• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

[kumpulan artikel2 rohani..]

-= cinta kasih di hati manusia =-

Jaman dahulu kala di Rusia hidup pasangan suami-istri Simon dan Matrena. Simon yang miskin ini adalah seorang pembuat sepatu. Meskipun hidupnya tidaklah berkecukupan, Simon adalah seorang yang mensyukuri hidupnya yang pas-pasan. Masih banyak orang lain yang hidup lebih miskin daripada Simon. Banyak orang-orang itu yang malah berhutang padanya. Kebanyakan berhutang ongkos pembuatan sepatu. Maklumlah, di Rusia sangat dingin sehingga kepemilikan sepatu dan mantel merupakan hal yang mutlak jika tidak mau mati kedinginan.
Suatu hari keluarga tersebut hendak membeli mantel baru karena mantel mereka sudah banyak yang berlubang-lubang. Uang simpanan mereka hanya 3 rubel (rubel = mata uang Rusia) padahal mantel baru yang paling murah harganya 5 rubel. Maka Matrena meminta pada suaminya untuk menagih hutang orang-orang yang telah mereka buatkan sepatu. Maka Simon pun berangkat pergi menagih hutang. Tapi tak satupun yang membayar. Dengan sedih Simon pulang. Ia batal membeli mantel.
Dalam perjalanan pulang, Simon melewati gereja, dan saat itu ia melihat sesosok manusia yang sangat putih bersandar di dinding luar gereja. Orang itu tak berpakaian dan kelihatan sekali ia sangat kedinginan.
Simon ketakutan, "Siapakah dia? Setankah? Ah, daripada terlibat macam-macam lebih baik aku pulang saja". Simon bergegas mempercepat langkahnya sambil sesekali mengawasi belakangnya, ia takut kalau orang itu tiba-tiba mengejarnya.
Namun ketika semakin jauh, suara hatinya berkata, "HAI SIMON, TAK MALUKAH KAU? KAU PUNYA MANTEL MESKIPUN SUDAH BERLUBANG-LUBANG, SEDANGKAN ORANG ITU TELANJANG. PANTASKAH ORANG MENINGGALKAN SESAMANYA BEGITU SAJA?"
Simon ragu, tapi akhirnya toh ia balik lagi ke tempat orang itu bersandar. Ketika sudah dekat, dilihatnya orang itu ternyata pria yang wajahnya sungguh tampan. Kulitnya bersih seperti kulit bangsawan. Badannya terlihat lemas dan tidak berdaya, namun sorot matanya menyiratkan rasa terima kasih yang amat sangat ketika Simon memakaikan mantel luarnya kepada orang itu dan memapahnya berdiri. Ia tidak bisa menjawab sepatah kata pun atas pertanyaan-pertanyaan Simon, sehingga Simon memutuskan untuk membawanya pulang.
Sesampainya di rumah, Matrena marah sekali karena Simon tidak membawa mantel baru dan membawa seorang pria asing. "Simon, siapa ini? Mana mantel barunya? "
Simon mencoba menyabarkan Matrena, "Sabar, Matrena.... dengar dulu penjelasanku. Orang ini kutemukan di luar gereja, ia kedinginan, jadi kuajak sekalian pulang".
"Bohong!! Aku tak percaya....sudahlah, pokoknya aku tak mau dengar ceritamu! Sudah tahu kita ini miskin kok masih sok suci menolong orang segala!! Usir saja dia!!"
"Astaga, Matrena! Jangan berkata begitu, seharusnya kita bersyukur karena kita masih bisa makan dan punya pakaian, sedangkan orang ini telanjang dan kelaparan. Tidakkah di hatimu ada sedikit belas kasih?" Matrena menatap wajah pria asing itu, mendadak ia merasa iba. Lalu disiapkannya makan malam sederhana berupa roti keras dan bir hangat. "Silakan makan, hanya sebeginilah makanan yang ada. Siapa namamu dan darimana asalmu? Bagaimana ceritanya kau bisa telanjang di luar gereja?"
Tiba-tiba wajah pria asing itu bercahaya. Mukanya berseri dan ia tersenyum untuk pertama kalinya. "Namaku Mikhail, asalku dari jauh. Sayang sekali banyak yang tak dapat kuceritakan. Kelak akan tiba saatnya aku boleh menceritakan semua yang kalian ingin ketahui tentang aku. Aku akan sangat berterima kasih kalau kalian mau menerimaku bekerja di sini."
"Ah, Mikhail, usaha sepatuku ini cuma usaha kecil. Aku takkan sanggup menggajimu", demikian Simon menjawab.
Tak apa, Simon. Kalau kau belum sanggup menggajiku, aku tak keberatan kerja tanpa gaji asalkan aku mendapat makan dan tempat untuk tidur."
"Baiklah kalau kau memang mau begitu. Besok kau mulai bekerja".
Malamnya pasangan suami-istri itu tak dapat tidur. Mereka bertanya-tanya.
"Simon tidakkah kita keliru menerima orang itu? Bagaimana jika Mikhail itu ternyata buronan?" Matrena bertanya dengan gelisah pada Simon.
Simon menjawab, "Sudahlah Matrena. Percayalah pada pengaturan Tuhan. Biarlah ia tinggal di sini.Tingkah lakunya cukup baik. Kalau ternyata ia berperilaku tidak baik, segera kuusir dia".
Esoknya Mikhail mulai bekerja membantu Simon membuat dan memperbaiki sepatu. Di bengkelnya, Simon mengajari Mikhail memintal benang dan membuat pola serta menjahit kulit untuk sepatu. Sungguh aneh, baru tiga hari belajar, Mikhail sudah bisa membuat sepatu lebih baik dan rapi daripada Simon.
Lama kelamaan bengkel sepatu Simon mulai terkenal karena sepatu buatan Mikhail yang bagus. Banyak pesanan mengalir dari desa-desa yang penduduknya kaya. Simon tidak lagi miskin. Keluarga itu sangat bersyukur karena mereka sadar, tanpa bantuan tangan terampil Mikhail, usaha mereka takkan semaju ini.
Namun mereka juga terus bertanya-tanya dalam hati, siapa sebenarnya Mikhail ini. Anehnya, selama Mikhail tinggal bersama mereka, baru sekali saja ia tersenyum, yaitu dulu saat Matrena memberi Mikhail makan. Namun meski tanpa senyum, muka Mikhail selalu berseri sehingga orang tak takut melihat wajahnya.
Suatu hari datanglah seorang kaya bersama pelayannya. Orang itu tinggi besar, galak dan terlihat kejam. "Hai Simon, Aku minta dibuatkan sepatu yang harus tahan setahun mengahadapi cuaca dingin. Kalau sepatu itu rusak sebelum setahun, kuseret kau ke muka hakim untuk dipenjarakan!! Ini, kubawakan kulit terbaik untuk bahan sepatu. Awas, hati-hati ini kulit yang sangat mahal!"
Di pojok ruangan, Mikhail yang sedari tadi duduk diam, tiba-tiba tersenyum. Mukanya bercahaya, persis seperti dulu ketika ia pertama kalinya tersenyum.
Sebenarnya Simon enggan berurusan dengan orang ini. Ia baru saja hendak menolak pesanan itu ketika Mikhail memberi isyarat agar ia menerima pesanan itu.
Simon berkata, "Mikhail, kau sajalah yang mengerjakan sepatu itu. Aku sudah mulai tua. Mataku agak kurang awas untuk mengerjakan sepatu semahal ini. Hati-hati, ya. Aku tak mau salah satu atau malah kita berdua masuk penjara."
Ketika Mikhail selesai mengerjakan sepatu itu, bukan main terkejutnya Simon. "Astaga, Mikhail, kenapa kau buat sepatu anak-anak? Bukankah yang memesan itu orangnya tinggi besar? Celaka, kita bisa masuk penjara karena...."
Belum selesai Simon berkata, datang si pelayan orang kaya. "Majikanku sudah meninggal. Pesanan dibatalkan. Jika masih ada sisa kulit, istri majikanku minta dibuatkan sepatu anak-anak saja".
"Ini, sepatu anak-anak sudah kubuatkan. Silakan bayar ongkosnya pada Simon", Mikhail menyerahkan sepatu buatannya pada pelayan itu. Pelayan itu terkejut, tapi ia diam saja meskipun heran darimana Mikhail tahu tentang pesanan sepatu anak-anak itu.
Tahun demi tahun berlalu, Mikhail tetap tidak pernah tersenyum kecuali pada dua kali peristiwa tadi. Meskipun penasaran, Simon dan Matrena tak pernah berani menyinggung-nyinggung soal asal usul Mikhail karena takut ia akan meninggalkan mereka.
Suatu hari datanglah seorang ibu dengan dua orang anak kembar yang salah satu kakinya pincang! Ia minta dibuatkan sepatu untuk kedua anak itu. Simon heran sebab Mikhail tampak sangat gelisah. Mukanya muram, padahal biasanya tidak pernah begitu.
Saat mereka hendak pulang, Matrena bertanya pada ibu itu, "Mengapa salah satu dari si kembar ini kakinya pincang?"
Ibu itu menjelaskan, "Sebenarnya mereka bukan anak kandungku. Mereka kupungut ketika ibunya meninggal sewaktu melahirkan mereka. Padahal belum lama ayah mereka juga meninggal. Kasihan, semalaman ibu mereka yang sudah meninggal itu tergeletak dan menindih salah satu kaki anak ini Itu sebabnya ia pincang. Aku sendiri tak punya anak, jadi kurawat mereka seperti anakku sendiri."
"Tuhan Maha Baik, manusia dapat hidup tanpa ayah ibunya, tapi tentu saja manusia takkan dapat hidup tanpa Tuhannya", kata Matrena.
Mendengar itu, Mikhail kembali berseri-seri dan tersenyum untuk ketiga kalinya. Kali ini bukan wajahnya saja yang bercahaya, tapi seluruh tubuhnya. Sesudah tamu-tamu tersebut pulang, ia membungkuk di depan Simon dan Matrena sambil berkata, "Maafkan semua kesalahan yang pernah kuperbuat, apalagi telah membuat gelisah dengan tidak mau menceritakan asal usulku. Aku dihukum Tuhan, tapi hari ini Tuhan telah mengampuni aku. Sekarang aku mohon pamit."
Simon dan Matrena tentu saja heran dan terkejut, "Nanti dulu Mikhail, tolong jelaskan pada kami siapakah sebenarnya kau ini?"
Mikhail menjawab sambil terus tersenyum, "Sebenarnya aku adalah adalah satu malaikat Tuhan. Bertahun-tahun yang lalu Tuhan menugaskan aku menjemput nyawa ibu kedua anak tadi. Aku sempat menolak perintah Tuhan itu tapi kuambil juga nyawa ibu mereka. Aku menganggap Tuhan kejam. Belum lama mereka ditinggal ayahnya, sekarang ibunya harus meninggalkan mereka juga. Dalam perjalanan ke surga, Tuhan mengirim badai yang menghempaskanku ke bumi. Jiwa ibu bayi menghadap Tuhan sendiri. Tuhan berkata padaku, 'MIKHAIL, TURUNLAH KE BUMI DAN PELAJARI KETIGA KEBENARAN INI HINGGA KAU MENGERTI:

