• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

mengikuti Buddha kah kita?

Masalah vege uda bnyk diperdebatkan. Masing2 memiliki kebenaran masing2. Vege bisa dikatakan mendukung sila pertama. Karena mencegah pembunuhan. Tetapi sila pertama tidak merujuk pada vege.

Walau tak vege , Seorang yg serius berlatih tidak akan menjadi penjagal hewan sebagai mata pencahariannya. Tidak akan secara langsung kontak membunuh mahluk misalnya seperti membunuh nyamuk dan semut sekalipun. Mereka akan menghindari pekerjaan atau tindakan yg bisa mengarah ke membunuh mahluk. Inilah implementasi sila 1 bagi yg tak vege.

Bagi yg vege, lebih menjurus ke arah jalan bodhisatva. Jalan cinta kasih. Karena mengembangkan cinta kasih, seseorang tidak tega makan langsung makanan yg berasal dari bahan mahluk hidup. Maksudnya makanan yg di depan mata terlihat nyata-nyata adalah merupakan bagian2 dari tubuh mahluk hidup, atau yg terbuat dari zat2 yg berasal dari mahluk hidup.

Ini dua jalan yg kelihatan berbeda, tetapi sama. Sama2 tidak menghendaki menyakiti mahluk hidup.

Ini ngelantur sedikit. Jika ada karma karena menyebabkan matinya mahluk2 hidup karena kita konsumsi sesuatu secara langsung maupun tak langsung. Karma itu memang harus kita bayar. Sayur2 an juga mahluk hidup. Mungkin pasir dan batu yg tak bisa dikatakan mahluk hidup.

Bayarlah dengan berbuat hal2 baik, berlatih yg baik , dan capailah bijaksana dalam mengelola hidup dan menuju tujuan yg kita inginkan. Maka pengorbanan mahluk hidup yg mati karena kita memakannya atau mati karena tersedianya makanan bagi kita , jadi tidak sia2. Mahluk2 itu akan tau diri, bahwa mereka memang terlahir tidak menguntungkan bagi dirinya sendiri karena tak berdaya. Mereka bisa menjadi korban manusia yg hidup. Tetapi sebagai manusia , hendaklah tau diri juga. Berlatihlah yg serius. Tidak menyia-nyiakan dukungan mahluk2 hidup yg memang terlahir tak berdaya.

Janganlah bersumpah untuk ber vege. Jika bisa ber vege maka ber vege lah.
Boleh berikrar vege tetapi tanpa adanya doktrin hukuman neraka jika melanggar sila vege. Hukuman atas pelanggaran sila vege adalah sama jahatnya dengan membunuh mahluk. Tidak ada kemuliaan dalam doktrin menghukum sesuatu yg tidak kita bisa lakukan karena level kesadaran belum sampai di sana. :)
 
hahaha.... Maaf jika terlalu panjang Sdr.Ozma... Saya berusaha menanggapi dua argumen sekaligus.
1. Terima kasih atas link informasinya. Akan saya pelajari lagi. Saya memang masih baru belajar. Saya akan informasikan setelah saya dapat informasi jelasnya. Oh, ya....saya ingat dalam salah satu riwayat hidup Sang Buddha, Sang Buddha tidak berkenan melanjutkan perjalanan pada saat musim hujan. Sdr.Ozma pernah baca atau dengar? Mengapa ya?
2. Saya juga berkata mungkin, mengapa Anda begitu yakin? Mohon penjelasannya. Terima kasih..
3. Mungkin saya perlu pelajari lagi dari link yang Anda beri. Saya akan coba baca apakah terdapat uraian atau sepenggal kata "Sang Buddha memakan daging". Terima kasih...
4. Benarkah hanya tiga hal itu? Apakah suatu ajaran bisa dipenggal-penggal atau hanya diambil sebagian saja. Mungkin Anda perlu belajar bersama-sama saya juga. :D
5. Lebih Buddhis? Apa maksud perkataan Anda? hahaha..... Saya pernah mendengar ada Bhikkhu dan ajaran-ajaran yang membuat Bhikkhu bisa makan daging hewani. Saya tidak berani "mensejajarkan" diri dengan orang yang "jauh-jauh" lebih bijaksana dari pada saya. Mungkin Sdr.Ozma sangat bijaksana sehingga belajar langsung dari tahap orang yang telah belajar bertahun-tahun.
Untuk hal ini (vegetarian), mengapa banyak sekali orang yang kontra? hahaha..... Sekali lagi saya sampaikan bahwa saya menanggapi Sdr Paddye yang belajar menjadi "anggota Sangha" dari awal.

