• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Perkawinan Dalam Pandangan buddhis

GloryFrench

IndoForum Newbie A
No. Urut
2045
Sejak
10 Jun 2006
Pesan
380
Nilai reaksi
7
Poin
18
setelah melalui proses pacaran(tahap Perkenalan dengan pasangan), jika teruskan hubungan mereka semakin serius, maka mereka akan menlanjutkan ke jenjang berikut nya yaitu perkawinan ataupun tunangan.

Perkawinan dalam pandangan buddhis ?bukan karena Tuhan Yang Maha Esa yang memasang-masangkan pasangan.
tetapi itu adalah karma yang sedang berlangsung.mungkin di kehidupan yang lampau pasangan anda pernah berhutang budi dengan anda dan dia di kehidupan ini dia ingin membalas budi anda (pasangan dari jodoh baik).yang saya khawatirkan saat ini di amerika setiap 1 dr 10 pasangan menikah akan mengalami perceraian(pasangan dari jodoh buruk).belum tentu pasangan anda cantik/ganteng,menawan itu karma baik bisa saja itu juga jodoh buruk apabila sudah menikah pasangan anda sering sakit-sakitan dan mungkin akan menguras uang anda hingga habis (inilah yang dimaksud dengan pasangan dr jodoh buruk)
Setelah kita memutuskan menikah kita harus hidup setia dengan pasangan.dalam aliran maitreya banyak pandita-pandita yang
berkeluarga karena sebelum dia memutuskan membina diri dia sudah berkeluarga terlebih dahulu.jadi dia juga harus menjalani tugas kewajiban dia sebagai bapak/ibu rumah tangga( Keluarga Maitreya ).dan tidak boleh menceraikan pasangan nya

dari kesimpulan diatas. jadi kita harus sering dekat dengan para buddha bodhisatva dan apabila dalam membina kita tidak mampu hidup sendiri maka jangan sungkan mintalah pasangan dari jodoh baik.

saya dapat bahan ini dari diklat Kaderisasi Remaja Maitreya. semoga berguna bagi temen2 yang ingin memutuskan berkeluarga
 
Yg Bener Lo Aliran Apa Sih?
 
Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.

Di dalam buku ini akan dibahas mengenai azas perkawinan dan upacara perkawinan, hubungan antara suami dan isteri secara umum, kemudian mengenai kewajiban seorang suami, kewajiban seorang isteri, kewajiban orang tua terhadap anak, kewajiban anak terhadap orang tua (dan mertua) dan akhirnya mengenai perceraian.

Seorang laki-laki yang beragama Buddha di dalam hidupnya dapat memilih antara hidup berkeluarga dan tidak berkeluarga. Sebagai orang yang hidup berkeluarga ia dapat kawin dengan seorang perempuan dan membentuk keluarga, lalu mempunyai keturunan dan seterusnya; akan tetapi ia juga dapat tidak kawin dan tidak membentuk keluarga, tentunya dengan berbagai alasan. Apabila ia memilih hidup tidak berkeluarga juga tidak berumah tangga, maka ia dapat tinggal di vihara sebagai anagarika, samanera atau bhikkhu.

Sebagai anagarika maka seorang laki-laki dapat bertekad untuk mematuhi attha (delapan) sila, sebagai samanera dasa (sepuluh) sila dan sebagai bhikkhu 227 sila. Dalam konsep Buddhis yang dimaksud dengan sila adalah latihan moral etik, yaitu tekad yang sungguh sungguh untuk tidak melakukan sesuatu (berpantang), dan apabila dilanggar akan membawa akibat yang merugikan diri sendiri maupun mahluk lain.

Seperti juga seorang laki- laki maka seorang perempuan yang beragama Buddha dapat memilih antara hidup berkeluarga dan hidup tidak berkeluarga. Sebagai orang yang hidup berkeluarga ia dapat memilih antara hidup bersama dengan laki-laki sebagai suami isteri dan membentuk keluarga, atau ia tidak kawin dan tidak membentuk keluarga. Apabila ia memilih hidup tidak berkeluarga juga tidak berumah tangga maka pada saat ini sesuai dengan Mazhab Theravada, ia dapat hidup sebagai seorang anagarini yang mematuhi attha sila.

Ada juga laki-laki, setelah ia mempunyai isteri dan anak-anak, baru pada usia agak lanjut ia menjadi bhikkhu, menjadi anggota sangha. Kalau ia masih terikat dengan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan maka ia harus mendapat izin tertulis dari isterinya tersebut untuk dapat menjadi seorang bhikkhu.

Tidak semua laki-laki beruntung mendapatkan seorang perempuan yang baik (dewi) sebagai isterinya, ia mungkin mendapatkan seorang perempuan yang jahat/berperangai buruk (chava) sebagai isterinya, sehingga dapat diramalkan perkawinannya akan merupakan bencana bagi dirinya.

Demikian pula tidak semua perempuan beruntung mendapatkan seorang laki-laki yang baik (dewa) sebagai suaminya, ia mungkin saja mendapatkan seorang laki-laki yang jahat/berperangai buruk (chavo) sebagai suaminya, sehingga perkawinannya pasti tidak akan membawa kebahagiaan, hanya membawa nestapa belaka.

Seorang yang jahat dan berperangai buruk adalah orang yang suka melakukan berbagai kejahatan (melanggar Pancasila Buddhis), mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk, mementingkan dirinya sendiri, tidak menghormati mereka yang patut untuk dihormati dan lain sebagainya.

Ada juga perkawinan antara seorang laki-laki yang jahat (chavo) dengan seorang perempuan yang jahat (chava), mereka mungkin merasa "bahagia" menurut ukuran mereka sendiri, akan tetapi itu adalah perkawinan yang buruk yang hanya akan merugikan keluarga dan handai taulan.

Yang paling baik adalah perkawinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang wanita yang baik (dewi), pasangan terakhir inilah yang dipuji oleh Sang Buddha.

(Anguttara Nikaya II, 57)

Persiapan yang masak adalah penting sekali. Sebelum kawin pihak pria dan wanita seharusnya melakukan saling pemantauan terhadap pihak lainnya, untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan yang ada. Sehingga kalau ada kekurangan di pihak lainnya yang tidak dapat ditolerir, masih dapat dilakukan langkah mundur atau putus hubungan.

Apa yang harus dinilai dari pihak wanita ? (Apabila tidak ada masalah dengan penampilan, umur, faktor keturunan atau status sosial)

Keyakinan pada agama
Etika/moral
Pendidikan
Ketrampilan wanita
Kematangan emosional
Kebijaksanaan
Apa yang harus dinilai dari pihak pria ? (Apabila tidak ada masalah dengan penampilan, umur, faktor keturunan dan status sosial)

Keyakinan pada agama
Etika/moral
Pendidikan
Pekerjaan
Tanggung jawab
Kebijaksanaan
Keyakinan pada agama : Sebaiknya suami dan isteri mempunyai keyakinan yang sama, artinya sama-sama beragama Buddha. Setelah keduanya beragama Buddha maka sepantasnya keduanya memahami dan melaksanakan ajaran Sang Buddha dalam hidup sehari-hari, sehingga diharapkan keluarganya akan berbahagia, itu yang disebutkan sebagai perkawinan di dalam Dhamma. Setelah mempunyai keyakinan yang sama, maka selanjutnya dianjurkan untuk memiliki sila yang yang setara, kemudian memiliki kemurahan hati yang seimbang dan akhirnya keduanya memiliki kebijaksanaan yang setara.

Etika/Moral : Etika/moral harus menjadi perhatian utama, karena tanpa moral manusia itu seperti mobil tanpa rem. Alangkah baiknya apabila semua calon pengantin telah menjadi upasaka/upasika yang handal, yang selalu mentaati Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari. Etika/moral tidak dibentuk dalam satu hari, namun merupakan hasil kumulatif perkembangan kepribadian sejak masih di dalam kandungan. Apabila si pacar moralnya tidak baik, lebih baik mundur teratur, daripada sakit hati dan lebih menderita di kemudian hari. Moral akan mudah sekali rusak karena keserakahan, kebencian dan kebodohan, akan tetapi pada zaman sekarang ini banyak yang memuji mereka yang berhasil dalam materi, katanya "Greedy is good".

Pendidikan: Pada zaman sekarang ini sebaiknya pendidikan formal juga dijadikan ukuran dalam mencari pasangan hidup, karena pada suatu saat kesenjangan pendidikan yang terlalu jauh akan mempengaruhi kerukunan dalam keluarga. Pendidikan yang cukup tinggi akan memudahkan seseorang menerima informasi dari manapun, sehingga tidak tertinggal dalam menentukan sikap. Pendidikan yang baik misalnya, akan memudahkan seorang janda untuk mencari kerja, apabila keadaan memaksa.

Ketrampilan wanita: Seorang wanita harus pandai mengurus rumah tangga sebelum memasuki jenjang perkawinan, kalau tidak tahu ia harus belajar dari yang lebih tahu. Pengetahuan yang harus dikuasai sangatlah bervariasi, mulai dari mengurus rumah, mengatur uang belanja, belanja ke pasar, masak di dapur, cuci pakaian dan lain sebagainya; termasuk bagaimana menjadi seorang ibu yang baik.

Kematangan emosional : Hal ini menunjukkan tingkat kedewasaan seseorang. Seorang wanita yang belum dewasa akan menuntut perhatian yang berlebih dari suaminya, manja, mudah tersinggung, keras kepala, mau menang sendiri dan lain sebagainya. Seorang wanita yang matang emosinya akan bersikap sabar dan mau menunggu dengan bijaksana apabila ada kemelut dalam keluarga, ia akan berpikir panjang sekali sebelum mengambil keputusan.