PERTAMA, APAKAH YANG HIDUP DALAM HATI MANUSIA? KEDUA, APA YANG TAK DIIJINKAN PADA MANUSIA? KETIGA, APA YANG PALING DIPERLUKAN MANUSIA?' "
Aku jatuh di halaman gereja, kedinginan dan kelaparan. Simon menemukan dan membawaku pulang. Waktu Matrena marah-marah dan hendak mengusir aku, kulihat maut dibelakangnya. Seandainya ia jadi mengusirku, ia pasti mati malam itu. Tapi Simon berkata, “Tidakkah di hatimu ada sedikit belas kasih?” Matrena jatuh iba dan memberi aku makan.

Saat itulah aku tahu kebenaran pertama:

“YANG HIDUP DALAM HATI MANUSIA ADALAH BELAS KASIH"
"Kemudian ada orang kaya yang memesan sepatu yang tahan satu tahun sambil marah-marah. Aku melihat maut di belakangnya. Ia tidak tahu ajalnya sudah dekat. Aku tersenyum untuk kedua kalinya. Saat itulah aku tahu kebenaran kedua:
“MANUSIA TIDAK DIIJINKAN MENGETAHUI MASA DEPANNYA. MASA DEPAN MANUSIA ADA DI TANGAN TUHAN"
"Hari ini datang ibu angkat bersama kedua anak kembar tadi. Ibu kandung si kembar itulah yang diperintahkan Tuhan untuk kucabut nyawanya. Dan aku melihat si kembar dirawat dengan baik oleh ibu lain. Aku tersenyum untuk ketiga kalinya dan kali ini tubuhku bercahaya. Aku tahu kebenaran yang ketiga:
“MANUSIA DAPAT HIDUP TANPA AYAH DAN IBUNYA TAPI MANUSIA TIDAK AKAN DAPAT HIDUP TANPA TUHANNYA.”
Simon, Matrena, terima kasih atas kebaikan kalian berdua. Aku telah mengetahui ketiga kebenaran itu, Tuhan telah mengampuniku. Semoga kasih Tuhan senantiasa menyertai kalian sepanjang hidup." Mikhail kembali ke surga.
 
-= semua sudah dibayar olehNya =-

Suatu hari Satan dan Yesus sedang ngobrol bareng.


Satan baru dikeluarkan dari Taman Eden, dan ia sedang BT...

"Iya, Sir, saya baru melihat dunia dengan banyak manusia di bawah sana. Saya(Satan) memasang perangkap dan menggunakan umpan. Saya yakin mereka ga bisa menolaknya. Saya akan mendapatkan mereka smua!

Yesus bertanya "apa yang akan kamu lakukan kepada mereka?".

Satan menjawab "Oh, saya akan bersenang"! Saya kan mengajar mereka bagaimana untuk menikah dan bercerai dengan sesamanya, bagaimana juga untuk membenci sesamanya, bagaimana untuk mabok, merokok, dan mengutuk. Saya kan mengajar mereka bagaimana cara membuat senjata, bom, dan cara membunuh sesamanya.. Saya benar" akan bersenang!"

Yesus bertanya "Dan apa yg akan kamu lakukan ketika semua itu telah kamu ajarkan kepada mereka?".

