• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Upakara Yadnya

Ada suatu kisah yang kiranya bisa sedikit menggelitik kita semua. TS, mohon ijin untuk post link di sini:
HINDU BALI: Mecaru oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
Dalam menentukan sukses tidaknya suatu yadnya ada tiga komponen yang penting yaitu: Sadaka yaitu Pendeta atau Pemangku yang akan memimpin atau melaksanakan upacara, Mancagra yaitu Srati yang membuat banten upacara, dan Yajamana sebagai yang memiliki yadnya.

Tentu saja harapan semua supaya tidak ada yang keblinger dari salah satu komponen tersebut diatas, karena ketiganya menentukan sukses tidaknya suatu yadnya.
 
Dalam menentukan sukses tidaknya suatu yadnya ada tiga komponen yang penting yaitu: Sadaka yaitu Pendeta atau Pemangku yang akan memimpin atau melaksanakan upacara, Mancagra yaitu Srati yang membuat banten upacara, dan Yajamana sebagai yang memiliki yadnya.

Tentu saja harapan semua supaya tidak ada yang keblinger dari salah satu komponen tersebut diatas, karena ketiganya menentukan sukses tidaknya suatu yadnya.

Setuju bos, makanya perlu dipahami apa makna dari sebuah upakara tsb...... :-bd
 
Dalam menentukan sukses tidaknya suatu yadnya ada tiga komponen yang penting yaitu: Sadaka yaitu Pendeta atau Pemangku yang akan memimpin atau melaksanakan upacara, Mancagra yaitu Srati yang membuat banten upacara, dan Yajamana sebagai yang memiliki yadnya.

Tentu saja harapan semua supaya tidak ada yang keblinger dari salah satu komponen tersebut diatas, karena ketiganya menentukan sukses tidaknya suatu yadnya.

keblinger yang bagaimana yah maksudnya pak goes?
 
keblinger yang bagaimana yah maksudnya pak goes?

"keblinger" dalam artian tidak tercapainya suatu hasil musyawarah dari Tri Manggalaning Yadnya, karena terjadinya pemaksaan keinginan yang tidak mempertimbangkan simbul-simbul yang filosofis dan artistik sesuai desa-kala-patra (di Bali dikenal dengan upakara atau bebantenan), sehingga tidak memenuhi kewajiban atau swadharmanya.

Yadnya pada hakikatnya merupakan persembahan, dan pengabdian, yang dilakukan dengan perasaan tulus, hati suci, dan tanap pamerih.
 
"keblinger" dalam artian tidak tercapainya suatu hasil musyawarah dari Tri Manggalaning Yadnya, karena terjadinya pemaksaan keinginan yang tidak mempertimbangkan simbul-simbul yang filosofis dan artistik sesuai desa-kala-patra (di Bali dikenal dengan upakara atau bebantenan), sehingga tidak memenuhi kewajiban atau swadharmanya.

Yadnya pada hakikatnya merupakan persembahan, dan pengabdian, yang dilakukan dengan perasaan tulus, hati suci, dan tanap pamerih.

Lalu bagaimana jika sang manggalaning karya atau si empunya gawe bersikukuh tetap mengadakan upacara tanpa unsur hewani tersebut?? Dan menggantinya dengan bahan2 tertentu atau bahkan menggunakan tulisan?? Disebabkan yang punya gawe tidak mengkonsumsi unsur hewani atas dasar keyakinannya. Apakah ini dapat dibenarkan?? Atau paling tidak, dapat dilakukan??

Mengenai pelaksanaan upakara yadnya, jika kita disinggung dengan kata "ahimsa" oleh seseorang yang menganut kepercayaan tertentu yang notabene nya adalah seorang vegetarian, apa yang harus kita katakan untuk menjelaskan?? Yang tentunya jawaban tersebut mengacu kepada kitab suci juga....

Mohon pencerahannya pak goes.... untuk newbie yang masih buta pengetahuan ini.... Terima kasih...
 
Saya ikutan ya bro...... :)

Lalu bagaimana jika sang manggalaning karya atau si empunya gawe bersikukuh tetap mengadakan upacara tanpa unsur hewani tersebut?? Dan menggantinya dengan bahan2 tertentu atau bahkan menggunakan tulisan?? Disebabkan yang punya gawe tidak mengkonsumsi unsur hewani atas dasar keyakinannya. Apakah ini dapat dibenarkan?? Atau paling tidak, dapat dilakukan??

Benar dalam rangka apa nih dulu???,
Sebetulnya dijelaskan dahulu dalam rangka apa si punya gawe melakukan sebuah upakara, karena dalam sebuah upakara memiliki sumber-sumber tertulis walaupun dalam bentuk lontar tapi memiliki makna-makna simbolis.
Semua itu tercakup dalam sebuah kesatuan dan jika tidak dimungkinkan maka dapat diganti dengan bahan yang memiliki makna sejenis...... :)
Jika si empu gawe memiliki pemahaman yang berbeda dengan si pemuput gawe trus buat apa upkara tsb dilakukan???, dan juga bagaimana dengan sarana upakara (banten) yang mau dibuat, apakah si empu gawe memiliki pemahaman yang sama atau keyakinan yang sama dengan si pembuat 'banten', nah ini yang dimaksud dengan bos GoesDun dengan kata 'keblinger' tsb...... :)
(koreksi jika keliru bos...... :D)

Mengenai pelaksanaan upakara yadnya, jika kita disinggung dengan kata "ahimsa" oleh seseorang yang menganut kepercayaan tertentu yang notabene nya adalah seorang vegetarian, apa yang harus kita katakan untuk menjelaskan?? Yang tentunya jawaban tersebut mengacu kepada kitab suci juga....

Aturan 'Ahimsa' sendiri yang perlu dipahami, dan jangan diaplikasikan dengan brutal karena jika diaplikasikan dengan 'kurang baik' atau secara brutal maka bisa puasa seumur hidup...... :D
Ingat kitab suci memberikan pilihan yang beragam dan tidak hanya satu jalan.... :)

Mohon pencerahannya pak goes.... untuk newbie yang masih buta pengetahuan ini.... Terima kasih...

