arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Ketanpa-intian (Anatta)
Kisahnya sama dengan kisah Anicca dan kisah Dukkha. Sang Buddha mengetahui bahwa terdapat kelompok 500 bhikkhu lain lagi bermeditasi dengan obyek Anatta, sehingga Beliau berkata, "Para bhikkhu, segalanya perpaduan hidup adalah tanpa inti/substansi. Hal tersebut bukan subyek keakuan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 279 berikut :

Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Syair 280 (XX:3. Kisah Tissa Thera, Bhikkhu Yang Malas)

Suatu ketika, lima ratus orang pemuda ditahbiskan menjadi bhikkhu, siswa Sang Buddha di Savatthi. Setelah menerima pelajaran meditasi dari Sang Buddha, para bhikkhu baru tersebut, kecuali satu bhikkhu, pergi ke hutan untuk berlatih meditasi. Mereka berlatih dengan tekun dan sungguh-sunguh sehingga dalam waktu singkat mereka semua mencapai tingkat kesucian arahat. Ketika mereka pulang ke vihara untuk memberi hormat kepada Sang Buddha, Beliau sangat gembira dan puas dengan pencapaian mereka. Bhikkhu Tissa, yang tertinggal, tidak berusaha keras sehingga ia tidak mencapai apa-apa.

Ketika Tissa tahu bahwa hubungan antara Sang Buddha dan para bhikkhu sangat baik dan dekat, ia merasa agak dilupakan dan menyesal karena ia telah menyia-nyiakan waktunya selama ini. Sehingga ia memutuskan untuk berlatih meditasi sepanjang malam. Ketika ia sedang berjalan dalam meditasinya di suatu malam, ia tersandung dan mengalami patah tulang di pahanya. Bhikkhu yang lain mendengar teriakannya, segera datang menolongnya.

Saat mendengar peristiwa itu Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, ia yang tidak berusaha keras pada saat harus berusaha, tetapi menyia-nyiakan waktunya, ia tidak akan mencapai jhana dan pandangan terang Sang Jalan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 280 berikut :

Walaupun seseorang masih muda dan kuat, namun bila ia malas dan tidak mau berjuang semasa harus berjuang, serta berpikir lamban; maka orang yang malas dan lamban seperti itu tidak akan menemukan Jalan yang mengantarnya pada kebijaksanaan.
 
Syair 281 (XX:4. Kisah Babi Peta)

Suatu ketika, saat Maha Moggallana Thera berjalan menuruni bukit Gijjhakuta bersama Lakkhana Thera, Beliau melihat sesuatu yang menyedihkan, yaitu makhluk peta kelaparan, dengan kepala berwujud babi dan berbadan manusia. Melihat makhluk peta tersebut, Maha Moggallana Thera tersenyum namun tak berkata sedikit pun. Pada saat tiba di vihara, Maha Moggallana Thera menghadap Sang Buddha, membicarakan tentang makhluk peta berwujud babi yang mulutnya penuh dengan belatung.

Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau juga pernah melihat makhluk tersebut saat Beliau baru saja mencapai Ke-Buddha-an, namun Beliau tidak mengatakan hal itu, karena orang-orang mungkin tidak akan percaya dan akan menyalahkan Beliau. Kemudian Sang Buddha menceritakan kisah tentang makhluk peta babi tersebut.

Pada masa Buddha Kassapa, makhluk peta babi itu adalah seorang bhikkhu yang sering membabarkan Dhamma. Suatu ketika, ia mengunjungi sebuah vihara yang ditempati oleh dua bhikkhu. Setelah tinggal beberapa waktu bersama kedua bhikkhu tersebut, ia menyadari bahwa ia telah berbuat cukup baik karena orang-orang menyukai penjelasannya. Ia merasa akan lebih baik lagi bila ia dapat membuat kedua bhikkhu tersebut pergi dan vihara itu menjadi miliknya sendiri. Maka ia mencoba untuk mengadu domba mereka. Kedua bhikkhu tersebut bertengkar dan meninggalkan vihara menuju dua arah yang berlawanan. Akibat dari perbuatan buruk itu, bhikkhu tadi terlahir di alam neraka Avici dan ia harus menjalani sisa hidupnya dengan menderita sebagai makhluk peta yang berwujud babi dengan mulut dipenuhi belatung.

Sang Buddha pun melanjutkan, "Seorang bhikkhu haruslah tenang dan terkendali baik dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 281 berikut :

Hendaklah ia menjaga ucapan dan mengendalikan pikiran dengan baik serta tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani. Hendaklah ia memurnikan tiga saluran perbuatan ini, memenangkan ‘jalan’ yang telah dibabarkan oleh Para Suci.
 
Syair 282 (XX:5. Kisah Potthila Thera)

Potthila adalah seorang bhikkhu senior yang memahami semua teori Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha dengan baik dan sering mengajarkan Dhamma kepada lima ratus bhikkhu dengan bersungguh-sungguh. Pemahamannya itu menjadikan ia sangat sombong. Sang Buddha mengetahui kekurangan itu, dan menginginkan Potthila memperbaiki sikapnya serta mengarahkannya ke jalan yang benar.

Maka kapan pun Potthila datang untuk memberi hormat, Sang Buddha memanggilnya dengan ‘Potthila yang tak berguna? Saat Potthila mendengar panggilan itu, ia merenungkan kata-kata Sang Buddha dan menyadari bahwa Sang Buddha menyebutnya demikian karena ia tidak pernah berusaha dengan serius dalam berlatih meditasi dan belum mencapai tingkat kesucian ataupun pencapaian jhana.

Lalu tanpa mengatakan kepada siapa pun, Potthila Thera pergi ke suatu tempat yang letaknya 20 yojana dari Vihara Jetavana. Di tempat itu terdapat 30 bhikkhu. Pertama, ia mendatangi bhikkhu yang paling senior dan memohonnya untuk menjadi penasehat, namun bhikkhu tersebut menyuruhnya pergi ke bhikkhu senior yang lain, yang terus menyuruhnya pergi ke bhikkhu yang lainnya lagi. Potthila terus berpindah dari satu bhikkhu ke bikkhu yang lain sehingga akhirnya ia menghadap seorang samanera arahat berusia 7 tahun. Samanera muda itu menerimanya sebagai murid dengan catatan bahwa Potthila harus mengikuti semua petunjuknya dengan penuh rasa hormat. Setelah diberi berbagai petunjuk oleh samanera itu, Potthila Thera membuat pikirannya benar-benar teguh pada kondisi alamiah badan jasmani, ia menjadi sangat rajin dan bersungguh-sungguh dalam bermeditasi.

