• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Bhavana/samadhi/meditasi

singthung

IndoForum Junior E
No. Urut
7164
Sejak
21 Sep 2006
Pesan
1.634
Nilai reaksi
27
Poin
48
Pengertian, Faedah dan Cara Melaksanakan Bhavana


1. PENGERTIAN BHAVANA

Bhavana berarti pengembangan, yaitu pengembangan batin dalam melaksanakan pembersihannya. Istilah lain yang arti dan pemakaiannya hampir sama dengan bhavana adalah samadhi. Samadhi berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek.

Samadhi yang benar (samma samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menghilangkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang baik, sedangkan samadhi yang salah (miccha samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menimbulkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang tidak baik. Jika dipergunakan istilah samadhi, maka yang dimaksud adalah "Samadhi yang benar".

2. FAEDAH BHAVANA

Bhavana atau meditasi yang benar akan memberikan faedah bagi orang bagi orang yang melaksanakannya. Faedah-faedah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari dari praktek meditasi itu adalah :

1. Bagi orang yang selalu sibuk, meditasi akan menolong dia untuk membebaskan diri dari ketegangan dan mendapatkan relaksasi atau pelemasan.

2. Bagi orang yang sedang bingung, meditasi akan menolong dia untuk menenangkan diri dari kebingungan dan mendapatkan ketenangan yang bersifat sementara maupun yang bersifat permanen (tetap).

3. Bagi orang yang mempunyai banyak problem atau persoalan yang tidak putus-putusnya, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan ketabahan dan keberanian serta mengembangkan kekuatan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.

4. Bagi orang yang kurang percaya diri sendiri, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan keparcayaan kepada diri sendiri yag sangat dibutuhkannya itu.

5. Bagi orang yang mempunyai rasa takut dalam hati atau kebimbangan, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian terhadap keadaan atau sifat yang sebenarnya dari hal-hal yang menyebabkannya takut dan selanjutnya dia akan dapat mengatasi rasa takut itu dalam pikirannya.

6. Bagi orang yang selalu merasa tidak puas terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya atau dalam kehidupan ini, meditasi akan memberikan dia perubahan dan perkembangan yang menuju pada kepuasan batin.

7. Bagi orang yang pikirannya sedang kacau dan berputus asa karena kurangnya pengertian akan sifat kehidupan dan keadaan dunia ini, meditasi akan menolong dia utnuk memberikan pengertian padanya bahwa pikirannya itu kacau untuk hal-hal yang tidak ada gunanya.

8. Bagi orang yang ragu-ragu dan tidak begitu tertarik kepada agama, meditasi akan menolong dia untuk mengatasi keragu-raguannya itu dan untuk melihat segi-segi serta nilai-nilai yang praktis dalam bimbingan agama.

9. Bagi seorang pelajar atau mahasiswa, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan dan menguatkan ingatannya serta untuk belajar lebih seksama dan lebih efisien.

10.Bagi orang yang kaya, meditasi akan menolong dia untuk dapat melihat sifat dan kegunaan dari kekayaannya itu, bagaimana cara menggunakan harta tersebut untuk kebahagiaan dirinya sendiri dan kebahagiaan orang lain.

11.Bagi orang miskin, meditasi akan menolong dia untuk memiliki rasa puas dan ketenangan serta tidak melampiaskan rasa iri hati terhadap orang lain yang lebih mampu daripadanya.

12.Bagi seorang pemuda yang sedang berada dalam persimpangan jalan dari kehidupan ini dan dia tidak tahu jalan mana yang akan ditempuhnya, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian dalam menempuh salah satu jalan yang akan membawa ke tujuannya.

13.Bagi orang yang telah lanjut usia yang telah bosan dengan kehidupan ini, meditasi akan menolong dia ke dalam pengertian yang lebih mendalam mengenai kehidupan ini, dan pengertian tersebut akan memberi dia kelegaan dan kebebasan dari penderitaan serta pahit getirnya kehidupan ini, dan akan menimbulkan kegairahan yang baru bagi dirinya.

14.Bagi orang yang mudah marah, meditasi akan menolong dia mengembangkan kekuatan kemauan untuk mengatasi kelemahan-kelemahannya.

15.Bagi orang yang bersifat iri hati, meditasi akan menolong dia untuk mengerti tentang bahayanya sifat iri hati itu.

16.Bagi orang yang diperbudak oleh panca inderanya, meditasi akan menolong dia untuk belajar menguasai nafsu-nafsu dan keinginannya itu.

17.Bagi orang yang telah ketagihan minuman keras yang memabukkan, meditasi akan menolong dia untuk menyadari dirinya dan melihat cara mengatasi kebiasaan yang berbahaya itu yang telah memperbudak dan mengikat dirinya.

18.Bagi orang yang tidak terpelajar atau bodoh, meditasi akan memberikan dia kesempatan untuk mengenal diri dan mengembangkan pengetahuan-pengetahuan yang sangat berguna untuk kesejahteraan diri sendiri dan untuk keluarga serta handai taulannya.

19.Bagi orang yang sungguh-sungguh melakukan latihan meditasi yang benar ini, maka nafsu-nafsu dan emosinya tak mempunyai kesempatan untuk memperbodohi dirinya lagi.

20.Bagi orang yang bijaksana, meditasi akan membawa dia kepada kesadaran yang lebih tinggi dan pencapaian penerangan sempurna; dia akan dapat melihat segala sesuatu dengan sewajarnya dan tidak akan terseret lagi ke dalam persoalan-persoalan yang remeh.

21.Selanjutnya, dalam agama Buddha, meditasi yang benar itu dipergunakan untuk membebaskan diri dari segala penderitaan, untuk mencapai Nibbana.

Demikianlah beberapa faedah praktis yang dapat dihasilkan dari latihan meditasi.
Faedah-faedah ini merupakan milik yang akan ditemui dalam pikiran sendiri.

3. CARA MELAKSANAKAN BHAVANA

Orang yang baru belajar meditasi sebaiknya mencari tempat yang cocok untuk melakukan meditasi. Tempat itu adalah tempat yang sunyi dan tenang, bebas dari gangguan orang-orang di sekitarnya, bebas dari gangguan nyamuk. Untuk tahap permulaan, hendaknya orang berlatih di tempat yang sama, jangan pindah-pindah tempat. Jika meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan di mana saja di setiap tempat, baik di kantor, di pasar, di kebun, di hutan, di goa, dikuburan, maupun di tempat yang ramai.

Waktu untu melaksanakannya dapat dipilih sendiri. Biasanya waktu yang baik untuk bermeditasi adalah pagi hari antara pukul 04.00 sampai pukul 07.00 dan malam hari antara pukul 17.00 sampai pukul 22.00. Jika waktu untuk bermeditasi telah ditentukan, maka waktu tersebut hendaknya digunakan khusus untuk bermeditasi. Meditasi sebaiknya dilakukan setiap hari dengan waktu yang sama secara teratur atau kontinyu. Bila meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan kapan saja, pada setiap waktu.

Orang bebas memilih posisi meditasi. Biasanya posisi meditasi yang baik adalah duduk bersila di lantai yang beralas, dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, dan tangan kanan menumpu tangan kiri di pangkuan. Atau boleh juga dalam posisi setengah sila, dengan kaki dilipat ke samping. Bahkan kalau tidak memungkinkan, maka dipersilahkan duduk di kursi. Yang penting adalah bahwa badan dan kepala harus tegak, tetapi tidak kaku atau tegang. Duduklah seenaknya, jangan bersandar. Mulut dan mata harus tertutup. Selama meditasi berlangsung hendaknya diusahakan untuk tidak menggerakkan anggota badan, jika tidak perlu. Namun bila badan jasmani merasa tidak enak, maka diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh atau mengubah sikap meditasi. Tetapi, hal ini harus dilakukan perlahan-lahan, disertai dengan penuh perhatian dan kesadaran. Jika meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan dalam berbagai posisi, baik berdiri, berjalan, maupun berbaring.
Sebelum melaksanakan meditasi, sebaiknya diminta petunjuk atau nasehat dari guru meditasi atau mereka yang telah berpengalaman mengenai meditasi, agar dapat dicapai sukses dalam bermeditasi.

Pada saat hendak bermeditasi, sebaiknya dibacakan paritta terlebih dahulu. Selanjutnya, laksanakanlah meditasi dengan tekun. Pikiran dipusatkan pada obyek yang telah dipilih. Pada tingkat permulaan, tentunya pikiran akan lari dari obyek. Hal ini biasa, karena pikiran itu lincah, binal, dan selalu bergerak. Namun, hendaknya orang yang bermeditasi selalu sadar dan waspada terhadap pikiran. Bila pikiran itu lari dari obyek, ia sadar bahwa pikiran itu lari, dan cepat mengembalikan pikiran itu pada obyek semula. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka kemajuan dalam meditasi pasti akan diperoleh.

Pembagian Bhavana

Bhavana dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Samatha Bhavana, berarti pengembangan ketenangan batin.
2. Vipassana Bhavana, berarti pengembangan pandangan terang.
Diantara kedua jenis bhavana ini terdapat perbedaan. Perbedaan itu mencakup:

1.Tujuannya

Samatha Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai ketenangan. Dalam Samatha Bhavana, batin terutama pikiran terpusat dan tertuju pada suatu obyek. Jadi pikiran tidak berhamburan ke segala penjuru, pikiran tidak berkeliaran kesana kemari, pikiran tidak melamun dan mengembara tanpa tujuan.

Dengan melaksanakan Samatha Bhavana, rintangan-rintangan batin tidak dapat dilenyapkan secara menyeluruh. Jadi kekotoran batin hanya dapat diendapkan, seperti batu besar yang menekan rumput hingga tertidur di tanah. Dengan demikian, Samatha Bhavana hanya dapat mencapai tingkat-tingkat konsentrasi yang disebut jhana-jhana, dan mencapai berbagai kekuatan batin.

Sesungguhnya pikiran yang tenang bukanlah tujuan terakhir dari meditasi. Ketenangan pikiran hanyalah salah satu keadaan yang diperlukan untuk mengembangkan pandangan terang atau Vipassana Bhavana.

Vipassana Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai pandangan terang. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana, kekotoran-kekotoran batin dapat disadari dan kemudian dibasmi sampai keakar-akarnya, sehingga orang yang melakukan Vipassana Bhavana dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya, bahwa hidup ini dicengkeram oleh anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku yang kekal). Dengan demikian, Vipassana Bhavana dapat menuju ke arah pembersihan batin, pembebasan sempurna, pencapaian Nibbana.

Sesungguhnya "dalam kitab suci telah ditulis bahwa hanya dengan pandangan terang inilah kita dapat menyucikan diri kita, dan tidak dengan jalan lain".

2. Obyeknya

Obyek yang dipakai dalam Samatha Bhavana ada 40 macam. Obyek-obyek itu adalah sepuluh kasina, sepuluh asubha, sepuluh anussati, empat appamañña, satu aharapatikulasañña, satu catudhatuvavatthana, dan empat arupa. Sebaliknya, obyek yang dipakai dalam Vipassana Bhavana adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau empat satipatthana.

3.Penghalangnya

Dalam melaksanakan Samatha Bhavana, pada umumnya orang yang bermeditasi sering mendapat gangguan atau halangan atau rintangan, yaitu lima nivarana dan sepuluh palibodha. Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, terdapat pula rintangan-rintangan yang dapat menghambat perkembangan pandangan terang, yang disebut sepuluh vipassanupakilesa.


 
Samatha Bhavana


1. EMPAT PULUH MACAM OBYEK MEDITASI

Dalam Samatha Bhavana ada 40 macam obyek meditasi. Obyek-obyek meditasi ini dapat dipilih salah satu yang kiranya cocok dengan sifat atau pribadi seseorang. Pemilihan ini dimaksudkan untuk membantu mempercepat perkembangannya. Pemilihan sebaiknya dilakukan dengan bantuan seorang guru.

Keempat puluh macam obyek meditasi itu adalah :
a. Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda), yaitu :
1. Pathavi kasina = wujud tanah
2. Apo kasina = wujud air
3. Teja kasina = wujud api
4. Vayo kasina = wujud udara atau angin
5. Nila kasina = wujud warna biru
6. Pita kasina = wujud warna kuning
7. Lohita kasina = wujud warna merah
8. Odata kasina = wujud warna putih
9. Aloka kasina = wujud cahaya
10.Akasa kasina = wujud ruangan terbatas

b. Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran), yaitu :
1. Uddhumataka = wujud mayat yang membengkak
2. Vinilaka = wujud mayat yang berwarna kebiru-biruan
3. Vipubbaka = wujud mayat yang bernanah
4. Vicchiddaka = wujud mayat yang terbelah di tengahnya
5. Vikkahayitaka = wujud mayat yang digerogoti binatang-binatang
6. Vikkhittaka = wujud mayat yang telah hancur lebur
7. Hatavikkhittaka = wujud mayat yang busuk dan hancur
8. Lohitaka = wujud mayat yang berlumuran darah
9. Puluvaka = wujud mayat yang dikerubungi belatung
10.Atthika = wujud tengkorak

c. Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan), yaitu :
1. Buddhanussati = perenungan terhadap Buddha
2. Dhammanussati = perenungan terhadap Dhamma
3. Sanghanussati = perenungan terhadap Sangha
4. Silanussati = perenungan terhadap sila
5. Caganussati = perenungan terhadap kebajikan
6. Devatanussati = perenungan terhadap makhluk-makhluk agung atau para dewa
7. Marananussati = perenungan terhadap kematian
8. Kayagatasati = perenungan terhadap badan jasmani
9. Anapanasati = perenungan terhadap pernapasan
10. Upasamanussati = perenungan terhadap Nibbana atau Nirwana

d. Empat appamañña (empat keadaan yang tidak terbatas), yaitu :
1. Metta = cinta kasih yang universal, tanpa pamrih
2. Karuna = belas kasihan
3. Mudita = perasaan simpati
4. Upekkha = keseimbangan batin

e. Satu aharapatikulasanna (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)

f. Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)

g. Empat arupa (empat perenungan tanpa materi), yaitu :
1. Kasinugaghatimakasapaññatti = obyek ruangan yang sudah keluar dari kasina
2. Akasanancayatana-citta = obyek kesadaran yang tanpa batas
3. Natthibhavapaññati = obyek kekosongan
4. Akincaññayatana-citta = obyek bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan

Berikut penjelasan lebih mendetil tentang masing-masing obyek meditasi diatas :

a. Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda)

Dalam kasina tanah, dapat dipakai kebun yang baru dicangkul atau segumpal tanah yang dibulatkan. Dalam kasina air, dapat dipakai sebuah telaga atau air yang ada di dalam ember. Dalam kasina api, dapat dipakai api yang menyala yang di depannya diletakkan seng yang berlobang. Dalam kasina angin, dapat dipakai angin yang berhembus di pohon-pohon atau badan. Dalam kasina warna, dapat dipakai benda-benda seperti bulatan dari kertas, kain, papan, atau bunga yang berwarna biru, kuning, merah, atau putih. Dalam kasina cahaya, dapat dipakai cahaya matahari atau bulan yang memantul di dinding atau di lantai melalui jendela dan lain-lain. Dalam kasina ruangan terbatas, dapat dipakai ruangan kosong yang mempunyai batas-batas disekelilingnya seperti drum dan lain-lain.

Disini, mula-mula orang harus memusatkan seluruh perhatiannya pada bulatan yang berwarna biru misalnya. Selanjutnya, dengan memandang terus pada bulatan itu, orang harus berjuang agar pikirannya tetap berjaga-jaga, waspada, dan sadar. Sementara itu, benda-benda di sekeliling bulatan tersebut seolah-olah lenyap, dan bulatan tersebut kelihatan menjadi makin semu dan akhirnya sebagai bayangan pikiran saja. Kini, walaupun mata dibuka atau ditutup, orang masih melihat bulatan biru itu di dalam pikirannya, yang makin lama makin terang seperti bulatan dari rembulan.

b. Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran)

Dalam sepuluh asubha ini, orang melihat atau membayangkan sesosok tubuh yang telah menjadi mayat diturunkan ke dalam lubang kuburan, membengkak, membiru, bernanah, terbelah di tengahnya, dikoyak-koyak oleh burung gagak atau serigala, hancur dan membusuk, berlumuran darah, dikerubungi oleh lalat dan belatung, dan akhirnya merupakan tengkorak. Selanjutnya, ia menarik kesimpulan terhadap badannya sendiri, "Badanku ini juga mempunyai sifat-sifat itu sebagai kodratnya, tidak dapat dihindari". Disinilah hendaknya orang memegang dengan teguh di dalam pikirannya obyek yang berharga yang telah timbul, seperti gambar pikiran mengenai mayat yang membengkak dan lain-lain.

c. Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan)

Dalam Buddhanussati, direnungkan sembilan sifat Buddha. Kesembilan sifat Buddha tersebut adalah maha suci, telah mencapai penerangan sempurna, sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya, sempurna menempuh jalan ke Nibbana, pengenal semua alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, guru para dewa dan manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan.

Dalam Dhammanussati, direnungkan enam sifat Dhamma. Keenam sifat Dhamma itu adalah telah sempurna dibabarkan, nyata di dalam kehidupan, tak lapuk oleh waktu, mengundang untuk dibuktikan, menuntun ke dalam batin, dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing.

Dalam Sanghanussati, direnungkan sembilan sifat Ariya-Sangha. Kesembilan sifat Ariya-Sangha itu adalah telah bertindak dengan baik, telah bertindak lurus, telah bertindak benar, telah bertindak patut, patut menerima persembahan, patut menerima tempat bernaung, patut menerima bingkisan, patut menerima penghormatan, lapangan untuk menanam jasa yang tiada taranya di alam semesta.

Dalam silanussati, direnungkan sila yang telah dilaksanakan, yang tidak patah, yang tidak ternoda, yang dipuji oleh para bijaksana, dan menuju pemusatan pikiran.

Dalam caganussati, direnungkan kebajikan berdana yang telah dilaksanakan, yang menyebabkan musnahnya kekikiran.

Dalam devatanussati, direnungkan makhluk-makhluk agung atau para dewa yang berbahagia, yang sedang menikmati hasil dari perbuatan baik yang telah dilakukannya.

Dalam marananussati, orang harus merenungkan bahwa pada suatu hari, kematian akan datang menyongsongku dan makhluk lainnya; bahwa badan ini harus dibagi-bagikan olehku kepada ulat-ulat, kutu, belatung, dan binatang lainnya yang hidup dengan ini; bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan, di mana, dan melalui apa orang akan meninggal, serta keadaan yang bagaimana menungguku setelah kematian.

Dalam kayagatasati, orang merenungkan 32 bagian anggota tubuh, dari telapak kaki ke atas dan dari puncak kepala ke bawah, yang diselubungi kulit dan penuh kekotoran; bahwa di dalam badan ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput dada, limpa, paru-paru, usus, saluran usus, perut, kotoran, empedu, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak kulit, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, dan otak.

