virya
IndoForum Beginner E
- No. Urut
- 36574
- Sejak
- 17 Mar 2008
- Pesan
- 455
- Nilai reaksi
- 11
- Poin
- 18
Syair 95 (VII:6. Kisah Sariputta Thera)
Pada suatu akhir masa vassa; Sariputta Thera berangkat untuk suatu perjalanan bersama dengan beberapa pengikutnya. Seorang bhikkhu muda pengikutnya, yang memiliki dendam terhadap Sariputta Thera, mendekat kepada Sang Buddha dan memfitnah dengan mengatakan bahwa Sariputta Thera telah mencaci dan memukulnya.
Sang Buddha memanggil Sariputta Thera dan menanyakan apakah hal itu benar ?
Sariputta menjawab, "Bhante, bagaimana mungkin seorang bhikkhu, yang dengan tenang menjaga pikirannya, berangkat dalam suatu perjalanan tanpa kesalahan, telah melakukan kejahatan terhadap bhikkhu pengikutnya ? Saya seperti tanah yang tidak merasa senang ketika bunga-bunga tumbuh, dan tidak juga merasa marah ketika sampah dan kotoran teronggok di atasnya. Saya juga seperti keset, pengemis, kerbau jantan dengan tanduk yang patah; saya juga merasa jijik dengan kekotoran tubuh dan tidak lagi terikat dengan itu."
Ketika Sariputta Thera berbicara, bhikkhu muda itu merasa sangat tertekan dan menderita. Akhirnya ia mengaku bahwa ia berbohong perihal Sariputta. Kemudian Sang Buddha menyarankan kepada Sariputta Thera untuk menerima permohonan maaf bhikkhu muda itu. Jika tidak, akibat yang berat akan menimpa diri bhikkhu muda itu. Bhikkhu muda mengakui bahwa ia bersalah dan dengan hormat meminta maaf. Sariputta Thera memaafkan bhikkhu muda itu dan beliau juga meminta maaf apabila beliau berbuat salah.
Semua yang hadir memuji Sariputta Thera, dan Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seorang arahat seperti Sariputta tidak memiliki kemarahan atau keinginan jahat. Seperti tanah dan tugu kota, ia sabar, toleran, teguh; seperti danau yang tak berlumpur, ia tenang dan bersih."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 95 berikut :
Bagaikan tanah, demikian pula orang suci. Tidak pernah marah, teguh pikirannya bagaikan tugu kota (indakhila), bersih tingkah lakunya bagaikan kolam tak berlumpur. Bagi orang suci seperti ini tak ada lagi siklus kehidupan.
Syair 96 (VII:7. Kisah Seorang Samanera Dari Kosambi)
Suatu ketika, seorang anak berumur tujuh tahun menjadi samanera atas permintaan ayahnya. Sebelum rambut kepalanya dicukur, anak itu diberi sebuah obyek meditasi. Ketika rambut kepala anak itu sedang dicukur, ia memusatkan pikirannya dengan teguh pada obyek meditasi. Sebagai hasil dari meditasinya, dan juga berkat kamma baiknya di waktu lampau; akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat secepat orang selesai mencukur rambut kepalanya.
Beberapa waktu kemudian, Tissa Thera, disertai samanera muda tersebut, pergi ke Savatthi untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Di tengah perjalanan mereka bermalam di sebuah vihara desa. Tissa Thera tidur, tetapi samanera muda duduk sepanjang malam di samping kasur Tissa Thera. Pada waktu fajar menyingsing, Tissa Thera berpikir bahwa sudah saatnya membangunkan samanera muda. Ia membangunkan samanera dengan kipas daun palemnya, tetapi secara tidak sengaja mata samanera terpukul oleh tangkai kipas dan matanya rusak.
Samanera menutup matanya dengan satu tangan dan pergi melaksanakan tugasnya mempersiapkan air pencuci muka dan mulut Tissa Thera, menyapu lantai vihara dan lain-lain. Ketika samanera muda mempersembahkan air dengan satu tangan kepada Tissa Thera, Tissa Thera mencelanya dan berkata bahwa ia seharusnya mempersembahkan dengan dua tangan.
Kemudian, setelah Tissa Thera mengetahui bagaimana samanera itu rusak matanya, seketika itu ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan terhadap seorang manusia yang sungguh-sungguh mulia. Merasa sangat menyesal dan merasa dirinya rendah, ia memohon maaf kepada samanera.