Kata Satan dengan bangga "Oh, saya akan bunuh mereka,"

Yesus bertaya "Berapa harga yang harus dibayar untuk menebus mereka?"

Jawab Satan "Oh, Kamu tidak akan menginginkan mereka.. Ga ada bagusnya mereka. Lihat, Kamu akan mengambil mereka dan mereka akan membenciMu. Mereka meludahiMu, mengutukMu dan membunuhMu. Kamu tidak akan menginginkan mereka!!"

Yesus bertanya lagi "Berapa harganya?"

Satan melihat Tuhan dan berkata "Semua darah, air mata, dan hidupMu."

Yesus berkata dengan tegas "BAIK!"

Lalu Tuhan Yesus Kristus membayar harga tersebut.

Bukankah lucu bagaimana manusia semudah itu membuang Tuhan dan bertanya kenapa dunia seperti NERAKA?

Bukankah lucu bagaimana seseorg berkata "Saya percaya kepada Yesus" tapi tetap mengikuti jalan Satan?

Bukankah lucu bagaimana kamu bisa mempost kembali ribuan crita" lucu lewat bulentin board dan mereka tersebar dengan sangat cepat, tetapi ketika kamu mempost bulentin tentang Tuhan, kamu berpikir dua kali untuk membagikannya?

Bukankah lucu bagaimana Saya jadi tambah kuatir dengan apa yang orang lain pikir dari pada apa yang Tuhan pikir tentang saya?

Saya berdoa, buat semua yang mempost kembali buletin ini, mereka akan diberkati melimpah oleh Tuhan dengan cara yang spesial untuk mereka.

Dan Jika Kamu Cinta Kepada Tuhan...
Dan, tidak malu kepada semua perbuatanNya yang ajaib yang telah diperbuatNya kepadamu..
 
-= belajar dari ikan sapu-sapu =-

satu minggu ini ikan sapu-sapuku meninggal dunia. Sejak saat dia meninggalkan akuariumku, baru tiga hari saja tidak dibersihkan, lumut pasti akan bermunuculan di akuarium kesayanganku.

Aku tidak ada waktu untuk membersihkan lumut-lumut itu dan juga tidak ada waktu untuk membeli ikan sapu-sapu yang baru.

Suatu hari kudapati lumut sudah memenuhi kaca bagian dalam akuariumku. Aku berpikir, ini tidak bisa dibiarkan. Keindahan ikan-ikan kokiku akan tersembunyi jika lumut-lumut itu kurelakan tumbuh dengan sehatnya menemani mereka.

Ikan-ikan sapu-sapu, bisa menjadi solusi untuk membantuku membersihkan lumut- lumut itu. Sapu-sapu adalah ikan yang makanan utamanya adalah lumut dalam akuarium atau kolam ikan.

Di sela-sela sempitnya waktuku, sepulang kerja, kuluangkan waktu untuk mampir ke toko ikan dekat rumahku. Aku berkeliling mencari ikan hitam yang tidak menarik dan berkulit kasar itu. Akhirnya kutemukan satu ikan sapu-sapu yang tidak begitu suram kulitnya, walaupun tetap tidak indah dipandang mata dan tetap saja kulitnya akan kasar.

"Berapa Pak, harganya?" tanyaku pada si penjual ikan itu. "Tujuh ratus lima puluh rupiah, Mbak," jawab si penjual itu. Segera kusodorkan uang dan setelah itu langsung kutapakkan kakiku menuju rumah.

Ikan sapu-sapu itu lalu aku cemplungkan ke dalam akuarium.

Dengan sigap dan bagai habis lepas dari kurungan ikan itu langsung meliuk-liuk. Dan ... betapa senangnya dia menemukan sebuah sisi kaca yang penuh dengan lumut. Ikan itu langsung menempel di kaca penuh lumut tersebut.

Tidak peduli dengan ikan-ikan kokiku yang seakan sedang mengerumuni ikan sapu-sapu itu untuk berkenalan.

Lagi-lagi karena tidak ada waktu, ikan itu memang hanya kucemplungkan dulu tanpa kubersihkan akuariumnya. Pikirku weekend nanti pasti aku ada waktu.

Keesokan harinya, saat akan berangkat ke kantor, kusempatkan menyapa ikan-ikan kokiku. Wow, pagi ini mereka tampak begitu indah .... Tapi bukankah memang ikan kokiku itu warnanya indah. Ehhh ... tapi kok lain ya?

Warnanya bukan saja indah, tapi begitu bersinar.

Terus kuamati ikan-ikan kokiku dengan sirip mereka yang panjang bagaikan kain sutera yang berkibar-kibar seolah ditiup angin. Terus kuperhatikan mereka karena terlalu indah bagiku untuk kutinggalkan.

Saat pandanganku tertuju di pojok akuariumku, ada seekor ikan hitam yang tidak bersinar sama sekali. Dia seolah sedang menepi dalam dunianya sendiri dan takut untuk bergabung dengan koki-koki indah itu.

Aku tersadar .... Ya, ikan-ikan kokiku terlihat begitu indah dan bersinar bukan karena ikan-ikan itu yang berubah, tetapi keadaan di sekitar merekalah yang berubah. Lumut-lumut yang membuat kaca akuariumku buram sudah lenyap! Ya, lenyap! Kaca akuariumku kembali bening sehingga ikan-ikan indahku terlihat semakin indah. Ikan yang tidak menarik yang kubeli kemarin dengan harga murah itu telah melahap habis lumur-lumut itu. Memang untuk itulah ikan itu kubeli, tetapi aku tidak tahu akan mendapat ketakjuban yang luar biasa seperti ini.

Kupandangi kembali ikan hitam yang sedang menyendiri itu. Dia yang tidak menarik itu telah membuat sesuatu yang indah untukku pagi ini. Ikan sapu-sapu sangatlah tidak menarik. Dia tidak punya kelebihan fisik yang dapat dibanggakan. Harganya pun sangat murah. Tetapi, TUHAN memberikan kelebihan luar biasa pada dia. Dia dapat membersihkan permukaan kaca yang begitu kotor menjadi bening kembali. Itulah yang membuat ikan sapu-sapu begitu dicari-cari oleh siapa saja yang ingin akuarium atau kolam ikannya terbebas dari lumut.

Aku ingat diriku. Begitu banyak protesku pada TUHAN karena merasa aku tidak memiliki kelebihan dari segala sisi. TUHAN memakai ikan kecil itu untuk menyadarkan aku, "KU-ciptakan dirimu bukan untuk hal yang tidak berguna. Kau ada di dunia ini karena kau berarti bagi-KU, untuk melakukan hal-hal besar bagi-KU!"

Aku masih terpaku di depan akuariumku. Aku masih menatap ikan kecil yang tidak menarik itu. Aku seperti menatap diriku. Hari ini TUHAN memberikan aku pelajaran indah dari seekor ikan. Hari ini, TUHAN tidak ingin aku semakin tenggelam dalam pencarian arti hidupku di dunia ini.

Aku berarti bagi-NYA, aku berharga bagi-NYA. Dalam pandangan mata aku memang tidak semenarik mereka yang ada di sekelilingku, tetapi ada hal istimewa yang TUHAN berikan padaku, dan aku yakin itu akan jadi berkat bagi banyak orang, karena TUHAN yang menganugerahkannya.