Pekerjaan : Pekerjaan bagi laki-laki adalah sangat penting, oleh karena tidak ada wanita yang mau menikah dengan seorang penganggur. Memang ada laki-laki anak orang kaya yang tidak tahu bagaimana harus bekerja dan mau kawin, dan ada juga wanita yang mau kawin dengan laki-laki seperti itu; apakah itu untuk sepanjang waktu?! Jenis pekerjaan yang ditekuni juga harus sesuai dengan ajaran Sang Buddha, yaitu tidak termasuk jenis mata pencaharian yang harus dihindari.

Tanggung jawab : Hal ini merupakan bagian dari kepribadian seorang laki-laki yang dipupuk sejak kecil, tidak dibentuk secara mendadak. Memang ada seorang laki-laki yang tampaknya penuh tanggung jawab, meskipun di lain saat ia akan berubah menjadi pengecut yang tidak bertanggung jawab. Hal ini menjadi penting karena beban seorang laki-laki yang menjadi kepala keluarga semakin hari semakin berat, tuntutan semakin bervariasi.

Kebijaksanaan : Pengertian yang benar mengenai Buddha Dhamma dan selalu mengendalikan pikiran adalah hal yang terpuji, namun ini merupakan hal yang sangat sukar dan langka. Usaha yang sungguh-sungguh untuk memiliki kebijaksanaan dalam hidup ini adalah sangat menguntungkan hidup selanjutnya di masa ini dan di masa yang akan datang. Dengan memiliki kebijaksanaan maka segala keputusan yang diambil bukan karena suka atau tidak suka, bukan karena ikut-ikutan orang lain, bukan karena takut tidak disukai oleh seseorang, namun karena baik untuk semua pihak di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.

Masa pacaran dapat dipergunakan sebagai masa perkenalan atau masa penjajakan bagi sepasang calon pengantin. Setiap manusia mempunyai corak kepribadian yang berbeda, dan belum tentu kepribadian seseorang itu cocok dengan kepribadian orang lain yang dipilihnya sebagai pasangan hidup; oleh karena itu masa pacaran menjadi sangat penting sebagai persiapan. Bersikap pura-pura atau menutupi keburukan yang ada seringkali berhasil mengelabui si calon pasangan, sehingga akhirnya akan membawa akibat yang tidak menyenangkan bagi yang dikelabui karena tidak ada orang yang dapat dibohongi sepanjang masa.

Apabila ada yang ragu-ragu dengan kepribadian si calon pasangan hidupnya, selidikilah dahulu dengan seksama, bila perlu diperiksa oleh para ahli. Untuk memeriksa kondisi fisiknya dapat diminta pertolongan seorang dokter dengan bantuan pemeriksaan laboratorium dan alat-alat kedokteran yang canggih lainnya, untuk mengetahui corak kepribadiannya dapat diminta pertolongan seorang psikiater (dokter spesialis jiwa) atau seorang psikologi (ahli jiwa) yang berpengalaman. Pemeriksaan fisik adalah sangat penting, akan tetapi pemeriksaan jiwa untuk mendeteksi corak kepribadiannya lebih penting lagi !

Saat ini ilmu kedokteran sudah sangat maju, sehingga tidak begitu banyak lagi penyakit fisik yang sukar atau tidak dapat disembuhkan; akan tetapi apabila. seseorang itu mengalami gangguan atau kelainan kepribadian maka kemungkinannya untuk "sembuh" adalah sangat kecil.

Setiap orang dalam memilih pasangan hidupnya mempunyai kriteria yang tidak sama, demikian pula dengan skala prioritas dari kriteria-kriteria tersebut. Ada yang tidak mau hidup melarat karena itu ia memilih calon pasangan yang kaya raya. Ada juga yang ingin menjadi orang terkenal, karena itu ia memilih calon pasangan hidup yang sudah punya nama, seperti bintang film, bintang sinetron, bintang olah raga, tokoh politik atau tokoh masyarakat. Mereka yang ingin hidup bahagia akan memilih pasangan hidup yang luhur budi, bermoral, bertanggung jawab, rajin bekerja, setia dan bijaksana.

PERSIAPAN MEMASUKI HIDUP PERKAWINAN

Sampai disini maka sudah jelas untuk memasuki hidup perkawinan tidaklah mudah dan sederhana. Sesuatu yang tampak indah dari kejauhan belum tentu tetap indah setelah didekati.

Bagi seorang laki-laki yang ingin menjadi sesuai sebaiknya telah memenuhi kondisi sbb :

Mempunyai identitas sebagai laki-laki
Dapat memberikan kasih sayang kepada seorang wanita
Dapat mempercayai calon isterinya
Mempunyai integritas kepribadian yang matang
Mempunyai mental dan fisik yang sehat
Mempunyai mata pencaharian yang benar
Bersedia membagi kebahagiaan dengan calon isteri
Siap menjadi ayah yang bertanggung jawab

Bagi seorang wanita kondisinya adalah sbb:

Mempunyai identitas sebagai wanita
Dapat memberikan kasih sayang kepada seorang pria
Dapat mempercayai calon suaminya
Mempunyai integritas kepribadian yang matang
Mempunyai mental dan fisik yang sehat
Bersedia mengabdikan diri kepada calon suami
Bersedia menyesuaikan diri dengan adat kebiasaan suami
Siap menjadi ibu yang bijaksana

bersambung...
 
PERKAWINAN DAN UPACARA PERKAWINAN

AZAS PERKAWINAN

"Sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai kewajiban hukum mentaati ketentuan dan peraturan hukum Negara yang berlaku, termasuk juga mengenai perkawinan, maka di dalam melaksanakan perkawinan dan dengan segala akibatnya menurut hukum, haruslah mentaati ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil".

Di dalam Undang-undang Perkawinan yang berlaku tersebut, ditentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Terdapat perkecualian bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan alasan-alasan yang ditentukan secara limitatif yaitu apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, apabila isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan apabila isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Di dalam pasal 10 ayat 4 dari Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 ditentukan bahwa : Izin untuk beristeri lebih dari satu tidak diberikan oleh pejabat apabila : a. Bertentangan dengan ajaran/ peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

Walaupun ketentuan ini ditujukan kepada Pegawai Negeri sipil, tetapi azas ketentuan bahwa izin tidak diberikan apabila bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh pemohon izin, adalah berlaku juga terhadap bukan Pegawai Negeri Sipil yang memohon izin kepada Pengadilan Negeri sebagai suatu ketentuan yang mengikat dan untuk ketertiban umum serta kepastian hukum.

Walaupun di dalam agama Buddha tidak ditentukan secara tegas azas monogami yang dianut, tetapi dengan berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57 seperti dikutip di atas, yaitu pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkavvinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi), maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan menurut agama Buddha adalah azas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.

Perlu dipertimbangkan, bahwa seorang laki-laki yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian akan dapat melakukan hal-hal yang kurang adil atau kurang bijaksana, apalagi setelah ia mempunyai isteri lebih dari satu, yang berakibat akan menyakiti hati isteri atau isteri-isterinya tersebut. Akan tetapi apabila ada seorang laki-laki yang telah beristeri lebih dari satu sebelum beragama Buddha, maka setelah beralih menjadi umat Buddha, mungkin ia tidak perlu menceraikan isteri atau isteri-isterinya; yang penting adalah agar ia berusaha sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang baik bagi isteri-isterinya.

UPACARA PERKAWINAN

I. PERSIAPAN UPACARA

A. Agar dapat dilaksanakan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha maka calon mempelai harus menghubungi pandita agama Buddha dari majelis agama Buddha (misalnya Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) yang mempunyai kewenangan untuk memimpin upacara perkawinan (bukan seorang bhikkhu atau samanera).
Caranya adalah dengan mengisi formulir yang telah tersedia, serta dengan melampirkan :

Dua lembar fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kedua calon mempelai.
Dua lembar fotokopi Akta Kelahiran atau Akta Kenal Lahir dari kedua calon mempelai.
Dua lembar Surat Keterangan dari Lurah setempat tentang status tidak kawin dari kedua calon mempelai (perjaka/duda/gadis/janda)
Surat izin untuk calon mempelai yang berumur dibawah 21 tahun.
Tiga lembar pasfoto berdua ukuran 4 X 6 cm2
B. Setelah semua syarat dipenuhi dan surat-surat telah diperiksa keabsahannya, maka pengumuman tentang perkawinan tersebut harus ditempel di papan pengumuman selama 10 hari kerja.

C. Dalam hal perkawinan dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja, diperlukan Surat Dispensasi Kawin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat (Tingkat Kecamatan).

II PELAKSANAAN UPACARA

A. TEMPAT UPACARA

Upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara,
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.

B. PERLENGKAPAN ATAU PERALATAN UPACARA

Persiapan peralatan upacara :

Altar dimana terdapat Buddharupang.
Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
Tempat dupa
Dupa wangi 9 batang
Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan)
Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai
Cincin kawin
Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
Pita kuning sepanjang 100 cm
Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir)
Surat ikrar perkawinan
Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
C. PELAKSANAAN UPACARA PERKAWINAN

Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.
Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.
Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara *)
Pernyataan ikrar perkawinan**)
Pemasangan cincin kawin.
Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.
Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
Wejangan oleh pandita.
Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.
*)
Pandita pemimpin upacara mengucapkan Namakkara Gatha diikuti oleh hadirin kalimat demi kalimat :

ARAHAM SAMMASAMBUDDHO BHAGAVA
[A-ra-hang Sam-maa-sam-bud-dho bha-ga-waa]
BUDDHAM BHAGAVANTAM ABHIVADEMI
[Bud-dhang Bha-ga-wan-tang Abhi-waa-de-mi)
(Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna;
aku bersujud di hadapan Sang Buddha, Sang Bhagava)

SVAKKHATO BHAGAVATA DHAMMO
[Swaak-khaa-to Bha-ga-wa-taa Dham-mo]
DHAMMAM NAMASSAMI
[Dham-mang Na-mas-saa-mi]
(Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagava;
aku bersujud di hadapan Dhamma)

SUPATIPANNO BHAGAVATO SAVAKASANGHO
[Su-pa-ti-pan-no Bha-ga-va-to Saa-wa-ka-sang-gho]
SANGHAM NAMAMI
[Sang-ghang na-maa-mi]
(Sangha, siswa Sang Bhagava telah bertindak sempurna,
aku bersujud di hadapan Sangha)
**)
Sebelum menyatakan ikrar perkawinan kedua mempelai mengucapkan Vandana :

NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO
SAMMA SAMBUDDHASSA
[Na-mo Tas-sa Bha-ga-wa-to A-ra-ha-to
Sam-maa-sam-bud-dhas-sa]
(tiga kali)
(Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna)

Catatan :

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I Pasal 2 maka perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab III pasal 3 maka perkawinan (menurut tatacara agama Buddha) dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian atau pegawai catatan sipil).

Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat, maka Pegawai Pencatat dapat diwakili oleh Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis) yang diangkat oleh Gubernur setempat.

Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat maupun Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis), maka pandita yang memimpin upacara perkawinan mengeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang berlaku sebagai bukti bahwa upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha telah dilaksanakan, surat tersebut bersama-sama dengan dokumen pendukung lainnya dibawa ke Kantor Catatan Sipil untuk dicatatkan.


bersambung...
 
HUBUNGAN ANTARA SUAMI DAN ISTRI

Di zaman yang modern ini semakin sulit bagi sepasang suami istri untuk membina keluarga yang harmonis, karena aspek-aspek yang mempengaruhi sebuah keluarga semakin lama semakin banyak dan semakin bervariasi. Seorang suami tidak hanya menjadi suami, tetapi juga harus mencari uang, menjadi teman yang menyenangkan bagi isteri, menjadi ayah yang bijaksana bagi anak-anaknya dan lain sebagainya. Demikian pula seorang isteri tidak hanya melayani suami, ia juga harus mengurus rumah tangga, menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, turut menambah penghasilan keluarga dan segudang tanggung jawab lainnya.

Tidak jarang perkawinan yang diharapkan akan menjadi surga dalam kehidupan ini ternyata berubah menjadi neraka yang mengerikan. Karena itu sebuah perkawinan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar keluarga yang terbentuk adalah keluarga yang harmonis, bukan, keluarga yang berantakan.

Proses kelangsungan hubungan suami isteri :

I. Sejajar, artinya sejak awal perkawinan jarak hubungan antara suami dan isteri tetap stabil, tidak menjadi lebih dekat atau lebih jauh.


II. Ketika masih baru kawin hubungan agak jauh, namun semakin lama semakin dekat



III. Ketika baru kawin hubungan sangat dekat, namun semakin lama semakin menjauh



IV. Ketika baru kawin jarak antara kedua suami istri jauh, kemudian setelah itu saling mendekat, akan tetapi kemudian saling menjauh lagi


V. Ketika baru kawin hubungan antara suami dan isteri cukup dekat, kemudian menjauh, namun setelah beberapa saat saling mendekat lagi.



HIDUP PERKAWINAN

Banyak orang tidak berani memasuki hidup perkawinan, takut akan kegagalan. Memang tidak sedikit bahtera perkawinan yang kandas di karang tajam penghalang, karena itu agar dapat mencapai tujuan perkawinan maka setiap orang yang ingin kawin harus mempelajari dan akhirnya dapat menguasai serta mengendalikan bahtera perkawinannya; ia harus mempunyai kompas yang bekerja dengan baik sehingga ia tidak akan tersesat, ia tahu kapan hujan badai akan menjelang dan tahu bagaimana bersikap apabila dilanda badai tersebut, ia harus tahu bagaimana menghindari karang-karang tajam dan bukit-bukit es yang menghadang diluar pandangan mata, demikian pula ia harus dapat mengatasi mabuk laut yang menyerang !

Dalam minggu pertama perkawinan, semua terasa manis dan menyenangkan, semua kesalahan si kekasih sudah dimaafkan sebelum dilakukan. Dunia ini sepertinya adalah milik si pengantin baru! Sepertinya bulan madu janganlah berakhir, karena kenikmatan belum dirasakan semuanya.

Dalam tujuh minggu pertama perkawinan mulailah tampak cacad cela si pasangan, akan tetapi maaf masih mudah diberikan. Mulai terasa bahwa "mengalah" harus dilakukan agar tetap rukun akan tetapi mengalah terus menerus akan menimbulkan rasa tertekan. Tidak jarang pertengkaran mulai menjelma pada masa krisis pertama ini. Ada yang tidak dapat melewati masa krisis ini, tetapi setelah melewatinya bukan berarti sudah aman. lbarat bahtera baru saja keluar dari pelabuhan, belum ada gelombang besar yang menganggu.

Pada akhir bulan ke tujuh setelah upacara perkawinan, mulailah belang semakin jelas terlihat, cacad semakin nyata. lbarat gunung yang tampak indah kebiruan apabila dilihat dari jauh, setelah didekati ternyata tidaklah seindah itu. Sebelum kawin dibayangkan bahwa perkawinan itu adalah surga, tetapi kemudian ternyata bahwa surga itu adalah palsu belaka. Perlu usaha yang luar biasa untuk memelihara kedamaian dalam rumah tangga, karena watak asli dan kebiasaan-kebiasaan yang buruk mulai terkuak nyata. Bulan madu sudah lama berlalu, bahtera sudah berada di laut lepas, itu berarti gelombang sebesar apapun harus dihadapi, badai seganas apapun harus di tantang. Menyesuaikan diri dengan orang lain tidaklah mudah, mengalah terus menerus lebih sulit lagi, apalagi kalau sudah dianggap, keterlaluan.

Sampai tahun ke tujuh dari perkawinan adalah masa yang penuh dengan pertentangan batin, baik bagi si suami maupun si isteri. Watak asli semakin jelas terlihat, yang menjadi masalah adalah mau bertahan atau menyerah! Menyerah berarti pulang ke rumah orang tua atau pisah yang kemudian dilanjutkan dengan bercerai. Bertahan berarti berusaha hidup bersama si pasangan hidup tidak perduli ia itu baik atau buruk perilakunya. Banyak wanita yang sudah siap menjadi isteri, tetapi tidak banyak yang siap untuk menjadi ibu, demikian pula banyak pria yang sudah siap untuk menjadi suami akan tetapi belum siap untuk menjadi ayah. Sehingga kehadiran si kecil bukanlah sesuatu yang diharapkan atau didambakan, akan tetapi hanya menjadi si pengganggu belaka. Kehamilan akan membuat si isteri menjadi semakin manja, egosentrisme semakin nyata, selalu berusaha menjadi pusat perhatian suaminya. Karena itu si suami harus memahami kondisi yang mudah memancing ketegangan di dalam rumah tangga, dan secara bijaksana berusaha mengemudikan perahunya ke arah yang benar.

Melahirkan untuk pertama kali merupakan trauma yang sangat besar bagi si isteri yang belum berpengalaman. Biasanya ia menuntut agar ditemani oleh ibunya ketika menghadapi peristiwa yang menakutkan tersebut. Rasa aman sangat penting bagi si calon ibu, karena sering ia dengar bahwa melahirkan adalah suatu peristiwa yang sangat berbahaya, karena maut suka mendekat. Dengan pemeriksaan selama hamil yang seksama, dan dengan kondisi kesehatan jiwa maupun fisik yang prima, maka pada saat ini melahirkan anak bukanlah hal yang perlu ditakuti lagi.

Yang menjadi masalah serius adalah apabila setelah sekian lama si isteri tidak juga berisi, atau hamil. Dimulai dari rasa heran, lalu berlanjut dengan rasa curiga dan mungkin diteruskan dengan pertengkaran. Banyak pihak suami yang tidak bersedia pergi ke dokter untuk diperiksa kesuburannya setelah si isteri bolak-balik pergi ke dokter spesialis kandungan tanpa hasil, karena ia merasa bahwa kejantanannya diragukan! Tujuh tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menunggu kehadiran seorang anak, karena itu tidak jarang bila ada suami yang ingin cepat punya anak lalu berpikir untuk menikah lagi dengan wanita lain. Hampir semua wanita tidak suka dimadu, akan tetapi kalau keadaan terpaksa ya apa boleh buat.

FAKTOR-FAKTOR YANG MENOPANG
KELUARGA BAHAGIA

SALING SETIA

Kesetiaan adalah masalah yang sangat penting. Saling setia merupakan salah satu pilar yang menopang keutuhan bangunan perkawinan. Perlu suatu kejujuran yang tulus untuk memelihara kesetiaan dalam perkawinan, karena banyak orang yang tidak setia selalu mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan nyelewengnya. Setiap kesalahan yang telah dilakukan haruslah disesali oleh si pelaku dan ia harus bertekad untuk tidak mengulanginya, selanjutnya perlu dimaafkan oleh pihak lain; karena apabila tidak demikian maka hanya keruntuhanlah yang akan terjadi. Merasa puas dengan isteri atau suami sendiri akan sangat menunjang dalam memelihara aspek kesetiaan di dalam keluarga yang harmonis.