Sang Buddha melihat Potthila melalui kemampuan penglihatan luar biasa serta kekuatan batin Beliau. Potthila merasakan kehadiran Beliau serta mendorongnya untuk tetap tabah dan rajin.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 282 berikut :

Sesungguhnya dari meditasi akan timbul kebijaksanaan; tanpa meditasi kebijaksanaan akan pudar. Setelah mengetahui kedua jalan bagi perkembangan dan kemerosotan batin, hendaklah orang melatih diri sehingga kebijaksanaannya berkembang.

Potthila Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Syair 283-284 (XX:6. Kisah Lima Bhikkhu Tua)

Suatu ketika di Savatthi, terdapat 5 sahabat yang menjadi bhikkhu di saat usianya tidak muda lagi. Telah menjadi kebiasaan bagi 5 bhikkhu tersebut untuk bersama-sama menerima dana makanan tiap hari. Mantan istri salah satu dari mereka, merupakan seorang wanita istimewa, bernama Madhurapacika, sangatlah pandai memasak dan ia selalu melayani mereka dengan baik. Karena itu kelima bhikkhu tersebut sering mengunjungi rumahnya. Akan tetapi pada suatu hari, Madhurapacika jatuh sakit dan tiba-tiba meninggal dunia. Bhikkhu-bhikkhu tua itu menjadi sangat kehilangan dan bersama-sama mereka menangis, memuja kebaikannya, dan meratapi kepergiannya.

Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan berkata, "Para bhikkhu ! Kamu semua merasa sakit dan menderita karena kamu belum terbebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan (lobha, dosa, moha), seperti layaknya sebuah hutan. Tebanglah hutan itu dan kamu akan terbebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 283 dan 284 berikut ini :

O, para bhikkhu, tebanglah hutan nafsu itu, karena dari nafsu timbul ketakutan. Setelah menebang hutan dan belukar nafsu, jadilah orang yang tidak lagi memiliki nafsu.

Selama nafsu keinginan laki-laki terhadap wanita belum dihancurkan, betapapun kecilnya, maka selama itu pula seseorang masih terikat pada kehidupan, bagaikan seekor anak sapi yang masih menyusu pada induknya.


Kelima bhikkhu tua mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Syair 285 (XX:7. Kisah Seorang Thera Yang Pernah Terlahir Sebagai Pandai Emas)
Ada seorang pemuda tampan, anak dari seorang pandai emas, ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Sariputta Thera. Sariputta Thera memberikan sebuah perwujudan mayat yang menjijikkan sebagai obyek meditasi itu ia pergi ke sebuah hutan dan berlatih meditasi di sana; namun dia hanya mencapai sedikit kemajuan. Akhirnya ia kembali untuk kedua kalinya kepada Sariputta Thera untuk memohon petunjuk lebih lanjut. Meskipun demikian, ia masih saja belum mencapai kemajuan. Kemudian Sariputta Thera membawa bhikkhu muda itu menghadap Sang Buddha dan menceritakan semuanya tentang bhikkhu muda itu.

Sang Buddha mengetahui bahwa bhikkhu muda itu adalah anak dari seorang pandai emas, dan juga ia pernah terlahir di keluarga pandai emas selama 500 kali kehidupannya yang lampau. Kemudian Sang Buddha mengganti obyek meditasinya dari mayat yang menjijikkan menjadi obyek kesenangan. Dengan kekuatan batin Beliau, Sang Buddha menciptakan sekuntum bunga teratai yang sangat indah sebesar roda kereta dan meminta bhikkhu muda itu untuk menancapkannya pada gundukan tanah di luar vihara.

Bhikkhu muda tersebut memusatkan diri pada bunga teratai yang besar, indah dan harum, akhirnya ia pun dapat menyingkirkan segala rintangan. Ia dipenuhi dengan kepuasan yang menggembirakan (piti), dan selangkah demi selangkah ia mengalami perkembangan hingga mencapai pencerapan batin (jhana) ke empat.

Sang Buddha melihatnya dari kuti harum Beliau dan dengan kekuatan batin Beliau membuat bunga itu layu seketika. Melihat bunga itu layu dan berubah warna, bhikkhu tersebut memahami ketidak-kekalan alamiah bunga tersebut juga segala sesuatu termasuk semua makhluk. Hal tersebut menyebabkan timbulnya kesadaran terhadap ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan tanpa inti dari semua hal yang berkondisi. Sesaat kemudian, Sang Buddha memancarkan sinar dan menampakkan diri di hadapan bhikkhu tersebut dan memberikan petunjuk agar segera memusnahkan nafsu keinginan (tanha).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 285 berikut :

Patahkanlah rasa cinta terhadap diri sendiri, seperti memetik bunga teratai putih di musim gugur. Kembangkanlah jalan kedamaian Nibbana yang telah diajarkan oleh Sang Sugata (Beliau yang telah berlalu dengan baik, Buddha).

Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Syair 286 (XX:8. Kisah Mahadhana, Seorang Saudagar)

Suatu ketika, seorang saudagar dari Banarasi akan menghadiri sebuah festival di Savatthi dengan membawa 500 kereta yang penuh dengan kain dan barang dagangan lainnya. Ketika tiba di tepi sebuah sungai dekat Savatthi, air sungai tersebut sedang meluap. Ia menunda perjalanannya selama tujuh hari karena hujan yang lebat dan air sungai yang tidak kunjung surut. Karenanya, ia menjadi terlambat mengikuti festival, sehingga tidak berguna lagi baginya untuk menyeberangi sungai itu.

Karena datang dari jauh, dia tidak ingin kembali ke rumah dengan barang dagangan yang masih utuh. Akhirnya ia memutuskan untuk menghabiskan musim hujan, musim dingin, dan musim panas di tempat itu, dan mengajak semua pelayannya untuk turut serta.

