• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Dhammapada Atthakatha

Syair 244-245 (XVIII:6. Kisah Culasari)

Suatu hari, Culasari berjalan pulang dari mengunjungi seorang pasien. Dalam perjalanan ia berjumpa Sariputta Thera dan bercerita bagaimana ia merawat seorang pasien serta mendapatkan makanan enak untuk pelayanannya. Ia juga meminta Sariputta Thera untuk menerima darinya sebagian dari makanan tersebut. Sariputta Thera tidak mengatakan apapun kepadanya melainkan terus melanjutkan perjalanannya. Sariputta Thera menolak menerima makanan dari bhikkhu itu karena bhikkhu tersebut telah melanggar peraturan yang melarang para bhikkhu membuka praktek pengobatan.

Bhikkhu-bhikkhu lain melaporkan hal ini kepada Sang Buddha dan Beliau berkata kepada mereka, "Para bhikkhu ! Seorang bhikkhu yang tidak tahu malu itu buruk dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Ia sombong seperti seekor gagak, ia menghidupi diri dengan cara yang melanggar peraturan dan hidup dalam kenikmatan. Di sisi lain, kehidupan bagi seorang bhikkhu yang memiliki malu tidaklah mudah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 244 dan 245 berikut ini :

Hidup ini mudah bagi orang yang tidak tahu malu, yang suka menonjolkan diri seperti seekor burung gagak, suka memfitnah, tidak tahu sopan santun, pongah, dan menjalankan hidup kotor.

Hidup ini sukar bagi orang yang tahu malu, yang senantiasa mengejar kesucian, yang bebas dari kemelekatan, rendah hati, menjalankan hidup bersih dan penuh perhatian.


Banyak orang pada saat itu mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma berakhir.
 
Syair 246-248 (XVIII:7. Kisah Lima Murid Awam)

Suatu ketika, lima murid awam melewatkan hari puasa (Uposatha) di Vihara Jetavana. Sebagian besar dari mereka hanya menjalankan satu atau dua peraturan moral (sila) saja dari ‘Lima Peraturan Moral?(pancasila). Masing-masing dari mereka yang menjalankan salah satu sila tertentu menyatakan bahwa sila yang dijalankannya merupakan sila yang paling sulit dan kemudian terjadi perdebatan. Akhirnya, mereka menghadap Sang Buddha dengan membawa masalah ini.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Engkau tidak boleh menganggap suatu sila itu mudah ataupun tidak penting. Setiap sila harus dijalankan dengan ketat. Jangan menganggap ringan sila yang mana pun; tidak ada sila yang mudah dijalankan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 246, 247, dan 248 berikut ini :

Barang siapa membunuh makhluk hidup, suka berbicara tidak benar, mengambil apa yang tidak diberikan, merusak kesetiaan isteri orang lain,

Atau menyerah pada minuman yang memabukkan; maka di dunia ini orang seperti itu bagaikan menggali kubur bagi dirinya sendiri.

Orang baik, ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak mudah mengendalikan hal-hal yang jahat. Jangan biarkan keserakahan dan kejahatan menyeretmu ke dalam penderitaan yang tak berkesudahan.


Lima murid awam mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Syair 249-250 (XVIII:8. Kisah Tissa)

Tissa, seorang bhikkhu muda, mempunyai kebiasaan yang sangat buruk yaitu melecehkan kemurahan hati dan perbuatan baik orang lain. Ia bahkan mencela dana yang diberikan oleh Anathapindika dan Visakha. Di samping itu, ia membual bahwa teman-temannya sangatlah kaya bagaikan sumur, dimana setiap orang bisa mendapatkan air.

Mendengar ia membual demikian, para bhikkhu yang lain tidak percaya; maka mereka memutuskan untuk menemukan kebenarannya. Beberapa bhikkhu muda pergi ke desa asal Tissa dan mencari keterangan tentang hal ini. Mereka menemukan kenyataan bahwa semua teman-teman Tissa miskin, dan selama ini Tissa hanya membual saja.

Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau berkata, "Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tidak senang orang lain menerima pemberian dan persembahan, ia tidak akan pernah mencapai ‘Jalan dan Hasil Kesucian’ (magga dan phala)."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 249 dan 250 berikut ini :

Orang-orang memberi sesuai dengan keyakinan dan menurut kesenangan hati mereka. Karena itu barang siapa yang merasa iri atas makanan dan minuman orang lain, ia tidak akan memperoleh kedamaian batin, baik siang ataupun malam.

Orang yang telah memotong perasaan iri hati ini seluruhnya, mencabut akar-akarnya serta menghancurkannya, akan memperoleh kedamaian batin, baik siang ataupun malam.
 
Syair 251 (XVIII:9. Kisah Lima Murid Awam)

Pada suatu ketika, lima murid awam hadir pada saat Sang Buddha sedang berkhotbah Dhamma di Vihara Jetavana. Seorang dari mereka duduk tertidur, orang ke dua menggambar garis-garis di tanah dengan jarinya, orang ke tiga mencoba mengguncang sebatang pohon, dan orang ke empat memandangi langit. Orang ke lima merupakan satu-satunya murid yang mendengarkan Sang Buddha dengan hormat dan penuh perhatian.

Ananda Thera, yang berada di dekat Sang Buddha sambil mengipasi Beliau melihat tingkah laku lima murid awam yang berbeda tersebut. Ia berkata kepada Sang Buddha, "Bhante ! Sementara Bhante menguraikan Dhamma seperti tetesan air hujan jatuh dari langit, hanya satu dari lima orang itu yang mendengarkan dengan penuh perhatian." Kemudian Ananda Thera menyampaikan tingkah laku yang berbeda dari empat orang itu terhadap Sang Buddha dan bertanya mengapa mereka bertingkah laku demikian.

Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda Thera, "Ananda, orang-orang ini tidak dapat menyingkirkan kebiasaan lama mereka. Dalam kehidupan mereka yang lampau, orang pertama adalah seekor ular. Seekor ular biasa melingkarkan dirinya dan tertidur, demikian pula, orang ini tertidur ketika mendengarkan Dhamma.

Orang yang mengais tanah dengan jari tangannya adalah seekor cacing tanah, yang mengguncang pohon adalah seekor kera, yang menatap langit adalah seorang ahli ilmu bintang, dan orang yang mendengarkan Dhamma dengan penuh perhatian adalah seorang peramal terpelajar.

Dalam kaitan ini, Ananda, engkau harus ingat bahwa seseorang haruslah penuh perhatian untuk dapat memahami Dhamma dan bahwa banyak sekali orang yang tidak dapat menjalankan hal ini."

Kemudian Ananda Thera bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante ! Hal-hal apa yang menghalangi orang untuk dapat mengerti Dhamma ?"

Sang Buddha menjawab, "Ananda, nafsu (raga), kebencian (dosa), dan ketidak-tahuan (moha) adalah tiga hal yang menghalangi orang mengerti Dhamma. Nafsu membakar seseorang; tidak ada api sepanas nafsu. Dunia mungkin saja terbakar ketika tujuh matahari muncul di angkasa, tetapi itu jarang sekali terjadi. Namun nafsu selalu membakar tanpa henti."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 251 berikut :

Tiada api yang dapat menyamai nafsu, tiada cengkeraman yang dapat menyamai kebencian, tiada jaring yang dapat menyamai ketidaktahuan, dan tiada arus yang sederas nafsu keinginan.

Murid yang mendengarkan dengan penuh perhatian mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Syair 252 (XVIII:10. Kisah Mendaka Si Orang Kaya)

Suatu ketika, dalam perjalanan Beliau ke wilayah Anga dan Uttara, Sang Buddha mengetahui dari penglihatan luar biasa Beliau bahwa telah tiba saatnya bagi Mendaka, istrinya, putranya, menantunya, cucu perempuannya, dan pelayannya untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Mengingat kesempatan enam orang tersebut untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti, Sang Buddha pergi ke kota Baddiya.

Mendaka adalah seorang pria yang teramat kaya raya. Menurut kabar, ia telah menemukan sejumlah besar patung kambing dari emas dalam ukuran yang sebenarnya di halaman belakang rumahnya. Karena alasan tersebut, ia dikenal sebagai Mendaka (kambing) si orang kaya.