Aku beranjak dari depan akuariumku. Jam di tanganku sudah menunjukkan waktu untuk segera berangkat ke kantor. Semangatku menapaki hari-hari ke depan kembali menyala. Kuucapkan syukur untuk semua pelajaran indah ini.

Terima kasih TUHAN! Terima kasih ikan sapu-sapuku!

TUHAN memberkati
 
Engkau menyebut Aku Jalan
Namun engkau tidak mengikuti Aku
Engkau menyebut Aku Terang
Namun engkau tidak melihat Aku
Engkau menyebut Aku Guru
Namun engkau tidak mendengarkan Aku
Engkau menyebut Aku Tuhan
Namun engkau tidak melayani Aku
Engkau menyebut Aku Kebenaran
Namun engkau tidak percaya kepada Aku

Janganlah heran bila pada hari itu kelak Aku berkata kepadamu, "Aku tidak mengenal kamu!"
(Matius 7:23)
 
-= mari kita bersyukur =-

Begitu memasuki mobil mewahnya, seorang direktur bertanya pada supir pribadinya, ''Bagaimana kira-kira cuaca hari ini?'' Si supir menjawab, ''Cuaca hari ini adalah cuaca yang saya sukai'' Merasa penasaran dengan jawaban tersebut, direktur ini bertanya lagi, ''Bagaimana kamu bisa begitu yakin?''

Supirnya menjawab, ''Begini, pak, saya sudah belajar bahwa saya tak selalu mendapatkan apa yang saya sukai, karena itu saya selalu menyukai apapun yang saya dapatkan.''

Jawaban singkat tadi merupakan wujud perasaan syukur. Syukur merupakan kualitas hati yang terpenting. Dengan bersyukur kita akan senantiasa diliputi rasa damai, tenteram, dan bahagia. Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan senantiasa membebani kita. Kita akan selalu merasa kurang dan tak bahagia.

Ada dua hal yang sering membuat kita tak bersyukur.

Pertama, kita sering memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki. Katakanlah Anda sudah memiliki sebuah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang baik. Tapi Anda masih merasa kurang.

Pikiran Anda dipenuhi berbagai target dan keinginan. Anda begitu terobsesi oleh rumah yang besar dan indah, mobil mewah, serta pekerjaan yang mendatangkan lebih banyak uang. Kita ingin ini dan itu. Bila tak mendapatkannya kita terus memikirkannya. Tapi anehnya, walaupun sudah mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan sesaat. Kita tetap tak puas, kita ingin yang lebih lagi. Jadi, betapapun banyaknya harta yang kita miliki, kita tak pernah menjadi ''kaya'' dalam arti yang sesungguhnya.

Mari kita luruskan pengertian kita mengenai orang ''kaya''. Orang yang ''kaya'' bukanlah orang yang memiliki banyak hal, tetapi orang yang dapat menikmati apapun yang mereka miliki.

Tentunya boleh-boleh saja kita memiliki keinginan, tapi kita perlu menyadari bahwa inilah akar perasaan tak tenteram. Kita dapat mengubah perasaan ini dengan berfokus pada apa yang sudah kita miliki. Cobalah lihat keadaan di sekeliling Anda, pikirkan yang Anda miliki, dan syukurilah. Anda akan merasakan nikmatnya hidup.

Pusatkanlah perhatian Anda pada sifat-sifat baik atasan, pasangan, dan orang-orang di sekitar Anda. Mereka akan menjadi lebih menyenangkan. Seorang pengarang pernah mengatakan, ''Menikahlah dengan orang yang Anda cintai, setelah itu cintailah orang yang Anda nikahi.'' Ini perwujudan rasa syukur.

Ada cerita menarik mengenai seorang kakek yang mengeluh karena tak dapat membeli sepatu, padahal sepatunya sudah lama rusak. Suatu sore ia melihat seseorang yang tak mempunyai kaki, tapi tetap ceria. Saat itu juga si kakek berhenti mengeluh dan mulai bersyukur.

Kedua yang sering membuat kita tak bersyukur adalah kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita.

Saya ingat, pertama kali bekerja saya senantiasa membandingkan penghasilan saya dengan rekan-rekan semasa kuliah. Perasaan ini membuat saya resah dan gelisah. Sebagai mantan mahasiswa teladan di kampus, saya merasa gelisah setiap mengetahui ada kawan satu angkatan yang memperoleh penghasilan di atas saya. Nyatanya, selalu saja ada kawan yang penghasilannya melebihi saya.

Saya menjadi gemar berganta-ganti pekerjaan, hanya untuk mengimbangi rekan-rekan saya. Saya bahkan tak peduli dengan jenis pekerjaannya, yang penting gajinya lebih besar. Sampai akhirnya saya sadar bahwa hal ini tak akan pernah ada habisnya. Saya berubah dan mulai mensyukuri apa yang saya dapatkan. Kini saya sangat menikmati pekerjaan saya.

Rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau dari rumput di pekarangan sendiri. Ada cerita menarik mengenai dua pasien rumah sakit jiwa. Pasien pertama sedang duduk termenung sambil menggumam, ''Lulu, Lulu.'' Seorang pengunjung yang keheranan menanyakan masalah yang dihadapi orang ini. Si dokter menjawab, ''Orang ini jadi gila setelah cintanya ditolak oleh Lulu.'' Si pengunjung manggut-manggut, tapi begitu lewat sel lain ia terkejut melihat penghuninya terus menerus memukulkan kepalanya di tembok dan berteriak, ''Lulu, Lulu''. ''Orang ini juga punya masalah dengan Lulu?'' tanyanya keheranan. Dokter kemudian menjawab, ''Ya, dialah yang akhirnya menikah dengan Lulu.''

Hidup akan lebih bahagia kalau kita dapat menikmati apa yang kita miliki. Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi. Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan cerita mengenai seorang ibu yang sedang terapung di laut karena kapalnya karam, namun tetap berbahagia. Ketika ditanya kenapa demikian, ia menjawab, ''Saya mempunyai dua anak laki-laki. Yang pertama sudah meninggal, yang kedua hidup di tanah seberang. Kalau berhasil selamat, saya sangat bahagia karena dapat berjumpa dengan anak kedua saya. Tetapi kalaupun mati tenggelam, saya juga akan berbahagia karena saya akan berjumpa dengan anak pertama saya di surga.''
 
-= cinta sejati seorang ibu =-

"Bisa saya melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan penuh kebahagiaan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu menahan nafasnya. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang kearah luar jendela rumah sakit. Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga.

Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk. Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Anak lelaki itu terisak-isak sambil berkata, "Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh."

Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. Iapun disukai teman-teman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Ibunya mengingatkan,"Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?" Namun dalam hati ibu merasa kasihan dengannya.

Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya. "Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya pada mereka.

Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia." kata sang ayah.

Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahirlah. Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia
mengorbankan ini semua padaku, ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya." Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini."

Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah... bahwa sang ibu tidak memiliki telinga.

"Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisik sang ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?" Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh namun di dalam hati.

Renungan :


Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun pada apa yang tidak dapat terlihat. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui.
 