Tetapi samanera berkata bahwa itu bukan kesalahan Tissa Thera juga bukan kesalahannya sendiri tapi merupakan buah/akibat perbuatan (karma) lampau, sehingga Tissa Thera tidak lagi terlalu sedih. Tetapi Tissa Thera tidak dapat mengatasi kekecewaan atas kesalahan yang tak dikehendakinya.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan ke Savatthi dan sampai di Vihara Jetavana di mana Sang Buddha menetap. Tissa Thera berkata kepada Sang Buddha bahwa samanera muda yang datang bersamanya adalah seorang yang paling mulia yang pernah ia temui, dan dikaitkan dengan apa yang terjadi dalam perjalanan mereka.
Sang Buddha lalu menjawab: "Anak-Ku, seorang arahat tidak akan marah dengan siapapun. Ia sudah mengendalikan indrianya dan memiliki ketenangan yang sempurna."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 96 berikut :
Orang Suci yang memiliki pengetahuan sejati, yang telah terbebas, damai dan seimbang batinnya, maka ucapan, perbuatan serta pikirannya senantiasa tenang.
syair 97 (VII:8. Kisah Sariputta Thera)
Tiga puluh bhikkhu dari sebuah desa datang ke Vihara Jetavana untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui bahwa telah tiba waktunya bagi bhikkhu-bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat.
Beliau mengundang Sariputta dan di hadapan bhikkhu-bhikkhu itu, Beliau bertanya,"Anakku, Sariputta, apakah kamu dapat menerima kenyataan bahwa dengan cara bermeditasi, seseorang dapat merealisasi nibbana ?"
Sariputta menjawab,"Bhante, berkaitan dengan perealisasian nibbana dengan meditasi, saya menerima hal itu bukan karena saya percaya kepada-Mu. Pertanyaan itu hanya bagi seseorang yang belum berhasil merealisasi nibbana, yang menerima kenyataan dari orang lain."
Jawaban Sariputta tidak dapat dimengerti secara tepat oleh para bhikkhu. Mereka berpikir,"Sariputta belum melenyapkan pandangan salah, sampai saat ini, ia belum memiliki keyakinan terhadap Sang Buddha."
Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada mereka makna sebenarnya dari jawaban Sariputta.
"Para bhikkhu, jawaban Sariputta dapat disederhanakan menjadi demikian: Ia menerima bahwa nibbana dapat dicapai dengan meditasi, tetapi ia menerima hal itu berdasarkan hasil pengalamannya sendiri, dan bukan karena saya telah mengatakan hal itu atau orang lain mengatakan hal itu. Sariputta yakin terhadap-Ku. Ia juga yakin terhadap akibat-akibat dari perbuatan baik dan jahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 97 berikut :
Orang yang telah bebas dari ketahyulan, yang telah mengerti keadaan tak tercipta (nibbana), yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir), yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat), yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.
Syair 98 (VII:9. Kisah Samanera Revata)
Revata adalah saudara laki-laki termuda dari murid utama Sariputta. Ia satu-satunya saudara Sariputta yang tidak meninggalkan rumah tangga untuk menempuh kehidupan tanpa rumah. Ayahnya sangat menginginkan agar ia menikah. Revata baru berumur tujuh tahun ketika ayahnya mempersiapkan sebuah pernikahan baginya dengan seorang gadis kecil.
Pada jamuan pernikahan, ia bertemu dengan wanita tua yang berumur 120 tahun. Melihat wanita tua itu, Revata kecil merenung. Ia menyadari bahwa segala sesuatu merupakan subyek dari ketuaan dan kelapukan, sehingga ia berlari meninggalkan rumah dan pergi ke vihara. Di sana terdapat tiga puluh bhikkhu. Sebelumnya, bhikkhu-bhikkhu itu telah memohon kepada Sariputta Thera agar menjadikan saudara beliau menjadi seorang samanera, jika ia datang kepada mereka.
Kemudian Revata menjadi seorang samanera dan Sariputta Thera diberitahu hal itu oleh para bhikkhu.
Samanera Revata menerima sebuah obyek meditasi dari para bhikkhu dan pergi ke hutan akasia, tiga puluh yojana jauhnya dari vihara. Pada akhir masa vassa ia mencapai tingkat kesucian arahat.
Suatu ketika, Sariputta Thera memohon izin kepada Sang Buddha untuk mengunjungi saudaranya, tetapi Sang Buddha menjawab bahwa Beliau sendiri juga akan pergi ke sana. Jadi, Sang Buddha disertai Sariputta Thera, Sivali Thera, dan lima ratus bhikkhu pergi mengunjungi Samanera Revata.
