• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Hindu ?

lanjutan,

Jadi perihal persembahyangan sudah terdapat dalam Reg Weda. Tentu tidak menyangkut pelaksanaannya sebagai Panca Sembah yang disesuaikan dengan desa dala datra. Yang sudah ada itu pengaturan individu, sendiri-sendiri. Malah kalau zaman dahulu sembahyang bisa lama karena khusuknya. Berbeda kini, dalam persembahyangan dilakukan secara umum, berkelompok, harus bergelombang atau antre, perlu pengaturan khusus yang sekarang dinamai Panca Sembah.

Urutan Panca Sembah itu sebagai berikut:
Pertama, muspa puyung/kosong sebagai awal pemujaan
Ya Hyang Widhi yang merupakan Atma dari Tattwa, sucikanlah hamba

Kedua, muspa dengan bunga, ke hadapan Sanghyang Siwa Raditya
Ya Hyang Widhi, hamba sembah Dikau dalam manifestasi sinar surya yang merah cemerlang, berkilauan cahayaMu, Engkau putih suci bersemayam di tengah-tengah laksana teratai, Engkau bhaskara (sumber cahaya) yang hamba puja selalu.
Oh Hyang Widhi, sumber cahaya segala sinar, hamba menyembahmu agar segala dosa dan kotoran yang ada pada jiwa hamba menjadi sirna, binasa, karena Dikau adalah sumber bhukti dan mukti, kesejahteraan hidup jasmani dan rohani, hamba memujaMu, Oh Hyang Widhi

Ketiga, muspa dengan bunga/kawangen ke hadapan Sang Hyang Widhi
Ya Hyang Widhi, hamba memujaMu sebagai dewa sumber sinar, yang bersinggasana paling utama, hamba memuja Dikau sebagai Siwa penguasa semua mahluk, hamba memujaMu sebagai satu-satunya penegak segala, yang bersemayam di padmasana. Hamba tujukan pujaan hamba kepadaMu ciwaraditya dan hamba puja Hyang Widhi sebagai ardhanareswari (perwujudan tunggal dari laki dan perempuan)

Keempat, muspa dengan bunga/kewangen ke hadapan Istha Dewata/Dewa Pitara untuk mohon waranugraha
Ya, Istha Dewata (leluhur), limpakanlah anugerahMu yang menggembirakan hambaMu. Maha pemurah yang melimpahkan segala kebahagiaan yang dicita-citakan serta dipuja-puja dengan segala pujian, hamba puja Dikau yang melimpahkan segala macam anugerah. Sumber kesidian semua dewata, yang semuanya berasal dari korban suci kasih sayangMu.
Limpakanlah kemakmuran, kasidian dan umur panjang serta keselamatan dan kebahagiaan selalu. Hamba puja Dikau untuk dianugerahi kesejahteraan, hamba puja Dikau untuk dianugerahi kebahagiaan, dan:

Kelima muspa tangan kosong (tanpa bunga)
Untuk menghaturkan terima kasih atas anugerah yang telah dilimpahkanNya
Ya, Sang Hyang Widhi, kami memujaMu dalam wujud sinar suci yang gaib, serta wujud maha agung yang tidak dapat dipikirkan. Semoga semuanya damai di hati, damai di dunia dan damai selalu, atas karunia Sang Hyang Widhi.

Setelah puja persembahyangan selesai dilanjutkan dengan matirta dengan urutan sebagai berikut:
Masirat/maketis tiga (3) kali di Shiwadwara (ubun-ubun) dengan maksud dan tujuan menyucikan pikiran, disertai mantra : OM Ang Brahma Amerta ya Namah.
Mengenai bagaimana urutan kalau kita mau sembahyang, menghaturkan bakti ke Dewa Pitara (leluhur). Pelaksanaannya pada urutan ke 3. Kalau di pura kita menghaturkan kepada Istha Dewata, tetapi saat Pitra Yajnya urutan ke 3 itu kita hadapkan kepada Dewa Pitara dengan permohonan anugrah itu. Cakupan tangan diletakkan di dahi pada pertengahan kedua alis. Tetapi kalau kita sembahyang pada waktu mayat itu baru “dimandikan”, karena masih berupa mayat maka cakupan tangan itu diletakkan di dada, di ulu hati. Jangan di dahi.
Terkait pelaksanaan Tri Sandhya, perlu ketahui di India tidak ada Tri Sandhya yang 6 bait sebagaimana di Nusantara ini. yang diucapkan hanya Mantra Gayatri (bait pertama Tri Sandhya diucapkan sebanyak mungkin).
Di Bali, Lombok, dan Jawa, Tri Sandhya baru disebarluaskan setelah Parisada Hindu Dharma Indonesia menerbitkan Buku Upadesa.

Pelaksanaannya di Bali tidak begitu cepat, mula-mula di sekolah-sekolah waktu pelajaran akan dimulai. Kemudian di rapat-rapat pada waktu rapat akan dimulai. Kemudian di kantor-kantor bupati yang bupatinya orang Hindu. Kemudian di pura pada waktu persembahyangan Panca Sembah akan dimulai. Inipun kadang ada yang ngrengkeng masak dini ma Tri Sandhya buin, ken jumah suba ma Tri Sandhya (masak di pura sekarang lagi ber Tri Sandhya, kan di rumah tadi sudah kita lakukan). Penulis sendiri tak mengerti mengapa demikian. Apakah karena di Bali sudah tahu masyarakat beragama Hindu, sehingga tidak perlu digembar-gemborkan, sedangkan di luar Bali mereka bersaing dan ingin menunjukkan jati dirinya atau identitas diri sebagai penganut Hindu. Kalau demikian, maka pemikiran itu keliru. Pelaksanaan Tri Sandhya bukan untuk digembar-gemborkan kepada pemeluk lain. Tri Sandhya itu adalah oleh diri sendiri kepada Hyang Widhi. Setiap saat kita dapat mengagungkan Hyang Widhi serta memohon pengampunan kesalahan dan dosa yang kita tidak tahu sudah melakukannya. Setiap saat kita dapat melaksanakan walaupun tidak diperdengarkan. Cukup di hati kita memuja Hyang Widhi serta memohon ampun Beliau.

note: klo keliru, re-post, dihapus aja ya bos......:D
 
Kisah Leluhur di Rong Kalih​

Pertanyaan:
Dalam upacara ngeroras di Karangasem dimungkinkan dua bentuk pelaksanaan, antaranya; n geroras metak dan ngeroras di bale. Pertanyaan saya, apa beda kedua pelaksanaan ngeroras tersebut? Dari kedua pelaksanaan itu, mana yang bisa digolongkan pada tingkatan nista-madia-utama. Benarkah kalau dengan ngeroras di bale, setelah nuntun Dewa Hyang dilinggihkan Gedong Rong Kalih. Sementara dengan ngeroras metak, setelah nuntun Dewa Hyang dilinggihkan di Sanggah Kemulan Rong Tiga? Terkait dengan pelinggih Sanggah Kamulan, di wilayah lain di Bali jarang orang mendirikan Kemulan Rong Kalih, cukup Sanggah Kemulan Gedong Rong Tiga. Umumnya di Karangasem, selain mendirikan Sanggah Kemulan Rong Tiga, orang juga mendirikan Kamulan Rong Kalih. Pertanyaan saya, siapakah yang berstana di Sanggah Kemulan Rong Kalih, di ruangan kiri kanan. Adakah pendirian Sanggah Kemulan Rong Kalih berdasarkan sastra agama, atau lontar?