Dalam anapanasati, orang merenungkan keluar masuknya napas. Dengan sadar ia menarik napas, dengan sadar ia mengeluarkan napas.

Dalam upasamanussati, orang merenungkan Nibbana atau Nirwana yang terbebas dari kekotoran batin, hancurnya keinginan, putusnya lingkaran tumimbal lahir.

d. Empat appamañña (empat keadaan yang tidak terbatas)

Empat appamañña ini sering disebut juga sebagai Brahma-Vihara (kediaman yang luhur). Dalam melaksanakan metta-bhavana, seseorang harus mulai dari dirinya sendiri, karena ia tidak mungkin dapat memancarkan cinta kasih sejati bila ia membenci dan meremehkan dirinya sendiri. Setelah itu, cinta kasih dipancarkan kepada orang tua, guru-guru, teman-teman laki-laki dan wanita sekaligus.

Akhirnya, yang tersulit adalah memancarkan cinta kasih kepada musuh-musuhnya. Dalam hal ini mungkin timbul perasaan dendam atau sakit hati. Namun, hendaknya diusahakan untuk mengatasi kebencian itu dengan merenungkan sifat-sifat yang baik dari musuhnya dan jangan menghiraukan kejelekan-kejelekan yang ada padanya. Perlu diingat bahwa kebencian hanya dapat ditaklukkan dengan cinta kasih.

Dalam karuna-bhavana, orang memancarkan belas kasihan kepada orang yang sedang ditimpa kemalangan, diliputi kesedihan, kesengsaraan, dan penderitaan.

Dalam mudita-bhavana, orang memancarkan perasaan simpati kepada orang yang sedang bersuka-cita; ia turut berbahagia melihat kebahagiaan orang lain.

Dalam upekkha-bhavana, orang akan tetap tenang menghadapi suka dan duka, pujian dan celaan, untung dan rugi.

e. Satu aharapatikulasañña (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)

Dalam satu aharapatikulasañña, direnungkan bahwa makanan adalah barang yang menjijikkan bila telah berada di dalam perut; direnungkan bahwa apapun yang telah dimakan, diminum, dikunyah, dicicipi, semuanya akan berakhir sebagai kotoran (tinja) dan air seni (urine).

f. Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)

Dalam satu catudhatuvavatthana, direnungkan bahwa di dalam badan jasmani terdapat empat unsur materi, yaitu :

1. Pathavi-dhatu (unsur tanah atau unsur padat), ialah segala sesuatu yang bersifat keras atau padat. Umpamanya : rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, dan lain-lain.

2. Apo-dhatu (unsur air atau unsur cair), ialah segala sesuatu yang bersifat berhubungan yang satu dengan yang lain atau melekat. Umpamanya : empedu, lendir, nanah, darah, dan lain-lain.

3. Tejo-dhatu (unsur api atau unsur panas), ialah segala sesuatu yang bersifat panas dingin. Umpamanya : setelah selesai makan dan minum, atau bila sedang sakit, badan akan terasa panas dingin.

4. Vayo-dhatu (unsur angin atau unsur gerak), ialah segala sesuatu yang bersifat bergerak. Umpamanya : angin yang ada di dalam perut dan usus, angin yang keluar masuk waktu bernapas, dan lain-lain.

g. Empat arupa (empat perenungan tanpa materi)

Dalam kasinugaghatimakasapaññati, batin yang telah memperoleh gambaran kasina dikembangkan ke dalam perenungan ruangan yang tanpa batas sambil membayangkan, "Ruangan! Ruangan! Tak terbatas ruangan ini!" dan kemudian gambaran kasina dihilangkan. Jadi, pikiran ditujukan kepada ruangan yang tanpa batas, dipusatkan di dalamnya, dan menembus tanpa batas.

Dalam akasanancayatana-citta, ruangan yang tanpa batas itu ditembus dengan kesadarannya sambil merenungkan, "Tak terbataslah kesadaran itu". Ia harus berulang-ulang memikirkan penembusan ruangan itu dengan sadar, mencurahkan perhatiannya kepada hal tersebut.

Dalam natthibhavapaññati, orang harus mengarahkan perhatiannya pada kekosongan atau kehampaan dan tidak ada apa-apanya dari kesadaran terhadap ruangan yang tanpa batas itu. Ia terus menerus merenungkan, "Tidak ada apa-apa di sana! Kosonglah adanya ini".

Dalam akincaññayatana-citta, orang merenungkan keadaan kekosongan sebagai ketenangan atau kesejahteraan, dan setelah itu ia mengembangkan pencapaian dari sisa unsur-unsur batin yang penghabisan, yaitu perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran sampai batas kelenyapannya. Jadi, setelah kekosongan itu dicapai, maka kesadaran mengenai kekosongan itu dilepas, seolah-olah tidak ada pencerapan lagi

 
2. LIMA MACAM NIVARANA DAN SEPULUH MACAM PALIBODHA

Lima macam nivarana

Nivarana berarti rintangan atau penghalang batin yang selalu menghambat perkembangan pikiran. Nivarana ini ada lima macam, yaitu:
1. Kamachanda (nafsu-nafsu keinginan)
2. Byapada (kemauan jahat)
3. Thina-middha (kemalasan dan kelelahan)
4. Uddhacca-kukkucca (kegelisahan dan kekhawatiran)
5. Vicikiccha (keragu-raguan)

Untuk menaklukkan kelima rintangan tersebut, orang harus mengetahui sebab-sebab timbulnya nivarana dan berusaha menghindari sebab-sebab itu serta melakukan usaha-usaha yang dapat melenyapkan nivarana itu.

Nafsu-nafsu keinginan (kamachanda) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan obyek yang indah, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari nafsu keinginan, hendaknya orang senantiasa melaksanakan meditasi dengan memakai obyek yang kotor atau menjijikkan dan berusaha menghindari obyek-obyek yang bisa merangsang, berusaha untuk menguasai pikiran dan mengendalikan indriya-indriyanya, senantiasa berbicara tentang kesempurnaan hidup, tentang kepuasan, kesunyian, kebajikan, kebebasan, bebas dari nafsu-nafsu.

Kemauan jahat (byapada) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan obyek yang menyebabkan timbulnya kebencian, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk menaklukkan kemauan jahat hendaknya orang senantiasa melaksanakan meditasi cinta kasih, senantiasa ingat bahwa setiap orang adalah pemilik dan pewaris dari perbuatannya sendiri.

Kemalasan dan kelelahan (thina-middha) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan rasa segan, rasa malas, kelelahan, mengantuk sesudah makan, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari kemalasan dan kelelahan, orang hendaknya senantiasa merenungkan suatu cahaya sampai terserap ke dalam batin, senantiasa melihat penderitaan di dalam ketidak-kekalan, senantiasa merenungkan ajaran-ajaran Sang Buddha dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kegelisahan dan kekhawatiran (uddhacca-kukkucca) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan ketidak-tenteraman pikiran, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk mengatasi kegelisahan dan kekhawatiran, orang hendaknya senantiasa mempelajari dan memahami kitab suci Tripitaka, serta berusaha melaksanakan sila dengan sempurna.
Keragu-raguan (vicikiccha) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan sesuatu yang menyebabkan timbulnya keragu-raguan, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari keragu-raguan, orang hendaknya senantiasa meneguhkan keyakinan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Sepuluh macam palibodha

Palibodha berarti gangguan dalam meditasi yang menyebabkan batin gelisah dan tidak mampu memusatkan pikiran pada obyek. Palibodha ini ada sepuluh macam, yaitu :
1. Avasa (tempat tinggal)
2. Kula (pembantu dan orang yang bertanggung jawab)
3. Labha (keuntungan)
4. Gana (murid dan teman)
5. Kamma (pekerjaan)
6. Addhana (perjalanan)
7. Ñati (orangtua, keluarga, dan saudara)
8. Abadha (penyakit)
9. Gantha (pelajaran)
10.Iddhi (kekuatan gaib)

Dalam melaksanakan meditasi, pada umumnya orang yang bermeditasi sering juga mendapat gangguan yang disebut palibodha. Ia merasa khawatir akan tempat tinggalnya, terikat dengan rumahnya. Ia merasa khawatir akan pembantunya dan orang yang bertanggung jawab atas harta bendanya. Ia merasa khawatir akan persoalannya, apakah meditasi ini akan membawa keuntungan baginya. Ia merasa khawatir akan murid-murid dan teman-temannya. Ia merasa khawatir akan pekerjaannya yang belum selesai. Ia merasa khawatir akan perjalanan jauh yang harus ditempuhnya. Ia merasa khawatir akan orang tuanya, keluarganya, dan saudara-saudaranya. Ia merasa khawatir akan kemungkinan timbulnya penyakit. Ia merasa khawatir akan pelajaran yang ditinggalkannya. Ia merasa khawatir akan bermacam-macam kekuatan magis yang dipertunjukkan, takut akan kemerosotan kekuatan magisnya.

Palibodha ini harus dibasmi, agar orang dapat memusatkan pikiran dengan baik.

3. ENAM MACAM CARITA

Carita berarti sifat, perangai, atau perilaku.

Di dalam Abhidhamma, terdapat pembagian sifat-sifat secara umum yang berdasarkan atas keadaan batin manusia, yaitu manusia itu dapat dibagi menjadi enam golongan berdasarkan sifat-sifat yang dimilikinya:
1. Orang yang keras nafsu lobanya atau Ragacarita
2. Orang yang keras kebenciannya atau Dosacarita
3. Orang yang bodoh (dungu) atau Mohacarita
4. Orang yang tebal keyakinannya atau Saddhacarita
5. Orang yang bijaksana (pandai) atau Buddhicarita
6. Orang yang suka melamun atau Vitakkacarita

Orang yang mempunyai ragacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan loba, cenderung ke arah keindahan dan kecantikan, kagum melihat suatu kebajikan walaupun itu kecil sekali, mudah melupakan kesalahan orang lain, cerdik, sombong, berambisi besar, mementingkan diri sendiri. Untuk mereka yang mempunyai ragacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh asubha dan satu kayagatasati.

Orang yang mempunyai dosacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan kebencian, cenderung ke arah panas hati, suka marah, suka jengkel, suka iri hati, tak senang melihat kesalahan walaupun kecil, tak mau tahu terhadap kebajikan orang lain walaupun besar, suka bermusuhan, memandang rendah orang lain, suka memerintah dan mendikte orang lain.

Untuk mereka yang mempunyai dosacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah empat appamañña dan empat kasina (nila kasina, pita kasina, lohita kasina, dan odata kasina).

Orang yang mempunyai mohacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan kebodohan batin, cenderung ke arah kelemahan batin, suka bingung, suka ragu-ragu, suka khawatir, menggantungkan diri pada pendapat orang lain, pikiran ruwet, malas, pendiriannya tidak tetap, kadang-kadang kukuh memegang suatu pandangan. Untuk mereka yang mempunyai mohacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah anapanasati.

Orang yang mempunyai saddhacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan keyakinan, cenderung ke arah rendah hati, dermawan, jujur, suka menemui orang-orang suci, suka mendengarkan Dhamma, yakin pada sesuatu yang dianggap baik. Untuk mereka yang mempunyai saddhacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah enam anussati (Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati, dan devatanussati).

Orang yang mempunyai buddhicarita atau ñanacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan berhati-hati, cenderung ke arah perenungan terhadap Tiga Corak Umum (Tilakkhana), sering bermeditasi, bersedia mendengarkan omongan orang lain, mempunyai kawan-kawan yang baik. Untuk mereka yang mempunyai buddhicarita atau ñanacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah marananussati, upasamanussati, aharapatikulasañña, dan catudhatuvavatthana.

Orang yang mempunyai vitakkavcarita melaksanakan sesuatu berdasarkan tergesa-gesa, cenderung ke arah kegugupan, kegagalan dalam usaha, suka berteori, pikirannya sering berkeliaran, tidak suka bekerja untuk kepentingan sosial. Untuk mereka yang mempunyai vitakkacarita, maka obyek yang cocok untuk melaksanakan Samatha Bhavana ialah anapanasati.

Penjelasan:

Pathavi kasina, apo kasina, tejo kasina, vayo kasina, aloka kasina, akasa kasina, dan empat arupa dapat dijadikan obyek meditasi oleh semua orang tanpa memperhatikan caritanya.

4. TIGA MACAM NIMITTA

Nimitta berarti suatu pertanda atau gambaran yang ada hubungannya dengan perkembangan obyek meditasi. Nimitta ini ada tiga macam, yaitu :
1. Parikamma-Nimitta (gambaran batin permulaan)
2. Uggaha-Nimitta (gambaran batin mencapai)
3. Patibhaga-Nimitta (gambaran batin berlawanan)

Mengenai parikamma-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi, seperti patung Buddha, mula-mula dilihat dengan mata, kemudian dibayangkan dalam pikiran. Jadi, parikamma-nimitta merupakan gambaran atau bentuk dari obyek dalam keadaan yang sebenarnya. Semua obyek (empat puluh macam obyek meditasi) dapat menghasilkan parikamma-nimitta.

Mengenai uggaha-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi dilihat dengan batin, hingga obyek itu melekat dalam pikiran. Jadi, uggaha-nimitta merupakan gambaran obyek di dalam batin yang sama dengan bentuk obyek yang dipakai, walaupun mata telah dipejamkan. Untuk mencapai uggaha-nimitta, semua obyek meditasi dapat dipakai dalam melaksanakan Samatha Bhavana, yaitu keempat puluh obyek meditasi yang tersebut terdahulu.

Mengenai patibhaga-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi yang telah melekat pada pikiran, terpeta dengan nyata, tetap, jernih, jelas, terbebas dari gangguan, dan gambaran obyek tersebut dapat dibesarkan serta dikecilkan menurut kemauan. Jadi, patibhaga-nimitta merupakan gambaran pantulan dari obyek yang dipakai, yang bentuk gambaran itu berubah menjadi sinar terang di dalam batinnya. Untuk mencapai patibhaga-nimitta, maka obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh kasina, sepuluh asubha, satu kayagatasati, dan satu anapanasati.

5. TIGA MACAM BHAVANA

Dalam meditasi, terdapat tiga macam tingkat perkembangan batin, yaitu :
1. Parikamma-Bhavana (perkembangan batin tingkat pendahuluan)
2. Upacara-Bhavana (perkembangan batin tingkat mendekati konsentrasi)
3. Appana-Bhavana (perkembangan batin tingkat terkonsentrasi dengan kuat)

Dalam parikamma-bhavana, pikiran baru akan dipusatkan pada obyek. Semua obyek (empat puluh macam obyek meditasi) dapat menghasilkan parikamma-bhavana.

Dalam upacara-bhavana, pikiran telah siap untuk memasuki pemusatannya, dan mulai timbulnya patibhaga-nimitta. Dalam keadaan ini, nivarana telah dapat diatasi. Namun konsentrasi pikiran masih belum mantap. Hal ini dapat disamakan dengan anak kecil yang baru belajar berdiri, namun masih belum mantap, sering jatuh, tetapi ia terus berusaha.

Untuk mencapai upacara-bhavana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah delapan anussati (Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati, devatanussati, marananussati, upasamanussati), satu aharapatikulasanna, dan satu catudhatuvavatthana.

Dalam appana-bhavana, pikiran telah dapat tinggal diam dalam jangka waktu yang lama, menurut yang dikehendakinya, karena konsentrasi yang penuh dan mantap telah tercapai. Keadaan ini dapat diumpamakan sebagai orang yang telah dewasa yang telah dapat berdiri dengan kuat, tak jatuh-jatuh lagi. Di samping nivarana telah dapat diatasi, maka faktor-faktor jhana juga mulai timbul berperanan (vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata). Obyek-obyek yang dapat dipakai untuk mencapai appana-bhavana ialah sepuluh kasina, sepuluh asubha, satu kayagatasati, satu anapanasati, empat appamañña, dan empat arupa.

6. PENGERTIAN JHANA

Jhana berarti kesadaran/pikiran yang memusat dan melekat kuat pada obyek kammatthana/meditasi, yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada obyek dengan kekuatan appana-samadhi (konsentrasi yang mantap, yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada obyek yang kuat).

Jhana merupakan keadaan batin yang sudah di luar aktivitas panca indera. Keadaan ini hanya dapat dicapai dengan usaha yang ulet dan tekun. Dalam keadaan ini, aktivitas panca indera berhenti, tidak muncul kesan-kesan penglihatan maupun pendengaran, pun tidak muncul perasaan badan jasmani. Walaupun kesan-kesan dari luar telah berhenti, batin masih tetap aktif dan berjaga secara sempurna serta sadar sepenuhnya.

Jhana hanya mampu menekan atau mengendapkan kekotoran batin untuk sementara waktu. Ia tidak dapat melenyapkan kekotoran batin. Sewaktu-waktu jhana dapat merosot, karena jhana tidak kekal.

 
7. FAKTOR-FAKTOR JHANA

Di dalam memasuki jhana-jhana, timbullah faktor-faktor jhana yang memberi corak dan suasana bagi tiap-tiap jhana itu. Faktor-faktor jhana tersebut ada lima macam, yaitu :

1. Vitakka, ialah penopang pikiran yang merupakan perenungan permulaan untuk memegang obyek.
2. Vicara, ialah gema pikiran, keadaan pikiran dalam memegang obyek dengan kuat.
3. Piti, ialah kegiuran atau kenikmatan.
4. Sukha, ialah kebahagiaan yang tak terhingga.
5. Ekaggata, ialah pemusatan pikiran yang kuat.

Vitakka dan vicara adalah dua keadaan dari suatu proses yang berkelanjutan. Kedua keadaan ini dapat diumpamakan seperti bunyi lonceng. Pada waktu lonceng dipukul sekali, maka akan terjadi bunyi yang bergema. Bunyi lonceng pada saat terkena pukulan merupakan vitakka, sedangkan gema dari bunyi lonceng itu merupakan vicara. Demikian pula ketika bermeditasi. Suasana pikiran pada saat permulaan memegang obyek disebut vitakka, sedangkan suasana pikiran yang telah berhasil memegang obyek dengan kuat disebut vicara.

Mengenai piti, sebenarnya secara terperinci terdapat lima macam. Namun, kiranya di sini tidak begitu perlu diuraikan.

Antara piti dan sukha terdapat pula perbedaan perasaan yang khas seperti berikut. Apabila seseorang yang sedang dalam suatu perjalanan merasa sangat haus, dan kemudian ia menemukan sebuah sumber air, maka ia akan merasa gembira, senang, dan tergiur melihatnya. Perasaan ini merupakan piti, karena di sini kegiuran timbul akibat keterbatasan dari tekanan perasaan. Selanjutnya, setelah ia meminum air itu, maka perasaan berobah menjadi nikmat dan segar. Perasaan ini merupakan sukha.