-= ikatkan pita kuning bagiku =-

(sori kalo repost)



-------------------------

Pada tahun 1971 surat kabar New York Post menulis kisah nyata tentang seorang pria yang hidup di sebuah kota kecil di White Oak, Georgia, Amerika. Pria ini menikahi seorang wanita yang cantik dan baik, sayangnya dia tidak pernah menghargai istrinya. Dia tidak menjadi seorang suami dan ayah yang baik. Dia sering pulang malam- malam dalam keadaan mabuk, lalu memukuli anak dan isterinya.

Satu malam dia memutuskan untuk mengadu nasib ke kota besar, New York. Dia mencuri uang tabungan isterinya, lalu dia naik bis menuju ke utara, ke kota besar, ke kehidupan yang baru. Bersama-sama beberapa temannya dia memulai bisnis baru. Untuk beberapa saat dia menikmati hidupnya. Sex, gambling, drug. Dia menikmati semuanya.

Bulan berlalu. Tahun berlalu. Bisnisnya gagal, dan ia mulai kekurangan uang. Lalu dia mulai terlibat dalam perbuatan kriminal. Ia menulis cek palsu dan menggunakannya untuk menipu uang orang. Akhirnya pada suatu saat naas, dia tertangkap. Polisi menjebloskannya ke dalam penjara, dan pengadilan menghukum dia tiga tahun penjara.

Menjelang akhir masa penjaranya, dia mulai merindukan rumahnya. Dia merindukan istrinya. Dia rindu keluarganya. Akhirnya dia memutuskan untuk menulis surat kepada istrinya, untuk menceritakan betapa menyesalnya dia. Bahwa dia masih mencintai isteri dan anak-anaknya. Dia berharap dia masih boleh kembali. Namun dia juga mengerti bahwa mungkin sekarang sudah terlambat, oleh karena itu ia mengakhiri suratnya dengan menulis, "Sayang, engkau tidak perlu menunggu aku. Namun jika engkau masih ada perasaan padaku, maukah kau nyatakan? Jika kau masih mau aku kembali padamu, ikatkanlah sehelai pita kuning bagiku, pada satu-satunya pohon beringin yang berada di pusat kota. Apabila aku lewat dan tidak menemukan sehelai pita kuning, tidak apa-apa. Aku akan tahu dan mengerti. Aku tidak akan turun dari bis, dan akan terus menuju Miami. Dan aku berjanji aku tidak akan pernah lagi menganggu engkau dan anak-anak seumur hidupku."

Akhirnya hari pelepasannya tiba. Dia sangat gelisah. Dia tidak menerima surat balasan dari isterinya. Dia tidak tahu apakah isterinya menerima suratnya atau sekalipun dia membaca suratnya, apakah dia mau mengampuninya? Dia naik bis menuju Miami, Florida, yang melewati kampung halamannya, White Oak. Dia sangat sangat gugup. Seisi bis mendengar ceritanya, dan mereka meminta kepada sopir bus itu, "Tolong, pas lewat White Oak, jalan pelan- pelan...kita mesti lihat apa yang akan terjadi..."

Hatinya berdebar-debar saat bis mendekati pusat kota White Oak. Dia tidak berani mengangkat kepalanya. Keringat dingin mengucur deras. Akhirnya dia melihat pohon itu. Air mata menetas di matanya...

Dia tidak melihat sehelai pita kuning...

Tidak ada sehelai pita kuning....

Tidak ada sehelai......

Melainkan ada seratus helai pita-pita kuning....bergantungan di pohon beringin itu...Ooh...seluruh pohon itu dipenuhi pita kuning...!!!

Kisah nyata ini menjadi lagu hits nomor satu pada tahun 1973 di Amerika. Sang sopir langsung menelpon surat kabar dan menceritakan kisah ini. Seorang penulis lagu menuliskan kisah ini menjadi lagu, "Tie a Yellow Ribbon Around the Old Oak Tree", dan ketika album ini di-rilis pada bulan Februari 1973, langsung menjadi hits pada bulan April 1973.

*) Dalam kisah "Anak yang Hilang", diceritakan Sang Bapa melihat si anak murtad dari kejauhan. Berarti dia telah berdiri menanti di pinggir jalan. Selama bertahun-tahun. Terus, tak pernah menyerah. Tetangganya mungkin mengejek dia setiap hari.

Dia tidak menghukum si anak murtad. Melainkan lari cepat tanpa memperdulikan kehormatannya memeluk dia, dan menghujaninya dengan ciuman.

Jika ada pohon beringin di sorga, tentulah pohon itu akan dipenuhi ribuan, jutaan, ...tak terhitung...pita-pita kuning....

Allah yang seperti itu yang kita miliki sebagai Bapa...

Uh, adakah yang lebih berharga dalam hidup?
 
Ini adalah sebuah wawancara yang benar-benar luar biasa dengan Rick Warren,

penulis Purpose Driven Life dan pastor dari Gereja Saddleback di California .



Dalam sebuah wawancara dengan Paul Bradshaw, Rick Warren mengatakan: Orang-orang bertanya kepada saya, apa tujuan dari hidup? Dan jawab saya adalah: secara ringkas, hidup adalah persiapan untuk kekekalan. Kita diciptakan untuk hidup selama-lamanya, dan Tuhan menginginkan kita untuk bersama-sama dengan Dia di surga. Suatu hari jantung saya akan berhenti, dan itu akan menjadi akhir dari tubuh saya tapi bukan akhir dari saya.



Saya mungkin hidup 60 sampai 100 tahun di bumi, tapi saya akan menghabiskan trilyunan tahun dalam kekekalan. Ini adalah sekedar pemanasan, persiapan untuk yang sesungguhnya.



Allah menginginkan kita melatih di dunia apa yang akan kita lakukan selamanya dalam kekekalan. Kita diciptakan oleh Allah dan untuk Allah, dan sampai engkau bisa memahami hal itu, hidup tidak akan pernah masuk akal.




Hidup adalah sebuah seri dari masalah-masalah: apakah engkau sedang dalam masalah sekarang, baru saja selesai dari satu masalah, atau akan segera masuk dalam satu masalah.



Alasan untuk ini adalah: Tuhan lebih tertarik kepada karaktermu daripada kesenangan / kenyamanan hidupmu.



Tuhan lebih tertarik untuk membuat hidupmu suci daripada membuat hidupmu senang. Kita bisa cukup senang di dunia, tapi itu bukanlah tujuan dari hidup. Tujuannya adalah pertumbuhan karakter, dalam kemiripan kepada Kristus.



Setahun terakhir ini telah menjadi tahun yang paling hebat dalam hidup saya tapi juga tahun yang paling sulit, dengan istri saya, Kay, terkena kanker.



Dulu saya terbiasa berpikir bahwa hidup adalah bukit dan lembah suatu saat kamu melalui masa-masa gelap, kemudian kamu naik ke puncak, bolak-balik seperti itu. Saya tidak percaya itu lagi.



Hidup bukannya dalam bentuk bukit dan lembah, sekarang saya percaya bahwa hidup adalah seperti 2 rel di rel kereta api, dan pada setiap waktu kamu mengalami sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk dalam hidupmu.



Tidak penting seberapa baiknya berbagai hal terjadi dalam hidupmu, selalu ada hal-hal yang buruk yang perlu diselesaikan.