SALING PERCAYA

Semakin lama semakin sukar mencari orang yang jujur, mungkin mencari orang yang pandai jauh lebih mudah. Kejujuran adalah landasan dari sikap saling percaya diantara sepasang suami istri. Ada orang yang menganggap bahwa berbohong untuk kebenaran boleh dilakukan, akan tetapi sikap jujur sebaiknya tetap harus diutamakan. Kadang-kadang sangat sukar untuk berterus terang, karena menyangkut banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan, namun di antara sepasang suami istri seharusnya tidak ada rahasia. Ada yang mengatakan bahwa wanita itu suka dibohongi, tetapi ungkapan tersebut adalah tidak benar! Pada dasarnya tidak ada orang yang suka dibohongi atau ditipu, karena apabila di kemudian hari kebohongan itu terbongkar maka akan timbul rasa sakit hati dan dendam. Tentunya setiap orang mempunyai alasan masing-masing untuk berdusta, akan tetapi dalam sebuah keluarga sebaiknya tidak perlu ada dusta.

SALING MENGHORMATI

Saling menghormati dan saling menghargai adalah merupakan pilar yang lain. Penghinaan yang terus menerus akan membuat perasaan terluka dan sakit, karena itu kebiasaan buruk seperti ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama hidup dalam sebuah keluarga. Ada orang dihina karena berasal dari keluarga miskin, atau karena sekolahnya kurang tinggi, atau karena cacad fisik atau karena sebab-sebab lainnya. Perlu disadari bahwa semua orang itu mempunyai kekurangan, karena itu sebelum menghina atau merendahkan orang lain, apalagi pasangan hidup kita sendiri, renungkanlah bahwa setiap orang tidak mau dihina atau direndahkan termasuk diri kita sendiri.

SALING MENGALAH

Mengalah bukan berarti kalah, karena itu saling mengalah juga merupakan pilar lain yang penting untuk dipelihara. Ada saatnya seseorang itu tidak mau dibantah, mungkin karena ada masalah pelik lain yang sedang mengganggu, karena itu pihak lainlah yang harus dengan penuh pengertian menyesuaikan diri dengan mengalah. Jarang sekali dua orang yang keras kepala dapat menjadi pasangan hidup yang rukun, mereka lebih tepat disebutkan sebagai pasangan anjing dan kucing! Setiap soal, biarpun soal kecil, menjadi bahan perdebatan sengit.

SALING MEMBANTU

Setiap orang memiliki kelemahan, karena itu ia patut dibantu. Adalah hal yang patut apabila sepasang suami isteri itu saling membantu, saling melengkapi; sehingga segala kesulitan hidup terasa lebih ringan untuk dipikul. Membantu orang lain, terutama ketika ia sangat membutuhkan, seperti ketika sedang sakit, adalah hal yang sangat terpuji, sangat mulia dan sangat luhur. Janganlah karena kebencian kita mengabaikan hal yang satu ini.

SALING BERSAHABAT

Pada dasarnya sepasang suami isteri adalah sepasang sahabat atau teman. Seharusnya hubungan mereka tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi ada pihak-pihak tertentu yang dapat mengganggu hubungan tersebut, seperti misalnya mertua, ipar, teman, bekas pacar, dll. Persahabatan perlu dipelihara dengan baik, agar keharmonisan keluarga dapat tetap dipertahankan dalam waktu yang relatif lama. Sepasang sahabat baik akan selalu saling percaya, saling membantu, saling memperingatkan dalam setiap situasi; Sahabat sejati tidak akan meninggalkan temannya di dalam kesulitan.

SALING MEMELIHARA KOMUNIKASI

Komunikasi di dalam keluarga tidak selalu berlangsung dengan mulus, adakalanya tersendat-sendat, kadang-kadang terputus sama sekali untuk waktu yang sebentar atau lebih lama. Adalah sukar untuk menyingkirkan semua hal yang mengganggu lancarnya komunikasi karena jenisnya terlalu banyak dan intensitasnya tidak menentu, misalnya perbedaan tingkat pendidikan, perbedaan kegemaran, perbedaan orientasi, perbedaan nilai, pengaruh emosional, jarak dll.

Apabila sepasang suami isteri ingin selalu bersama-sama (berjodoh) dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang datang maka ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu keduanya harus setara dalam keyakinan (saddha), setara dalam sila (moral), setara dalam kemurahan hati (caga) dan setara dalam kebijaksanaan/ pengertian (pañña).

(Anguttara N II, 62)

Yang dimaksud dengan Saddha adalah keyakinan terhadap Sang Tiratana (Triratna), yaitu Buddha, Dhamma dan Sangha. Dalam keadaan yang bagaimanapun juga umat Buddha hanyalah berlindung kepada Sang Tiratana, tidak kepada obyek lainnya seperti pohon-pohon, gunung-gunung, gua-gua, batu-batu, alat-alat senjata, kuburan-kuburan keramat, tempat-tempat pemujaan dan mahluk-mahluk lain.

Setelah memiliki keyakinan dan berlindung kepada Sang Tiratana, berikutnya adalah melaksanakan sila sebagai kelanjutannya. Bagi setiap umat Buddha yang hidup berkeluarga terdapat lima sila yang wajib untuk ditaati, yang merupakan tekad atau latihan yang sungguh-sungguh sebagai berikut :

Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak menghilangkan nyawa dari mahluk lain yang bernafas;
Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan;
Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak melakukan perbuatan asusila;
Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengucapkan kata-kata yang tidak benar, tidak berguna, tidak beralasan dan tidak tepat waktu;
Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak menggunakan segala zat yang dapat melemahkan kesadaran. (misalnya alkohol, ganja, morfin, heroin, cocain, dll)
Berikutnya adalah mengembangkan kemurahan hati, suka atau berdana, suka membantu mereka yang perlu dibantu, merasa gembira dan bahagia melihat orang lain berbahagia dan damai.

Kebijaksanaan adalah merupakan landasan dari segala hal baik yang dilakukan oleh seseorang yang memahami ajaran Sang Buddha dan akan berkembang terus dengan dilaksanakannya sila pengembangan batin sebagai pengalaman batin dan penalaran
pribadi. Tanpa kebijaksanaan maka seseorang akan melakukan perbuatan-perbuatan baiknya hanya karena ikut-ikutan atau karena disuruh.

bersambung...
 
KEWAJIBAN SEORANG SUAMI

Di dalam agama Buddha tidak dibahas hak seorang suami, yang ada hanyalah kewajiban seorang suami sebagai kepala keluarga. Dalam Mangala Sutta terdapat sebuah bait yang bunyinya sebagai berikut :

MATAPITU UPATTHANAM
PUTTADARASSA SANGAHO
ANAKULA CA KAMMANTA
ETAMMANGALAMUTTAMAM

artinya :
Menyokong dan merawat ayah dan ibu
Membahagiakan anak dan istri
Pekerjaan yang bebas dari keruwetan
Itulah Berkah utama

(Khuddaka Patha halaman 3)

Seorang suami sebagai kepala keluarga wajib memiliki penghasilan yang secukupnya agar dapat memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Ia wajib membahagiakan anak dan isterinya di samping menyokong dan merawat kedua orang tuanya yang masih hidup. Kepada orang tua dan leluhur yang sudah meninggal maka ia wajib melakukan Pattidana (Melakukan perbuatan-perbuatan jasa yang kemudian dilimpahkan kepada para almarhum tersebut)

Agar seorang suami tidak dibenci oleh isterinya maka ia wajib rajin bekerja agar tidak jatuh miskin, wajib memelihara kesehatan agar tidak sakit-sakitan, wajib menghindarkan minuman keras agar tidak mabuk-mabukan, wajib banyak belajar agar tidak bodoh, wajib bersikap telaten dan perduli agar tidak mengabaikan isterinya, jangan terlalu sibuk dan dapat membagi waktunya untuk isteri, wajib berhemat dan tidak meng-hambur-hamburkan uang

(Jataka V, 433)

Di dalam Sigalovada Sutta terdapat 5 kewajiban seorang suami terhadap isterinya sebagai berikut :

Menghormati isterinya;
Bersikap lemah lembut terhadap isterinya;
Bersikap setia terhadap isterinya;
Memberikan kekuasaan tertentu kepada isterinya;
Memberikan atau menghadiahkan perhiasan kepada isterinya.
(Digha Nikaya III, 190)
Dalam Khuddaka Patha (halaman 138) disebutkan bahwa seorang suami harus bersikap ramah terhadap isterinya, membantu istrinya dalam segala bentuk pekerjaan, mengajak isterinya untuk menghadiri upacara-upacara dan pesta-pesta, mendorong isterinya melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.
Seorang suami sebagai kepala keluarga wajib menghindarkan empat macam apayamukha, yaitu sebab-sebab, yang akan membawa keruntuhan, yaitu :

Suka menggoda wanita lain;
Suka bermabuk-mabukan
Suka berjudi
Suka bergaul dengan orang jahat dan akrab dengan orang jahat.
(Anguttara Nikaya IV, 283)
Terdapat empat macam Ditthadhammikatthapayojana, yaitu hal-hal yang berguna pada kehidupan sekarang :

Utthanasampada : rajin dan bersemangat dalam bekerja mencari nafkah.
Arakkhasampada : bersikap penuh hati-hati, menjaga harta yang telah diperoleh,
tidak membiarkannya hilang atau dicuri, menggunakannya dengan hemat. Menjaga cara kerja yang baik sehingga tidak mengalami kemunduran atau kemerosotan.
Kalyanamitta: memiliki teman-teman yang baik, dan tidak bergaul dengan orang-orang dungu dan jahat.
Samajivita : menempuh hidup sesuai dengan penghasilan, tidak terlalu kikir dan tidak terlalu boros
(Anguttara Nikaya IV, 281)

Bagi seorang kepala rumah tangga terdapat empat Dhamma yang wajib untuk dimiliki, yaitu :

Sacca : Kejujuran dan selalu menepati janji kepada orang lain
Dama : Pengendalian pikiran yang baik
Khanti : Kesabaran dalam menghadapi setiap persoalan sulit
Caga : Kemurahan hati terhadap mereka yang pantas untuk diberi
(Samyutta Nikaya I, 215)