Bagaimana jika Anda tanya kan pada Banthe di vihara Anda cara belajar jadi anggota Sangha - seperti halnya Sdr.Paddye. >:D<
Tolong di satukan saja, karena mod sangat rewel dalam hal begini :)

1.baca dulu mengenai hal itu di Asal Usul Hari Kathina
Melihat hal ini masyarakat mengkritik dengan mengatakan, "Mengapa para Bhikkhu Sakyaputta (murid-murid Sang Buddha) mengadakan perjalanan pada musim dingin, panas dan musim hujan sehingga mereka menginjak tunas-tunas muda, rumput-rumputan, serta merusak kehidupan yang sangat penting dan mengakibatkan binatang-binatang kecil mati? Tetapi pertapa-pertapa lain, yang walaupun kurang baik dalam melaksanakan peraturan (Vinaya), namun mereka menetap selama musim hujan".

Darisana bisa kita simpulkan..
pada Dasarnya peraturan Vassa ini dibuat, karena datang keluhan dari masyarakat..

2.dalam postingan sdr singthung rasanya sudah jelas

3. coba baca artikel Bagaimana Sang Buddha wafat
Dalam Mahaparinibbana Sutta, kita diberitahukan bahwa Sang Buddha menderita sakit secara tiba-tiba setelah Beliau memakan suatu hidangan khusus yang lezat, Sukaramaddava, yang secara harafiah diterjemahkan sebagai "daging babi lunak", yang telah disiapkan oleh penjamu dermawanNya, Cunda Kammaraputta. Nama dari hidangan tersebut menarik perhatian dari banyak sarjana, dan hal itu menjadi fokus dari riset akademis terhadap asal muasal makanan hidangan atau bahan baku yang digunakan di dalam memasak hidangan khusus ini.

4. mungkin kamu mencari tulisan ini ?
Sabba papassa akaranam,
Kusalassa Upasampadam
Sacitta Pariyodapanam
Etham Buddhanassanam

Jangan berbuat jahat,
Tambahlah Kebajikan
Sucikan Hati dan pikiran
Inilah Ajaran para Buddha.
Baca lagi tulisan sdr.singthung..

Kalau Buddha mengganggap vege itu relevan dgn dhamma..
maka sang Buddha akan menganjurkan...

5....sdr.paddye ini, bertujuan jadi bhikku dari aliran apa ?
Mahayana atau theravada ?
Kalau Mahayana, ya memank ada tulisan semacam itu..
Tapi, karena saya menghargai pandangan kamu, yg bilang

Saya adalah seorang Buddhis. Menurut saya, aliran-aliran hanya akan mengotak kita menjadi terpisah-pisah. Jadi, kenali saya sebagai umat Buddhis yang sedang belajar saja.
Maka saya tidak ingin membahas dari aliran apa dia..
Dan kita kesampingkan saja, sdr.paddye dalam hal ini..

Saya sudah membaca thread yang diawali Sdr.Singthung. Sungguh suatu masukan yang baik. Sesuai dengan kesimpulan Anda, Sdr.Singthung juga tidak menganjurkan orang untuk bervegetarian atau tidak.

Dari apa yang ditulis Sdr.Singthung dalam thread nya (kesampingkan apa yang dianjurkan beberapa Bhante pada Sdr.Paddye), pengikut Sang Buddha adalah para Bhikkhu yang memperoleh makanan dari hasil pindapatta. Apakah Sdr.Ozma dan teman-teman sedharma memperoleh makanan dari pindapatta? Jika tidak, berarti Anda bisa memilih dan membeli makanan yang Anda masukkan ke mulut Anda bukan?
Setelah ini, Anda mungkin akan mengangkat ketiga syarat seperti yang diungkapkan Sdr.Singthung. Sederhana saja, tak ada penjual maka tak ada pembeli.

Selain itu, saya juga tertarik dengan Post dari Sdr.Nurani86 yang mengutip Lankavatara Sutra dan Maha Parinirvana Sutra yang kemudian sebagian sangkal keberadaannya.
Saya memang tidak terlalu memahami kitab-kitab. Yang saya tahu, semua kitab suci tidak pernah diturunkan secara langsung oleh para nabi dengan mengatasnamakan Tuhan atau apa pun. Semua adalah tulisan yang juga tidak dapat dipenggal-penggal per bagian.

