• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Sabda Palon Naya Genggong

goesdun

IndoForum Junior A
No. Urut
32661
Sejak
7 Feb 2008
Pesan
3.022
Nilai reaksi
66
Poin
48
SABDA PALON NAYA GENGGONG

Pupuh Sinom:

1). Pada sira ngelingana
Carita ing nguni-nguni
Kang kocap ing serat babad
Babad nagri Mojopahit
Naika duking nguni
Sang-a Brawijaya Prabu
Pan Samya pepanggihan
Kaliyan Njeng Sunan Kali
Sabda Palon Naya Genggong rencangira

Artinya :
Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang Negara Mojopahit, Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong.

2). Sang – a Prabu Brawijaya
Sabdanira arum manis
Nuntun dhateng punakwan
“Sabda palon paran karsi”
Jenengsun sapuniki
Wus ngrasuk agama Rosul
Heh ta kakang manira
Meluwa agama suci
Luwih becik iki agama kang mulya

Artinya:
Prabu Brawijaya berkata lemah-lembut kepada punakawannya: “Sabda palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu. Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik.

3). Sabda Palon matur sugal,
“Yen kawula boten arsi,
Ngrrasuka agama Islam
Wit kula puniki yekti
Ratuning Dang Hyang Jawi
Momong marang anak putu,
Sagung kang para Nata,
Kang jemeneng Tanah Jawi,
Wus pinasthi sayekti kula pisahan”.

Artinya:
Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tidak masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dah Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah Jawa. Sudah digariskan kita harus berpisah.

4). Klawan Paduka sang Nata,
Wangsul maring sunya ruri,
Nung kula matur petungna,
Ing benjang sakpungkur mami,
Yen wus prapta kang wanci,
Jangkep gangsal atus tahun,
Wit ing dinten punika,
Kula gantos kang agami,
Gama Budha kula sebar tanah Jawa.

Artinya:
Berpisah dengan Sang Prabu kembali keasal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Buda lagi (maksudnya kawruh budhi/pengetahuan budhi), saya sebar seluruh tanah Jawa.

5). Sinten tan purun nganggeya,
Yekti kula rusak sami,
Sun sajeken putu kula,
Berkasakan rupi-rupi,
Dereng lega kang ati,
Yen during lebur atempur,
Kula damel pratandha,
Pratandha tembayan mami,
Hardi Merapi yen wus rijeblug mili lahar.

Artinya:
Bila tidak ada yang mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya..

6). Ngidul ngilen purugina,
Ngganda banger ingkang warih,
Nggih punika medal kula,
Wus nyebar Agama Budi,
Merapi janji mami,
Anggereng jagad satuhu,
Karsanireng Jawata,
Sadaya gilir gumanti,
Boten kenging kalamunta kaowahan.

Artinya:
Lahar tesebut mengalir ke barat daya. Baunya tidak sedap. Itulah pratanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Budha (maksudnya kawruh budhi/pengetahuan budhi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus berganti. Tidak dapat bila dirubah lagi.

7). Sanget-sangeting sangsara,
Kan tuwuh ing tanah Jawi,
Sinengkalan tahunira,
Lawon Sapta Ngesthi Aji,
Upami nyabrang kali,
Prapta tengah-tengahipun,
Kaline bajir bandhang,
Jerone ngelebne jalmi,
Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.

Kelak waktunya paling sengsara di tanah jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesti Aji (1.878 atau 1.877). Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang ditengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.


8). Bebaya ingkang tumeka,
Warata sa Tanah Jawi,
Ginawe kang paring gesang,
Tan kenging dipun singgahi,
Wit ing donya puniki,
Wonten ing sakwasanipun,
Sadaya pra Jawata,
Kinarya amertandhani,
Jagad iki yekti anak akng akarya.

Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.

9). Warna-warna kang bebaya,
Angrusaken Tanah Jawa,
Sagung tiyang nambut karya,
Pamedal boten nyekapi,
Priyayi keh beranti,
Sudagar tuna sadarum,
Wong glidhik ora mingsra,
Wong tani ora nyukupi,
Pametune akeh serna aneng wana,

Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.

10). Bumi ilang berkatira,
Ama kathah ingkang ilang,
Cinolong dening sujanmi,
Pan sisaknya nglangkungi,
Karana rebut rinebut,
Risak tetaning janma,
Yen dalu grimis keh maling,
Yen rina-wa kathah tetiyang ambegal.

Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang mnyerang. Kayupun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tetapi bila siang hari banyak begal.

11). Heru hara sakeh janma,
Rebutan ngupaya bukti,
Tan ngetang angering praja,
Tan tahan perihing ati,
Katungka praptaneki,
Pageblug ingkang linangkung,
Lelara ngambra-ambra.
Waradin saktanah Jawi,
Enjing sakit sorenya sampun pralaya.

Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan Negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut masih berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia.

12). Kasandung wohing pralaya,
Kaselak banjir ngemasi,
Udan barat salah mangsa,
Angin gung anggegirisi,
Kayu gung brasta sami,
Tinempuhing angina angun,
Katah rebah amblasah,
Lepen-lepen samya banjir,
Lamun tinon pan kados samodra bena.

Bahaya penyakit luar biasa. Disana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir, sehingga bila dilihat persis lautan pasang.

13). Alun minggah ing daratan,
Karya rusak tepis wiring,
Kang dumunung kering kanan,
Kajeng akeh ingkang keli,
Kang tumuwuh apinggir,
Samya kentir trusing laut,
Sela geng sami brasta,
Kabalebeg katut keli,
Gumalundhung gumludhug suwaranira.

Seperti lautan meluap arinya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri, Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan bergemuruh suaranya.


14). Hardi agung-agung samya,
Huru-hara nggeririsi,
Gumleger suwaranira,
Lahar wutah kanan kering,
Ambleber angelelebi,
Nrajang wana lan desagung,
Manugsanya keh brasta,
Kebo sapi samya gusis,
Surna gempang tan wenten mangga puliha.

Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap kekanan serta kekiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.


15). Lindu ping pitu sedina,
Karya sisahing sujanmi,
Sitinipun samya nela,
Brekasakan kang ngelesi,
Anyeret sagung janmi,
Manungsa pating galuruh,
Kathah kang nandhang roga,
Warna-warni ingkang sakit,
Awis waras akeh kang praptng pralaya,


Gempa bumi 7 kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia masuk ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.


16). Sabda Palon nulya mukswa,
Sakedhap boten kaeksi,
Wangsul ing jaman limunan,
Langkung ngungun Sri Bupati,
Njegreg tan bisa angling,
Ing manah langkung gegetun,
Keduwung lepatira,
Mupus karsaning Dewadi,
Kodrat itu sayekti tan kena owah.

Artinya:
Demikian kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang sebentar tidak tampak lagi dirinya. Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin dirobah lagi.


-------
Kidung Pupuh Sinom ini masih sering dinyajikan bahkan diyakini di tanah Jawa maupun di tanah Bali.


Apakah menceritakan suatu kejadian yang pernah terjadi atau suatu janji yang sedang ditunggu?
 
Salah mereka

Bahwa sesungguhnya Hyang Widhi menurunkan agama Hindu Bali di nusantara..leluhur2 kita susah payah menerima,menjalankan, dan menjunjung agama anugerah Tuhan..tapi sebagian besar leluhur2 orang Jawa dengan bangga telah melepas agama Hindu Bali..aneh!Melakukan kesalahan tapi bangga!Kalo sekarang ramalan dan kutukan itu terjadi saya rasa itu hal yang wajar..sebuah bangsa yag tidak tahu terima kasih kpd Tuhan dan leluhurnya memang kehancuran yg pantas utk mereka..bersyukurlah kita tetap teguh memeluk dan memegang teguh agama Hindu Bali!
 
perlu belajar dari masa lalu

BANGSA PERLU BELAJAR DARI MASA LALU
bangsa ini tak akan pernah maju bila:
1. ia lupa akan leluhurnya (ayah,ibu,nenek moyang,tanahnya dan pemerintahan)
2. dia lupa akan tanah kelahirannya
3.dan dia lupa akan tuhannya.....

yang dituliskan akan terjadi, AKU RINDU KEJAYAAN MASA LALU:D


>:D<
 
Tapi, adanya bangsa lain, budaya lain,dan agama lain pun atas Kehendak Hyang Widhi kan, Jadi?
 
@ goesdun

baca postingan saudara
saya jadi ingat ma kisah yang termuat dalam SERAT DHARMO GANDUL

oh ya omong2 lumpur LAPINDO da hubungan ga ma Sabdo Palon ?
 
@ goesdun

baca postingan saudara
saya jadi ingat ma kisah yang termuat dalam SERAT DHARMO GANDUL

oh ya omong2 lumpur LAPINDO da hubungan ga ma Sabdo Palon ?