Berikut ini terdapat 38 hal yang akan membawa Berkah Utama (Mangala), yang wajib diperhatikan oleh seorang kepala keluarga :

Tidak bergaul dengan orang dungu
Bergaul dengan orang bijaksana
Menghormati mereka yang patut dihormati
Hidup di tempat yang sesuai
Telah melakukan kebajikan dalam kehidupan lampau
Menuntun diri ke arah yang benar
Memiliki pengetahuan yang tinggi
Memiliki keterampilan yang memadai
Memiliki tatasusila yang baik
Ramah tamah dalam tutur kata
Menyokong ayah dan ibu
Membahagiakan anak
Membahagiakan isteri
Mempunyai pekerjaan yang bebas dari keruwetan
Suka berdana
Hidup sesuai dengan Dhamma
Menolong sanak keluarga yang perlu ditolong
Perbuatan tanpa cela
Menjauhi kejahatan
Menghindari minuman keras
Tekun melaksanakan Dhamma
Selalu menghormat
Selalu rendah hati
Merasa puas dengan apa yang telah diterima
Berterima kasih menerima kebaikan orang lain
Mendengarkan Dhamma pada saat-saat tertentu
Memiliki kesabaran
Rendah hati apabila diberi peringatan
Sering mengunjungi para bhikkhu/pertapa
Membahas Dhamma pada saat-saat yang sesuai
Hidup sederhana
Bersemangat menjalani Hidup Suci
Menembus Empat Kesunyataan Mulia
Mencapai Nibbana
Batin tidak tergoyahkan meskipun digoda oleh hal-hal duniawi
Batin tiada susah
Batin tanpa noda
Batin penuh damai

bersambung...
 
KEWAJIBAN SEORANG ISTRI

Atas perlakuan yang diterimanya dari seorang suami yang baik, berdasarkan Sigalovada Sutta maka seorang isteri yang mencintai suaminya mempunyai kewajiban sebagai berikut:

Melakukan semua tugas kewajibannya dengan baik
Bersikap ramah kepada keluarga dari kedua belah pihak
Setia kepada suaminya
Menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa oleh suaminya
Pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya
(Digha Nikaya III, 190)

Adalah merupakan hal yang pantas dipuji apabila setiap isteri berusaha untuk memenuhi 5 ciri isteri yang sempurna, yaitu :

Bangun lebih dahulu dari suaminya
Pergi tidur setelah suami tertidur
Selalu mematuhi perintah suaminya
Selalu bersikap ramah dan sopan
Dari mulutnya hanya keluar kata-kata yang ramah.
(Anguttara Nikaya IV, 265)

Telah dicatat bahwa disamping menjadi isteri dengan 5 ciri di atas, Ratu Mallika juga bertekad agar batinnya terbebas dari iri hati dan cemburu.

(Anguttara Nikaya II, 205)

Kepada Sujata, adik perempuan dari Maha Upasika Visakha, yang menjadi menantu dari Maha Upasaka Andthapindika, Sang Buddha telah berkotbah mengenai tujuh jenis isteri dari segala zaman sebagai berikut :

Seorang isteri yang jahat, mempunyai keinginan buruk, kejam/bengis mencintai pria lain, suka melacur, selalu berbeda pendapat dengan suaminya, selalu mencari alasan untuk bertengkar disebut sebagai isteri yang menyusahkan (vadhakhabhariya)
Seorang isteri yang suka menghamburkan kekayaan yang diperoleh suaminya dengan susah payah, tidak mau berpikir, suka menggelapkan harta benda suaminya untuk kepentingannya sendiri, untuk berjudi dan bermabuk-mabukan, disebut sebagai isteri pencuri (corabhariya)
Seorang isteri yang tidak mau berbuat apapun, malas, rakus, kasar, suka mencaci maki, selalu ingin berkuasa, ingin menguasai suaminya, mengambil kesempatan dari kedudukan suaminya untuk menonjolkan dirinya, selalu ingin menang sendiri, disebut sebagai isteri penguasa (ayyabhariya);
Seorang isteri yang ramah dan penuh welas asih, merawat suaminya seperti seorang ibu yang melindungi anaknya, menjaga harta yang telah dikumpulkan oleh suaminya dengan teliti dan hati-hati, disebut sebagai isteri keibuan (matubhariya);
Seorang isteri yang menghormati suaminya seperti seorang adik perempuan yang patuh terhadap kakaknya, bersikap rendah hati, hidup sesuai dengan keinginan suaminya, disebut sebagai isteri saudara (bhaginibhariya)
Seorang isteri yang bergembira ketika melihat suaminya bertemu dengan teman baik yang lama tidak berjumpa, terhormat, baik hati, selalu menolong dan suci, sebagai isteri sahabat (sakhibhariya);
Seorang isteri yang tidak marah dan tetap sabar/tenang meskipun diancam dengan siksaan dan hukuman, mengerjakan semua tugas yang diberikan suaminya tanpa mengeluh, bebas dari kebencian, hidup sesuai dengan kehendak suaminya, disebut sebagai isteri yang melayani (dasibhariya).
(Anguttara Nikaya IV, 92)
Setelah mendengar kotbah diatas Sujata batinnya menjadi sadar lalu mencapai tingkat kesucian yang pertama (Sotapanna). Atas pertanyaan Sang Buddha Sujata memilih menjadi dasibhariya bagi suaminya.

Sang Buddha menjelaskan bahwa para isteri dari tiga jenis yang pertama adalah buruk dan tidak dikehendaki oleh suami manapun dan kelak akan terlahir di neraka, akan mengalami penderitaan yang tidak terhingga, terpanggang oleh api neraka. Sedangkan empat jenis isteri yang berikutnya adalah baik dan patut dipuji, mereka akan berbahagia dalam kehidupan sekarang ini dan setelah kematian akan terlahir di alam-alam surga yang berbahagia.

Ketika Visakha ingin menikah, ayahnya memberikan nasehat sebagai berikut (Lihat Dhammapada Atthakatha, Buddhist Legends jilid II halaman 72-73) :

Jangan membawa keluar api yang berada di dalam rumah
(Api di sini berarti fitnah. Seorang isteri seharusnya tidak menceritakan keburukan suami atau mertuanya kepada orang lain, demikian pula tidak menceritakan kekurangan-kekurangan atau pertengkaran dalam keluarga kepada orang lain)
Jangan memasukkan api dari luar ke dalam rumah
(Seorang isteri seharusnya tidak mendengarkan hasutan-hasutan atau gosip dari keluarga-keluarga lain dan membawanya ke dalam rumah)
Memberi hanya kepada mereka yang memberi
(Hanya meminjamkan sesuatu kepada mereka yang mau mengembalikan)
Jangan memberi kepada mereka yang tidak memberi
(Jangan meminjamkan sesuatu kepada mereka yang tidak akan mengembalikan barang yang dipinjam)
Memberi kepada mereka yang memberi dan tidak memberi
(Menolong orang-orang miskin atau kawan-kawan tanpa memperdulikan apakah mereka akan mengembalikan atau tidak)
Duduk dengan bahagia
(Duduk pada posisi yang sesuai, apabila mertua datang menghampiri ia harus berdiri untuk menghormat)
Makan dengan bahagia
(Sebelum makan seorang isteri terlebih dahulu mempersiapkan segala hidangan untuk mertua dan suaminya, di samping memperhatikan juga kebutuhan makanan dari para pembantu rumah tangga)
Tidur dengan bahagia
(Sebelum tidur memeriksa dahulu apakah pintu-pintu dan jendela-jendela sudah ditutup atau belum, apakah masih ada api yang menyala di dapur, apakah ada bahaya yang mungkin mengancam keselamatan keluarga, apakah para pembantu telah menyelesaikan tugasnya, apakah mertua dan suaminya sudah tidur atau belum. Kemudian bangun pagi-pagi sekali dan tidak akan tidur siang kecuali sedang sakit)
Rawatlah api dalam rumah
(Rawatlah mertua dan suami dengan baik, seperti merawat api di dapur dan api merawat kita di dapur)
Hormatilah dewata keluarga
(Mertua dan suami dipandang sebagai dewata yang patut untuk dihormati)
Menurut tradisi timur, seorang isteri wajib memandang suami sebagai "yang dipertuan". Sang Buddha pernah bersabda bahwa isteri juga adalah sahabat karib dan dewa penolong dari suaminya, oleh karena itu ia pantas untuk diperlakukan dengan baik dan dicintai oleh suaminya


bersambung...
 
KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK

Adalah kewajiban dari orang tua untuk membuat anaknya menjadi besar dalam kesejahteraan, dalam kenyataannya para orang tua akan melakukannya dengan penuh tanggung jawab dan kerelaan. Meskipun adakalanya terdapat anak atau anak-anak yang tidak menghargai jerih payah orang tuanya dan tidak tahu membalas budi, akan tetapi, orang tua dengan sedikit pengharapan seringkali tetap memperhatikan segala kepentingan anaknya, meskipun anak tersebut telah dewasa, kawin dan pergi dari rumah. Orang tua akan berbahagia apabila anak-anaknya dapat melebihi mereka dalam, segala aspek, atau paling sedikit sama dengan mereka; mereka akan merasa tidak puas apabila kehidupan anak-anaknya lebih rendah dari mereka. Agar dapat mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar orang tua pertama-tama harus memberi contoh tauladan dan memperlihatkan cara hidup yang ideal.

