• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Bhavaviveka : Tentang Makan Daging

dilbert

IndoForum Newbie A
No. Urut
33357
Sejak
15 Feb 2008
Pesan
340
Nilai reaksi
3
Poin
18
dari forum tetangga...

Bhavaviveka : Tentang Makan Daging

Bhavaviveka (500-578 M), pendiri Svatantrika Madhyamika, salah satu aliran dalam Mahayana pernah menulis dalam karyanya Madhyamaka-hrdaya-karika tentang makan daging sebagai berikut:

Na mansa bhaksanam bhoktum bhujyate papa karanat
Ksut pratikara hetutvad yad rcchagata bhaktavat


133. “Tindakan memakan daging dengan tujuan sebagai nutrisi, obat bagi penyakit atau sebagai pemulih kelaparan tidak menyebabkan karma buruk.”

Asucitvad abahksyam cen mansam kayo pi cintyatam
Bija sthanad upastambhad asuci vitkrimir yatha


134. “Larangan memakan daging dengan alasan ketidaksucian itu tidak dapat diterapkan. Tubuh kita sendiri dilahirkan dengan tidak suci dan terus menerus tidak suci, tidak peduli apakah seseorang makan daging ataupun tidak. Tubuh manusia ini tidak suci, seperti cacing di tumpukan kotoran.”

Sukradi sambhavad eva matsya mansam vigarhitam
Tam ghrta ksiradir hetoh syad evam vyabhicarita


135. "Larangan memakan ikan dengan alasan bahwa ikan adalah gabungan dari sperma dan darah tidak dapat diterapkan. Ketika ikan dilarang untuk dimakan, kenapa ghee dan susu, yang merupakan produk dari penyatuan sperma dan darah, tidak dilarang?”

Mansadah prani ghati cet tan nimittatvato matah
Ajinadi dharair hetoh syad evam vyabhicarita


136. “Larangan memakan daging dengan alasan mengambil kehidupan hewan tidak dapat diterapkan. Jika seoarng petapa tidak memakai bulu dan kulit binatang, seekor rusa Sarabha akan selamat. Hidup seekor hewan yang diambil, tidak hanya dengan tujuan memakan dagingnya.”

Na mansa bhaksanam dustam tadanim prany aduhkhanat
Mukta barhi kalapadi tandulambupayogavat


137. “Larangan memakan daging dengan alasan bahwa ketakutan dan penderitaan makhluk tidak dapat diterapkan. Ketika dimakan, hewan tersebut telah dipukul sampai mati. Tindakan memakan daging bukanlah sebuah tindakan yang negatif seperti halnya tindakan memakan beras dan meminum air bukan tindakan yang negatif. Hewan tersebut tidak tersiksa oleh tindakan memakan daging mereka, sama seperti merak yang tidak menderita apabila bulunya diambil. Sama seperti gajah yang tidak meninggal karena gadingnya dicabut. Sama seperti ibu kerang yang tidak menderita dan mati oleh karena mutiaranya diambil. Jika hal memakan daging [yang telah mati] adalah berdosa, mengapa kremasi tubuh yang telah mati tidak berdosa [membuat karma buruk]?"

Samkalpa jatvad ragasya na hetur [mansa bhaksanam]
[tad]vinapi tad utpatter gavam iva trnasinam


138. “Larangan memakan daging dengan alasan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan nafsu seksual tidak dapat diterapkan. Meskipun merupakan seekor hewan pemakan tumbuhan (herbivora), seekor lembu atau kuda di sini diketahui memiliki hasrat seksual yang menggebu-gebu.”

Bhavaviveka, selaku pakar Mahayana mengizinkan makan daging dan menganjurkan Tri-koti-suddha-mamsa bagi para Buddhis yaitu untuk tidak memakan daging di mana kita melihat, mendengar dan mencurigai binatang itu dibunuh untuk dimakan oleh kita.

Bhavaviveka ditahbiskan sendiri oleh YA Nagarjuna, pendiri aliran Madhyamika. Menurut tradisi Vajrayana, Bhavaviveka merupakan salah satu dari 17 Maha Pandita.

Bhavaviveka juga mengetahui keberadaan Hastikaksya Sutra, Mahamegha sutra, Lankavatara Sutra dan Angulimaliya sutra, yang merupakan sutra-sutra Mahayana yang berisi anjuran vegetarian. Hal ini dapat diketahui lewat Tarkajvala yang ditulis Bhavaviveka.