Jawaban:
Dari pertanyaan saudara ini ada dua butir pertanyaan yang penulis angkat untuk dijawab. Pertama mengenai Dewa Hyang yang “melinggih” di Sanggah Kemulan. Butir kedua mengenai Rong Tiga dan Rong Kalih itu sendiri.
Mengenai Dewa Hyang dapat penulis sampaikan bahwa zaman dahulu antara tahun 2000 sampai dengan 500 S.M telah terjadi perpindahan bangsa Austronesia secara bergelombang dari Asia Tenggara di Ulu Sungai Mekang, Yunan Selatan ke berbagai pulau/kepulauan. Mereka datang antara Madagaskar di barat sampai pulau Paska di timur, dan antara pulau Formusa di utara sampai pulau Selandia Baru di selatan. Termasuk ke kepulauan Nusantara.
Kedatangan mereka ke kepulauan Nusantara terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi sekitar tahun 2000 SM, dan gelombang kedua terjadi tahun 500 SM. Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama disebut Proto Melayu. Bangsa Proto Melayu masih menggunakan alat-alat dari batu, tetapi cara pembuatannya sudah sangat halus. Oleh karena itu mereka disebut pendukung kebudayaan batu baru. Dan zamannya disebut zaman Batu Baru (Neolitikum). Diperkirakan bangsa Proto Melayu ini juga pernah mendiami daratan Bali. Hal ini terbukti dari ditemukannya peninggalan-peninggalan zaman Batu Muda tersebar di pulau Bali (Soekmono, 1073).
Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang kedua disebut dengan Deutro Melayu. Bangsa Deutro Melayu inilah yang merupakan nenek moyang sebagai orang Bali Asli. Adanya sebutan Bali Mula adalah untuk membedakan dengan orang-orang yang leluhurnya datang belakangan ke Bali, yang mereka datang umumnya dari Jawa. Orang-orang Bali Mula adalah keturunan orang-orang pemberani, wira usaha mandiri, pelaut yang ulung, kemudian menjadi petani yang tangguh. Mereka hidup secara berkelompok (Sutaba, 1980:19).
Dari temuan-temuan Arkeologi disimpulkan bahwa ada tiga jenis pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali karena pengaruh Austronesia yang berkembang pada zaman itu, yaitu:
• Pemujaan terhadap arwah leluhur.
• Pemujaan terhadap arwah para pemuka masyarakat.
• Pemujaan terhadap kekuatan alam.
Roh-roh tersebut dapat memberikan perlindungan dan pertolongan kepada manusia, tetapi dapat pula menimbulkan bencana. oleh karena itu untuk mengambil hati roh-roh tersebut (agar tidak mencelakakan, tetapi sebaliknya memberikan bantuan) maka roh tersebut dipuja melalui persembahan saji-sajian. Yang pertama yang dipuja adalah roh orang-orang besar dan roh nenek moyang, yang disebut Hyang atau Dang Hyang. Roh suci seseorang ditempatkan di Kemimitan Sanggah/Pemerajan.
Mengenai susunan masyarakat nenek moyang pada zaman itu dapat diperkirakan bahwa mereka sudah mempunyai sistem kemasyarakatan yang teratur. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok tertentu menempati wilayah tertentu, yang disebut wanua. Setiap wanua dipimpin oleh yang dituakan dan yang dianggap paling bertuah, yang disebut tuha wahana. Tuha wahana dibantu oleh beberapa perangkat wahana seperti tuha alas, hulu air, hulu watan dan sebagainya. Disamping itu terdapat dewan tuha-tuha sebagai pendamping tuha wanua.
Mata pencaharian utama bagi yang tinggal di pedalaman adalah bertani dan berternak. Sedangkan yang tinggal di pantai adalah menangkap ikan dan pelayaran dengan perahu bercadiknya. Di samping itu terdapat juga pekerjaan-pekerjaan sambilan seperti dukun dan pertukangan. Oleh karena majunya pertukangan pada zaman itu maka zaman itu juga disebut zaman pertukangan (zaman perundagian). Dengan adanya spesialisasi pekerjaan tersebut, maka mulailah sistem perdagangan secara tukar-menukar (barter).
Dengan adanya kemajuan dalam pembikinan alat-alat pertanian maka hasil-hasil pertanian semakin meningkat. Oleh karena itu tukar menukar tidak hanya dilakukan dalam wanua sendiri, tetapi sudah terjadi barter antar wanua. Disamping itu nenek moyang kita yang memang merupakan pelaut-pelaut ulung secara aktif ikut terlibat dalam perdagangan dengan perdagangan luar negeri seperti India dan Tiongkok.
Jauh sebelum datangnya pengaruh Hindu ke daerah Nusantara, berdasarkan hasil-hasil penelitian arkeologi yang dilakukan para ilmuwan Barat dan putra Indonesia, di Indonesia telah mempunyai kebudayaan yang tinggi mutunya. Kebudayaan Indonesia asli yang dimaksudkan disini adalah kebudayaan sebelum datangnya pengaruh kebudayaan Hindu atau disebut pula Kebudayaan Pra-Hindu atau Pra Sejarah. Kebudayaan ini berakar pada kebudayaan bercocok tanam yang berlangsung pada tahun 2500 SM.
Guna kepentingan pemujaan arwah leluhur, pada masa perundagian masyarakat Indonesia mendirikan bangunan tempat pemujaan yang disebut punden berundak yaitu bentuk bangunan yang teras piramida dimana pada bagian atasnya ditempatkan: menhir. Pada perkembangan selanjutnya menhir sebagai lambang tempat pemujaan arwah leluhur digantikan dengan wujud arca sederhana atau ada yang menyebut arca primitif karena bentuknya memang sangat sederhana.

lanjut,
 
lanjutan,

Beberapa ilmuwan Barat menyatakan pendapat yang sama seperti: Miguel Covarrubias dalam bukunya Island of Bali, 1937 menyatakan: The Balinese Assimilate New and Foreign Ideas Into Tradisional Form. Demikian pula Fritaz A Wagner, 1959 dalam bukunya Indonesia, The Art of an Island Group menyebutkan: On Bali Culture Develop a unique character, Pra Hindu, Hindu-Budha, Hindu Javanese element merged to form unity and diversity.
Menurut ilmuwan Perancis Dr. G. Cocdes yang ahli tentang sejarah kuna Asia Tenggara dalam bukunya The Indianized State in South East Asia , 1968 menyatakan ada beberapa elemen-elemen kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa Asia Tenggara sebelum datangnya pengaruh Hindu adalah :
• Penanaman padi dengan sistem pengairan.
• Menjinakkan binatang, lembu dan kerbau.
• Teknik menuang logam.
• Kepandaian dalam pelayaran.
• Sistem kekerabatan material.
• Dibidang kepercayaan, percaya pada pemujaan roh leluhur.
• Tempat sucinya berbentuk teras piramid dengan menhir di atasnya.
• Sistem penguburan dengan memakai sarkofa dan tempayan.
• Konsep cosmological dualisme yaitu gunung dan laut.
Dr. WF Stutterhiem dalam tulisannya yang berjudul Indian Influence in Old Balinese Art, 1935 menyatakan: “ The Balinese applaid the aquired knomledge from Indonesian order arrive at his own system”. Sebagai contoh kearifan lokal kebudayaan Bali pada aspek keagamaan adalah sistem pemujaan arwah leluhur yang dianut masyarakat pada masa megalitik melanjut terus setelah datangnya kebudayaan Hindu. Kedua sistem kepercayaan ini berdampingan antara pemujaan arwah leluhur (Hyang) yang disebut bhatara dan pemujaan Tuhan yang disebut Hyang Widhi Wasa atau Hyang Parama Kawi.
Demikian pula tempat-tempat pemujaan atau Pura, ada yang dikelompokkan untuk pemujaan roh suci leluhur (bhatara) disebut : Pura Dadia atau Paibon, Padharman dan untuk Hyang Widhi disebut Kahyangan Jagat seperti Kahyangan Tiga dan Sad Kahyangan. Di dalam pura ada bangunan suci tempat pemujaan roh suci leluhur dan Hyang Widhi dibangun berdampingan yaitu Padmasana sebagai Singgasana Hyang Widhi dan Kemulan, Pajenengan sebagai tahta Ida Bhatara, leluhur suci.
Terjadinya hubungan antara kedua kebudayaan antara pra sejarah dan Hindu mewujudkan satu integrasi yang utuh antara tradisi, agama dan kebudayaan serta mewujudkan suatu konfigurasi nilai yang menjadi landasan dasar bagi pembentukan identitas manusia dan masyarakat Bali. Konfigurasi nilai dasar tersebut terdiri dari nilai-nilai solidaritas, estetis dan religius.
Kemudian datang pengaruh agama Hindu dengan filsafat-filsafatnya. Mengenai Sanggah Kemulan Rong Kalih dan Rong Tiga dapat saya ajak saudara ke bidang filsafat yaitu filsafat Sangkhya. Filsafat India ini yang merupakan filsafat dualistis datang juga ke Bali dengan ajaran Cetana dan Acetananya. Karena memang manusia Bali sudah mempunyai kearifan lokal pelajaran filsafat Sangkhya itu diolah sesuai dengan desa kala patra yaitu keadaan daya pikir manusia Bali yang menganut Siwaistis. Oleh karena keadaan Cetana dan Acetana diganti dengan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa Atma yang disebut Maya Siwa Tattwa.
Apabila Cetana dan Acetana terpisahkan akan lenyaplah alam semesta ini bagaikan impian yang lenyap mengikuti kesadaran yang bangun dari tidur. Cetana itu ada yang bersifat kuat, sedang dan kendor (lemah) maka menurut sifatnya dibagi atas tiga bagian masing-masing dengan nama: Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwatma atau Sanghyang Mayasiwa Tattwa.