Dalam ekaggata, pikiran telah terpusat pada obyek dengan kuat, sehingga kekotoran batin tidak mampu mengganggu lagi.

Vikkhambhana-Pahana adalah pembasmian nivarana dengan kekuatan jhana, yaitu dengan mengendapkan kekotoran batin. Selama jhana masih ada, selama itu pula nivarana tidak timbul. Tetapi, bila jhana merosot, maka nivarana akan timbul lagi.

Jhana merupakan alat pembasmi nivarana, yaitu vitakka membasmi thina-middha, vicara membasmi vicikiccha, piti membasmi byapada, sukha membasmi uddhacca-kukkucca, dan ekaggata membasmi kamachanda.

8. TINGKAT-TINGKAT JHANA

Menurut Sutta Pitaka, terdapat delapan tingkat jhana, yaitu empat rupa jhana dan empat arupa jhana, sedangkan menurut Abhidhamma, terdapat sembilan tingkat jhana, yaitu lima rupa jhana dan empat arupa jhana. Dalam Abhidhamma, tingkatan rupa jhana ada lima, karena hal ini disesuaikan menurut keadaan, menurut bagian, dan jumlah kesadaran yang berada dalam rupavacara-citta, sebab kesadaran dari manda-puggala (orang yang tidak cerdas) tidak dapat melihat kekotoran dari vitakka dan vicara kedua-duanya ini sekaligus dalam waktu yang sama, hanya dapat membuang 'keadaan batin' satu persatu, yaitu dutiya-jhana membuang vitakka, dan tatiya-jhana membuang vicara. Tetapi, tikkha-puggala (orang yang cerdas) mampu menyelidiki dan melihat kekotoran dari vitakka dan vicara sekaligus dalam waktu yang sama, dan membuang vitakka dan vicara sekaligus. Karena itu, dalam Sutta Pitaka, tingkatan rupa jhana ada empat.

Tingkatan jhana, menurut Abhidhamma, terdiri atas :

1. Pathama-Jhana, ialah jhana tingkat pertama.
Keadaan batinnya terdiri dari lima corak, yaitu vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata.

2. Dutiya-Jhana, ialah jhana tingkat kedua.
Keadaan batinnya terdiri dari empat corak, yaitu vicara, piti, sukha, dan ekaggata.

3. Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat ketiga.
Keadaan batinnya terdiri dari tiga corak, yaitu, piti, sukha, dan ekaggata.

4. Catuttha-Jhana, ialah jhana tingkat keempat.
Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu sukha dan ekaggata.

5. Pancama-Jhana, ialah jhana tingkat kelima.
Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu upekkha dan ekaggata.

6. Akasanancayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi ruangan yang tanpa batas.

7. Viññanancayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi kesadaran yang tak terbatas.

8. Akincaññayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi kekosongan.

9. Nevasaññanasaññayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan.

Tingkatan jhana, menurut Sutta Pitaka, terdiri atas :

1. Pathama-Jhana, ialah jhana tingkat pertama, dimana nivarana telah dapat diatasi dengan seksama. Faktor-faktor jhana yang timbul adalah vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata.

2. Dutiya-Jhana, ialah jhana tingkat kedua, dimana vitakka dan vicara mulai lenyap, karena kedua faktor ini bersifat kasar untuk jhana kedua. Faktor-faktor jhana yang masih ada adalah piti, sukha, dan ekaggata.

3. Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat ketiga, dimana piti mulai lenyap, karena piti ini masih terasa kasar untuk jhana ketiga. Faktor-faktor jhana yang masih ada adalah sukha dan ekaggata.

4. Catuttha-Jhana, ialah jhana tingkat keempat, dimana sukha mulai lenyap, karena faktor ini masih terasa kasar untuk jhana keempat. Di dalam jhana keempat ini hanya ada faktor ekaggata dan ditambah dengan upekkha (keseimbangan batin).

5. Akasanancayatana-Jhana.

6. Viññanancayatana-Jhana.

7. Akincaññayatana-Jhana.

8. Nevasaññanasaññayatana-Jhana.

Untuk mencapai pathama-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh asubha dan satu kayagatasati.

Untuk mencapai dutiya-jhana, tatiya-jhana, dan catuttha-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah tiga appamañña (metta, karuna, dan mudita).
Untuk mencapai pancama-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah satu upekkha.

Untuk mencapai empat arupa jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah empat arupa.

Penjelasan :
Sepuluh kasina dan satu anapanasati dapat dijasikan obyek meditasi oleh semua orang untuk mencapai lima rupa jhana.

9. LIMA MACAM VASI

Vasi berarti keahlian atau kemahiran atau kemampuan untuk mengolah jhana.

Jika seseorang telah mencapai jhana tingkat pertama (pathama-jhana), kemudian ia ingin mencapai jhana-jhana tingkat selanjutnya, maka ia harus mempunyai lima macam vasi.
Kelima macam vasi tersebut ialah :

1. Avajjana-vasi, yaitu keahlian dalam pemikiran untuk memasuki jhana menurut kehendaknya.

2. Samapajjana-vasi, yaitu keahlian dalam memasuki jhana.

3. Adhitthana-vasi, yaitu keahlian dalam menentukan berapa lama hendak berada dalam jhana.

4. Vutthana-vasi, yaitu keahlian dalam 'keluar' dari jhana.

5. Paccavekkhana-vasi, yaitu keahlian dalam meninjauan terhadap jhana.

10. ENAM MACAM ABHIÑÑA

Abhiñña berarti kemampuan atau kekuatan batin yang luar biasa, atau tenaga batin.

Abhiñña akan timbul dalam diri orang yang telah mencapai jhana-jhana, dimana jhana tingkat keempat (catuttha-jhana) merupakan dasar untuk timbulnya abhiñña ini. Namun, hal ini juga tergantung pada kusala-kamma (perbuatan baik) dari kehidupan yang lampau. Mengenai obyek meditasi yang dapat menimbulkan abhiñña ialah hanya sepuluh kasina.

Abhiñña itu ada enam macam dan dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu abhiñña yang duniawi atau lokiya dan abhiñña yang di atas duniawi atau lokuttara.

Abhiñña yang duniawi (lokiya-abhiñña) terdiri atas lima macam, yaitu :

1. Iddhividhañana, sering disebut sebagai kekuatan gaib atau kekuatan magis atau kesaktian. Ini terbagi lagi atas beberapa macam, yaitu :
a. Adhitthana-iddhi, ialah kemampuan untuk mengubah diri dari satu menjadi banyak atau dari banyak menjadi satu.
b. Vikubbana-iddhi, ialah kemampuan untuk berubah bentuk, seperti menjadi anak kecil, raksasa, ular, atau membuat diri menjadi tak tampak.
c. Manomaya-iddhi, ialah kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran, seperti menciptakan istana, taman, harimau, wanita cantik, dan lain-lain.
d. Ñanavipphara-iddhi, ialah kemampuan untuk menembus ajaran melalui pengetahuan.
e. Samadhivipphara-iddhi, ialah kemampuan memencarkan melalui konsentrasi, yaitu :
Kemampuan menembus dinding, pagar, gunung.
Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan menyelam ke dalam air.
Kemampuan berjalan di atas air bagaikan berjalan di atas tanah yang padat.
Kemampuan terbang di angkasa seperti burung.
Kemampuan melawan api.
Kemampuan menyentuk bulan dan matahari dengan tangannya.
Kemampuan memanjat puncak dunia sampai ke alam Brahma.

2. Dibbasotañana (telinga dewa), ialah kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam lain, yang jauh maupun yang dekat.

3. Cetopariyañana atau paracittavijañana, ialah kemampuan untuk membaca pikiran makhluk lain.

4. Dibbacakkhuñana atau cutupapatañana (mata dewa), ialah kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan muncul lenyapnya makhluk-makhluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya masing-masing.

5. Pubbenivasanussatiñana, ialah kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir yang lampau dari diri sendiri dan orang lain.

Abhiñña yang di atas duniawi (lokuttara-abhiñña) hanya ada satu macam, yaitu asavakkhayañana, ialah kemampuan untuk memusnahkan kekotoran batin. Pemusnahan kekotoran batin ini akan membimbing ke arah kesucian tertinggi atau arahat.

Perlu diingat bahwa tujuan umat Buddha bukanlah untuk mendapatkan kegaiban dan mujijat yang aneh-aneh dan luar biasa. Sang Buddha tidak membenarkan siswa-siswaNya melakukan sesuatu yang ajaib dan mujijat, karena perbuatan demikian itu tidak akan mempertinggi martabat mereka di mata orang lain. Lagipula kegaiban itu bukanlah merupakan hal yang penting dalam mencari kebebasan (Nibbana).

 
Vipassana Bhavana

1. EMPAT MACAM SATIPATTHANA

Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, obyeknya adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau pancakhandha (lima kelompok faktor kehidupan). Ini dilakukan dengan memperhatikan gerak-gerik nama dan rupa terus menerus, sehingga dapat melihat dengan nyata bahwa nama dan rupa itu dicengkeram oleh anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku).

Pancakkhandha (lima kelompok faktor kehidupan) terdiri atas :
rupa-khandha (kelompok jasmani), vedana-khandha (kelompok perasaan), sañña-khandha (kelompok pencerapan), sankhara-khandha (kelompok bentuk pikiran), dan viññana-khandha (kelompok kesadaran). Sesungguhnya, yang disebut pancakkhandha itu adalah makhluk.

Empat macam satipatthana (empat macam perenungan) terdiri atas :
kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani), vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan), citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran), dan Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran).

Empat macam satipatthana itu adalah pancakkhandha, atau nama dan rupa itu sendiri. Kaya nupassana adalah rupa-khandha. Vedana-nupassana adalah vedana-khandha. Citta-nupassana adalah Viññana-khandha. Dhamma-nupassana adalah pancakkhandha.

Sesungguhnya, yang akan berkembang dalam latihan Vipassana itu ialah perhatian yang tajam dan kesadaran yang kuat.

1. Kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani).
Salah satu contoh yang paling populer dan praktis tentang meditasi dengan obyek badan jasmani ialah anapanasati (menyadari keluar dan masuknya napas). Dalam anapanasati ini, tidak ada tekanan atau paksaan pada pernapasan. Panjang atau pendeknya pernapasan harus disadari, tetapi tidak dibuat-buat atau sengaja diatur. Jadi, bernapas secara biasa dan wajar.

Walaupun menurut kebiasaan , kesadaran terhadap pernapasan itu pada tingkat permulaan dianggap sebagai obyek untuk meditasi ketenangan (Samatha Bhavana), yaitu untuk mengembangkan jhana-jhana, ia juga sangat berguna untuk mengembangkan Pandangan Terang (Vipassana Bhavana). Dalam pernapasan, yang dipakai sebagai suatu obyek perhatian murni, naik turunnya gelombang kehidupan yang tidak kekal, yang timbul tenggelam ini, dapat disadari dengan mudah.

Cara meditasi lain yang penting, praktis, dan berguna ialah sadar dan waspada terhadap segala sesuatu yang dilakukan, ketika berjalan, berdiri, duduk, atau berbaring, sewaktu membungkukkan dan melencangkan badan, sewaktu melihat ke muka dan ke belakang, ketika berpakaian, makan, dan minum, ketika buang kotoran dan kencing, ketika berbicara atau berdiam diri.

Di sini tidak dijalankan penyiksaan badan jasmani dengan maksud untuk mengendalikan badan. Tetapi dipergunakan jalan tengah yang sederhana, dengan menyadari timbul dan tenggelamnya bentuk kehidupan setiap saat.

2. Vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan).
Di sini direnungkan perasaan yang sedang dialami secara obyektif, baik perasaan senang, perasaan tidak senang, maupun perasaan yang acuh tak acuh. Direnungkan keadaan perasaan yang sebenarnya, bagaimana ia timbul, berlangsung, dan kemudian lenyap kembali.

Perasaan harus dikendalikan oleh akal dan kebijaksanaan, agar perasaan itu tidak membangkitkan bermacam-macam bentuk emosi. Apabila perasaan telah dapat diatasi dengan tepat, maka batin menjadi bebas, tidak terikat oleh apapun di dalam dunia ini.

3. Citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran).
Di sini direnungkan segala gerak-gerik pikiran. Apabila pikiran sedang dihinggapi hawa nafsu atau terbebas daripadanya, maka hal itu harus disadari.

Pikiran harus diarahkan pada kenyataan hidup pada saat ini. Masalah-masalah yang telah lewat atau hal-hal yang akan datang tidak boleh dipikirkan pada saat ini. Betapa banyak tenaga yang terbuang dengan percuma karena melamunkan keadaan-keadaan yang telah lalu dan mengkhayalkan keadaan yang akan datang. Jadi, keadaan pikiran yang sebenarnya harus diamat-amati, agar batin menjadi bebas dan tidak terikat.

4. Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran).
Di sini direnungkan bentuk-bentuk pikiran dengan sewajarnya, direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima macam rintangan (nivarana), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima kelompok faktor kehidupan (pancakkhandha), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari enam landasan indriya dalam dan luar (dua belas ayatana), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari tujuh faktor Penerangan Agung (Satta Bojjhanga), dan direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani).

Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima macam rintangan (nivarana) ialah bahwa apabila di dalam diri orang yang bermeditasi timbul nafsu keinginan, kemauan jahat, kemalasan dan kelelahan, kegelisahan dan kekhawatiran, atau keragu-raguan, maka hal itu harus disadari. Demikian pula apabila nivarana itu tidak ada di dalam dirinya, maka hal itu pun harus disadari. Ia tahu bagaimana bentuk-bentuk pikiran itu datang dan timbul. Ia tahu bagaimana sekali timbul, bentuk-bentuk pikiran itu ditaklukkan. Ia tahu bahwa sekali ditaklukkan, bentuk-bentuk pikiran itu tidak akan timbul lagi kemudian.

Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima kelompok faktor kehidupan (pancakkhandha) ialah dengan menyadari bahwa inilah bentuk jasmani, inilah perasaan, inilah pencerapan, inilah bentuk pikiran, inilah kesadaran. Ia tahu bagaimana caranya timbul dan bagaimana caranya lenyap.

Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari enam landasan indriya dalam dan luar (dua bleas ayatana) ialah dengan menyadari bahwa inilah mata dan obyek bentuk, inilah telinga dan obyek suara, inilah hidung dan obyek bau, inilah lidah dan obyek kecapan, inilah badan dan obyek sentuhan, inilah pikiran dan obyek pikiran. Ia tahu akan belenggu-belenggu yang timbul dalam hubungan dengan semua itu. Ia tahu bagaimana cara menaklukkan belenggu-belenggu itu. Ia tahu bagaimana caranya supaya belenggu yang telah dibuang itu tidak timbul lagi kemudian.

Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari tujuh faktor Penerangan Agung (Satta Bojjhanga) ialah apabila di dalam diri orang yang bermeditasi timbul kesadaran (sati), penyelidikan Dhamma yang mendalam (Dhamma-Vicaya), tenaga (viriya), kegiuran (piti), ketenangan (passadhi), pemusatan pikiran (samadhi), atau keseimbangan (upekkha), maka hal itu harus disadari. Ia tahu bilamana keadaan-keadaan ini tidak ada di dalam dirinya. Ia tahu bagaimana cara timbulnya, dan bagaimana cara mengembangkannya dengan sempurna.

Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani) ialah dengan menyadari berdasarkan kesunyataan bahwa inilah penderitaan, inilah asal mula dari penderitaan, inilah pemadaman dari penderitaan, inilah jalan menuju pemadaman dari penderitaan. Ia merenungkan masalah-masalah yang timbul dan hancur dari bentuk-bentuk pikiran. Akhirnya, ia hidup bebas tanpa ikatan dalam dunia ini.

2. SEPULUH MACAM VIPASSANUPAKILESA

Vipassanupakilesa berarti kekotoran batin atau rintangan yang menghambat perkembangan Pandangan Terang, di dalam melaksanakan Vipassana Bhavana.

Vipassanupakilesa ini ada sepuluh macam, yaitu :

1. Obhasa, ialah sinar-sinar yang gemerlapan, yang bentuk dan keadaannya bermacam-macam, yang kadang-kadang merupakan pemandangan yang menyenangkan.

2. Piti, ialah kegiuran, yang merupakan perasaan yang nyaman dan nikmat. Piti ini ada lima macam menurut keadaannya, yaitu :
a. Khudaka Piti, ialah kegiuran yang kecil, yang suasananya seperti bulu badan yang terangkat atau merinding.
b. Khanika Piti, ialah kegiuran yang sepintas lalu menggerakkan badan.
c. Okkantika Piti, ialah kegiuran yang menyeluruh, yang suasananya meriang di seluruh badan, seperti ombak laut memecah di pantai.
d. Ubbonga Piti, ialah kegiuran yang mengangkat, yang suasananya seolah-olah mengangkat badan naik ke udara.
e. Pharana Piti, ialah kegiuran yang menyerap seluruh badan, yang suasananya seluruh badan seperti terserap oleh perasaan yang menakjubkan.

3. Passadi, ialah ketenangan batin, yang seolah-olah orang telah mencapai penerangan sejati.

4. Sukha, ialah perasaan yang berbahagia, yang seolah-olah orang telah bebas dari penderitaan.

5. Saddha, ialah keyakinan yang kuat dan harapan agar setiap orang juga seperti dirinya.

6. Paggaha, ialah usaha yang terlalu giat, yang lebih daripada semestinya.

7. Upatthana, ialah ingatan yang tajam, yang sering timbul dan mengganggu perkembangan kesadaran, karena tidak memperhatikan saat yang sekarang ini.

8. Ñana, ialah pengetahuan yang sering timbul dan mengganggu jalannya praktek meditasi.

9. Upekkha, ialah keseimbangan batin, dimana pikiran tidak mau bergerak untuk menyadari proses-proses yang timbul

10. Nikanti, ialah perasaan puas terhadap obyek-obyek.
Sepuluh macam vipassanupakilesa ini biasanya timbul dalam perkembangan Sammasana-Ñana, yaitu ñana yang ketiga.

3. EMPAT MACAM VIPALLASA-DHAMMA

Vipallasa-Dhamma berarti kekhayalan, atau kepalsuan, atau kekeliruan yang berkenaan dengan paham yang menganggap suatu kebenaran sebagai suatu kesalahan dan kesalahan sebagai suatu kebenaran. Vipallasa-Dhamma ini ada empat macam dan dapat dibasmi dengan melaksanakan empat macam Satipatthana.
Keempat macam Vipallasa-Dhamma itu ialah :

1. Subha-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tidak cantik sebagai cantik. Subha-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan kaya-nupassana.

2. Sukha-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang derita sebagai bahagia. Sukha_Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan vedana-nupassana.

3. Nicca-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tidak kekal sebagai kekal. Nicca-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan citta-nupassana.

