• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

setuju ga un dihapus??

saran gw ini masukin ClD aja

kenapa UAN harus dihapus
gw rasa gak masalah
kalo UAN dihapus
setidaknya mesti dijalankan sesuai post judi
yaitu ujian lokal

pada dasarnya tujuan UAN itu gak salah
emang sih awalnya juga gw mikir
buat apa juga
hasil belajar 3 tahun ditentuka 3 hari
tapi ternyata gw sadari
kalo UAN thu
1.merangsang murid belajar
2.meningkatkan kualitas murid,
karena yang lulus adalah murid2 yang sudah melewati standart yang ditentukan pemerintah
3.memberi data pada pemerintah,
apakah pendidikan di indonesia sudah bagus
terus juga memberi data
mana daerah yang sudah cukup baik
dan mana daerah yang harus diberi perhatian lebih oleh pemerintah

mengenai kata2 "mana daerah yg hrs dberi perhatian"

sya rsa udh bbrapa tahun, apakah hrs trus ngecek?
jdi bs dkatakan dsini murid jdi kelinci percobaan donk?
 
^
dengan dijadikannya hal ini itu cuma sebatas sampai cek dan tidak dilanjutkan lagi proses berikutnya untuk meningkatkan kualitas................
sesuai kata andre666 ini dijadikan kelinci percobaan ada data nya namun tidak diproses(maka tidak ad output/inf) nya.................

jadi un ini menganggap smeua org diajar dgn fasilitas yg sama............
mnrt gw jauh lbh baik ujian lokal dilakukan oleh para guru yg bertukaran didaerah masing2 dan diperiksa manual..............(dilengkapi dgn syarat tidak boleh ad ampun bgi yg mencontek<klo mau liat skill asli murid>)
jadi sesuai kemampuan didaerah itu istilahnya dites oleh sekolah saingan jadi guru saningan pasti usahain seadil mgkn...............(atau sekolah lawan ini kalah)
 
sebenarnya yang jadi pikiran gw belakangan
kenapa malahan orang2 dari tempat2 yang notabene "berfasilitas" yang malahan protes mengenai UAN
logikanya,
mestinya anak2 daerah yang lebih rame
tapi nyatanya malah bukan mereka yang rame
mereka cuma dijadikan alasan buat meniadakan UAN
 
gw sih milih untuk UAN tetap ada :D
soalnya kalo nggak ada, diganti UAS dan UAS di sini jauh lebih susah dari UAN /wah
 
sebenarnya yang jadi pikiran gw belakangan
kenapa malahan orang2 dari tempat2 yang notabene "berfasilitas" yang malahan protes mengenai UAN
logikanya,
mestinya anak2 daerah yang lebih rame
tapi nyatanya malah bukan mereka yang rame
mereka cuma dijadikan alasan buat meniadakan UAN

iya juga sih yah...:D

mungkin buat bikin rasionalisasi akan kebiasaan anak sekarang yg lebih doyan main game Online dan Hang Out ke Mall:D
 
Bro and Sista, ada sedikit info nieh, dari negara Maju yang pendidikannya sudah diketahui bagus..

