• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Perbedaan Agama Buddha dengan Agama lain

weee.. sodara hendri n kwetiaw.. g ngerti maksud kalian dengan jelas.. emang perlu di kasih sumbernya.. tapi ga usah terlalu ngotot gitu.. inget lah kepala dingin.. glek(walopun neh thread dah lama) tapi intinya memang ke 84000 dhamma yang dibabarkan oleh Buddha Gotama sangat sedikit dibandingkan dengan total keseluruhan Dhamma yang memang telah ada dan belum dibabarkan.. ingat dhamma sendiri itu adalah kebenaran.. dan kebenaran itu pastilah lebih dari 84000 yang telah dibabarkan oleh Buddha Gotama.. namun hanya dengan 84000 .. banyak makhluk yang tertolong dan lepas dari roda samsara.. artinya apa yang telah diajarakan Beliau walaupun terbilang sedikit.. sudah mewakili.. gitu khan.. dan lagi maksud lain dari pernyataan mengenai daun itu.. bahwa jangan memandang hanya Dhamma dari sudut pandang agama Buddha yang benar.. karena masih banyak Dhamma2 lainnya.. jadi ingatlah ciri2 Dhamma itu.. thx
 
ehipasiko opanayiko ....


:)
Pada masa Sang Buddha, telah ada banyak aktivitas intelektual besar di India. Beberapa orang terpandai yang diketahui oleh dunia telah berkecimpung di dalam kontroversi keagamaan besar sepanjang masa.

Apakah ada Sang Pencipta? Tidak adakah Sang Pencipta? Adakah jiwa itu? Tidak adakah jiwa itu? Apakah dunia tanpa awal? Apakah ada awal permulaan?

Ini merupakan beberapa topik yang hangat diperdebatkan sepanjang waktu. Dan tentu saja, seperti saat ini, semua mengklaim bahwa hanya dialah yang memiliki semua jawaban dan siapapun yang tidak mengikutinya akan dikutuk dan dimasukkan ke dalam neraka! Sebenarnya, semua pencarian keras atas kebenaran ini hanya akan menghasilkan lebih banyak lagi kebingungan.

Sekelompok pemuda yang saleh dari suku Kalama pergi menghadap Sang Buddha untuk menyampaikan kebingungan mereka. Mereka bertanya kepadaNya apa yang seseorang harus lakukan sebelum menerima atau menolak suatu ajaran.


1. Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Berita Semata

Nasihat Sang Buddha seperti yang disebutkan dalam Kalama Sutta adalah untuk tidak menerima apapun berdasarkan pada berita, tradisi, kabar angin semata. Biasanya orang mengembangkan keyakinan mereka setelah mendengarkan perkataan orang lain. Tanpa berpikir mereka menerima apa yang orang lain katakan mengenai agama mereka atau apa yang telah tercatat dalam buku-buku keagamaan mereka. Kebanyakan orang jarang sekali mengambil resiko untuk menyelidiki, untuk menemukan apakah yang dikatakannya benar atau tidak. Sikap umum seperti ini sukar untuk dipahami, khususnya di dalam era modern saat ini ketika pendidikan sains mengajarkan orang untuk tidak menerima sama sekali apapun yang tidak bisa dijelaskan secara rasional. Bahkan sekarang ini banyak yang disebut sebagai pemuda berpendidikan hanya menggunakan emosi atau ketaatan mereka tanpa menggunakan pikiran naralnya.

Dalam Kalama Sutta, Sang Buddha memberikan nasihat yang sangat liberal (bebas) kepada sekelompok pemuda dalam menerima suatu agama secara rasional. Ketika orang-orang muda ini tidak dapat memutuskan bagaimana memilih agama yang sesuai, mereka menghadap kepada Sang Buddha untuk mendapatkan nasihatNya. Mereka mengatakan kepadaNya bahwa semenjak berbagai kelompok agama memperkenalkan agamanya dalam berbagai cara, mereka mengalami kebingungan dan tidak bisa memahami cara keagamaan mana yang benar. Para pemuda ini bisa diibaratkan dalam istilah modern sebagai para pemikir bebas (free thinkers), atau para pencari kebenaran (truth seekers). Inilah mengapa mereka memutuskan untuk mendiskusikan hal ini dengan Sang Buddha. Mereka memohon kepada Sang Buddha untuk memberikan beberapa garis pedoman untuk membantu mereka menemukan suatu agama yang sesuai dimana dengannya mereka dapat menemukan kebenaran.

Dalam menjawab pertanyaan mereka, Sang Buddha tidak mengklaim bahwa Dhamma (ajaranNya) merupakan satu-satunya ajaran yang bernilai dan siapapun yang mempercayai hal lain akan masuk ke neraka. Justru Beliau memberikan beberapa nasihat yang penting untuk mereka pertimbangkan. Sang Buddha tidak pernah menganjurkan orang untuk menerima suatu agama hanya melalui iman (faith) semata tetapi Beliau menganjurkan mereka untuk mempertimbangkan dan memahami segala sesuatunya tanpa bias (praduga/menyimpang). Beliau juga tidak menganjurkan orang untuk menggunakan emosi atau ketaatan semata yang berdasarkan pada kepercayaan yang membuta di dalam menerima suatu agama. Inilah mengapa agama yang berdasarkan pada ajaranNya sering digambarkan sebagai agama rasional. Agama ini juga dikenal sebagai agama merdeka dan beralasan (religion of freedom and reason). Kita seharusnya tidak menerima apapun melalui iman atau emosi untuk mempraktikkan suatu agama. Kita seharusnya tidak menerima suatu agama begitu saja dikarenakan agama itu menghilangkan ketakutan bodoh kita mengenai apa yang akan terjadi pada diri kita, kapan kita mati ataupun ketakutan kita ketika diancam oleh api neraka jika kita tidak menerima beberapa ajaran atau yang lainnya. Agama harus diterima melalui pilihan bebas. Setiap pribadi harus menerima suatu agama karena pemahaman dan bukan karena agama itu merupakan hukum yang diberikan oleh suatu penguasa atau kekuatan-kekuatan supernatural. Menerima suatu agama haruslah bersifat pribadi dan berdasarkan pada kepastian rasional akan agama yang akan diterima.

Orang dapat membuat berbagai macam klaiman mengenai agama mereka dengan membesar-besarkan berbagai macam peristiwa untuk mempengaruhi orang lain. Kemudian, mereka dapat memperkenalkannya sebagai pesan surgawi untuk menumbuhkan iman atau rasa percaya. Tetapi kita harus membaca apa yang tertulis secara analitis dengan menggunakan akal sehat dan kekuatan pikiran. Itulah mengapa Sang Buddha menasihatkan kita untuk tidak menerima secara tergesa-gesa apapun yang tercatat, tradisi, atau kabar angin semata. Orang mempraktikkan tradisi-tradisi tertentu yang berdasarkan pada kepercayaan, kebiasaan atau cara hidup komunitas dimana mereka berada. Namun, beberapa tradisi sangatlah penting dan berarti. Oleh karena itu, Sang Buddha tidak mengecam semua tradisi adalah salah tetapi menasihatkan kita untuk mempertimbangkannya dengan sangat berhati-hati praktik mana yang penuh arti dan mana yang tidak. Kita harus mengetahui bahwa beberapa tradisi tertentu tersebut menjadi ketinggalan jaman dan tidak berarti lagi setelah beberapa periode waktu. Hal ini mungkin disebabkan karena kebanyakan di antaranya diperkenalkan dan dipraktikkan oleh orang-orang primitif dan pemahaman mereka tentang kehidupan manusia dan alam sangatlah terbatas pada masa itu. Jadi, pada masa sekarang ini ketika kita menggunakan pendidikan sains modern kita dan pengetahuan akan alam semesta, kita dapat melihat sifat sesungguhnya dari kepercayaan mereka. Kepercayaan yang dimiliki orang-orang primitif mengenai matahari, bulan, dan bintang-bintang, bumi, angin, halilintar, guntur dan halilintar, hujan dan gempa bumi, berdasarkan pada usaha mereka untuk menjelaskan fenomena alam yang nampaknya sangat mengerikan. Mereka memperkenalkan fenomena alam tersebut sebagai tuhan-tuhan (dewa) atau perbuatan-perbuatan tuhan dan kekuatan-kekuatan supernatural.


2. Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Tradisi Semata

Dengan pengetahun kita yang telah maju, kita dapat menjelaskan fenomena alam yang nampaknya mengerikan ini sebagaimana apa adaya. Itulah mengapa Sang Buddha mengatakan, “Janganlah menerima dengan segera apa yang kau dengar. Janganlah mencoba untuk membenarkan perilaku tidak rasionalmu dengan mengatakan ini adalah tradisi-tradisi kami dan kita harus menerimanya.” Kita seharusnya tidak percaya begitu saja kepada takhayul ataupun dogma agama karena orang yang dituakan melakukan hal yang sama. Ini bukan berarti kita tidak menghormati para sesepuh kita, tetapi kita harus melaju bersama waktu. Kita seharusnya memelihara kepercayaan-kepercayaan yang sesuai dengan pandangan dan nilai-nilai modern dan menolak apapun yang tidak diperlukan atau yang tidak sesuai karena waktu telah berubah. Dengan cara ini kita akan dapat hidup dengan lebih baik.

Satu generasi yang lalu, seorang pendeta Anglikan, Uskup dari Woolich menyatakan sebuah kalimat, “Tuhan dari celah“ (God of the gaps) untuk menjelaskan bahwa apapun yang tidak kita pahami merupakan atribut tuhan. Karena pengetahuan kita terhadap dunia telah berkembang, kekuatan tuhan pun berkurang secara bersamaan.


3. Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Kabar Angin Semata

Semua orang suka mendengarkan cerita. Mungkin itulah mengapa orang mempercayai kabar angin. Anggaplah ada seratus orang yang telah melihat sebuah peristiwa tertentu dan ketika setiap orang menceritakannya kembali kepada yang lain, ia akan menghubungkannya dengan cara yang berbeda dengan menambahkan lebih banyak hal lainnya dan membesar-besarkan hal yang kecilnya. Ia akan menambahkan “garam dan bumbu” untuk membuat ceritanya lebih seru dan menarik dan untuk memperindahnya. Umumnya setiap orang akan menceritakan suatu kisah seolah-olah dialah satu-satunya yang dapat menceritakan kepada orang lain apa yang benar-benar terjadi. Inilah sifat sesungguhnya dari cerita yang dibuat dan disebarkan oleh orang. Ketika Anda membaca beberapa kisah dalam agama apapun, cobalah untuk ingat bahwa kebanyakan dari interpretasinya adalah hanya untuk menghias peristiwa kecil untuk menarik perhatian orang. Jika tidak demikian, maka tidak akan ada apapun bagi mereka untuk diceritakan kepada orang lain dan tak seorang pun akan menaruh perhatian pada kisah itu.

Di sisi lain cerita dapat sangat bermanfaat. Cerita merupakan cara yang menarik untuk menyampaikan pelajaran moral. Literatur Buddhis merupakan gudang yang besar dari beragam kisah cerita. Tetapi itu hanyalah cerita. Kita harus tidak mempercayainya seperti seolah-olah cerita itu adalah kebenaran mutlak. Kita seharusnya tidak seperti anak kecil yang percaya bahwa seekor serigala dapat menelan hidup-hidup seorang nenek dan berbicara kepada manusia! Orang dapat berbicara mengenai berbagai macam keajaiban, tuhan-tuhan/dewa, dewi, bidadari-bidadari dan kekuatan mereka berdasarkan pada kepercayaan mereka. Kebanyakan orang cenderung untuk menerima dengan segera hal-hal tersebut tanpa penyelidikan apapun, tetapi menurut Sang Buddha, kita seharusnya tidak mempercayai dengan segera apapun karena mereka yang menceritakannya kepada kita akan hal itu pun terpedaya olehnya. Kebanyakan orang di dunia ini masih berada dalam kegelapan dan kemampuan mereka untuk memahami kebenaran sangatlah miskin. Hanya beberapa orang yang memhami segala sesuatu secara sewajarnya. Bagaimana mungkin seorang buta menuntun seorang buta lainnya? Kemudian ada perkataan lain, ”Jack si mata satu dapat menjadi raja dikerajaan orang buta.” Beberapa orang mungkin hanya mengetahui sebagian dari kebenaran. Kita perlu berhati-hati dalam menjelaskan kebenaran mutlak ini kepada mereka.


4. Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Otoritas Teks-Teks Keagamaan Semata

Selanjutnya Sang Buddha memperingati kita untuk tidak mempercayai apapun berdasarkan pada otoritas teks-teks keagamaan ataupun kitab-kitab suci. Beberapa orang selalu mengatakan bahwa semua pesan-pesan yang terdapat dalam kitab-kitab suci mereka disampaikan secara langsung oleh tuhan mereka. Sekarang ini, mereka mencoba untuk memperkenalkan buku-buku tersebut sebagai pesan dari surga. Hal ini sukar untuk dipercaya bahwa mereka menerima pesan ini dari surga dan mencatatnya dalam kitab suci mereka hanya pada beberapa ribu tahun yang lampau. Mengapa wahyu ini tidak diberikan lebih awal? (Menimbang bawa planet bumi ini berusia empat setengah miliar tahun). Mengapa wahyu tersebut dibuat hanya untuk menyenangkan beberapa orang tertentu saja? Tentunya akan jauh lebih efektif jika mengumpulkan semua orang dalam suatu tempat dan menyatakan kebenaran kepada banyak orang daripada bergantung pada satu orang untuk melakukan pekerjaan itu. Bukankah tetap lebih baik jika tuhan-tuhan mereka menampakkan diri pada hari-hari penting tertentu dalam setahun untuk membuktikan keberadaan dirinya secara berkala? Dengan cara demikian tentunya mereka tidak akan memiliki kesulitan sama sekali untuk mengubah seluruh dunia!

Umat Buddha tidak berusaha untuk memperkenalkan ajaran Sang Buddha sebagai pesan surgawi, dan mereka mengajarkan tanpa menggunakan kekuatan mistik apapun. Menurut Sang Buddha, kita tidak seharusnya menerima ajaranNya seperti yang tercatat dalam kitab suci Buddhis secara membuta dan tanpa pemahaman yang benar. Ini merupakan kebebasan yang luar biasa yang Sang Buddha berikan kepada kita. Meskipun Beliau tidak pernah mengklaim bahwa umat Buddha adalah orang-orang pilihan tuhan, Beliau memberikan penghargaan jauh lebih besar kepada kecerdasan manusia dibanding dengan yang pernah dilakukan oleh agama manapun.