4. Atta-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tanpa aku sebagai aku. Atta-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan Dhamma-nupassana.

4. ENAM BELAS MACAM ÑANA

Ñana berarti pengetahuan. Apabila orang tekun melaksanakan Vipassana Bhavana, maka akan berkembanglah ñana di dalam dirinya. Ñana itu ada enam belas macam, yaitu :

1. Nama-Rupa Pariccheda Ñana, ialah pengetahuan mengenai perbedaan nama (batin) dan rupa (materi).

2. Paccaya Pariggaha Ñana, ialah pengetahuan mengenai hubungan sebab dan akibat dari nama dan rupa.

3. Sammasana Ñana, ialah pengetahuan yang menunjukkan nama dan rupa sebagai Tilakkhana (Tiga Corak Umum), yaitu anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), anatta (tanpa aku).

4. Udayabbaya Ñana, ialah pengetahuan mengenai timbul dan lenyapnya nama dan rupa.

5. Bhanga Ñana, ialah pengetahuan mengenai peleburan/pelenyapan nama dan rupa.

6. Bhaya Ñana, ialah pengetahuan mengenai ketakutan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.

7. Adinava Ñana, ialah pengetahuan mengenai kesedihan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.

8. Nibbida Ñana, ialah pengetahuan mengenai keengganan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.

9. Muncitukamyata Ñana, ialah pengetahuan mengenai keinginan untuk mencapai kebebasan.

10.Patisankha Ñana, ialah pengetahuan mengenai penglihatan akan jalan yang menuju kebebasan, yang menimbulkan keputusan untuk berlatih terus dengan bersemangat.

11.Sankharupekkha Ñana, ialah pengetahuan mengenai keseimbangan tentang semua bentuk-bentuk kehidupan.

12.Anuloma Ñana, ialah pengetahuan mengenai penyesuaian diri dengan Ariya-Sacca (Empat Kesunyataan Mulia), sebagai persiapan untuk memasuki magga (Jalan), mencapai phala (hasil) dari magga itu, dan mendekati Nirvana, dengan melalui anicca, dukkha, dan anatta.

13.Gotrabhu Ñana, ialah pengetahuan mengenai pemotongan atau pemutusan keadaan duniawi, dan Nirvana sebagai obyek dari pikiran.

14.Magga Ñana, ialah pengetahuan mengenai penembusan terhadap magga, dimana kilesa atau kekotoran batin telah dilenyapkan.

15.Phala Ñana, ialah pengetahuan mengenai pembabaran phala yang merupakan hasil dari penembusan terhadap magga, dan Nirvana sebagai obyek batinnya.

16.Paccavekkhana Ñana, ialah pengetahuan mengenai peninjauan terhadap sisa-sisa kilesa atau kekotoran batin yang masih ada.

Enam belas macam ñana tersebut di atas diuraikan agak terperinci seperti di bawah ini.

1. Nama-Rupa Pariccheda Ñana
Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat membedakan nama dari rupa dan rupa dari nama. Umpamanya, dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, naik dan turunnya rongga perut ketika bernapas adalah rupa, sedangkan pikiran yang mengetahui proses itu adalah nama. Gerakan kaki ketika berjalan adalah rupa, sedangkan kesadaran terhadapa hal itu adalah nama.

Mengenai membedakan nama dan rupa yang berkenaan dengan panca-indera, dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Dalam melihat bentuk atau warna, bentuk atau warna itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
b. Dalam mendengar bunyi, bunyi itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
c. Dalam mencium bau, bau itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
d. Dalam mencicipi sesuatu, rasa itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
e. Dalam menyentuh suatu benda yang dingin, panas, keras, atau lunak, benda itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.

Jadi, kesimpulannya ialah bahwa seluruh badan ini adalah rupa, dan pikiran adalah nama. Yang ada hanya rupa dan nama. Tak ada sesuatu yang disebut makhluk, tak ada pribadi, aku, dia, dan lain-lainnya.

2. Paccaya Pariggaha Ñana
Dalam beberapa hal, rupa merupakan sebab, dan nama merupakan akibat. Jadi, kalau rongga perut naik, maka kesadaran akan mengikutinya. Namun, dalam hal lain, nama merupakan sebab, dan rupa merupakan akibat. Jadi, kalau pikiran bergerak, maka gerak jasmani akan mengikutinya. Keinginan duduk merupakan sebab, dan duduk adalah akibatnya.

Rongga perut mungkin naik, tetapi tidak ada turun. Rongga perut mungkin turun dengan keras dan tinggal diam dalam keadaan itu. Naik turunnya rongga perut hilang, tetapi kalau dirasakan dengan tangan, proses itu masih tetap ada.

Sewaktu-waktu ada perasaan yang sangat tertekan dan kadang-kadang agak kurang, atau merasa diri tidak berhasil. Sering diganggu oleh pemandangan atau khayalan, seperti binatang liar, gunung-gunung, dan lain-lain.

Naik turunnya perut dan bekerjanya proses kesadaran itu berlangsung dengan teratur. Kadang-kadang orang dapat terkejut, bergoyang ke muka atau ke belakang. Akhirnya, orang dapat merasakan bahwa kehidupan yang lampau, yang sekarang, dan yang akan datang hanya terbentuk dari rangkaian sebab dan akibat, dan hanya terdiri atas nama dan rupa.

3. Sammasana Ñana
Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat merasakan nama dan rupa melalui panca-indera sebagai Tilakkhana (Tiga Corak Umum), yaitu, Anicca (ketidak-kekalan), Dukkha (derita), dan Anatta (tanpa aku).

Gerak naiknya perut dan gerak turunnya perut ada tiga bagian, yaitu upada (terjadi), thiti (berlangsung), dan bhanga (lenyap). Naik turunnya perut dapat lenyap sebentar atau dalam waktu yang lama. Pernapasan dapat berlangsung cepat, pelan, halus, atau tertahan.

Timbul perasaan tertekan, yang hanya dapat lenyap setelah disadari beberapa kali dengan perlahan-lahan. Pikiran menjadi kacau, yang memperlihatkan adanya kesadaran terhadap Tilakkhana itu.

4. Udayabbaya Ñana
Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat menyadari bahwa gerakan naik turunnya perut itu terdiri atas dua, tiga, empat, lima, atau enam tingkat.

Naik dan turunnya perut lenyap berselang-seling. Berbagai perasaan lenyap setelah disadari beberapa kali. Terlihat cahaya yang terang, seperti lampu listrik.

Permulaan dan pengakhiran dari gerakan naik turunnya perut lebih terasa. Akhirnya, orang akan merasakan bahwa ketika pernapasan berhenti pada waktu beristirahat yang berulang-ulang, badan seperti jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam, atau terbang dengan pesawat terbang, atau naik dengan lift, tetapi sebenarnya badan masih tetap diam dan tak bergerak.

5. Bhanga Ñana

Pengakhiran dari gerak naik turunnya perut lebih terasa. Naik turunnya perut terasa samar-samar, terasa lenyap, dan kadang-kadang terasa tidak ada apa-apa.

Gerakan naik turun dan kesadaran/pikiran (citta) terasa seolah-olah lenyap. Pertama-tama, rupa (materi/jasmani) yang mengendap, tetapi citta masih bergema. Kemudian, gerakan naik turun segera lenyap, demikian pula kesadarannya. Jadi, citta dan obyeknya lenyap bersama-sama.

Terasa panas seluruh badan. Terasa diri seperti ditutupi dengan jaring. Segala sesuatu kelihatannya seolah-olah dalam suasana yang penuh kesuraman, sangat kabur, dan remang-remang. Kalau melihat pada langit, seolah-olah ada getaran-getaran di udara. Gerakan naik dan turun sekonyong-konyong berhenti dan sekonyong-konyong timbul lagi.

6. Bhaya Ñana
Timbul perasaan takut, tetapi tidak seperti takut ketika melihat hantu atau setan. Tidak merasa bahagia, senang, gembira, atau nikmat. Terasa sakit pada urat-urat syaraf, terutama pada waktu berjalan atau berdiri.

Terdapat bahaya dari perubahan-perubahan yang terus menerus di dalam semua bentuk kehidupan. Semua bagian dari benda-benda ini menakutkan. Nama dan rupa yang dianggap sebagai sesuatu yang bagus atau indah, sebenarnya tidak mempunyai inti-sari, dan kosong sama sekali. Setelah nama dan rupa lenyap, tidak ada lagi yang menimbulkan rasa takut.

7. Adinava Ñana
Gerakan naik turun menghilang sedikit demi sedikit, dan kelihatannya hanya samar-samar dan suram. Nama dan rupa muncul dengan cepatnya, tetapi dapat juga disadari.

Diri terasa buruk, jelek, dan membosankan. Semua bentuk batin dan fisik menyedihkan.

8. Nibbida Ñana
Semua obyek kelihatan membosankan dan jelek. Terasa seperti malas, tetapi kemampuan untuk mengenal atau menyadari sesuatu masih berjalan dengan baik. Tak ada keinginan untuk bertemu atau bercakap-cakap dengan orang lain, dan lebih senang tinggal di kamar sendiri saja.

Orang merasa bahwa keinginan-keinginan atau cita-citanya yang dahulu, seperti kemasyhuran, kemewahan, kemegahan, dan lain-lainnya tidak lagi merupakan kesenangan dan kegembiraan, bahkan berubah menjadi kebosanan setelah menyadari sendiri bahwa manusia itu tercengkeram dan terseret ke dalam kelapukan. Semua manusia dan makhluk lain, bahkan para dewa dan para brahma tidak ada yang terkecuali semasih diliputi oleh bentuk-bentuk ini, di mana masih ada kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian, dan tidak terdapat perasaan kenikmatan yang sejati. Kebosanan timbul sebagai dorongan yang keras untuk mencari Nibbana.

9. Muncitukamyata Ñana
Seluruh badan merasa gatal, seperti digigit-gigit semut, atau seperti ada binatang kecil yang merayap pada muka dan badan. Terasa kurang senang, gelisah dan bosan. Ada keinginan pergi dan menghentikan latihan meditasinya. Ada pula yang ingin pulang karena merasa bahwa paramitanya atau perbuatan-perbuatan baiknya belum cukup kuat.

10.Patisankha Ñana
Terasa ditusuk-tusuk di bawah kulit dengan benda-benda tajam di seluruh badan. Timbul bermacam-macam perasaan yang mengganggu, tetapi setelah disadari dua atau tiga kali, semua itu menjadi lenyap. Terasa mengantuk. Badan menjadi kaku, tetapi pikiran masih aktif dan pendengaran masih bekerja. Badan terasa seperti ditindih batu atau kayu. Seluruh badan terasa panas. Muncul perasaan tak senang.

11.Sankharupekkha Ñana
Tidak ada perasaan takut, tidak ada perasaan senang, tetapi agak seperti acuh tak acuh. Naik turunnya perut hanya disadari sebagai nama dan rupa saja. Tidak ada perasaan gembira atau perasaan sedih, tetapi pikiran dan kesadaran pada saat itu tetap terang.

Ingatan, pengenalan, atau kesadaran tidak mengalami kesukaran-kesukaran.Konsentrasi pikiran berjalan baik, tetap tenang dan halus dalam jangka waktu yang lama, seperti sebuah mobil yang berjalan di atas jalan yang datar dan rata. Ada perasaan puas dan mungkin lupa dengan waktu. Samadhi atau konsentrasi menjadi kuat dan lekat, seperti adonan tepung yang diremas-remas oleh tukang roti yang pandai.

Dapat dikatakan bahwa penyadaran dan pengenalan di dalam nama ini berlangsung dengan mudah dan memuaskan. Orang mungkin dapat lupa dengan waktu yang telah dilewatinya dalam latihan itu. Mungkin ia telah duduk selama satu jam atau lebih, padahal mulanya ia ingin bermeditasi hanya 30 menit saja.

12.Anuloma Ñana
Di sini Anuloma Ñana diuraikan dalam bentuk Tilakkhana (anicca, dukkha, anatta) sebagai berikut :

a. Anicca : orang yang biasa melatih diri dalam kebersihan atau kesucian dan sila-sila akan mencapai magga melalui perenungan tentang anicca. Gerakan naik turun perut menjadi cepat, tetapi sekonyong-konyong berhenti. Ia menyadari atau mengetahui dengan terang tentang gerakan naik turun itu yang berhenti, menyadari sikap duduk atau sentuhan-sentuhan badannya dengan jelas. Keadaan pernapasan yang cepat itu adalah corak anicca, dan pengenalan atau kesadaran terhadap proses berhentinya pernapasan ini adalah anuloma-ñana, tetapi janganlah hendaknya ragu-ragu atau dipikir-pikirkan. Proses berhenti ini harus disadari dengan nyata.

b. Dukkha : Orang yang biasa melatih diri dalam Samatha (meditasi ketenangan) akan mencapai magga melalui perenungan tentang dukkha. Kalau ia berlatih menyadari naik turunnya perut, sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan, maka hal itu akan terhalang. Kalau ia terus melanjutkan menyadari naik turunnya perut, sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan, maka terjadilah proses berhenti. Keadaan pernapasan yang terhalang itu adalah corak dari dukkha, dan pengenalan atau kesadaran terhadap proses berhentinya gerakan naik turun ini, atau terhadap sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan itu adalah anuloma-ñana.

c. Anatta : Orang yang biasa melatih diri dalam Vipassana (meditasi pandangan terang), atau senang dengan Vipassana dalam kehidupannya yang dulu-dulu, akan mencapai magga melalui perenungan tentang anatta. Jadi, naik turunnya perut menjadi tenang dan teratur, jangka waktu dari gerakan naik dan gerakan turun sama, dan kemudian berhenti. Gerak naik turunnya perut, atau sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan kelihatan dengan terang. Keadaan pernapasan yang halus dan teratur itu adalah corak dari anatta, dan pengenalan atau kesadaran yang terang terhadap proses berhentinya gerakan naik turun ini, atau terhadap sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan itu adalah anuloma-ñana.

13. Gotrabhu Ñana
Nama-rupa bersama-sama dengan citta (pikiran) yang mengetahui proses berhenti itu menjadi diam, tenang, aman, dan damai. Ini berarti bahwa orang telah mendapat penerangan dengan nibbana sebagai obyeknya. Jadi, kalau pencerapan mulai pecah dan lenyap, maka gotrabhu-ñana tercapai.

14.Magga Ñana
Magga timbul langsung pada saat perasaann pecah dan pencerapan kilesa hancur akibat dari putusnya belenggu-belenggu, seperti Sakayaditthi (kekhayalan dari aku), Vicikiccha (keragu-raguan), Silabbataparamasa (ketahyulan tentang upacara).

15.Phala Ñana
Phala-ñana adalah hasil dari magga, yang muncul langsung setelah timbulnya magga-ñana. Dalam beberapa saat, dua atau tiga saat, yang menjadi obyek phala-citta adalah nibbana. Ñana ini bersifat lokuttara.

16.Paccavekkhana Ñana
Paccavekkhana-Ñana terdiri atas pertimbangan-pertimbangan mengenai masih adanya kilesa (kekotoran batin). Dalam hal ini terdapat lima macam pertimbangan sebagai berikut :
a. Pertimbangan mengenai magga, yang berarti bahwa kita telah tiba pada magga ini.
b. Pertimbangan mengenai phala, yang berarti bahwa kita telah mencapai phala atau hasil ini.
c. Pertimbangan mengenai kilesa yang telah dihancurkan, yang berarti kita telah menghancurkan semua kilesa.
d. Pertimbangan mengenai kilesa yang belum dihancurkan, yang berarti kita masih memiliki kilesa.
e. Pertimbangan mengenai nibbana, yang berarti bahwa Dhamma tertentu telah kita capai untuk menuju ke Nibbana sebagai obyek pikiran.

Demikian proses tersebut dapat timbul di dalam diri seseorang dan dapat disadari dengan seksama, jika orang melaksanakan Vipassana Bhavana.

 
kamu sendiri ada meditasi jhana ga?, saya ga ada kenalan guru yg bisa ngajar gitu, yang ada guru Taois semua.
 
kamu sendiri ada meditasi jhana ga?, saya ga ada kenalan guru yg bisa ngajar gitu, yang ada guru Taois semua.

Bisa minta bantuan atau petunjuk dari Bhikkhu-Bhikkhu di kota anda.
kalau di Jakarta bisa ke :
Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya
Jl. Agung Permai XV/12 Blok C
Sunter Agung Podomoro
Jakarta Utara 14350

 
kk singthung yg ttg meditasi gini di sticky donk..
kan bakal banyak yg nanya..:)
thx before..

Oya oz liat Ebook yg bagus ttg meditasi..DOWNLOAD disini
 
Nice Info bro :)

Beda istilah tapi intinya sama >:D<

Love and light
 
kalo ajaran dari tao beda sekali..
tao ngajarin meditasi buat berpergian ke alam lain dan berbicara sama makhluk makhluk tersebut.. da itu sangat membingungkan
 
Purpose Of Practising Kamatthana Meditation

PURPOSE OF PRACTISING KAMATTHANA MEDITATION
(Perbedaan Antara Samatha & Vipassana)

Penulis Asli : Mahasi Sayadaw Bhadanta Sobhana,
Sasanadhaja-siri-pavara-dhammacariya, Agga-mahapandita,
Chattha-sangiti-pucchaka;

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa

Penuh hormat kepada Bhagava, Yang Suci Mulia, Yang telah merealisasi pencerahan secara mandiri


PURPOSE OF PRACTISING KAMATTHAANA MEDITATION
(Perbedaan Antara Samattha & Vipassana)


I. TUJUAN UTAMA MEDITASI AJARAN BUDDHA

Apakah tujuan melaksanakan latihan meditasi?

Latihan meditasi dilaksanakan untuk tujuan terbebas dari penderitaan kehidupan usia tua, sakit, mati dan seterusnya, merealisasi Nibbana.

Semua makhluk hidup ingin hidup berumur panjang tanpa kekerasan, hidup dengan damai, gembira, dan sejahtera tanpa penderitaan usia tua, sakit, mati, dan penderitaan kehidupan lainnnya; namun mereka selalu sia-sia menemukan harapannya itu. Selama masih di dalam roda kehidupan, masih selalu dijumpai usia tua, sakit, kesedihan dan ratapan dikarenakan banyak bahaya dan kejahatan, baik penderitaan fisik dan keluhan mental/batin. Kemudian, setelah menderita rasa yang amat sangat dan penderitaan yang amat berat, diikuti oleh kematian.