Saat Sang Buddha pergi berpindapatta, Beliau mengetahui keputusan itu dan tersenyum. Ananda bertanya mengapa Sang Buddha tersenyum dan Sang Buddha pun menjawab, "Ananda, tahukah kau pedagang itu ? Dia mengira bahwa dia dapat tinggal di sini dan menjual semua barangnya sepanjang tahun. Dia tidak menyadari bahwa ia dapat meninggal dunia di sini dalam waktu tujuh hari. Apa yang harus dilakukan hendaknya dilakukan hari ini. Siapa dapat mengetahui seseorang akan meninggal dunia esok ? Kita tidak dapat berkompromi waktu dengan Raja Kematian. Orang yang selalu waspada tiap pagi dan malam, yang tidak terganggu oleh kekotoran batin, penuh semangat, yang hidup untuk hanya satu malam, adalah pengguna waktu yang baik."

Kemudian Sang Buddha menyuruh Ananda untuk mendatangi saudagar Mahadhana. Ananda menjelaskan kepada Mahadhana bahwa waktu terus berlalu dan bahwa ia harus meninggalkan kelalaian dan menjadi waspada. Memikirkan tentang kematian yang akan menyambutnya, Mahadhana menjadi sadar dan merasa takut. Sehingga, selama tujuh hari ia mengunjungi Sang Buddha dan para bhikkhu untuk berdana makanan. Pada hari ke tujuh, Sang Buddha berkhotbah tentang penghargaan dana (anumodana).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 286 berikut :

Di sini aku akan berdiam pada musim hujan, di sini aku akan berdiam selama musim gugur, dan musim panas. Demikianlah pikiran orang bodoh yang tidak menyadari bahaya (kematian).

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, saudagar Mahadhana mencapai tingkat kesucian sotapatti. Ia mengikuti Sang Buddha selama beberapa waktu sebelum akhirnya kembali. Saat perjalanan pulang ia terserang sakit kepala dan akhirnya meninggal dunia. Mahadhana terlahir kembali di alam dewa Tusita.
 
Syair 287 (XX:9. Kisah Kisagotami)

Kisagotami menghadap Sang Buddha karena ia dilanda kesedihan mendalam akibat kematian anak tunggalnya. Kepadanya Sang Buddha mengatakan, "Kisagotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan anak. Kematian menimpa semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpenuhi, kematian telah menjemputnya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 287 berikut :

Orang yang pikirannya melekat pada anak-anak dan ternak peliharaannya, maka kematian akan menyeret dan menghanyutkannya, seperti banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.

Kisagotami mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Syair 288-289 (XX:10. Kisah Patacara)

Patacara kehilangan suami dan dua putranya, sekaligus orang tua dan ketiga kakak laki-lakinya dalam waktu bersamaan. Ia menjadi hampir gila. Ketika ia mendekati Sang Buddha, Beliau berkata kepadanya, "Patacara, anak-anak tidak dapat merawatmu, bahkan meskipun mereka masih hidup, mereka tidak hadir untukmu. Orang bijaksana menjalankan moral (sila) dan menghancurkan rintangan pada jalan menuju nibbana."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 288 dan 289 berikut ini :

Anak-anak tidak dapat melindungi, begitu juga ayah maupun sanak saudara. Bagi orang yang sedang menghadapi kematian, maka tidak ada sanak saudara yang dapat melindungi dirinya lagi.

Setelah mengetahui kenyataan ini, maka orang berbudi dan bijaksana tak akan menunda waktu dalam menempuh jalan menuju Nibbana.


Patacara mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Bab XXI-PAKINNAKA VAGGA


Syair 290 (XX1:1. Kisah Perbuatan Lampau Sang Buddha)

Suatu ketika, musibah kelaparan melanda kota Vesali, diawali dengan musim kering yang lama dan keras. Akibat kekeringan itu hampir semua panen gagal dan banyak orang meninggal dunia karena kelaparan. Hal ini diikuti oleh penyebaran wabah penyakit. Karena masyarakat tidak lagi mampu menangani pembuangan mayat-mayat, maka bau busuk di udara menyebar ke mana-mana. Bau busuk ini menarik perhatian para raksasa. Penduduk Vesali menghadapi musibah kehancuran yang ditimbulkan oleh kelaparan, penyakit, dan juga kehadiran para raksasa. Dalam kesedihan dan penderitaannya, mereka mencoba mencari perlindungan. Mereka berpikir untuk mencari bantuan dari berbagai sumber, namun akhirnya mereka memutuskan untuk mengundang Sang Buddha.

Serombongan utusan dipimpin oleh Mahali, seorang pangeran suku Licchavi, dan putra brahmana kepala dikirim ke Raja Bimbisara untuk memohon Sang Buddha berkenan melakukan kunjungan ke Vesali, dan menolong mereka yang sedang dalam musibah. Sang Buddha mengetahui bahwa kunjungan ini akan membawa manfaat bagi banyak orang, maka Beliau menyetujui untuk pergi ke Vesali.

Mendengar Sang Buddha bersama para bhikkhu akan mengadakan muhibah ke negara tetangga, Raja Bimbisara memperbaiki jalan dari Rajagaha sampai ke tepi sungai Gangga. Ia juga membuat persiapan-persiapan lain dan mendirikan tempat-tempat beristirahat khusus pada jarak-jarak tertentu dalam setiap yojana.

Ketika segala sesuatunya telah siap, Sang Buddha berangkat menuju Vesali bersama lima ratus bhikkhu. Raja Bimbisara juga menyertai Sang Buddha. Pada hari ke lima mereka sampai di tepi sungai Gangga dan Raja Bimbisara mengirim kabar pada pangeran-pangeran Licchavi.

Di tepi sungai seberang, pangeran-pangeran Licchavi telah memperbaiki jalan dari tepi sungai itu menuju kota Vesali, dan telah membangun tempat-tempat beristirahat seperti yang telah dilakukan oleh Raja Bimbisara di sisi sungai wilayahnya. Sang Buddha pergi menuju Vesali dengan diiringi pangeran-pangeran Licchavi namun Raja Bimbisara tetap tinggal di tepi sungai wilayahnya.

Segera setelah Sang Buddha mencapai tepi seberang sungai, hujan lebat turun dengan deras, sehingga membersihkan kota Vesali. Sang Buddha dipersilakan beristirahat dalam rumah peristirahatan yang khusus dipersiapkan untuk Beliau di pusat kota.

Sakka, Raja para dewa, dengan para pengikutnya datang menghormat kepada Sang Buddha. Melihat kedatangan para dewa, para raksasa melarikan diri.

Pada sore hari yang sama, Sang Buddha membabarkan Khotbah Permata (Ratana Sutta) dan meminta Y.A. Ananda untuk berjalan mengelilingi dinding kota yang berlapis tiga dengan para pangeran Licchavi sambil mengulang sutta tersebut.