Dan tidak perduli seberapa buruknya yang terjadi dalam hidupmu, selalu ada sesuatu yang baik dimana engkau bisa bersyukur kepada Tuhan.



Engkau bisa fokus pada tujuan hidupmu, atau engkau bisa fokus pada masalahmu.



Jika engkau fokus pada masalahmu, engkau akan menjadi terpusat pada dirimu (self-centeredness), masalahku, urusanku, sakitku.



Tapi satu cara yang paling mudah untuk menyingkirkan rasa sakit itu adalah

dengan melepaskan fokusmu pada dirimu sendiri dan mulai memfokuskan diri kepada Allah dan kepada sesama.



Kami dengan cepat menemukan bahwa walaupun didoakan oleh ratusan ribu orang, Tuhan tidak akan menyembuhkan Kay atau meringankan penderitaannya. Keadaan sangat sulit untuk dia, tapi Allah sudah memperkuat karakternya, memberinya

pelayanan menolong orang lain, memberinya sebuah kesaksian, menarik dia lebih dekat lagi kepada Allah dan kepada sesama.



Engkau harus belajar untuk berhadapan dengan hal yang baik maupun yang buruk dalam hidup. Sebenarnya, terkadang berurusan dengan yang baik bisa lebih sulit. Sebagai contoh, dalam setahun terakhir ini, secara begitu tiba-tiba, ketika sebuah buku terjual 15 juta buah, hal itu membuat saya langsung sangat kaya.



Itu juga membawa banyak kepopuleran yang belum pernah saya hadapi sebelumnya.

Saya pikir Allah tidak memberimu uang ataupun kepopuleran untuk ego dirimu sendiri atau untuk engkau hidup enak-enakan.



Jadi saya mulai bertanya kepada Allah apa yang Ia inginkan untuk saya lakukan dengan uang, kepopuleran, dan pengaruh ini. Dia memberiku 2 pasal yang berbeda yang menolong saya menentukan apa yang harus dilakukan, 2 Korintus 9 dan Maz 72.



Pertama, meskipun ada begitu banyak uang yang kami terima, kami tidak akan mengubah gaya hidup kami sedikitpun. Kami tidak melakukan pembelian besar apapun.



Kedua, mulai sekitar tengah tahun lalu, saya berhenti mengambil gaji dari gereja.



Ketiga, kami mendirikan yayasan-yayasan untuk mendanai sebuah inisiatif yang kami sebut The Peace Plan: untuk mendirikan gereja, memperlengkapi pemimpin-pemimpin, menolong orang miskin, merawat yang sakit, dan mendidik generasi masa depan.



Keempat, saya menjumlahkan semua yang telah gereja bayarkan kepada saya selama 24 tahun sejak saya memulai gereja, dan saya mengembalikan semuanya. Terasa sangat membebaskan untuk bisa melayani Allah secara cuma-cuma.



Kita harus bertanya pada diri kita: Apakah saya akan hidup untuk kekayaan? Popularitas?

Apakah saya akan diarahkan oleh tekanan? Perasaan bersalah? Kepahitan? Materialisme?




Atau saya akan diarahkan oleh rencana-rencana Allah untuk hidup saya? Ketika saya bangun pagi, saya duduk di sisi tempat tidur saya dan berkata, Tuhan, jika saya tidak menyelesaikan satu halpun pada hari ini, saya ingin mengenal Engkau lebih lagi dan mengasihi Engkau lebih lagi.
Tuhan tidak meletakkanmu di bumi hanya untuk mengisi daftar hal-hal yang harus dikerjakan. Dia lebih tertarik kepada siapa saya daripada apa yang saya lakukan. Karena itulah kita disebut human beings, bukan human doings.



Dalam masa-masa yang menyenangkan, PUJI TUHAN.

Dalam masa-masa sulit, CARI TUHAN.

Dalam masa-masa tenang, SEMBAH TUHAN.

Dalam masa-masa yang menyakitkan, PERCAYAI TUHAN.

Setiap saat, BERSYUKURLAH KEPADA TUHAN.
 
Playing the state lottery, and frequenting casinos, have become prominent pastimes for millions of Americans. More and more people are participating, in the hope of becoming millionaires. While there have been a few exceptions and isolated cases in American history, it is really only recently that gambling has come to be considered socially acceptable. Though times have arisen when gambling became more widespread, overall public sentiment has frowned upon the practice. Gambling generally has been illegal in our society, and the word “gamble” was a slang term of reproach. People in polite society, who held virtuous and moral convictions, viewed gambling as an unacceptable, inappropriate, even sinful vice. Those who engaged in such practices were seen as the degraded elements in society who served only to weaken social sensibilities.
When legalized gambling arrives in a new community, does it raise the moral standards of that community?

The first modern state lottery was established in New Hampshire in 1964, while Nevada legalized the nation’s first casino in 1931[1]. The extensive opportunity of gambling activities did not capture the American public’s attention until the 1970s and 1980s. Now, however, horse and dog racetracks and casinos have sprung up all over the country. Several state governments now sponsor lotteries, complete with massive advertising campaigns. In 1988, the Federal Indian Regulatory Act opened the door to widespread casino development throughout the country. By 1993, riverboat gambling had been established in six states, and land-based casinos were legalized in several additional states. Gambling has become normalized across the nation, and various gambling activities are legal in all states except Hawaii and Utah. In 1995, more than $500 billion was legally wagered in the United States—a dramatic increase from the estimated $17 billion wagered in 1979, less than two decades earlier[2].

In Matthew 7:15-20, Jesus Christ laid down a test by which every activity or philosophy could be assayed, and its true value assessed. He said, quite simply, that “every good tree bears good fruit, but a bad tree bears bad fruit. A good tree cannot bear bad fruit, nor can a bad tree bear good fruit.” Jesus’ statement was addressed specifically to false teachers, but it certainly can be applied to various philosophies and activities of life (such as gambling). What kind of fruit does gambling produce? When legalized gambling arrives in a new community, does it raise the moral standards of that community? Does it help to lessen the hardships of families in that community? Or, is the opposite the case? Does legalized gambling place a burden on the communities by an appreciable lowering of the moral standard and an increase in the financial burden for those who already are working with a poverty-level budget? Let’s take a walk down the gambling produce aisle and see what it has to offer.

The social effects of gambling have been substantial. Current data indicate that more than 80% of Americans participate in some form of gambling[1]. Johns Hopkins University researchers reported that the social cost of excessive gambling “ranks among the most expensive illnesses afflicting society, though it is among the least expensive to treat” [2]. In the late 1980s, the National Council on Compulsive Gambling estimated that between four and six million gamblers are suffering from an addictive disorder that threatens their lives and the lives of their loved ones[3]. Now, gambling researchers say that at least eight million Americans are compulsive gamblers, with one million of these being teenagers[4]. A survey of 500 Gamblers Anonymous members reported that 21% of the participants stated that they had never thought of suicide, 48% said they had thought about suicide, and 13% had attempted suicide[5]. According to the Charter Hospital of Las Vegas, the suicide rate among active gamblers (especially women) is the highest of all illnesses[6]. Would anyone classify a highly addictive activity that often results in the participant’s contemplation of (or attempt at) suicide as a beneficial fruit that is good for society? On the contrary, such can easily be recognized as a rotten fruit that would suggest that the activity itself is not above reproach.