Cara yang terbaik bagi seseorang yang berasional untuk mengikuti adalah mempertimbangkan secara hati-hati sebelum ia menerima atau menolak segala sesuatu. Mempelajari, berpikir, menyelidiki sampai Anda menyadari apa yang ada sebenarnya. Jika Anda menerimanya hanya berdasarkan pada perintah atau kitab-kitab suci, Anda tidak akan menyadari kebenaran bagi diri Anda sendiri.


5. Janganlah Bergantung Pada Logika dan Argumentasi Pribadi Saja

“Janganlah bergantung pada logika dan argumentasi pribadi saja” merupakan nasihat lain dari Sang Buddha. Janganlah berpikir bahwa penalaran Anda adalah hal yang mutlak. Kalau tidak demikian, Anda akan berbangga diri dan tidak mendengarkan orang lain yang lebih mengetahui dibandingkan dengan diri Anda. Biasanya kita menasihatkan orang lain untuk menggunakan penalaran. Benar, dengan menggunakan daya pikiran dan akal yang terbatas, manusia berbeda dengan hewan dalam hal menggunakan pikirannya. Bahkan seorang anak kecil dan orang yang tidak berpendidikan pun menggunakan penalaran sesuai dengan usia, kedewasaan, pendidikan, dan pemahaman. Tetapi penalaran ini berbeda berdasarkan pada kedewasaan, pengetahuan, dan pengalaman. Sekali lagi, penalaran ini merupakan subjek dari perubahan, dari waktu ke waktu. Identitas seseorang atau pengenalan akan konsep-konsep juga berubah dari waktu ke waktu. Dalam penalaran seperti itu tidak ada analisa terakhir atau kebenaran mutlak. Karena kita tidak memiliki pilihan lain, kita harus menggunakan penalaran terbatas kita secara keras sampai kita mendapatkan pemahaman yang sebenarnya. Tujuan kita seharusnya adalah mengembangkan pikiran kita secara berkesinambungan dengan bersiap diri untuk belajar dari orang lain tanpa menjadi masuk ke dalam kepercayaan membuta. Dengan membuka diri kita pada cara berpikir yang berbeda, dengan membiarkan kepercayaan kita tertantang/teruji, dengan selalu tetap membuka pikiran, kita mengembangkan pemahaman kita atas diri kita sendiri dan dunia di sekeliling kita. Sang Buddha mengunjungi setiap guru yang dapat Beliau temukan sebelum Beliau mencapai Pencerahan terakhir. Meskipun kemudian Beliau tidak menerima apapun yang mereka ajarkan. Justru, Beliau menggunakan penalaranNya untuk memahami Kebenaran. Dan ketika Beliau mencapai Penerangan Agung, Beliau tidak pernah marah atau mengancam siapapun yang tidak setuju dengan ajaranNya.

Sekarang marilah kita mempertimbangkan argumen dan logika. Kapanpun kita berpikir bahwa suatu hal tertentu dapat kita terima, kita mengatakan hal itu adalah logika. Sebenarnya, seni logika merupakan alat yang bermanfaat bagi sebuah argumen. Logika dapat diekploitasi oleh para orator (ahli pidato) berbakat yang menggunakan kepandaian dan kecerdikan. Seseorang yang mengetahui cara berbicara dapat menjatuhkan kebenaran dan keadilan serta mengalahkan orang lain. Seperti para pengacara berargumen di pengadilan. Kelompok-kelompok agama yang berbeda berargumen untuk membuktikan bahwa agama mereka lebih baik dari agama-agama yang lainnya. Argumen-argumen mereka berdasarkan pada bakat dan kemampuan mereka untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka tetapi sebenarnya mereka tidak tertarik kepada kebenaran. Inilah sifat dasar dari argumen. Untuk mencapai kebenaran, Sang Buddha menasihatkan kita untuk tidak terpengaruh oleh argumen atau logika tetapi menasihatkan kita untuk menggunakan penyelidikan yang tidak bias. Ketika orang-orang mulai berargumen, secara alami emosi mereka juga muncul dan hasilnya adalah argumen yang memanas. Kemudian, egoisme manusia menambah lebih banyak lagi api dalam perang kata-kata ini. Pada akhirnya, menciptakan permusuhan karena tak ada seorang pun yang mau menyerah. Oleh karena itu, seseorang seharusnya tidak memperkenalkan kebenaran agama melalui argumen. Ini merupakan nasihat penting lainnya dari Sang Buddha.


6. Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Pengaruh Pribadi Seseorang Semata

Kemudian nasihat selanjutnya adalah janganlah menerima apapun sebagai kebenaran mutlak berdasarkan pada pengaruh pribadi seseorang. Hal ini mengacu pada kepercayaan yang dilihat sebagai kebenaran melalui imajinasi pribadi seseorang. Meskipun kita memiliki keraguan dalam pikiran kita, kita menerima hal-hal tertentu sebagai kebenaran setelah penyelidikan yang terbatas. Semenjak pikiran kita terpedaya oleh banyaknya keinginan dan perasaan-perasaan emosional, sikap batin ini menciptakan banyak ilusi. Dan kita juga sebenarnya memiliki kebodohan batin. Semua orang menderita yang diakibatkan dari kebodohan batin dan ilusi. Kekotoran batin menyelimuti pikiran yang kemudian menjadi bias dan tidak dapat membedakan antara kebenaran dan ilusi. Sebagai hasilnya, kita menjadi percaya bahwa hanya kepercayaan kitalah yang benar. Nasihat Sang Buddha adalah untuk tidak mengambil sebuah kesimpulan dengan segera dengan menggunakan perasaan emosional kita tetapi untuk mendapatkan lebih banyak lagi informasi dan penyelidikan sebelum kita mengambil kesimpulan terhadap sesuatu. Ini berarti kita harus bersedia mendengarkan terlebih dulu apa yang orang lain katakan. Mungkin mereka dapat menjernihkan keragu-raguan kita dan membantu kita untuk mengenali kesalahan atas apa yang kita percayai sebagai kebenaran. Sebagai contoh untuk hal ini adalah suatu masa ketika orang-orang pernah mengatakan bahwa matahari mengelilingi bumi dimana bumi berbentuk datar seperti layaknya uang logam. Hal ini berdasarkan pada keterbatasannya pengetahuan mereka, tetapi mereka bersiap untuk membakar hidup-hidup siapapun yang berani mengemukakan pandangan yang lain. Terima kasih kepada Guru Tercerahkan kita, Buddhisme dalam sejarahnya tidak memiliki catatan gelap dimana orang tidak diperkenankan untuk menentang apapun yang tidak masuk akal seperti itu. Inilah mengapa begitu banyak aliran Buddhisme saling bertautan secara damai tanpa mengecam satu sama yang lain. Berdasarkan pada petunjuk-petunjuk yang jelas dari Sang Buddha, umat Buddha menghormati hak-hak orang lain untuk memegang pandangan yang berbeda.


bersambung...
 