Akhir kata, jika benar Sang Buddha menganjurkan vegetarian atau tidak namun jelas Sang Buddha mengajarkan untuk menghindari pembunuhan. Dan salah satu cara yang bisa saya lakukan sebagai seorang yang belajar Buddhis adalah dengan bervegetarian. Dengan mengurangi jumlah permintaan akan daging, saya akan mengurangi pembunuhan terhadap makhluk hidup yang terjadi di dunia ini.

Bagaimana Sdr.Ozma? Maaf jika terlalu panjang dan post saya terpisah menjadi dua. Terima kasih. :)

Pindapatta atau bukan, itu bukan masalah disini..
saya hanya menegaskan bahwa vege / non vege itu murni pilihan..
Jadi tidak ada anjuran langsung dari sang Buddha mengenai hal ini..

Kalau kamu merasa vegetarian bisa mengurangi pembunuhan..
ya silakan.. tidak ada larangan

Tapi jangan membuat bingung pihak lain dgn mengatakan bahwa menjadi VEGE dianjurkan sang Buddha..
Apalage mengatakan kalau tidak VEGE sama dengan tidak Buddhis atau hanya Buddhis KTP /wah
 
Jelas bukan kalau Sang Buddha (Gautama/Sakyamuni) mencapai ke-Buddha-an? Buddha hanya sebutan dari manusia awam yang berarti mencapai penerangan sempurna.

Buddha tidak "menyuruh". Buddha hanya mengajarkan pada manusia cara untuk mencapai Buddha. Mau mengikuti atau tidak terserah pada pribadi masing-masing manusia. Benar?

Lalu ngapain anda buat thread ini /? sampe2x anda menghina buddhis KTP /swt

Bukankah terserah,,, pribadi masing2x :D

Masalah vegan,,,,
1. Apakah vegan menentukan tingkat kesucian buddhis /?
2. Apakah Buddha melarang buddhis utk menyantap daging yang "baik"/?
3. Apakah Buddha tidak makan daging /?

Tentu dengan source yang valid,,, jangan hanya comment anak kecil :D
 
aku sedikit nambah aja ye
gw pernah baca 1 buku dari karangan master cheng yee<-- ralat Suma chinghai [ aku datang untuk membawamu pulang ]
ntah benar apa kaga
seseorang yang bener2 ingin terlepas dari kemelekatan , klesha2 wajib bervegetarian
emang gak di paksa vegetarian tapi sesudah u meditasi ampe tahap2 tertentu
akan masih ada klesha2 yg belum terkikis habis

memang seorang budhis gak di paksa bervegetarian
semuanya hanya "ehipasiko"

kalau ceritanya seseorang itu mau mencapai tingkat yg lebih tinggi Jhana I,II,III,IV dst
bervegetarian itu wajib demi mengikis habis klesha2 d hantu belau lainnya

tidak bervegetarian pun sudah bisa mencapai sottapanna

dan menurut gw :
zaman sang buddha gak bisa di samaain ama zaman skrg
zaman dlu mau vegan gak vegan lingkungan nya masih mendukung ,mahkluk2 suci masih menampakkan wujud,lingkungan masih pure,sedikit sentuhan mukjijat terjadi,byk pertapa2 yg melatih kesaktian

kalo sekarang,mana ada lagi ceritanya seseorang itu ngeliat dewa dewi,n mahkluk2 suci lain , ntah kalo tang ki itu bener apa kaga ya, menurut gw mah tangki itu hanya datok yg ngenyamar jadi dewa dewi,
sungguh sangat jarang menampakan wujud mahkluk2 suci skrg demi ngebantu manusia

so akhir cerita
silakan bervegetarian/tdk bervegetarian demi mencapai hasil yg lebih baik
mungkin ada faktor bakat juga ya kalo ceritanya ga vegan pun bisa mencapai arahat

bakat pun bisa di kalahkan dengan giat berlatih
 
Wah... wah... wah.... Kok sepertinya pada emosi? Isu vegetarian sepertinya memang cukup menarik.


Sdr.Pertamac, maaf jika Anda merasa "terhina". Saya tidak bermaksud demikian. Saya juga pernah dikatakan Buddha KTP.....itu juga karena banyak yang belum saya ketahui akan pedoman hidup saya ini. Harap Anda membaca dahulu dengan baik post2 dari teman2 di sini.
Benar jika semua terserah pada kita masing2. Jika pun seorang Buddha berkata kepada Anda untuk bervegetarian tapi Anda tetap mau makan daging, Buddha tidak akan bisa memaksa Anda, bukan. Karena itu adalah hidup Anda sendiri.
Menjawab poin Anda (menurut saya):
1. Tidak, makan bukan satu-satunya kegiatan dalam hidup manusia.
2. Apa maksud Anda dengan daging yang "baik"?
3. Saya tidak tahu juga ya. Jika menurut Sutta yang dikemukakan dalam thread atau artikel teman2 sebelumnya, "ada kemungkinan". Saya pribadi tidak berani berkata secara pasti akan hal itu, dan saya belum bisa seperti Sang Buddha yang telah lepas dari keterikatan, dengan kata lain saya tidak bisa dibandingkan dengan Sang Buddha.