Menurut kabar pula, pada masa Buddha Vipassi, ia telah berdana berupa sebuah vihara untuk Buddha Vipassi dan sebuah gedung pertemuan lengkap dengan podium untuk berkhotbah. Selama pembangunan gedung tersebut, ia memberikan persembahan dana makanan kepada Buddha Vipassi dan para bhikkhu selama empat bulan.

Kemudian, pada masa lain dalam kehidupannya yang lampau, ketika ia menjadi seorang kaya di Baranasi, terjadi bencana kelaparan di seluruh daerah tersebut. Suatu hari, mereka memasak makanan yang hanya cukup untuk anggota keluarga saja.

Saat itu lewatlah seorang Paccekabuddha yang sedang berpindapatta. Ia mempersembahkan seluruh makanan tersebut. Tetapi karena kesetiaan dan kemurahan hatinya yang luhur, tempat nasinya kemudian ditemukan terisi lagi secara ajaib, demikian pula lumbungnya.

Mendaka dan keluarganya, mendengar bahwa Sang Buddha datang ke Baddiya, pergi untuk memberi hormat kepada Beliau. Setelah mendengarkan khotbah yang diberikan Sang Buddha, istrinya Candapaduma, anaknya Danancaya, menantunya Sumanadevi, cucu perempuannya Visakha, dan pelayannya Punna mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Mendaka kemudian menceritakan kepada Sang Buddha bahwa dalam perjalanannya tadi beberapa pertapa telah mengatakan hal-hal yang buruk tentang Sang Buddha dan mencegahnya untuk datang mengunjungi Beliau.

Sang Buddha kemudian berkata, "Murid-Ku, sudah biasa bahwa orang tidak melihat kesalahannya sendiri, dan membesar-besarkan kesalahan dan keburukan orang lain."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 252 berikut :

Amat mudah melihat kesalahan-kesalahan orang lain, tetapi sangat sulit untuk melihat kesalahan-kesalahan sendiri. Seseorang dapat menunjukkan kesalahan-kesalahan orang lain seperti menampi dedak, tetapi ia menyembunyikan kesalahan-kesalahannya sendiri seperti penjudi licik menyembunyikan dadu yang berangka buruk.
 
Syair 253 (XVIII:11. Kisah Ujjhanasanni Thera)

Ujjhanasanni Thera selalu mencari kesalahan dan membicarakan hal-hal buruk tentang orang lain. Bhikkhu-bhikkhu lain melaporkan hal ini kepada Sang Buddha.

Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, jika seseorang menemukan kesalahan orang lain kemudian memberitahukan hal-hal yang benar, maka itu bukanlah perbuatan jahat, dan tidak dapat disalahkan. Tetapi, jika seseorang selalu mencari kesalahan orang lain dan membicarakan hal-hal buruk tentang orang lain hanya karena dengki dan iri hati, ia tidak akan mencapai konsentrasi dan pencerapan mental (jhana). Ia tidak akan bisa memahami Dhamma dan kekotoran batinnya (asava) akan bertambah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 253 berikut :

Barang siapa yang selalu memperhatikan dan mencari-cari kesalahan orang lain, maka kekotoran batin dalam dirinya akan bertambah dan ia semakin jauh dari penghancuran kekotoran-kekotoran batin.
 
Syair 254-255 (XVIII:12. Kisah Subhadda Si Pertapa Pengembara)

Subhadda, si pertapa pengembara sedang menetap di Kusinara ketika ia mendengar bahwa Buddha Gotama akan mangkat, mencapai parinibbana pada waktu jaga terakhir malam itu. Subhadda mempunyai tiga pertanyaan yang telah lama membingungkannya. Ia telah menanyakan pertanyaan tersebut kepada guru-guru agama yang lain, misalnya Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambala, Pakudha Kaccayana, Sancaya Belatthaputta, dan Nigantha Nataputta, tetapi jawaban mereka tidak memuaskan baginya. Ia belum bertanya kepada Buddha Gotama, dan ia merasa bahwa hanya Sang Buddha lah yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

Maka, ia bergegas pergi ke hutan pohon Sala, tetapi Y.A. Ananda tidak mengizinkannya bertemu dengan Sang Buddha, karena saat itu kondisi kesehatan Sang Buddha sangat lemah. Sang Buddha mendengar percakapan mereka dan Beliau berkenan untuk menemui Subhadda. Subhadda menanyakan tiga pertanyaan, yaitu :
(1) Apakah ada jalan di langit ?
(2) Apakah ada bhikkhu-bhikkhu suci (samana) di luar ajaran Sang Buddha ?, dan
(3) Apakah ada suatu hal berkondisi (sankhara) yang abadi ? Jawaban Sang Buddha terhadap semua pertanyaan tersebut adalah ‘tidak ada?