7. Janganlah Menerima Apapun Yang Kelihatannya Benar

Nasihat selanjutnya adalah janganlah menerima apapun yang kelihatannya benar. Ketika Anda melihat segala hal dan mendengarkan beberapa tafsiran yang diberikan oleh orang lain, Anda hanyalah menerima penampilan luar dari obyek-obyek tersebut tanpa menggunakan pengetahuan anda secara mendalam. Kadangkala konsep atau identitas yang Anda ciptakan mengenai suatu obyek adalah jauh dari kebenaran hakikinya.

Cobalah untuk melihat segala sesuatu dalam sudut pandang yang sebagaimana mestinya. Buddhisme dikenal sebagai Ajaran Analisis (Doktrin of Analysis). Hanya dengan melalui analisa kita dapat memahami apa yang sebenarnya terdapat pada sebuah obyek dan apakah jenis dari elemen-lemen dan energi-energi yang berkerja dan bagaimanakah hal-hal itu bisa ada, mengapa mengalami kelapukan dan menghilang. Jika Anda menelaah sifat alami dari hal-hal ini, Anda akan menyadari bahwa segala sesuatu yang ada adalah tidak kekal dan kemelekatan terhadap obyek-obyek tersebut dapat menimbulkan kekecewaan. Juga, Anda akan menyadari bahwa tidak ada hal penting dalam pertengkaran mengenai ide-ide ketika dalam analisa terakhir, ketika melihat hal-hal tersebut dalam sudut pandang yang sebebarnya, ternyata hal-hal tersebut hanyalah ilusi belaka. Umat Buddha tidaklah terjebak dalam hal-hal kontoversial mengenai kapan dunia akan berakhir karena mereka melihat bahwa secara pasti segala sesuatu yang terdiri dari perpaduan akan mengalami kehancuran. Dunia akan berakir. Tidak ada keraguan akan hal itu. Kita berakhir setiap waktu kita menarik napas masuk dan keluar. Akhir dunia (yang disampaikan oleh Sang Buddha) hanya semata-mata peristiwa dramatis dari sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan ilmu astronomi modern mengatakan pada kita bahwa dunia bergejolak setiap saat. “Mereka yang tidak mengkhawatikan masa lalu, mereka yang tidak mengkhawatirkan masa depan, maka mereka hidup dalam ketenangan” (Sang Buddha). Ketika kita mengetahui kebenaran ini, maka akhir dunia tidak lagi menjadi hal yang begitu menakutkan dan tidaklah pantas untuk dikhawatirkan.


8. Janganlah Bergantung Pada Pengalaman Spekulasi Pribadi Seseorang.

Sang Buddha kemudian memperingati para pengikutnya untuk tidak bergantung pada pengalaman spekulasi pribadi seseorang. Setelah mendengarkan atau membaca beberapa teori tertentu, orang dengan mudah tiba pada kesimpulan tertentu dan memelihara kepercayaan ini. Mereka menolak dengan sangat keras untuk mengubah pandangan mereka karena pikiran mereka telah terbentuk atau karena sewaktu beralih pada kepercayaan tertentu, mereka telah diperingatkan bahwa mereka akan dibakar di dalam neraka jika mereka mengubah pendiriannya. Dalam kebodohan dan rasa takut, orang-orang malang ini hidup dalam surga kebodohan, mereka berpikir bahwa kesalahan-kesalahan mereka secara ajaib akan diampuni. Nasihat Sang Buddha adalah untuk tidak membuat kesimpulan gegabah apapun untuk memutuskan apakah sesuatu itu benar atau sebaliknya. Manusia dapat menemukan berbagai macam hal di dunia ini tetapi hal yang paling sukar bagi mereka untuk dilihat adalah kebenaran atau realita dari segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan. Kita seharusnya tidak bergantung pada desas-desus spekulasi untuk memahami kebenaran. Kita boleh menerima beberapa hal tertentu sebagai dasar yang digunakan untuk memulai sebuah penyelidikan yang akhirnya akan memberikan kepuasan pada pikiran. Keputusan yang kita ambil dengan cara spekulasi dapat dibandingkan dengan keputusan yang dibuat oleh sekelompok orang buta yang menyentuh bagian berbeda dari tubuh seekor gajah. Setiap orang buta tersebut memiliki keputusan sendiri mengenai apa yang ia pikirkan tentang bentuk dari gajah tersebut. Bagi masing-masing orang buta tersebut, apa yang ia katakan adalah benar. Meskipun mereka yang dapat melihat hal-hal tersebut tahu bahwa semua orang buta tersebut salah, dalam pikiran orang-orang buta tersebut mereka berpikir bahwa merekalah yang benar. Juga janganlah seperti katak dalam tempurung kelapa yang berpikir bahwa tidak ada dunia lain di luar apa yang dapat ia lihat.

Kita terbutakan oleh kekotoran batin kita. Inilah mengapa kita tidak dapat memahami kebenaran. Inilah mengapa orang lain dapat menyesatkan dan mempengaruhi kita dengan sangat mudah. Kita selalu mudah mengganti kepercayaan yang telah kita terima sebagai kebenaran karena kita tidak memiliki pemahaman yang mendalam. Orang-orang mengubah lebel agama mereka dari waktu ke waktu karena mereka mudah terpengaruh oleh emosi manusia. Ketika kita sudah menyadari kebenaran tertinggi, kita tidak perlu lagi mengubahnya dalam keadaan apapun karena dalam kebenaran terakhir tidak ada hal yang diubah, ia adalah Mutlak.


9. Janganlah Dengan Mudah Mengubah Pandangan Kita Karena Kita Terkesan Oleh Kemampuan Mengesankan Seseorang

Kita seharusnya tidak mengubah pandangan-pandangan kita dengan mudah karena kita terkesan oleh kemampuan mengesankan seseorang merupakan nasihat selanjutnya Sang Buddha yang diberikan kepada orang-orang muda yang disebut dengan suku Kalama. Seberapa orang memiliki kemampuan yang mengesankan Anda dengan perilaku dan kemampuan nyata untuk melakukan hal-hal tertentu. Sebagai contoh, akankah Anda mempercayai secara membuta seorang gadis yang ada di iklan televisi yang mengatakan kepada Anda bahwa Anda juga dapat menjadi cantik secantik dirinya, memiliki gigi seindah giginya, jika Anda menggunakan pasta gigi merek tertentu? Tentu tidak.Anda tidak akan menerima apa yang ia katakan tanpa memeriksa secara hati-hati kebenaran akan pernyataanya. Ini juga sama dengan para pembicara fasih yang mengetuk pintu Anda untuk menceritakan cerita yang mempesona tentang “kebenaran” mereka. Mereka mungkin berbicara mengenai beragam guru-guru agama, guru-guru, dan ahli-ahli meditasi. Mereka juga akan menikmati memberi pernyataan yang dilebih-lebihkan untuk membuktikan kekuatan dari guru-guru mereka untuk mempengaruhi pikiran Anda. Jika Anda secara membuta menerima perkataan-perkataan mereka sebagai Kebenaran, Anda akan memelihara pandangan yang goyah dan dangkal karena Anda tidak sepenuhnya yakin. Anda dapat mengikuti mereka dengan iman untuk beberapa saat, tetapi suatu hari Anda akan merasa kecewa, karena Anda tidak menerimanya melalui pemahaman dan pengalaman Anda. Dan segera setelah guru mengesankan lainnya datang, Anda akan meninggalkan yang pertama.