Jika menurut Anda, saya berkomentar seperti anak kecil, setidaknya saya berargumen sesuai dengan pengalaman dalam perjalanan hidup saya. Bagaimana dengan Anda?


Sdr.Yanto Teguh, terima kasih jika menurut Anda itu adalah hal mulia, semoga Anda juga bisa belajar bersama saya. Tapi mohon Anda baca kembali, saya tidak menyebutkan itu hal mulia. Terima kasih. Mohon Anda baca kembali post dari saya akan masalah ekstrim. Logika Anda hampir benar tapi jika Anda menyebutkan perbandingan seperti itu, apakah Anda tahu berapa hektar hutan yang dibuka untuk lahan peternakan?


Sdr.Ozma, Jika Anda mengambil kutipan dari Sutta, mengapa Anda mengatakan pindapatta bukan menjadi pertimbangan? Pertanyaan saya sederhana, "Apa kah Anda menjalani kehidupan seperti para siswa Sang Buddha yang makan dari pindapatta?" Mengapa Anda tidak menjawab pertanyaan sederhana itu?

Seperti halnya artikel "Asal Usul Hari Kathina" yang telah Anda berikan pada saya. Terima kasih atas itu. Nah.....Anda telah sebutkan sendiri kalau aturan tersebut dibuat karena keluhan masyarakat. Berarti bukan "masyarakat", bukan? Melainkan "hal" yang dikeluhkan masyarakat. Jika keluhan masyarakat tersebut bukan masalah, tentunya tidak akan ada aturan ini.

Sukaramaddava yang Anda utarakan dan Anda artikan secara "harafiah" berarti daging babi lunak. Mengertikah Anda mengapa selalu digunakan kata "harafiah"?
Karena Anda selalu mengacu pada Sdr.Singthung, berikut saya kutip sedikit thread dari Sdr.Singthung yang Anda berikan link nya kepada saya:

Pada peristiwa lainnya, Sang Buddha dalam perjalanan menuju Kusinara (hari terakhir sebelum Sang Buddha Parinibbana). Cunda, perajin emas dari Pava, mempersembahkan makanan terhadap Sang Buddha, termasuk sukaramaddava di dalamnya. Sukaramaddava berarti daging babi berusia setahun yang dijual. Daging babi semacam ini lunak dan kaya gizi. Meskipun kata sukaramaddava ini ditafsirkan dalam banyak arti, namun arti seperti di atas didukung oleh Y.M. Buddhagosa, penulis kitab Komentar Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya.

Di dalam bukunya Y.M. Buddhagosa menyebutkan penafsiran pengajar-pengajar lain tentang sukaramaddava. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah semacam susu beras atau puding beras susu; beberapa lagi menyebutkan bahwa itu adalah semacam obat penguat (tonik). Belakangan ini, beberapa pelajar vegetarian menyebutkan bahwa sukaramaddava adalah sejenis jamur.


Banyak orang bertahan dengan argumen kontra vegetarian karena keinginan akan memakan daging yang jelas merupakan hasil pembunuhan.
Menanggapi tulisan Anda yang dicetak tebal, mohon Anda baca kembali tulisan saya. Jika yang Anda maksu pihak lain adalah Anda sendiri, silakan baca kembali, saya tidak mengatakan "Sang Buddha menganjurkan vegetarian" dan saya juga tidak mengatakan "tidak vege sama dengan tidak Buddhis atau hanya Buddhis KTP".
Mohon Anda membaca kembali dengan baik dan tidak menuduh atau menyudutkan dengan kesimpulan yang Anda buat. Terima kasih... ^_^
 
aku sedikit nambah aja ye
gw pernah baca 1 buku dari master cheng yee [ aku datang untuk membawamu pulang ]
ntah benar apa kaga
seseorang yang bener2 ingin terlepas dari kemelekatan , klesha2 wajib bervegetarian
emang gak di paksa vegetarian tapi sesudah u meditasi ampe tahap2 tertentu
akan masih ada klesha2 yg belum terkikis habis

memang seorang budhis gak di paksa bervegetarian
semuanya hanya "ehipasiko"