Y.A. Ananda melakukan apa yang diminta. Ketika syair-syair perlindungan (Paritta) diucapkan, banyak dari mereka yang sakit menjadi sembuh dan mengikuti Y.A. Ananda berjalan menuju tempat Sang Buddha berada.

Sang Buddha membabarkan sutta yang sama dan mengulanginya selama tujuh hari. Pada akhir hari ke tujuh, segala sesuatunya di kota Vesali menjadi normal kembali. Para pangeran Licchavi dan penduduk Vesali merasa terbebas dari musibah dan sangat bersuka cita. Mereka juga sangat berterima kasih kepada Sang Buddha dan melakukan persembahan kepada-Nya dalam jumlah yang sangat besar dan mewah. Mereka juga mengiringi Sang Buddha dalam perjalanan pulang sampai di tepi sungai Gangga di akhir hari ke tiga.

Saat tiba di tepi sungai, Raja Bimbisara sedang menunggu Sang Buddha, demikian pula para dewa, brahma, dan raja para naga bersama rombongannya masing-masing. Mereka semua menghormat dan melakukan persembahan kepada Sang Buddha. Para dewa dan brahma datang menghormat dengan payung, bunga, dll, dan melagukan syair pujian kepada Sang Buddha. Para naga datang dengan perahu yang terbuat dari emas, perak, dan rubi mengundang Sang Buddha ke tempat kediaman para naga. Mereka juga menaburi permukaan air dengan lima ratus jenis teratai. Inilah satu di antara tiga kesempatan dalam hidup Sang Buddha, kesempatan manusia, dewa, dan brahma datang bersama-sama untuk melakukan penghormatan kepada Beliau.

Kesempatan pertama, ketika Sang Buddha menunjukkan kekuatan dan keagungan Beliau dengan keajaiban ganda; memancarkan cahaya api dan mengeluarkan air dari tubuh Beliau.

Kedua, saat Sang Buddha kembali dari alam dewa Tavatimsa setelah Beliau membabarkan Abhidhamma di sana.

Sang Buddha ingin menghargai para naga, kemudian Beliau melakukan kunjungan ke tempat kediaman para naga diiringi oleh para bhikkhu. Sang Buddha dan rombongan pergi dengan lima ratus perahu yang dibawa para naga. Setelah berkunjung ke tempat kediaman para naga, Sang Buddha kembali ke Rajagaha diiringi Raja Bimbisara. Mereka tiba di Rajagaha pada hari kelima.

Dua hari setelah kedatangan mereka di Rajagaha, ketika para bhikkhu sedang membicarakan tentang kehebatan dan keagungan yang mengagumkan dari perjalanan dari dan ke Vesali, Sang Buddha menghampiri mereka.

Setelah mengetahui pokok pembicaraan mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, bahwa Saya telah dihormati sedemikian tinggi oleh brahma, dewa, dan manusia dan bahwa mereka melakukan persembahan kepada-Ku dengan jumlah yang sedemikian besar dan mewah pada kesempatan ini bukanlah disebabkan oleh kekuatan yang sekarang Saya miliki. Itu hanyalah karena Saya telah melakukan beberapa perbuatan baik yang kecil dalam salah satu kehidupan yang lampau, sehingga Saya sekarang menikmati manfaat sedemikian besarnya." Kemudian Sang Buddha menjelaskan kisah salah satu dari kehidupan lampau Beliau, ketika Beliau menjadi seorang brahmana bernama Sankha.

Suatu ketika ada seorang brahmana bernama Sankha yang hidup di kota Taxila. Ia mempunyai seorang putra bernama Susima. Ketika Susima berumur enam belas tahun, ia dikirim oleh ayahnya pada brahmana lain untuk belajar ilmu perbintangan. Gurunya mengajarkan semua yang seharusnya dipelajari, tetapi Susima tidak sepenuhnya puas. Karena itu gurunya memerintahkan agar ia mendekati para Paccekabuddha yang sedang berdiam di Isipatana. Susima pergi ke Isipatana, tetapi para Paccekabuddha mengatakan kepadanya bahwa ia harus menjadi seorang bhikkhu terlebih dahulu. Karena itu ia menjadi seorang bhikkhu, dan diberi pelajaran bagaimana bertingkah laku sebagai seorang bhikkhu. Susima berlatih meditasi dengan rajin, ia segera memahami ‘Empat Kebenaran Mulia? mencapai Bodhinana, dan menjadi seorang Paccekabuddha. Tetapi sebagai akibat perbuatan lampaunya, Susima tidak berumur panjang, ia meninggal, mencapai parinibbana segera setelah itu.

Sankha, ayah Susima, datang mencari anak laki-lakinya, tetapi ia hanya menemukan stupa tempat relik anak laki-lakinya disimpan. Brahmana itu menjadi sangat terpukul karena kehilangan anak laki-lakinya. Ia menghampiri stupa itu, membersihkan halaman, membersihkan rumput liar, kemudian ia menutup tanah tersebut dengan pasir dan memercikinya dengan air. Kemudian, ia pergi ke dalam hutan dekat daerah itu untuk mencari bunga-bunga liar dan menancapkannya di tanah basah tersebut. Dengan cara tersebut, ia mempersembahkan pelayanannya dan memberi penghormatan kepada Paccekabuddha yang dulu adalah putranya. Karena perbuatan baik yang dilakukan pada kehidupan lampaunya itu maka Sang Buddha mendapat manfaat, bahwa ia dilimpahi dengan persembahan mewah, ia dihormat demikian tinggi, dan ia memperoleh bakti demikian besar pada kesempatan khusus itu.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 290 berikut :

Apabila dengan melepaskan kebahagiaan yang lebih kecil orang dapat memperoleh kebahagiaan yang lebih besar, maka hendaknya orang bijaksana melepaskan kebahagiaan yang kecil itu, guna memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.
 