"Dalam teks nya yang berjudul Esensi dari Jalan Tengah (Madhyamaka-hrdayakarika), Bhaviveka --seorang Guru Besar Mahayana dari India-- mengajukan permasalahan apakah vegetarian itu penting dalam cara hidup seorang Buddhis. Beliau mengemukakan alasan bahwa karena pada saat memakan daging, binatang tersebut telah mati, tindakan memakan daging tersebut tidak menyebabkan rasa sakit secara langsung terhadap binatang tersebut. Yang secara khusus dilarang adalah memakan daging dari binatang yang anda perintahkan untuk dibunuh, atau anda curiga, mendengar, atau melihat bahwa binatang tersebut dibunuh khusus untuk anda. Daging tersebut tidak seharusnya kita makan. (Syarat ini jelas sama dengan yang tercantum dalam ajaran Theravada)"
 
@Dilbert, thanks sharingnya, tapi hati2 dengan yang fanatik pada vegetarian.
 
Vegetarian seharusnya jgn dijadikan sbg suatu alat penilaian thd seseorg dan jgn dibiarkan sbg suatu kefanatikan.

vegetarian sebaiknya digunakan utk menunjang kehidupan spritual, ....bukan sebagai tujuan.
 
Vegetarian seharusnya jgn dijadikan sbg suatu alat penilaian thd seseorg dan jgn dibiarkan sbg suatu kefanatikan.

vegetarian sebaiknya digunakan utk menunjang kehidupan spritual, ....bukan sebagai tujuan.

@ThirdEye, saya tidak menilai seseorang dari sini, tapi hanya mengingatkan bahwa thread ini rawan dan sangat mudah dijadikan ajang perdebatan tentang vegetarian.

kayanya ga perlu diperpanjang, nanti malah makin OOT. btw sharing diatas oke dan bisa menambah pengetahuan, apakah anda setuju?
 
@ThirdEye, saya tidak menilai seseorang dari sini, tapi hanya mengingatkan bahwa thread ini rawan dan sangat mudah dijadikan ajang perdebatan tentang vegetarian.

kayanya ga perlu diperpanjang, nanti malah makin OOT. btw sharing diatas oke dan bisa menambah pengetahuan, apakah anda setuju?

pernyataan gue bukan ditujukan kpd anda, bro..

cuma pernyataan umum saja.....
ungkapan hati...heheheh
 
Berarti vegetarian secara langsung tidak menambah efek spritual, apabila vegetarian dilakukan dengan pemahaman yang salah?..... Misal, seperti pengertian terbalik dari postingann TS?
 
@ThirdEye, sori yach, ternyata salah tanggap "bola", hehehe....btw it's ok. n sori kalo udah salah sangka n mungkin menyinggung anda.

@Traktor, vegetarian tidak memiliki efek spiritual. kalo iya, hewan herbivora lebih maju donk dibanding manusia?
kalo untuk kesehatan --> oke
kalo untuk melatih diri --> oke, contohnya, saya meat eater trus saya berusaha vegetarian untuk beberapa lama - misalnya 100 hari. pasti akan berat dan penuh perjuangan karena melepaskan hal yang sangat kita sukai. (mungkin ini yang dimaksud @ThirdEye dengan menunjang kehidupan spiritual)

jadi untuk saya bervegetarian atau tidak yang penting proses melatih dirinya
 
Patriark Chan (Zen) aliran Linji dan Caodong masa kini, yaitu Ven. Sheng Yen (Dharma Drum Mountain) juga pernah berkata:
"Tetapi jika untuk keluarga dan alasan sosial menjadi seorang vegetarian sangat sulit, maka orang boleh memakan daging. Namun seseorang tidak boleh membunuh atau menyuruh orang lain untuk membunuh. Membeli daging yang sebelumnya telah dibunuh untuk dibawa ke rumah itu diizinkan."
(Orthodox Chinese Buddhism oleh Ven. Sheng Yen)

Berarti vegetarian secara langsung tidak menambah efek spritual, apabila vegetarian dilakukan dengan pemahaman yang salah?..... Misal, seperti pengertian terbalik dari postingann TS?

menurut saya, vegetarian sendiri (jika dilakukan dengan benar) seharusnyaa ada efek spiritualnya tersendiri, tetapi kan dirasakan oleh diri sendiri. Tidak eksplisit keluar nampak oleh orang lain.