Parama Siwa Tattwa
Parama Siwa Tattwa, menjadi sumber dari segala yang hidup, yang memenuhi luar dan dalam dari segala yang ada, baik yang nampak maupun yang tiada tampak. Dialah kesadaran yang tertinggi yang tiada terjamah oleh lupa yang sejati hidup Dialah yang disebut dengan nama Sanghyang Widhi. Dia kekal tiada berubah, tiada dilahirkan, tua maupun mati. Tiada awal dan tiada akhir. Oleh karena itu tidak dapat mendengar, merasa, melihat, maupun mencium dan berpikir. Benar-benar bersih sebab tiada terjamah rasa suka duka. Ia tiada termasuk ke dalam siklus utpatti, sthiti dan pralina yaitu lingkungan kelahiran, hidup dan mati. Tak dapat dihitung sebab tiada terbilang.

Sadasiwa Tattwa
Kesadaran tingkat kedua berada di bawah Parama Siwa, juga sama bersifat gaib, suci nirmala yang menjadi jiwa dari segala yang bernyawa. Dijunjung dan dimuliakan serta dipikirkan oleh para Wiku. Meskipun seolah-olah sama kegaiban dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Parama Siwa, namun ada hal-hal yang dapat membedakannya. Dia telah mulai terjamah oleh kebingungan. Tetapi kebingungan yang ada pada beliau itu adalah berupa kekuatan (sakti) yang dapat memenuhi apa yang dikehendaki. Apa yang dipikirkan dan dikehendaki pasti terwujud dalam seketika. Kekuatan yang dapat memenuhi segala kehendak itu disebut juga Cadu Sakti artinya memiliki empat kemahakuasaan yang disebut:
• Dujana Sakti (memiliki pengamatan tembus, Batel tingal)
• Wibhu Sakti (memiliki kekuatan yang gaib)
• Prabhu Sakti (memiliki kekuatan terhadap alam semesta)
• Kriya Sakti (mempunyai kekuatan membentuk diri sekehendak hati).

Siwatma Tattwa
Kesadaran ketiga di bawah Sada Siwa Tattwa, dinamai Sanghyang Siwatma, juga disebut Sanghyang Mayasiwa Tattwa. Siwatma Tattwa inilah dikatakan mulai tercemar oleh kelembutan dari Tattwa yang berada di bawah yang disebut Acetana, yang berarti lupa atau tak sadar. Kesadaran yang telah bercampur dengan lupa atau bingung. Tegasnya Sanghyang Siwatma Tattwa telah terjamah oleh Triguna (Satwa, Rajah, Tamah).
Kebingungan inilah yang menyebabkan beliau itu gelisah ingin mengadakan Tattwa disini yaitu Purusa Tattwa menurun hingga pada Panca Mahabhuta Tattwa. Perlu pula ditegaskan bahwa Sanghyang Siwa yang tiga itu yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwatma itu hakekatnya adalah tunggal, semua bersifat suci, dan bersih yang menjadi sumber kehidupan alam semesta. Yang menyebabkan seakan-akan ada perbedaan sebenarnya terletak pada pengaruh kesadaran itu saja.
Demikianlah halnya ketika Sanghyang Siwa itu, dengan kesadaran beliau yang memenuhi alam semesta ini dapat bercampur oleh bermacam-macam warna seakan-akan beliau ini berbeda-beda. Jelaslah bahwa hanya pengaruh kesadaran beliau yang memenuhi alam semesta ini dapat bercampur oleh bermacam-macam warna seakan-akan beliau itu berbeda-beda. Jelaslah bahwa hanya pengaruh kesadaran beliau itulah yang kemudian terkena oleh Maya lalu bercampur. Itulah yang disebut Maya Siwa Tattwa. Kalau Cetana (Siwa Tattwa) bertemu dengan Acetana (Maya Tattwa) terjadilah Purusa Tattwa dan Pradana Tattwa.
Kembali pada pokok pembicaraan yaitu Rong Tiga dan Rong Kalih. Bagi arwah yang sudah masuk ke dalam Parama Siwa Tattwa maka beliau yang sudah bersthana di Ruang Tiga tidak lagi akan menitis atau menjadi bagian lagi dari keluarga asalnya.
Sedangkan Beliau yang baru ditingkat Sada Siwa Tattwa apalagi Maya Siwa Tattwa beliaulah yang bersthana di palinggih Ruang Kalih. Beliau masih berkomunikasi dengan warga yang ditinggal, beliau masih bisa “turun” (ngidih nasi) di keluarga-keluarga asalnya.
Tidak ada efeknya antara ngeroras metak atau ngeroras di bale atau upacara nista, madya dan utama sendiri. Yang menentukan adalah karma wasananya. Apakah harus tinggal di Maya Siwa Tattwa atau bisa terbebas ke Parama Siwa Tattwa. Kita bisa menentukan apakah leluhur kita itu bisa “turun” (ngidih nasi) pada keluarga kita atau tidak. Kalau tidak, artinya beliau sudah bersthana di Rong Tiga sudah menyatu dengan Purana Siwa. Memang ada rontal Gong Wesi sebagai berikut:
Yang distanakan di kemulan untuk dipuja bukanlah Dewa tetapi Pitara yang telah mencapai alam Dewa, oleh karena itu disebut Dewa Pitara. Fungsi Merajan Kemulan sebagai tempat Sang Hyang Atma disebutkan dalam beberapa lontar sebagai berikut :
……. ngarania ira sang Atma, ring Kamulan tengen Bapanta nga Sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta ngaran sang Siwatma, ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalang raga …..
artinya:
……namanya beliau Sang Atma, pada Kemulan kanan sebagai Bapa adalah Paratma, pada Kemulan kiri sebagai ibu namanya Siwatma, pada Kemulan tengah wujudnya adalah sang atma, menjadi ibu bapa pada wujudnya Sanghyang Tunggal mempersatukan diri.

Penjelasan yang hampir sama disebutkan pada Lontar Usana Dewa sebagai berikut:
Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma, ring Kamulan tengen bapa ngaran sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibu ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan Tengah ngaran raganya, tu Brahma dadi meme bapa maraga Sang Hyang Tuduh.
Artinya:
Pada kemulan nama Beliau adalah Sang Hyang atma, di Kemulan sebelah kanan adalah linggih Paratma adalah Bapak. Di Kamulan ruang sebelah kiri adalah linggih Siwatma adalah Ibu, di Kamulan tengah ada wujudnya Brahma menjadi Ibu Bapak yang berwujud Sang Hyang Tuduh.

Ada pengalaman pribadi penulis. Datuk penulis meninggal dan sudah di Palebon dan di Ligya. Suatu saat roh beliau menitis pada keluarga misan penulis. Tetapi umurnya hanya tiga oton (satu setengah tahun). Setelah meninggal kemudian menitis lagi pada keluarga kakak kandung penulis. Juga umurnya tiga oton. Akhirnya menitis lagi pada keluarga penulis sendiri. Juga umurnya tiga oton (satu setengah tahun). Setelah itu tidak pernah menitis lagi. Menurut pemikiran penulis pada waktu roh beliau menitis tiga kali roh beliau masih di Rong Kalih. Setelah itu roh beliau sudah melinggih di Rong Tiga. Sehingga tidak lagi menitis pada keluarga di dunia fana ini lagi. Jadi sekarang roh beliau yang sudah suci sekali sudah bersatu dengan Parama Siwa. Kalau istilah Bali, beliau sudah sedang ngayah di Pura Dalem sana.

note: ini saya ambil di kolom tatwa (dan selalu saya ambil dari kolom tsb)....:)
yang diasuh oleh bpk. Tjok Rai Sudharta, beliau adalah seorang guru besar Sansekerta di fakultas Sastra univ. Udayana dan pernah mengenyam pendidikan di India, jadi menurut saya relevan tulisan bpk. Tjok saya copas disini.....:D
 
Tanpa Banten, Apa Mungkin?
Tak Sreg Pakai Banten​

Pertanyaan:
Bapak Tjokorda yang saya hormati. Selama ini saya mengikuti terus jawaban-jawaban Bapak Tjokorda di Majalah SARAD. Saya salut dengan ketekunan dan pelayanan Bapak. Saya merasa mendapat banyak hal dari pelayanan Bapak itu.
Begini Bapak Tjokorda, saya lahir luar Bali. Sejak tahun 1970, orangtua merantau ke Jakarta. Sebelum menetap di Jakarta, orangtua pernah merantau di Lombok, Lampung, dan Ujung Pandang. Ayah terbilang orang ulet, tidak pilih-pilih kerja. Sejak dulu anak-anaknya dididik disiplin. Syukur anak-anaknya sekarang sukses. Walau tetap sebagai orang Hindu saya merasa tidak sebagai orang Bali. Saya besar dan bertumbuh di rantau. Kakak-kakak saya tinggal di luar negeri. Ada yang bekerja di Australia, ada yang sedang studi di Inggris, dan satu lagi ahli komputer bekerja di India.
Sejak masih muda kakak-kakak suka meditasi, ikut kelas-kelas yoga. Ia pun doyan membaca buku-buku spiritual, entah itu Upanisad, Gita, Damapada, Tao, bahkan kitab-kitab suci agama lain. Kami bersyukur punya warisan banyak buku dari Bapak. Kami merasa, buku yang melimpah itu warisan rohani kami. Dan saban otonan atau di hari-hari tertentu (ini kebiasaan sejak kecil) kami diajar untuk senantiasa berderma kepada sesama, sesederhana apapun. Misalnya ke panti asuhan, melepas ikan, melepas, burung, dan sebagainya. Nah pertanyaan saya, bisakah kami menjalankan keyakinan leluhur kami tanpa menyertakan banten? Di mana kami mendapatkan banten bila kebetulan kami berada di luar negeri? Kalau lagi di Indonesia, karena ibu kebetulan orang Bali kelahiran Klungkung, beliau masih bisa membantu kami, misalnya; saat otonan cucu-cucunya. Bagaimana suatu saat kami jauh dengan ibu, apakah dalam pemujaan kami harus menyertakan banten? Adakah wujud persembahan lain di luar banten? Mohon pencerahan Bapak Tjokorda!