Terkait Lapindo saya tidak dapat memastikannya ada/tidak hubungannya.

@sakradeva tentu dapat menyimpulkannya (ada/tidak hubungannya) dari Serat Dharmo Gandul Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya dalam ungkapannya dikatakan :

…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.

Artinya : (“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”)
 
Apa cuman buta di tanah jawa doanks?

Kayu pangancing kandang itu artinya apa?
 
Apa cuman buta di tanah jawa doanks?

Kayu pangancing kandang itu artinya apa?

Sebagai ramalan juga, tentunya ini hanya berlaku untuk tanah Jawa.

Palon = "Kayu Pangancing Kandang" arti kiasnya "sebagai pedoman hidup" dalam bentuk karya sastra Kidung Pupuh Sinom yang langgeng selamanya.

Palon dapat diartikan sebagai Juru Kunci secara umum, sama halnya juru kunci kuburan atau gunung. Sedangkan Palon adalah Juru Kunci suatu Kerajaan/Bangsa.
 
Tapi, adanya bangsa lain, budaya lain,dan agama lain pun atas Kehendak Hyang Widhi kan, Jadi?

Apakah pemerkosaan, perampokan, terorisme, dll. adlh kehendak Tuhan?
kalo Ia yng berkehendak lalu mengapa Ia sendiri yang melarang?

Tuhan memberi bahan2 tapi manusia dengan akal pikirannya yg membentuk bahan2 tsb..

kalo suatu bangsa belum beragama dan kemudian masuk agama itu adl sebuah anugerah..
tapi kalo sebuah bangsa yg telah menerima anugerah berupa agama dari Tuhan dan kemudian mencampakkanya dan pindah ke agama lain adl petaka..
 
Kiranya perlu selayang pandang pada bagian tersebut menurut sejarah yang dibuat selama jaman Belanda yang telah lampau, maka ada dikatakan bahwa Raden Fatah yang membunuh ayahnya karena berhubungan dengan adanya pertentangan agama.

Tapi kalau difikir secara bijaksana, adakah seorang turunan bangsawan yang berdarah luhur dapat melakukan perbuatan yang melanggar hokum perikemanusiaan dengan cara meliwati batas yang begitu jauh sekali, yaitu seorang anak membunuh ayahnya sendiri?
Disamping itu Raden Fatah seorang penganut Islam yang setia.

Sementara sebagai bukti tentang kebenarannya bahwa Sultan Fatah bukan penyerang Kerajaan Mojopahit, maka pelajaran sejarah saat ini (selama Indonesia Merdeka) yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar menyatakan “Tahun 1478 Mojopahit jatuh, karena diserang oleh balatentara Giridrawardono (Kediri). Sribaginda melarikan dir hinga sampai wafat di Tanah Bali (Bali Dwipa), dan pusaka-pisaka keraton diselamatkan oleh Raden Fatah. Beliau putera Raja Majapahit yang terakhir, lahir dari Putri Campa (Dara Petak). Sampai di sini selesailah sejarah Kerajaan Majapahit.

Berhubung dengan adanya gerakan dari para wali dengan Raden Fatah yang telah membuat tamatnya Kerajaan Hindu di Jawa, yang waktu itu masih tersisa adalah Kerajaan Blambangan di Jawa Timur (hal ini karena Blambangan masih kekuasaan Kerajaan Bali).

Susunan Raja-Raja dari Kerajaan Mojopait itu, dari awal sampai akhir yaitu mulai dari berdiri hingga keruntuhannya, hanya 7 kali turunan, ialah:

  • Raja Browijoyo I = Joko Sesuruh atau R.Wijaya
  • Raja Browijoyo II = Jayanegara atau Prabu Anom
  • Raja Browijoyo III = Adiningkung
  • Raja Browijoyo IV = Hyamwuruk
  • Raja Browijoyo V = Lembu Aminisani
  • Raja Browijoyo VI = Brotanjung
  • Raja Browijoyo VII = Raden Alit ayah dari Raden Fatah.
Dalam serat Dharmagandhul pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon di Blambangan.
Pertemuan terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam.

Karena Sabdo Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya (Raden Alit) mereka berpisah.
Sebelum perpisahan terjadilah ucapan-ucapan seperti pada Kidung Pupuh Sinom di atas.