Jangankan vegetarian yang positif, ritual ritual kurban (persembahan makhluk hidup) yang negatif sendiri saja ada efek spiritualnya (mengarah ke kesesatan) hehehehe....

Kalau saya pribadi juga seneng makanan vegetarian. Saya kira bhante bhante (bhikkhu theravada) sendiri juga ok ok saja kalau hanya disajikan makanan vegetarian. Lha wong pengertian tentang makanan buat para bhante theravada hanya sekedar untuk mempertahankan kehidupan.

Buddhism & Vegetarianism, Sayadaw U Nandamala
Penyadur: Yulianti, B.Dh. (Diploma), Penyunting: Handaka Vijjananda


Ajaran Buddha (theravada) sebenarnya tidak mengecam ataupun menganjurkan praktik vegetarian. Di dalam sutta-sutta, Sang Buddha tidak mengatakan bahwa praktik vegetarian adalah benar atau salah. Di dalam ajaran Buddha, seseorang bebas untuk memilih apa yang akan mereka jadikan makanan, baik itu sayuran maupun daging. Menkonsumsi makanan penting sekedar untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah berkata, "Semua makhluk hidup bertopang pada makanan".

Sebelum munculnya ajaran Buddha, ada banyak brahmana dan pertapa yang percaya bahwa kesucian hanya dapat tercapai dengan jalan mengatur dengan ketat apa yang mereka makan. Berdasarkan pandangan itu mereka hanya makan nasi dan sayuran dalam jumlah yang sangat sedikit. Bahkan sering kali mereka tidak makan apa pun. Mereka percaya bahwa dengan cara ini, yang semacam penyiksaan diri, kesucian dapat tercapai. Sang Buddha menolak konsep penyucian diri dengan jalan semacam itu.

Sang Buddha tidak menganggap bahwa vegetarian merupakan praktik moralitas. Bahkan praktik vegetarian sama sekali bukan bagian dari moralitas (sila) yang merupakan salah satu faktor dari Jalan Mulia Beruas Delapan.

Sang Buddha menganjurkan kepada semua murid-Nya untuk mempraktikkan Dhutanga. Dhutanga secara harfiah diartikan sebagai latihan untuk menghancurkan kekotoran batin. Praktik vegetarian tidaklah termasuk dalam faktor dhutanga, yang berarti bukan merupakan faktor penting untuk mengakhiri penderitaan. Oleh karenanya, Sang Buddha tidak mendorong para murid-Nya untuk menjadi vegetarian. Tetapi Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan.

Pada masa kehidupan Sang Buddha, dalam Kanon Pali (Pacittiya Pali, Vinaya Pitaka) disebutkan bahwa ada lima jenis makanan yang biasa disajikan sebagai menu sehari-hari dan juga biasa didanakan kepada para bhikkhu, yaitu nasi, bubur beras, terigu rebus, ikan, dan daging. Selain dari lima jenis makanan di atas, disebutkan pula sembilan jenis makanan yang lebih istimewa, yaitu makanan yang dicampur dengan mentega cair, mentega segar, minyak, madu, sirup gula, ikan, daging, susu, dan dadih.

Sembilan jenis makanan tersebut umumnya ditemukan di kalangan keluarga kaya dan mereka juga mendanakannya kepada para bhikkhu. Para bhikkhu diperbolehkan menerima makanan itu bila didanakan oleh para umat awam, namun mereka akan dikatakan melanggar vinaya jika dengan sengaja meminta makanan tersebut kepada umat, tanpa disertai alasan tertentu, yaitu ketika mereka sedang sakit.

Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa ikan dan daging sudah biasa dikonsumsi sejak masa hidup Sang Buddha. Sang Buddha dan para murid-Nya hanya makan dari hasil pindapatta. Sang Buddha sendiri memakan daging dan memperkenankan para murid-Nya berlaku serupa, dengan catatan bahwa daging tersebut tidak khusus disediakan atau dibunuh untuk Beliau dan para bhikkhu.

