|
LOUNGE |
TANYA JAWAB |
KESEHATAN |
MUSIC |
MOVIES |
OLAHRAGA |
KULINER |
ANIME |
JOKES
GAMES |
COMPUTER |
OTOMOTIF |
PETS |
PONSEL |
DEBATE |
GALLERY |
YOUTH |
BERITA & POLITIK
CURHAT |
RELIGI |
MISTERI |
GAYA HIDUP |
EDUKASI |
SARAN |
TEST
|
hahahah...kalo gitu...pasangan ato sodara ato kerabat lo yang dudut...Gw mau kasih pertanyaan yg Simple :
" Jika Anda memiliki Pacar/Pasangan atau bisa juga keluarga (Ortu/Kakak/adik) anda Non-Buddhi dan sikapnya terlalu merendahkan agama Buddha, Bagaimana Sikap Anda??? "
KONSEP DASAR KELUARGA MAITREYA
1. Tuhan pemilik rumah tangga kita.
Semuanya kita mulai dari Tuhan. Jadi Tuhan adalah dasar, pemilik, juga penguasa rumah tangga kita. Tuhan adalah empunya alam semesta, Bundanya langit dan bumi, pemilik jagat ini. Tuhanlah yang menciptakan semua makhluk. Karena Tuhan adalah pemilik 10 alam, yang menaungi semua kehidupan, yang menciptakan dan mendatangkan kehidupan maka Tuhan lah pemilik dari segala-galanya termasuk rumah tangga kita. Keluarga kita juga adalah milik Tuhan. Marilah kita senantiasa menomorsatukan Tuhan di dalam keluarga kita.
2. Buddha Maitreya adalah kepala keluarga kita.
Buddha Maitreya adalah Buddha yang akan datang membangun Dunia Sukhavati di bumi ini. Dunia Sukhavati ini akan terbentuk dari negara-negara yang sukhavati. Setiap negara dibentuk oleh masyarakat-masyarakat yang berjiwa sukhavati. Setiap masyarakat dibentuk lagi dari keluarga sukhavati atau keluarga Maitreya.
Jadi arti sebuah keluarga dalam pandangan Ketuhanan itu adalah dunia sukhavati yang kecil. Sebelum kita memasuki dunia sukhavati yang makro atau semesta kita akan mulai dari dunia sukhavati yang kecil (mikro). Dunia kecil itu adalah keluarga-keluarga kita. Walaupun kecil dan masih dalam bentuk partikel yang tercerai-berai tetapi sudah punya satu misi yaitu untuk mendukung terwujudnya dunia yang damai sentosa dan beriman pada Buddha Maitreya. Keluarga kita adalah salah satu proyek pembentuk dunia sukhavati. Jadi buatlah satu altar Buddha Maitreya di setiap keluarga kita. Buatlah keluarga kita senantiasa dalam semangat, sukacita dan ikrar agung Buddha Maitreya.
3. Hati Nurani sebagai dasar prinsip keluarga kita.
Dasar prinsip hukum kerja kita adalah Nurani, menjadikan Hati Nurani sebagai dasar prinsip keluarga kita. Nurani artinya berpengendalian diri, senantiasa bersyukur dan berkomitmen luhur.
Keluarga menjadi bermakna, luhur dan mulia kendati miskin dan banyak duka deritanya apabila menjadikan Tuhan sebagai pemilik rumah tangga. Jikalau kita bisa begitu maka keluarga kita akan hidup dengan kesadaran rasa syukur yang kuat. Kalau sebuah keluarga dikepalai oleh Buddha Maitreya maka keluarga ini punya komitmen yang luhur. Jadi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga kita adalah Nurani. Suami isteri sama-sama mengagungkan Hati Nurani berarti sama-sama belajar pengendalian diri. Berpengendalian diri artinya betul-betul senantiasa menguasai perasaan dan nafsu. Banyak keluarga berantakan dan tidak bahagia karena ketidakmampuan mengendalikan diri. Misalnya suami yang tergoda wanita lain setelah karirnya menanjak atau berjudi sampai terjerat hutang dan isteri yang materialistis. Sebagai umat Ketuhanan kita dididik untuk menjadi biasa dan sederhana. Seperti dalam hal berpakaian dan dandanan yang sama sekali tidak menor. Inilah disiplin diri. Berpengendalian artinya berdisiplin. Jadi ciri khas keluarga Maitreya adalah berpengendalian diri. Dengan orangtua yang berpengendalian diri besar kemungkinan anak-anak-nya juga akan memiliki pengendalian diri yang kuat. Para psikolog mengatakan orang yang terbiasa dengan pengendalian diri itu berjiwa besar. Dia akan memiliki semangat juang yang tinggi dan tahan pada duka derita, sebab sudah menjadi penguasa diri.