Telaahlah nasihat yang diberikan oleh Sang Buddha. Pikirkan bagaimana beralasannya, masuk akalnya, dan ilmiahnya cara pengajaranNya. “Janganlah mendengarkan orang lain dengan kepercayaan membuta. Dengarkanlah mereka dengan segala pengertiannya, tetapi tetaplah penuh perhatian dan dengarlah dengan pikiran terbuka. Anda tidak seharusnya menyerahkan pendidikan dan kecerdasan Anda kepada orang lain ketika Anda sedang mendengarkan mereka. Mereka mungkin mencoba untuk membangkitkan emosi Anda dan mempengaruhi pikiran Anda sesuai dengan kebutuhan duniawi Anda untuk memuaskan keinginan Anda. Tetapi tujuan mereka mungkin bukan berkepentingan untuk menyatakan kebenaran.”


10. Janganlah Menerima Apapun Atas Pertimbangan Bahwa “Inilah Guru Kami”

Janganlah menerima apapun atas pertimbangan bahwa “Inilah guru kami”, merupakan nasihat terakhir Sang Buddha dalam konteks ini. Pernahkah Anda mendengar guru agama lain manapun yang mengutarakan kata-kata seperti ini? Yang lainnya semua mengatakan, “Sayalah satu-satunya guru terhebat, Saya adalah Tuhan. Ikutilah aku, sembahlah aku, berdoalah padaku, jika tidak kau tidak akan memiliki keselamatan.” Mereka juga mengatakan, “Janganlah kau menyembah tuhan lain atau guru lain.” Berpikirlah untuk sejenak untuk memahami sikap Sang Buddha. Sang Buddha mengatakan, “Kau seharusnya tidak bergantung secara membuta kepada gurumu. Ia mungkin saja adalah penemu sebuah agama atau guru yang terkenal, tetapi meskipun demikian kau tidak seharusnya mengembangkan kemelekatanmu terhadapnya sekali pun.”

Beginilah caranya Sang Buddha memberikan penghargaan yang semestinya kepada kecerdasan seseorang dan memperkenankan manusia menggunakan kehendak bebasnya tanpa bergantung pada orang lain. Sang Buddha mengatakan, “Kau bisa menjadi tuan atas dirimu sendiri.” Sang Buddha tidak pernah mengatakan kepada kita bahwa Beliau-lah satu-satunya Guru Yang Tercerahkan dimana para pengikutnya tidak diperkenankan untuk memuja tuhan/dewa dan guru agama lain. Beliau juga tidak menjanjikan para pengikutnya bahwa mereka dapat dengan mudah pergi ke surga atau mencapai Nibbana jika mereka memujaNya secara membuta. Jika kita mempraktikkan agama begitu saja dengan bergantung kepada seorang guru, kita tidak akan pernah menyadari kebenaran. Tanpa menyadari kebenaran mengenai agama yang kita praktikkan kita dapat menjadi korban dari kepercayaan yang membuta dan memenjarakan kebebasan berpikir kita dan akhirnya menjadi budak bagi seorang guru tertentu dan mendiskriminasikan guru yang lain.

Kita harus menyadari bahwa kita harus tidak bergantung pada orang lain dalam penyelamatan diri kita. Tetapi kita dapat menghormati guru agama manapun yang sungguh dan pantas untuk dihormati. Para guru agama dapat mengatakan kepada kita bagaimana untuk meraih keselamatan kita, tetapi seseorang tidak dapat menyelamatkan orang lain. Penyelamatan ini bukan seperti menyelamatkan sebuah kehidupan ketika dalam bahaya. Ini adalah pembebasan terakhir dari kekotoran batin dan penderitaan duniawi. Inilah mengapa kita harus berkerja secara individual (sendiri) untuk meraih pembebasan kita atau kemerdekaan penuh berdasarkan pada nasihat yang diberikan oleh guru-guru agama.

“Tidak ada orang lain yang menyelamatkan kita selain diri kita. Sang Buddha hanyalah menunjukkan jalannya.”

Dapatkah Anda pikiran guru agama manapun yang pernah mengatakan hal ini? Inilah kebebasan yang kita miliki dalam Buddhisme.

Inilah sepuluh nasihat yang diberikan oleh Sang Buddha kepada sekelompok pemuda yang disebut suku Kalama yang datang menemui Sang Buddha untuk mengetahui bagaimana menerima suatu agama dan bagaimana untuk memutuskan mana agama yang benar.

Nasihat Beliau adalah: “Janganlah mementingkan diri sendiri dan janganlah menjadi budak bagi yang lain; Janganlah melakukan apapun hanya untuk kepentingan pribadi tetapi pertimbangkan untuk kepentingan pihak lain.” Beliau mengatakan kepada suku Kalama agar mereka dapat memahami hal ini berdasarkan pada pengalaman pribadi mereka. Beliau juga mengatakan bahwa di antara beragam praktik dan kepercayaan, ada hal-hal tertentu yang baik bagi seseorang tetapi tidak baik bagi yang lain. Dan sebaliknya, ada hal-hal tertentu yang baik bagi orang lain tetapi tidak baik bagi seseorang. Sebelum Anda melakukan apapun, Anda harus mempertimbangkan baik manfaat maupun ketidakmanfaatan yang akan bertambah pada diri Anda. Inilah garis pedoman untuk pertimbangan sebelum Anda menerima suatu agama. Oleh karena itu, Sang Buddha telah memberikan kebebasan secara penuh kepada kita untuk memilih suatu agama berdasarkan pada pendirian diri sendiri.

Buddhisme merupakan suatu agama yang mengajarkan seseorang untuk memahami bahwa manusia bukanlah untuk agama tetapi agama itulah yang untuk manusia gunakan. Agama dapat diibaratkan sebagai rakit yang digunakan manusia untuk menyeberangi sungai. Ketika orang itu sampai di pinggiran sungai, ia dapat meninggalkannya dan melanjutkan perjalanannya. Seseorang seharusnya menggunakan agama untuk perbaikan dirinya dan untuk mengalami kebebasan, kedamaian, dan kebahagiaan. Buddhisme merupakan suatu agama yang dapat kita gunakan untuk hidup penih kedamaian dan membiarkan yang lain untuk juga hidup penuh kedamaian. Saat mempraktikkan agama ini kita diperkenankan untuk menghormati agama lain. Jika sukar untuk menghormati sikap dan perilaku agama lain maka setidaknya kita perlu bertoleransi tanpa mengganggu atau mengecam agama lain. Sangatlah sedikit agama lain yang mengajarkan para pengikutnya untuk mengadopsi sikap bertoleransi ini.
 
hi..., saya member baru forum ini, boleh ya ikutan bahas. Bukan hanya sembahyang leluhur dianggap menyembah setan, tetapi menurut agama lain, katanya kegiatan seperti menyembah patung-patung juga dikatakan bersekutu sama setan. Apa benar......?

Beberapa ratus tahun setelah kehidupan Sang Buddha, ada seorang bhikkhu terkenal yang dipanggil Upagutha. Ia adalah seorang penceramah yang sangat terkenal. Ketika ia memberikan ceramah, ribuan orang berkumpul. Màra si jahat sangat tidak senang karena lebih banyak lagi orang yang menjadi religius.