Syair 291 (XXI:2. Kisah Wanita Yang Memakan Habis Telur-telur Dari Seekor Ayam)

Suatu ketika hiduplah seorang wanita di suatu desa dekat Savatthi. Ia mempunyai seekor ayam betina dalam rumahnya; setiap kali ayam itu bertelur, ia memakannya. Ayam itu sangat terluka hatinya dan marah serta bertekad membalas dendam kepada wanita tersebut, sehingga ayam itu membuat suatu keinginan agar dilahirkan sebagai makhluk dengan posisi yang dapat membunuh keturunan wanita itu. Keinginan ayam itu terpenuhi karena ia terlahir kembali menjadi seekor kucing, dan si wanita terlahir kembali sebagai seekor ayam betina di rumah yang sama. Kucing itu memakan habis telur-telur si ayam. Dalam kehidupan mereka berikutnya, ayam betina menjadi seekor harimau dan kucing menjadi seekor rusa. Harimau memakan rusa beserta keturunannya. Dengan demikian, permusuhan berlangsung terus selama lima ratus kali kehidupan kedua makhluk tersebut.

Pada masa kehidupan Sang Buddha, salah satu dari mereka terlahir kembali sebagai seorang wanita dan yang satu lagi sebagai raksasa wanita.

Dalam suatu kesempatan, wanita tersebut sedang kembali dari rumah orang tuanya menuju rumahnya sendiri dekat Savatthi. Suaminya dan anak laki-lakinya yang masih balita juga bersamanya. Ketika mereka sedang beristirahat dekat dengan suatu kolam di tepi jalan, suaminya pergi untuk mandi di kolam tersebut. Pada saat itu si wanita melihat raksasa wanita dan mengenalinya sebagai musuh lamanya. Dengan membawa anaknya, ia melarikan diri menjauhi raksasa wanita itu, menuju ke Vihara Jetavana di mana Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Ia meletakkan anaknya di kaki Sang Buddha.

Raksasa wanita yang mengejar wanita itu tiba di pintu vihara, namun makhluk halus penjaga pintu gerbang vihara tidak mengizinkannya untuk masuk. Ketika melihat hal itu Sang Buddha menyuruh Y.A. Ananda untuk membawa masuk raksasa wanita ke hadapan Beliau. Ketika raksasa itu datang, Sang Buddha menegur baik wanita maupun raksasa wanita, perihal rantai permusuhan yang panjang di antara mereka.

Beliau mengatakan, "Jika kamu berdua tidak datang kepada-Ku hari ini, permusuhanmu akan berlangsung tanpa akhir. Permusuhan tidak dapat diredakan oleh permusuhan, permusuhan hanya dapat diredakan oleh cinta kasih."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 291 berikut :

Barang siapa menginginkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dengan menimbulkan penderitaan pada orang lain, maka ia tidak akan terbebas dari kebencian; ia akan terjerat dalam kebencian.

Pada saat khotbah Dhamma berakhir, raksasa wanita menyatakan berlindung dalam Tiga Permata, yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha; sedangkan wanita itu mencapai tingkat kesucian sotapatti.
 
Syair 292-293 (XXI:3. Kisah Bhikkhu-bhikkhu Baddiya)

Suatu saat bhikkhu-bhikkhu, yang berdiam di Baddiya sibuk membuat sandal-sandal yang penuh hiasan berbagai macam alang-alang dan rumput. Ketika Sang Buddha diberitahu tentang hal ini, Beliau berkata, "Para bhikkhu, kamu seharusnya memasuki Pasamuan Bhikkhu (Sangha) untuk mencapai ‘Hasil Kesucian Arahat?(Arahatta Phala). Namun, kamu sekarang sedang berusaha keras hanya dalam membuat sandal dan menghiasinya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 292 dan 293 berikut ini :

Orang yang melakukan yang seharusnya tak dilakukan dan tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan, maka kekotoran batin akan terus bertambah dalam diri orang yang sombong dan malas seperti itu.

Mereka yang selalu giat melatih perenungan terhadap badan jasmani, tidak melakukan apa yang seharusnya tak dilakukan, dan selalu melakukan apa yang seharusnya dilakukan, maka kekotoran-kekotoran batin akan lenyap dari diri mereka yang memiliki kesadaran dan pandangan terang seperti itu.


Bhikkhu-bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Syair 294-295 (XXI:4. Kisah Bhaddiya Thera, Si Orang Pendek)

Suatu ketika beberapa bhikkhu datang berkunjung dan memberi hormat kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana. Ketika mereka bersama Sang Buddha, Lakundaka Bhaddiya kebetulan lewat tidak jauh dari mereka.

Sang Buddha meminta mereka untuk memperhatikan Thera yang pendek itu dan berkata kepada mereka, "Para bhikkhu, lihatlah kepada Thera itu. Ia telah membunuh kedua ayah dan ibunya, dan setelah membunuh orang tuanya ia pergi tanpa penderitaan lagi."

Para bhikkhu tidak dapat mengerti pernyataan yang telah diucapkan oleh Sang Buddha. Karena itu mereka memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskannya dan Beliau berkenan menjelaskan artinya.

Pernyataan di atas dibuat oleh Sang Buddha berkaitan dengan kehidupan arahat, yang telah melenyapkan nafsu keinginan, kesombongan, pandangan salah, dan kemelekatan pada indria dan obyek indria. Sang Buddha telah membuat pernyataan metaforis. Istilah ‘ibu?dan ‘ayah?digunakan untuk menunjukkan nafsu keinginan dan kesombongan. Kepercayaan/pandangan tentang keabadian (sassataditthi) dan kepercayaan/pandangan tentang pemusnahan (ucchedaditthi) seperti halnya dua raja, kemelekatan seperti para menterinya, dan indria serta obyek indria seperti halnya sebuah kerajaan.

Setelah menjelaskan arti pernyataan itu kepada mereka, Sang Buddha membabarkan syair 294 dan 295 berikut ini :

Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan), serta dua orang ksatria (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan); dan setelah menghancurkan negara (pintu-pintu indria) bersama dengan para menterinya (kemelekatan), maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.

Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan), serta dua raja yang arif (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan); dan setelah menghancurkan lima jalan yang penuh bahaya (lima rintangan batin), maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.


Para bhikkhu yang datang berkunjung mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Syair 296-301 (XXI:5. Kisah Anak Laki-laki Penebang Kayu)

Suatu ketika di Rajagaha, seorang penebang kayu pergi ke dalam hutan dengan anak laki-lakinya untuk mencari kayu. Waktu kembali ke rumah pada sore hari, mereka berhenti dekat suatu pemakaman untuk makan. Mereka juga melepaskan kuk dari dua lembu jantannya sehingga lembu-lembu bisa merumput di sekitar tempat itu. Tetapi kedua lembu jantan itu pergi tanpa mereka sadari. Segera setelah mereka sadar bahwa dua ekor lembunya telah hilang, penebang kayu pergi mencarinya, meninggalkan anaknya dengan kereta berisi kayu bakar. Sang ayah memasuki kota, mencari lembunya. Ketika ia kembali pada anaknya, ternyata ia sudah terlambat, gerbang kota telah ditutup. Karena itu anak laki-lakinya terpaksa tidur sendiri di bawah kereta.