Dan, itupun tidak berakhir di dalam kematian. Lagi-lagi, terdapat kelahiran dikarenakan kemelekatan untuk menjadi (berwujud). Di dalam kehidupan baru ini mereka pun menjadi korban usia tua, dan penderitaan lainnya. Di dalam cara seperti ini, mereka berkelana di dalam lingkaran tumimbal lahir dari kehidupan ke kehidupan lain, menderita semua jenis derita kehidupan dan tanpa henti. Di dalam mencari sebab utama (akar) dari peristiwa itu menjadi tampak nyata bahwa dikondisikan oleh kelahiran, di sana mengikuti rangkaian : usia tua, sakit, mati, dan penderitaan kehidupan lainnya. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mencegah tumimbal lahir yang berkelanjutan apabila ingin terbebas dari penderitaan kehidupan di dalam usia tua dan sebagainya.

Tumimbal lahir terjadi dikarenakan kemelekatan yang terkandung di dalam kehidupan ini. Kelahiran yang baru hanyalah munculnya sebuah kesadaran yang merupakan hasil dari kemelekatan terhadap objek dari kehidupan sebelumnya. Apabila tidak terdapat kemelekatan, maka tidak akan ada kelahiran baru; oleh karena itu setiap usaha harus ditujukan untuk terbebas dari kemelekatan apabila tidak menginginkan kelahiran yang baru.

Kemelekatan terhadap kehidupan ini tidak berlangsung karena dua alasan : pertama karena tidak mengerti ketidakpuasan/penderitaan batin dan jasmani, dan kedua karena tidak merealisasi bahwa Nibbana jauh lebih luhur bila dibandingkan dengan jenis kebahagiaan lainnya. Sebagai contoh, mirip kasus seseorang yang hidup di daerah yang gersang dan menyedihkan yang dikelilingi oleh banyak bahaya. Secara alamiah ia berpikir meluhurkan desanya itu dan memiliki kemelekatan yang kuat terhadapnya karena ia tidak memiliki pengetahuan yang jelas akan kekurangan daerahnya dan kondisi yang lebih baik dari tempat lainnya.

Apabila ia mulai mengetahui kenyataan-kenyataan secara penuh, daerahnya tidak lagi menarik baginya dan ia akan serta merta pindah ke daerah yang baru. Demikian pula, sangatlah penting untuk mencoba mengerti kondisi tak memuaskan dari batin dan jasmani yang menguasai kehidupan ini dan secara mandiri merealisasi superioritas Nibbana dengan sebuah pandangan untuk menghancurkan secara total kemelekatan terhadap kehidupan. Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui latihan meditasi yang tepat. Oleh karena itu, setiap orang yang menginginkan untuk terbebas dari penderitaan akibat usia tua, kematian dan sebagainya dan merealisasi Nibbana secara mandiri seyogyanya melaksanakan latihan meditasi.

II. PEMBAGIAN MEDITASI AJARAN BUDDHA

Meditasi dibagi menjadi dua bagian :

1. Samatha – kammatthana
2. Vipassana - kammatthana

1. Latihan samattha-kammatthana akan mengembangkan faktor batin atas delapan pencapaian duniawi (lokiya-samapatti) yang terdiri dari 4 jenis rupa-jhana dan 4 arupa-jhana. Latihan yang berulangkali atas kondisi di dalam jhana ini akan membawa lima kemahiran batin duniawi luar biasa (abhinna 5) sebagai berikut :

* Iddhi-vidha-abhinna .... kekuatan dari satu menjadi banyak dan dari banyak menjadi satu lagi. Kekuatan untuk menembus dinding atau gunung tanpa rintangan, seolah di udara. Kekuatan untuk berjalan di atas air tanpa tenggelam, seolah seperti berjalan di atas tanah. Kekuatan untuk memasuki/ menyelam ke dalam tanah dan muncul lagi di permukaan tanah, seolah seperti ke/ dari dalam air. Kekuatan untuk terbang dengan kaki bersila ke angkasa, seolah seperti burung yang memiliki sayap. Kekuatan untuk menyentuh matahari dan bulan dengan menggunakan tangan.

* Dibba-sota-abhinna .... Telinga dewa, kekuatan untuk mendengarkan suara baik suara manusia maupun makhluk surgawi, jauh maupun dekat.

* Ceto-pariya-abhinna .... Kekuatan untuk mengetahui pikiran orang lain.

* Pubbe-nivassa-abhinna .... Kekuatan untuk mengetahui kejadian kehidupan lampau seseorang.

* Dibba-cakkhu-abhinna .... Mata dewa, kekuatan untuk melihat semua bentuk bentuk dan warna yang jauh maupun dekat, baik besar maupun kecil.

Memiliki atribut-atribut ini tetap tidak akan menjamin/membawa ke kebebasan dari ketidakpuasan kehidupan, usia tua, kematian dan seterusnya. Kematian seseorang yang mamiliki jhana secara utuh akan menyebabkan tumimbal lahir di alam para Brahma yang jangka waktu kehidupannya sangat panjang; bisa satu usia dunia atau dua kali atau empat kali atau delapan kali usia dunia dan seterusnya, sesuai kasus per kasus.

2. Melalui latihan Vipassana-kammatthana seseorang dapat merealisasi Nibbana dan memenangkan kebebasan mutlak dari penderitaan kehidupan.

Vipassana-kammatthana dibagi menjadi dua sub bagian, yaitu :

Samattha-yanika, seseorang yang mengambil dasar permulaan latihan samatha kammatthana untuk merealisasi Nibbana.

Suddha-vipassana-yanika, seseorang yang secara langsung melatih vipassana kammatthana untuk merealisasi Nibbana, tanpa melalui awal samatha kammatthana.



 
III. EMPAT PULUH POKOK/SUBJEK MEDITASI

Di dalam naskah, terdapat empat puluh pokok/subjek meditasi, beberapa di antaranya dapat digunakan sebagai latihan dasar samatha untuk melaksanakan latihan vipassana. Empat puluh pokok/subjek meditasi itu adalah :

1. 10 kasina (alat permenungan)
2. 10 asubha (ketidakmurnian)
3. 10 anussati (perenungan)
4. 4 Brahma vihara (sikap batin luhur)
5. 4 arupa (tahapan arupa – jhana)
6. 1 Ahare-patikula-sanna (perenungan atas makanan yang menjijikan)
7. 1 Catu-dhatu-vavatthana (analisis empat unsur)

Sepuluh kasina terdiri dari :

1. Kasina tanah (Pathavi)
2. Kasina air (Apo)
3. Kasina api (Tejo)
4. Kasina udara (Vayo)
5. Kasina warna biru gelap (Nila)
6. Kasina warna kuning (Pita)
7. Kasina warna merah darah (Lohita)
8. Kasina warna putih (Odata)
9. Kasina cahaya (Aloka)
10. Kasina ruang terbatas (Akasa)

Sepuluh Asubha terdiri dari :

1. Sebuah mayat membiru (Vinilaka)
2. Sebuah Mayat membengkak (Uddhumataka)
3. Sebuah Mayat terinfeksi/bernanah (Vipubbaka)
4. Sebuah Mayat terbelah dua (Vicchiddaka)
5. Sebuah mayat yang telah digigit binatang buas (Vikkhayittaka)
6. Sebuah mayat yang terserak hancur (Hatavikkhittaka)
7. Sebuah mayat yang terpotong-potong dan berserakan (Vikkhittaka)
8. Sebuah mayat yang berdarah (Lohitaka)
9. Sebuah mayat yang terinfeksi cacing/belatung (Puluvaka)
10. Sebuah tengkorak (Atthika)

Sepuluh Anussati terdiri dari :

1. Perenungan terhadap kualitas-kualitas Buddha (Buddhanusati)
2. Perenungan terhadap kualitas-kualitas Dhamma (Dhammanussati)
3. Perenungan terhadap kualitas-kualitas Sangha (Sanghanussati)
4. Perenungan terhadap kemoralan seseorang (Silanussati)
5. Perenungan terhadap kemurah-hatian seseorang (Caganussati)
6. Perenungan terhadap kualitas untuk tumimbal lahir sebagai dewa (Devatanussati), yaitu keyakinan teguh (saddha), kemoralan (sila), kemauan belajar dan mendengarkan Dhamma (suta), kemurah-hatian (cage) dan kebijaksanaan (panna)
7. Perenungan terhadap Nibbana (Upasamanussati)
8. Perenungan akan kepastian kematian (Marananussati)
9. Perenungan atas 32 (tiga puluh dua) bagian tubuh (Kayagatasati), seperti : rambut, bulu tubuh, kuku, gigi, kulit, dan seterusnya.
10. Perenungan terhadap kaluar dan masuknya nafas (Anapanasati)

Empat Brahma Vihara terdiri dari :

1. Cinta kasih yang universal terhadap semua makhluk (metta)
2. Belas kasih terhadap makhluk menderita (karuna)
3. Simpati atas keberhasilan / pencapaian makhluk lain (mudita)
4. Keseimbangan batin sempurna (upekkha)


“ ..... Berdiam dengan batin yang dipenuhi oleh cinta kasih universal yang diarahkan ke arah pertama, kemudian ke arah kedua. Kemudian ke arah ketiga. Kemudian ke arah keempat, demikan pula, ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling dan ke segala penjuru kepada semua makhluk, seperti terhadap dirinya. Ia memancarkan ke segenap dunia dengan batin dipenuhi oleh cinta kasih universal, batin yang lapang, berkembang, tanpa batas, terbebas dari kebencian dan niat jahat ……. dengan batin yang dipenuhi oleh belas kasihan, oleh sikap simpati terhadap pencapaian/keberhasilan mahluk lain, dan oleh keseimbangan yang sempurna ......” (Jivaka Sutta, Majjhima Nikaya, Sutta Pitaka).

Empat Arupa, terdiri dari :

1. Berdiam dalam permenungan atas kondisi ruangan yang tanpa batas (Akasanancayatana)
2. Berdiam dalam permenungan atas alam kesadaran yang tak terbatas (Vinnanancayatana)
3. Berdiam dalam permenungan atas alam kekosongan (Akincannayatana)
4. Berdiam dalam permenungan atas kondisi alam bukan pencerapan juga bukan pencerapan (Nevasannanasannayaatana)


1 aharapatikulasañña (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)

Dalam satu aharapatikulasañña, direnungkan bahwa makanan adalah barang yang menjijikkan bila telah berada di dalam perut; direnungkan bahwa apapun yang telah dimakan, diminum, dikunyah, dicicipi, semuanya akan berakhir sebagai kotoran (tinja) dan air seni (urine).


1 catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)

Dalam satu catudhatuvavatthana, direnungkan bahwa di dalam badan jasmani terdapat empat unsur materi, yaitu :

1. Pathavi-dhatu (unsur tanah atau unsur padat), ialah segala sesuatu yang bersifat keras atau padat. Umpamanya : rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, dan lain-lain.

2. Apo-dhatu (unsur air atau unsur cair), ialah segala sesuatu yang bersifat berhubungan yang satu dengan yang lain atau melekat. Umpamanya : empedu, lendir, nanah, darah, dan lain-lain.

3. Tejo-dhatu (unsur api atau unsur panas), ialah segala sesuatu yang bersifat panas dingin. Umpamanya : setelah selesai makan dan minum, atau bila sedang sakit, badan akan terasa panas dingin.

4. Vayo-dhatu (unsur angin atau unsur gerak), ialah segala sesuatu yang bersifat bergerak. Umpamanya : angin yang ada di dalam perut dan usus, angin yang keluar masuk waktu bernapas, dan lain-lain

 
IV. DESKRIPSI SINGKAT LATIHAN SAMATHA-KAMMATTHANA

1. Pathavi Kasina Kammattha dan pencapaian Jhana

Seseorang yang mengambil subjek meditasi dengan memilih Kasina tanah (Pathavi-kasina) untuk permenungannya. Seyogyanya memperhatikan sebongkah tanah di atas tanah atau alat berupa segumpal tanah yang merenungkannya dengan mengatakan di dalam batin: “pathavi, pathavi, pathavi” atau “tanah , tanah , tanah”. Setelah merenungkan berulang kali untuk sejumlah waktu tertentu, gambaran alat-tanah yang kuat dan jelas akan muncul di dalam batin seolah-olah dilihat langsung oleh indera penglihatan (mata).

Penampilan gambaran batin ini disebut Uggaha-nimitta (bayangan yang diperoleh). Segera setelah bayangan (nimitta) ini menjadi kuat dan stabil di dalam batin, ia dapat pergi ke mana pun dan mengambil posisi apa saja, baik posisi duduk, berjalan, berdiri atau berbaring. Ia seyogyanya kemudian melanjutkan untuk merenungkan Uggaha-nimitta itu dengan mengatakan dalam batin “pathavi, pathavi, pathavi” atau “tanah, tanah, tanah”. Selama waktu permenungan ini dapat terjadi bahwa batin tidak tetap terfokus pada objeknya namun sering kali mengembara/ melayang-layang mengalami objek lainnya dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Batin sering berfikir akan objek-objek yang diinginkan nafsu indera. Ini adalah Kamacchanda-nivarana (rintangan batin keinginan nafsu indera).

2. Batin sering bercokol pada pikiran-pikiran sedih dan marah. Ini adalah Vyapada-nivarana (rintangan batin keinginan jahat / niat buruk).

3. Terdapat kekenduran di dalam permenungan dan batin sering bosan dan kabur. Ini adalah Thina-middha-nivarana (rintangan batin kemalasan dan kelambanan batin).

4. Batin sering tidak stabil namun gelisah, dan batin sering khawatir dalam merenungkan dalam merenungkan perbuatan buruk melalui ucapan dan tindak-tanduk jasmani yang telah lampau. Ini adalah Uddhaca-kukkucca-nivarana (rintangan batin kegelisahan dan kekhawatiran).

5. Batin sering memikirkan “apakah permenungan yang sedang dilakukan ini adalah sebuah metode yang benar. Apakah metode ini dapat membawa hasil yang bermanfaat. Apakah ada kesempatan untuk meraih hasil yang baik.” Ini adalah Vicikiccha-nivarana (rintangan batin keraguan skeptis).

Kelima rintangan (nivarana) ini seyogyanya dipotong segera setelah mereka muncul dan batin seyogyanya kembali mengambil objek ‘ugghana-nimitta’ misalnya dengan merenungkan sebagai: ‘pathavi, pathavi, pathavi’ atau ‘tanah, tanah, tanah’. Apabila batin kehilangan ugghana-nimitta sebagai objek, maka ia seyogyanya kembali ke tempat asal alat-tanah itu dan melakukan perenungan lagi: ‘pathavi, pathavi, pathavi’ atau “tanah, tanah, tanah” seperti yang dilakukan pada permulaan latihan. Kemudian ia seyogyanya kembali ke tempat yang sama dan melanjutkan dengan permenungan di dalam berbagai posisi tubuh, baik duduk, berdiri, berbaring maupun berjalan.

Dengan melakukan permenungan demikian terhadap objek uggaha-nimitta secara berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama, objek tersebut akan 'terlihat' jelas dan mirip penampilan kristal tidak seperti penampakan awalnya. Ini disebut 'Patibhaga-nimitta' (bayangan keseimbangan). Kondisi batin seperti ini dikenal dengan 'Upacara-samadhi' (konsentrasi berdekatan). Kini, dengan secara berkesinambungan batin berada dalam ‘Upacara-samadhi’ dengan objeknya Patibhaga-nimitta, batin mencapai satu keadaan seolah tenggelam ke dalam objek dan berdiam secara menetap di dalamnya. Tahap ketetapan dan kestabilan batin ini dikenal sebagai 'Appana-samadhi' (konsentrasi pencapaian). Terdapat empat jenis Appana-samadhi untuk rupa jhana, yaitu:

(a) Jhana pertama, (b) Jhana kedua, (c) Jhana ketiga, (d) Jhana keempat .

a) Di dalam jhana pertama lima faktor batin yang hadir secara nyata adalah:

* Faktor batin yang berfungsi dalam penerapan/ perenungan awal/ pengarahan terhadap objek (vitakka)
* Faktor batin yang berfungsi dalam penerapan penambatan terhadap objek (vicara)
* Faktor batin yang berfungsi dalam menimbulkan suka cita/ kegiuran (piti)
* Faktor batin yang berfungsi dalam menimbulkan kegembiraan (sukkha)
* Faktor batin yang berfungsi dalam konsentrasi terfokus kuat terhadap objek (ekaggata)

b) Seseorang yang telah mencapai tahap Jhana pertama dan ahli, melihat ketidakpuasan di dalam dua faktor batin pertama di atas, yaitu vitakka dan vicara, melanjutkan lagi melakukan perenungan untuk mengatasi kedua faktor batin tadi, dan berhasil mencapai tahap jhana kedua, yang kondisi faktor batin paling menonjolnya ada tiga, yaitu piti, sukha, dan ekaggata.

c) Dengan melihat ketidakpuasan yang terdapat di dalam ‘piti’ ia melanjutkan dengan perenungannya untuk mengatasi piti dan berhasil mencapai tahap jhana ketiga yang kondisi faktor batin paling menonjolnya ada dua, yaitu sukha dan ekaggata.

d) Dengan melihat ketidakpuasan yang terdapat di dalam ‘sukha’ ia melanjutkan dengan perenungan untuk mengatasi faktor batin sukha tersebut dan berhasil mencapai tahap jhana keempat yang kondisi faktor batin paling menonjolnya ada dua, yaitu ‘upekkha’ (keseimbangan) dan ekaggata.
Inilah diskripsi singkat cara untuk merenungkan Pathavi kasina dan pengembangan bertahap keempat tingkat jhana. Hal yang sama dapat dilakukan untuk kasina yang lain.

Di dalam hal seseorang yang memilih salah satu pokok meditasinya ‘Asubha’ sebagai subjek konsentrasinya, ia seyogyanya melihat ke arah seonggok mayat membengkak, atau mayat membiru, dan seterusnya, dan merenungkan dengan mengatakan di dalam batin 'mayat membengkak, mayat membengkak,' 'mayat membiru, mayat membiru', dan seterusnya. Ia seyogyanya kemudian melaksanakan perenungan di dalam cara yang sama seperti kasus pathavi-kasina. Perbedaan yang ada adalah bahwa perenugan subjek Asubha hanya akan mengantarkan untuk pencapaian tingkat Jhana pertama.

Perenungan terhadap 32 bagian tubuh, (Kayagata-sati) juga hanya akan mengantarkan untuk pencapaian tingkat Jhana pertama.

Delapan perenungan yang terdiri dari Buddhanussati sampai dengan marananussati; makanan yang menjijikan (aharepatikkula-sanna); dan analisa empat unsur (catu-dhatu-vavatthana) akan membawa hanya sampai tahap upacara-samadhi.

Tiga dari empat Brahma vihara, yaitu metta, karuna dan mudita akan membawa sampai dengan tingkat Jhana ketiga, namun seseorang yang telah melakukan meditasi melalui perenungan satu dari tiga brahma vihara ini yang telah mencapai tingkat jhana ketiga, juga akan mencapai tingkat jhana keempat dengan melaksanakan perenungan brahma vihara keempat, yaitu upekkha.