Jawaban:
Membaca pertanyaan Sdr. I Gede Gita Ananda, Jl. Gondangdia, Jakarta. Saya merasa kagum atas usaha untuk mengetahui unsur-unsur yang mendasari agama Hindu kita. Unsur pokok agama kita adalah tatwa, etika dan upacara (ritual). Unsur tatwanya sudah dipelajari dan dipahami dengan membaca buku-buku Upanisad, Bhagawad Gita, Dammapada Tao bahkan buku-buku suci agama lain. Tentu unsur etikanya pasti sudah dihayati. Hanya unsur ritualnya yang belum yaitu soal upacara dengan upakaranya. Kalau diandaikan tubuh manusia kepalanya dan hatinya sudah dipahami tetapi tangannya yang belum diketahui secara jelas. Tatwa sebagai kepala sedangkan ritual sebagai tangan belum diketahui. Kata Upa-cara adalah pelaksanaan (cara) sedangkan upa-kara adalah hasil pekerjaan tangan (kara). Di Bali upakara ini adalah banten yang disajikan. Soal banten inilah yang Sdr. Gede tanyakan. Ketahuilah yang diungkapkan di dalam rontal Yadnya Prakerti pada dasarnya sudah dicantumkan di dalam Bhagawad Gita Bab IX. Di dalam Bhagawad Gita Bab IX sloka 26 disebutkan bahwa bunga merupakan unsur pokok persembahan yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa di samping daun, buah-buahan dan air.
Pattram puspam phalam toyam
Yo me bhaktyaprayacchati
Tad aham bhaktyaupahrtam
Asnami prayatatmanah
Artinya
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan padaKu daun, bunga, buah-buahan dan air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci Aku terima. Jadi unsur-unsur pokok persembahan itu sebagaimana tertuang di dalam sloka di atas di Bali oleh umat Hindu berkembang menjadi bentuk Banten. Landasan utama atau yang mendasar dalam beryadnya yang didasarkan dengan hati yang suci dan cinta kasih itulah yang akan diterima oleh Tuhan meskipun bentuknya sangat sederhana. Yadnya dengan bentuk besar dan mewah tetapi didasarkan atas “ego” yang tinggi tidak akan mempunyai arti yang suci. Akan tetapi bagi umat yang mampu tidak ada masalah dengan upakara yang besar asalkan didasarkan pada kesucian dan cinta kasih serta disertai dengan pemahaman yang benar tentang persembahan tersebut. Dasar inilah yang dikembangkan oleh para Rsi dan oleh para ahli agama serta para “seniman” agama untuk mewujudkan berbagai bentuk upakara. Mulai dari yang amat sederhana sampai yang besar dan megah. Inilah yang dimaksudkan dengan persembahan yang dituangkan di dalam rontal Bali. Antara lain rontal Yadnya Prakerti sebagai berikut:
Sahaning bebanten pinaka raganta tui, Pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka andha buana. Sekare pinaka kesucian ketulusan kayunta mayadnya, reringgitan tatuasan pinaka kalangengan kayunta mayadnya. Raka-raka pinaka widyadhara widyadhari.
Maksudnya:
Semua banten lambang diri kita (manusia), lambang Kemahakuasaan Tuhan, lambang alam semesta. Bunga-bungaan lambang kesucian dan ketulusan melakukan yadnya. Reringgitan dan tatuasan (potong-potongan daun kelapa muda (busung) pada banten) lambang kesungguhan pikiran melakukan yadnya. Raka-raka (buah dan berbagai jajan perlengkapan banten) lambang para ilmuan-ilmuan sorga (widyadhara-widyadhari).
Misalnya canang, sudah umum dipakai sebagai sarana persembahan, tetapi masih ada umat yang belum memahami maknanya. canang berasal dari bahasa Jawa Kuno. Awalnya berarti sirih sehingga di Bali ada istilah “pecanangan” yang isinya sirih, gambir, pamor, tembakau dan buah pinang.
Di Bali canang disusun menjadi sarana yadnya (persembahan) yang bahan intinya yakni peparosan dibuat dari daun sirih, kapur, gambir dan buah pinang. Sirih pada zaman dahulu diberikan sebagai penghormatan terhadap para tamu. Bahkan sampai sekarang sirih memiliki arti penting dalam sebuah upacara di Bali dan juga masih disuguhkan kepada tamu.
Porosan walaupun bentuk dan wujudnya kelihatan sederhana isi dalamnya yaitu base atau sirih (Piper Batle L.) yang berwarna hijau adalah pelambang Dewa Wisnu, prabhawa Hyang Widhi sebagai unsur stithi (pemelihara dan pengayom). Buah atau pinang (Areca Catechu L.) yang berwarna merah adalah pelambang Dewa Brahma, prabhawa Hyang Widhi sebagai unsur pencipta. Pamor kapur warna putih adalah pelambang Dewa Siwa prabhawa Hyang Widhi sebagai unsur pelebur atau pamralina. Dengan demikian porosan adalah pelambang Tri Murti prabhawa Hyang Widhi sebagai unsur utpthi, stithi, pralina (lahir, hidup, mati).
Tidak itu saja, bahan lainnya seperti ceper yang berbentuk segi empat melambangkan Catur Purusa Artha dan taledan atau Tapak Dara melambangkan keharmonisan serta urassari lambang keheningan pikiran atau keteguhan pikiran.
Jadi canang itu adalah wujud persembahan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Tri Murti. Umat memohon anugrah kepada Beliau agar umat mampu mencapai empat tujuan hidup yakni Catur Purusa Artha dengan selamat.
Banten itu bukanlah suguhan untuk makanan Tuhan. Banten itu adalah bahasa agama dalam bentuk simbol yang Mona. Mona artinya diam/tidak bersuara. Banten itu memang diam/tidak bersuara sama dengan aksara. Tetapi kalau dicoba ungkap dengan sabar maka banten itu akan banyak menuturkan berbagai ajaran agama Hindu yang sesuai dengan konsep Weda dan kitab-kitab sastranya. Lewat Banten nilai luhur dapat ditanamkan ke dalam lubuk hati secara motorik.
Sarana upacara atau bebantenan di Bali sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi di dalamnya sarat makna simbolik. Pada umumnya sarana upakara tersebut sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.
Banten itu adalah bahasa untuk menjelaskan ajaran agama Hindu dalam bentuk simbol. Misalnya banten menurut Lontar Yadnya Prakerti adalah simbol ekpresi diri manusia. Misalnya banten Peras dinyatakan lambang permohonan hidup untuk sukses. Setelah Patram yaitu daun-daunan atau daun kelapa muda dan daun pisang disebut di dalam Bhagawad Gita maka unsur Puspa yaitu bunga atau kembang.
Pemakaian kembang atau puspa yang merupakan bentuk sesajen yang paling mudah dan murah. Puspa adalah benda yang disuguhkan sebagai cara menunjukkan perasaan yang dapat memberikan kepuasaan. Yang penting ialah bahwa perbuatan itu akan dapat memberikan rasa puas pada diri sendiri seseorang yang ingin menyampaikan perasaannya. Bentuk Banten yang lebih komplek ialah dengan menambah hasil bumi lainnya yaitu buah-buahan, makan-makanan dan kue (jajan).