Anak laki-laki penebang kayu itu, meskipun usianya muda, selalu penuh perhatian dan mempunyai kebiasaan merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha.

Malam itu dua raksasa datang untuk menakut-nakuti dan ingin membuatnya celaka. Ketika salah satu raksasa menarik kaki anak laki-laki itu, ia berteriak, "Saya menghormat kepada Sang Buddha !" (Namo Buddhassa).

Mendengar kata-kata dari anak itu, raksasa-raksasa menjadi ketakutan dan juga merasa harus melindungi anak itu. Sehingga salah satu dari kedua raksasa itu tetap berada dekat anak itu, menjaganya dari semua bahaya. Raksasa lainnya pergi ke istana raja dan membawa nampan berisi makanan Raja Bimbisara. Kedua raksasa memberi akan kepada anak itu bagaikan anaknya sendiri. Di istana raja, raksasa meninggalkan pesan tertulis perihal nampan makanan istana, dan pesan ini hanya terbaca oleh sang Raja.

Pada pagi hari, pegawai Raja menemukan bahwa nampan makanan istana telah hilang, mereka sangat putus asa dan ketakutan. Raja menemukan pesan yang ditinggalkan oleh raksasa dan menunjukkan pegawainya tempat di mana ia harus mencari. Pegawai raja menemukan nampan makanan istana di antara kayu bakar di dalam kereta. Mereka juga menemukan anak laki-laki yang masih tidur di bawah kereta. Ketika ditanya, anak itu menjawab bahwa ayahnya datang kepadanya untuk memberi makan pada malam hari dan ia tidur pulas, tanpa takut setelah memakan makanannya. Anak itu hanya mengetahui sampai di situ, tidak lebih.

Raja menghadapkan kedua orang tuanya bersama dengan anak itu kepada Sang Buddha. Raja waktu itu telah mendengar bahwa anak tersebut selalu penuh perhatian merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dan juga ia telah meneriakkan ‘Namo Buddhassa? ketika raksasa menarik kakinya di malam hari.

Raja bertanya kepada Sang Buddha, "Apakah penuh perhatian terhadap sifat-sifat mulia Sang Buddha adalah satu-satunya Dhamma yang dapat memberi perlindungan kepada seseorang terhadap kemalangan dan mara bahaya, ataukah penuh perhatian terhadap sifat-sifat mulia Dhamma sama manfaat dan kuatnya ?"

Sang Buddha menanggapi, "O Raja, siswaKu ! Terdapat enam hal, apabila penuh perhatian terhadapnya akan merupakan perlindungan yang baik mengatasi kemalangan dan mara bahaya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 296, 297, 298, 299, 300, dan 301 berikut ini :

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dengan penuh kesadaran.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Dhamma dengan penuh kesadaran.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sangha dengan penuh kesadaran.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat badan jasmani dengan penuh kesadaran.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka bergembira dalam keadaan bebas dari kekejaman.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka bergembira dalam ketenteraman semadi.


Pada saat khotbah Dhamma berakhir, anak itu beserta kedua orang tuanya mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kemudian mereka bergabung dalam Pasamuan Bhikkhu (Sangha) dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.
 
Syair 302 (XXI:6. Kisah Seorang Bhikkhu Dari Negeri Kaum Vajji)

Pada malam bulan purnama di bulan Kattika, penduduk Vesali merayakan festival perbintangan (nakkhatta) secara besar-besaran. Seluruh kota bersinar, dan ada banyak hiburan, dengan nyanyian, tarian, dll. Ketika itu ada seorang bhikkhu yang sedang melihat ke arah kota, sambil berdiri sendiri di vihara. Bhikkhu itu merasa kesepian dan tidak puas dengan keadaannya. Perlahan, ia bergumam pada dirinya sendiri, "Tidak ada seorang pun yang keadaannya lebih buruk dariku." Saat itu juga, makhluk halus penjaga hutan menghampirinya dan berkata, "Makhluk-makhluk di alam neraka (niraya) iri hati terhadap keadaan makhluk-makhluk di alam dewa; demikian pula orang-orang iri hati dengan keadaan mereka yang hidup sendiri di dalam hutan." Mendengar kata-kata ini, bhikkhu tersebut menyadari kebenaran kata-kata itu dan ia menyesal bahwa ia telah berpikir sedemikian sempit terhadap keadaan seorang bhikkhu.

Pagi-pagi buta pada keesokan harinya, bhikkhu tersebut pergi menghadap Sang Buddha dan melaporkan kejadian itu. Dalam jawaban Beliau, Sang Buddha menceritakan kepadanya tentang betapa sulitnya kehidupan semua makhluk.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 302 berikut :

Sungguh sukar untuk menempuh kehidupan tanpa rumah (Pabbajja); sungguh sukar untuk bergembira dalam menempuh kehidupan tanpa rumah. Kehidupan rumah tangga adalah sukar dan menyakitkan. Tinggal bersama mereka yang tidak sesuai sungguh menyakitkan. Hidup mengembara dalam proses tumimbal lahir (Samsara) juga menyakitkan. Karena itu janganlah menjadi pengembara (dalam samsara), atau menjadi pengejar penderitaan.

Bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma berakhir.
 
Syair 303 (XXI:7. Kisah Citta, Si Perumah Tangga)

Citta, setelah mendengarkan Dhamma yang diuraikan oleh Yang Ariya Sariputta, mencapai tingkat kesucian anagami. Suatu hari, Citta mengisi penuh lima ratus keretanya dengan makanan dan persembahan lainnya untuk diberikan kepada Sang Buddha serta murid-murid Beliau. Ia berangkat menuju Savatthi bersama rombongan pengikutnya yang berjumlah tiga ribu orang. Mereka berjalan menempuh jarak satu yojana setiap hari, dan tiba di Savatthi pada akhir bulan. Kemudian Citta pergi bersama lima ratus pengiringnya menuju Vihara Jetavana. Ketika ia sedang memberi penghormatan kepada Sang Buddha, bunga-bunga berjatuhan dengan menakjubkan dari atas seperti hujan. Citta tinggal di vihara itu selama sebulan penuh, mempersembahkan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu, serta memberi makanan kepada rombongannya yang berjumlah tiga ribu orang. Setiap kali, dewa-dewa mengisi kembali persediaan makanan dan persembahan lainnya.