Mereka yang telah mencapai tingkat jhana keempat melalui permenungan kasina, akan mencapai tingkat-tingkat 4 Arupa Jhana dengan merenungkan empat Arupa secara berurutan.

2. Anapana-sati Kammatthana

Seseorang yang memilih Anapanasati sebagai subjek perenungan seyogyanya tinggal di tempat yang sunyi dan duduk dengan kaki bersila atau di dalam cara yang nyaman sehingga dapat duduk di dalam jangka waktu yang cukup lama, dengan badan yang tegak, dan kemudian menetapkan perhatiannya pada celah/lubang hidung. Ia kemudian akan mengetahui secara jelas sensasi sentuhan di ujung hidung atau di sisi sebelah atas bibir, yang disebabkan oleh kontak berkesinambungan dari aliran nafas masuk dan keluar. Aliran ini seyogyanya diamati pada titik sentuhannya dan direnungkan dengan mengatakan dalam batin: “keluar, masuk, keluar, masuk” pada setiap aktivitas nafas masuk dan nafas keluar. Batin seyogyanya tidak pergi bersama aliran itu, baik perjalanan nafas masuk maupun perjalanan nafas keluar, namun seyogyanya tetap pada titik sentuhan tadi.

Selama di dalam perenungan, akan terdapat banyak rintangan di mana batin akan mengembara/ melayang-layang. Rintangan ini seyogyanya tidak diikuti lebih lanjut, namun perhatian seyogyanya dikembalikan ke titik sentuh dan merenungkan kembali sebagai “masuk, keluar, masuk, keluar” sesuai aktivitas nafas masuk dan nafas keluar.

Dengan cara berkesinambungan mengamati titik sentuhan dan melaksanakan perenungan:

1. Nafas masuk dan nafas keluar yang panjang menjadi jelas teramati ketika mereka panjang.
2. Nafas masuk dan nafas keluar yang pendek menjadi jelas teramati ketika mereka pendek.
3. Setiap rangkaian nafas masuk dan nafas keluar yang lembut pada awal, pertengahan dan akhirnya menjadi jelas teramati dari titik sentuhan ujung hidung hingga ke tempat nafas itu meninggalkan hidung, dan
4. Perubahan bertahap dari nafas masuk dan keluar yang kuat ke nafas masuk dan keluar yang lebih halus menjadi jelas teramati.

Sejalan dengan nafas masuk dan keluar menjadi lebih halus dan lebih halus lagi, maka nafas tersebut akan ‘tampak’ seolah nafas tersebut padam total. Di dalam kasus seperti ini, umumnya waktu terbuang untuk mencari objek nafas masuk dan nafas keluar dengan mencoba meneliti penyebab padamnya nafas dan akhirnya tetap sia-sia tanpa melaksanakan perenungan. Namun demikian, janganlah membuang waktu dengan cara demikian; apabila batin dengan penuh perhatian kembali tetap mengamati titik sentuhan pada ujung hidung atau sisi bibir sebelah atas maka aliran nafas masuk dan keluar yang halus akan ‘tampak’ lagi dan akan tercerap dengan sangat jelas.

Dengan terus-menerus merenungkan nafas masuk dan nafas keluar, maka aliran nafas itu akan tergambar/terbayangkan dalam bentuk atau ukuran khusus. Berikut ini adalah yang dinyatakan di dalam kitab Visuddhi-magga (Jalan Kesucian/ Kemurnian batin).

Untuk orang tertentu, nafas masuk dan nafas keluar 'tampak' seperti sebuah bintang atau sebuah permata atau sebuah berlian, bagi yang lainnya dengan sebuah sentuhan kasar seperti dari kain sutera, atau sebuah tonggak terbuat dari hati kayu, bagi yang lainnya mirip benang panjang terurai atau sekuntum bunga atau segumpal asap rokok, sedangkan bagi yang lainnya mirip sebuah sarang laba-laba atau sebuah lapisan awan atau sekuntum bunga teratai atau sebuah roda kereta atau sebuah piringan bulan atau matahari. Dinyatakan bahwa keragaman bentuk atau objek bayangan itu disebabkan oleh perbedaan (sanna) individu yang mengalaminya. Bentuk objek yang khusus ini adalah “Patibhaga Nimitta”. Konsentrasi (samadhi) yang kemudian dikembangkan dengan 'Patibhaga-nimitta' sebagai objeknya, disebut ‘Upacara-samadhi’. Dengan secara berkesinambungan merenungkan dibantu oleh Upacara-samadhi maka tingkat appana-samadhi dari tahapan 4 Rupa Jhana akan berkembang.

Inilah deskripsi singkat LATIHAN PERMULAAN samatha yang dilakukan oleh seorang 'samatha-yanika' yang memilih 'samatha-kammatthana', sebagai dasar untuk merealisasi Nibbana.

Mereka yang berhasrat untuk melatih vipassana seyogyanya pertama-tama dibekali dengan seperangkat pengetahuan, baik secara singkat maupun mendalam, namun cukup, terhadap kenyataan bahwa makhluk hidup terdiri dari dua komponen, yaitu jasmani (rupa) dan batin (nama); bahwa jasmani dan batin terbentuk dikarenakan sebab dan akibat; dan bahwa jasmani dan batin berada dalam proses perubahan yang terus-menerus; oleh karena itu jasmani dan batin tidak kekal, tidak memuaskan dan tidak mengandung kepemilikan/keakuan/ ‘atta’.

 
V. DISKRIPSI SINGKAT LATIHAN VIPASSANA​

1. Samatha-yanika

Seseorang yang telah cukup pengetahuannya seperti disebutkan di atas seyogyanya pertama-tama berada di dalam jhana yang telah dicapainya dan kemudian merenungkannya.

Ia seyogyanya kemudian melanjutkan dengan merenungkan secara berkesinambungan sensasi-sensasi, seperti melihat, mendengar, mencium bau, mengecap rasa, mengetahui sentuhan, dan seterusnya sebagaimana mereka muncul dengan jelas pada salah satu dari enam pintu indera. Apabila ia merasa lelah atau bosan dengan melaksanakan terus-menerus perenungan akan beragam objek (pakinnakasankhara) ia seyogyanya memasuki jhana lagi dengan menetapkan tekad yang kuat bahwa jhana tersebut akan berlangsung selama 15 atau 30 menit.

Apabila keadaan jhana telah berlalu ia seyogyanya kemudian segera merenungkan keadaan jhana tadi dan kemudian dilanjutkan dengan merenungkan secara berkesinambungan sensasi-sensasi indera sebagaimana mereka muncul pada saat salah satu dari enam pintu indera. Prosedur bergantian dari memasuki keadaan jhana dan kemudian dilanjutkan dengan perenungan sensasi indera pada enam pintu indera seyogyanya dilakukan dengan berulang kali. Apabila vipassana-samadhi telah cukup kuat, ia akan dapat melaksanakan perenungan berkesinambungan siang dan malam tanpa merasa terhambat.

Pada tingkat ini dapat dicerap dengan sangat jelas sebagai satu keteraturan pada setiap saat perenungan bahwa jasmani dan batin merupakan dua hal yang berbeda yang bekerja sama. Juga dapat dicerap bahwa objek dan batin yang secara langsung mengetahui objek tersebut, muncul dan padam pada setiap saat perenungan. Oleh karena itu, dimengerti bahwa jasmani dan batin terbukti dengan jelas tidak kekal, bahwa mereka tidak memuaskan, tanpa kualitas atau keberadaan yang menyenangkan, dan bahwa mereka semata-mata merupakan proses muncul dan padam dari segala sesuatu yang tidak mengandung 'atta' (jiwa atau keberadaan kekal). Dengan perkembangan penuh dari pengetahuan langsung ata “annica, dukkha, anatta” terealisasilah pengetahuan bijaksana akan Magga, Phala dan Nibbana.

Inilah deskripsi singkat latihan dengan cara ‘samatha-yanika’ untuk tujuan merealisasi Nibbana.

2. Suddhavipassana-yanika

Di bawah ini, adalah diskripsi singkat latihan dengan cara ‘suddha-vipassana-yanika’.

Dengan pengetahuan cukup seperti yang disebutkan di atas, seseorang yang berhasrat untuk latihan ‘vipassana’ seyogyanya menetap di tempat sunyi dan duduk dengan kaki bersila atau dalam cara yang nyaman sehingga ia dapat duduk dalam waktu yang cukup lama, dengan badan tegak, dan kemudian merenungkan dengan memusatkan perhatiannya terhadap fenomena jasmani dan batin yang diketahui sebagai ‘upadanakkhandha’, dan yang secara jelas muncul di dalam tubuhnya. Fenomena-fenomena ini seyogyanya secara berkesinambungan direnungkan pada setiap saat kemunculannya.

Upadanakkhandha adalah semua yang secara jelas dicerap pada saat melihat, mendengar, mencium bau, mengecap, mengalami kontak badan/sentuhan dan memikirkan ide/gagasan dan seterusnya.

Pada saat melihat, objek penglihatan dan indera pengelihatan/'mata', keduanya dicerap. Keduanya itu merupakan kelompok meteri (rupa). Mereka bukanlah menyenangkan, bukan pula ‘atta’ dan bukan ‘orang’. Mereka yang tidak merenungkan pada saat kemunculannya tidak akan mengerti bahwa 'mereka segera padam dan tidak kekal', bahwa mereka 'muncul dan padam tanpa henti dan oleh karenanya tidak memuaskan', bahwa mereka bukan ‘atta’ bukan pula keberadaan hidup, namun anatta di mana mereka merupakan subjek bagi sebab dan akibat di dalam proses muncul dan padam. Dikarenakan materi menjadi objek kecenderungan kekeliruan dan kemelekatan, maka mereka disebut ‘upadanakkhandha’ atau ‘kelompok yang menimbulkan kemelekatan’.

Kesadaran melihat (cakkhu-vinnana), perasaan (vedana), pencerapan (sanna) akan objek pengelihatan, dan keinginan untuk melihat objek, bentuk/faktor batin (sankhara) juga secara jelas dicerap pada saat melihat. Mereka semata-mata kelompok batin. Mereka bukan menyenangkan, bukan 'atta', bukan pula 'orang'. Mereka yang tidak merenungkan pada setiap saat kemunculan fenomena itu, tidak akan mengerti bahwa mereka tidak kekal, tidak memuaskan dan 'anatta'. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa fenomena batin ini menyenangkan dan melekat kepadanya. Mereka secara egois menganggap “Saya melihat”, “Saya merasakan”, “Saya mencerap”, “Saya melihat dengan penuh perhatian” dan melekat kepadanya. Inilah alasan yang jelas mengapa kelompok batin ini secara berurut disebut “vinnana upadanakkhandha, vedana upadanakkhandha, sanna upadanakkhandha, dan sankhara upadanakkhandha”. Inilah alasan mengapa lima “upadanakkhandha” secara jelas dicerap dengan jelas pada saat melihat objek penglihatan melalui pintu indera penglihatan ('mata').

Dengan cara yang sama, kelima upadanakkhandha dicerap dengan jelas pada saat mendengar suara melalui indera pendengaran, mencium bau melalui indera penciuman, mencerap rasa kecapan melalui indera pengecapan, mengetahui sensasi sentuhan melalui indera sensasi sentuhan, mengetahui objek batin melalui indera pikiran. Namun demikian di dalam kasus objek batin, mungkin dialami unsur batin maupun unsur fisik/materi.

Walaupun fenomena jasmani dan batin muncul dengan jelas pada saat melihat, mendengar dan seterusnya melalui pintu indera yang bersesuaian, tidaklah mungkin bagi seorang pemula untuk merenungkannya di dalam urutan kemunculannya pada saat memulai latihan vipassana. Di dalam vipassana, latihan dimulai dengan merenungkan hal khusus, objek yang paling mudah hadir di dalam jasmani. Mirip seperti di sekolah, sebagai ketentuan keharusan saat memulai pelajaran, maka pelajaran-pelajaran mudah terlebih dulu yang dipelajari. Dari kedua jenis fenomena, batin dan materi, maka fenomena materi yang lebih mudah dicerap, seyogyanya dipilih sebagai objek perenungan awal atau utama di dalam vipassana-kammatthana. Lagi, dari berbagai kelas fenomena materi, dibandingkan objek-objek dari pintu indera (upada-rupa) ketika melihat, mendengar, mencium bau, mengecap rasa kecapan maka kontak jasmaniah (bhuta-rupa) merupakan objek yang lebih mudah dicerap, seyogyanya diambil sebagai objek utama/permulaan untuk perenungan saat memulai latihan vipassana.

Oleh karena itu, dengan satu pandangan untuk mengamati kontak jasmani khusus yang lebih mudah dicerap, perhatian seyogyanya ditetapkan pada posisi duduk dan merenungkan secara berkesinambungan, dengan membuat catatan secara batiniah seperti : 'duduk, duduk'. Pada saat perenungan mencapai kematangan, maka dengan jelas akan dapat diamati sensasi kontak jasmani pada paha atau kaki atau bagian tubuh lainnya. Sensasi kontak jasmani khusus ini seyogyanya diambil sebagai objek tambahan bersama 'duduk' dan secara berkesinambugan direnungkan sebagai 'kontak, duduk, kontak'. Namun demikian, apabila perenungan dengan cara demikian seperti 'kontak, duduk, kontak' sulit untuk dimulai, maka perhatian seyogyanya ditetapkan pada kontak jasmani saat aliran nafas masuk dan keluar dengan cara merenungkan 'kontak, kontak'. Apabila hal ini pun sulit dilakukan maka perenungan seyogyanya ditetapkan dengan memperhatikan gerakan perut yang mengembang dan mengempis, disebabkan oleh aliran keluar dan masuknya nafas.

Inilah ilustrasi untuk menunjukkan tata cara perenungan. Pertama-tama perhatian seyogyanya ditetapkan pada perut. Kemudian akan dirasakan bahwa perut mengembang dan mengempis dan gerakan perut selalu hadir. Apabila pada saat permulaan latihan, gerakan naik dan turunnya perut tidak jelas dengan hanya menetapkan perhatian kepada perut, satu atau kedua tangan seyogyanya ditempatkan pada perut. Penekanan nafas, mempercepat atau membuat nafas dalam seyogyanya tidak dilakukan. Aliran nafas alamiah seyogyanya dipelihara. Saat perut mengembang seyogyanya direnungkan dengan ditetapkan secara bertahap dengan tahap naiknya perut sejak mulai hingga berakhir. Saat perut dirasakan mulai turun (mengempis) seyogyanya direnungkan di dalam batin sebagai 'mengempis'. Perhatian seyogyanya ditetapkan secara bertahap dengan tahap turunnya perut sejak mulai hingga berakhir.

Perhatian khusus

Disebutkan di sini bahwa kata-kata 'naik/mengembang' dan 'turun/mengempis' seyogyanya tidak diulangi dengan mulut, namun mereka seyogyanya diulangi di dalam batin. Di dalam kenyataannya, kata-kata bukan kepentingan yang nyata. Justru mengetahui gerakan perut dan gerakan jasmani yang sebenarnya merupakan kepentingan yang nyata. Namun demikian, dengan hanya merenungkan yang dilakukan melalui tindakan sederhana dari pengamatan batin tanpa aktivitas pengulangan di dalam batin, perenungan akan sia-sia dan tidak efektif dan banyak kemunduran seperti perhatian gagal untuk mencapai cukup dekat terhadap objek yang dituju, objek tidak jelas perbedaannya dan dicerap secara terpisah dan bahwa energi yang dibutuhkan menjadi bekurang. Jadi, agar mencapai sasaran perenungan seyogyanya dilaksanakan secara berulang-ulang dalam batin dengan kata-kata khusus atas objek-objek yang bersesuaian.

Ketika sedang dalam perenungan seperti 'naik, turun', mungkin akan terdapat banyak kesempatan ketika batin ditemukan mengembara ke objeknya masing-masing. Pengembaraan batin ini seyogyanya direnungkan sebagaimana mereka muncul.

Ilustrasi

Apabila dialami bahwa pikiran mengembara ke objek yang bukan sedang diamati, seyogyanya direnungkan sebagai : 'mengembara', apabila pikiran bermaksud sesuatu seyogyanya direnungkan sebagai 'bermaksud'. Apabila pikiran sedang merenung, seyogyanya direnungkan sebagai 'merenung', bila menginginkan sesuatu seyogyanya direnungkan 'ingin', dalam hal gembira, atau marah, atau kecewa, seyogyanya direnungkan sebagai 'gembira', 'marah', 'kecewa'; apabila merasa malas atau senang seyogyanya direnungkan sebagai 'malas' atau 'senang'. Perenungan seyogyanya dilakukan secara berulang hingga faktor batin yang mengembara ini padam. Kemudian, perenungan seyogyanya kembali kepada objek semula 'naik', 'turun' dan dilakukan secara berkesinambungan.

Apabila sensasi yang tidak menyenangkan (dukhavedana), seperti rasa lelah pada anggota tubuh atau perasaan panas atau nyeri, dan sebagainya muncul di dalam jasmani, perhatian seyogyanya difokuskan ke titik sensasi dan perenungan dilakukan seperi : 'lelah, lelah', 'panas, panas', 'nyeri, nyeri', sesuai kasusnya. Apabila sensasi tak menyenangkan itu telah paham, maka perenungan dikembalikan ke 'naik, turun' perut sesuai objek semula.

Namun apabila sensasi nyeri begitu kuat sehingga mereka tidak dapat ditoleransi lagi, maka posisi tubuh dan posisi tangan serta kaki harus diubah maka meringankan situasi. Di dalam perubahan posisi ini pun perhatian seyogyanya ditetapkan kepada gerakan yang paling nyata (mayor) dari tubuh/jasmani dan anggota tubuh dan perenungan dilaksanakan seperti 'menekuk', 'meregang', 'mengayun', 'bergerak', 'mengangkat', 'meletakkan ke bawah', dan seterusnya, sesuai urutan proses perubahan tersebut. Apabila perubahan itu telah selesai maka perenungan dikembalikan kepada 'naik', 'turun'-nya perut sesuai objek semula.

Pada saat sesuatu sedang diperhatikan, seyogyanya direnungkan sebagai 'memperhatikan', 'melihat'. Apabila sesuatu dilihat tanpa diperhatikan, seyogyanya direnungkan sebagai 'melihat, melihat'. Apabila seseorang akan mendengarkan sesuatu, seyogyanya direnungkan sebagai 'mendengar', 'mendengar'. Apabila sesuatu didengar tanpa mendengarkan seyogyanya direnungkan sebagai 'mendengar', 'mendengar'. Apabila pikiran merenungkan mengikuti maka seyogyanya direnungkan sebagai 'merenungkan', 'merenungkan'. Kemudian perenungan dikembalikan ke 'naik', 'turun'-nya perut sesuai objek semula.

