py5ke
IndoForum Beginner B
- No. Urut
- 10414
- Sejak
- 14 Jan 2007
- Pesan
- 939
- Nilai reaksi
- 14
- Poin
- 18
Imam Samudera Minta Pak Harto Bertobat
Tulis Surat di Lima Lembar Kertas
CILACAP - Tiga terpidana mati kasus bom Bali I (Amrozi, Imam Samudera, dan Ali Ghufron alias Muklas), tetap menunjukkan ketegarannya meski ajal bagi mereka mungkin tak lama lagi. "Sekalipun dihadapkan regu tembak, rambut saya tidak akan bergerak," kata Amrozi mantap, kepada Jawa Pos yang kemarin siang mendapat kesempatan membesuknya di Lapas Besi, Nusakambangan.
Hal yang sama disampaikan Imam dan Muklas, yang juga sempat ngobrol dengan Jawa Pos. Imam mengatakan, jika dia harus mati, itu adalah takdir dan syahid. "Kami tak akan bodoh meminta grasi. Itu hukumnya haram mengakui hukum KUHP," tambah Muklas berapi-api.
Dalam kesempatan itu, Imam menunjukkan lima lembar suratnya yang ditulis tangan. Surat wasiat untuk keluarga? Ternyata tidak. Lima lembar surat itu untuk mantan Presiden Soeharto yang saat ini terbaring sakit di RS Pusat Pertamina, Jakarta.
Imam merasa perlu membuat surat untuk Soeharto karena niatnya hanya ingin mengingatkan. Pemilik nama asli Abdul Azis itu berdoa supaya Soeharto diberi hidayah dan bertobat. "Kalau Pak Harto sekarang kritis, itu disebabkan dosa-dosanya di masa lalu. Mulai penerapan KUHP, pembantaian umat muslim di Tanjung Priok, Lampung, dan Aceh," katanya.
Ini masih ditambah dosa menilap uang rakyat. "Saya tak punya kalkulator untuk menghitung korupsi Anda (Soeharto), keluarga, dan para kroni Anda," katanya, membacakan isi suratnya.
Jika hukum Islam ditegakkan di Indonesia, Imam menilai, hukuman setimpal untuk korupsi Soeharto adalah potong tangan. "Saya dan Anda (Pak Harto) sama-sama akan mati. Tapi, jika saya dan teman-teman mati berjuang di hukum Allah, Anda tidak. Bertobatlah," lanjutnya.
Di bagian lain, pelaksanaan eksekusi bagi tiga terpidana mati kasus bom Bali I itu agaknya bakal mundur. Kemungkinan tersebut tersirat dari pengakuan panitera/sekretaris Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1 B Cilacap Suroso saat ditemui koordinator Tim Pembela Muslim Achmad Michdan di kantornya kemarin sore (24/1).
Suroso mengakui, Amrozi dkk belum menerima haknya karena terpidana mati bom Bali I itu seharusnya menerima salinan putusan penolakan peninjauan kembali (PK) yang asli, bukan fotokopi.
Padahal, hingga kini, baik Amrozi maupun pengacaranya belum menerima salinan asli. Mereka hanya menerima lembar penolakan PK fotokopi pada 2 Januari lalu, tanpa legalisasi, sehingga tidak bisa dianggap dokumen hukum. "Ketentuannya yang asli ada dua. Satu untuk pengadilan negeri dan yang satu untuk yang bersangkutan. Itu sudah ketentuan," kata Suroso.
Namun, lelaki berkumis tebal itu berkelit saat ditanya apakah ini artinya eksekusi bisa ditunda. "Ini kan info (dari TPM), belum ada ketetapannya. Jadi, tunggu saja," kilahnya. PN Denpasar didampingi panitera PN Cilacap menyampaikan fotokopi penolakan PK pada Amrozy dkk di tempat penahanan mereka di Lapas Batu, Nusakambangan, pada 2 Januari lalu. Soal dokumen fotokopi itu juga diketahui Plh Kepala Lapas Batu Djaja Tjahjana.