Adalah suatu kekeliruan yang sangat besar apabila orang tua membiarkan anak atau anak-anaknya tidak memiliki keyakinan terhadap Sang Tiratana (Buddha, Dhamma dan Sangha), karena kemungkinan besar anak atau anak-anak tersebut akan memilih keyakinannya lain atau agama lain sebagai pegangan hidupnya. Sebenarnya bukanlah hal yang kebetulan seorang anak terlahir dalam keluarga yang beragama Buddha, itu berarti dalam kehidupan yang lalu anak tersebut pasti sudah beragama Buddha dan ingin meneruskan keyakinannya tersebut dalam kehidupan yang sekarang. Hanya orang tua yang lalai atau karena disebabkan oleh hal-hal tertentu misalnya pendidikan di sekolah yang beragama lain, seorang anak dapat beralih ke agama lain. Memiliki keyakinan terhadap Sang Tiratana (saddha) adalah sangat penting, karena merupakan landasan dari proses beragama Buddha untuk selanjutnya, misalnya mematuhi sila mengembangkan kasih sayang, meningkatkan kemurahan hati dan memperoleh kebijaksanaan. Oleh karena itu setiap orang tua yang beragama Buddha harus senantiasa menanamkan keyakinan terhadap Sang Tiratana pada diri anak atau anak-anaknya, agar tetap beragama Buddha sampai akhir hayatnya. Perlu diingat bahwa anak atau anak-anak yang beragama lain tidak akan melakukan kewajiban yang sangat penting bagi leluhurnya yang sudah meninggal dunia, yaitu melakukan pattidana atau pelimpahan jasa; perbuatan baik yang sangat dinanti-nantikan oleh mereka yang kebetulan terlahir di alam Peta (sengsara).

Sesuai dengan Sigalovada Sutta maka orang tua mempunyai kewajiban terhadap anaknya sebagai berikut :

Mencegah anak berbuat jahat
Menganjurkan anak berbuat baik
Memberikan pendidikan profesional kepada anak
Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak
Menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat
(Digha Nikaya III, 189)
Mencegah anak berbuat jahat

Mencegah anak berbuat jahat adalah sangat penting, karena akan percuma saja si anak memiliki kecerdasan dan pandai serta kaya apabila selalu berbuat kejahatan dan merugikan orang lain atau masyarakat.

Rumah adalah sekolah yang pertama bagi anak, dan orang tua merupakan guru yang pertama bagi anak. Anak biasanya belajar dari orang tua tentang baik dan buruk, tentang budi pekerti pada umumnya. Adalah tidak bijaksana apabila orang tua membohongi anak, mempermainkan anak, menipu anak, menakut-nakuti anak, apalagi menyiksa anak. Hal tersebut akan memberi bekas yang sangat dalam pada diri anak. Orang tua wajib bertingkah laku yang baik agar anak-anak patuh dan menjadikan orang tuanya sebagai suri tauladan.

Orang tua wajib menanamkan perasaan malu dan takut pada diri si anak. Malu melakukan perbuatan yang salah, takut kepada akibat dari perbuatan yang jahat. Untuk menjauhkan anak dari perbuatan jahat orang tua harus rajin memberi petunjuk atau nasehat, rajin memberi hukuman apabila anaknya berbuat salah, dan yang paling penting adalah memberi contoh tauladan. Laranglah anak-anak melakukan perbuatan tercela, seperti menyiksa atau membunuh binatang, balas dendam, mengambil barang-barang yang tidak diberikan, berbohong dan minum minuman keras. Tetapi sebelum melarang si orang tua harus menunjukkan contoh terlebih dahulu!

Menganjurkan anak berbuat baik

Orang tua adalah guru di rumah, dan guru adalah orang tua di sekolah. Orang tua dan guru sama-sama bertanggung jawab untuk hari depan anak. Menganjurkan anak berbuat baik adalah hal yang sangat bermanfaat bagi diri si anak maupun bagi lingkungannya. Ajarkan agar anak menyayangi mahluk-mahluk lain, ajarkan anak untuk suka memberi, ajarkan anak untuk berteman dengan anak-anak lainnya, ajarkan anak untuk menghibur mereka yang patut dihibur, ajarkan anak untuk membantu orang lain, ajarkan anak untuk menghormati para bhikkhu, ajarkan anak untuk menghormati Buddharupang dan banyak hal lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu disini. Sebelumnya berilah contoh yang benar.

Anak-anak sebaiknya tidak ditinggalkan di bawah asuhan pengasuh (baby-sitter) atau pembantu yang bodoh, seringkali anak lebih dekat kepada pengasuh atau pembantu daripada dengan orang tuanya sendiri.

Sebaiknya anak diberikan dasar-dasar dari Pancasila Buddhis, bangkitkanlah perasaan kasih sayang dalam diri anak, tanamkan kecintaan pada kejujuran dan kebenaran dalam batin anak, ajarkan anak untuk bersikap sopan dan santun kepada orang lain, ajarkan anak untuk mengakui kesalahannya dengan berani dan memperbaiki kesalahan tersebut dengan bijaksana, dan jauhkanlah anak dari rokok dan minuman keras serta zat-zat berbahaya lainnya.

Selalu dijaga agar anak tidak bergaul dengan orang-orang yang jahat, dan pulang ke rumah sebelum malam hari. Anjurkanlah agar anak bergaul dengan orang-orang yang baik dan patut untuk dihormati. Ajarkan anak untuk berbicara sopan dan ramah, bersikap lemah lembut terhadap sesama mahluk.

Jangan lupa untuk memberikan pujian, bila perlu memberikan hadiah apabila anak melakukan perbuatan yang baik.

Memberikan pendidikan profesional kepada anak

Pendidikan yang baik sebenarnya adalah warisan yang paling berharga yang dapat diberikan orang tua kepada anak. Melatih dan mengajarkan anak memiliki kepandaian dan ketrampilan agar mempunyai profesi yang dapat diandalkan, sebagai modal untuk mandiri adalah sangat penting, karena suatu saat ia harus mencari nafkah sendiri.

Setelah anak jauh dari perbuatan jahat dan gemar berbuat baik maka ia harus memiliki kepandaian dan ketrampilan yang setinggi-tingginya sebagai bekal untuk mencari nafkah kalau ia sudah dewasa.

Banyak orang tua yang lebih mementingkan hal yang ketiga ini dari padapada dua hal sebelumnya, itu adalah sikap yang keliru. Karena akan terbentuk seorang manusia yang pandai dan trampil, namun tidak bermoral, hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak berguna bagi orang banyak. lbarat sebuah pedang yang sangat tajam namun tidak ada gagangnya.

Doronglah anak untuk belajar dengan rajin, secara formal disekolah dapat ditambah dengan pendidikan nonformal dalam bentuk kursus-kursus disamping pendidikan informal yang diberikan keluarga di rumah.

Perhatikan dan jangan melalaikan pendidikan agama Buddha untuk anak. Usahakan agar setelah dewasa anak tetap menjadi umat Buddha yang baik. Pendidikan yang mengarah ke profesionalisme harus diiringi dengan pendidikan moral-etik yang sama banyaknya.

Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak

Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak adalah bagi mereka yang ingin berumah tangga. Carilah yang memiliki saddha yang sama, artinya yang sama-sama beragama Buddha dan berlindung kepada Sang Tiratana; carilah yang berperangai baik dan berkelakuan baik, carilah yang murah hati dan tidak kikir namun tidak boros carilah yang memiliki kebijaksanaan yang cukup. Menilai seseorang dari penampilan luar saja tidaklah cukup, perlu observasi lebih lama dan penilaian yang lebih seksama.

Menurut Maha Mangala Jataka, pedoman memilih menantu perempuan agar ia kelak menjadi isteri yang membawa berkah adalah sebagai berikut: ia harus seorang perempuan yang ramah tamah, usia sepadan, setia, baik hati dan subur (dapat melahirkan banyak anak), memiliki keyakinan, memiliki sila serta berasal dari keluarga baik-baik.

(Jataka X. No. 453)

Untuk memilih menantu laki-laki perlu dihindarkan laki-laki yang hidung belang, pemabuk, penjudi dan pemboros.

(Parabhava Sutta, No. 16, lihat lampiran 2)

Menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat.

Orang tua yang baik tidak hanya mengasuh dan membesarkan anak-anaknya dalam suasana kasih sayang dan damai, tetapi juga mempersiapkan agar anak-anaknya kelak dapat hidup dalam kesenangan dan kebahagiaan setelah dewasa. Adalah kewajiban bagi orang tua untuk memberikan atau membagikan harta kekayaan kepada anak atau anak-anaknya setelah mereka siap untuk menerimanya, harta kekayaan tersebut akan dapat dipergunakan sebagai modal usaha untuk hidup mandiri dalam masyarakat. Walaupun orang tua telah mengumpulkan harta kekayaannya dengan susah payah, namun dengan suka rela mereka akan mewariskannya kepada anak atau anak-anaknya. Harta kekayaan tersebut akan menjadi harta warisan bagi anak atau anak-anaknya setelah orang tua tersebut meninggal dunia.

Harta warisan diberikan kepada anak apabila sudah tiba waktunya, itu artinya setelah si anak dianggap dapat mengelola atau menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Alangkah baiknya apabila semua orang tua meninggalkan harta warisan kepada anaknya, bukan hutang yang menjerat. Ada sebagian orang tua yang baru meninggalkan warisannya setelah mereka meninggal dunia.