Dalam kasus perubahan posisi dari duduk menjadi berdiri dan perubahan ke posisi berbaring, perenungan seyogyanyan dilakukan dengan menetapkan perhatian terhadap setiap pergerakan mayor yang nyata dari jasmani dan anggota tubuh sesuai urutan proses pergerakan perubahan tersebut.

Di dalam hal berjalan, perenungan seyogyanya dilakukan dengan menetapkan perhatian terhadap gerakan setiap langkah dari saat mengangkat kaki hingga kembali meletakkan kaki dan dengan membuat catatan secara batiniah sebagai 'berjalan, berjalan' atau 'bergerak maju, bergerak maju', atau 'mengangkat, bergerak maju, meletakkan kaki'.

Secara singkat, dapat dikatakan bahwa perenungan seyogyanya dilaksanakan terhadap semua aktivitas jasmani dan anggota tubuh seperti menekuk, meregang, mengangkat, bergerak, dan seterusnya, untuk mengetahui bentuk sebenarnya ketika mereka muncul. Perenungan seyogyanya dilaksanakan dilaksanakan terhadap setiap sensasi fisik dan perasaan batin (vedana) untuk mengetahui sifat alamiahnya ketika mereka muncul. Perenungan juga seyogyanya dilaksanakan terhadap semua gagasan/ide/faktor batiniah dan seterusnya, untuk mengetahui sifat alamiah mereka sebagaimana mereka muncul. Apabila tidak terdapat objek yang ‘outstanding’ yang dapat direnungkan ketika berdiam dengan tenang dalam posisi duduk atau berbaring, maka perenungan seyogyanya dilaksanakan dengan selalu menetapkan perhatian terhadap kontak jasmaniah. Oleh karena itu, petunjuk-petunjuk yang diberikan di sini untuk memperlakukan atau menjaga perhatian kepada naik dan turunnya gerakan perut, yang lebih mudah dijelaskan dan mudah untuk direnungkan, sebagai objek utama dan pertama di dalam perenugan.

Namun, terdapat dua jenis kasus perenungan lain yang sudah disebutkan di atas, yaitu (1) perenungan terhadap posisi tubuh duduk dan sentuhan, dan (2) perenungan terhadap impresi kontak di dalam nafas masuk dan keluar, di mana apabila diinginkan, salah satu dapat dipilih sebagai objek utama atau pertama di dalam perenungan.

Di dalam merealisasi kondisi perenungan yang luhur yang memungkinkan untuk merenungkan setiap objek sebagaimana mereka muncul, maka tidak dibutuhkan kembali semuanya untuk kembali ke objek utama dan pertama. Perenungan seyogyanya dilaksanakan pada setiap saat dari melihat, mendengar, mencium bau, mengecap rasa, mengetahui sentuhan jasmani, berpikir, bergagasan dan seterusnya sesuai urutan kemunculan mereka.

Siswa yang telah berkembang, dengan cara perenungan kontinyu ini, konsentrasi (samadhi) dan pandangan bijaksana ke dalam (nana) yang cukup kuat akan secara mandiri merealisasi muncul dan padamnya batin sangat sering di dalam satu detik. Namun seorang siswa yang baru saja mulai melatih perenungan belum dapat merealisasi perubahan yang demikian cepat. Mirip seseorang yang mulai belajar, tak dapat membaca begitu cepat dan baik bila dibandingkan dengan orang yang telah belajar dengan mahir. Namun demikian, seorang siswa seyogyanya berupaya untuk merealisasi muncul dan padamnya faktor batin tidak kurang daripada sekali setiap detik pada tahap permulaan latihannya.

Inilah latihan dasariah latihan Vipassana secara singkat.
 
VI. PERKEMBANGAN KONSENTRASI VIPASSANA (VIPASSANA SAMADHI) DAN PENGETAHUAN BIJAKSANA PANDANGAN TERANG (VIPASSANA NANA)


Bila tidak berupaya kuat untuk melaksanakan perenungan seperti disebutkan di atas, para siswa akan gagal untuk mengamati banyak aktivitas jasmani dan batin pada saat permulaan latihan. Seperti ditunjukkan di dalam bagian Samatha-Kammatthana, terdapat banyak rintanan batin (Nivarana) yang menyebabkan batin mengembara ke arah objek lain.

Di dalam hal Samatha-Kammatthana, tidak ada perlakuan khusus untuk merenungkan faktor batin yang mengembara, namun mereka seyogyanya ditekan, dan perenungan dikembalikan kepada objek semula secara berkesinambungan, sementara itu di dalam Vipassana-Kammathana perenungan juga harus dilakukan terhadap faktor batin yang mengembara itu. Setelah perenungan dengan cara ini, maka perenungan seyogyanya dikembalikan kepada objek ‘naik’, ‘turun’ seperti semula. Ini adalah satu dari butir-butir perbedaan antara samatha-bhavana dengan vipassana-bhavana di dalam hal mengatasi rintangan batin (nivarana).

Di dalam kasus samatha-bhavana seseorang harus merenungkan secara berkesinambungan terhadap objek semula dari samatha untuk membuat batin terkonsentrasi dengan kuat hanya kepada objek tersebut. Tidak dibutuhkan untuk mengamati fenomena batin dan fisik yang lain. Oleh karena itu tidak diperlukan untuk merenungkan rintangan batin seperti faktor batin yang mengembara yang muncul sewaktu-waktu. Hanya perlu menyingkirkannya sesegera mungkin saat mereka muncul.

Namun demikian, di dalam vipassana-bhavana, semua fenomena batin dan jasmani yang muncul melalui enam pintu indera harus diamati. Oleh karena itu apabila dan ketika rintangan batin seperti misalnya batin merenungkan sesuatu selain objek perenungan semula atau batin menikmati nafsu atau keserakahan dan sebagainya mereka juga harus direnungkan. Apabila mereka tidak direnungkan, maka kemelekatan dan pandangan keliru bahwa mereka kekal, menyenangkan dan atta (aku) akan muncul; oleh karena itu menghindari mereka tidaklah cukup seperti dalam kasus samatha. Objek vipassana akan lengkap hanya apabila seseorang merenungkan terhadap semua fenomena itu sehingga mengetahui dengan jelas sifat alamiahnya dan tidak melekat terhadapnya.

Apabila faktor batin yang mengembara ini direnungkan secara berkesinambungan dengan cara ini dalam jangka waktu yang cukup lama, maka hampir tidak akan ada lagi faktor batin yang mengembara. Segera setelah faktor batin mengembara ke objek lain, batin segera memperhatikan dan merenungkannya dan kemudian pengembaraan tersebut tidak berlangsung lebih jauh lagi. Di dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa perenungan dilaksanakan tanpa interupsi karena faktor batin dicerap segara saat faktor batin itu mulai muncul.

Pada tahapan perenungan ini, ditemukan bahwa batin yang merenungkan dan objeknya selalu datang bersama dan terkonsentrasi. Terkonsentrasinya batin terhadap objeknya ini disebut Vipassana-khanika-samadhi (konsentrasi sementara dari pandangan terang).

Sekarang batin terbebas dari kamacchanda (nafsu indera) dan rintangan batin (nivarana) lainnya dan oleh karena itu sama seperti pada tingkat seperti Upacara-samadhi (konsentrasi berdekatan) yang disebutkan di dalam bagian Samatha-kammatthana. Begitu batin tidak lagi bercampur dengan rintangan batin yang menyebabkan mengembaranya batin, maka hanya ada perenungan murni yang terpusat. Inilah yang disebut Citta-visuddhi (kemurnian batin).

Kemudian fenomena fisik seperti naik, turun, menekuk, meregang, dan seterusnya, yang sedang direnungkan, dicerap pada setiap saat perenungan di dalam setiap bentuk yang terpisah tanpa bercampur dengan batin yang merenungkannya atau dengan fenomena materi lain. Fenomena batin, seperti merenungan berpikir, melihat, mendengar, dan seterusnya, juga dicerap pada setiap saat perenungan di dalam keadaan terpisah tanpa dicampuri oleh fenomena materi lain atau fenomena batin lain. Pada setiap saat bernafas, jasmani dan batin yang mengetahui jasmani dicerap secara jelas dan terpisah sebagai dua hal yang berbeda. Pengetahuan bijaksana atas pembedaan fenomena fisik dan batin sebagai dua proses yang terpisah disebut Nama-rupa-pariccheda-nana (pengetahuan bijaksana yang dapat membedakan dengan jelas fenomena batin dan jasmani).

Dengan terealisasinya perkembangan pengetahuan bijaksana (nana) selama satu periode waktu yang baik di dalam latihan perenungan yang berkesinambungan, maka akan muncul sebuah pengertian jelas bahwa fenomena 'hanya terdiri dari proses batin dan fisik'. Jasmani tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui, menaikkan, menurunkan, menekuk, memindahkan, dan seterusnya. Namun batin memiliki kemampuan merenungkan, memikirkan, melihat, mendengar, dan sebagainya. Terpisah dari dua faktor ini, tidak terdapat aku atau Atta. Pengertian jelas ini disebut ‘Ditthi-visuddhi’ (Kemurnian Pandangan).

Dengan meneruskan perenungan lebih lanjut, dicerap bahwa fenomena materi/fisik dan batin yang muncul di dalam jasmani merupakan efek atau hasil dari sebab-sebab yang bersesuaian dengannya.

Sebagai ilustrasi : Seorang siswa mencerap kenyataan bahwa dikarenakan batin menginginkan untuk membungkuk atau bergerak atau meregang atau mengubah posisi tubuh, maka muncul aksi atau tindakan membungkuk, meregang, bergerak, atau mengubah posisi tubuh; dikarenakan fluktuasi di dalam temperatur/suhu, maka selalu terdapat perubahan di dalam kondisi fisik apakah menjadi dingin atau panas; dan dikarenakan mengkonsumsi makanan maka akan selalu muncul energi fisik yang baru. Lagi, ia mencerap kenyataan bahwa dikarenakan kehadiran/adanya indera penglihatan dan objek penglihatan, indera pendengaran, objek pendengaran, dan seterusnya, maka muncullah kesadaran melihat, mendengar, dan seterusnya, dan dikarenakan kehendak untuk mengarahkan, maka batin mencapai objeknya.

Lagi, ia mencerap kenyataan bahwa dikondisikan kehadiran Avijja (kegelapan/kebodohan batin), yang memandang kehidupan sebagai indah dan menyenangkan dan kehadiran Tanha (keinginan rendah), semua jenis perbuatan dipikirkan dan dilakukan, dan dikarenakan kemelekatan terhadap perbuatan-perbuatan tersebut yang telah dilakukan, maka muncullah, di dalam urutan yang sangat cepat dan berkesinambungan, kesadaran-kesadaran (vinnana) baru. Lagi, ia mencerap kenyataan bahwa kematian bukanlah kematian bukanlah sesuatu hanya padamnya kesadaran terakhir di dalam urutan kelangsungan kesadaran; dan lahir adalah munculnya sebuah kesadaran baru di dalam urutan kelangsungan kesadaran ini, tergantung atas formasi/bentukan materi/jasad yang baru. Pengetahuan bijaksana membedakan sebab musabab yang saling tergantung ini disebut “Paccaya-pariggaha-nana” (Pengetahuan bijaksana yang muncul dari pengertian pengalaman penuh akan sebab-musabab fenomena).

Dengan mengerti kenyataan sebab-musabab yang saling tergantung (paticca-samuppada) ia akan datang pada satu kesimpulan bahwa “hidup di masa lampau adalah sebuah formasi materi dan batin, yang tergantung dari sebab musabab yang terkait dan dengan demikian akan ada proses yang mirip pada kehidupan di masa mendatang”. Pandangan murni seperti ini disebut “Kankha-vitarana visuddhi” (Kemurnian pandangan yang muncul setelah mengatasi keraguan).

Sebelum mengembangkan pengetahuan benar kenyataan bahwa "kehidupan terdiri dari batin dan jasmani yang tergantung atas 'sebab-musabab yang terkait' terdapat banyak keraguan skeptis apakah terdapat SAYA di waktu lampau, apakah SAYA berada hanya dalam kehidupan ini atau apakah SAYA akan terus ada di waktu mendatang" dengan memegang pandangan bahwa formasi/perpaduan meteri/jasmani dan batin adalah “ATTA” atau “DIRI”. Sekarang keraguan ini tidak dapat muncul karena mereka telah diatasi.

Dengan melanjutkan perenungan lebih jauh, dicerap bahwa materi/jasmani dan batin muncul dan padam pada setiap saat perenungan. Pengertian bijaksana ini disebut “Anicca-sammassana-Nana” (Pengertian bijaksana akan ketidak-kekalan fenomena alam).

Dengan mencerap kenyataan bahwa fenomena materi/jasmani dan batin secara konstan muncul dan padam, bahwa mereka secara konstan dicengkeram oleh “muncul dan padam” mereka dipandang sebagai bukan menyenangkan juga tidak patut digantungi, namun hanya merupakan dukkha, tidak memuaskan. Pengetahuan bijaksana ini disebut “Dukkha-sammassana-nana” (Pengertian bijaksana terhadap kondisi yang tidak memuaskan).

Dengan mencerap kenyataan bahwa fenomena materi/jasmani dan batin secara alamiah tidak mengikuti perintah keinginannya, namun muncul dan padam sesuai dengan sifat alamiah dan kondisi relatifnya, maka direalisasi bahwa mereka bukan “atta” atau “diri”. Pengertian bijaksana ini disebut “Anatta-sammassana-nana” (Pengertian bijaksana terhadap segala sesuatu yang bukan atta atau bukan diri).

Setelah merefleksikan kenyataan-kenyataan ini selama ia inginkan, siswa itu melanjutkan dengan perenungan tanpa refleksi lebih lanjut. Ia kemudian mencerap dengan sangat jelas permulaan dari setiap objek perenungannya. Ia juga mencerap dengan sangat jelas padamnya setiap objek perenungannya seolah-olah diputus dengan jelas. Pada tahap ini, seringkali muncul pengalaman-pengalaman aneh, yang mengkondisikan terhambatnya latihan vipassana sehingga menjadi kotor (vipassanupakkilesa), seperti :

1. Cahaya yang gemilang (Obhasa)
2. Kegiuran batin (Piti)
3. Sikap batin tenang (Passaddhi)
4. Keyakinan kuat tak terhingga terhadap Tiratana (Adhimokkho ti saddha)
5. Semangat yang sangat tinggi atas pelaksanaan perenungan/meditasi (Paggaha)
6. Kegembiraan yang mencakup ke seluruh tubuh (Sukkha)
7. Pandangan yang tajam terhadap sifat alamiah anicca, dukkha dan anatta tanpa halangan (Nana)
8. Kemampuan di dalam melaksanakan perhatian murni tanpa kehilangan objek (Upatthana)
9. Keseimbangan batin (Upekkha)
10. Melekat terhadap fenomena dhamma butir 1 – 9 (Nikanti)

Oleh karena itu, siswa tersebut dapat terbuai sehingga ia tidak dapat lagi menjaga mulutnya, umumnya ia menceritakan pengalamannya. Ia sering kali menganggap bahwa ia telah merealisasi pencerahan sempurna. Inilah indikasi awal atau tahap permulaan dari 'Udayabbaya-nana' (pengetahuan bijaksana atas muncul dan padamnya fenomena) yang lemah. Namun demikian sepuluh fenomena ini adalah jalan yang salah (Amagga).

Kemudian siswa itu memutuskan pengalaman melihat bayangan batin dan perasaan-perasaan lainnya bukanlah perealisasian pencerahan sempurna yang sesungguhnya, dan bahwa metode perenungan yang tepat untuk merealisasi pencerahan sempurna adalah hanya dengan mengobservasi secara konstan terhadap semua fenomena yang muncul. Ia tiba pada keputusannya ini sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya dari pengalaman atau sesuai dengan petunjuk gurunya.

Keputusan murni ini adalah indikasi “Maggamagga-nana-dassana-visuddhi” (kemurnian pandangan benar terhadap jalan dan bukan jalan).

Setelah tiba pada keputusan ini dan diteruskan dengan melanjutkan perenungannya pengalaman-pengalaman melihat bayangan batin dan perasaan-perasaan lainnya secara bertahap akan berkurang dan pencerapan objek menjadi lebih jelas dan lebih jelas lagi. Muncul dan padamnya fenomena materi pada setiap gerakan di dalam hal satu gerakan membungkuk atau meregangkan tangan atau kaki atau di dalam hal satu langkah, setiap fregmen (bagian) dari satu gerakan akan dengan sangat jelas diamati. Inilah kematangan atau tahap akhir dari “Udayabbaya-Nana”. Perenungan itu mengalir tanpa hambatan seolah terbebas dari “Upakkilesa” (ketidakmurnian).

Setelah pengertian bijaksana (Nana) ini diperoleh cukup kuat, pencerapan terhadap objek-objek dijumpai lebih cepat. Akhir atau padamnya objek lebih jelas dicerap daripada permulaan “Upacara” (pendekatan) dan “Anuloma” (adaptasi). Ini adalah “nana” atau pengertian bijaksana yang tepat bagi 8 vipassana nana yang mendahuluinya dan “Magga-nana” (Pengertian bijaksana atas Jalan) yang mengikutinya.

Pandangan terang mulai dari “Udayabbaya-Nana” yang masak sampai dengan “Anuloma-nana” secara kolektif dikenal sebagai “Patipada-nana-dassana-visuddhi” (Kemurnian dengan pengertian bijaksana dan pandangan terang yang muncul akibat telah mengikuti latihan yang benar).

Setelah Anuloma Nana, muncullah “Gotrabhu-Nana” (Pengertian bijaksana memenangkan kesucian) dimana Nibbana adalah objeknya, dimana duka cita dan ketidakpuasan yang berhubungan dengan fenomena fisik dan batin padam secara total. Ini adalah pengertian bijaksana yang memotong kekerabatan “Puthujjana” (makhluk awam duniawi) dan memasuki kekerabatan “Ariya” (makhluk suci).

Kemudian muncul “Sotapati Magga Nana dan Phala Nana” (Pengetahuan bijaksana dari Jalan Suci pemenang arus dan buahnya) yang merealisasi Nibbana. Magga Nana disebut “Nana-dassana-visuddhi” (Kemurnian pandangan).

Saat kemunculan Magga dan Phala Nana tidak berjeda waktu sedetik pun. Kemurnian segera disusul kemunculan refleksi atas pengalaman khusus “Magga, Phala dan Nibbana”. Ini adalah “Paccavekkhana-nana” (Pengertian bijaksana dari retropeksi/perenungan mendalam).

Seseorang yang telah merealisasi Paccavekkhana-nana sesuai urutan itu disebut sebagai makhluk “Sotapanna” (Pemenang arus).

Khas Anicca, Dukkha, Anatta, dengan kejelasan khusus yaitu dukkha. Ini adalah “Patisankha-nana” (Pengertian bijaksana yang muncul dari perenungan yang lanjut).