Dalam menyelenggarakan upakara persembahan ada beberapa alat peraga yang sering dipakai baik sebagian maupun selengkapnya tergantung pada keadaan setempat. Alat-alat yang sering disebut ada empat jenis seperti Puspa (bunga) Dhupa (bau wangian), Dipa (api) dan Toya (air). Masing-masing dalam upakara mempunyai fungsi sebagai berikut:
Dhupa dan Dipa.
Di dalam kitab Weda Parikrama disebutkan dari semua jenis alat perlengkapan itu adalah dhupa dan dipa. Dhupa adalah sejenis bahan yang dibakar yang berbau harum. Dalam upacara itu dipa ini diganti dengan api takep atau pasepan. Yang penting itu adalah untuk mengadakan api dengan asapnya yang harum. Karena itu untuk membuat harum kadang-kadang dipakai kemenyan, gula, kulit duku, kayu cendana dan lain-lain. Asap ini adalah merupakan lambang aksara. Dipa sebagai unsur yang kedua bisa lampu minyak atau lilin.
Kedua jenis unsur di atas dhupa dan dipa adalah ‘api’, sebagai unsur yang paling menonjol. Semua upacara memerlukan api (Agni). Api mulai dihidupkan pada permulaan upacara, seperti dhupa, api takep dan pasepan. Para pendeta akan memulai dengan memantrai dhupa dan dipa agar seluruh jiwa raganya bersih.
Peranan api (agni) dalam upacara keagamaan sangat menonjol karena sifatnya, fungsinya dan misinya yang khusus bagi manusia. Api dihidupkan di setiap rumah tangga sehingga ia dikenal sebagai ‘grhapati’ (Penguasa dalam rumah tangga). Api adalah pengantar upacara yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan. Agni adalah dewa yang mengusir unsur yang negatif dan membakar habis semua mala sehingga menjadikannya suci. Api adalah pengawas moral dan saksi yang abadi. Apilah yang menjadi pemimpin upacara yadnya yang sejati menurut Weda.
Air (Tirtha, Toya)
Air mempunyai peranan penting juga dalam upacara keagamaan. Air untuk memelihara kebersihan, untuk kehidupan, untuk pembaptisan atau untuk wisuddhi dan lain-lain. Pendeknya untuk banyak hal air memegang peranan yang amat penting. Air lambang pelebur dosa dan menghabiskan noda-noda. Air merupakan simbol amrta (hidup) dan air pula yang menjadikan badan kita tetap bersih dan suci.
Semua peralatan di Bali harus diperciki air suci sebelum upacara dimulai. Percikan air suci kepada orang dalam upacara itu dimaksudkan untuk mendapatkan kesehatan, ketentraman (kedamaian), kebahagiaan dan lain-lain. Air dianggap mempunyai kekuatan untuk meleyapkan pengaruh jahat atau negatif.
Demikian pentingnya air dalam kehidupan beragama sehingga semua upacara keagamaan tidak pernah lepas dari pada penggunaan air. Istilah air dalam upakara keagamaan tidak sama. Tirtha dipakai sebagai istilah untuk nama air suci. Istilah yang sama juga adalah toya (toyam).
Disamping itu ada kawangen. Dalam Lontar Siwagama dan Lontar Sri Jaya Kusuma, Kawangen disebut sebagai lambang Omkara (aksara suci Tuhan). Kata Kawangen berasal dari kata wangi atau harum.
Perlengkapan kawangen terdiri atas kojong dari daun pisang, plawa dan hiasan (pepayasan) bunga dan peporosan yang bernama silih asih. Peporosan silih asih itu terbuat dari dua lembar daun sirih berisi kapur (pamor). Disamping itu Kawangen dilengkapi uang gepeng.
Kojong itu berbentuk segitiga, yang merupakan simbol Ardha Candra, uang gepeng sebagai simbol Windu, bunga dan daun plawa sebagai lambang Nada. Sementara dalam Berihad Arinyaka Upanisad, kawangen lambang Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Cara penggunaan kawangen yang benar adalah muka kawangen berhadapan dengan muka umat yang memakainya di dahi di atas kedua alis.
Membangun Peradaban Rohani
Butir-butir pengertian yang bisa diangkat dari pemaparan di atas menunjukkan adanya penuangan ajaran Catur Marga melalui upacara dan upakara. Adanya nilai kreatifitas yang tinggi (Karma Marga), penuangan rasa cinta kasih (Bhakti Marga), pemahaman akan sistem pengetahuan (Jnana marga) dan adanya nilai kontemplatif yang terus menerus kepada Tuhan Yang Maha Esa (Raja marga).
Upakara banten dilihat dari proses pembuatannya sampai siap dipersembahkan dalam suatu upacara secara langsung mengajak manusia berpikir terus menerus terhadap Tuhan. Hal ini juga dibuktikan melalui etika bagi seorang sarathi banten(tukang banten) bahkan harus melakukan mona brata dan tidak boleh sambil menikmati makanan.
Berpikir terus menerus tentang Tuhan akan senantiasa ingat kepada Tuhan. Lama kelamaan ingatan kepada Tuhan akan melekat dalam hati. Selanjutnya apabila ingatan kepada Tuhan sudah melekat dalam hati seseorang maka dia akan menjadi seperti apa yang diingatnya. Bhagawad Gita VIII 6 menyatakan: Keadaan hidup manapun yang diingat seseorang pada saat ia meninggalkan badannya, pasti keadaan itulah yang akan dicapainya, wahai putra Kunti.
Manusia adalah makhluk berpikir. Dan berpikir merupakan eksistensi kemanusiaannya. Karena berpikirlah manusia. Kalau seseorang tidak berpikir tentang Tuhan dia pasti berpikir tentang sesuatu mengenai kenikmatan-kenikmatan duniawi yang ada di dalam alam pikirannya. Oleh karena pikiran itu liar seperti seekor kuda liar yang sulit dijinakkan maka Maharesi Patanjali dalam Yoga Sutra menyatakan: Yogaccittawrittinirodah, artinya yoga dimaksudkan untuk mengendalikan gelombang-gelombang pikiran sehingga bebas dari khayalan lalu mantap di dalam menjalin hubungan bhakti terhadap Tuhan.
Upakara Bebanten dimaksudkan untuk melatih, mengembangkan dan memantapkan pikiran manusia untuk menjalin hubungan cinta bhakti dengan Tuhan Sang Pencipta. Hal ini akan mengangkat seseorang untuk mengalami rasa rohani yang terus menerus (intens). Selalu ingat kepada Tuhan dalam salah satu prinsip bhakti disebut smaranam. Dan adanya upakara bebanten dalam suatu upacara menandakan pelaksanaan prinsip ajaran bhakti. Selain melalui sarana upakara bebanten, selalu ingat kepada Tuhan juga bisa dicapai melalui cara mendengar (srawanam) dan memuji (kirtanam). Jadi selalu ingat kepada Tuhan merupakan dasar dan tujuan bhakti. Prinsip dasar dan tujuan bhakti yang merupakan pokok pengertian dalam menghayati salah satu dimensi rohani agama Hindu juga merupakan nilai yang terkait dengan upakara bebanten.
Banyaknya upacara keagamaan yang ditetapkan dalam sastra Weda nampaknya telah dipikirkan berdasarkan konsep keagamaan khususnya konsep bhakti seperti dikutip di atas. Dengan demikian akan memungkinkan umat Hindu senantiasa ingat kepada Tuhan dalam setiap saat dimanapun mereka berada.
Dalam pengertian Tri Guna: satwam, rajas, dan tamas upakara bebanten ini akan merupakan proses memantapkan kedudukan rohani seseorang di dalam Jiwa Satwam. Setelah sebelumnya melakukan proses pendakian dari tamasa guna dan rajasa guna. Selanjutnya apabila jiwa satwam dipupuk terus maka akan mengangkat seseorang sampai wisuddha bhakti (wisuddha satwam) yaitu keadaan bebas. Fenomena ini berarti pembebasan bagi seseorang. Senantiasa berpikir tentang Tuhan merupakan ciri seseorang yang didominasi oleh pengaruh jiwa satwam.
Pentingnya ingat kepada Tuhan dijelaskan dalam pustaka suci Bhagawad Gita VIII,5 sebagai berikut:
“ante kale ca mam ewa, smaranam muktwa kalewaram, yah prayati sa madbhawam yati na’sty atra samsayah”
note: saya pake spoiler aja biar kagak ngabisin banyak tempat.....:D
 
OM, Tak Sama Dengan Semoga​

Pertanyaan:
Salam Bapak Tjokorda. Tempo hari pas hari raya Kuningan saya didatangi karib yang menekuni serius kehidupan rohani. Ia seorang ahli botani dan pencita tanaman yang sekarang bekerja di Bandung. Dalam pertemuan itu terjadi diskusi hangat, ternyata secara diam-diam karib saya ini belajar agama dengan telaten, hingga ia berdiskusi dengan sangat detail. Di antara diskusi itu ia menanyakan beberapa hal, misalnya: terjemahan suku kata OM dalam sejumlah sloka Sansekerta. Kenapa suku OM sering diterjemahkan dengan kata “Semoga,” apakah terjemahan ini tidak keliru. Contoh: OM Santhi Santhi Santhi, diterjemahkan menjadi; semoga damai. Om Ekadantaya Vidmahe, diterjemahkan menjadi ; semoga kita mewujudkan Sri Ganesa. Dan hampir sebagian sloka-sloka Veda yang dimulai dengan suku kata OM diterjemahkan dengan kata “semoga.”
Pertanyaan teman saya yang kedua mengenai bait terakhir Puja Trisandya. Menurutnya, apakah baris dari bait itu tak terbalik? Perihal sloka pengampunan dosa itu misalnya, kenapa tidak dimulai dari; ksantavya manaso dosah, Om, ampunilah dosa pikiran hamba. Yang terjadi justru terbalik, pengampunan dosa dimulai dari ‘dosa perbuatan,’ Om ksantavyah kayiko dosah, menyusul kemudian dosa akibat perkataan, pikiran, dan kelalaian. Pertanyaan teman saya, bukankah mula dari segala dosa berawal dari pikiran, manah. Dari pikiranlah kata-kata dan perbuatan terbetik, mestinya pengampunan dosa dimulai dari pengampunan atas pikiran. Mohon penjelasan!