Pengertian menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat adalah menyerahkan harta benda orang tua yang kelak akan menjadi bagian dari warisan, semasa orang tuanya masih hidup pada saat yang tepat, yaitu saat anak atau anak-anaknya sendiri benar-benar siap untuk memanfaatkannya demi hari depannya. Ajaran yang ditentukan sebagai suatu kewajiban bagi orang tua ini adalah merupakan sikap moral yang luhur dan berpandangan sangat jauh ke depan karena akan mencegah terjadinya perselisihan di antara anak-anak sebagai ahliwaris orang tuanya dan mencegah terjadinya pemborosan yang tidak berguna. Ajaran Sang Buddha ini berlaku umum, yaitu untuk setiap orang tanpa membedakan usia, jenis kelamin, golongan atau derajat dan martabatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Dari sikap batin ini dapat ditarik kesimpulan bahwa agama Buddha tidak membedakan kedudukan anak yang lahir pertama (anak sulung) dan anak yang lahir selanjutnya atau yang lahir terakhir (anak bungsu), dan juga tidak membedakan apakah anak itu laki-laki atau perempuan, yang sukses dalam pendidikan atau yang tidak beruntung dalam pendidikan, yang berhasil usahanya atau yang kurang sukses usahanya; sehingga di dalam menyerahkan harta kekayaan yang kelak akan menjadi bagian warisan atau terjadinya pembagian harta benda peninggalan setelah warisan terbuka yaitu setelah orang tua meninggal dunia, azas keadilan akan menjadi dasar utama dari pembagian harta kekayaan tersebut.

bersambung...
 
KEWAJIBAN ANAK TERHADAP ORANG TUA (DAN MERTUA)

Menurut Sang Buddha terdapat empat lapangan yang utama untuk menanam jasa kebajikan, yang pertama adalah para Buddha, yang kedua adalah para Arahat, yang ketiga adalah ibu dan terakhir adalah ayah.

(Anguttara Nikaya II, 4)

Para Buddha jarang sekali muncul di alam dunia ini, demikian pula para Arahat. Akan tetapi ibu dan ayah yang baik dan tercinta adalah biasa terdapat dalam setiap rumah tangga. Mereka benar-benar merupakan tanah ladang yang subur untuk menanam kebajikan bagi anak yang berbakti dan tahu balas budi. Sungguh beruntung, bagi anak laki-laki atau anak perempuan yang masih memiliki ibu dan ayahnya yang terkasih, sehingga mereka dapat setiap saat mempersembahkan kasih sayang dan ungkapan terima kasih kepada orangtuanya.

Barang siapa yang memperlakukan dengan buruk,
ibu, ayah dan Sammasambuddha,
Sang Tathagata serta para pengikutnya,
sebenarnya telah menimbun banyak bibit penderitaan,
Karena siapapun yang mengabaikan orang tuanya dalam hidup ini,
Akan dicela oleh para bijaksana,
Dan dalam kelahiran-kelahiran selanjutnya
Ia akan menderita sengsara di alam neraka.

Barang siapa yang telah memperlakukan dengan baik,
Ibu, ayah dan Sammasambuddha,
Sang Tathagata serta para pengikutnya,
sebenarnya telah menimbun banyak bibit kebajikan,
Karena siapapun yang berbuat bajik kepada orang tuanya dalam hidup ini,
Akan dipuji oleh para bijaksana,
dan dalam kelahiran-kelahiran selanjutnya
Ia akan hidup berbahagia di alam-alam surga.

(Anguttara Nikaya II, 4)

Hanyalah orang yang bodoh, jahat, rendah dan tidak tahu membalas budi yang akan memperlakukan ibu dan ayahnya dengan buruk; sedangkan mereka yang bijaksana, bajik, mulia dan tahu balas budi akan memperlakukan ibu dan ayahnya dengan baik. Di dalam budaya timur, adalah suatu hal yang wajib bagi seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya, juga kepada mertuanya. Seorang anak masih tetap berhubungan erat dengan kedua orang tuanya meskipun ia telah dewasa, kawin dan mempunyai keturunan. Berbakti kepada orang tua sendiri mungkin tidak ada masalah, akan tetapi banyak menantu yang sulit untuk berbakti kepada mertuanya. Meskipun agama Buddha lahir dalam budaya India lebih dari 2500 tahun yang lalu, akan tetapi apa yang telah diajarkan oleh Sang Buddha kiranya masih relevan untuk disimak dan dilaksanakan oleh umat Buddha.

Di dalam Sigalovada Sutta tertera: "Dengan lima cara seorang memperlakukan orang tuanya sebagai arah timur :

Dahulu aku telah dipelihara/dibesarkan oleh mereka, sekarang aku akan menyokong mereka
Aku akan melakukan tugas-tugas kewajibanku terhadap mereka
Aku akan menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga.
Aku akan membuat diriku pantas untuk menerima warisan.
Aku akan mengurus persembahyangan kepada sanak keluargaku yang telah meninggal dunia."
(Digha Nikaya III, 189)
Ad. 1. Setiap anak pasti mempunyai orang tua, sejak berada didalam kandungan telah menerima kasih sayang dari kedua orang tua. Sungguh beruntung seorang anak yang lahir di tengah-tengah keluarga yang harmonis, memiliki ibu yang penuh kasih sayang, memiliki ayah yang penuh tanggung jawab, memiliki saudara kandung yang rukun dan memiliki sanak keluarga yang penuh simpati. Ibu dan ayah merupakan, orang-orang yang sangat berjasa bagi anak, yang telah melindungi anaknya dari segala mara bahaya pada saat anaknya tidak berdaya, memberi makan, minum dan tempat berteduh kepada anak yang belum dapat mencari nafkahnya sendiri, mengajarkan anak untuk melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk, mendidik dan menyekolahkan anak agar mempunyai kepandaian dan ketrampilan sehingga kelak bisa mandiri dalam mencari nafkah, memberikan hiburan dan dorongan pada saat anak berputus asa, dan lain sebagainya. Orang tua yang telah membesarkan anaknya dengan sebaik-baiknya menurut ukuran mereka, adalah sangat pantas untuk disokong oleh anak-anaknya, sebagai balas jasa; meskipun sebenarnya jasa orang tua itu tidak akan pernah dapat terbalas oleh anak-anaknya.

Ayah dan ibu mertua juga harus dipandang sebagai orang tua sendiri, harus dipandang sebagai dewata keluarga yang layak dihormati. Memang sejak zaman dahulu telah menjadi bahan pembicaraan bahwa mertua dan menantu lebih sering bertengkar daripada rukun, apalagi mertua perempuan dan menantu perempuan. Diharap dalam keluarga Buddhis hal seperti itu tidak terjadi, karena masing-masing pihak berusaha untuk menahan diri, memiliki tenggang rasa dan menaruh simpati, tidak mengembangkan rasa benci dan iri hati kepada pihak lainnya.

Ad. 2. Melakukan tugas-tugas kewajiban terhadap orang tua adalah hal yang sangat penting untuk dilaksanakan oleh anak atau menantu. Setiap anak atau menantu seharusnya mengerti apa yang diharapkan dari mereka dan melaksanakan hal-hal tersebut dengan sebaik-baiknya untuk memuaskan orang tua atau mertuanya.

Adalah kewajiban bagi anak untuk menyenangkan dan membahagiakan orang tua mereka, bila perlu mengorbankan, kesenangan atau kepentingan sendiri demi orang tua.

"Mereka yang patuh pada Dhamma dan merawat orang tuanya yang sedang menderita, Kebaikannya akan diperhatikan oleh para dewa, dan para dewa tersebut akan datang untuk mengobati penyakitnya.

Mereka yang patuh pada Dhamma dan merawat orang tuanya yang sedang menderita, Kebaikannya akan dipuji oleh para dewa di dunia ini, Dalam kelahiran berikut ia akan memperoleh kebahagiaan di surga."

(Temiya Jataka)

Anak dan menantu seharusnya tidak hanya memperhatikan kebutuhan materi dari orang tua atau mertuanya saja, namun wajib memperhatikan kebahagiaan batin mereka. Doronglah agar mereka mengembangkan kemurahan hati, moral etik, kebajikan, kebijaksanaan dan lain sebagainya. Kalau mampu dan keadaan memungkinkan, ajaklah mereka berziarah ke tempat-tempat suci (Buddha Gaya, Taman Isipatana, Taman Lumbini dan Kusinara), dan doronglah agar mereka banyak melakukan perbuatan jasa yang kelak akan menguntungkan bagi mereka sendiri dalam kehidupan selanjutnya.

Ad. 3. Menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga merupakan kewajiban seorang anak untuk melakukannya. Kalau bukan anak yang memelihara garis keturunan (silsilah) dan tradisi keluarga, lalu siapa lagi? Tradisi keluarga yang baik, tidak bertentangan dengan Dhamma, sebaiknya dipelihara secara seksama. Memperhatikan sanak keluarga dan membantu mereka yang perlu ditolong adalah hal yang membawa berkah. Memelihara garis silsilah dan tradisi keluarga juga berarti tidak menghamburkan harta benda keluarga, memulihkan atau memperbaiki integritas dan kehormatan keluarga, serta tetap mempersembahkan dana untuk kepentingan keagamaan. Mempersembahkan dana secara rutin, menyokong institusi keagamaan, menyokong dunia pendidikan, membantu yayasan sosial, menolong para fakir miskin dan korban bencana alam, yang telah dilakukan oleh orang tua, wajib untuk dilanjutkan terutama setelah mereka meninggal dunia.

Ad. 4. Seorang anak yang baik akan selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan Dhamma, menghindari hal-hal yang buruk, tidak bergaul dengan orang jahat, bergaul dengan para bijaksana, bersikap dewasa dalam berpikir dan bertindak, sehingga kedua orang tuanya menilai bahwa anak tersebut layak menerima warisan dari mereka. Demikianlah, setelah warisan itu diterima oleh si anak, lalu dikelola dengan baik, tidak dihambur-hamburkan, digunakan untuk modal usaha, atau untuk mengembangkan usaha yang sudah ada, sehingga membawa manfaat bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, maupun bagi lingkungan masyarakatnya atau negaranya.