Màra bukanlah makhluk hidup tetapi gangguan dan rintangan batin yang kuat yang menghalangi seseorang menuju ke jalan kehidupan spiritual. Kemudian Màra dipersonifikasikan sebagai Yang Jahat. Màra ini mulai menampilkan pertunjukkan, tarian, nyanyian, kesukariaan yang menarik didepan Vihàra. Kemudian para umat perlahanlahan mulai beralih untuk melihat Màra. Tak seorang pun yang mendengarkan ceramah Upagutha.

Upagutha memutuskan untuk memberikan pelajaran yang baik kepada Màra dan ia juga pergi melihat pertunjukkan itu. Ketika pertunjukkan itu berakhir, Upagutha mengatakan bahwa ia sangat menghargainya. ”Untuk menghargai pertunjukkanmu saya ingin menaruh rangkaian kalung bunga ini ke lehermu.” Màra sangat bangga. Ketika Upagutha menaruh rangkaian kalung bunga, Màra merasa kalung bunga itu membelit di sekitar lehernya seperti seekor ular python. Ia berusaha melepaskannya tetapi tidak bisa. Kemudian ia pergi menemui Sakka, raja para dewa dan meminta kepadanya untuk melepaskan kalung tersebut. Sakka juga berusaha sekuat tenaga tetapi ia juga tidak bisa melepaskannya. Kemudian Màra pergi menemui Brahma yang pada masa itu dipandang sebagai tuhan pencipta dan meminta kepadanya untuk melepaskan kalung itu. Brahma juga mencoba melepaskannya tetapi tidak berhasil melepaskannya. Kemudian Brahma mengatakan kepada Màra bahwa hanya orang yang meletakkannya yang bisa melepaskannya. Lalu Màra harus kembali ke Yang Mulia Upagutha dan memohon kepadanya untuk melepaskannya kalau tidak Màra akan mati. Kemudian

Upagutha berkata, ”Tidaklah sukar tetapi saya hanya dapat melakukannya dengan 2 kondisi.
Pertama, engkau harus berjanji di masa yang akan datang engkau tidak akan mengganggu apapun terhadap kegiatan keagamaan kami.”

Màra setuju.
”Hal kedua yaitu engkau telah melihat Sang Buddha karena dalam beberapa kesempatan kau berusaha mengganggu Sang Buddha. Kau hidup beberapa ratus tahun setelah Sang Buddha. Kau memiliki kekuatan batin untuk menampilkan tubuh fisik Sang Buddha.”

Màra berkata, ”Ya, saya akan melakukannya jika anda berjanji untuk tidak menyembahku ketika aku muncul sebagai Sang Buddha karena aku bukanlah orang yang suci.”

Kemudian Y.M. Upagutha berkata,
”Saya tidak akan menyembahmu.”

Namun ketika Màra muncul sebagai wujud Sang Buddha, Y.M. Upagutha segera menghormatinya.

Kemudian Màra berteriak,
”Engkau berjanji untuk tidak menyembah.”

Kemudian Upagutha berkata,
”Saya tidak menyembah Màra tetapi menghormati Sang Buddha.”- -- --- ---- -----
 
gw masi ngak ngerti sama reinkarnasi nih??ada yg bisa menjelaskan??hehehe
apakah hewan bisa terlahir kembali menjadi manusia atw ngak??
trus klo misalnya manusia berreinkarnasi, berarti manusia yg ada dibumi ini jumlahnya seharusnya ngak bertambah donk??hehhee...PEACE..

PUNABBHAVA
(Kelahiran Kembali)



Punabbhava berasal dari bahasa Pali yang terbentuk dari dua kata yaitu kata ”puna” dan ”bhava”. Kata ”puna” berarti lagi atau kembali, sedangkan ”bhava” berarti proses menjadi ada/eksis atau kelahiran. Jadi, secara harafiah, punabbhava berarti proses menjadi ada/eksis lagi atau kelahiran kembali atau tumimbal lahir. Punabbhava atau Kelahiran kembali atau tumimbal lahir merupakan suatu proses menjadi ada/eksis kembali dari suatu makhluk hidup di kehidupan mendatang (setelah ia meninggal/mati) sehingga lahir (jati), dimana proses ini merupakan akibat atau hasil dari kamma (perbuatan)nya pada kehidupan lampau.

Proses menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali atau punabbhava terjadi pada semua makhluk hidup yang belum pencapai Penerangan Sempurna, ketika mereka telah meninggal/mati.

Dalam Hukum Paticcasamuppada (Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan), proses menjadi ada/eksis atau punabbhava atau kelahiran kembali disebabkan oleh Kamma (perbuatan) yang kemudian menghasilkan kemelekatan kepada segala sesuatu termasuk kemelekatan pada hidup dan kehidupan. Jadi makhluk hidup apapun yang mengalami proses menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali (punabbhava), merupakan makhluk yang masih memiliki kemelekatan pada sesuatu dalam kehidupan sebelumnya. Dan seperti yang diuraikan dalam Hukum Paticcasamuppada kemelekatan timbul karena adanya Tanha (Keinginan/Kehausan) dan juga Avijja (Ketidaktahuan/Kebodohan).

Karena Avijja (Ketidaktahuan/Kebodohan) seseorang menyadari atau tidak menyadarinya, tetap terus mengumbar keinginan/kehausannya terhadap segala sesuatu sehingga timbul kemelekatan pada dirinya terhadap segala sesuatu.

Proses menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali atau punabbhava terjadi pada semua makhluk hidup yang belum pencapai Penerangan Sempurna, ketika mereka telah meninggal/mati. Dalam Hukum Paticcasamuppada (Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan), proses menjadi ada/eksis atau punabbhava atau kelahiran kembali disebabkan oleh Kamma (perbuatan) yang kemudian menghasilkan kemelekatan kepada segala sesuatu termasuk kemelekatan pada hidup dan kehidupan. Jadi makhluk hidup apapun yang mengalami proses menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali (punabbhava), merupakan makhluk yang masih memiliki kemelekatan pada sesuatu dalam kehidupan sebelumnya. Dan seperti yang diuraikan dalam Hukum Paticcasamuppada kemelekatan timbul karena adanya dan juga . Karena Avijja (Ketidaktahuan/Kebodohan) seseorang menyadari atau tidak menyadarinya, tetap terus mengumbar keinginan/kehausannya terhadap segala sesuatu sehingga timbul kemelekatan pada dirinya terhadap segala sesuatu.


Proses Kelahiran Kembali

Dalam proses kelahiran kembali atau rebirth (bahasa Inggris), tidak terjadi suatu perpindahan roh/jiwa/kesadaran ke dalam jasmani yang baru. Yang terjadi dalam proses kelahiran kembali adalah adanya proses berkesinambungan dari kesadaran (citta) pada kehidupan lampau dengan kesadaran (citta) kehidupan baru yang merupakan suatu aksi-reaksi. Oleh karena itu proses kelahiran kembali sangatlah berhubungan dengan proses kematian itu sendiri. Dan kedua proses yang berhubungan dengan batin ini sangatlah kompleks.

Guru Buddha menjelaskan dalam Satta Sutta; Radha Samyutta; Samyutta Nikaya 23.2 {S 3.189} bahwa makhluk hidup pada umumnya dan manusia pada khususnya merupakan perpaduan dari lima kelompok (Panca Khandha), yang kelimanya dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama yaitu jasmani atau fisik dan yang kedua adalah batin. Baik fisik maupun batin ini tidak terlepas dari hukum perubahan, suatu saat muncul dan saat kemudian mengalami pemadaman/mati. Batin sendiri terdiri dari perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran. Unsur-unsur batin ini disebut dalam bahasa Pali sebagai citta. Citta juga sering disebut dengan kesadaran. Citta/kesadaran ini mengalami kemunculan, pemisahan dan pemadaman/mati.