Tunggu comment dari bos GoesDun aja ya, saya juga masih newbie, dan comment saya hanya sekedar intermezzo saja..... :D
 
Saya ikutan ya bro...... :)



Benar dalam rangka apa nih dulu???,
Sebetulnya dijelaskan dahulu dalam rangka apa si punya gawe melakukan sebuah upakara, karena dalam sebuah upakara memiliki sumber-sumber tertulis walaupun dalam bentuk lontar tapi memiliki makna-makna simbolis.
Semua itu tercakup dalam sebuah kesatuan dan jika tidak dimungkinkan maka dapat diganti dengan bahan yang memiliki makna sejenis...... :)
Jika si empu gawe memiliki pemahaman yang berbeda dengan si pemuput gawe trus buat apa upkara tsb dilakukan???, dan juga bagaimana dengan sarana upakara (banten) yang mau dibuat, apakah si empu gawe memiliki pemahaman yang sama atau keyakinan yang sama dengan si pembuat 'banten', nah ini yang dimaksud dengan bos GoesDun dengan kata 'keblinger' tsb...... :)
(koreksi jika keliru bos...... :D)



Aturan 'Ahimsa' sendiri yang perlu dipahami, dan jangan diaplikasikan dengan brutal karena jika diaplikasikan dengan 'kurang baik' atau secara brutal maka bisa puasa seumur hidup...... :D
Ingat kitab suci memberikan pilihan yang beragam dan tidak hanya satu jalan.... :)



Tunggu comment dari bos GoesDun aja ya, saya juga masih newbie, dan comment saya hanya sekedar intermezzo saja..... :D

Begini bro, saya berpikiran secara lugu saja. Sebab hampir semua banten upakara pada umumnya menggunakan unsur hewani. Baiklah, mungkin kalo sekedar banten tataban unsur daging sebagai lungsuran bisa disingkirkan. Tetapi bilamana menyangkut pecaruan, seperti melaspas rumah atau pecaruan lainnya, bagaimana kira2 yah?? Apakah ada solusi yang lain untuk yang memiliki pemahaman tidak menggunakan unsur hewani?? Adakah suatu contoh yang kongkrit? Supaya saya lebih bisa mengerti. Begitu kira2 bro...
 
Begini bro, saya berpikiran secara lugu saja. Sebab hampir semua banten upakara pada umumnya menggunakan unsur hewani. Baiklah, mungkin kalo sekedar banten tataban unsur daging sebagai lungsuran bisa disingkirkan. Tetapi bilamana menyangkut pecaruan, seperti melaspas rumah atau pecaruan lainnya, bagaimana kira2 yah?? Apakah ada solusi yang lain untuk yang memiliki pemahaman tidak menggunakan unsur hewani?? Adakah suatu contoh yang kongkrit? Supaya saya lebih bisa mengerti. Begitu kira2 bro...

Mungkin ini bisa membantu, untuk pecaruan rumah biasanya cukup menggunakan Eka Sata yaitu seekor ayam brumbun (masih sangat mudah didapatkan), itupun yang dipakai adalah "Blulangnya" (bagian kulit dan bulunya utuh), jadi bagian dagingnya dapat dijadikan bahan olahan untuk konsumsi misalnya "jukut ares".

Adapun caru yang digunakan sebelum membangunan adalah Upacara pengeruak yang ditandai dengan upacara Butha Yadnya, yaitu caru eka sata yaitu Caru Pengruak.

Jadi kalau diperhatikan untuk membangun, dari awal pengukuran dan pengadaan bahan sampai bangunan dapat digunakan, mulai difungsikan (ngulihin karang) tahapan-tahapan didahului oleh upacara sesuai jenis pekerjaan dan tingkat keutamaanya bangunan yang didirikan.

Menebang pohon untuk bangunan dengan upacara nglakar, pengukuran site dengan upacara nyikut karang, memasang pondasi dasar bangunan dengan upaara ngruak karang (yaitu upacara alih fungsi) dan nasarin. Mengerjakan bahan (melubangi tiang utama atau betake) dengan upacara pemolong. Merakit konstruksi rangka bangunan dengan upacara ngaug sunduk dan diakhir konstruksi dengan upacara memakuh.

Setelah bangunan selesai dilakukan upacara pemelaspas, memprelina dan mengembalikan semua jiwa jenis bahan ke asalnya dengan ngulapin (memanggil jiwa bangunan), ngurip (menjiwai bangunan), melaspas (menyucikan dan menetapkan kelahiran dengan nama baru, misalnya: bale gede, Jineng, atau yang lain bukan lagi kayu dan batu atau bahan lainnya).
Terakhir ngulihin karang upacara mempertemukan dengan pemilik penghuninya.

Contoh lain: Tawur/Caru, merupakan upacara yang dilaksanakan di perempatan jalan di pusat propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa yang dilakukan serentak pada hari pengerupukan sehari sebelum perayaan berate penyepian. Pada umumnya di propinsi, kabupaten, dan kecamatan upacara ini dilaksanakan pada siang hari jam 12:00, sedangkan di desa-desa dilaksanakan sore hari jam 5 atau 6 yang mengambil tempat di perempatan desa.

Tawur yang lebih kecil disebut caru.
Tingkatan caru ini dilaksankan di desa-desa dan di kecamatan.
Tujuan Tawur atau Caru ini dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan bhuana agung dan bhuana alit. Yang disebut bhuana agung adalah alam sekitarnya, sedangkan bhuana alit adalah manusia itu sendiri (tubuhnya).

Tujuan dari tawur/caru agar hidup kita ini penuh dengan keseimbangan, melepaskan daripada pikiran yang serakah, angkara, marah, benci, irihati, dan segala bentuk pikiran yang tidak baik karena keterikatan terhadap tarikan-tarikan benda duniawi.