Sebagai pendukung, ada beberapa contoh yang membuktikan bahwa daging sudah biasa dikonsumsi sebelumnya dan Kanon Pali menyebutkan bahwa ada beberapa macam daging yang didapati dalam mangkok (patta) Sang Buddha.

Pada suatu ketika, di sebuah hutan, segerombolan perampok membunuh seekor sapi untuk dimakan. Pada saat yang sama, di hutan itu seorang bhikkhuni arahat bernama Uppalavamna sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Ketika melihat bhikkhuni tersebut, kepala gerombolan perampok menganjurkan anak buahnya untuk tidak mengganggu. Dia sendiri menggantungkan sepotong daging sapi di cabang pohon, mempersembahkannya kepada bhikkhuni ini, dan berlalu. Bhikkhuni Uppalavamna kemudian mengambil potongan daging tersebut dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha (Nissaggiyapacittiya Pali, Vinaya Pitaka).

Pada peristiwa lainnya, Sang Buddha dalam perjalanan menuju Kusinara (hari terakhir sebelum Sang Buddha Parinibbana). Cunda, perajin emas dari Pava, mempersembahkan makanan terhadap Sang Buddha, termasuk sukaramaddava di dalamnya. Sukaramaddava berarti daging babi berusia setahun yang dijual. Daging babi semacam ini lunak dan kaya gizi. Meskipun kata sukaramaddava ini ditafsirkan dalam banyak arti, namun arti seperti di atas didukung oleh Y.M. Buddhagosa, penulis kitab Komentar Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya.

Di dalam bukunya Y.M. Buddhagosa menyebutkan penafsiran pengajar-pengajar lain tentang sukaramaddava. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah semacam susu beras atau puding beras susu; beberapa lagi menyebutkan bahwa itu adalah semacam obat penguat (tonik). Belakangan ini, beberapa pelajar vegetarian menyebutkan bahwa sukaramaddava adalah sejenis jamur.

Jadi kita mendapati adanya daging dalam mangkok Sang Buddha dan murid-Nya, tetapi Sang Buddha menganjurkan untuk menghindari memakan sepuluh jenis daging. Kesepuluh jenis daging tersebut adalah daging manusia, daging gajah, daging kuda, daging anjing, daging ular, daging singa, daging harimau, daging macan tutul, daging beruang, dan daging serigala atau hyena (Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka).

Seorang Bhikkhu dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi sepuluh macam daging tersebut karena beberapa alasan yang secara ringkas tercantum di kitab Komentar Vinaya (Samattpasadika) seperti berikut ini. Daging manusia tidak seharusnya dimakan karena berasal dari spesies yang sama. Daging gajah dan kuda tidak seharusnya dimakan karena mereka adalah peliharaan dari seorang raja. Sedangkan daging anjing dan ular dikarenakan mereka termasuk jenis hewan yang menjijikkan, kelompok terakhir adalah singa, harimau, dan sebagainya, tidak seharusnya dimakan karena mereka tergolong binatang berbahaya dan jika dimakan bau daging binatang tersebut bisa membahayakan para bhikkhu yang bermeditasi di hutan.

Meskipun Sang Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk menkonsumsi daging kecuali kesepuluh jenis di atas, Beliau memberlakukan tiga persyaratan, yaitu seorang bhikkhu tidak diperbolehkan menerima daging apabila:
1. Melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh.
2. Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh.
3. Mengetahui bahwa binatang tersebut dibunuh khusus untuk dirinya.

Karena Sang Buddha dan para murid-Nya bersikap non-vegetarian, tidak sedikit tokoh keagamaan lainnya yang mencela Sang Buddha. Sebagai contoh, suatu ketika kepala suku Vajji yang bernama Siha mengundang Sang Buddha dan murid-Nya untuk makan siang. Siha mempersembahkan nasi dan lauk, termasuk daging yang dibelinya di pasar. Sekelompok pertapa Jain mendengar bahwa Siha mempersembahkan nasi campur daging kepada Sang Buddha. Mereka mencela Sang Buddha maupun Siha, mereka memfitnah: "Siha, sang kepala suku, telah membunuh binatang besar untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Sang Buddha, dan sekalipun Sang Buddha mengetahuinya, Ia tetap saja memakan daging tersebut (Siha-senaoati Sutta, Anguttara Nikaya).