"Lha kalau fotokopi begini kan bukan dokumen hukum, Ini seperti bungkus kacang saja. Padahal, ini soal nyawa," kata Michdan.
Dia lalu menunjukkan PK untuk Ustad Abu Bakar Ba’asyir dalam kasus keterkaitan dengan bom Bali I dan Jamaah Islamiyah. PK itu dilengkapi sampul dan diparaf di setiap halamannya.
Soal PK memang menjadi isu kritis bagi nasib Amrozi dkk hari-hari ini. Kejaksaan Agung memberi tenggat 30 hari bagi Amrozi dkk. Jika tidak mengajukan grasi selama waktu itu atau hingga 31 Januari, Kejaksaan Agung mengancam akan melakukan eksekusi. "Argometer’ itu dihitung sejak tanggal penyerahan PK fotokopi pada 2 Januari yang kini dipermasalahkan itu.
"Ini kita belum bicara soal keputusan penolakan PK-nya sendiri yang kami anggap tidak due process of law," lanjutnya.
Bagi Michdan, keputusan penolakan PK kliennya tersebut janggal karena dilakukan secara kilat dan tanpa pernah menggelar sidang. Untuk itu TPM juga kembali memasukkan berkas permohonan PK bagi ketiga orang tersebut.
Namun, Michdan menolak menyebut ini permohonan kedua. "Ini bukan PK yang kedua. Ini materi PK yang sama dengan yang dulu, tapi kini kita minta mereka memproses. Kita harap bisa diproses di Cilacap atau Jakarta," tambahnya.
Selain di PN Cilacap, memori PK tersebut akan dimasukkan di PN Denpasar dan Mahkamah Agung. Salah satu bagian dari PK tersebut adalah keputusan hakim yang mengenakan hukuman mati bagi Amrozi dkk dengan peraturan perundang-undangan telah diberlakukan secara surut. Padahal, peraturan itu telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada Juli 2004 lalu.
"Proses hukum dalam kasus ini memang penuh kecacatan. Tapi, pemerintah tetap bisa mengesekusi kalau berdasar kekuatan dan tekanan, bukan hukum," sambungnya. (naz/kum)
sumber: http://jawapos.co.id/index.php?act=detail&id=9907
Tulis Surat di Lima Lembar Kertas
CILACAP - Tiga terpidana mati kasus bom Bali I (Amrozi, Imam Samudera, dan Ali Ghufron alias Muklas), tetap menunjukkan ketegarannya meski ajal bagi mereka mungkin tak lama lagi. "Sekalipun dihadapkan regu tembak, rambut saya tidak akan bergerak," kata Amrozi mantap, kepada Jawa Pos yang kemarin siang mendapat kesempatan membesuknya di Lapas Besi, Nusakambangan.
Hal yang sama disampaikan Imam dan Muklas, yang juga sempat ngobrol dengan Jawa Pos. Imam mengatakan, jika dia harus mati, itu adalah takdir dan syahid. "Kami tak akan bodoh meminta grasi. Itu hukumnya haram mengakui hukum KUHP," tambah Muklas berapi-api.
Dalam kesempatan itu, Imam menunjukkan lima lembar suratnya yang ditulis tangan. Surat wasiat untuk keluarga? Ternyata tidak. Lima lembar surat itu untuk mantan Presiden Soeharto yang saat ini terbaring sakit di RS Pusat Pertamina, Jakarta.
Imam merasa perlu membuat surat untuk Soeharto karena niatnya hanya ingin mengingatkan. Pemilik nama asli Abdul Azis itu berdoa supaya Soeharto diberi hidayah dan bertobat. "Kalau Pak Harto sekarang kritis, itu disebabkan dosa-dosanya di masa lalu. Mulai penerapan KUHP, pembantaian umat muslim di Tanjung Priok, Lampung, dan Aceh," katanya.
Ini masih ditambah dosa menilap uang rakyat. "Saya tak punya kalkulator untuk menghitung korupsi Anda (Soeharto), keluarga, dan para kroni Anda," katanya, membacakan isi suratnya.