Dan sehari setelah tawur/caru ini dilaksanakan berate penyepian juga sebagai awal pelaksanaan Bulan Dana Punia Hindu.

Tawur/Caru termasuk Yadnya untuk para Bhuta yaitu kekuatan penyangga alam bawah, disebut Bhuta Yadnya.

Bhuta Yadnya berfungsi sebagai sarana untuk menetralisir hubungan makrokosmos dengan mikrokosmos, guna menjaga tetapnya kondisi yang harmonis.

Bhuta Yadnya juga mengandung ajaran tentang melestarikan adanya keharmonisan dalam kehidupan manusia dengan meraih keseimbangan dan keselarasan dalam berbagai aspeknya termasuk lingkungan hidup (ekosistem).
Salah satunya ada pelestarian berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang sering digunakan untuk upacara Yadnya.

Untuk beberapa bahan yang sudah sulit didapatkan sepertinya dapat digantikan dengan menggunakan jajan yang bentuk symbol. Seperti misalnya Caru Gajah dapat diganti dengan Penyu. Tapi saat ini penyu untuk upacara masih memungkinkan untuk didapat, bila tidak memungkinkan tentu suatu saat akan dapat diganti dengan simbol dari jajan.

Sedangkan caru dari ayam saya kira masih banyak yang melestarikan untuk jenis ayam brumbun misalnya. Termasuk jenis caru anjing blank bungkem misalnya masih dapat dicari, kecuali di bali benar-benar sudah tidak ada anjing kemungkinan besar dapat diganti dengan jajan berupa simbol anjing.
 
Mungkin ini bisa membantu, untuk pecaruan rumah biasanya cukup menggunakan Eka Sata yaitu seekor ayam brumbun (masih sangat mudah didapatkan), itupun yang dipakai adalah "Blulangnya" (bagian kulit dan bulunya utuh), jadi bagian dagingnya dapat dijadikan bahan olahan untuk konsumsi misalnya "jukut ares".

Adapun caru yang digunakan sebelum membangunan adalah Upacara pengeruak yang ditandai dengan upacara Butha Yadnya, yaitu caru eka sata yaitu Caru Pengruak.

Jadi kalau diperhatikan untuk membangun, dari awal pengukuran dan pengadaan bahan sampai bangunan dapat digunakan, mulai difungsikan (ngulihin karang) tahapan-tahapan didahului oleh upacara sesuai jenis pekerjaan dan tingkat keutamaanya bangunan yang didirikan.

Menebang pohon untuk bangunan dengan upacara nglakar, pengukuran site dengan upacara nyikut karang, memasang pondasi dasar bangunan dengan upaara ngruak karang (yaitu upacara alih fungsi) dan nasarin. Mengerjakan bahan (melubangi tiang utama atau betake) dengan upacara pemolong. Merakit konstruksi rangka bangunan dengan upacara ngaug sunduk dan diakhir konstruksi dengan upacara memakuh.

Setelah bangunan selesai dilakukan upacara pemelaspas, memprelina dan mengembalikan semua jiwa jenis bahan ke asalnya dengan ngulapin (memanggil jiwa bangunan), ngurip (menjiwai bangunan), melaspas (menyucikan dan menetapkan kelahiran dengan nama baru, misalnya: bale gede, Jineng, atau yang lain bukan lagi kayu dan batu atau bahan lainnya).
Terakhir ngulihin karang upacara mempertemukan dengan pemilik penghuninya.

Contoh lain: Tawur/Caru, merupakan upacara yang dilaksanakan di perempatan jalan di pusat propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa yang dilakukan serentak pada hari pengerupukan sehari sebelum perayaan berate penyepian. Pada umumnya di propinsi, kabupaten, dan kecamatan upacara ini dilaksanakan pada siang hari jam 12:00, sedangkan di desa-desa dilaksanakan sore hari jam 5 atau 6 yang mengambil tempat di perempatan desa.

Tawur yang lebih kecil disebut caru.
Tingkatan caru ini dilaksankan di desa-desa dan di kecamatan.
Tujuan Tawur atau Caru ini dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan bhuana agung dan bhuana alit. Yang disebut bhuana agung adalah alam sekitarnya, sedangkan bhuana alit adalah manusia itu sendiri (tubuhnya).

Tujuan dari tawur/caru agar hidup kita ini penuh dengan keseimbangan, melepaskan daripada pikiran yang serakah, angkara, marah, benci, irihati, dan segala bentuk pikiran yang tidak baik karena keterikatan terhadap tarikan-tarikan benda duniawi.

Dan sehari setelah tawur/caru ini dilaksanakan berate penyepian juga sebagai awal pelaksanaan Bulan Dana Punia Hindu.

Tawur/Caru termasuk Yadnya untuk para Bhuta yaitu kekuatan penyangga alam bawah, disebut Bhuta Yadnya.

Bhuta Yadnya berfungsi sebagai sarana untuk menetralisir hubungan makrokosmos dengan mikrokosmos, guna menjaga tetapnya kondisi yang harmonis.

Bhuta Yadnya juga mengandung ajaran tentang melestarikan adanya keharmonisan dalam kehidupan manusia dengan meraih keseimbangan dan keselarasan dalam berbagai aspeknya termasuk lingkungan hidup (ekosistem).
Salah satunya ada pelestarian berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang sering digunakan untuk upacara Yadnya.

Untuk beberapa bahan yang sudah sulit didapatkan sepertinya dapat digantikan dengan menggunakan jajan yang bentuk symbol. Seperti misalnya Caru Gajah dapat diganti dengan Penyu. Tapi saat ini penyu untuk upacara masih memungkinkan untuk didapat, bila tidak memungkinkan tentu suatu saat akan dapat diganti dengan simbol dari jajan.

Sedangkan caru dari ayam saya kira masih banyak yang melestarikan untuk jenis ayam brumbun misalnya. Termasuk jenis caru anjing blank bungkem misalnya masih dapat dicari, kecuali di bali benar-benar sudah tidak ada anjing kemungkinan besar dapat diganti dengan jajan berupa simbol anjing.