Pada saat seseorang mengalami kematian, jasmani tidak lagi bisa berfungsi untuk mendukung citta/kesadaran. Citta/kesadarannya pun akan mengalami pemadaman/kematian dan secara otomatis ia meneruskan kesan apapun yang tertanam padanya kepada Citta/kesadaran penerusnya yang tidak lain merupakan Citta/kesadaran pada kehidupan yang baru. Penerusan Kesadaran (Patisandhi Vinnana) ini terjadi dengan adanya peran dari Kamma yang pernah dilakukan.

Ketika jasmani mengalami kematian, dalam pikiran orang yang sekarat muncul kesadaran yang bernama Kesadaran Ajal (Cuti Citta). Ketika Kesadaran Ajal mengalami pemadaman juga, maka orang tersebut dikatakan sudah meninggal. Tetapi pada saat yang bersamaan pula (tanpa selang/jeda waktu) Citta/kesadaran kehidupan baru muncul. Dan saat itulah seseorang telah dilahirkan kembali, sudah berada dalam kandungan dengan jasmani yang baru berupa janin. Keseluruhan proses ini terjadi dalam waktu yang singkat.


Perumpamaan Lilin

Proses kelahiran kembali dimana tidak adanya peristiwa perpindahan jiwa/roh dapat diperumpamakan seperti sebuah api lilin. Ketika kita melihat sebuah api yang menyala pada sebuah lilin nampak apinya sama saja walaupun telah satu jam telah berlalu. Tidak tampak adanya api dari lilin lain yang menggantikannya. Yang jelas tampak oleh kita adalah memendeknya ukuran lilin tersebut. Tetapi apakah ini berarti api yang menyala tersebut merupakan api yang sama dengan api yang kita lihat satu jam yang lalu? Jawabannya adalah tidak sama.

Jika kita perhatikan secara seksama, api pada lilin tidak akan hidup tanpa adanya unsur-unsur pendukung seperti batang lilin, sumbu, dan udara (oksigen). Api yang menyala tersebut ternyata merupakan api yang berbeda karena tiap saat disokong oleh bagian dari batang lilin, sumbu dan molekul-molekuk udara yang berbeda. Meskipun disokong oleh unsur-unsur yang berbeda, tetapi api tersebut tetap menyala tanpa perlu padam kemudian menyala lagi. Dengan kata lain adanya proses yang berkesinambungan.

Api disini tidak lain adalah kesadaran, batang lilin dan sumbu adalah jasmani, dan udara adalah kamma. Jasmani dan kamma adalah penyokong keberlangsungan kesadaran.


Tiga Kondisi Terjadinya Kelahiran

Dalam Mahatanhasankhaya Sutta; Majjhima Nikaya 38, Guru Buddha menjelaskan:

"Para bhikkhu, embrio (dalam kandungan) terjadi karena penggabungan tiga hal, yaitu: adanya pertemuan ayah dan ibu, tetapi ibu tidak ada makhluk yang siap terlahir (kembali), dalam hal ini tidak ada pembuahan dalam kandungan; ada pertemuan ayah dan ibu, ibu dalam keadaan masa subur, tetapi tidak ada makhluk yang siap untuk terlahir (kembali), dalam hal ini tidak ada pembuahan dalam kandungan; tetapi ada pertemuan ayah dan ibu, ibu dalam keadaan masa subur dan ada makhluk yang siap terlahir (kembali), maka terjadi pembuahan karena pertemuan tiga hal itu.”

Jadi ada tiga kondisi yang harus dipenuhi sehingga terjadi suatu kelahiran, khususnya pada kelahiran manusia, yaitu: adanya sepasang (calon) orang tua yang subur, adanya hubungan seksual dari sepasang (calon) orang tua, dan adanya makhluk yang siap untuk terlahir (gandhabba). Istilah `gandhabba` berarti `datang dari tempat lain`, mengacu pada suatu arus energi batin yang terdiri dari kecenderungan-kecenderungan, kemampuan-kemampuan dan ciri-ciri karakteristik yang diteruskan dari jasmani yang telah mati.

Ketika jasmani mati, `batin bergerak ke atas` (uddhamgami) dan mengembangkan diri lagi pada sel telur (calon) ibu yang baru saja dibuahi. Janin tumbuh, lahir dan berkembang sebagai pribadi baru, dengan diprasyarati, baik oleh karakteristik batin yang terbawa (dari kehidupan lampau) juga oleh lingkungan barunya. Kepribadiannya akan berubah dan bermodifikasi oleh usaha kesadaran, pendidikan, pengaruh orang tua dan lingkungan sosial. Watak menyukai atau tidak menyukai, bakat kemampuan dan sebagainya, yang dikenal sebagai "sifat bawaan" dari setiap individu sebenarnya adalah terbawa dari kehidupan sebelumnya. Dengan kata lain, watak serta apa yang dialami pada kehidupan kita saat sekarang, pada tingkat-tingkat tertentu adalah hasil (vipaka) dari perbuatan (kamma) kehidupan lampau. Perbuatan-perbuatan kita selama hidup, demikian pula, akan menentukan di alam kehidupan mana kita akan dilahirkan.


Empat Cara Kelahiran

Ada empat cara kelahiran makhluk hidup yang telah dijelaskan oleh Guru Buddha di dalam Mahasihanda Sutta; Majjhima Nikaya 12.

”Sariputta, ada empat cara kelahiran. Apakah empat cara kelahiran itu? Kelahiran melalui telur (andaja yoni), kandungan (jalabuja yoni), tempat lembab (samsedaja yoni) dan kelahiran secara spontan (opapatika).
Apakah kelahiran melalui telur? Ada makhluk-makhluk yang lahir dengan memecahkan kulit telur; ini yang disebut kelahiran melalui telur.
Apakah kelahiran melalui kandungan? Ada makhluk-makhluk yang lahir melalui kandungan; ini yang disebut kelahiran melalui kandungan.
Apakah kelahiran pada tempat lembab? Ada makhluk-makhluk yang lahir dalam ikan yang membusuk, mayat yang membusuk, adonan yang membusuk, atau dalam jamban atau dalam saluran air kotor; ini yang disebut kelahiran pada tempat lembab.
Apakah kelahiran secara spontan? Ada dewa-dewa dan penghuni-penghuni neraka dan makhluk manusia tertentu dan para penghuni tertentu dari alam yang tidak menyenangkan, yang lahir (muncul) secara spontan; ini yang disebut kelahiran secara spontan.
Inilah empat cara kelahiran.”


Alam Kehidupan

Setiap makhluk yang dilahirkan kembali akan terlahir di salah satu dari 31 alam kehidupan sesuai dengan kammanya. Mereka yang cenderung banyak melakukan kamma buruk pada umumnya akan terlahir di alam-alam rendah atau alam penderitaan. Sedangkan mereka yang cenderung banyak melakukan kamma baik pada umumnya akan terlahir di alam-alam tinggi atau alam bahagia.
Secara garis besar 31 alam kehidupan dibagi menjadi lima bagian yaitu: terdapat empat alam kemerosotan (apayabhumi), satu alam manusia (manussabhumi), enam alam dewa (devabhumi), enam belas alam brahma berbentuk (rupabhumi), dan empat alam brahma tanpa bentuk (arupabhumi).