Perjalanan itu sangat jauh, jalannya buruk dan daerah tersebut tidak ditinggali manusia; tetapi para dewa memenuhi setiap kebutuhan Sang Buddha dan para bhikkhu selama di perjalanan. Setiap satu yojana, sebuah vihara dan makanan disediakan, dan perjalanan mereka rata-rata satu yojana per hari.
Revata mengetahui perihal kunjungan Sang Buddha, ia membuat persiapan untuk menyambutnya. Dengan kekuatan batin luar biasanya ia menciptakan vihara khusus untuk Sang Buddha dan lima ratus vihara untuk bhikkhu lainnya, dan membuat mereka merasa nyaman ketika mereka tinggal di sana.
Pada perjalanan pulang, mereka berjalan dengan waktu yang sama seperti sebelumnya,dan sampai di Vihara Pubbarama di sebelah timur kota Savatthi pada akhir bulan. Dari sana mereka pergi ke rumah Visakha, yang mempersembahkan makanan kepada mereka. Setelah makan, Visakha bertanya kepada Sang Buddha apakah tempat Revata di hutan Akasia menyenangkan.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 98 berikut :
Apakah di desa atau di dalam hutan, di tempat yang rendah atau di atas bukit, di mana pun Para Suci menetap, maka tempat itu sungguh menyenangkan.
Syair 99 (VII:10. Kisah Seorang Wanita)
Seorang bhikkhu setelah menerima sebuah obyek meditasi dari Sang Buddha, mempraktekkan meditasi di sebuah taman tua. Seorang wanita yang tidak dikenal datang ke taman dan melihat bhikkhu itu. Ia mencoba untuk menarik perhatiannya dan merayunya. Sang bhikkhu menjadi terkejut. Pada saat yang sama; seluruh tubuhnya diliputi berbagai macam perasaan kepuasan yang menyenangkan.
Sang Buddha melihatnya dari vihara Beliau, dan dengan kemampuan batin luar biasa, Beliau mengirim seberkas sinar kepadanya dan bhikkhu tersebut menerima pesan yang berbunyi: "Anak-Ku, tempat di mana orang mencari kesenangan duniawi adalah bukan tempat untuk seorang bhikkhu. Para bhikkhu seharusnya senang tinggal di hutan di mana orang-orang duniawi tidak menemukan kesenangan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 99 berikut :
Hutan bukan tempat yang menyenangkan bagi orang duniawi, namun di sanalah orang-orang yang telah bebas dari nafsu bergembira, karena mereka tidak lagi mencari kesenangan indria.
Pada suatu akhir masa vassa; Sariputta Thera berangkat untuk suatu perjalanan bersama dengan beberapa pengikutnya. Seorang bhikkhu muda pengikutnya, yang memiliki dendam terhadap Sariputta Thera, mendekat kepada Sang Buddha dan memfitnah dengan mengatakan bahwa Sariputta Thera telah mencaci dan memukulnya.
Sang Buddha memanggil Sariputta Thera dan menanyakan apakah hal itu benar ?
Sariputta menjawab, "Bhante, bagaimana mungkin seorang bhikkhu, yang dengan tenang menjaga pikirannya, berangkat dalam suatu perjalanan tanpa kesalahan, telah melakukan kejahatan terhadap bhikkhu pengikutnya ? Saya seperti tanah yang tidak merasa senang ketika bunga-bunga tumbuh, dan tidak juga merasa marah ketika sampah dan kotoran teronggok di atasnya. Saya juga seperti keset, pengemis, kerbau jantan dengan tanduk yang patah; saya juga merasa jijik dengan kekotoran tubuh dan tidak lagi terikat dengan itu."
Ketika Sariputta Thera berbicara, bhikkhu muda itu merasa sangat tertekan dan menderita. Akhirnya ia mengaku bahwa ia berbohong perihal Sariputta. Kemudian Sang Buddha menyarankan kepada Sariputta Thera untuk menerima permohonan maaf bhikkhu muda itu. Jika tidak, akibat yang berat akan menimpa diri bhikkhu muda itu. Bhikkhu muda mengakui bahwa ia bersalah dan dengan hormat meminta maaf. Sariputta Thera memaafkan bhikkhu muda itu dan beliau juga meminta maaf apabila beliau berbuat salah.
Semua yang hadir memuji Sariputta Thera, dan Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seorang arahat seperti Sariputta tidak memiliki kemarahan atau keinginan jahat. Seperti tanah dan tugu kota, ia sabar, toleran, teguh; seperti danau yang tak berlumpur, ia tenang dan bersih."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 95 berikut :
Bagaikan tanah, demikian pula orang suci. Tidak pernah marah, teguh pikirannya bagaikan tugu kota (indakhila), bersih tingkah lakunya bagaikan kolam tak berlumpur. Bagi orang suci seperti ini tak ada lagi siklus kehidupan.