Ad. 5. Seorang anak yang baik akan mengurus persembahyangan kepada sanak keluarga yang telah meninggal dunia. Yang dimaksud disini adalah melakukan pattidana. Anak yang baik akan banyak melakukan perbuatan jasa, misalnya

Mempersembahkan makanan, jubah, obat-obatan kepada anggota Sangha;
Banyak berdana kepada korban bencana alam, anak yatim piatu, para tuna netra atau orang jompo
Melepaskan binatang-binatang yang akan mati disembelih;
Mencetak buku-buku Dhamma yang kemudian dibagikan kepada mereka yang membutuhkan;
Berdana untuk pembangunan atau pemeliharaan vihara;
Bermeditasi dan lain sebagainya.
Setelah melakukan banyak perbuatan jasa, lalu berdoa atau bersembahyang semoga para leluhur atau sanak keluarga yang telah meninggal dunia turut berbahagia atau turut bersimpati mengetahui keturunannya gemar berbuat kebajikan. Diharapkan mudita citta (pikiran yang penuh simpati dan turut bergembira) muncul dalam batin leluhur atau sanak keluarga yang telah meninggal itu, dan mudah-mudahan hal tersebut akan membuat mereka meninggal di alam yang menyedihkan lalu terlahir kembali di alam-alam yang bahagia. Berdana secara rutin atas nama orang tua yang telah meninggal adalah sangat terpuji untuk dilakukan oleh anak yang berbakti, untuk mengenang jasa-jasa almarhum, dan juga untuk kebaikan almarhum.
Seorang anak atau menantu yang bersikap kurang baik terhadap orang tua atau mertuanya, tidak mau melaksanakan kewajiban dengan baik, akan mengalami kemerosotan di dalam hidupnya kelak ia juga akan mengalami hal yang sama, anak dan menantunya akan bersikap kurang baik terhadap dirinya. Seorang anak demikian tega sehingga membunuh kedua orang tuanya, akan terlahir di neraka sekian kali ratusan ribu tahun, kemudian setelah itu ratusan kali terlahir kembali sebagai mahluk manusia yang berumur pendek dan selalu tersiksa sebelum mati (Baca kisah Moggalana).

Memang ada orang tua dan mertua yang kurang baik, yang suka menyiksa atau menghina anak dan menantunya. Ada yang semakin tua semakin sukar dilayani, semakin cerewet dan semakin keras kepala. Anak harus bersikap sabar dan menahan diri, anggaplah hal tersebut sebagai buah dari perbuatan buruk yang telah dilakukan dalam masa yang lampau.

Anak yang baik wajib melayani orang tuanya dengan kasih dan telaten, sama seperti orang tuanya membesarkan dirinya dengan kasih sayang ketika ia masih kecil dan sukar diatur (nakal). Berkorban kepentingan untuk orang tua atau mertua adalah hal yang terpuji.

Memang ada seorang ibu yang kebetulan hanya memiliki seorang putera, menganggap menantunya sebagai saingan dalam rangka merebut perhatian anaknya; apalagi kalau ia sudah menjadi janda. Ia selalu mencampuri keluarga anaknya, selalu ikut mengatur apa yang baik untuk anaknya, tanpa mekikirkan bahwa anaknya itu sudah dewasa dan telah menikah. Si menantu harus siap untuk bersabar dan bersabar lagi, karena apabila ia juga "melayani" sikap negatif dari ibu mertuanya, yang akan susah adalah suami dan dirinya sendiri. Banyak suami yang sukar untuk menentukan sikap, apabila terjadi masalah di antara ibu dan isterinya. Adalah bijaksana untuk semua pihak mengendalikan diri dengan baik, selalu memegang teguh ajaran Sang Buddha dalam hidup sehari-hari.

Menurut Sang Buddha di dalam dunia ini terdapat dua orang yang tidak dapat dibayar lunas jasa-jasa baiknya, yaitu ibu dan ayah. Meskipun seseorang memanggul ibu dan ayahnya diatas kedua bahunya sampai 100 tahun lamanya, memberikan tunjangan kepada ibu dan ayahnya, membalur tubuh mereka, dengan obat gosok, memijit, membersihkan dan mengurut kaki mereka, dan kadang-kadang mereka mengotorinya dengan air seni dan tinja, ia tetap tidak dapat membayar lunas jasa-jasa kebaikan orang tuanya. Selanjutnya, meskipun ia menempatkan orang tuanya menjadi pejabat tinggi, menjadi orang yang sangat kaya dan berkuasa, ia tetap belum dapat membayar lunas jasa-jasa kebaikan orang tuanya. Karena orang tua telah berbuat banyak sekali kepada anak, yaitu membesarkan, memberi makan, mendidik dan memperkenalkan dunia luar kepada anak mereka.

Apabila ada anak yang dapat mendorong orang tuanya yang tidak memiliki keyakinan, agar memiliki dan mengembangkan keyakinannya terhadap Dhamma; apabila ada anak yang dapat mendorong orang tuanya yang tidak bermoral, agar memiliki dan mengembangkan moral sesuai dengan Dhamma; apabila ada anak yang dapat mempengaruhi orang tuanya yang sangat kikir, agar memiliki dan mengembangkan sikap murah hati; apabila ada anak yang dapat mendorong orang tuanya yang bodoh atau dungu, agar memiliki dan mengembangkan kebijaksanaan, dengan berbuat demikian, barulah ia dapat membayar lunas jasa-jasa kebaikan orang tuanya, bahkan lebih daripada, itu.

(Anguttara Nikaya I, 61)


bersambung...
 
PERCERAIAN

Di dalam agama Buddha tidak diajarkan tentang perceraian, yang ada adalah perceraian dengan alasan keagamaan, misalnya seorang suami yang ingin menjadi anagarika, atau menjadi samanera atau menjadi bhikkhu dan diizinkan oleh isterinya; atau sebaliknya seorang isteri ingin menjadi anagarini dan diizinkan oleh suaminya. Yang pasti terjadi adalah perceraian karena salah satu meninggal dunia.

Dalam hal seorang suami mempunyai seorang isteri yang jahat (chava) dan tidak tahan lagi hidup bersama dengan perempuan itu dalam sebuah ikatan perkawinan, maka ia dapat mengajukan cerai ke Pengadilan. Sebaliknya apabila seorang isteri mempunyai suami yang jahat (chavo) dan tidak tahan lagi hidup bersama dengan laki-laki tersebut dalam ikatan perkawinan iapun dapat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan.

Dalam hal perceraian, maka umat Buddha mengikuti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Bab VIII tentang Putusnya Perkawinan serta Akibatnya, pasal 38 berbunyi bahwa perkawinan dapat putus karena :

Kematian
perceraian dan
atas keputusan Pengadilan
Dalam pasal 39 disebutkan bahwa :

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
Tatacara perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab V tentang Tatacara Perceraian pasal 19 disebut bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :

Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
Antara suami dan isteri terus-menerus; terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Setelah diperoleh keputusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum mengikat pasti, dalam pengertian apabila tidak dilakukan upaya permohonan banding atau kasasi atau setelah upaya-upaya hukum itu selesai ditempuh, berdasarkan surat keputusan Pengadilan yang memutus perceraian tersebut, selanjutnya dilakukan Pencatatan di tempat dimana perkawinan itu semula dicatatkan untuk dapat dikeluarkan atau diperoleh Akte Perceraian bagi suami isteri sudah bercerai tersebut.

Catatan :

Seperti telah diuraikan diatas, ternyata di dalam Undang-undang Perkawinan yang berlaku dewasa ini serta juga dalam peraturan pelaksanaannya, hanya ditentukan mengenai keabsahan perkawinan yaitu harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu serta harus dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Akan tetapi di dalam masalah perceraian, kecuali yang dilakukan di hadapan Pengadilan Agama bagi umat Islam, tidak ditentukan keharusan misalnya keabsahan perceraian harus memenuhi hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dalam hal ini misalnya agama Buddha.

Di dalam agama Buddha sendiri, tidak diajarkan kepada umat Buddha mengenai apakah perceraian itu merupakan hal yang dilarang menurut Dhamma; oleh sebab itu seorang suami atau seorang isteri yang merasa dirinya sudah tidak dapat melanjutkan lagi kehidupan bersama pasangannya sebagai suami isteri dengan alasan-alasan tersendiri, dituntut dengan segala pertimbangan yang didasarkan kepada ajaran moral yang tinggi berdasarkan Buddha Dhamma, untuk mempertimbangkan dengan penuh kesadaran baik buruknya kalau mereka bercerai, apalagi apabila di dalam perkawinan itu sudah dilahirkan anak atau anak-anak, yang pada umumnya justru anak-anaklah yang paling menderita akibat dari suatu perceraian.

Dengan mengambil panutan yang dilakukan oleh Pangeran Siddharta Gotama sendiri, walaupun untuk kepentingan yang demikian besar, yaitu mencari Jalan untuk membebaskan semua mahluk dari belenggu kebodohan, Beliau pergi meninggalkan isteri dan anakNya, demikian juga istanaNya, namun Beliau tidak menceraikan isteriNya, bahkan setelah mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau mengajarkan Dhamma kepada isteri dan anakNya tersebut.

Seperti telah diuraikan di muka, umat Buddha di Indonesia wajib untuk mentaati hukum Negara, termasuk juga dalam masalah perkawinan dan masalah perceraian. Apabila seorang suami atau seorang isteri atas dasar pertimbangannya sendiri yang masak dan telah bulat hati memilih jalan perceraian, maka dari segi agama Buddha hal itu sudah merupakan keputusan, dalam pengertian bahwa perceraian tersebut merupakan perbuatan yang akan dipetik hasilnya kelak di kemudian hari, entah baik atau buruk, merupakan sesuatu yang harus diterimanya; sedangkan dari hukum Negara wajiblah ditempuh ketentuan-ketentuan yang berlaku seperti diatur dalam pasal 39 Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan pasal 19 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tersebut di atas.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.