Apayabhumi yang terbentuk dari tiga kosakata, yaitu `apa` yang berarti `tanpa, tidak ada`, `aya` yang berarti `kebajikan`, dan `bhumi` yang berarti `alam tempat tinggal makhluk hidup`. Alam ini juga sering disebut dengan `duggatibhumi`. `Duggati` terbentuk dari dua kosakata, yaitu `du` yang berarti `jahat, buruk, sengsara`, dan `gati` yang berarti `alam tujuan bagi suatu makhluk yang ajan dilahirkan kembali`. Apayabhumi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan. Apayabhumi terdiri dari empat alam, yaitu: alam neraka (Niraya), alam binatang (Tiracchana), alam setan (Peta), alam iblis (Asurakaya). Karena tidak semua binatang hidup dalam kesengsaraan, alam ini tercakup dalam guggatibhumi secara tidak menyeluruh dan langsung.

Manussabhumi terbentuk dari dua kosakata, yaitu `manussa` dan `bhumi`. `Manussa` terdiri dari dua kosa kata yaitu mano yang berarti `pikiran, batin` dan `ussa` yang berarti `tinggi, luhur, meningkat, berkembang.` Jadi manussabhumi yang berarti alam tempat tinggal manusia.

Devabhumi disebut juga alam surga. Alam ini merupakan alam dimana makhluk penghuninya hidup dalam kenikmatan inderawi. Tapi meskipun disebut sebagai alam surga, para makhluk yang hidup di alam ini yaitu dewa dan dewi juga hidup dan ketidakekkalan. Alam surga terbagi menjadi enam alam, yaitu: Catumaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita, Nimmanarati, dan Paranimmitavasavatti.

Rupabhumi merupakan alam tempat kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk. Yang dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan khusus yaitu berhasil mencapai pencerapan Jahna (pemusatan pikiran yang kuat dalam memegang obyek) yang luhur. Alam brahma terdiri dari 16 alam, yaitu: tiga alam bagi peraih jhana pertama (Pathama), tiga alam bagi peraih Jhana kedua (Dutiya), tiga alam bagi peraih Jhana ketiga (Tatiya), dua alam bagi peraih Jhana keempat (Catuttha), dan lima alam Suddhavasa. Alam Suddhavasa merupakan alam kehidupan bagi mereka yang telah terbebas dari napsu birahi (kamaraga) dan sebagainya, yaitu para Anagami (tingkat kesucian ketiga) yang berhasil meraih pencerapan Jhana kelima.

Arupabhumi merupakan suatu alam tempat kelahiran batiniah para brahma tanpa bentuk. Meskipun disebut sebagai suatu alam yang mengacu pada tempat atau bentuk, namun di sini sesungguhnya sama sekali tidak terdapat unsur jasmaniah/fisik sehalus apa pun dan dalam wujud apapun. Kelahiran di alam brama tanpa bentuk ini terjadi karena pengembangan perenungan yang kuat terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan sehingga tidak menginginkannya.


Menghentikan Kelahiran Kembali

Setelah mencapai Pencerahan Agung, Guru Buddha memekikkan pekik kemenangan, ”Dengan melalui banyak kelahiran Aku telah mengembara dalam samsara (siklus kehidupan). Terus mencari, namun tak kutemukan pembuat rumah ini. Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang-ulang ini.”
”O pembuat rumah, engkau telah kulihat, engkau tak dapat membangun rumah lagi. Seluruh atapmu telah runtuh dan tiang belandarmu telah patah. Sekarang batinku telah mencapai Keadaan Tak Berkondisi (nibbana). Pencapaian ini merupakan akhir daripada napsu keinginan.”(Dhammapada 153-154)

Bagi mereka yang telah sadar, mencapai Pencerahan Agung dan merealisasikan Kebenaran Tertinggi, kelahiran kembali merupakan suatu proses yang melelahkan dan menyakitkan seperti yang diucapkan oleh Guru Buddha dalam pekik kemenangan tersebut. Oleh karena itu bagi mereka yang telah sadar, mereka akan berusaha melepaskan diri dari proses kelahiran kembali. Dan bagi mereka yang telah mencapai Pencerahan Agung dan merealisasikan Kebenaran Tertinggi (Nibbana), tidak akan lagi mengalami kelahiran kembali.

Sesuai dengan rumusan Hukum Sebab-Musabab Yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada), yang menyatakan bahwa: Dengan adanya ini, maka terjadilah itu, dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu (”Imasming Sati Idang Hoti, Imasming Asati Idang Na Hoti”), maka untuk menghentikan proses menjadi (kelahiran kembali) perlu meniadakan atau melenyapkan penyebab dari proses menjadi tersebut. Penyebab dari proses menjadi tersebut tidak lain adalah Tanha (Keinginan/Kehausan) dan Avijja (Ketidaktahuan/Kebodohan) yang ada pada diri seseorang.

Jalan atau cara melenyapkan Tanha (Keinginan/Kehausan) dan Avijja (ketidaktahuan/kebodohan) adalah dengan melaksanakan sila (kemoralan), samadhi (konsentrasi), dan panna (kebijaksanaan) yang terdapat dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko Magga). Dengan menjalankan Jalan Mulia Berunsur Delapan secara sempurna, seseorang bukan hanya nantinya terbebas dari kelahiran kembali, tetapi juga dapat merealisasikan Kebenaran Tertinggi (Nibbana).
 
Saudara-saudara, saudari-saudari sekalian,, mau nanya nih.. sebenarnya tulisan yang bener Buddha atau Budha?? Karena di KTP saya tertulisnya Budha,, gimana tuh?!
 
hi ,
ak member baru dsni (:
td tdk sengaja googling seputar Buddhist ,
dan singgah ke forum ini ,
ak merasa tertarik dan lgsg daftar :)

sekedar kenalan :
umrku 14 , cewe , dari makassar (ujung pandang)
plus , agamaku , Buddhist Tantrayana ..
salam kenal.. mari berteman ;)
 
wow satu kata saja dari saya

Teringat akan kematian, teringat pada perbedaan ajaran buddhist dgn agama lain.

disatu sisi agama lain ingin mendapatkan kebahagiaan di alam surga, di agama buddha ingin mencapai kekekalan abadi untuk selamanya (nirvana)

disatu sisi agama lain ingin menghidupkan orang yang telah mati, di agama buddha mengajarkan menghidupkan orang yg telah mati hanya menghilangkan penderitaan sesaat

disatu sisi agama lain mengheboh2kan keajaiban2 yang dapat dilakukan, di agama buddha menyimpan keajaiban2 yg dpt dilakukan dengan mengkondisikan keajaiban2nya,

betapa baik karma kita dapat mengenal buddha dharma yang tak tertandingi kebenarannya, betapa baik karma kita hingga dapat mjd murid Yang paling bijaksana di alam semesta ini, betapa besarnya karma baik kita timbul hanya karena mengenalnya,

tetapi tidak bangga diri saya sebagai umat buddha, kebanggaan mjd murid buddha hanya menjauhi diriku pada Sang Baghava.

begini lah keadaannya,

wow ....... luar biasa
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.