Inilah sebagai tindak lanjut ceritanya :

Sembah sujud hamba ke hadapan Ida Sanghyang Darma Kawi dan para leluhur (dewata-dewati), yang telah melimpahkan kesejahtraan dan ketentraman sehingga tercapai tujuan hamba untuk menceritakan seseorang yang berasal dari brahmana putra.

Ada seorang brahmana bernama Mpu Bajra Satwa (Mpu Wiradarma), putra Mpu Tanuhun. Mpu Wiradarma disebut juga Danghyang Mahadewa. Beliau adalah seorang bhramana wangsa yang sangat terkenal dengan ilmu kependetaan, ilmu kerohanian, dan memahami tatwa-tatwa lainnya. Mpu Bajra Satwa berputrakan tiga orang, yaitu: (1) Mpu Tanuhun; (2) Mpu Lampita; (3) Mpu Adnyana.

Mpu Tanuhun berputrakan dua orang, yaitu Mpu Kahuripan dan Mpu Bradah.
Mpu Bradah berputrakan Mpu Bahula Candra, yang kemudian menikah dengan Diah Ratna Manggali putri dari Walu Nateng Jirah. Dari perkawinan tersebut lahir dua orang putra dan empat orang putri, yang putra bernama :
1. Mpu Tantular, pengarang Sutasoma
2. Mpu Siwa Bandu, setri Betari Giri Dewi, juga menjadi Bhagawanta di Kerajaan Deha

Mpu Tantular mempunyai 5 orang putra, masing-masing bernama:
(1) Danghyang Asmaranata;
(2) Danghyang Sidimantra;
(3) Danghyang Panawasikan,
(4) Danghyang Kresna Kapakisan,
(5) Mpu Siwa Raga.


Danghyang Semaranata (Asmaranata) berputra 2 orang yaitu:

a. Mpu Angsoka, berputra seorang bernama Mpu Astapaka, menurunkan Brahmana Buddha di Bali

b. Pedanda Sakti Wawu Rauh (Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra), ke Bali tahun 1489 M, menurunkan :

  • Brahmana Kemenuh wijiling setri – Deha / Jawa
  • Brahmana Manuaba wijiling setri – Pasuruhan / Jawa
  • Brahmana Keniten wijiling setri – Blambangan / Jawa
  • Brahmana Mas wijiling setri – Okan Bendesa Mas / Bali
  • Brahmana Petapan wijiling setri – Pelayan Okan Bendesa Mas (Ni Brit dan Ni Petapan) / Bali


Danghyang Sidimantra berputra bernama Ida Manik Angkeran.
Ida Manik Angkeran berputra 3 orang, masing-masing bernama :
1. Ida Banyak Wide, menurunkan Arya Bang Pinatih
2. Ida Tulus Dewa, menurunkan Arya Bang Sidemen, seorang kumpi dari Ida Tulus Dewa (Perempuan) kawin dengan Arya Dauh, menurunkan Arya Dauh

Danghyang Kresna Kepakisan diangkat menjadi junjungan oleh Gajah Mada, yang kemudian mempunyai 3 orang putra dan seorang putri. Ketiganya ditugaskan oleh Gajah Mada untuk memimpin umat di desa-desa. Yang tersulung ditempatkan di Blambangan, yang kedua di Pasuruan, dan yang ketiga seorang putri ditempatkan di Sumbawa yang akhirnya disuruh ke tanah Bali.
Putra Danghyang Kresna Kepakisan yaitu :
1. Dalem Wayan menjadi Dalem di Blambangan
2. Dalem Made menjadi Dalem di Pasuruhan
3. Dalem Nyoman Sukania menjadi Dalem di Sumbawa (Perempuan)
4. Dalem Ketut Kresna Kepakisan menjadi Dalem di Bali, bekedudukan di Samprangan, ke Bali tahun 1350 M berputra 5 orang ( Dalem Tarukan, A.A. Anom Sudira Pering):
a. Sri Agra Samprangan (Dalem Ile) menjadi Dalem Samprangan (hanya sebentar)
b. Dalem Tarukan menurunkan Warga Pulasari
c. Dalem Nyoman (tidak disebutkan namanya)
d. Dalem Ketut Nglesir diangkat menjadi Dalem Gelgel yang pertama tahun 1380 – 1460 Masehi. Dalem Ketut Nglesir inilah yang menurunkan Dalem Klungkung.
e. Dalem Tegal Besung (beribu putri Arya Gajah Para)

Dari uraian di atas semoga dapat diperjelas bahwa Brawijaya yang dimaksud adalah Raja Browijoyo VII = Raden Alit ayah dari Raden Fatah.
 