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 254 dan 255 berikut ini :

Tidak ada jejak di angkasa, tidak ada orang suci di luar Dhamma. Umat manusia bergembira di dalam belenggu, tetapi Para Tathagata telah bebas dari semua itu.

Tidak ada jejak di angkasa, tidak ada orang suci di luar Dhamma. Tidak ada hal-hal berkondisi yang abadi. Tidak ada lagi keragu-raguan bagi Para Buddha.


Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Subhadda mencapai tingkat kesucian anagami, dan atas permohonannya, Sang Buddha menerima Subhadda sebagai anggota Pasamuan Bhikkhu (Sangha).

Subhadda adalah orang terakhir yang menjadi bhikkhu pada masa kehidupan Sang Buddha Gotama. Akhirnya, Subhadda mencapai tingkat kesucian arahat.
 
Bab XIX-DHAMMATTHA VAGGA

Syair 256-257 (XIX:1. Kisah Para Hakim)

Suatu hari, beberapa bhikkhu sedang berjalan pulang dari menerima dana makanan, ketika hujan turun dan mereka berteduh di suatu gedung pengadilan. Saat berada di sana, mereka melihat bahwa beberapa orang hakim, setelah menerima uang suap, membebaskan suatu perkara.

Mereka melaporkan masalah ini kepada Sang Buddha dan Beliau berkata, "Para bhikkhu ! Dalam memutuskan suatu perkara, jika seseorang terpengaruh oleh rasa kasihan atau pertimbangan keuangan, dia tidak dapat disebut sebagai ‘si adil?atau ‘hakim yang patuh pada hukum? Jika seseorang menimbang bukti-bukti dengan teliti dan memutuskan suatu kasus secara tidak memihak, maka ia disebut ‘si adil?atau ‘hakim yang patuh pada hukum?"

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 256 dan 257 :

Orang yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesa-gesa tidak dapat dikatakan sebagai orang yang adil. Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti mana yang benar dan mana yang salah.

Orang yang mengadili orang lain dengan tidak tergesa-gesa, bersikap adil dan tidak berat sebelah, yang senantiasa menjaga kebenaran, pantas disebut orang yang adil.
 
Syair 258 (XIX:2. Kisah Kelompok Enam Bhikkhu)

Suatu ketika, terdapat kelompok enam bhikkhu yang selalu membuat keributan di tempat makan, baik di vihara mSuatu ketika, terdapat kelompok enam bhikkhu yang selalu membuat keributan di tempat makan, baik di vihara maupun di desa. Suatu hari, ketika beberapa samanera sedang makan dana makanan yang mereka dapatkan, kelompok enam bhikkhu itu datang dan membual kepada para samanera, "Lihat ! Hanya kamilah orang yang bijaksana." Kemudian mereka melempar-lemparkan benda-benda ke sekeliling, meninggalkan tempat makan dalam keadaan kacau.

Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau berkata, "Para bhikkhu ! Aku tidak menyebut orang yang banyak bicara, mencaci dan menggertak orang lain sebagai seorang bijaksana. Hanya mereka yang bebas dari kebencian dan tidak merugikan orang lainlah yang merupakan orang bijaksana."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 258 berikut :

Seseorang tidak dapat dikatakan bijaksana hanya karena ia banyak bicara. Tetapi orang yang damai, tanpa rasa benci dan tanpa rasa takut dapat disebut orang bijaksana.
 