Pada malam hari sebelum perjalanan pulang, Citta meletakkan semua yang telah dibawanya di ruangan-ruangan vihara sebagai persembahan kepada Sang Buddha. Kemudian dewa-dewa mengisi kembali kereta-kereta yang kosong itu dengan berbagai macam barang tak ternilai harganya. Y.A. Ananda, melihat bagaimana kekayaan Citta diisi kembali, bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante, apakah hanya bila Citta datang kepada Bhante saja ia akan diberkahi dengan semua kekayaan ini ? Apakah ia diberkahi dengan hal yang sama bila ia pergi ke lain tempat ?" Sang Buddha menjawab, "Ananda, siswa ini penuh diberkahi dengan keyakinan dan kemurahan hati; ia juga bersusila, dan nama baiknya menyebar jauh dan luas. Orang seperti ini pasti akan dihormati dan dihujani dengan kekayaan kemanapun ia pergi."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 303 berikut :

Bagi orang yang memiliki keyakinan dan sila yang sempurna, akan memperoleh nama harum dan kekayaan, pergi ke tempat manapun ia akan selalu dihormati.
 
Syair 304 (XXI:15. Kisah Culasubhadda)

Anathapindika dan Ugga, orang kaya dari Ugga, belajar di bawah bimbingan guru yang sama ketika mereka berdua masih muda. Ugga mempunyai seorang anak laki-laki dan Anathapindika mempunyai seorang anak perempuan. Ketika anak-anak mereka telah cukup dewasa, Ugga meminta persetujuan Anathapindika untuk menikahkan kedua anak mereka. Dengan demikian pernikahan diadakan, dan Culasubhadda, anak perempuan Anathapindika, harus tinggal di rumah mertuanya.

Ugga dan keluarganya adalah pengikut pertapa bukan murid Sang Buddha. Suatu saat mereka mengundang pertapa tersebut ke rumahnya. Pada kesempatan itu, Ugga meminta Culasubhadda untuk memberi penghormatan kepada para pertapa telanjang bukan murid Sang Buddha tersebut, tetapi ia selalu menolak untuk memenuhinya. Sebaliknya, ia bercerita kepada ibu mertuanya tentang Sang Buddha dan sifat-sifat mulia Beliau.

Ibu mertua Culasubhadda sangat ingin bertemu dengan Sang Buddha, setelah ia diberitahu tentang Sang Buddha oleh menantu perempuannya. Ia bahkan menyetujui permintaan Culasubhadda mengundang Sang Buddha untuk menerima dana makanan di rumahnya.

Culasubhadda menyiapkan makanan dan mengumpulkan persembahan lainnya untuk Sang Buddha beserta murid-murid Beliau. Kemudian ia naik ke tempat yang paling tinggi di rumahnya dan melihat ke arah Vihara Jetavana. Ia membuat persembahan bunga serta dupa dan merenungkan sifat-sifat dan kebajikan mulia Sang Buddha. Ia kemudian mengucapkan keinginannya, "Bhante ! Semoga hal ini membuat Bhante berkenan datang, bersama dengan murid-murid Bhante, ke rumah kami esok hari. Saya, umat awam yang berbakti, dengan penuh hormat mengundang Bhante. Semoga permohonanku diketahui oleh Bhante melalui lambang dan sikap seperti ini."

Kemudian ia mengambil delapan genggam bunga melati dan menebarkannya ke langit. Bunga-bunga itu mengambang di udara menuju Vihara Jetavana dan terletak menggantung pada langit-langit ruang pertemuan di mana Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Pada akhir khotbah Beliau, Anathapindika, ayah Culasubhadda, mendekati Sang Buddha untuk mengundang menerima dana makanan di rumahnya pada esok hari.

Sang Buddha menjawab bahwa ia telah menerima undangan Culasubhadda untuk esok hari. Anathapindika bingung dengan jawaban Sang Buddha dan berkata, "Tetapi, Bhante ! Culasubhadda tidak tinggal di Savatthi di sini, ia tinggal di Ugga yang berjarak seratus dua puluh yojana dari sini." Kepadanya Sang Buddha berkata, "Benar, perumah tangga, tetapi kebaikannya jelas terlihat nyata seakan-akan hadir meskipun hal itu mungkin berada pada jarak jauh."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 304 berikut :

Meskipun dari jauh, orang baik akan terlihat bersinar bagaikan puncak pegunungan Himalaya. Tetapi, meskipun dekat, orang jahat tidak akan terlihat, bagaikan anak panah yang dilepaskan pada malam hari.

Hari berikutnya, Sang Buddha datang ke rumah Ugga, ayah mertua Culasubhadda. Sang Buddha diiringi dengan lima ratus bhikkhu dalam perjalanan ini, mereka semua datang melalui udara dalam perahu penuh dekorasi yang diciptakan atas perintah Sakka, Raja para dewa. Melihat Sang Buddha dalam kemegahan dan keagungannya, ayah mertua Culasubhadda sangat terkesan dan mereka memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Untuk tujuh hari berikutnya, Ugga dan keluarganya memberi dana makanan dan membuat persembahan kepada Sang Buddha beserta murid-murid Beliau.
 
Syair 305 (XXI:9. Kisah Thera Yang Berdiam Seorang Diri)

Ekavihari Thera tidak banyak bergaul dengan bhikkhu-bhikkhu lain. Ia biasa berdiam seorang diri. Ia akan tidur, berbaring, berdiri, atau berjalan seorang diri. Bhikkhu-bhikkhu lain berprasangka buruk terhadap Ekavihari dan berkata kepada Sang Buddha tentang dirinya. Tetapi Sang Buddha tidak menyalahkannya. Sebaliknya Beliau berkata, "Ya, sesungguhnya anak-Ku telah berkelakuan baik, karena seorang bhikkhu seharusnya berdiam dalam kesunyian dan kesendirian."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 305 berikut :

Ia yang duduk sendiri, tidur sendiri, berjalan sendiri tanpa rasa jemu serta selalu membina diri, akan gembira berdiam di dalam hutan.
 