Saya tidak dapat menyimpulkan bli?

Kalau menyusuri sejarah maka tahun 1478 Mojopahit jatuh.
Kerajaan di Jawab Timur yang masih bertahan adalah Blambangan, hingga akhirnya Pedanda Sakti Wawu Rauh (Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra), ke Bali tahun 1489 M.

Dalam hal ini yang dimaksud Sabda Palon di tanah Jawa adalah Pedanda Sakti Wawu Rauh (Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra).
 
Kalau menyusuri sejarah maka tahun 1478 Mojopahit jatuh.
Kerajaan di Jawab Timur yang masih bertahan adalah Blambangan, hingga akhirnya Pedanda Sakti Wawu Rauh (Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra), ke Bali tahun 1489 M.

Dalam hal ini yang dimaksud Sabda Palon di tanah Jawa adalah Pedanda Sakti Wawu Rauh (Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra).

Ya Tuhan!!! Yg bener bro..
Sabda Palon adl Dang Hyang Dwijendra???
waduh kutukan beliau sangat makbul alias pasti akan terjadi!
sumpah gw sgt terkejut...
 
hah...:-O

klo Sang Hyang Dwijendra kata bonyok gw orang yang sangat sakti yaaa?.
wah klo dia ngomong gitu gmana yaa??.

oh iya Beliau juga kan yang membuat nama Bali?.
 
Hmmmmmmmmm.....
Sabdo Palon = Danghyang Dwijendra ???
emang sih hal ini masih jadi perdebatan
tapi ada sumber yg menyatakan (waduh gw lupa.........)
bahwa Sabdo Palon Moksha setelah memberi kutukan ...... ???

oh ya ada yg udah baca Dwijendra Tattwa ga, mungkin disana diceritakan lebih detail silsilah beliau dan perjalanan beliau ke Bali
 
Dwijendra Tatwa, pake bahasa bali ato sanskreta, wah klo itu mah dicari juga percuma, mending di translate ke Indo trus di bawa ke forum

ada yang mau membantu? (he.he.. gw ngomong aje, bantunya ga mau)
 
Ya Tuhan!!! Yg bener bro..
Sabda Palon adl Dang Hyang Dwijendra???
waduh kutukan beliau sangat makbul alias pasti akan terjadi!
sumpah gw sgt terkejut...

Saya menyimpulkan dalam persfektif catatan sejarah, tapi pemahaman niskala saya percaya bahwa sampai saat ini Dang Hyang Dwijendra masih berpijak di tanah Jawa dan Bali.

Blambangan pada saat itu masih dalam kekuasaan Pedanda Sakti Wawu Rauh (Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra), artinya memberi waktu Bali Hindu dalam ruang nafas politik. Disamping belum ada kerajaan Islam yang kuat di Jawa sampai kemunculan Mataram, yang mulai pada akhir abad 16, hampir seratus tahun setelah keruntuhan Majapahit.

Sementara Mataram mampu mengusir orang-orang Bali dari Belambangan secara temporer, Gelgel dan kerajaan penerusnya tetap kuat yang membuat invasi ke Bali menjadi sulit, dengan atau tanpa dukungan Belanda.

Bahkan Bali, diwakili oleh Buleleng atau Mengwi + bantuan prajurit Tabanan mampu menguasai sebagian Jawa Timur.
Karangasem menguasai Lombok. Ketika Dalem Samprangan berkuasa, kekuasaannya meliputi Sumbawa. Bahkan Bali pernah mempersiapkan diri untuk menyerang Mataram.


Dari Masa ke Masa akhirnya "Bali For The World"

Bali dengan masyarakat dan budaya yang unik dipastikan bukanlah satu wilayah migrasi yang baru tumbuh. Keseharian masyarakat Bali dengan budaya yang senantiasa menampilkan warna budaya lokal menunjukkan bahwa perjalanan Bali telah melewati alur sejarah yang panjang. Berbagai temuan arkeologi di berbagai wilayah Bali membuktikan perjalanan panjang Pulau Bali berbarengan dengan wilayah dan negara lain.

Sebagaimana dengan wilayah lain di Nusantara, masa-masa awal kehidupan bermasyarakat di Bali dikelompokkan sebagai jaman pra sejarah. Pada masa pra sejarah ini tidak ditemukan catatan-catatan yang menggambarkan tatanan kehidupan bermasyarakat. Yang menjadi acuan adalah temuan berbagai peralatan yang dipergunakan sebagai sarana menopang kelangsungan hidup manusia Bali ketika itu.