Ujian itu perlu atau tidak?
Pertanyaan ini selalu menjadi polemik di negara manapun antara memilih `melaksanakannya atau tidak, atau me-nasionalkannya atau me-lokalkannya.
Sistem ujian/ulangan sekolah-sekolah di Jepang menarik untuk kita cermati. Pendidikan dasar (shougakkou) tidak mengenal ujian kenaikan kelas, tetapi siswa yang telah menyelesaikan proses belajar di kelas satu secara otomatis akan naik ke kelas dua, demikian seterusnya. Ujian akhir pun tidak ada, karena SD dan SMP masih termasuk kelompok compulsoy education, sehingga siswa yang telah menyelesaikan studinya di tingkat SD dapat langsung mendaftar ke SMP.
Lalu bagaimana menilai mutu pendidikan ?
Tentu saja guru tetap melakukan ulangan sekali-sekali untuk mengecek daya tangkap siswa. Dan penilaian ulangan pun tidak dengan angka tetapi dengan huruf : A, B, C, kecuali untuk matematika. Dari kelas 4 hingga kelas 6 juga dilakukan test IQ untuk melihat kemampuan dasar siswa. Data ini dipakai bukan untuk mengelompokkan siswa berdasarkan hasil test IQ-nya, tetapi untuk memberikan perhatian lebih kepada siswa dengan kemampuan di atas normal atau di bawah normal. Perlu diketahui, siswa-siswa di Jepang tidak dikelompokkan berdasarkan kepandaian, tetapi semua anak dianggap `bisa` mengikuti pelajaran, sehingga kelas berisi siswa dengan beragam kemampuan akademik.
Compulsory Education di Jepang dilaksanakan dengan prinsip memberikan akses penuh kepada semua anak untuk mengenyam pendidikan selama 9 tahun (SD dan SMP) dengan menggratiskan tuition fee, dan mewajibkan orang tua untuk menyekolahkan anak (ditetapkan dalam Fundamental Law of Education). Untuk memudahkan akses, maka di setiap distrik didirikan SD dan SMP walaupun daerah kampung dan siswanya minim (per kelas 10-11 siswa). Orang tua pun tidak boleh menyekolahkan anak ke distrik yang lain, jadi selama masa compulsory education, anak bersekolah di distrik masing-masing.
Tentu saja mutu sekolah negeri di semua distrik sama, dalam arti fasilitas sekolah, bangunan sekolah, tenaga pengajar dengan persyaratan yang sama (guru harus memegang lisensi mengajar yang dikeluarkan oleh Educational Board setiap prefecture). Oleh karena itu mutu siswa SD dan SMP di Jepang yang bersekolah di sekolah negeri dapat dikatakan `sama`, sebab Ministry of Education mengondisikan equality di semua sekolah. Saat ini tengah digalakkan program reformasi yang memberi kesempatan kepada sekolah untuk berkreasi mengembangkan proses pendidikannya, tetapi tetap saja dalam pantauan MOE.
Di tingkat SMP dan SMA, sama seperti di Indonesia, ada dua kali ulangan, mid test dan final test, tetapi tidak bersifat wajib atau pun nasional. Di beberapa prefecture yang melaksanakan ujian, final test dilaksanakan serentak selama tiga hari, dengan materi ujian yang dibuat oleh sekolah berdasarkan standar dari Educational Board di setiap prefektur. Penilaian kelulusan siswa SMP dan SMA tidak berdasarkan hasil final test, tapi akumulasi dari nilai tes sehari-hari, ekstra kurikuler, mid test dan final test. Dengan sistem seperti ini, tentu saja hampir 100% siswa naik kelas atau dapat lulus.
Selanjutnya siswa lulusan SMP dapat memilih SMA yang diminatinya, tetapi kali ini mereka harus mengikuti ujian masuk SMA yang bersifat standar, artinya soal ujian dibuat oleh Educational Board di setiap prefektur. Di Aichi prefecture, SMA-SMA dikelompokkan dengan pengelompokan A, B.
