Persembahan-persembahan dalam bentuk kurban binatang tidak hanya dikenal di Bali, di India sebagai asal Agama Hindu, pemujaan Sakti dianut oleh sekian banyak. Di Orisa dan West Bengal, penganut ajaran Hindu masih tetap melakukan ritual nyambleh (memotong hewan) dengan cara mempersembahkan darah dari binatang kurban.
Persembahan hewan kurban dalam berbagai bentuk dikenal baik dalam kitab Atharva Veda, seperti pada Atha Dvitiyam Kandam (buku ke dua), bagian 33 Yaksmavibarhana sukta (mengenyangkan Yaksa), pada bait satu sampai tujuh dipersembahkan hewan kurban; dan pada bagian 34 Pasugana Sukta (menyertai hewan kurban), bait satu sampai lima dipersembahkan berbagai hewan kurban “ye gramyah pasavo visvarupa virupah santo bahudhaikarupah, vayustanagre pra mumoktu devah prajapatih prajaya samraranah”. Demikian juga pada Atha Trtiyam Kandam (buku ke tiga), bagian 29 pada bait satu sampai delapan dipersembakan domba berkaki putih demikian juga dalam Atha Cathurtham Kandam (buku ke empat), sloka 14 dipersembahkan seekor kambing dalam bait satu sampai sembilan. Dari milyaran hewan hanya sepersekian persen saja yang terpilih menjadi hewan kurban, selebihnya mati karena menjadi santapan manusia, makanan binatang predator, karena usia tua, penyakit, dan penyebab lainnya.
Sri Rama dalam teks Ramayana ketika membangun pasraman di hutan menjadikan sepasang rusa sebagai hewan kurban.
Manusia sejatinya dapat membantu roh-roh rendah binatang untuk berevolusi menuju kelahiran yang lebih baik, dengan menjadikannya binatang tersebut sebagai hewan kurban.
Teks Atma Prasangsa ada menjelaskan sulitnya roh binatang ‘berevolusi’ ke kelahiran yang lebih baik, berikut kutipannya: “Kalingannya ikang atma papa kadyangganing wijining jawa rat, sigaren pinara pitu, lebokana ring sagara, durang ya alwi dadi jawa muwah. Mangkana ikang atma, yan sampun kapasuk dadi tiryak, lwirnya iris-iris poh, tetek lintah, wedit, cacing koricap, uler, sakwehing ginila-gilan kinilikang rat; leheng mandadi mrgga pasu, paksi, mina, sakweh tekang kumatap-kumitip, sang rumangkang sang sumangking”. (Atmaprasangsa 33b).
Artinya:
Keberadaan roh sengsara bagaikan butiran jemawut yang dipecah menjadi tujuh bagian lalu dibuang ke laut, kapankah ia akan dapat menyatu menjadi sebutir jemawut kembali. Demikianlah keberadaan sang roh, jika sudah terlanjur menjelma menjadi binatang (wujud rendah), di antaranya menjadi cacing kecil, lintah, kaki seribu, cacing koricap, ular, dan berbagai jenis binatang yang membuat orang geli dan jijik; (sedangkan) penjelmaan yang lebih baik dari itu menjadi binatang buruan, burung, ikan, dan berbagai jenis binatang lainnya, (kapankah ia akan menjelma kembali ke dalam wujud manusia?).
Selanjutnya, mari kita perhatikan doa memotong hewan kurban:
“Om ise pasupatih pasunam catur padamutu yo dwi padam nikritah sa yajnayam bha metu rajas posa yajna manam sacantam. Om pasu pasaya wihmahe sira cadaya dimahi tanto jiwah pracodayat”.
Artinya: ya Tuhan engkau penguasa atas hewan, baik yang berkaki empat maupun yang berkaki dua, atas perkenan dan berkahmu para pemotong hewan untuk upacara kurban suci ini, bersama orang yang telah berdana punia untuk yajnya ini memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan. Ya Tuhanku, hamba memotong hewan ini semoga rohaninya menjadi suci.
Dari doa ini kita dapat melihat bahwa manusia menjadikan hewan sebagai kurban yajnya dengan cinta kasih dan doa. Pembunuhan dengan kebencian harusnya dibedakan dari pembunuhan dengan cinta kasih dengan tujuan penyucian.
Hukum alam memaksa yang ada di dalamnya mengorbankan yang lain demi bertahan hidup. Rantai makanan dibuat untuk diikuti tertibnya. Manusia sebagai makhluk omnivora (pemakan segala) mesti menjalankan kodrat alam berdasarkan daya dukung pencernaan, kebutuhan fisik, dan keyakinannya masing-masing. Manusia secara kodrati melakukan ‘himsa’ (menyakiti) agar dapat bertahan hidup, meskipun hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan menjadi vegetarian. Manusia ini tetaplah ‘himsa’ karena menyakiti tanaman yang dimakannya. Coba saja perhatikan tanaman padi, manusia telah memupus kesempatan hidupnya dengan menjadikannya beras, bahkan akhirya membunuh kehidupan di dalam padi itu karena memakannya. Hal yang sama terjadi pada kacang, kentang, ketela, jagung dan lainnya.
Sudah barang tentu karena padi itu dibutuhkan oleh manusia sebagai bahan makanan, kelestariannya terjaga. Demikian juga binatang-binatang yang menjadi makanan manusia dan kurban yajnya kelestariannya pun tetap terjaga. Jika saja kita bijaksana dan memahami konsep yajnya dengan lebih cerdas, ekosistem akan tetap terjaga karena ada manusia yang membutuhkannya. Hutan dan isinya tetap dijaga, sebab dalam waktu-waktu tertentu kita membutuhkan sebagai sarana upacara. Yang dianggap merusak ekosistem adalah mereka yang mengambil tanpa pernah memelihara, hal seperti ini adalah kesalahan personal bukan kesalahan yajnya.