Selanjutnya kita belajar untuk bersyukur. Kita diajarkan tentang sebutir nasi sejuta keringat. Sebutir nasi adalah ratna mutu manikam. Umat Maitreya tidak menghargai emas berkilauan atau duit berlebih-lebihan. Bagi kita semangkok nasi adalah puji syukur yang tidak ada habisnya. Bagi kita tidur dan besok mata bisa dibuka adalah puji syukur. Umat Maitreya dalam hidup berkeluarga jiwa harus senantiasa dipenuhi rasa syukur. Walaupun miskin tetap bersyukur. Inilah pancaran Hati Nurani.
Terakhir, menjadi keluarga yang berkomitmen. Kita sama-sama punya komitmen untuk membina dan menga malkan Ketuhanan, beramal pahala melunasi ikrar, mem bantu Buddna Maitreya menunaikan misi akhir zaman, sekaligus membentuk keluarga Maitreya. Anak kita dididik untuk menjadi umat Maitreya yang aktif. Jadi sebelum berkeluarga kedua belah pihak sudah saling berdiskusi bagaimana membentuk keluarga Maitreya kelak. Bukan berharap yang muluk-muluk dan menuntut pasangan kita harus serba sempurna sebab ujung-ujungnya kekecewaan yang didapat. Mulai dari masa pacaran kita sudah bisa membawakan ide, cita-cita luhur serta komitmen kita nanti memasuki keluarga Maitreya. Bagi umat Maitreya pasangan kita adalah partner atau teman seperjuangan kita dalam berkarya membina diri. Di masa pacaranpun kita sudah harus belajar mengatur waktu ke vihara bersama pasangan kita. Kalau tidak berarti kita telah melupakan Tuhan dan meninggalkan Buddha Maitreya. Tak ada keluarga yang bisa bahagia jika suami isteri sama-sama melupakan Hati Nurani. Percayalah!
Seperti pengalaman umat kita yang mulanya sudah nyaris cerai karena belum punya keturunan. Untunglah keduanya selalu mendengarkan Dharma dan belakangan isterinya tulus ke vihara. Suatu kali ia dibawa ke orang pintar yang menganjurkannya untuk makan usus babi. Padahal isteri ini sudah belajar bervegetarian walaupun belum berikrar. Karena takut suaminya setuju sebelum menyampaikannya kepada si suami, isteri ini mampir dulu ke vihara bersujud kepada Tuhan. Ternyata ketika disampaikan kepada suaminya di luar dugaan suaminya malah balik bertanya apa dia sampai hati makan itu di hadapan Tuhan. Isteri ini bersyukur sekali suaminya bicara begitu. Dia justru takut suaminya marah. Akhirnya dia tak jadi makan dan 2 minggu kemudian dia mengandung. Pasangan ini ternyata dikaruniai seorang putri.
Ini sebuah contoh bahwa Tuhan menjadi penengah. Tuhan menjadi pemilik keluarga. Kita boleh menyampaikan isi hati kita kepada Tuhan dan Buddha Maitreya. Inilah keluarga yang ber-Tuhan. Kalau ada kesedihan, penyakit atau musibah satu keluarga bisa bersujud pada Tuhan. Keluarga yang jiwanya ada Tuhan dan Buddha Maitreya pasti diberkati Tuhan dan Buddha-Bodhisatva.