Syair 96 (VII:7. Kisah Seorang Samanera Dari Kosambi)
Suatu ketika, seorang anak berumur tujuh tahun menjadi samanera atas permintaan ayahnya. Sebelum rambut kepalanya dicukur, anak itu diberi sebuah obyek meditasi. Ketika rambut kepala anak itu sedang dicukur, ia memusatkan pikirannya dengan teguh pada obyek meditasi. Sebagai hasil dari meditasinya, dan juga berkat kamma baiknya di waktu lampau; akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat secepat orang selesai mencukur rambut kepalanya.
Beberapa waktu kemudian, Tissa Thera, disertai samanera muda tersebut, pergi ke Savatthi untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Di tengah perjalanan mereka bermalam di sebuah vihara desa. Tissa Thera tidur, tetapi samanera muda duduk sepanjang malam di samping kasur Tissa Thera. Pada waktu fajar menyingsing, Tissa Thera berpikir bahwa sudah saatnya membangunkan samanera muda. Ia membangunkan samanera dengan kipas daun palemnya, tetapi secara tidak sengaja mata samanera terpukul oleh tangkai kipas dan matanya rusak.
Samanera menutup matanya dengan satu tangan dan pergi melaksanakan tugasnya mempersiapkan air pencuci muka dan mulut Tissa Thera, menyapu lantai vihara dan lain-lain. Ketika samanera muda mempersembahkan air dengan satu tangan kepada Tissa Thera, Tissa Thera mencelanya dan berkata bahwa ia seharusnya mempersembahkan dengan dua tangan.
Kemudian, setelah Tissa Thera mengetahui bagaimana samanera itu rusak matanya, seketika itu ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan terhadap seorang manusia yang sungguh-sungguh mulia. Merasa sangat menyesal dan merasa dirinya rendah, ia memohon maaf kepada samanera.
Tetapi samanera berkata bahwa itu bukan kesalahan Tissa Thera juga bukan kesalahannya sendiri tapi merupakan buah/akibat perbuatan (karma) lampau, sehingga Tissa Thera tidak lagi terlalu sedih. Tetapi Tissa Thera tidak dapat mengatasi kekecewaan atas kesalahan yang tak dikehendakinya.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan ke Savatthi dan sampai di Vihara Jetavana di mana Sang Buddha menetap. Tissa Thera berkata kepada Sang Buddha bahwa samanera muda yang datang bersamanya adalah seorang yang paling mulia yang pernah ia temui, dan dikaitkan dengan apa yang terjadi dalam perjalanan mereka.
Sang Buddha lalu menjawab: "Anak-Ku, seorang arahat tidak akan marah dengan siapapun. Ia sudah mengendalikan indrianya dan memiliki ketenangan yang sempurna."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 96 berikut :
Orang Suci yang memiliki pengetahuan sejati, yang telah terbebas, damai dan seimbang batinnya, maka ucapan, perbuatan serta pikirannya senantiasa tenang.

syair 97 (VII:8. Kisah Sariputta Thera)
Tiga puluh bhikkhu dari sebuah desa datang ke Vihara Jetavana untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui bahwa telah tiba waktunya bagi bhikkhu-bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat.
Beliau mengundang Sariputta dan di hadapan bhikkhu-bhikkhu itu, Beliau bertanya,"Anakku, Sariputta, apakah kamu dapat menerima kenyataan bahwa dengan cara bermeditasi, seseorang dapat merealisasi nibbana ?"
Sariputta menjawab,"Bhante, berkaitan dengan perealisasian nibbana dengan meditasi, saya menerima hal itu bukan karena saya percaya kepada-Mu. Pertanyaan itu hanya bagi seseorang yang belum berhasil merealisasi nibbana, yang menerima kenyataan dari orang lain."
Jawaban Sariputta tidak dapat dimengerti secara tepat oleh para bhikkhu. Mereka berpikir,"Sariputta belum melenyapkan pandangan salah, sampai saat ini, ia belum memiliki keyakinan terhadap Sang Buddha."
Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada mereka makna sebenarnya dari jawaban Sariputta.
"Para bhikkhu, jawaban Sariputta dapat disederhanakan menjadi demikian: Ia menerima bahwa nibbana dapat dicapai dengan meditasi, tetapi ia menerima hal itu berdasarkan hasil pengalamannya sendiri, dan bukan karena saya telah mengatakan hal itu atau orang lain mengatakan hal itu. Sariputta yakin terhadap-Ku. Ia juga yakin terhadap akibat-akibat dari perbuatan baik dan jahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 97 berikut :
Orang yang telah bebas dari ketahyulan, yang telah mengerti keadaan tak tercipta (nibbana), yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir), yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat), yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.