Berdasarkan Jainisme, memakan daging adalah hal yang salah. Mereka berpandangan bahwa seseorang yang memakan daging akan mewarisi setengah karma buruk yang dibuat oleh si pembunuh hewan itu. Si pembunuh membunuh hewan karena si pemakan memakan daging. Sebelum menjadi pengikut Sang Buddha, Siha adalah pengikut Mahavira, pendiri Jainisme.

Suatu ketika, seorang tabib bernama Jivaka mengunjungi Sang Buddha dan memberitahukan tentang berita yang didengarnya. "Yang mulia, ada yang mengatakan bahwa beberapa bintang telah dibunuh untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Pertapa Gotama. Pertapa Gotama menerimanya sekalipun mengetahui bahwa binatang itu khusus dibunuh untuk-Nya. Yang Mulia, mohon dijelaskan apakah yang mereka katakan itu benar atau tidak."

Sang Bhuddha menolak kebenaran berita tersebut dan menjelaskan, ''O Jivaka, barang siapa yang terlibat dalam pemotongan hewan untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada-Ku dan para murid-Ku, orang itu akan melakukan banyak kejahatan karena lima hal:
1. Dengan tujuan berdana, orang itu memerintahkan agar seekor binatang dibawa untuk dibunuh;
2. Binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika ditarik dengan paksa;
3. Perintah untuk membunuh binatang itu;
4. Binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika dibunuh;
5. Ia menyulitkan Aku dan murid-murid-Ku dengan mempersembahkan makanan yang tidak sesuai untuk kami." (Jivaka Sutta, Majjima Nikaya)

Sang Buddha mengizinkan untuk mengkonsumsi daging asalkan bebas dari ketiga syarat di atas, karena memakan daging bukanlah perbuatan buruk, seperti halnya perbuatan membunuh makhluk hidup. Karena itu Sang Buddha menolak kepercayaan bahwa orang yang makan daging akan ikut mewarisi perbuatan buruk dari orang yang membunuh hewan.

Bhikkhu Devadatta, sepupu Sang Buddha, yang selalu menentang Sang Buddha, pada suatu ketika datang dan meminta Sang Buddha untuk tidak mengizinkan para bhikkhu mengkonsumsi daging dan ikan sepanjang hidup mereka, dan apabila hal itu dilanggar maka mereka dinyatakan bersalah. Dengan tegas Sang Buddha menolak permintaan Devadatta ini (Culavagga Pali, Vinaya Pitaka).

Sehubungan dengan konsumsi daging, Amagandha Sutta adalah sutta yang sangat penting. Sutta yang termasuk dalam Sutta Nipata, Khudaka Nikaya, ini untuk pertama kalinya dibabarkan oleh Buddha Kassapa dan kemudian dikatakan ulang oleh Buddha Gotama.

Pada suatu ketika, seorang pertapa yang menjalani vegetarian mendatangi Sang Buddha dan menanyakan apakah Sang Buddha memakan amagandha atau tidak. Sang Buddha bertanya kepada pertapa itu, "Apakah amagandha itu?", dan pertapa itu menjawab bahwa amagandha adalah semacam daging. Amagandha secara harfiah berarti bau daging, dalam hal ini berkonotasi sesuatu yang busuk, menjijikkan, dan kotor. Karena itulah pertapa ini memakai istilah amagandha.

Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan bahwa sesungguhnya daging bukanlah amagandha, tetapi segala jenis kekotoran batin dan semua bentuk perbuatan jahatlah yang semestinya disebut amagandha. Sang Buddha berkata:
1. Membunuh, menganiaya, memotong, mencuri, berdusta, menipu, kepura-puraan, berzinah, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
2. Jika seorang tidak terkendali hawa nafsunya, serakah, melakukan tindakan yang tidak baik, berpandangan salah, tidak jujur, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
3. Jika seseorang berlaku kasar dan kejam, suka memfitnah, pengkhianat, tanpa belas kasih, sombong, kikir, dan tidak pernah berdana, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
4. Kemarahan, kesombongan, keras kepala, bermusuhan, *******, dengki, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, berhubungan dengan hal-hal yang tidak baik, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
5. Jika seseorang bermoral buruk, menolak membayar hutang, pengumpat, penuh tipu daya, penuh dengan kepura-puraan, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.