Jawaban:
Dengan pertanyaan dan pendapat yang kita terima mendorong kita untuk memperluas dan mendalami agama dengan tatwanya. Misalnya mengenai ucapan OM yang sakral dan bernilai tinggi bagi umat Hindu apalagi diterjemahkan dengan salah. Ditanyakan karib saudara kenapa suku kata OM sering diterjemahkan dengan kata ‘semoga’, apakah terjemahan itu tidak keliru? Seharusnya terjemahan suku OM itu adalah ‘semoga Tuhan atau ‘semoga Hyang Widhi’. Bukan hanya ‘semoga’ saja. Untuk mengganti kalimat tadi cukup dengan OM. Sebenarnya walaupun ucapan OM itu pendek tetapi jangkauannya sangat luas dan nilainya tinggi sekali.
Ketahuilah bahwa kata atau ucapan OM itu terjadi atas tiga huruf atau fonem yaitu A,U dan M yang disandhikan menjadi OM atau di Bali disebut Ung. Kata OM ini terjadi atas A+U+M adalah ucapan yang peragaannya sangat alamiah dan praktis. Sangat alamiah saya katakan! Coba ucapkan kata A, tentu mulut kita pasti akan terbuka. Coba ucapkan kata U, tentu mulut atau bibirnya menjorok, istilah Bali ‘bujuh’. Kalau kita mengucapkan fonem M pasti bibir kita tertutup. Gerakan mulut atau bibir kita sangat alamiah tidak bisa digugat. Coba gugat kalau kita mengucapkan fonem A dengan menutup mulut kita pasti tidak bisa. Juga kalau kita mengucapkan fonem U. Apalagi kalau kita mengucapkan fonem M pasti tidak bisa mengucapkannya dengan mulut terbuka.
Jadi yang mendasari suku atau ucapan ‘Aum” disandikan menjadi OM adalah sakral. Hal ini pulalah yang melambangkan tiga tahap kehidupan kita yaitu ‘lahir-hidup-mati (utpati, sthiti dan pralina)’ ketiga kata ini melambangkan ketiga tahapan hidup atas manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Ketiga tahap ini tidak bisa dipungkiri. Apapun dan kapanpun dan di manapun tahap ini pasti terjadi. Kejadian ini hanya Tuhan atau Hyang Widhi yang Mahatahu, yang paling mengetahui, kapan terjadinya. Hanya Tuhan Mahapencipta, mengetahui kapan makhluk hidup dilahirkan atau diciptakanNya. Untuk hal penciptaan ini umat Hindu memberi simbol fonem A. Demikian juga kapan dan bagaimana makhluk hidup ini dapat hidup, walau sebentar atau satu detik, peristiwa atau tahap ini diisyaratkan dengan fonem U. kemudiaan kapan Tuhan akan mengakhiri kehidupan dengan kematian itu, hanya Tuhan yang Tahu. Kekuasaan Tuhan untuk mati atau Pralina bagi umat Hindu diskripkan dengan fonem M.
Dengan demikian terjadilah hubungan yang tidak dapat terpisahkan ketiga fonem atau huruf A dan U dan M. Karena ketiga peristiwa itu terletak pada kekuasaan Tuhan. Tuhanlah yang Mahatahu dan Mahakuasa. Siapakah yang bisa menolak makhluk itu lahir, hidup dan mati ? Tidak ada, kan. Siapapun atau apapun yang lahir pasti hidup walau sejenak dan pasti akan mati. Ketiga peristiwa atau tahap kehidupan atau fonem AUM atau OM adalah milik Tuhan atau merupakan Tuhan itu sendiri sebagai yang diucapkan di dalam Pustaka Bhagawad Gita Bab VII sloka 8 yang penulis terjemahkan sebagai berikut:
Aku adalah rasa di dalam air,
Aku adalah cahaya dan matahari,
Aku adalah huruf AUM di dalam pustaka suci Veda,
Aku adalah suara di dalam ether,
Aku adalah kemanusiaan pada manusia.

Dengan ucapan Aku adalah huruf AUM atau OM umat Hindu menggambarkan ketiga kekuatan yang mahakuasa itu dengan Brahma, Wisnu dan Siwa (Iswara) sebagai Trisakti (tiga kekuatan) Brahma adalah A, Wisnu adalah U dan Siwa adalah M. Jadi AUM atau OM adalah ketiga kemahakuasaan Tuhan yang Tunggal.

Hal yang sama terdapat juga pada Bab. II sloka 17, di mana artinya sebagai berikut:
Aku adalah Bapa, Ibu, Pelindung,
Dan Datuk alam semesta ini,
Aku adalah objek ilmu pengetahuan,
Aku adalah aksara Reg, Sama, Yajur dan AUM.

Di sini aksara AUM termasuk sebagai huruf Veda yaitu Reg Veda, Sama Veda dan Yajur Veda. Seolah-olah aksara AUM atau OM adalah sama dengan Veda dari Tiga Veda itu. Demikian tinggi nilainya. Kemudian penggunaan aksara om juga disebut di dalam pustaka Bhagawad Gita Bab XVII sloka 24 yang artinya sebagai berikut:
Maka itu dengan ucapan AUM telah dicantumkan pada awal segala pelaksanaan upacara, pemberian sedekah dan pelaksanaan tapa. Jadi setiap gerak, pekerjaan semisal upacara, kegiatan sosial dan permulaan pelaksanaan tapa dimulai dengan sebutan aksara AUM atau OM.
Kemudian pada menjelang akhir hidup ini disebut juga di dalam Bhagaawad Gita Bab VIII sloka 13, diterjemahkannya sebagai berikut:
Dia yang mengucapkan aksara tunggal AUM (OM) dan mengenangkan Aku sewaktu ajal memanggilnya, akan pergi ke tujuan yang tertinggi.
Dengan diucapkan pada waktu ajal akan tiba, mengucapkan aksara AUM (OM) seseorang akan menuju ke tempat yang tertinggi apakah sorga atau moksa.
Demikianlah saudara, jawaban penulis terhadap kawan-kawan yang menterjermahkan suku OM dengan artinya ‘semoga’. Mudah-mudahan dimengerti akan suku OM itu yang bernilai tinggi bagi umat Hindu.

Kata Sanskerta yang berarti ‘semoga’ adalah kata ‘astu’. Umpamaya Om swasti astu atau di tulis Om Swastyastu. OM berarti Tuhan. SU berarti baik. Asti berarti ada atau berada. Astu berarti ‘semoga’. Kata swastyastu artinya semoga berada dalam keadaan baik. Swastyastu terdiri atas tiga suku kata yang disandikan. Suku kata itu adalah su asti astu. Ada peraturannya kalau huruf U diikuti oleh huruf A disandikan menjadi W. Suku kata su ditambah asti menjadi swasti. Demikian juga huruf I jika diikuti oleh huruf A disandikan menjadi Y.
Dengan demikian suku kata asti +astu menjadi astyastu karena kalimat itu didahului su maka jadilah kalimat Swastyastu yang berarti Semoga berada dalam keadaan yang baik. Kata swasti jangan disalah artikan dengan kata swastha. Kata swastha berarti ‘berdiri sendiri’. Kata ini terdiri atas dua suku kata. Bukan tiga suku kata. Kata swastha terdiri atas dua suku kata itu adalah suku kata itu adalah suku kata swa dan suku kata stha. Swa artinya sendiri dan stha berarti berdiri.
Sama dengan kata Inggris yaitu stand (berdiri). Kata swastha diindonesiakan jadi kata swastha atau wiraswasta artinya berani (wira), berdiri (stha), sendiri (swa). Jadi orang yang melakukan Wiraswasta adalah orang yang ‘berani berdiri sendiri’ di atas kakinya sendiri. Lain dari pada itu jangan disamakan kata swasta dengan swasti. Karena kata ‘swasta’ terdiri atas suku kata swa+sta sedangkan kata swasti terdiri atas suku kata su+asti. Komposisinya dan artinya tidak sama antara dua kata itu.