Jadi komitmen kita adalah membangun keluarga yang suami isterinya sama-sama membina diri. Pandanglah pasangan kita sebagai percikan suci roh Tuhan, anak Tuhan, seperti kita. Dalam pandangan Ketuhanan pertemuan suami dan isteri memiliki nilai yang luas. Sama-sama anak Tuhan, sama-sama punya roh Tuhan, sama-sama punya komitmen tertinggi untuk membebaskan diri dan kembali mencapai Kebuddhaan. Jadi pada saat dua manusia diikat dalam satu perkawinan, berbahagialah karena sama sama bisa berjuang untuk membina diri. Selain cinta kita pada sesama badan kita, selain dalam kasih ada nafsu, milikilah kasih agung sebagai sama-sama anak Tuhan yang berjuang membina untuk mengimpas dosa karma laksa tahun. Sebab kita sama-sama telah datang melalui perputaran tumimbal lahir ke dunia ini. Di pundak kita ada kantong-kantong karma dan dosa. Kita membawa benci dan rindu. Kita membawa kesakitan dan budi. Kita membawa tali karma yang akhirnya mempertemukan kita dengan pasangan kita. Hendaklah ada satu komitmen mari kita selesaikan karma ini bersama-sama. Mari kita bayar dan lunasi hutang-hutang kita. Bukan dengan saling menuding mana yang berhutang lebih banyak tetapi sama-sama menguatkan dan memberi motivasi untuk membina Ketuhanan. Sama-sama berjuang untuk membebaskan diri dari penderitaan samsara.
Tujuan komitmen kita yang tertinggi adalah menjadi Buddha-Bodhisatva. Sungguh agung! Selain sesepuh, pandita, penceramah, biarawan, Buddha-siswa, pandita madya atau sesama pembina, yang paling bertanggung-jawab pada keberhasilan kita membina Ketuhanan adalah pasangan hidup kita. Maka harus saling merasa berkomitmen. Suami dan isteri harus saling menguatkan dan mendukung, saling mengingatkan dan menyampaikan pengalaman hati. Sama-sama berjuang untuk sama-sama kembali mencapai kesempurnaan tertinggi. Sebab kita dengan pasangan hidup kita bisa berjumpa bukan hal yang sepele. Beribu-ribu masa ada jodoh mengikat. Jodoh itu bisa sangat menderita. Karma itu bisa sangat membuat kita sedih. Tapi semua itu mari kita lupakan. Kita konsentrasikan dalam satu perjuangan untuk mengatasi itu semua. Inilah makna berkeluarga.
Tidak saling berhutang tak akan jadi suami isteri tapi ini bukan alasan untuk bertemu. Alasan untuk bertemu lebih tinggi daripada ini adalah mari saling memotivasi untuk sama-sama membina Ketuhanan, berikrar vegetarian, dan beramal pahala melunasi ikrar. Suami dan isteri bisa saling mengatur waktu kapan ke vihara, mungkin isteri bisa pagi hari dan suami malam hari atau pergi bersama-sama. Suami dan isteri bisa saling memaklumi, saling mendukung dan memberi kekuatan. Di Taiwan, umat kita yang sudah berkeluarga bisa mengatur jadwal kapan masing-masing pergi melaksanakan Ketuhanan ke mancanegara. Kalau suami mau ceramah isteri bisa ikut memberi masukan. Isteri mau ceramah suami bisa memberi motivasi. Ini benar-benar keluarga Maitreya.
Singkatnya, dengan menjadikan Tuhan sebagai pemilik rumah tangga kita, Buddha Maitreya sebagai kepala keluarga kita dan Hati Nurani sebagai dasar prinsip keluarga kita, maka inilah konsep hidup keluarga Maitreya yang harmonis dan berbahagia.
Oleh Pandita Halim Zen Bodhi
Emang Gw sih lebih setuju ama pendapat yang lebih memikirkan hidup ini pada saat ini bukan setelah kita meninggal. Karena Kondisi saat ini mencerminkan apa yang akan kita dapat dikemudian hari. Contoh kalo saat ini Batin kita isi dgn Cinta Kasih, Kejujuran, & hal Positif yg membuat batin stabil maka disaat itu juga kita merasakan & menciptakan Surga yang nyata bagi diri sendiri (batin damai, tenang & sejuk), Setuju... Gak Teman-teman???
tull di agama buddha gak ada yg namanya
-tepekong dan kesurupan
-bakar kertas
-upacara pertobatan
itu semua gak ada cuman di maitreya dicampur
agama buddha sama ajaaran di koghucu dicampur semua
ini mah tmpat sembayangnya gak isa disebut vihara bisanya disebut klenteng
lo di vihara maitreya gak ada kuti
apa apaan tuh masa vihara gak ada kuti
apa lagi gak ada bhikunya aduh malang sekali
(ini ngeflame yg disengaja)