Syair 259 (XIX:3. Kisah Arahat Ekudana)

Bhikkhu ini hidup di sebuah hutan kecil di dekat Savatthi. Ia dikenal dengan nama Ekudana, sebab ia hanya hafal satu bait saja dari Kitab Udana. Tetapi thera tersebut mengerti sepenuhnya makna Dhamma yang terkandung dalam bait tersebut. Pada setiap hari uposatha, dia mendesak orang lain untuk mendengarkan Dhamma, dan dia sendiri akan mengucapkan satu-satunya syair yang dihafalnya itu. Setiap kali ia selesai mengucapkan bait itu, para dewa dalam hutan itu memujinya dan menyambutnya dengan tepuk tangan yang meriah.

Pada suatu hari uposatha, dua thera yang terpelajar, yang benar-benar menguasai semua pelajaran Dhamma, diiringi oleh lima ratus bhikkhu datang ke tempat itu. Ekudana meminta kedua thera tersebut untuk memberikan khotbah Dhamma. Mereka bertanya apakah banyak yang ingin mendengarkan Dhamma di tempat yang terpencil itu. Ekudana membenarkan dan juga menceritakan kepada mereka bahwa bahkan para dewa dalam hutan itu biasanya datang, dan mereka selalu memuji dan bertepuk tangan pada akhir khotbah.

Maka, kedua thera terpelajar itu mulai memberikan khotbah Dhamma, tetapi ketika khotbah mereka berakhir, tidak ada tepuk tangan dari para dewa dalam hutan itu. Kedua thera tersebut menjadi bingung dan bahkan meragukan kata-kata Ekudana. Tetapi Ekudana bersikeras bahwa para dewa biasanya datang dan selalu bertepuk tangan pada akhir setiap khotbah.

Kedua thera itu kemudian mendesak Ekudana untuk berkhotbah. Ekudana memegang kipas di hadapannya dan mengucapkan bait yang biasa diucapkannya. Setelah selesai mengucapkan bait itu, para dewa bertepuk tangan seperti biasa. Para bhikkhu yang mengiringi kedua thera terpelajar itu menuduh bahwa para dewa yang berdiam dalam hutan itu sangat berat sebelah.

Mereka melaporkan masalah itu kepada Sang Buddha pada kunjungannya di Vihara Jetavana. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Aku tidak mengatakan bahwa seorang bhikkhu yang telah belajar banyak dan berbicara banyak tentang Dhamma adalah seseorang yang mengetahui Dhamma (Dhammadhara).

Seseorang yang belajar sangat sedikit dan hanya mengetahui satu bait dari Dhamma, tetapi memahami sepenuhnya ‘Empat Kesunyataan Mulia?dan selalu sadar, adalah orang yang sesungguhnya mengetahui Dhamma."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 259 berikut :

Seseorang bukan ‘pendukung Dhamma?hanya karena ia banyak bicara. Namun seseorang yang walaupun hanya belajar sedikit tetapi batinnya melihat Dhamma dan tidak melalaikannya, maka sesungguhnya ia adalah seorang ‘pendukung Dhamma?
 
Syair 260-261 (XIX:4. Kisah Bhaddiya Thera)

Suatu hari, tiga puluh bhikkhu datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi ketiga puluh bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat.

Maka Beliau bertanya kepada mereka apakah mereka telah melihat seorang thera saat mereka memasuki ruangan. Mereka menjawab bahwa mereka tidak melihat seorang thera tetapi mereka hanya melihat seorang samanera muda ketika mereka masuk.

Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu ! Orang tersebut bukanlah samanera, ia adalah seorang bhikkhu senior walaupun bentuk tubuhnya kecil dan sangat sederhana. Aku mengatakan bahwa seseorang tidak dapat disebut thera hanya karena ia berusia tua dan tampak seperti seorang thera; hanya ia yang memahami ‘Empat Kesunyataan Mulia?dan tidak menyakiti orang lain yang dapat disebut seorang thera."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 260 dan 261 berikut ini :

Seseorang tidak disebut thera hanya karena rambutnya telah memutih. Biarpun usianya sudah lanjut, dapat saja ia disebut ‘orang tua yang tidak berguna?

Orang yang memiliki kebenaran dan kebajikan, tidak kejam, terkendali dan terlatih, pandai dan bebas dari noda-noda, sesungguhnya ia patut disebut Thera.