kalau ceritanya seseorang itu mau mencapai tingkat yg lebih tinggi Jhana I,II,III,IV dst
bervegetarian itu wajib demi mengikis habis klesha2 d hantu belau lainnya

tidak bervegetarian pun sudah bisa mencapai sottapanna

dan menurut gw :
zaman sang buddha gak bisa di samaain ama zaman skrg
zaman dlu mau vegan gak vegan lingkungan nya masih mendukung ,mahkluk2 suci masih menampakkan wujud,lingkungan masih pure,

kalo sekarang,mana ada lagi ceritanya seseorang itu ngeliat dewa dewi,n mahkluk2 suci lain , ntah kalo tang ki itu bener apa kaga ya, menurut gw mah tangki itu hanya datok yg ngenyamar jadi dewa dewi,

so akhir cerita
silakan bervegetarian/tdk bervegetarian demi mencapai hasil yg lebih baik
mungkin ada faktor bakat juga ya kalo ceritanya ga vegan pun bisa mencapai arahat

bakat pun bisa di kalahkan dengan giat berlatih


Mungkin maksud Anda adalah Master Cheng Yen dari Tzu Chi, ya?

Saya hargai pendapat Anda bahwa zaman memang sudah berubah. Memang benar.... Tapi lihatlah, ajaran Sang Buddha yang sudah ribuan tahun masih ada hingga sekarang. Karena perkembangan zaman, teknologi, dan ilmu pengetahuan pula lah membuat beberapa manusia menjadi atheis, tidak percaya akan Tuhan apalagi agama. Kita yang terlahir di masa kini lah yang menurut saya harus lebih bijak dibandingkan manusia di zaman dulu.

Saya juga tidak memiliki bakat bervegetarian, bahkan saya tidak pernah mendengar bakat seperti itu. hahaha.....
Itu hanya pilihan hidup saya yang saya jalani dan ingin saya bagikan dalam mendalami Buddhis.
 
Sdr.Ozma, Jika Anda mengambil kutipan dari Sutta, mengapa Anda mengatakan pindapatta bukan menjadi pertimbangan? Pertanyaan saya sederhana, "Apa kah Anda menjalani kehidupan seperti para siswa Sang Buddha yang makan dari pindapatta?" Mengapa Anda tidak menjawab pertanyaan sederhana itu?

Seperti halnya artikel "Asal Usul Hari Kathina" yang telah Anda berikan pada saya. Terima kasih atas itu. Nah.....Anda telah sebutkan sendiri kalau aturan tersebut dibuat karena keluhan masyarakat. Berarti bukan "masyarakat", bukan? Melainkan "hal" yang dikeluhkan masyarakat. Jika keluhan masyarakat tersebut bukan masalah, tentunya tidak akan ada aturan ini.

Sukaramaddava yang Anda utarakan dan Anda artikan secara "harafiah" berarti daging babi lunak. Mengertikah Anda mengapa selalu digunakan kata "harafiah"?
Karena Anda selalu mengacu pada Sdr.Singthung, berikut saya kutip sedikit thread dari Sdr.Singthung yang Anda berikan link nya kepada saya:

Pada peristiwa lainnya, Sang Buddha dalam perjalanan menuju Kusinara (hari terakhir sebelum Sang Buddha Parinibbana). Cunda, perajin emas dari Pava, mempersembahkan makanan terhadap Sang Buddha, termasuk sukaramaddava di dalamnya. Sukaramaddava berarti daging babi berusia setahun yang dijual. Daging babi semacam ini lunak dan kaya gizi. Meskipun kata sukaramaddava ini ditafsirkan dalam banyak arti, namun arti seperti di atas didukung oleh Y.M. Buddhagosa, penulis kitab Komentar Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya.

Di dalam bukunya Y.M. Buddhagosa menyebutkan penafsiran pengajar-pengajar lain tentang sukaramaddava. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah semacam susu beras atau puding beras susu; beberapa lagi menyebutkan bahwa itu adalah semacam obat penguat (tonik). Belakangan ini, beberapa pelajar vegetarian menyebutkan bahwa sukaramaddava adalah sejenis jamur.