Menurut ajaran Buddha, pemurnian dari kekotoran batin (kilesa) adalah hal yang sangat penting untuk mencapai Nibbana. Kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membersihkan pikiran, kemurnian pikiran hanya dapat dicapai melalui pengembangan kebajikan dalam diri masing-masing, yaitu melalui pengembangan moralitas (sila), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna). Kita tidak akan menjadi ternoda atau menjadi suci dengan makan daging atau sayuran.

Telah disebutkan di atas bahwa Sang Buddha tidak pernah menganjurkan para pengikut-Nya untuk menjadi vegetarian atau non-vegetarian, namun Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan (bhojana mattannuta). Apa pun yang Anda konsumsi, baik daging maupun sayuran, Anda harus mengendalikan diri terhadap rasa dari makanan itu untuk mencegah timbulnya kemelekatan pada makanan tersebut (rasatanha).

Kemelekatan terhadap rasa dapat dikikis dengan jalan mengembangkan ketidakmelekatan terhadap makanan atau melalui perenungan tujuan makan (paccavekkhana).

Seorang bhikkhu seharusnya mengkonsumsi makanan bukan dengan tujuan kenikmatan, bukan untuk mendapatkan kekuatan khusus, bukan untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik, dan bukan untuk mempercantik diri. Tetapi hendaknya sekedar demi kelangsungan hidup, memelihara kesehatan, dan memungkinkan mereka tetap bisa menjalankan kehidupan suci (Apannaka Sutta, Anguttara Nikaya).

Di dalam Puttamamsupama Sutta, Sang Buddha menjelaskan bagaimana seharusnya seorang bhikkhu merenungkan makanan mereka dengan mengibaratkan kabalikara sebagai daging anak sendiri. Semua jenis makanan, daging atau sayuran, disebut sebagai kabalikara.

Sang Buddha memberi perumpamaan, "Ada sepasang suami istri dengan satu-satunya anak bayi mereka sedang menempuh perjalanan jauh. Di tengah perjalanan mareka kehabisan bekal makanan dan tidak mampu meneruskan perjalanan tanpa makanan. Di tengah cekaman bayangan kematian karena kelaparan, gagasan buruk muncul dalam pikiran mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk membunuh bayinya dan memakan dagingnya. Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan dengan penuh kesedihan karena telah membunuh anak satu-satunya."

Setelah memberikan perumpamaan tersebut, Sang Buddha menjelaskan artinya melalui tanya-jawab, "O Bhikkhu, bagaimana pendapatmu? Apakah suami istri itu memakan daging bayi sendiri untuk tujuan kenikmatan (davaya), untuk mendapatkan kekuatan khusus (madaya), untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik (mandanaya), atau untuk mempercantik diri (vibhusanaya)?" Para bhikkhu menjawab, "Tidak Yang Mulia. Mereka tidak akan memakan daging anaknya karena tujuan-tujuan itu." Sang Buddha bertanya lagi, "Apakah mereka makan hanya dengan tujuan agar dapat meneruskan perjalanan mereka?" "Benar, O Yang Mulia".

Menurut sutta di atas, hendaknya seseorang merenungkan makanannya seolah seperti daging anak sendiri. Dengan melakukan perenungan semacam ini seseorang bisa mengurangi kehausan atau kemelekatan terhadap rasa dari makanan.

Selanjutnya, mari kita bahas mengenai makanan ditinjau dari sudut pandang Empat Kesunyataan Mulia. Menurut ajaran Buddha, makanan termasuk materi, yang berkaitan dengan agregat materi (rupa khanda). Agregat materi adalah suatu jenis penderitaan. Karena itulah makanan juga subjek dari penderitaan. Ini salah satu hal yang harus dimengerti secara benar (parinneyya). Makanan bukanlah suatu hal yang harus dihancurkan (na pahatabba). Nafsu terhadap rasa yang ditimbulkan oleh makanan itu adalah sebab dari penderitaan (dukkhasamudaya). Sebab inilah yang harus dihancurkan (phatabba). Hilangnya nafsu terhadap rasa dari makanan adalah berakhirnya penderitaan (dukkhanirodha). Inilah yang harus dicapai (sacchikatabba). Merenungkan makanan secara benar agar bebas dari kemelekatan terhadap makanan adalah jalan menuju berakhirnya penderitaan (dukkha nirodha gamini patipada). Inilah yang seharusnya dikembangkan dalam diri masing-masing (bhavetabba).