Bab XXII-NIRAYA VAGGA

Syair 306 (XXII:1. Kisah Sundari, Pertapa Wanita Pengembara)

Pada saat jumlah orang-orang yang menghormat Sang Buddha meningkat, pertapa-pertapa bukan Buddhis mendapatkan jumlah pengikut mereka semakin berkurang. Oleh karena itu mereka menjadi sangat iri hati terhadap Sang Buddha. Mereka juga takut bahwa keadaan akan semakin buruk jika mereka tidak melakukan sesuatu untuk merusak nama baik Sang Buddha. Kemudian mereka mengundang Sundari, dan berkata kepadanya. "Sundari, kamu adalah seorang wanita muda yang cantik dan pintar. Kami menginginkan kamu membuat malu Samana Gotama dengan mengatakan kepada banyak orang bahwa kamu telah berhubungan kelamin dengannya. Dengan melakukan hal ini citra baiknya akan rusak, pengikutnya akan berkurang sehingga banyak orang yang akan datang kepada kita. Buatlah penampilan yang terbaik dan pandai-pandailah."

Sundari mengerti apa yang diharapkan darinya. Kemudian pada malam hari, dia pergi ke Vihara Jetavana. Ketika dia ditanya ke mana hendak pergi, dia menjawab, "Saya pergi mengunjungi Samana Gotama, saya tinggal bersamanya di kamar harum (Gandha Kuti) di Vihara Jetavana." Setelah mengatakan hal ini, dia pergi ke tempat pertapa-pertapa bukan Buddhis.

Pagi-pagi sekali keesokan harinya dia kembali ke rumahnya. Jika orang-orang menanyakan dia dari mana, dia akan menjawab, "Saya baru dari kamar harum (Gandha Kuti) setelah bermalam semalam dengan Samana Gotama." Wanita itu terus mengatakan hal ini selama dua hari. Pada akhir hari ke tiga, pertapa-pertapa menyuruh beberapa pemabuk untuk membunuh Sundari dan meletakkan jenazahnya di tumpukan sampah dekat Vihara Jetavana.

Hari berikutnya, para pertapa menyebarkan berita mengenai hilangnya pertapa wanita pengembara (Paribbajika) Sundari. Mereka pergi menghadap Raja untuk melaporkan kecurigaan mereka. Raja mengizinkan mereka untuk menyelidiki di tempat yang mereka perkirakan. Ketika menemukan jenazah di dekat Vihara Jetavana, mereka membawanya ke istana.

Kemudian mereka berkata kepada Raja, "O Raja, pengikut-pengikut Gotama telah membunuh Paribbajika Sundari dan membuang jenazahnya di tumpukan sampah dekat Vihara Jetavana, untuk menutupi kesalahan guru mereka."

Kepada mereka raja menjawab, "Dalam kasus ini kalian boleh berkeliling kota dan mengumumkan bukti-bukti tersebut."

Mereka lalu mengelilingi kota membawa jenazah Sundari dan berteriak, "Lihat ! Apa yang telah dilakukan oleh pengikut-pengikut Gotama ! Lihat bagaimana mereka mencoba menutupi kesalahan Gotama !" Arak-arakan tersebut kemudian kembali ke istana. Para bhikkhu yang tinggal di Vihara Jetavana mengatakan kepada Sang Buddha apa yang telah dilakukan oleh pertapa-pertapa untuk merusak nama baik dan merusak citra Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha hanya berkata, "Anak-anak-Ku, kalian harus memberitahukan mereka mengenai hal ini," kemudian Beliau membabarkan syair 306 berikut ini :

Orang yang selalu bicara tidak benar, dan juga orang yang setelah berbuat kemudian berkata, "Aku tidak melakukannya," akan masuk ke neraka. Dua macam orang yang mempunyai kelakuan rendah ini, mempunyai nasib yang sama dalam dunia selanjutnya.

Sementara itu, raja memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki lebih lanjut pembunuhan Sundari. Dari penyelidikan itu mereka menemukan bahwa Sundari meninggal dunia di tangan pemabuk-pemabuk. Kemudian para pemabuk dibawa menghadap raja. Ketika ditanya, para pemabuk mengakui bahwa mereka disuruh oleh pertapa-pertapa untuk membunuh Sundari dan meletakkan jenazahnya di dekat Vihara Jetavana. Raja memanggil pertapa-pertapa bukan Buddhis dan akhirnya pertapa-pertapa itu mengakui rencana mereka dalam pembunuhan Sundari.

Raja memerintahkan mereka untuk pergi berkeliling kota, mengakui kesalahan mereka pada umum. Mereka berkeliling kota dan berkata, "Kami adalah orang-orang yang membunuh Sundari, kami telah bersalah menuduh pengikut Gotama hanya untuk memalukan Gotama. Pengikut-pengikut Gotama tidak bersalah, kamilah yang bersalah atas kejahatan ini."

Sebagai kesimpulan dari peristiwa ini, kekuatan, keagungan, dan keberuntungan Sang Buddha sangatlah tinggi.
 
Syair 307 (XXII:2. Kisah Mereka Yang Menderita Karena Perbuatan Jahat Mereka Sendiri)

Suatu saat Yang Ariya Maha Moggallana sedang menuruni bukit Gijjhakuta bersama Lakkhana Thera. Ia melihat beberapa makhluk setan. Ketika mereka tiba di vihara, Maha Moggallana Thera berkata pada Lakkhana Thera di hadapan Sang Buddha, bahwa ia telah melihat sesosok makhluk setan (peta) yang hanya berupa kerangka tulang. Kemudian ia menambahkan bahwa ia juga telah melihat lima bhikkhu dengan tubuh terbakar dalam kobaran nyala api.

Mendengar pernyataan tentang para bhikkhu yang terbakar itu, Sang Buddha berkata, "Pada masa hidup Buddha Kassapa, para bhikkhu tersebut telah melakukan banyak perbuatan jahat. Karena perbuatan jahat itulah maka mereka telah menderita di alam neraka (niraya) dan sekarang mereka sedang mengalami sisa penderitaannya hidup sebagai makhluk setan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 307 berikut :

Bila seseorang menjadi bhikkhu dengan mengenakan jubah kuning tetapi masih berkelakuan buruk dan tidak terkendali, maka akibat perbuatan-perbuatan jahatnya sendiri, ia akan masuk ke alam neraka.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.