Pengelompokan tersebut dibuat dalam proses memilih SMA. Setiap siswa dapat memilih satu sekolah di kelompok A dan satu sekolah di kelompok B. Jika si siswa lulus dalam kelompok A, maka secara otomatis dia gugur dari kelompok B. Dalam memilih SMA, siswa berkonsultasi dengan guru, orang tua atau disediakan lembaga khusus di Educational Board yang bertugas melayani konsultasi dalam memilih sekolah. Ujian masuk pun hampir serentak di seluruh Jepang dengan bidang studi yang sama yaitu, Bahasa Jepang, English, Math, Social Studies, dan Science. Di level ini siswa dapat memilih sekolah di distrik lain.
Seperti dipaparkan di atas, siswa SMA tidak mengikuti ujian kelulusan secara nasional, tetapi ada beberapa prefecture yang melaksanakan ujian. Penilaian kelulusan siswa berbeda di setiap prefecture. Mengingat angka drop out siswa SMA meningkat di tahun 1990-an, maka beberapa sekolah tidak mengadakan ujian akhir, jadi kelulusan hanya berdasarkan hasil ujian harian.
Untuk masuk universitas, siswa lulusan SMA diharuskan mengikuti ujian masuk universitas yang berskala nasional. Ini yang dianggap `neraka` oleh sebagian besar siswa SMA. Sebagian dari mereka memilih untuk belajar di juku (les privat, seperti di Indonesia) untuk dapat lulus ujian masuk universitas. Ujian masuk PT dilakukan dua tahap. Pertama secara nasional- soal ujian disusun oleh Ministry of Education, terdiri dari lima subyek, sama seperti ujian masuk SMA-, selanjutnya siswa harus mengikuti ujian masuk yang dilakukan masing-masing universitas, tepatnya ujian masuk di setiap fakultas. Skor kelulusan adalah akumulasi ujian masuk nasional dan ujian di setiap PT. Seperti halnya di Indonesia, skor hasil SMPTN tidak diumumkan, tetapi jawaban ujian diberitakan via koran, TV atau internet, sehingga siswa dapat mengira-ngira sendiri berapa total skor yang didapat. Siswa yang memilih Universitas dg skor tinggi, tapi ternyata skornya tidak memdai, dapat mengacu ke pilihan universitas ke-2. Namun jika skornya tidak mencukupi, maka siswa tidak dapat masuk universitas. Selanjutnya dia dapat mengikuti ujian masuk PT swasta atau menjalani masa ronin (menyiapkan diri untuk mengikuti ujian masuk di tahun berikutnya) di prepatory school (yobikou)
Penilaian mutu pendidikan di Jepang, dengan kata lain dilakukan dengan menstandarkan ujian masuk SMA dan PT, tentu saja sistem ini bisa berjalan karena pemerintah di Jepang pun berusaha maksimal untuk menyamakan kondisi public education-nya, dalam arti menyediakan infrastruktur yang sama untuk setiap jenjang pendidikan di daerah.
Saat ini gaung otonomi daerah makin kencang di Jepang, seberapa besar tarik ulur antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam sektor pendidikan menjadi salah satu pengamatan yang menarik bagi saya pribadi. Nuansa kebebasan untuk mengembangkan pendidikan berdasarkan potensi dan karakter daerah sangat kental terlihat ketika kami mempelajari sekolah di negara Jepang
Di Negara manapun ada Ujian. Jepang-pun mengadakan ujian kok untuk menentukan kelulusan murid-muridnya. Tapi, standar nilainya dilihat dari nilai ke-seharian pula, gak cuman nilai tes-nya.
Sekarang tinggal pikir sendiri, mo lulus dengan tes beberapa kali saja, atau lebih memilih lulus dengan melihat keseluruhan nilai kita selama sekolah?
Gak ada yang salah dengan ujian kok, yang salah itu yang gak mau belajar saat udah mau ujian! :D
 