Dari berbagai temuan masa pra sejarah itu, jaman pra sejarah Bali - sebagaimana dengan kebanyakan wilayah lain - meliputi tiga babak tingkatan budaya. Lapis pertama adalah masa kehidupan yang bertumpu pada budaya berburu. Secara alamiah, berburu adalah cara mempertahankan kelangsungan hidup yang amat jelas dan mudah dilakukan. Dengan alat-alat sederhana dari bahan batu, yang peninggalannya ditemukan di daerah Sembiran di Bali utara dan wilayah Batur, manusia Bali diperkirakan mampu bertahan hidup. Peninggalan peralatan sejenis yang lebih baik, dengan menggunakan bahan tulang, ditemukan pula di gua Selonding di daerah Bulit, Badung Selatan. Ini menunjukkan bahwa masa berburu melewati masa cukup panjang disertai dengan peningkatan pola pikir yang makin baik.

Masih berdasar pada temuan benda-benda purbakala, tergambar bahwa Bali mulai meninggalkan masa berburu dan masuk pada masa bercocok tanam. Kendati sudah memasuki tatanan hidup yang lebih terpola pada masa bertanam, kelompok manusia Bali pada masa itu dipastikan hidup secara berpindah. Berbagai peninggalan sejenis ditemukan sebagai temuan lepas di berbagai wilayah Bali barat, Bali utara, dan Bali selatan. Tatatan hidup dengan permukiman diyakini sebagai peralihan tatanan hidup manusia Bali dari jaman pra sejarah ke jaman sejarah. Peninggalan purbakala berupa nekara perunggu dan berbagai barang dari bahan logam di daerah Pejeng Gianyar, membuktikan bahwa kala itu telah terbentuk tatanan masyarakat yang lebih terstruktur.

Berbarengan dengan peralihan jaman pra sejarah ke jaman sejarah, pengaruh Hindu dari India yang masuk ke Indonesia diperkirakan memberi dorongan kuat pada lompatan budaya di Bali. Masa peralihan ini, yang lazim disebut sebagai masa Bali Kuno antara abad 8 hingga abad 13, dengan amat jelas mengalami perubahan lagi akibat pengaruh Majapahit yang berniat menyatukan Nusantara lewat Sumpah Palapa Gajah Mada di awal abad 13. Tatanan pemerintahan dan struktur masyarakat mengalami penyesuaian mengikuti pola pemerintahan Majapahit. Benturan budaya lokal Bali Kuno dan budaya Hindu Jawa dari Majapahit dalam bentuk penolakan penduduk Bali menimbulkan berbagai perlawanan di berbagai daerah di Bali. Secara perlahan dan pasti, dengan upaya penyesuaian dan percampuran kedua belah pihak, Bali berhasil menemukan pola budaya yang sesuai dengan pola pikir masyarakat dan keadaan alam Bali.

Model penyesuaian ini kiranya yang kemudian membentuk masyarakat dan budaya Bali yang diwarisi kini menjadi unik dan khas, menyerap unsur Hindu dan Jawa Majapahit namun kental dengan warna lokal.
Pola perkembangan budaya Bali di masa-masa berikutnya, jaman penjajahan dan jaman kemerdekaan, secara alamiah mengikuti alur yang sama yaitu menerima pengaruh luar yang lebur ke dalam warna budaya lokal.
Ketika Hindu berjaya pada jaman Majapahit, unsur niskalanya pasti ada.
Tetapi karena unsur sekala diabaikan, maka Hindu runtuh dengan mudah.
Majapahit runtuh lebih karena keyakinan asing yang diterima tanpa reserve oleh penguasa dan juga kawula yang beritikad baik dan sangat toleran tetapi tidak waspada.
 
@goesdun

Pantesan waktu gw baca silsilah yg telah disampaikan sebelumnya ada yg aneh...
gw gak nyangka bro..
Setau gw orang2 suci yang diperintahkan Tuhan seperti Dang Hyang Dwijendra memiliki sebuah kesaktian yg tidak dimiliki oleh orang2 biasa dan tidak dapat diperoleh melalui tapa macam apapun..kesaktian ini disebut "Siddhi Ucap-ucapan"..
untung leluhur kita waktu itu gak pindah agama ya..kalo gak bisa kena kutuk Sabda Palon juga kita!
 