Baiklah....
Mengenai penggantian bahan caru atau banten karena sulit didapat, itu sudah saya mengerti dan pahami. Tetapi di dalam artikel yang saya posting terdahulu, disana disebutkan ada yang ingin mengganti kesuluruhan unsur hewani dalam banten tersebut. Jadi kalo istilah konyolnya menjadi "banten vegetarian", apakah ini dapat dilakukan pak goes?? Tanpa mengindahkan desa kala patra, tetapi hanya berbekal keyakinan, beralibi ahimsa, dan menyatakan untuk kembali ke ajaran veda.
Itu inti pertanyaan saya.....

Berikut ada lagi artikel yang kiranya sedikit menggelitik, terutama bagi orang Bali yang menganut agama Hindu:

Ida Betara Wayan dan Ida Betara Ketut

Bisa minta sedikit komentarnya pak goes??
 
Saya ikutan lagi ya bro..... :)

Baiklah....
Mengenai penggantian bahan caru atau banten karena sulit didapat, itu sudah saya mengerti dan pahami. Tetapi di dalam artikel yang saya posting terdahulu, disana disebutkan ada yang ingin mengganti kesuluruhan unsur hewani dalam banten tersebut. Jadi kalo istilah konyolnya menjadi "banten vegetarian", apakah ini dapat dilakukan pak goes?? Tanpa mengindahkan desa kala patra, tetapi hanya berbekal keyakinan, beralibi ahimsa, dan menyatakan untuk kembali ke ajaran veda.
Itu inti pertanyaan saya.....

Saya akan memandang dari sudut lain ya,

Ini sudah dijelaskan oleh bos Goesdun bahwa diperlukan 'keselarasan' antara 3 unusr yang menunjang pelaksanaan sebuah upakara, yaitu pemuput upakara, pembuat sarana upakara, dan terakhir dan utama adalah pelaksana (si empunya) upakara.
Jika ada satu bagian yang 'bertentangan' maka upakara tsb tidak berjalan dengan baik, dalam hal ini telah terjadi pertentangan dalam pemahaman, jadi bagaiaman bisa upakara tsb dilakukan???
Sama juga halnya jika anda memiliki keyakinan Hindu apa ketika menikah akan meminta sebagai pelaksana upacara perkawinan anda dari pendeta Islam???

Perlu diketahui bahwa Agama Hindu yang berkembang di Bali melalui 'percampuran' hebat dimana ketika itu berkembang banyak sekte yang saling 'ribut', jadi atas inisiatif Mpu Kuturan (klo tidak salah) maka diadakan pertemuan di daerah Samuan Tiga (sekarang menjadi pura), dan kemudian disatukan berbagai sekte tsb menjadi nama Hindu-Bali (Siwa-Budha), dan hasilnya adalah ajaran yang berupa perpaduan berbagai sekte tsb. Tentang pecaruan dengan binatang ini merupakan unsur dari sekte Bhairawa (mungkin Tantra), nah jika memiliki keinginan yang berbeda maka silahkan mencari pemuput upakara yang sesuai dan bukan meminta dari seseorang yang jelas memiliki pemahaman yang berbeda.
Jadi tidak ada yang melarang itu dalam agama, tapi jika mau memakai yang 'vegetarian' ada baiknya mengkonsultasikan dahulu dengan yang lebih tau dan bukannya dengan sok tau...... :)

Tentang ini mungkin bos Goesdun bisa memberikan tambahan, dan juga harus dipahami dahulu bagaimana Hindu yang ada di Bali, ini bisa dilihat di threads lain, coba buka-buka halaman awal, mungkin ada disitu..... :)

Berikut ada lagi artikel yang kiranya sedikit menggelitik, terutama bagi orang Bali yang menganut agama Hindu:

Ida Betara Wayan dan Ida Betara Ketut

Bisa minta sedikit komentarnya pak goes??

:)
 
Saya ikutan lagi ya bro..... :)



Saya akan memandang dari sudut lain ya,

Ini sudah dijelaskan oleh bos Goesdun bahwa diperlukan 'keselarasan' antara 3 unusr yang menunjang pelaksanaan sebuah upakara, yaitu pemuput upakara, pembuat sarana upakara, dan terakhir dan utama adalah pelaksana (si empunya) upakara.
Jika ada satu bagian yang 'bertentangan' maka upakara tsb tidak berjalan dengan baik, dalam hal ini telah terjadi pertentangan dalam pemahaman, jadi bagaiaman bisa upakara tsb dilakukan???
Sama juga halnya jika anda memiliki keyakinan Hindu apa ketika menikah akan meminta sebagai pelaksana upacara perkawinan anda dari pendeta Islam???

Perlu diketahui bahwa Agama Hindu yang berkembang di Bali melalui 'percampuran' hebat dimana ketika itu berkembang banyak sekte yang saling 'ribut', jadi atas inisiatif Mpu Kuturan (klo tidak salah) maka diadakan pertemuan di daerah Samuan Tiga (sekarang menjadi pura), dan kemudian disatukan berbagai sekte tsb menjadi nama Hindu-Bali (Siwa-Budha), dan hasilnya adalah ajaran yang berupa perpaduan berbagai sekte tsb. Tentang pecaruan dengan binatang ini merupakan unsur dari sekte Bhairawa (mungkin Tantra), nah jika memiliki keinginan yang berbeda maka silahkan mencari pemuput upakara yang sesuai dan bukan meminta dari seseorang yang jelas memiliki pemahaman yang berbeda.
Jadi tidak ada yang melarang itu dalam agama, tapi jika mau memakai yang 'vegetarian' ada baiknya mengkonsultasikan dahulu dengan yang lebih tau dan bukannya dengan sok tau...... :)

Tentang ini mungkin bos Goesdun bisa memberikan tambahan, dan juga harus dipahami dahulu bagaimana Hindu yang ada di Bali, ini bisa dilihat di threads lain, coba buka-buka halaman awal, mungkin ada disitu..... :)



:)

owh jadi intinya, harus nyari pemuput karya yang sepaham dengan yang punya karya. Nah kalo gak ketemu2 juga dengan yang sepaham, gimana yah?? :D
Aneh juga jadinya....



mengenai yang ini gimana bro?? :

Berikut ada lagi artikel yang kiranya sedikit menggelitik, terutama bagi orang Bali yang menganut agama Hindu:

Ida Betara Wayan dan Ida Betara Ketut

Bisa minta sedikit komentarnya pak goes??
 
owh jadi intinya, harus nyari pemuput karya yang sepaham dengan yang punya karya. Nah kalo gak ketemu2 juga dengan yang sepaham, gimana yah?? :D
Aneh juga jadinya....