Sekarang kita mengalih pada persoalan pengampunan dosa di dalam Puja Trisandhya. Apakah tidak terbalik menempatkan permohonan ampun itu dimulai dari “dosa perbuatan”. Lalu dosa dalam perkataan, kemudian dosa dalam pikiran. Kan pikiranlah yang merupakan sumber segalanya termasuk perbuatan dosa? Sudah disebutkan di dalam pustaka Sarasamucchaya 85, 86, 87, 88 dan 479 sebagai berikut:
1. Dapat disimpulkan bahwa pikiran adalah unsur yang menentukan. Setelah itu barulah perkataan dan perbuatan. Oleh karena itu maka pikiran itulah yang menjadi pokok sumbernya
2. Oleh karena pikiran itu merupakan asal mulanya nafsu dan asal timbulnya perbuatan yang baik maupun buruk, maka dari itu perlukan sekalilah pengendalian pikiran itu darai sekarang juga.
3. Adapun gerak pikiran itu berkeliaran kesana kemari dan banyak yang dianggankan serta mempunyai banyak tujuan sehingga menimbulkan wujud-wujud kecemasan. Jika ada orang yang dapat mengendalikan pikirannya maka ia pasti akan menemuai kebahagiaan, baik sekarang maupun di alam baka nanti.
4. Dan lagi sifat pikiran itu ialah bahwa mata dikatakan dapat melihat segala benda, hanyalah sebenarnya karena bantuan dari pikiran. Pikiranlah yang menyebabkan mata dapat melihat. Jika pikiran itu tidak turut membantu mata walaupun mata itu terbuka lebar, namun tidak akan nampak suatu apapun olehnya. Sebab pikiran itulah yang sebenarnya mengetahui, jadi pikiran itulah yang merupakan sebab yang paling menentukan.
5. Pikiranlah yang menyebabkan diterimanya suka dan duka. Misalnya suara gamelan pada zaman kerajaan yang mengembirakan hati sang Raja dengan semua penghuni istana serta rakyat jelata yang mendengarnya. Tetapi ada juga yang punya pertimbangan lain: “Ah tidak bahagia aku dengan mendengarkan yang demikian (jika) dosa papaku bisa hilang olehnya: barulah hatiku bahagia olehnya”.

Memang benar bahwa pikiranlah yang menjadi penyebab segalanya, yang baik maupun yang buruk. Tetapi saya bertanya, apakah pikiran itu transparan? Apakah pikiran itu dapat kita lihat? Tentu tidak! Kita tidak tahu apa yang dipikirkan. Tetapi yang kita tahu adalah apa yang dibuat oleh perbuatan. Apa yang dilakukan. Kenyataan itu yang kita saksikan, dosa yang diperbuatlah yang kita ketahui.
Perbuatan dosa itu kita lihat akibatnya dan baru kita rasakan. Sebelumnya kita tidak tahu. Apakah pikirannya itu dosa, sebelumnya kita tidak tahu. Kita tidak bisa menyalahkan orang karena pikirannya. Walaupun pikirannya salah tetapi kalau perbuatannya benar, kita tidak tahu bisa menyalahkan. Sebaliknya walaupun pikirannya yang benar tetapi perbuatannya yang salah maka perbuatan itulah yang kita bisa salahkan. Dia tidak bisa mengelak dikatakan ia salah walaupun pikirannya ia katakan tidak salah. Jadi kenyataannya yang kita bisa sebut dosa setelah pelaksanaan dosa itu dilakukan. Oleh karena itulah yang disebutkan di dalam Tri Sandhya itu yang pertama adalah Dosa Perbuatan. Walaupun pikirannya mungkin dosa atau tidak kita tidak tahu tetapi dosa yang terlihat harus diampuni. Setelah itu baru dosa perkataan yang kemudian pengampunan dosa pikiran. Walaupun kita tahu sumbernya adalah pikiran, Apa buktinya? Kalau sudah diperbuat baru kita tahu buktinya.
Untuk kita pribadi sebaiknya Trikaya yang dosa itulah yang mohon diampuni tidak perlu memilih mana yang duluan, mana yang belakangan karena ketiganya itu satu paket.**
 
Eh saya lupa, bahwa artikel ini saya copas dari,
http://saradbali.com/index.php
yang takutnya nanti etika dimasukkan edisi yang baru maka edisi yang lama akan digantikan, makanya saya copas aja disini, ntar siapa tau jika edisi yang lama di gantikan oleh yang baru maka kita masih bisa membacanya di sini....:)
 
Kenapa Tuhan Tidak Adil?

Pertanyaan:
Pak Tjok, katanya Tuhan itu maha pemurah, maha pelindung, mahabaik, maha pengampun. Jika begitu adanya, kenapa lalu ada kejahatan, kenapa kemudian di dunia ini ada kebaikan dan keburukan, kejahatan dan kebajikan. Lalu, jika begini kondisinya pantaskah Tuhan dipercaya, apakah Tuhan memang benar-benar ada? Jika ada, dengan jalan apa kemudian kita percaya pada-Nya?