^
^
^
^
Bener sih memang Ujian Negara itu harus ada toh sebenarnya ada UAN itu kan untuk meningkatkan SDM ke Level Nasional tapi tergantung pribadinya juga kan maunya jujur apa nggak... sebenarnya soal UAN nggak susah sih... mungkin gw yg dari skul swasta malah blang UAS itu jauh lbih susah...
Makanya sperti di iklan Cerebrovort :
Pingin sukses? MAKANYA BELAJAR !!! /gg

itu aja kuncinya, pasti bisa kok
 
Inilah Indonesia, karena kemalasan yang mendalam sehingga membuat pelajar untuk malas belajar.
bisa jadi UN di hanggap beberapa golongan masyarakat sebagai malaikat penyabut nyawa, karena kenapa peserta UN yang gagal pasti akan depresi dan akhirnya mengakhiri hidupnya secara instant maupun tidak =)
 
Assalammualaikum.Wr.Wb

Menurut gw bagusnya UN dihapuskan karena, selama 3 tiga tahun susah2 belajar berbagai macam mata pelajaran. Masa harus ditentukan dalam lima hari ujian untuk menetukan layk atau tidaknya meneruskan ke jejang yang lebih tinggi lagi. Tapi bukan maksudnya UAS gak penting, UAS tetap penting tapi yang selalu menjadi prioritas pembicaraan adalah UN. Lagian banyak juga S1 yang menganggur tidak ada kerjaan karena Mereka hanya sarjana yang hanya sekedar mengincar gelar, namun tidak memiliki skill yang diperoleh dari mata pelajaran kuliahnya, banyak juga orang sukses tapi tidak sesuai dengan gelar yang disandang. Misalnya Sarjana Hukum, sukses dalam perusahaan ekspedisi. Jadi seharusya gak usah di adain aja UNnya...
 
ga setuju, biar para siswa ada usaha untuk lulus. jd ga meremehkan mata pelajaran yg diberikan oleh guru2nya...
 
Assalammualaikum.Wr.Wb

Menurut gw bagusnya UN dihapuskan karena, selama 3 tiga tahun susah2 belajar berbagai macam mata pelajaran. Masa harus ditentukan dalam lima hari ujian untuk menetukan layk atau tidaknya meneruskan ke jejang yang lebih tinggi lagi. Tapi bukan maksudnya UAS gak penting, UAS tetap penting tapi yang selalu menjadi prioritas pembicaraan adalah UN. Lagian banyak juga S1 yang menganggur tidak ada kerjaan karena Mereka hanya sarjana yang hanya sekedar mengincar gelar, namun tidak memiliki skill yang diperoleh dari mata pelajaran kuliahnya, banyak juga orang sukses tapi tidak sesuai dengan gelar yang disandang. Misalnya Sarjana Hukum, sukses dalam perusahaan ekspedisi. Jadi seharusya gak usah di adain aja UNnya...

Nah itu dia....
gak semua orang mempunyai kemampuan untuk mengerjakan UAN yg merupakan rangkuman 3tahun pelajaran Walaupun sudah belajar dengan sungguh2, apakah dia ga deserve untuk lulus?
 
Assalammualaikum.Wr.Wb

Menurut gw bagusnya UN dihapuskan karena, selama 3 tiga tahun susah2 belajar berbagai macam mata pelajaran. Masa harus ditentukan dalam lima hari ujian untuk menetukan layk atau tidaknya meneruskan ke jejang yang lebih tinggi lagi. Tapi bukan maksudnya UAS gak penting, UAS tetap penting tapi yang selalu menjadi prioritas pembicaraan adalah UN. Lagian banyak juga S1 yang menganggur tidak ada kerjaan karena Mereka hanya sarjana yang hanya sekedar mengincar gelar, namun tidak memiliki skill yang diperoleh dari mata pelajaran kuliahnya, banyak juga orang sukses tapi tidak sesuai dengan gelar yang disandang. Misalnya Sarjana Hukum, sukses dalam perusahaan ekspedisi. Jadi seharusya gak usah di adain aja UNnya...

kalo sudah belajar 3 Tahun dan gitu gak pake tinggal kelas berarti nilai standarlah kan....
Pasti luluslah....Yang bikin murid2 pinter gak lulus kan cuma karena mental dia...
Bisa jadi meremehkan,Atau benar - benar ketakutan....
UAN simple kok nilai diatas 6 dah lulus....
Masa 6 aja gak dapet sih percuma dong 3 tahun belajar nilai 6 gak dapat...
kecuali selama 3 tahun naik kelas ada tanda kutipnya ya....itu sama aja boong dong....

Untuk para S1 yang kurang dapat pekerjaan...
1.Jujur aja banyak loh S1 yang meremehkan kesusahan cari kerja...
2.Kebanyakan S1 hanya ingin menjadi karyawan...bisa ditanyakan pada anak2 kuliahan yang mo lulus...di Otak mereka tuh ya "Ga mungkin gw membuat usaha","Dah ah gw maunya jadi karyawan biasa aja" kata2 seperti itu sendiri ada di kelas gw.Dalam otak gw,mereka calon2 S1 Informatika,jurusan yang diminati kedua setelah kedokteran...hanya ingin menjadi karyawan biasa ?gemana ga numpuk karyawan....
dll....
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.