Jika hukum Islam ditegakkan di Indonesia, Imam menilai, hukuman setimpal untuk korupsi Soeharto adalah potong tangan. "Saya dan Anda (Pak Harto) sama-sama akan mati. Tapi, jika saya dan teman-teman mati berjuang di hukum Allah, Anda tidak. Bertobatlah," lanjutnya.
Di bagian lain, pelaksanaan eksekusi bagi tiga terpidana mati kasus bom Bali I itu agaknya bakal mundur. Kemungkinan tersebut tersirat dari pengakuan panitera/sekretaris Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1 B Cilacap Suroso saat ditemui koordinator Tim Pembela Muslim Achmad Michdan di kantornya kemarin sore (24/1).
Suroso mengakui, Amrozi dkk belum menerima haknya karena terpidana mati bom Bali I itu seharusnya menerima salinan putusan penolakan peninjauan kembali (PK) yang asli, bukan fotokopi.
Padahal, hingga kini, baik Amrozi maupun pengacaranya belum menerima salinan asli. Mereka hanya menerima lembar penolakan PK fotokopi pada 2 Januari lalu, tanpa legalisasi, sehingga tidak bisa dianggap dokumen hukum. "Ketentuannya yang asli ada dua. Satu untuk pengadilan negeri dan yang satu untuk yang bersangkutan. Itu sudah ketentuan," kata Suroso.
Namun, lelaki berkumis tebal itu berkelit saat ditanya apakah ini artinya eksekusi bisa ditunda. "Ini kan info (dari TPM), belum ada ketetapannya. Jadi, tunggu saja," kilahnya. PN Denpasar didampingi panitera PN Cilacap menyampaikan fotokopi penolakan PK pada Amrozy dkk di tempat penahanan mereka di Lapas Batu, Nusakambangan, pada 2 Januari lalu. Soal dokumen fotokopi itu juga diketahui Plh Kepala Lapas Batu Djaja Tjahjana.
"Lha kalau fotokopi begini kan bukan dokumen hukum, Ini seperti bungkus kacang saja. Padahal, ini soal nyawa," kata Michdan.
Dia lalu menunjukkan PK untuk Ustad Abu Bakar Ba’asyir dalam kasus keterkaitan dengan bom Bali I dan Jamaah Islamiyah. PK itu dilengkapi sampul dan diparaf di setiap halamannya.
Soal PK memang menjadi isu kritis bagi nasib Amrozi dkk hari-hari ini. Kejaksaan Agung memberi tenggat 30 hari bagi Amrozi dkk. Jika tidak mengajukan grasi selama waktu itu atau hingga 31 Januari, Kejaksaan Agung mengancam akan melakukan eksekusi. "Argometer’ itu dihitung sejak tanggal penyerahan PK fotokopi pada 2 Januari yang kini dipermasalahkan itu.
"Ini kita belum bicara soal keputusan penolakan PK-nya sendiri yang kami anggap tidak due process of law," lanjutnya.
Bagi Michdan, keputusan penolakan PK kliennya tersebut janggal karena dilakukan secara kilat dan tanpa pernah menggelar sidang. Untuk itu TPM juga kembali memasukkan berkas permohonan PK bagi ketiga orang tersebut.
Namun, Michdan menolak menyebut ini permohonan kedua. "Ini bukan PK yang kedua. Ini materi PK yang sama dengan yang dulu, tapi kini kita minta mereka memproses. Kita harap bisa diproses di Cilacap atau Jakarta," tambahnya.
Selain di PN Cilacap, memori PK tersebut akan dimasukkan di PN Denpasar dan Mahkamah Agung. Salah satu bagian dari PK tersebut adalah keputusan hakim yang mengenakan hukuman mati bagi Amrozi dkk dengan peraturan perundang-undangan telah diberlakukan secara surut. Padahal, peraturan itu telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada Juli 2004 lalu.
"Proses hukum dalam kasus ini memang penuh kecacatan. Tapi, pemerintah tetap bisa mengesekusi kalau berdasar kekuatan dan tekanan, bukan hukum," sambungnya. (naz/kum)
sumber: http://jawapos.co.id/index.php?act=detail&id=9907