Banyak orang bertahan dengan argumen kontra vegetarian karena keinginan akan memakan daging yang jelas merupakan hasil pembunuhan.
Menanggapi tulisan Anda yang dicetak tebal, mohon Anda baca kembali tulisan saya. Jika yang Anda maksu pihak lain adalah Anda sendiri, silakan baca kembali, saya tidak mengatakan "Sang Buddha menganjurkan vegetarian" dan saya juga tidak mengatakan "tidak vege sama dengan tidak Buddhis atau hanya Buddhis KTP".
Mohon Anda membaca kembali dengan baik dan tidak menuduh atau menyudutkan dengan kesimpulan yang Anda buat. Terima kasih... ^_^

yayaya...
ngeles saja terus..

silakan de.. pertebal ego sendiri..

yang penting point yg saya sampaikan sudah jelas kan..?
Buddha tidak menganjurkan vegetarian..


ok ? /no1
 
@ TS aku udah baca kok /heh postingan rekan lain disini

Jawaban anda belum pas unutk menjawab pertanyaan saya,,, mungkin anda kurang jelas

1. Saya bertanya,,,, apakah vegan menentukan tingkat kesucian buddhis,, jawabnya ya/tidak,,, lalu berikan sourcenya.
Jangan di jawab tidak,, makan bukan bla..bla..bla... gak nyambung gan :D

2. Apakah Buddha melarang buddhis utk menyantap daging yang "baik",, jawabnya ya/tidak,,, lalu berikan sourcenya.
maksud dari daging baik adalah,,, daging yang didapat dengan cara baik, dan dipotong bukan atas nafsu sendiri,,, di beri orang ato apalah.

3. Apakah Buddha tidak makan daging,,, jawabnya ya/tidak,,,, lalu berikan sourcenya.
Jangan di jawab ngalor ngidul, fokus aja gan, sampe 2x saya membandingkan anda dengan Buddha, mana kalimat saya yang membandingkan anda dengan Buddha.

Saya Berkomentar juga sesuai dengan PENGALAMAN HIDUP saya didalam membahas suatu TEMA dan butuh SOURCE yang valid,,, dan bukan ocehan anak kecil /gawi
 
AMAGANDHA SUTTA

Bau Busuk

Arti spiritual dari 'ketidakmurnian'

Pertapa Tissa berkata kepada Buddha Kassapa:

1. Orang bajik yang makan padi-padian, buncis dan kacang-kacangan, dedaunan dan akar-akaran yang dapat dimakan, serta buah dari tanaman rambat apapun yang diperoleh dengan benar, tidak akan berbohong karena kesenangan indera.

2. O, Kassapa, engkau makan makanan apapun yang diberikan orang lain, yang disiapkan dengan baik, diatur dengan indah, bersih dan menarik; dia yang menikmati makanan seperti itu, yang terbuat dari nasi, berarti makan [daging yang membusuk, yang mengeluarkan] bau busuk.

3. O, brahmana, walaupun engkau mengatakan bahwa serangan bau busuk itu tidak berlaku bagimu sementara kamu makan nasi dengan unggas yang disiapkan dengan baik, tetapi aku bertanya padamu apa arti ini: seperti apa yang kau sebut bau busuk itu?

4. Buddha Kassapa: Mengambil kehidupan, memukul, melukai, mengikat, mencuri, berbohong, menipu, pengetahuan yang tak berharga, berselingkuh; inilah bau busuk. Bukan makan daging.

5. Di dunia ini, para individu yang tidak terkendali dalam kesenangan indera, yang serakah terhadap yang manis-manis, yang berhubungan dengan tindakan-tindakan yang tidak murni, yang memiliki pandangan nihilisme, yang jahat, yang sulit diikuti; inilah bau busuk . Bukan makan daging.

6. Di dunia ini, mereka yang kasar, sombong, memfitnah, berkhianat, tidak ramah, sangat egois, pelit, dan tidak memberi apapun kepada siapa pun, inilah bau busuk . Bukan makan daging.

7. Kemarahan, kesombongan, kekeraskepalaan, permusuhan, penipuan, kedengkian, suka membual, egoisme yang berlebihan, bergaul dengan yang tidak bermoral; inilah bau busuk . Bukan makan daging.

8. Mereka yang memiliki moral yang buruk, menolak membayar utang, suka memfitnah, tidak jujur dalam usaha mereka, suka berpura-pura, mereka yang di dunia ini menjadi orang yang teramat keji dan melakukan hal-hal salah seperti itu; inilah bau busuk . Bukan makan daging.

9. Mereka yang di dunia ini tidak terkendali terhadap makhluk hidup, yang cenderung melukai setelah mengambil harta milik mereka, yang tidak bermoral, kejam, kasar, tidak memiliki rasa hormat; inilah bau busuk . Bukan makan daging.