Ketika “Patisankha-nana” ini masak, perenungan berlanjut secara otomatis mirip sebuah jam tanpa upaya khusus bagi pencerapan dan pengertian bijaksana. Dilanjutkan dengan perenungan atas objek-objek dengan keseimbangan batin – hanya memperhatikan objek tanpa terlarut di dalam kesenangan maupun ketidaksenangan. Perenungan ini begitu damai dan tanpa upaya khusus saat itu dan dilanjutkan dengan mengetahui objek-objek begitu otomatis dan dapat berlangsung lebih dari satu jam, dua jam atau tiga jam; dan bahkan dapat berakhir dalam jangka waktu yang begitu lama, tanpa lelah atau bosan. Pencerapan yang muncul dalam jangka waktu lama ini merealisasi sifat alamiah objek-objek perenungan secara otomatis dan tanpa terlibat di dalam kesenangan dan ketidaksenangan, disebut “Sankharupekkha-nana” (Pengetahuan bijaksana yang muncul dari keseimbangan batin terhadap sankhara).

Keluar dari perenungan ini yang dilanjutkan secara otomatis dan dengan momentumnya merealisasi objek, muncullah pengertian bijaksana yang khusus sangat cepat dan aktif. Pengertian bijaksana yang muncul langsung menuju sebuah jalan mulia ini yang juga dikenal sebagai “Vuitthana” (elevasi) adalah “Vutthana-gamini-vipassana-nana” (Pengetahuan bijaksana menuju elevasi yang lebih luhur).

Pengertian bijaksana ini muncul merealisasi bahwa fenomena fisik dan batin yang muncul melalui enam pintu indera pada saat itu tidak kekal, tidak memuaskan, dan bukan diri/aku. Pengertian bijaksana terakhir adalah “Anuloma-nana” (Pengertian bijaksana atas adaptasi) yang terdiri dari tiga “javana” (saat-saat dorongan) disebut “Parikamma” (persiapan), seyogyanya melaksanakan latihan meditasi sesuai dengan petunjuk yang diberikan di atas.

Semoga semua makhluk dapat melaksanakan latihan Meditasi dan merealisasi Nibbana.

 
KETERANGAN BEBERAPA ISTILAH PENTING​



Ariya Sacca

Kebenaran Suci, terdapat 4 jenis :

a. Dukkha sacca = Kebenaran suci tentang 'penderitaan'
b. Samudaya sacca = Kebenaran suci tentang penyebab 'penderitaan'
c. Nirodha sacca = kebenaran suci tentang padamnya 'penderitaan'
d. Magga sacca = Kebenaran suci tentang jalan untuk terbebas dari 'penderitaan'.


Bhavana

a. Samatha - bhavana
Pengembangan ketenangan batin. Secara sementara kekotoran batin tertentu mengendap (lihat nivarana). Objek samatha-bhavana ini merupakan pannatti (konsepsi batin).

b. Vipassana – bhavana
Pengembangan kebijaksanaan melalui pengamatan dan perhatian murni terhadap fenomena batin dan jasmani yang dicengkeram oleh sifat universal (lihat Tilakkhana). Hasil akhirnya, kekotoran batin terbasmi hingga ke akarnya. Objek vipassana-bhavana ini merupakan paramattha (hakekatnya sesungguhnya segala sesuatu yang dialami).

Dukkha

a. Di dalam sifat alamiah universal (Tilakkhana), mengandung pengertian = tidak memuaskan. Dukkha jenis ini meliputi makhluk hidup suci atau tidak suci dan juga bukan makhluk hidup.

b. Di dalam kebenaran suci tentang dukkha (Dukkha sacca), mengandung pengertian = penderitaan biasa (dukkha-dukkha), penderitaan yang inheren karena perubahan (viparinama dukkha), penderitaan yang inheren bagi mahluk yang merupakan perpaduan (sankhara dukkha). Dukkha jenis ini hanya berkenaan dengan makhluk hidup yang belum suci.

Ekaggata

a. Sebagai faktor batin bersifat netral (bukan baik juga bukan tidak baik), mengandung pengertian faktor batin yang berfungsi memusatkan batin terhadap objek yang diamati.

b. Di dalam faktor jhana, mengandung pengertian sebagai faktor batin yang berfungsi menekan kamachanda-nivarana (hasrat nafsu indera).

Jhana

Kondisi batin yang melekat kuat terhadap objek (arammana) yang dialami. Objek yang dialami oleh batin selama di dalam kondisi jhana merupakan objek yang bukan sesungguhnya atau bersifat konsepsi batin (pannatti).

Khanda

Mengandung pengertian sebagai kelompok perpaduan; umum pula dijumpai dalam istilah upadanakkhandha yang berarti kelompok perpaduan yang berpotensi menimbulkan kemelekatan. Khandha terdiri dari 5 lima kelompok yaitu :

a. Vedanakkhandha = kelompok perpaduan perasaan, yaitu perasaan yang menyenangkan, perasaan tidak menyenangkan dan perasaan netral (bukan menyenangkan juga bukan tidak menyenangkan).

b. Sannakkhandha = kelompok perpaduan pencerapan. Fungsinya menandai objek, mencerap objek yang dialami, mengkondisikan pengenalan terhadap objek.

Apabila makhluk Anagami melaksanakan latihan Vipassana dengan sebuah pandangan untuk merealisasi “Anagami Phala-sampatti”, maka ia akan merealisasi tingkatan tersebut. Apabila ia melaksanakan latihan bagi tingkatan yang lebih luhur, maka Vipasanna-nana akan dikembangkan di dalam urutan yang sama seperti sebelumnya dan di dalam kematangan yang penuh ia akan merealisasi Nibbana dengan pandangan terang “Arahatta Magga dan Phala” (jalan kesucian Arahat dan buahnya) dan menjadi makhluk suci Arahat. Makhluk Arahat telah terbebas dari lima belenggu (samyojana) yang masih tersisa, yaitu :

1. Rupa-raga (hasrat untuk keberadaan bermateri halus)
2. Arupa-raga (hasrat untuk keberadaan tanpa materi)
3. Mana (kesombongan)
4. Uddhacca (kegelisahan batin)
5. Avijja (kegelapan atau kebodohan batin) secara bersama dengan semua “kilesa” (kekotoran batin)

Pada akhir masa kehidupannya saat ini ia akan Parinibbana, dan tidak akan tumimbal lahir lagi, ia secara mutlak terbebas dari duka ketuaan, kesakitan, kematian, dan seterusnya.

Dengan tetap berpandangan terhadap kebebasan ini bahwa pertanyaan pada permulaan artikel ini :

“Apakah tujuan utama melaksanakan latihan meditasi” telah diberikan jawabannya sebagai berikut :

“Latihan meditasi dilaksanakan untuk tujuan utama merealisasi Nibbana dan terbebas dari duka cita kehidupan di dalam bentuk ketuaan, kesakitan, kematian, dan seterusnya”.

Oleh karena itu mereka semua yang dengan tekun berharap untuk merealisasi Nibbana dan merealisasi kebebasan mutlak atau kemunculannya. Objek-objek perenungan nampak padam. Bentuk dan ukuran tangan, kaki, kepala, jasmani dan seterusnya tidak dicerap lagi. Hanya kepadaman jasmani dan batin yang dicerap pada setiap saat perenungan. Bahkan, perenungan batin dicerap padam bersama objek perenungannya setiap saat. Pengertian bijaksana atas proses kepadaman ini di dalam pasangan batin dan objeknya adalah “Bhanga-nana” (pengetahuan bijaksana akan proses padamnya fenomena).

Dengan terus-menerus mencerap proses yang selalu padam di dalam tiap pasang batin dan objeknya maka akan tiba kemunculan perealisasian bahwa setiap fenomena dapat menimbulkan ketakutan. Ini adalah “Bhaya-nana” (Pengetahuan bijaksana atas kondisi-kondisi yang menakutkan).

Kemudian akan disusul dengan munculnya pengertian bijaksana merealisasi ketidaksempurnaan fenomena batin dan materi. Ini adalah “Adinava-nana” (Pengetahuan bijaksana atas kondisi-kondisi yang tidak memuaskan).

Kemudian akan disusul dengan pengertian bijaksana merealisasi sifat alamiah fenomena yang tidak menarik dan membosankan. Ini adalah “Nibbida-nana” (Pengetahuan bijaksana atas kondisi-kondisi yang membosankan).

Apabila direalisasi bahwa sungguh baik apabila tidak terdapat fenomena fisik maupun batin yang secara konstan datang/muncul dan padam di dalam cara demikian, muncullah pengertian bijaksana, mencari kebebasan dari ketidakpuasan terhadap fenomena-fenomena ini. Ini adalah “Muccitu-kamyata-nana” (Pengetahuan bijaksana dari niat untuk terbebas).

Dengan lebih lanjut merenungkan disertai keinginan kuat untuk terbebas, muncullah sebuah persepsi kuat atas sifat alamiah

Sotapanna terbebas dari tiga belenggu (samyojana) sebagai berikut :

1. Pandangan keliru bahwa fenomena kelompok perpaduan fisik dan batin adalah ego, atau diri. (Sakkaya-ditthi – kepercayaan bahwa fenomena fisik dan batin adalah diri).

2. Keraguan atas Buddha, Dhamma dan Sangha serta disiplin (Vicikiccha).

3. Kepercayaan bahwa metode di luar pengembangan jalan mulia berunsur delapan (Ariya Magga) dan di luar pengembangan pandangan terang di dalam empat kebenaran mulia (Ariya Sacca) dapat membawa kebahagiaan sejati (Silabbata-paramasa – kepercayaan hanya terhadap ritual dan upacara membawa ke kesucian).

Lebih lanjut, bahwa observasinya terhadap pelaksanaan lima kaidah kemoralan menjadi murni dan mutlak. Bagi alasan inilah, Sotapanna tidak mungkin tumimbal lahir ke alam yang tidak menyenangkan, yang rendah (Apaya loka). Ia akan menjalani kehidupan bahagia di dunia manusia dan para dewa selama tujuh kali tumimbal lahir maksimum, dan selama periode ini ia akan merealisasi tingkat kesucian Arahat.

Apabila Sotapanna melaksanakan latihan Vipassana dengan sebuah niat untuk merealisasi “Phala-samapatti” (perealisasian buah), ia kemudian akan mencapai keadaan itu dan menetap dengan objek Nibbana untuk jangka waktu 5 atau 6 menit, atau setengah jam, atau satu jam. Apabila ia cukup baik terlatih di dalam latihan perealisasian “Phala-samapatti” maka ia akan merealisasinya dengan sangat cepat dan menetap di dalam objeknya itu selama sehari penuh atau bahkan semalaman atau lebih lama lagi.

Apabila ia melaksanakan perenungan terhadap “Upadanakkhanda” di dalam cara yang sama seperti yang telah disebutkan di atas dengan sebuah pandangan untuk merealisasi tingkat “Magga dan Phala” yang lebih tinggi, maka vipassana-nana akan dikembangkan dari tahapan Udayabbaya-nana dalam urutan yang sama seperti sebelumnya dan dalam kematangan penuh ia akan merealisasi Nibbana dengan pandangan terang dari “Sakadagami-Magga dan Phala” (Jalan makhluk suci yang paling banyak akan kembali lagi satu kali ke alam nafsu dan buahnya) dan menjadi makhluk Sakadagami (yang kembali satu kali lagi). Ia kemudian terbebas dari nafsu indera (kama-raga) yang kasar dan keinginan buruk (patigha) yang kasar. Ia akan menuju kehidupan bahagia di dalam alam manusia dan dewa maksimum selama dua kali tumimbal lahir dan akan merealisasi tingkat kesucian Arahat selama periode tersebut.

Apabila makhluk Sakadagami melaksanakan latihan Vipassana dengan sebuah pandangan untuk merealisasi Sakadagami Phala-Samapatti maka ia akan merealisasi tingkat tersebut.

Apabila ia melaksanakan latihan dengan sebuah pandangan merealisasi tingkat “Magga dan Phala” yang lebih luhur, Vipassana-nana akan dikembangkan di dalam urutan yang sama seperti sebelumnya dan di dalam kematangan penuh ia akan merealisasi Nibbana dengan pandangan terang dari “Anagami Magga dan Phala” (Jalan makhluk yang tidak akan kembali lagi ke alam yang diliputi nafsu dan buahnya) dan menjadi makhluk Anagami (Makhluk yang tidak pernah kembali lagi, ke alam nafsu indera). Ia kemudian secara total terbebas dari dua belenggu/samyojana lebih banyak, yaitu “kama-raga” (nafsu indera) dan “Patigha” (keinginan buruk). Ia tidak akan tumimbal lahir lagi di “Kama-loka” (alam yang diliputi nafsu indera) namun akan tumimbal lahir di “Rupa-loka” (alam dengan materi halus) atau “Arupa-loka”/alam tanpa materi (bila ia saat itu makhluk Arupa Brahma) dan ia nantinya akan menjadi Arahat.

c. Sankharakkhandha = kelompok perpaduan faktor-faktor/penyerta batin yang baik, yang tidak baik dan yang netral (bukan baik juga bukan tidak baik).

d. Vinnanakkkandha = kelompok perpaduan kesadaran, fungsinya menyadari objek yang dialami.

e. Rupakkhandha = kelompok perpaduan materi/fisik/jasmani, yang secara umum terdiri dari unsur materi padatan, unsur materi cairan, unsur materi panas, unsur materi gerak.

Lokiya dhamma

Dhamma yang bersifat duniawi. Dalam hal ini meliputi batin para makhluk rendah, makhluk manusia, makhluk dewa maupun brahma/makhluk awam (puthujjhana puggala) yang belum hancur belenggu/kekotoran batinnya.

Lokuttara Dhamma

Dhamma yang mengatasi duniawi. Dalam hal ini meliputi batin para makhluk suci (Ariya puggala) pada saat hancurnya tiga atau lebih belenggu/ kekotoran batinnya (magga, phala) dan Nibbana.

Nivarana

Rintangan batin, terdiri dari 5, yaitu :

a. Kamachanda = hasrat di dalam nafsu indera.
b. Byapada = niat jahat.
c. Thina-middha = sikap malas dan lamban
d. Uddhacca-kukkucca = sikap batin gelisah/tak dapat memegang objek dengan baik dan khawatir atas perbuatan baik yang belum dilakukan atau perbuatan jahat yang telah dilakukan.
e. Vicikiccha = sikap batin ragu secara skeptis.

Paticca-samuppada

Sebab-musabab yang saling tergantung, formulasi umumnya terdiri dari empat pernyataan, yaitu :

Adanya ini mengkondisikan adanya itu.
Timbulnya ini mengkondisikan timbulnya itu.
Tidak adanya ini mengkondisikan tidak adanya itu.
Padamnya ini mengkondisikan padamnya itu.

Piti

Sebagai faktor/penyerta batin berarti kegiuran batin terhadap objek yang dialami; dan bersifat netral (bukan baik juga bukan tidak baik).
Sebagai faktor jhana merupakan faktor batin yang fungsinya menekan byapada-nivarana (niat jahat).

Samyojana

Adalah belenggu batin, ada 10 jenis, yaitu :

1. Sakkaya-ditthi = kepercayaan atau pandangan keliru terhadap lima kelompok perpaduan (khandha 5) sebagai inti/aku/diri.
2. Vicikiccha = keraguan skeptis.
3. Silabbata-paramasa = kepercayaan bahwa hanya dengan ritual keagamaan dapat merealisasi kesucian.
4. Kamaraga = nafsu indera
5. Patigha = niat jahat/dendam.
6. Ruparaga = hasrat untuk memiliki fisik/nafsu untuk tumimbal lahir di alam bermateri halus.
7. Aruparaga = nafsu untuk tidak memiliki fisik/nafsu untuk tumimbal lahir di alam tanpa materi.
8. Mana = kesombongan
9. Uddhacca = kegelisahan batin.
10. Avijja = kegelapan batin, tak dapat membedakan kebaikan dari keburukan, tak mengetahui kebenaran suci, tak mengetahui hakekat sesungguhnya segala sesuatu.

Sankhara

a. Di dalam sifat alamiah yang berlaku universal (Tilakkhana), mengandung pengertian = perpaduan.
b. Di dalam lima kelompok perpaduan/yang berpadu (Khandha 5), mengandung pengertian = faktor/penyerta batin (cetasika) yang baik, netral dan buruk, di luar pencerapan (sanna) dan perasaan (vedana).
c. Di dalam fenomena sebab-musabab yang saling tergantung (Paticca-samupada), baik sebagai sebab (paccaya) maupun sebagai akibat (pacayuppana) mengandung pengertian = kehendak (cetana) lampau dan melandasi perbuatan-perbuatan lampau, yang baik dan yang tidak baik.

Sukha

a. Di dalam khandha 5, dikategorikan sebagi faktor batin perasaan (sukkha vedana) yang berfungsi merasakan objek yang menyenangkan yang dialmi.
b. Di dalam faktor jhana, merupakan faktor batin perasaan yang berfungsi menekan uddhacca-kukkucca-nivarana (kegelisahan – kekhawatiran)

Tilakkhana

Tiga sifat alamiah yang berlaku universal, yaitu :

a. Sabbe sankhara anicca = semua fenomena perpaduan bersifat tidak kekal.
b. Sabbe sankhara dukkha = semua fenomena perpaduan bersifat tidak memuaskan.
c. Sabbe dhamma anatta = semua dhamma dalam hakekat sesungguhnya adalah tanpa kepemilikan, tanpa inti, tanpa diri.

Upekkha

a. Di dalam hal perasaan (upekkha vedana), mengandung pengertian perasaan netral, bukan menyenangkan juga bukan tidak menyenangkan.
b. Di dalam hal sikap batin luhur tanpa batas (brahma-vihara), mengandung pengertian sikap batin seimbang terhadap semua fenomena yang dicengkeram Tilakkhana.

Vicara

a. Sebagai faktor/penyerta batin artinya perenungan penopang, fungsinya membuat batin menambat terhadap objek yang dialami.
b. Sebagai faktor jhana (jhananga) merupakan faktor penyerta batin yang fungsinya menekan Vicikiccha-nivarana (keraguan skeptis).

Vitakka

a. Sebagai faktor/penyerta batin artinya perenungan permulaaan, fungsinya membuat batin mengarah kepada objek yang dialami.
b. Sebagai faktor jhana (jhananga) merupakan faktor/penyerta batin yang fungsinya menekan Thina-middha-nivarana (sikap batin malas dan lamban).



 
thread bagus, kenapa ga di sticky ?
 
rougtorerrrrr,,reyzzz mana kalian ^^....tuh permintaan byk
 
benar tuh, kalo mo review ga perlu nyari2. Dan kalo boleh usul...yg uda sticky lama bisa di tinjau ulang, jadi yg tread sticky itu ga terlalu banyak menguasai setengah halaman.>:D<
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.