:D,...... eh bro, jika tidak 'ketemu', bisa dengan siapa yang ada dan agar dikonsultasikan terlebih dahulu dan bukannya langsung main serobot minta ini ataupun itu.... :)
Contoh jika bro ada di luar daerah seperti Papua atau dimanapun juga (diluar Indonesia), bro bisa menyesuaikan dengan yang ada bahkan ada cerita seorang teman di Jepang malah minta "berkat" ke Vihara untuk 'plaspas' mobilnya.... :D

Jadi maksud saya sesuaikan dan konsultasikan dengan yang ahli terlebih dahulu, dan jangan main serobot aja.
Nih ada link yang menarik,coba baca disini, disini, disini, dan banyak lagi yang lain bro,..... :D

mengenai yang ini gimana bro?? :

Senang main kesana juga????..... :D
Bro Ngarayana sudah menjelaskan dalam artikelnya tsb, jadi mungkin perlu dibaca lebih perlahan agar bisa ditangkap maksudnya bro Ngarayana,..... :)
tentang ini ada link menarik nih unutk dibaca juga sekedar memanbah wawasan, disini, disini, disini, dan disini.
 
:D,...... eh bro, jika tidak 'ketemu', bisa dengan siapa yang ada dan agar dikonsultasikan terlebih dahulu dan bukannya langsung main serobot minta ini ataupun itu.... :)
Contoh jika bro ada di luar daerah seperti Papua atau dimanapun juga (diluar Indonesia), bro bisa menyesuaikan dengan yang ada bahkan ada cerita seorang teman di Jepang malah minta "berkat" ke Vihara untuk 'plaspas' mobilnya.... :D

Jadi maksud saya sesuaikan dan konsultasikan dengan yang ahli terlebih dahulu, dan jangan main serobot aja.
Nih ada link yang menarik,coba baca disini, disini, disini, dan banyak lagi yang lain bro,..... :D

Om Gam Ganapatayae namo namaha

Hem :) , pelaspas mobil di Jepang yah? Memakai garam dan memusatkan pikiran kepada manifestasi Hyang Widhi. Rupanya terkenal sampai kemari :)
Kalo yang saya maksud sih bukan yang di luar daerah lho bro. Maksud saya masih di Bali, tetapi menginginkan karyanya itu "berbeda" dengan biasanya. Kalo gak ketemu2 juga dengan yang sepaham, yah mau gimana lagi?? Khayalan konyol saya, semua jenis korban hewan diganti dengan jajan yang berbentuk hewan lengkap dengan tulisan keterangannya. Seperti kalo menggunakan siap selem, diganti dengan jajan berbentuk ayam dengan tulisan "Ini Siap Selem" :)) . Kalo masih gak ngerti juga, artinya Butha Kalanya buta huruf :))
Hehe cuma sebatas khayalan konyol saya saja bro. Jangan diambil hati.... :D


Senang main kesana juga????..... :D
Bro Ngarayana sudah menjelaskan dalam artikelnya tsb, jadi mungkin perlu dibaca lebih perlahan agar bisa ditangkap maksudnya bro Ngarayana,..... :)
tentang ini ada link menarik nih unutk dibaca juga sekedar memanbah wawasan, disini, disini, disini, dan disini.

Main ke sana?? Gak lagi ah. Blog itu lebih menjurus ke arah Vaishnaism. Saya sendiri tidak menganutnya. Ntar kalo lebih lanjut bacanya bisa2 tekanan darah tinggi :D
Beda tempat, beda budaya, Hindu Bali jika di-India kan, akan sangat aneh jadinya. Walaupun ada "seorang bijak" yang pernah berkata bahwa kita tidak boleh larut dalam adat istiadat, karena adat istiadat tersebut yang membuat adalah manusia dan bisa dirubah. Akan tetapi alangkah indahnya jika kita bisa membaurkannya ke dalam adat istiadat tersebut, sehingga muncul sebuah perpaduan warna yang indah, dan ini yang sudah terjadi, yang dikenal dengan Hindu di Bali.
Jadi jika ada orang Bali yang protes dengan adat istiadatnya dan dengan dalih bahwa ajarannya harus kembali ke Weda, sebaiknya nama orang Bali ditanggalkan dan segeralah menjadi orang India :D . Karena di India, pasti tidak akan mengenal istilah bebantenan yang rumit2, seperti sesayut, parayascita durmanggala, pabiakaon, dan lain sebagainya. Lebih mudah bukan?? Hehehe :D
Sekali lagi, cuma khayalan konyol saya saja bro... Toh juga cuma mengkhayal dan tidak berisi ajakan apapun :D
 
Baiklah....
Mengenai penggantian bahan caru atau banten karena sulit didapat, itu sudah saya mengerti dan pahami. Tetapi di dalam artikel yang saya posting terdahulu, disana disebutkan ada yang ingin mengganti kesuluruhan unsur hewani dalam banten tersebut. Jadi kalo istilah konyolnya menjadi "banten vegetarian", apakah ini dapat dilakukan pak goes?? Tanpa mengindahkan desa kala patra, tetapi hanya berbekal keyakinan, beralibi ahimsa, dan menyatakan untuk kembali ke ajaran veda.
Itu inti pertanyaan saya.....