Menurut ajaran Buddha, berakhirnya penderitaan adalah hal yang paling penting. Hal ini hanya bisa tercapai dengan jalan melenyapkan hawa nafsu atau kehausan (tanha). Oleh karenanya, Anda harus berupaya untuk mencabut akar dari kehausan, kemelekatan terhadap rasa yang ditimbulkan oleh apa pun yang kita makan untuk mencapai akhir dari penderitaan. Nibbana adalah tujuan akhirnya. Anda bebas menjadi vegetarian ataupun non-vegetarian. Tetapi hal penting yang harus Anda upayakan adalah melatih diri untuk menghilangkan kemelekatan terhadap rasa dari makanan yang Anda makan sehari-hari.

Yangon, Januari 2003
 
@ThirdEye, sori yach, ternyata salah tanggap "bola", hehehe....btw it's ok. n sori kalo udah salah sangka n mungkin menyinggung anda.

@Traktor, vegetarian tidak memiliki efek spiritual. kalo iya, hewan herbivora lebih maju donk dibanding manusia?
kalo untuk kesehatan --> oke
kalo untuk melatih diri --> oke, contohnya, saya meat eater trus saya berusaha vegetarian untuk beberapa lama - misalnya 100 hari. pasti akan berat dan penuh perjuangan karena melepaskan hal yang sangat kita sukai. (mungkin ini yang dimaksud @ThirdEye dengan menunjang kehidupan spiritual)

jadi untuk saya bervegetarian atau tidak yang penting proses melatih dirinya

Patriark Chan (Zen) aliran Linji dan Caodong masa kini, yaitu Ven. Sheng Yen (Dharma Drum Mountain) juga pernah berkata:
"Tetapi jika untuk keluarga dan alasan sosial menjadi seorang vegetarian sangat sulit, maka orang boleh memakan daging. Namun seseorang tidak boleh membunuh atau menyuruh orang lain untuk membunuh. Membeli daging yang sebelumnya telah dibunuh untuk dibawa ke rumah itu diizinkan."
(Orthodox Chinese Buddhism oleh Ven. Sheng Yen)

menurut saya, vegetarian sendiri (jika dilakukan dengan benar) seharusnyaa ada efek spiritualnya tersendiri, tetapi kan dirasakan oleh diri sendiri. Tidak eksplisit keluar nampak oleh orang lain.

Jangankan vegetarian yang positif, ritual ritual kurban (persembahan makhluk hidup) yang negatif sendiri saja ada efek spiritualnya (mengarah ke kesesatan) hehehehe....

Kalau saya pribadi juga seneng makanan vegetarian. Saya kira bhante bhante (bhikkhu theravada) sendiri juga ok ok saja kalau hanya disajikan makanan vegetarian. Lha wong pengertian tentang makanan buat para bhante theravada hanya sekedar untuk mempertahankan kehidupan.

Penjelasannya cukup bertolak belakang tetap kalau dicermati, sama tujuannya.

Bahkan kurban juga mempunyai efek spritual.... secara efek spritual benar. Tetapi secara manfaat? mungkin sedikit sekali. Kemudian tergantung juga dari pelaksanaannya. Kurban yang dilakukan untuk memberi makan orang yang kelaparan?... berbeda lagi penjelasannya.

Vege atau makan daging? Inti persoalannya mungkin di bathin. Kalau secara kesehatan juga masih pro dan kontra. Ikan bermanfaat bagi tubuh. Tubuh juga memerlukan protein hewani yang kadang sangat diperlukan pada usia tertentu. Selain itu, daging hewan juga memang bisa membawa banyak penyakit. Tapi, kalau mau dikait-kaitkan.... sayur yang tidak dicuci bersih juga bisa bikin cacingan.

Caranya mungkin, kemudian filosopinya, alasannya... yang membedakan vegetarian bisa bermanfaat atau sekedar ikut-ikutan jadi herbifora.
 
setahu ku dijaman Sakyamuni dulu aturan tentang bervegetarian tidak tercantum didalam kitab. Mereka hanya diperbolehkan menerima sumbangan makanan yang diberikan oleh umat.
 