10. Mereka yang menyerang makhluk hidup karena keserakahan atau rasa permusuhan dan selalu cenderung jahat, akan menuju ke kegelapan setelah kematian dan jatuh terpuruk ke dalam alam-alam yang menyedihkan; inilah bau busuk . Bukan makan daging.

11. Menjauhkan diri dari ikan dan daging, bugil, mencukur kepala, berambut gembel, melumuri diri dengan abu, memakai kulit rusa yang kasar, menjaga api kurban; tak satu pun dari berbagai penebusan dosa di dunia yang dilakukan untuk tujuan yang tidak sehat --termasuk jampi-jampi, persembahan keagamaan, pemberian korban maupun puasa musiman-- akan menyucikan seseorang yang belum mengatasi keragu-raguannya.

12. Dia yang hidup dengan indera yang terjaga dan terkendali, serta telah mantap di dalam Dhamma, akan bergembira dengan kehidupan yang lurus dan lemah-lembut; yang sudah melampaui kemelekatan dan mengatasi kesengsaraan; orang bijaksana itu tidak melekat pada apa yang dilihat dan didengar.

13. Demikianlah Buddha Kassapa mengkhotbahkan hal ini berulang-ulang. Pertapa yang pandai dalam syair-syair (Veda) itu memahaminya. Orang suci yang telah terbebas dari kekotoran batin, tidak melekat dan sulit diikuti, menyampaikan (khotbah) ini dalam bait-bait yang indah.

14. Maka, setelah mendengarkan kata-kata indah yang mengakhiri semua penderitaan, yang diucapkan oleh Sang Buddha yang telah terbebas dari kekotoran batin, dia memuja Sang Tathagata dengan segala kerendahan hati dan memohon untuk diterima masuk ke dalam Sangha di tempat itu juga.
 
Sdr.Pertamac, Anda meminta saya mengeluarkan semacam literatur, apa lagi dengan adanya tema.... Bukan kah sudah saya sampaikan kalau berdasarkan pengalaman dan pelajaran saya pribadi yang sepertinya kemungkinan besar tidak bisa Anda terima. Masa sudah saya sampaikan begitu Anda masih meminta saya mengeluarkan source?
Agama dan keyakinan menurut saya bukan seperti ilmu sains. Saya bukan "beradu kecerdasan" dengan Anda. Saya membagikan argumen saya. Jika setelah saya jawab dan Anda tidak puas, silakan beri argumen Anda. Terima kasih.

Mengenai masalah membandingkan dengan Buddha, saya hanya "bercerita" kondisi saya yang "tidak bisa dibandingkan dengan Buddha". Bagaimana jika Anda yang perhatikan dengan baik lagi apakah terdapat tulisan dari saya yang menanggapi Anda membandingkan saya dengan Buddha?


Sdr.Ozma, terima kasih argumen dan pelajaran yang Anda kepada saya sebagai sesama Buddhis. Dalam thread ini, saya membagikan argumen saya dan saya juga berharap mendapatkan pelajaran dari ini. Jika Anda mengatakan saya mempertebal ego, bagaimana dengan Anda sendiri? Bukan kah Anda sama saja dengan saya? :)


Buddha Kassapa: Mengambil kehidupan, memukul, melukai, mengikat, mencuri, berbohong, menipu, pengetahuan yang tak berharga, berselingkuh; inilah bau busuk. Bukan makan daging.


Renungkan ini:
Memakan daging atau apa pun dari hasil Pindapatta mungkin dibenarkan sesuai Pittaka.
Apakah daging diperoleh tanpa melukai dan mengambil kehidupan. Sedangkan saya sendiri yang bukan anggota Sangha, tidak memperoleh daging melalui Pindapatta.
 
What the Buddha Said About Eating Meat
Ajahn Brahmavamso


Since the very beginning of Buddhism over 2500 years ago, Buddhist monks and nuns have depended on almsfood. They were, and still are, prohibited from growing their own food, storing their own provisions or cooking their own meals. Instead, every morning they would make their day's meal out of whatever was freely given to them by lay supporters. Whether it was rich food or coarse food, delicious or awful tasting it was to be accepted with gratitude and eaten regarding it as medicine. The Buddha laid down several rules forbidding monks from asking for the food that they liked. As a result, they would receive just the sort of meals that ordinary people ate - and that was often meat.