Berikut ada lagi artikel yang kiranya sedikit menggelitik, terutama bagi orang Bali yang menganut agama Hindu:

Ida Betara Wayan dan Ida Betara Ketut

Bisa minta sedikit komentarnya pak goes??

Dalam weda diajarkan ahimsa, tapi juga ada kewajiban beryadnya, salah satunya korban suci berupa hewan.
Hal ini jelas terdapat pada Atharwa Weda, SUKTA: 34 . DOA UNTUK MENGIRINGI POTONG HEWAN DALAM UPACARA KORBAN SUCI.
Dengan RCA sebagai berikut :

  1. O, Yang Dipertuan atas hewan-hewan, baik atas hewan yang berkaki empat, maupun yang berkaki dua, semoga atas perkenan dan berkahmu, para pelaksana pemotongan hewan dalam upacara korban suci ini berserta orang-orang yang telah ber-dana punia untuk penyelenggaraan yadnya ini, dapat memperoleh kehidupan yang sejahtera dan bahagia.
  2. O, Para Dewa pencipta makhluk-makhluk, tentulah engkau berkenan menganugrahi kemajuan kepada para pelaksana pemotongan hewan dalam upacara korban suci ini. Apa yang telah dilaksanakan dengan tekun dan khidmat dalam Yadnya ini, semoga dapat membawa para pelaksananya dan orang-orang yang telah memberikan dana-punia-nya untuk Yadnya ini, ke Jalan Suci yang menuju ke Surga.
  3. Mereka yang telah memelihara hewan-hewan yang akan dipotong ini dengan baik, yang telah mengamati dengan indria dan telah memikirkan kesejahtraan hewan-hewan ini, semoga mereka itu beserta keluarganya, dengan penyelenggaraan Yadnya ini, dapat hidup dengan sejahtera dan bahagia. Dan semoga DEWA AGNI dapat membebaskan nyawa-nyawa dari hewan-hewan yang dipotong dalam upacara korban suci ini, dan membawanya ke kekelahirannya yang lebih baik.
  4. Hewan-hewan yang akan dipotong dalam upacara suci ini, baik yang berasal dari desa-desa maupun dari hutan-hutan, yang jenisnya beraneka ragam itu, semoga dapat dibebaskan nyawanya oleh DEWA WAYU dan memperoleh kelahirannya yang lebih baik. Dan semoga para pelaksana dan pemberi dana punia untuk Yadnya ini, beserta anak keturunannya, dapat diberkahi oleh PRAJAPATI dengan kehidupan yang sejahtera dan bahagia.
  5. Ketahuilah, hai, hewan-hewan yang akan dipotong dalam upacara korban suci ini! Dahulu, pertama-tama, engkau memasuki tubuhmu. Sekarang saatnya tiba nyawamu akan meninggalkan tubuhmu! Jangan sedih, Jalan ke Surga telah dibuka untukmu! Pergilah ke Surga dengan melalui Jalan yang telah dibuat oleh para Dewa untukmu ini!
Dan Yadnya/Korban Suci ditujukan untuk kesucian dan kebersihan tiga lapisan alam yaitu Bhur, Bhuah, dan Swah.


Adapun sesapan "Ida Betara Wayan dan Ida Betara Ketut" itu disebut sesontengan semacam permohan/ungkapan rasa syukur kepada Bhetara/leluhur yang sering dalam pengunggkapannya menggunakan bahasa sehari-hari, karena sejatinya para Betara tentu sangat paham akan maksudnya yaitu kesucian dan kebersihan lapisan alam Bhatara. Karena Tuhan ada pada ketiga dunia yaitu Bhur, Bhuah, dan Swah yang wajib disucikan.
 
Om Gam Ganapatayae namo namaha

Hem :) , pelaspas mobil di Jepang yah? Memakai garam dan memusatkan pikiran kepada manifestasi Hyang Widhi. Rupanya terkenal sampai kemari :)
Kalo yang saya maksud sih bukan yang di luar daerah lho bro. Maksud saya masih di Bali, tetapi menginginkan karyanya itu "berbeda" dengan biasanya. Kalo gak ketemu2 juga dengan yang sepaham, yah mau gimana lagi?? Khayalan konyol saya, semua jenis korban hewan diganti dengan jajan yang berbentuk hewan lengkap dengan tulisan keterangannya. Seperti kalo menggunakan siap selem, diganti dengan jajan berbentuk ayam dengan tulisan "Ini Siap Selem" :)) . Kalo masih gak ngerti juga, artinya Butha Kalanya buta huruf :))
Hehe cuma sebatas khayalan konyol saya saja bro. Jangan diambil hati.... :D

:D
Jawabannya khan udah diberikan dari link yang bro kasi, jika mau mengganti sekalian aja ganti sama pemuput acaranya bro, pake photo beliau khan lebih simple....... :D:D:D
Kasi tulisan dengan nama beliau yang diambil fotonya....... :D
ato malah ganti aja semuanya dengan foto yang diambil ketika ditempat lain pernah ada upakara yang dimaksud, cetak lebar, trus "dibabar" di lokasi upakara, khan enak kagak susah-susah lagi, dan terpenting malah lebih simple...... :D