@le ciel Yup anda benar

Pada saat itu malahan Devadatta meminta agar semua Bhikkhu hanya makan sayur2an, tapi ditolak oleh sang Buddha dengan beberapa alasan, salah satunya adalah seorang Bhikkhu harus mudah di sokong oleh umatnya.
 
umat budha di tibet rata2 tdk bervegetarian. :D ditibet daerah dingin, tanaman tdk bisa hidup disana, jadi umat disana mengkonsumsi daging.
 
vegetarian bukan yg utama. Tp sebagai faktor pendukung.
 
Yang mau vegetarian silahkan atau tidak mau vegetarian silahkan, tidak ada paksaan atau wajib harus vegetarian. Yang terpenting bagi yang vegetarian jangan merasa lebih suci daripada yang non vegetarian. kalau vegetarian dipandang lebih suci daripada yang non vegetarian maka sapi, kambing , kerbau, dll jauh lebih suci dari kita semua dong.:D:D:D
 
Yang mau vegetarian silahkan atau tidak mau vegetarian silahkan, tidak ada paksaan atau wajib harus vegetarian. Yang terpenting bagi yang vegetarian jangan merasa lebih suci daripada yang non vegetarian. kalau vegetarian dipandang lebih suci daripada yang non vegetarian maka sapi, kambing , kerbau, dll jauh lebih suci dari kita semua dong. :D:D:D

yang vegetarian jelas tidak dengan sendirinya menjadi suci...
yang terus menerus menyindir vegetarian sebagai sapi, kambing dan kerbau lebih jelas lagi tidak akan pernah memahami esensi vegetarian itu sendiri...
 
yang vegetarian jelas tidak dengan sendirinya menjadi suci...
yang terus menerus menyindir vegetarian sebagai sapi, kambing dan kerbau lebih jelas lagi tidak akan pernah memahami esensi vegetarian itu sendiri...

anda sendiri yang bilang loh, saya tidak bilang vegetarian sebagai sapi,kambing dan kerbau. ^_^


Yang mau vegetarian silahkan atau tidak mau vegetarian silahkan, tidak ada paksaan atau wajib harus vegetarian. Yang terpenting bagi yang vegetarian jangan merasa lebih suci daripada yang non vegetarian. kalau vegetarian dipandang lebih suci daripada yang non vegetarian maka sapi, kambing , kerbau, dll jauh lebih suci dari kita semua dong.

Bahasanya sudah beda jauh.
 
hm...
bagi yg mo bervegetarian ria silakan... yg penting jgn menyusahkan org lain aja
saya bnyk ngliat justru yg vegetarian tuh yang paling merepotkan

pa lagi biasa kalo sehabis ada acara di vihara kan dapet makan2 "GRATIS"
justru paling sering kejadian ada umat (mgkn dy vegetarian) tanya.. ini bersih ga (vege ga), pake bawang ga, telornya telor apa, telor mata ayam kampung ato ayam eropa, minyaknya minyak apa, minyaknya.. dan bla bla bla lah..
wah.. sampe yg bagiin makanan mgkn orgnya sabar banget, diladeni tuh pertanyaan ai ai tuh

pdhal tujuan vegetarian tuh kan ga menyusahkan makhluk lain..
pikirin dong org yg masak, org yg uda nyumbang makanan, org yg nyumbang tenaga dll, tanpa minta dibayar sepeser pun!!!
justru dgn tny ini itu bukannya makin ngerepotin org lain buat masakin makanan vegetarian cuma buat NAFSU ..

please deh ingat tujuan awal dr bervegetarian
 
:D:D:D
tiga tawa lepas yangg sungguh penuh arti.
dan hanya ia sendiri yang tau pasti apa yang ia maksud..
 
buddha gotama saja juga makan daging......
jika berpikir buddha gotama tidaklah suci....

maka kenapa "metteya/maitreya" dipercaya sebagai buddha akan datang?
ironis nya kata "metteya/maitreya" pertama kali keluar dari mulut buddha gotama.

why so complicated...

makanan hanyalah makanan tidak lah lebih dari pada itu.
semua juga telah di jelaskan di vinaya...

mau vege atau non-vege sama saja...asal tidak membunuh dengan disertai NIAT.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.