Once, a rich and influential general by the name of Siha (meaning 'Lion') went to visit the Buddha. Siha had been a famous lay supporter of the Jain monks but he was so impressed and inspired by the Teachings he heard from the Buddha that he took refuge in the Triple Gem (i.e. he became a Buddhist). General Siha then invited the Buddha, together with the large number of monks accompanying Him, to a meal at his house in the city the following morning. In preparation for the meal, Siha told one of his servants to buy some meat from the market for the feast. When the Jain monks heard of their erstwhile patron's conversion to Buddhism and the meal that he was preparing for the Buddha and the monks, they were somewhat peeved:

"Now at the time many Niganthas (Jain monks), waving their arms, were moaning from carriage road to carriage road, from cross road to cross road in the city: 'Today a fat beast, killed by Siha the general, is made into a meal for the recluse Gotama (the Buddha), the recluse Gotama makes use of this meat knowing that it was killed on purpose for him, that the deed was done for his sake'..." [1].

Siha was making the ethical distinction between buying meat already prepared for sale and ordering a certain animal to be killed, a distinction which is not obvious to many westerners but which recurs throughout the Buddha's own teachings. Then, to clarify the position on meat eating to the monks, the Buddha said:

"Monks, I allow you fish and meat that are quite pure in three respects: if they are not seen, heard or suspected to have been killed on purpose for a monk. But, you should not knowingly make use of meat killed on purpose for you." [2]

There are many places in the Buddhist scriptures which tell of the Buddha and his monks being offered meat and eating it. One of the most interesting of these passages occurs in the introductory story to a totally unrelated rule (Nissaggiya Pacittiya 5) and the observation that the meat is purely incidental to the main theme of the story emphasizes the authenticity of the passage:

Uppalavanna (meaning 'she of the lotus-like complexion') was one of the two chief female disciples of the Buddha. She was ordained as a nun while still a young woman and soon became fully enlightened. As well as being an arahant (enlightened) she also possessed various psychic powers to the extent that the Buddha declared her to be foremost among all the women in this field. Once, while Uppalavanna was meditating alone in the afternoon in the 'Blind-Men's Grove', a secluded forest outside of the city of Savatthi, some thieves passed by. The thieves had just stolen a cow, butchered it and were escaping with the meat. Seeing the composed and serene nun, the chief of the thieves quickly put some of the meat in a leaf-bag and left it for her. Uppalavanna picked up the meat and resolved to give it to the Buddha. Early next morning, having had the meat prepared, she rose into the air and flew to where the Buddha was staying, in the Bamboo Grove outside of Rajagaha, over 200 kilometres as the crow (or nun?) flies! Though there is no specific mention of the Buddha actually consuming this meat, obviously a nun of such high attainments would certainly have known what the Buddha ate.

However there are some meats which are specifically prohibited for monks to eat: human meat, for obvious reasons; meat from elephants and horses as these were then considered royal animals; dog meat - as this was considered by ordinary people to be disgusting; and meat from snakes, lions, tigers, panthers, bears and hyenas - because one who had just eaten the flesh of such dangerous jungle animals was thought to give forth such a smell as to draw forth revenge from the same species!

Towards the end of the Buddha's life, his cousin Devadatta attempted to usurp the leadership of the Order of monks. In order to win support from other monks, Devadatta tried to be more strict than the Buddha and show Him up as indulgent. Devadatta proposed to the Buddha that all the monks should henceforth be vegetarians. The Buddha refused and repeated once again the regulation that he had established years before, that monks and nuns may eat fish or meat as long as it is not from an animal whose meat is specifically forbidden, and as long as they had no reason to believe that the animal was slaughtered specifically for them.

The Vinaya, then, is quite clear on this matter. Monks and nuns may eat meat. Even the Buddha ate meat. Unfortunately, meat eating is often seen by westerners as an indulgence on the part of the monks. Nothing could be further from the truth - I was a strict vegetarian for three years before I became a monk. In my first years as a monk in North-East Thailand, when I bravely faced many a meal of sticky rice and boiled frog (the whole body bones and all), or rubbery snails, red-ant curry or fried grasshoppers - I would have given ANYTHING to be a vegetarian again! On my first Christmas in N.E. Thailand an American came to visit the monastery a week or so before the 25th. It seemed too good to be true, he had a turkey farm and yes, he quickly understood how we lived and promised us a turkey for Christmas. He said that he would choose a nice fat one especially for us... and my heart sank. We cannot accept meat knowing it was killed especially for monks. We refused his offer. So I had to settle for part of the villager's meal - frogs again.

Monks may not exercise choice when it comes to food and that is much harder than being a vegetarian. Nonetheless, we may encourage vegetarianism and if our lay supporters brought only vegetarian food and no meat, well... monks may not complain either!

May you take the hint and be kind to animals.


source: http://www.urbandharma.org/udharma3/meat.html
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.