Main ke sana?? Gak lagi ah. Blog itu lebih menjurus ke arah Vaishnaism. Saya sendiri tidak menganutnya. Ntar kalo lebih lanjut bacanya bisa2 tekanan darah tinggi :D
Beda tempat, beda budaya, Hindu Bali jika di-India kan, akan sangat aneh jadinya. Walaupun ada "seorang bijak" yang pernah berkata bahwa kita tidak boleh larut dalam adat istiadat, karena adat istiadat tersebut yang membuat adalah manusia dan bisa dirubah. Akan tetapi alangkah indahnya jika kita bisa membaurkannya ke dalam adat istiadat tersebut, sehingga muncul sebuah perpaduan warna yang indah, dan ini yang sudah terjadi, yang dikenal dengan Hindu di Bali.
Jadi jika ada orang Bali yang protes dengan adat istiadatnya dan dengan dalih bahwa ajarannya harus kembali ke Weda, sebaiknya nama orang Bali ditanggalkan dan segeralah menjadi orang India :D . Karena di India, pasti tidak akan mengenal istilah bebantenan yang rumit2, seperti sesayut, parayascita durmanggala, pabiakaon, dan lain sebagainya. Lebih mudah bukan?? Hehehe :D
Sekali lagi, cuma khayalan konyol saya saja bro... Toh juga cuma mengkhayal dan tidak berisi ajakan apapun :D

:D
Ini juga bukan berisi ajakan, cuman saya hanya menghimbau agar sesuai dengan sastra dan diketahui apa tujuannya sehingga sejalan dengan tatwa.... :)
 
bro tau gak sumber banten itu dari kitab/lontar mana?

Lupa-lupa ingat bro (kayak lagu aja)....... :D

Tapi yang saya tau, masalah ini dibahas di majalah Sarad Bali, kebetulan orang tua langganan, jadi 'tau' dikit-dikit, pengasuhnya (untuk urusan upakara dan Hindu/Veda) juga orang-orang yang telah belajar dan mendapatkan gelar dari univ. di India....:)

Bahkan saya klo tidak salah edisi tahun 2004 pernah terbit dengan judul "Bisakah banten tanpa daging?" (kurang lebih seperti itu :D), coba deh cari...... :)

Sumber banten sendiri yang saya tau (pernah baca) merupakan penjabaran dari kitab brahmana (khan Veda sendiri terdiri atas 3 bagian selain samhita).

Buin ane dueg-an metakon ajak ane belog-an....... :D
 
Baiklah....
Mengenai penggantian bahan caru atau banten karena sulit didapat, itu sudah saya mengerti dan pahami. Tetapi di dalam artikel yang saya posting terdahulu, disana disebutkan ada yang ingin mengganti kesuluruhan unsur hewani dalam banten tersebut. Jadi kalo istilah konyolnya menjadi "banten vegetarian", apakah ini dapat dilakukan pak goes?? Tanpa mengindahkan desa kala patra, tetapi hanya berbekal keyakinan, beralibi ahimsa, dan menyatakan untuk kembali ke ajaran veda.
Itu inti pertanyaan saya.....

Eh bro, saya menemukan sebuah 'jawaban' yang menarik dari pertanyaan bro ini (lihat yang saya bold):

Persembahan-persembahan dalam bentuk kurban binatang tidak hanya dikenal di Bali, di India sebagai asal Agama Hindu, pemujaan Sakti dianut oleh sekian banyak. Di Orisa dan West Bengal, penganut ajaran Hindu masih tetap melakukan ritual nyambleh (memotong hewan) dengan cara mempersembahkan darah dari binatang kurban.

Persembahan hewan kurban dalam berbagai bentuk dikenal baik dalam kitab Atharva Veda, seperti pada Atha Dvitiyam Kandam (buku ke dua), bagian 33 Yaksmavibarhana sukta (mengenyangkan Yaksa), pada bait satu sampai tujuh dipersembahkan hewan kurban; dan pada bagian 34 Pasugana Sukta (menyertai hewan kurban), bait satu sampai lima dipersembahkan berbagai hewan kurban “ye gramyah pasavo visvarupa virupah santo bahudhaikarupah, vayustanagre pra mumoktu devah prajapatih prajaya samraranah”. Demikian juga pada Atha Trtiyam Kandam (buku ke tiga), bagian 29 pada bait satu sampai delapan dipersembakan domba berkaki putih demikian juga dalam Atha Cathurtham Kandam (buku ke empat), sloka 14 dipersembahkan seekor kambing dalam bait satu sampai sembilan. Dari milyaran hewan hanya sepersekian persen saja yang terpilih menjadi hewan kurban, selebihnya mati karena menjadi santapan manusia, makanan binatang predator, karena usia tua, penyakit, dan penyebab lainnya.

Sri Rama dalam teks Ramayana ketika membangun pasraman di hutan menjadikan sepasang rusa sebagai hewan kurban.
Manusia sejatinya dapat membantu roh-roh rendah binatang untuk berevolusi menuju kelahiran yang lebih baik, dengan menjadikannya binatang tersebut sebagai hewan kurban.

Teks Atma Prasangsa ada menjelaskan sulitnya roh binatang ‘berevolusi’ ke kelahiran yang lebih baik, berikut kutipannya: “Kalingannya ikang atma papa kadyangganing wijining jawa rat, sigaren pinara pitu, lebokana ring sagara, durang ya alwi dadi jawa muwah. Mangkana ikang atma, yan sampun kapasuk dadi tiryak, lwirnya iris-iris poh, tetek lintah, wedit, cacing koricap, uler, sakwehing ginila-gilan kinilikang rat; leheng mandadi mrgga pasu, paksi, mina, sakweh tekang kumatap-kumitip, sang rumangkang sang sumangking”. (Atmaprasangsa 33b).
Artinya:
Keberadaan roh sengsara bagaikan butiran jemawut yang dipecah menjadi tujuh bagian lalu dibuang ke laut, kapankah ia akan dapat menyatu menjadi sebutir jemawut kembali. Demikianlah keberadaan sang roh, jika sudah terlanjur menjelma menjadi binatang (wujud rendah), di antaranya menjadi cacing kecil, lintah, kaki seribu, cacing koricap, ular, dan berbagai jenis binatang yang membuat orang geli dan jijik; (sedangkan) penjelmaan yang lebih baik dari itu menjadi binatang buruan, burung, ikan, dan berbagai jenis binatang lainnya, (kapankah ia akan menjelma kembali ke dalam wujud manusia?).