Danghyang Nirartha

Danghyang Nirartha

Danghyang Nirartha merupakan tokoh pembaharuan di dalam ajaran dan kemasyarakatan Hindu di Bali. Beliau berasal dari Majapahit.

Pada mulanya Beliau adalah menganut Agama Buddha, tetapi setelah sampai di Bali beliau beralih ke Agama Ciwa.

Kedatangan beliau ke Bali pada akhir abad ke XV bersama dengan pudarnya kerajaan Majapahit. Danghyang Nirartha menjadi guru dan bhagawantha dari Dalem Waturenggong, salah seorang raja di Bali yang mempunyai kekuasaan ke Sumbawa, dan Goa (Sulawesi Selatan), serta Pasuruan, dan Blambangan di Jawa Timur.

Danghyang Nirartha dalam perjalanan ke Sumbawa dan Lombok melakukan Tirta Yatra di Sumbawa. Di Sumbawa beliau dikenal dengan nama Tuan Semeru, sedangkan di Lombok beliau dikenal dengan nama Sang Upati.

Jasa-jasa Danghyang Nirartha yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Menegaskan kembali Keesaan Ida Sanghyang Widhi, dan pembuatan Padmasana. Dengan dimasyarakatkannya ajaran agama sehingga seluruh rakyat ikut aktif menghayati dan mengamalkan agama melalui kordinasi desa-desa adat pada waktu zaman Mpu Kuturan, maka pada setiap desa terdapat banyak Pura yang bersifat fungsional. Tuhan, Ida Sanghyang Widhi dipuja dalam berbagai fungsi. Fungsi-fungsi itu di antaranya sebagai penguasa kemakmuran dengan puranya Pura Ulun Siwi, sebagai penguasa pasar dengan Pura Melantingnya, dan berbagai jenis pura lainnya sesuai dengan profesi dan kebutuhan umatnya. Dengan demikian tampaknya ada kekaburan, seolah-olah Tuhan itu banyak, lebih-lebih bangunan pelinggih untuk memuja Ida Sanghyang Widhi Yang Tunggal itu tidak ada dibuat secara permanen, melainkan baru dibuat pada waktu upacara yang bersifat sementara, yang dikenal dengan Sanggar Surya. Bila upacara selesai maka sanggar darurat ini dicabut. Sanggar ini biasanya dibuat dari bambu atau pohon pinang. Oleh karena itu Danghyang Nirartha menganjurkan membuat Padmasana pada setiap komplek Pura maupun pemerajan (sanggah) sebagai pemujaan Sanghyang Ciwa Raditya, Ida Sanghyang Widhi yang tunggal yang sinar Beliau sebagai matahari.

2. Danghyang Nirartha memperkenalkan kembali ajaran Ciwa Siddhanta dengan pemujaan Trimurti dan Tri Purusanya. Dalam ajaran ini, Ciwa atau Sanghyang Widhi sebagai pencipta dan penguasa Tribhuana (dunia bawah, tengah, dan atas) dipuja dalam wujud Tri Purusa. Pada saat Ida Sanghyang Widhi mengatur dunia bawah, alam manusia Beliau disebut Dewa Ciwa, pada saat beliau mengatur dunia tengah, yaitu alamnya dewa-dewa Beliau disebut Sadha Ciwa, dan pada saat Beliau berada di alam atas (non aktif) beliau disebut Parama Ciwa. Jadi Tri Purusa adalah perwujudan dari Ida Sanghyang Widhi atau Ciwa dalam posisi vertikal sebagai penguasa duni atas, tengah, dan bawah.

Di samping itu Ida Sanghyang Widhi dalam perwujudan Beliau mengatur makhluk dan manusia di dunia digambarkan dalam bentuk Trimurti. Pada waktu beliau menciptakan dunia ini dan menghilhami manusia dengan segala ciptaan maka beliau disebut Brahma. Pada waktu Beliau memelihara dan menghidupi segala mahluk di bumi ini disebut Wisnu.

Sedangkan pada waktu Beliau mengembalikan segala bentuk ciptaan dan ciptaan manusia ke dalam bentuk asalnya dipuja sebagai Ciwa. Ketiga hukum ini, yang merupakan hukum alam yaitu lahir, hidup, dan mati atau tercipta, terpelihara, dan lebur kembali dalam bentuk semula adalah wujud dari kekuasaan Ciwa. Ciwa menambil nama Brahma waktu mencipta, sebagai Wisnu waktu memlihara dan sebagai Ciwa waktu melebur kembali. Dalam wujud Trimurti beliau dipuja dalam posisi horizontal, karena beliau mengatur dunia bawah, tempat manusia dan makhluk ini berada.