Furthermore, experts have expressed alarm at the rising numbers of teenagers who are gambling. They refer to gambling as “the growing addiction,” and predict that it will cause teens more problems during the next decade than illegal drugs[7]. In the first ten days of the Texas Lottery, counselors operating the hotline of the Texas Council on Problem and Compulsive Gambling reported alarming stories about teenage gambling:

An 18-year-old employee of a convenience store called on the second day of the lottery reporting he had scratched off hundreds of tickets belonging to the store, saying, “I thought it was a sure thing I would win enough not only to pay the store for the cost of the tickets but would have a bunch left over.”

An affluent 16-year-old male from an upscale suburban neighborhood reported he had lost “a considerable sum of money” on the lottery. Realizing he was under the legal age to buy tickets, he had asked older friends to purchase tickets for him. He admitted to heavy gambling in school restrooms.

A father of a 19-year-old from a rural town in East Texas was distressed because his son was gambling on cards and dice and had spent his weekly paycheck on the lottery[8].


The director of the National Center for Pathological Gambling made this apropos observation: “You have state governments promoting lotteries. The message they’re conveying is that gambling is not a vice but a normal form of entertainment”[1]. Just the fact that there is a “National Center for Pathological Gambling” should clue every legislator into the fact that there is something wrong with this type of activity.

In 1957, Gamblers Anonymous was formed, and has since grown to more than 800 chapters in the U.S., and more than 1,400 meetings worldwide. The experts are comparing compulsive gambling to alcohol and drug addiction. The official position of Gamblers Anonymous is the promotion of abstinence from gambling as essential to a person’s recovery. As one might expect, their strongest and most active group is in Las Vegas.

David A. Korn, in an article titled “Expansion of Gambling in Canada: Implications for Health and Social Policy” in the Canadian Medical Association Journal, noted that gambling often affects the lower-income families more dramatically than those of higher income, due to the fact that lower-income families spend almost four times as much on gambling (in proportion to their income). Korn wrote: “These data suggest that gambling expenditures may be regarded as a voluntary regressive tax that has a proportionately greater impact on people with lower incomes.” He further noted: “Several populations are vulnerable to the impacts of gambling, in addition to lower socioeconomic groups. The cost to families in terms of dysfunctional relationships, violence and abuse, financial pressure, and disruption of growth and development of children can be great.” In concluding his article, Korn commented: “The rapid expansion of gambling represents a significant public health concern that challenges our values, quality of life and public priorities”[2].

What then, could one conclude from even a cursory glance at the “fruits” of gambling? Gambling is addictive, it preys on those with lower incomes, it dramatically affects teens, and it often leads to dysfunctional family relationships and abuse. Surely these would classify as “bad fruits.”

FROM A CHRISTIAN PERSPECTIVE


A dramatic change in the social order of American culture has taken place. As the moral fiber of American civilization deteriorates and biblical values are jettisoned, activities that once were perceived to be harmful to society are now becoming acceptable. Many people no longer care what God thinks or what the Bible teaches. Nevertheless, there is a God in heaven who has given His written Word. That revelation is designed to govern human behavior. One principle that runs throughout the Bible is that of stewardship. The Bible repeatedly and consistently paints the picture that God is the ultimate owner of all earthly possessions. The psalmist observed that the Lord owns the cattle on a thousand hills (Psalm 50:10). James wrote that every good and perfect gift comes from God (James 1:17). Jesus referred to humans as stewards—those who are entrusted to take care of another’s property (Luke 12:42). And He declared that every person has the moral responsibility to be a faithful steward of the money that has been entrusted to him (Luke 16:10-11). Yet, each year people shell out billions of dollars gambling away the money that has been entrusted to them by God. Imagine the good, wholesome projects that could be supported annually by such enormous stores of cash—children could be fed, the Gospel could be preached, houses could be built, and the list goes on. Instead of such worthwhile projects, however, these billions of dollars are pumped into a system that leads to addiction and abuse. It would be difficult, indeed, to conclude that gambling is good stewardship of the money with which God has entrusted a person. In reality, to pour one’s money into a system that mathematically and statistically has been proven, time and again, to benefit the “house,” and take from the gambler, certainly would fall into the category of unfaithful stewardship. Concerning unfaithful stewardship, Christ said: “Therefore if you have not been faithful in the unrighteous mammon [money or riches], who will commit to your trust the true riches” (Luke 16:11)? To stand before the throne of Christ, having squandered the money God entrusted to you on an idle and degenerative activity like gambling, would be a frightening thought indeed.

Furthermore, imagine the potential negative influence of a Christian who participates in gambling. For one thing, many people, who are not even affiliated with the Lord’s church, view gambling as a sinful vice that respectable people should avoid. Looking over the fruits of gambling, it is not difficult to see why they would think such. If they saw a Christian in a casino, or buying a lottery ticket, what would that do to their opinion of that individual and the congregation of the Lord’s body of which that individual is a member? Would it not drastically reduce the chances of that Christian having a positive impact on the one who saw him gambling? Certainly, the Christian is responsible for the image he or she portrays, and for how “those who are without” view his or her actions. Paul told Timothy, for example, that a bishop (elder) “must have a good testimony among those who are outside” the body of Christ (1 Timothy 3:7). If many people outside the Lord’s church view gambling as a morally reprehensible activity, and a Christian participates in that activity, he or she would have a difficult time explaining how such could be good for his or her reputation.

Furthermore, as Colossians 3:17 notes, “whatever you do in word or deed, do all in the name of the Lord Jesus, giving thanks to god the Father through Him.” It is not enough for a person to ask, “What is wrong with an activity?” Instead, the question actually should be phrased: “What is right with this activity?” The burden of proof falls on each individual to show that what he is doing has a positive, encouraging effect on himself and on others. One would be hard pressed to find any evidence that would classify gambling as something that could be done “in the name of the Lord Jesus.” In fact, when Christ returns, what person would want the Lord to find him in a casino?

CONCLUSION

Gambling is first and foremost a moral issue. There was a time in American society when the majority of people considered such things as lewd dancing, drunkenness, cursing, and gambling to be wrong. Obviously, times, circumstances, and culture have changed. But God and His Word have not. His Word warns that those who do not respect His will, and who choose to live life according to fleshly desires, will spend eternity in the fires of hell (Revelation 21:8). A genuine Christian is the one who eliminates from daily life the vice and immorality that is characteristic of a society that continually desires to abandon God’s will. Instead of “going along” with such a society, he or she studies the Bible in order to learn how God would have people to live. Only then can one eagerly look forward to the joys of heaven.
 
God is happy when two Christians join their lives and commit themselves, and their marriage, to Him. Christianity, Christian life, and marriage all go together as priorities for two spiritual people who follow the Lord. Here are some suggestions to help you prioritize your Christianity and Christian life in marriage.

Christian Marriage Commitment #1: Commit to praying together

St. Paul exhorts us to "pray without ceasing." This of course applies to all of us as individuals, but it should also be a main concern of your Christian marriage. Your Christianity offers you access to the power of God, so harness that power and set up a protective prayer coverage around your Christian marriage.

Christian Marriage Commitment #2: Commit to personal growth

Christian life and marriage are dependent on each individual's pursuit of spiritual growth. The closer each of you comes to becoming who God has created you to be, the closer you'll move toward each other, and of course toward the Lord.