Tiga puluh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Syair 262-263 (XIX:5. Kisah Beberapa Bhikkhu)

Pada suatu vihara, para bhikkhu muda dan samanera mempunyai kebiasaan mengunjungi bhikkhu-bhikkhu lebih tua yang merupakan guru mereka. Mereka mencuci dan mencelup jubah, atau melakukan pelayanan kecil lain bagi guru mereka.

Beberapa bhikkhu lain yang melihat hal ini merasa iri hati kepada para bhikkhu senior, dan mereka memikirkan suatu rencana yang akan menguntungkan mereka secara material. Rencana mereka adalah mengusulkan kepada Sang Buddha bahwa para bhikkhu muda dan samanera harus diminta datang kepada mereka untuk diberi perintah dan petunjuk lebih lanjut walaupun mereka telah diajar oleh guru mereka masing-masing.

Sang Buddha, yang mengetahui sepenuhnya tujuan mereka, menolak usul itu. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Aku tidak mengatakan bahwa engkau baik hati hanya karena engkau mampu berbicara dengan fasih. Hanya dia yang telah menyingkirkan sifat iri hati dan semua kejahatan dengan mencapai ‘Jalan Kesucian Arahat?(arahatta magga) yang dapat disebut orang yang baik hati."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 262 dan 263 berikut ini :

Bukan hanya karena pandai bicara dan bukan pula karena memiliki penampilan yang baik seseorang dapat menyebut dirinya orang yang baik hati, apabila ia masih bersifat iri, kikir dan suka menipu.

Orang yang telah memotong, mencabut dan memutuskan akar sifat iri hati, kekikiran serta dusta; maka orang bijaksana yang telah menyingkirkan segala keburukan itulah yang sesungguhnya dapat disebut orang yang baik hati.
 
Syair 264-265 (XIX:6. Kisah Bhikkhu Hatthaka)

Bhikkhu Hatthaka mempunyai kebiasaan menantang para pertapa bukan pengikut Sang Buddha agar menjumpainya di suatu tempat tertentu untuk berdebat mengenai masalah-masalah keagamaan. Kemudian ia akan pergi seorang diri ke tempat yang telah dijanjikan. Jika tidak seorang pun muncul ia akan membual, "Lihat, pertapa-pertapa pengembara itu tidak berani menjumpaiku, mereka telah kukalahkan !" dan hal-hal semacam lainnya.

Sang Buddha memanggil Hatthaka, dan berkata, "Bhikkhu ! Mengapa engkau bertingkah laku demikian ? Orang yang mengatakan hal-hal semacam itu tidak dapat menjadi seorang samana sekalipun kepalanya gundul. Hanya orang yang telah menyingkirkan semua kejahatan dari dirinya yang dapat disebut seorang samana."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 264 dan 265 berikut ini :

Seseorang yang tidak memiliki disiplin dan suka berdusta tidak dapat disebut seorang pertapa (samana) walaupun ia berkepala gundul. Mana mungkin orang yang penuh dengan keinginan serta keserakahan dapat menjadi seorang samana ?

Barang siapa dapat mengalahkan semua kejahatan, baik yang kecil maupun yang besar, maka ia patut disebut seorang samana karena ia telah mengatasi semua kejahatan.
 
Syair 266-267 (XIX:7. Kisah Seorang Brahmana)

Suatu ketika, ada seorang brahmana yang mempunyai kebiasaan berkeliling untuk menerima dana makanan. Suatu hari, ia berpikir, "Samana Gotama telah menyatakan bahwa orang yang hidup dengan cara menerima dana makanan adalah seorang bhikkhu. Dengan demikian, saya juga dapat disebut seorang bhikkhu." Dengan berpikir seperti itu, ia menghadap Sang Buddha, dan berkata bahwa ia (brahmana itu) dapat juga disebut seorang bhikkhu, karena ia juga pergi menerima dana makanan.

Kepadanya Sang Buddha berkata, "Brahmana, aku tidak berkata bahwa engkau seorang bhikkhu hanya karena engkau pergi mengumpulkan dana makanan. Orang yang menganut kepercayaan yang salah dan bertindak sesuai dengan hal itu tidak dapat disebut seorang bhikkhu. Hanya orang yang melaksanakan perenungan tentang ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan keadaan tanpa inti dari gabungan unsur-unsur yang dapat disebut seorang bhikkhu."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 266 dan 267 berikut ini :

Seseorang tidak dapat disebut bhikkhu hanya karena ia mengumpulkan dana makanan dari orang lain. Selama ia masih bertingkah laku seperti seorang perumah tangga dan tidak mentaati peraturan, maka ia belum pantas disebut bhikkhu.