3. Danghyang Nirartha mengembangkan seni banten (sajen) yang penuh dengan simbul-simbul filosofis, sehingga setiap bentuk dan jenis banten mempunyai arti dan simbul menurut tatwa. Bentuk dan jenis banten sangat banyak, sehingga tidak mungkin dilaksanakan oleh semua lapisan masyarkat. Mengenai hal ini beliau mengajarkan pembagian nista, madya, dan utama yaitu banten yang sederhana dan mampu dilaksanakan oleh orang yang berekonomi lemah, demikian maka setiap orang bisa menyatakan bhakti atau pengorbanan sesuai dengan kemampuan mereka. Ini suatu bukti bahwa ajaran Agama Hindu tidak menggeneralisasi (menganggap sama kemampuan setiap orang). Dengan ajaran nista, madya, dan utama maka setiap orang dapat dengan mantap bisa mencurahkan rasa bhakti mereka. Sebagaimana diketahui, orang yang dihinggapi rasa bhakti atau ingin sekali mewujudkan pengorbanan sebagai tanda bahktinya dalam menjaga keseimbangan, maka melalui para sulinggih atau pendeta beserta dengan Kepala Desa Adat bertugas sebagai pengatur. Menganjurkan kepada umatnya yang miskin jangan berkorban / beryadnya berlebih-lebihan, tidak sesuai dengan kemampuan, atau sebaliknya menganjurkan pada orang kaya jangan kikir takut berkorban.

4. Dhanghyang Nirartha memasukkan jiwa dan semangat agama di dalam segala bidang. Hampir setiap kegiatan didahului atau disertai upacara agama, sebagai manifestasi dari masuknya rasa agama dan tanda ingat selalu kepada Ida Sanghyang Widhi. Demikianlah seorng penari tidak lupa memohon pasupati, rombongan penabuh tidak lupa mempersembahkan sajen sebelum menabuh, seorang petani tidak lupa membuat upacara sebelum menanam padi, demikian pula setelah mengetam, seorang pedagang tidak lupa dengan canang sari di atas dagangannya. Pedagang di pasar membuat persembahan di Pura Melanting, seorang pelaut selalu matur piuning di Pura Segara dan sebagainya. Hampir tidak ada kegiatan dari umat Hindu yang tidak dihubungkan dengan agama sebagai pernyataan. Umat Hindu selalu ingat kepada Tuhan. Pada saat ini ajaran-ajaran dan pelaksanaan-pelaksanaan yang sudah mentradisi itu dikukuhkan dan dibina sehingga terbentuklah berbagai ajaran agama dan mengorganisasi kegiatan-kegiatan umat. Lembaga Pembinaan Desa Adat adalah merupakan wadah penertiban kembali awig-awig serta pelaksaan kegiatan Desa Adat. Listibya membina seni budaya baik tari wali maupun bebali dan bebalihan. Lembaga Subak pun dihidupkan, untuk mendukung kelestarian hubungan pertanian dengan kegiatan agama dan sebagainya.
 
@goesdun

Pantesan waktu gw baca silsilah yg telah disampaikan sebelumnya ada yg aneh...
gw gak nyangka bro..
Setau gw orang2 suci yang diperintahkan Tuhan seperti Dang Hyang Dwijendra memiliki sebuah kesaktian yg tidak dimiliki oleh orang2 biasa dan tidak dapat diperoleh melalui tapa macam apapun..kesaktian ini disebut "Siddhi Ucap-ucapan"..
untung leluhur kita waktu itu gak pindah agama ya..kalo gak bisa kena kutuk Sabda Palon juga kita!

Danghyang Nirartha menjadi guru dan bhagawantha dari Dalem Waturenggong. Dalam kehidupan buku pada zaman itu, kitab hukum yang berlaku pada peradilan tradisional ialah Agama, Purwagama, Adigama, dan Kutara Gama.

Kitab ini bersumber dari kitab Menawa Dharma Castra, yang disebut juga hukum Manu, berasal dari India.

Dalam memberi keadilan, termasuk pelaksanaan agama dalam masyarakat, raja mengeluarkan "pasuara-pasuara" di samping kitab-kitab hukum tertulis dan hukum-hukum tidak tertulis lainnya.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.