Jawaban:
Pertanyaan pendek Anda ini mengandung dua aspek. Pertama, mengenai keraguan akan adanya Tuhan yang pantas dipercaya. Kedua, mengapa Tuhan tidak adil?
Untuk persoalan pertama saya dapat menjawab bahwa berbicara soal Tuhan bukan merupakan hal baru. Masalah Tuhan dan Ketuhanan telah lama menjadi bahan pembicaraan, sejak ribuan tahun lalu. Kitab Upanisad dan Aranyaka banyak membahas soal Tuhan dan berbagai pengertiannya. Demikian pula kitab-kitab Brahmana mambahas masalah Ketuhanan dalam rangkaiannya dengan upacara. Kitab Aranyaka dan Upanisad mencoba melukiskan secara filosofis dan doktriner. Semuanya cukup membuka pokok-pokok pemikiran baru dalam bidang ajaran Ketuhanan yang menjadi sumber pembicaraan sepanjang zaman.
Ketuhanan yang diajarkan sebagai unsur iman dalam agama Hindu untuk pertama dijumpai dalam kitab Atharwa Weda XII.1.1 dan merupakan unsur dalam penghayatan agama Hindu. Oleh karena itu Tuhan merupakan topik bahasan terpenting di antara para wipra, brahmana ahli.
Keinginan manusia untuk lebih banyak tahu tentang Tuhan dan Ketuhanan yang serba gaib (suksma), misteri (rahasia) tetapi mutlak sifat hakikat-Nya. Hal itu mendorong manusia untuk lebih banyak menghabiskan waktu mereka merenung dan mengagumi kegaiban itu dengan berbagai akibatnya. Penggambaran atau pengucapan tentang Tuhan secara lahiriah tidak lebih hanya membatasi sifat keabsolutan-Nya secara arbitratif. Setiap orang akan berpikir dan bicara lain tentang hal yang sama dan karena itu apa yang lahir dari pikiran dan perkataan akan lain pula wujud-Nya yang dipresentasikan-Nya baik dalam sistem kefilsafatan (darsana, tattwa) maupun dalam sastra dan bahasa yang tidak sama. Gambaran inilah yang dijumpai dalam kitab sruti yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk Dewa, bila tidak hati-hati membaca dan melihatnya dalam satu kerangka yang bulat dalam sistem pemikiran Ketuhanan menurut alam pikiran Weda.
Berpikir tentang Tuhan, orang akan sampai kepada Tuhan. Berpikir tentang raksasa maka orang akan sampai kepada raksasa. Oleh karena itu, untuk sampai kepada Tuhan orang harus selalu berpikir tentang Tuhan. Berpikir tentang Tuhan berarti orang harus mengenal Tuhan dalam kenyataan-Nya, baik sebagai hakikat yang dikenal sebagai nirguna Brahman maupun sebagai aspek saguna Brahman. Untuk itu orang harus belajar memahami dan mengerti sebaik-baiknya tentang istilah dan kata-kata yang dipergunakan sebaik-baiknya sebelum membedakannya dari pengertian lain yang berarti bukan Tuhan.
Untuk pertama kali kita menjumpai definisi tentang Tuhan di dalam kitab Brahma Sutra I.1.2. berbunyi: Janmadhyasya Yatah, Tuhan ialah dari mana mula asal semua ini.
Definisi yang dijumpai dalam kitab Brahma Sutra ini berdasarkan pada satu pengertian bahwa Tuhan adalah asal segala yang ada. Kata ini diartikan semua ciptaan, yaitu Alam Semesta beserta isinya, termasuk saya, juga Saudara Komang. Tuhan, merupakan prima causa yang adanya bersifat mutlak karena harus ada sebagai asal atau sumber atas semua yang ada. Tanpa ada Tuhan tidak ada ciptaan ini.
Kita ini juga mencakup pengertian materi dan non-materi. Kata janmadhi juga diartikan asal sebagai sumber yang memelihara dan memralaya (melebur kembali) pada saatnya. Karena itu kata itu berarti 'penciptaan'. Kata melebur juga diartikan sama dengan 'penciptaan', karena melebur berarti menciptakan yang baru.
Penamaan Tuhan adalah semacam pembatasan yang arbitratif dan relatif. Telah dikemukakan di depan bahwa salah satu aspek dalam memelajari Ketuhanan adalah berusaha untuk mengenal atau mengetahui Tuhan. Untuk mengenal dan mengetahui, kita memerlukan nama, penggambaran tentang sifat, hakikatnya, atau apa saja yang dapat memberi keterangan yang jelas dalam membantu untuk menghayati Tuhan itu. Setiap kali menyebutkan nama Tuhan, pikiran kita dipaksa untuk berpikir tentang Tuhan dalam segala kemampuan pikir kita untuk mengenalnya, melihat secara mental, baik dengan bantuan kata-kata maupun cara penggambaran abstrak lainnya yang lebih konkret (real).
Tuntutan pikiran seperti ini adalah wajar karena pikiran itu sendiri adalah satu wujud pula yang merupakan ada secara mental atau non-fisik. Tentang keadaan-Nya secara mental belum juga cukup karena kadang-kadang kita ingin menamakan wujud yang kita bayangkan secara mental dengan kata-kata atau suara. Karena itu timbul pemberian gelar atau penamaan akan hakikat yang kita lihat secara mental. Keinginan lebih banyak tahu dan termasuk juga pemberian nama, lalu menggambarkannya.
Maksudnya mulai sejak mengenalnya dalam pikiran saja. Karena itu Tuhan adalah bersifat 'pikiran' (manah) sehingga ia juga disebutkan sebagai Manomaya Brahman. Melihat dalam pikiran memunyai arti pembatasan secara limitatif dan arbitratif karena apa yang dipikirkan hanya merupakan satu aspek yang sanggup dilihat oleh pikiran manusia yang terbatas pula. Karena itu persepsi wujud Ketuhanan dalam pikiran itu tidak selalu sama karena relatif pada keluasan pikiran manusia yang dipengaruhi setelah membaca tentang Tuhan.
Demikian pula dalam hal penamaan atau pemberian gelar, sama pula halnya sebagaimana dengan pengetahuan melalui pikiran. Pembagian nama sifatnya lebih konkret lagi jika dibandingkan dengan penglihatan kita dalam fantasi pikiran. Pemberian gelar dipengaruhi oleh bahasa dan arti kata-kata yang dipergunakan. Dalam hal ini dapat kita kemukakan sebagaimana adagium ekam sad wiprah bahuda wadanti dan seterusnya (Rgweda I. 164.46).
Untuk menamakan, kita harus tahu dan bijaksana karena yang dinamakan itu adalah hal yang absolut (mutlak). Oleh karena itu harus diartikan dalam pengertian yang relatif. Dalam memberi nama atau memberi gelar terdapat berbagai istilah yang dijumpai dalam Weda yang satu dengan lain artinya tidak sama. Dari arti kata-kata yang dipakai ternyata bahwa istilah-istilah itu tergantung kepada individu yang melihatnya dan dari aspek apa ia menamakan hakikat itu.
Mengetahui dan mengenalnya ataupun mengatakannya, tidak saja dituntut adanya pengetahuan tentang Tuhan tetapi keyakinan yang tumbuh dari pengalaman manusia itu sendiri dan menganalisanya secara jujur dan ilmiah. Untuk kebayakan orang mengenal nama Tuhan hanya berdasarkan verbalisme yang diperoleh dari sabda yang diwahyukan sebagai mana dijumpai dalam Weda atau kitab suci pada umumnya yang diakui kebenarannya oleh agama itu. Pengetahuan mengenai nama-nama berdasarkan kitab suci disebutkan sebagai sabda pramana (agama pramana), sedangkan pengetahuan tentang nama-nama yang diperoleh secara bebas dapat disebut sebagai pratyaksa dan dapat pula sebagai anumana pramana.
Dari gambaran itu aspek Tuhan dalam tingkat saguna atau sakala, tingkat ini dibedakan dalam murti-Nya sebagai sthula (badan) gaib dibedakan tiga tingkat, mulai dari bawah:
1. sabda atau suara disebut bentuk sabdamaya, disimbolkan dengan gelar Iswara.
2. pikir atau manah disebut dalam bentuk manomaya, disimbolkan dengan gelar Sadasiwa.
3. ilmu (murni) atau citta dalam bentuk cittamaya disimbolkan dengan gelar Parama Siwa atau disingkat OM (AUM) yang dalam Mahanirwana Tantra juga disebut Widhi karena mencakup hakikat sebagai Utpathi-Sthiti-Pralina.
Selain Tuhan dalam pengertian transcendental, untuk tujuan praktis terdapat pula gambaran Tuhan. Penggambaran seperti itu bukan merupakan hal baru karena gambaran seperti itu dijumpai dalam kitab Weda. Dalam hal ini perasaan manusia dan rasa serta hubungan manusia dengan Tuhan memengaruhi bentuk penggambaran yang diberikan. Kita mengenal Tuhan sebagai Mahapelindung (Rg. W. X. 4. 1), Juru Selamat (Rg. W. IV. 47. 11), Pemberi Petunjuk (Rg. W. X. 32. 7), Maha Ada (At. W. IV. 16. 2.), Maha Melihat (At. W. IV. 16. 5), satu-satunya tujuan yang harus disembah (Rg. W. VIII. 60. 9.), tanpa bentuk yang diwujudkan dalam bentuk dewa-dewa (Rg. W. III. 55. 1), dan sebagai Modal Wujud Alam Lahiriah (Rg. W. II. 12). Demikianlah, Saudara Komang, bagi saya Tuhan itu memang benar-benar ada.
Untuk pertanyaan Saudara kedua, saya bertanya kembali kepada Anda, apakah Saudara tidak ingin ada malam dan siang yang diciptakan Tuhan? Apakah Anda tidak terima, makhluk atau tumbuh-tumbuhan itu hidup dan nanti mati? Apakah Anda tidak mau menerima udara atau air yang panas dan dingin? Kalau seandainya Tuhan tidak adil, maka hari terus-menerus siang dan tidak diciptakan hari malam, atau sebaliknya hari malam terus menerus malam. Atau kalau siang dengan Matahari yang bersinar terus, tukang jual es akan senang, tetapi yang sedih adalah para petani karena tidak ada air hujan menggenangi sawah mereka. Apakah itu yang Anda inginkan, agar Tuhan dianggap adil?
Itulah, antara lain, jawaban saya terhadap pertanyaan Saudara yang menganggap Tuhan itu tidak adil! Amat aneh, orang yang tidak mau atau tidak menerima hukum rwa bhinedha. Dalam kehidupan ini ada kebaikan dan keburukan, ada kejahatan dan ada kebajikan. Tuhan itu adil.

note: biar rame nih thread, pada ditinggal mudik sama 'penghuninya', apa mau tahun baru-an ya???.....:D
jadi bingung nih pada kemana orang-orang????
 
Namaste,
Saya member baru di IF.
Mohon pencerahannya seputar Hindu.:D

AHIMSA;)
 
Lagi OL nih boz, Saya lokasi diwilayah 'remote' di Pulau Kalimantan.
OK, pren kita belajar bersama...

AHIMSA
Sepertinya saya tau nih......:D

ayo kita sama-sama belajar, ikut kasi sumbang pikiran donk bro....;)
 
Sepertinya saya tau nih......:D

ayo kita sama-sama belajar, ikut kasi sumbang pikiran donk bro....;)
Jangan ST12, boz...
Saya mo jadi 'murid' disini, kok malah disuruh jadi 'guru'.:D
wait and see... aja lahhh...

AHIMSA
menolak semua bentuk kekerasan riil dan virtual
 
Lagi OL nih boz, Saya lokasi diwilayah 'remote' di Pulau Kalimantan.
OK, pren kita belajar bersama...

AHIMSA

Ooooh di Kalimantan,sudah pernah sembahyang ke Pura Payogan Agung Kutai?nah nah nah di situlah pertama kali agama Hindu diturunkan di Indonesia pd abad ke-4,..
 
ijin nyimak aja deh..aku hindu tapi belum terlalu paham sama agama yang aku anut
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.