Christian Marriage Commitment #3: Commit to your emotional relationship
A Christian marriage is just like any relationship; it takes work to maintain it. Communication, trust, commitment, fidelity, respect: all of these are absolutely required to maintain emotional intimacy and to deepen the connection between you. Work hard at strengthening your emotional bond, and you'll reap rewards in the depth of your Christian marriage.

Christian Marriage Commitment #4: Commit to your sexual relationship
As a Christian married couple, your physical intimacy is a very important part of your relationship. God created you in such a way that you're each able to receive bodily pleasure from your mate, and to give it in return. So be generous with each other in this facet of your relationship, and know that God smiles on you as you deepen the physical connection within your Christian marriage.

Christian Marriage Commitment #5: Commit to having fun together
Maintain the joy in your Christian marriage by finding frequent opportunities to laugh together. To go on dates. To call each other with funny stories. To talk deeply about yourselves and further get to know each other as friends. The more you can enjoy your time together, the stronger the bonds between you will grow, allowing your spirits to join so that your Christian marriage can go places you wouldn't have dreamed possible.
 
lanjutkan cute..
cm klo bisa bhs inggrisnya di translate donk..
gw ga ngerti soalnya heheheh..
GBU...
 
Kegagalan


Menghadapi kegagalan memang menyebalkan, gimana engga. kita baru saja mulai bermimpi indah untuk mencapai kesuksesan, eh tiba-tiba semuanya lenyap. Perasaan sedih dan kecewa kadang membuat kita merasa sepertinya dunia runtuh, Tapi apa iya sampai segitu?

Memang, kadang-kadang terasa berat untuk kita hadapi. Entah itu kegagalan dalam sekolah, keluarga, pekerjaan mau pun dalam urusan asmara. Kita perlu melihat persoalan ini dengan pikiran yang jernih sebab kalau di pikir ulang kegagalan itu merupakan hal yang biasa, yang mana setiap orang pasti pernah mengalaminya. Jadi kita bukanlah satu-satunya orang yang mengalaminya, yang membedakan hanyalah bagaimana cara kita memandang kegagalan tersebut.

Kita tidak selalu mengerti mengapa kegagalan itu harus kita alami. Tetapi Allah tahu mengapa kegagalan itu perlu. Allah mempunyai rencana untuk membantu kita mengatasi setiap kesulitan dan kegagalan. Tidak ada kegagalan yang tidak berarti dalam kehidupan orang percaya. Sebab melalui kegagalan-kegagalan itu, Allah mengajarkan kita untuk berjalan denganNya meraih keberhasilan yang lebih besar lagi.

Kegagalan merupakan salah satu jalan untuk menunjukkan betapa lemahnya kemampuan kita. Kegagalan memaksa kita untuk mengevaluasi kembali arah hidup kita. Kita dapat memilih untuk terus berputus asa dengan memusatkan perhatian kita pada masalah-masalah yang kita hadapi sekarang atau kita dapat memilih untuk tetap berharap dan memiliki iman serta percaya akan rencana Tuhan dalam kehidupan kita.

Kegagalan seringkali digunakan Allah sebagai alat agar maksud Allah dalam hidup kita dapat terpenuhi. Kita tidak akan pernah mengenal kasih setia Tuhan kalau kita tidak pernah belajar menantikan perlindungan dan penghiburanNya. Melalui kegagalan Allah ingin kita berjalan dengan iman, bukan dengan apa yang kita lihat atau rasakan. Kegagalan hanyalah salah satu cara yang Allah gunakan untuk menuntun kita menuju kemenangan.

Ingat, kehidupan kristen adalah sebuah proses. Kita belajar dan berkembang melalui kesulitan hidup. Karena itu pandang terus pada Jesus, dekatkan diri pada Allah melalui doa dan penyembahan. Praktekan FirmanNya, Ia akan menuntun kita melewati masa -masa sulit.

Jelaskan, kegagalan kita hanyalah setitik kegagalan, asli cuma setitik. Selama kita memiliki Jesus dalam hidup kita, harapan selalu ada. yang pernah ditulis oleh Philp Yancey.

Ia memberikan definisi yang indah tentang anugerah/grace. Ia menulis, "Grace means there is nothing you can do to make God loves you more. Grace means there is nothing you can do to make God loves you less." Sebuah cinta yang tulus dan murni, yang terlepas dari kondisi apapun dari penerima kasih itu. Sebuah cinta tanpa syarat sama sekali.

Sebuah cinta yang dirindukan oleh semua orang. Kabar baiknya adalah : semua orang layak untuk menerima anugerah Allah ini. Allah menyadari bahwa manusia membutuhkan cinta tanpa syarat, oleh karena itu Ia memberikannya. Rasul Paulus pernah menulis bukti cinta Allah yang tanpa syarat itu. Ia menulis, "But God commendeth his love toward us, in that, while we were yet sinners, Christ died for us"(Rom 5: 8; AV). Cinta tanpa syarat itu bukan hanya kata-kata tetapi nyata di dalam diri Yesus Kristus.

Tidak hanya di dalam kematian Yesus Kristus saja kita melihat cinta tanpa syarat, tetapi juga di dalam seluruh hidup Yesus Kristus. Ia senantiasa menerima dan mengasihi orang apa adanya. Ia menerima dan mengampuni seorang perempuan yang tertangkap basah sedang berzinah. Ia menerima dan mengasihi pemungut cukai yang telah memeras uang orang lain. Yesus Kristus menyadari bahwa tidak ada kekuatan yang lebih besar daripada kekuatan cinta tanpa syarat. Cinta tanpa syarat mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk mendorong perubahan hidup seseorang. Zakheus, sang pemungut cukai itu berubah hidupnya setelah menerima cinta tanpa syarat dari Yesus Kristus.

Pernahkah terpikir oleh kita bahwa cinta yang kita butuhkan adalah cinta yang tanpa syarat? Pernahkah kita memikirkan bahwa orang-orang yang kita cintai sebenarnya mengharapkan cinta tanpa syarat dari kita?

Saya rasa kesanggupan kita untuk mencintai seseorang tanpa syarat, akan muncul ketika kita juga menemukan bahwa sebenarnya kita telah dicintai tanpa syarat oleh Yesus Kristus. Sudahkah kita mengalami cinta tanpa syarat dari Yesus Kristus itu? Sebuah cinta yang juga menyelamatkan kita dari kebinasan kekal.

Apabila kita sudah menerimanya, maka rasa bersyukur karena keagungan cinta-Nya kepada kita, semestinya bisa membuat kita menyemai bibit-bibit cinta yang tanpa syarat itu kepada orang lain juga.

Berapa banyak orang di sekitar kita saat ini yang sebenarnya tengah merasa sunyi, sepi dan sendiri?

Sunyi, sepi, dan sendiri karena belum pernah berjumpa dengan cinta tanpa syarat dari Yesus Kristus? Mereka yang merasa lelah, kalah dan kecewa karena merasa telah dimanfaatkan dan bukannya dicintai. Jumpailah mereka, pantulkanlah cinta tanpa syarat yang telah Anda terima dari Yesus Kristus. Selamat meyemai cinta tanpa syarat.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.