Dalam hal ini, seseorang yang telah mengatasi kebaikan dan kejahatan, yang menjalankan kehidupan suci dan melaksanakan perenungan tentang kelompok-kelompok khandha, maka sesungguhnya ia dapat disebut seorang bhikkhu.
 
Syair 268-269 (XIX:8. Kisah Para Pertapa Bukan Pengikut Sang Buddha)

Terhadap orang yang mempersembahkan makanan atau benda-benda lain kepada para pertapa itu, mereka akan mengucapkan kata-kata pemberkahan. Mereka akan berkata, "Semoga engkau bebas dari bahaya, semoga engkau menjadi makmur dan kaya, semoga engkau panjang umur," dan sebagainya. Pada waktu itu, para bhikkhu murid Sang Buddha tidak mengucapkan apa pun setelah menerima sesuatu persembahan dari murid awam mereka.

Hal ini karena selama masa dua puluh tahun pertama setelah Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna, para bhikkhu tetap berdiam diri pada saat menerima persembahan. Karena para pengikut Sang Buddha tetap berdiam sedangkan para pertapa bukan pengikut Sang Buddha mengucapkan hal-hal yang menyenangkan bagi murid-murid mereka, orang-orang mulai membandingkan kedua kelompok tersebut.

Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau mengizinkan para bhikkhu mengucapkan kata-kata pemberkahan kepada murid-murid mereka setelah menerima persembahan. Akibatnya, semakin banyak orang yang mengundang para pengikut Sang Buddha untuk menerima dana makanan.

Kemudian para pertapa dari ajaran lain berkata dengan menghina, "Kami taat pada praktek pertapaan dan berdiam diri, tetapi pengikut Samana Gotama berbicara banyak sekali di tempat makan." Mendengar kata-kata yang merendahkan itu, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Ada orang yang tetap berdiam karena mereka bodoh dan takut, dan ada yang tetap berdiam karena mereka tidak mau membagi pengetahuan mereka yang mendalam kepada orang lain. Jadi, orang tidak menjadi seorang pertapa hanya dengan tetap berdiam. Hanya orang yang telah mengatasi kejahatan yang dapat disebut seorang pertapa."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 268 dan 269 berikut ini :

Tidak hanya karena berdiam diri seseorang menjadi orang suci (muni), apabila ia dungu dan bodoh. Bagaikan memegang sepasang neraca, orang bijaksana melaksanakan sesuatu yang baik dan menghindari yang jahat.

Karena seseorang dapat memilih apa yang baik dan menghindari apa yang buruk, maka ia disebut orang suci. Demikianlah, ia yang telah mengerti kedua kelompok (batin maupun jasmani), patut disebut orang suci.
 
Syair 270 (XIX:15. Kisah Seorang Nelayan Bernama Ariya)

Suatu ketika, ada seorang nelayan yang tinggal di gerbang utara kota Savatthi. Suatu hari, melalui kemampuan batin luar biasa, Sang Buddha melihat bahwa telah tiba saatnya bagi nelayan itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Maka dalam perjalanan pulang dari berpindapatta Sang Buddha bersama dengan para bhikkhu, berhenti di dekat tempat di mana Ariya sedang menangkap ikan. Ketika nelayan itu melihat Sang Buddha, ia melemparkan alat penangkap ikannya kemudian datang dan berdiri di dekat Sang Buddha. Sang Buddha mulai menanyakan nama-nama para bhikkhu di hadapan si nelayan, dan akhirnya, Beliau menanyakan nama nelayan itu.

Ketika si nelayan menjawab bahwa namanya adalah Ariya, Sang Buddha berkata bahwa para orang mulia (Ariya) tidak melukai makhluk hidup apa pun, tetapi karena si nelayan membunuh ikan-ikan maka ia tidak layak menyandang nama Ariya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 270 berikut :

Seseorang tidak dapat disebut Ariya (orang mulia) apabila masih menyiksa makhluk hidup. Ia yang tidak lagi menyiksa makhluk-makhluk hiduplah yang dapat dikatakan mulia.