Syair 98 (VII:9. Kisah Samanera Revata)
Revata adalah saudara laki-laki termuda dari murid utama Sariputta. Ia satu-satunya saudara Sariputta yang tidak meninggalkan rumah tangga untuk menempuh kehidupan tanpa rumah. Ayahnya sangat menginginkan agar ia menikah. Revata baru berumur tujuh tahun ketika ayahnya mempersiapkan sebuah pernikahan baginya dengan seorang gadis kecil.
Pada jamuan pernikahan, ia bertemu dengan wanita tua yang berumur 120 tahun. Melihat wanita tua itu, Revata kecil merenung. Ia menyadari bahwa segala sesuatu merupakan subyek dari ketuaan dan kelapukan, sehingga ia berlari meninggalkan rumah dan pergi ke vihara. Di sana terdapat tiga puluh bhikkhu. Sebelumnya, bhikkhu-bhikkhu itu telah memohon kepada Sariputta Thera agar menjadikan saudara beliau menjadi seorang samanera, jika ia datang kepada mereka.
Kemudian Revata menjadi seorang samanera dan Sariputta Thera diberitahu hal itu oleh para bhikkhu.
Samanera Revata menerima sebuah obyek meditasi dari para bhikkhu dan pergi ke hutan akasia, tiga puluh yojana jauhnya dari vihara. Pada akhir masa vassa ia mencapai tingkat kesucian arahat.
Suatu ketika, Sariputta Thera memohon izin kepada Sang Buddha untuk mengunjungi saudaranya, tetapi Sang Buddha menjawab bahwa Beliau sendiri juga akan pergi ke sana. Jadi, Sang Buddha disertai Sariputta Thera, Sivali Thera, dan lima ratus bhikkhu pergi mengunjungi Samanera Revata.
Perjalanan itu sangat jauh, jalannya buruk dan daerah tersebut tidak ditinggali manusia; tetapi para dewa memenuhi setiap kebutuhan Sang Buddha dan para bhikkhu selama di perjalanan. Setiap satu yojana, sebuah vihara dan makanan disediakan, dan perjalanan mereka rata-rata satu yojana per hari.
Revata mengetahui perihal kunjungan Sang Buddha, ia membuat persiapan untuk menyambutnya. Dengan kekuatan batin luar biasanya ia menciptakan vihara khusus untuk Sang Buddha dan lima ratus vihara untuk bhikkhu lainnya, dan membuat mereka merasa nyaman ketika mereka tinggal di sana.
Pada perjalanan pulang, mereka berjalan dengan waktu yang sama seperti sebelumnya,dan sampai di Vihara Pubbarama di sebelah timur kota Savatthi pada akhir bulan. Dari sana mereka pergi ke rumah Visakha, yang mempersembahkan makanan kepada mereka. Setelah makan, Visakha bertanya kepada Sang Buddha apakah tempat Revata di hutan Akasia menyenangkan.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 98 berikut :
Apakah di desa atau di dalam hutan, di tempat yang rendah atau di atas bukit, di mana pun Para Suci menetap, maka tempat itu sungguh menyenangkan.

Syair 99 (VII:10. Kisah Seorang Wanita)
Seorang bhikkhu setelah menerima sebuah obyek meditasi dari Sang Buddha, mempraktekkan meditasi di sebuah taman tua. Seorang wanita yang tidak dikenal datang ke taman dan melihat bhikkhu itu. Ia mencoba untuk menarik perhatiannya dan merayunya. Sang bhikkhu menjadi terkejut. Pada saat yang sama; seluruh tubuhnya diliputi berbagai macam perasaan kepuasan yang menyenangkan.
Sang Buddha melihatnya dari vihara Beliau, dan dengan kemampuan batin luar biasa, Beliau mengirim seberkas sinar kepadanya dan bhikkhu tersebut menerima pesan yang berbunyi: "Anak-Ku, tempat di mana orang mencari kesenangan duniawi adalah bukan tempat untuk seorang bhikkhu. Para bhikkhu seharusnya senang tinggal di hutan di mana orang-orang duniawi tidak menemukan kesenangan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 99 berikut :
Hutan bukan tempat yang menyenangkan bagi orang duniawi, namun di sanalah orang-orang yang telah bebas dari nafsu bergembira, karena mereka tidak lagi mencari kesenangan indria.