Selanjutnya, mari kita perhatikan doa memotong hewan kurban:
“Om ise pasupatih pasunam catur padamutu yo dwi padam nikritah sa yajnayam bha metu rajas posa yajna manam sacantam. Om pasu pasaya wihmahe sira cadaya dimahi tanto jiwah pracodayat”.
Artinya: ya Tuhan engkau penguasa atas hewan, baik yang berkaki empat maupun yang berkaki dua, atas perkenan dan berkahmu para pemotong hewan untuk upacara kurban suci ini, bersama orang yang telah berdana punia untuk yajnya ini memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan. Ya Tuhanku, hamba memotong hewan ini semoga rohaninya menjadi suci.
Dari doa ini kita dapat melihat bahwa manusia menjadikan hewan sebagai kurban yajnya dengan cinta kasih dan doa. Pembunuhan dengan kebencian harusnya dibedakan dari pembunuhan dengan cinta kasih dengan tujuan penyucian.

Hukum alam memaksa yang ada di dalamnya mengorbankan yang lain demi bertahan hidup. Rantai makanan dibuat untuk diikuti tertibnya. Manusia sebagai makhluk omnivora (pemakan segala) mesti menjalankan kodrat alam berdasarkan daya dukung pencernaan, kebutuhan fisik, dan keyakinannya masing-masing. Manusia secara kodrati melakukan ‘himsa’ (menyakiti) agar dapat bertahan hidup, meskipun hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan menjadi vegetarian. Manusia ini tetaplah ‘himsa’ karena menyakiti tanaman yang dimakannya. Coba saja perhatikan tanaman padi, manusia telah memupus kesempatan hidupnya dengan menjadikannya beras, bahkan akhirya membunuh kehidupan di dalam padi itu karena memakannya. Hal yang sama terjadi pada kacang, kentang, ketela, jagung dan lainnya.

Sudah barang tentu karena padi itu dibutuhkan oleh manusia sebagai bahan makanan, kelestariannya terjaga. Demikian juga binatang-binatang yang menjadi makanan manusia dan kurban yajnya kelestariannya pun tetap terjaga. Jika saja kita bijaksana dan memahami konsep yajnya dengan lebih cerdas, ekosistem akan tetap terjaga karena ada manusia yang membutuhkannya. Hutan dan isinya tetap dijaga, sebab dalam waktu-waktu tertentu kita membutuhkan sebagai sarana upacara. Yang dianggap merusak ekosistem adalah mereka yang mengambil tanpa pernah memelihara, hal seperti ini adalah kesalahan personal bukan kesalahan yajnya.

Jadi sepertinya kembali ke ajaran Veda yang mana bro???.....:D
note: ini saya ambil dari majalah Sarad Bali No. 99/ Tahun IX Juli 2008, kolom upakara.
 
bro tau gak sumber banten itu dari kitab/lontar mana?

Banten atau Upakara dalam Weda ada pada bagian Kalpa, dan di Bali dikenal "Wrhaspati Kalpa" yang merupakan sumber Pengetahuan/Budaya Hindu.

Kalpa merupakan bagian dari kitab Wedangga yang bersumber dari SMRTI.
 
Canang

Upakara dengan kwantitas terkecil yang disebut kanistan atau inti dari Upakara disebut “Canang”, untuk dapat mengambil semerti dari canang dapat diambil dari kata canang, yang berasal dari suku kata “Ca” yang artinya indah, sedangkan suku kata “Nang”, artinya, tujuan yang dimaksud (kamus Kawi-Bali). Dengan demikian maksud dan tujuan canang adalah, sebagai sarana bahasa Weda untuk memohon keindahan (Sundharam) kehadapan Sang Hyang Widhi.

Mengenai bentuk dan fungsi canang menurut pandangan ajaran Agama Hindu di Bali memiliki beberapa bentuk dan fungsi sesuai dengan kegiatan upacara yang dialaksanakan. Canang dapat dikatakan sebagai penjabaran dari bahasa Weda melalui simbul-simbulnya yaitu:

  1. Canang dialas dengan sebuah ceper, adalah sebagai simbul “Ardha Candra”, serta canang juga dialas dengan sebuah tamas kecil adalah sebagai simbul “Windhu”.
  2. Didalam ceper berisi sebuah porosan adalah sebagai simbul “Silih Asih”, dalam arti umat Hindu harus didasari oleh hati yang welas asih kehadapan Sang Hyang Widhi, demikian sebaliknya sebagai angugrah Beliau.
  3. Di dalam ceper juga berisi jajan, tebu dan pisang, adalah sebagai simbul “Tedong Ongkara”, menjadi perwujudan dari kekuatan, Utpeti, Stiti, dan Pralina dalam kehidupan di alam semesta ini.
  4. Di atas raka-raka tadi disusunkan sebuah sampian Urasari, adalah sebagai simbul kekuatan “Windhu” serta ujung-ujung sampian tersebut adalah sebagai simbul “Nadha”.
  5. Di atas sampian urasari disusunkan bunga-bunga dengan susunan sebagai berikut:

  • Bunga Putih disusunkan pada arah Timur sebagai simbul kekuatan Sang Hyang Iswara;
  • Bunga berwarna Merah disusunkan pada arah Selatan adalah sebagai simbul kekuatan Sang Hyang Brahma;
  • Bunga berwarna Kuning disusunkan pada arah Barat, adalah sebagai simbul kekuatan Sang Hyang Mahadewa;
  • Bunga berwarna Biru atau Hijau disusunkan pada arah Utara, adalah sebagai simbul kekuatan Sang Hyang Wisnu;
  • Kembang Rampai sisusunkan tepat ditengahnya adalah sebagai simbul kekuatan “Sang Hyang Panca Dewata”
Dengan demikian Canang adalah mengandung makna sebagai permohonan umat Hindu kehadapan Sang Hyang Widhi (berwujud Ongkara) bahwa umatnya memohon kekuatan untuk itu agar Beliau bermanifestasi menjadi kekuatan Ista Dewata.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.