Nelayan Ariya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
alo broe alo broee


Bisa bagi² kitab suci weda nda' ma gw..

kalo isa yang berbentuk e-book gitu....

ada nda' ya ...??

Trimss :)
 
Syair 271-272 (XIX:10. Kisah Beberapa Bhikkhu)

Suatu ketika, ada beberapa bhikkhu yang memiliki kebajikan; beberapa di antara mereka dengan ketat menjalankan latihan-latihan keras (dhutanga), beberapa orang mempunyai pengetahuan yang luas tentang Dhamma, beberapa orang telah mencapai pencerapan mental (jhana). Beberapa orang telah mencapai tingkat kesucian anagami, dan lain-lain. Mereka semua berpikir bahwa karena mereka telah mencapai banyak hal, akan cukup mudah bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian arahat. Dengan pikiran seperti ini mereka pergi menghadap Sang Buddha.

Sang Buddha bertanya kepada mereka, "Para bhikkhu, sudahkah engkau mencapai tingkat kesucian arahat ?" Mereka menjawab bahwa mereka berada dalam keadaan sedemikian sehingga tidak akan sulit bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian arahat sewaktu-waktu.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Hanya karena engkau telah memiliki moralitas (sila), hanya karena engkau telah mencapai tingkat kesucian anagami, engkau tidak boleh puas dan berpikir bahwa hanya tinggal sedikit lagi yang harus dikerjakan; kecuali jika engkau telah menghapuskan semua kekotoran batin (asava). Engkau tidak boleh berpikir bahwa engkau telah mencapai kebahagiaan sempurna tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 271 dan 272 berikut ini :

Bukan hanya karena sila dan tekad, bukan pula karena banyak belajar ataupun karena telah mencapai perkembangan dalam samadhi, atau juga karena berdiam diri di tempat yang sepi;

Lalu ia berpikir, ‘Aku telah menikmati kebahagiaan dari pelepasan yang tidak dapat dicapai oleh orang duniawi.?O para bhikkhu, janganlah engkau merasa puas sebelum mencapai penghancuran semua kekotoran batin.


Semua bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Bab XX-MAGGA VAGGA


Syair 273-276 (XX:1. Kisah Lima Ratus Bhikkhu)

Lima ratus bhikkhu, setelah mengikuti Sang Buddha ke sebuah desa, pulang ke Vihara Jetavana. Sore harinya mereka berbicara tentang perjalanannya, khususnya tentang keadaan tanah, apakah datar atau berbukit, lembek atau berbatu, dan lainnya.

Sang Buddha menghampiri mereka, seraya berkata, "Para bhikkhu, jalan yang kalian bicarakan adalah keadaan di luar diri kalian. Seorang bhikkhu seharusnya hanya terpusat pada ‘jalan utama’ (Jalan Ariya) dan berusaha keras berbuat sesuai dengan ‘Jalan Ariya’ yang membimbing kita merealisasi kedamaian abadi (nibbana)."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 273 sampai dengan 276 berikut ini :

Di antara semua jalan, maka ‘Jalan Mulia Berfaktor Delapan’ adalah yang terbaik; di antara semua kebenaran, maka ‘Empat Kebenaran Mulia’ adalah yang terbaik. Di antara semua keadaan, maka keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik; dan di antara semua makhluk hidup, maka orang yang ‘melihat’ adalah yang terbaik.

Inilah satu-satunya ‘Jalan’. Tidak ada jalan lain yang dapat membawa pada kemurnian pandangan. Ikutilah jalan ini, yang dapat mengalahkan Mara (penggoda).

Dengan mengikuti ‘Jalan’ ini, engkau dapat mengakhiri penderitaan. Dan jalan ini pula yang Kutunjukkan setelah Aku mengetahui bagaimana cara mencabut duri-duri (kekotoran batin).

Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata hanya menunjukkan ‘Jalan’. Mereka yang tekun bersamadhi dan memasuki ‘Jalan’ ini akan terbebas dari belenggu Mara.


Kelima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.