• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Cerita Kultivasi

Berubah Menjadi Baik

Pada suatu hari, ketika seorang petapa sedang meditasi di biara, tiba-tiba seorang perampok masuk kedalam biaranya. Perampok mengancam petapa memakai pisau yang tajam dan mengkilat mengancam petapa sambil menghardik.

“Cepat keluarkan semua uang yang ada dilemari ini, kalau tidak engkau akan kubunuh!” hardik perampok.

“Uangnya ada di laci, di lemari tidak ada uang, engkau sendiri yang ambil, tetapi tolong tinggalkan sedikit karena beras saya sudah habis, jika engkau tidak tinggalkan sedikit besok saya akan kelaparan!” kata si petapa.

Perampok itu mengambil semua uang yang ada di laci, ketika hendak meninggalkan tempat itu petapa itu berkata, “Setelah menerima pemberian dari orang lain, seharusnya engkau mengucapkan terima kasih!”

“Terima kasih,” kata perampok itu.

Ketika dia membalikkan badan akan meninggalkan tempat ini hatinya sangat kacau, belum pernah dia mengalami keadaan seperti ini, dia berhenti sekejab, lalu teringat dia tidak boleh membawa pergi semua uang tersebut, lalu dia mengambil segenggam diletakkan di meja dan meninggalkan tempat itu.

Beberapa waktu kemudian, akhirnya perampok ini ditangkap oleh polisi. Setelah diintrogasi, dia mengakui perbuatannya, lalu polisi membawanya ke biara petapa itu.

Polisi bertanya kepada petapa, “Beberapa hari yang lalu perampok ini datang kesini merampok, benarkah?”

“Dia tidak merampok saya, saya yang memberi uang itu kepadanya. Ketika dia meninggalkan tempat itu dia masih sempat mengucapakan terima kasih, demikianlah kejadian yang sebenarnya,” jawab petapa.

Si perampok mendengar perkataan petapa yang sangat toleran ini, hanya bisa menggigit bibirnya, wajahnya basah oleh air mata, tidak dapat mengucapkan sepatah katapun lalu mengikuti polisi meninggalkan tempat itu.

Perampok ini ketika dibebaskan dari penjara, datang ke biara menemui petapa, memohon kepada petapa menerima dia sebagai muridnya. Namun petapa itu tidak mengizinkan, orang ini lalu berlutut diluar biara 3 hari 3 malam, akhirnya petapa menerima dia menjadi muridnya.

Orang yang berbuat kesalahan dapat bertobat dan berubah menjadi baik, sesuatu hal yang patut ditiru
 
Berubah Menjadi Baik

Pada suatu hari, ketika seorang petapa sedang meditasi di biara, tiba-tiba seorang perampok masuk kedalam biaranya. Perampok mengancam petapa memakai pisau yang tajam dan mengkilat mengancam petapa sambil menghardik.

“Cepat keluarkan semua uang yang ada dilemari ini, kalau tidak engkau akan kubunuh!” hardik perampok.

“Uangnya ada di laci, di lemari tidak ada uang, engkau sendiri yang ambil, tetapi tolong tinggalkan sedikit karena beras saya sudah habis, jika engkau tidak tinggalkan sedikit besok saya akan kelaparan!” kata si petapa.

Perampok itu mengambil semua uang yang ada di laci, ketika hendak meninggalkan tempat itu petapa itu berkata, “Setelah menerima pemberian dari orang lain, seharusnya engkau mengucapkan terima kasih!”

“Terima kasih,” kata perampok itu.

Ketika dia membalikkan badan akan meninggalkan tempat ini hatinya sangat kacau, belum pernah dia mengalami keadaan seperti ini, dia berhenti sekejab, lalu teringat dia tidak boleh membawa pergi semua uang tersebut, lalu dia mengambil segenggam diletakkan di meja dan meninggalkan tempat itu.

Beberapa waktu kemudian, akhirnya perampok ini ditangkap oleh polisi. Setelah diintrogasi, dia mengakui perbuatannya, lalu polisi membawanya ke biara petapa itu.

Polisi bertanya kepada petapa, “Beberapa hari yang lalu perampok ini datang kesini merampok, benarkah?”

“Dia tidak merampok saya, saya yang memberi uang itu kepadanya. Ketika dia meninggalkan tempat itu dia masih sempat mengucapakan terima kasih, demikianlah kejadian yang sebenarnya,” jawab petapa.

Si perampok mendengar perkataan petapa yang sangat toleran ini, hanya bisa menggigit bibirnya, wajahnya basah oleh air mata, tidak dapat mengucapkan sepatah katapun lalu mengikuti polisi meninggalkan tempat itu.

Perampok ini ketika dibebaskan dari penjara, datang ke biara menemui petapa, memohon kepada petapa menerima dia sebagai muridnya. Namun petapa itu tidak mengizinkan, orang ini lalu berlutut diluar biara 3 hari 3 malam, akhirnya petapa menerima dia menjadi muridnya.

Orang yang berbuat kesalahan dapat bertobat dan berubah menjadi baik, sesuatu hal yang patut ditiru
 
Nasib Baik Berasal dari Kebajikan, bukan Keberuntungan

Selama masa dinasti Ming, ada seorang pria bernama Zhang Weiyan dari provinsi Jiangsu. Dia adalah seorang penulis yang terampil dan cukup terkenal. Pada tahun Jiawu, Dia mengikuti ujian di pengadilan tapi gagal. Sambil berdiri ditempat pengumuman dia memaki-maki para hakim yang mengeluarkan hasil ujian itu, merasa para hakim tidak bisa mengenali mereka yang memiliki bakat.

Bersamaan saat itu, ada seorang Pendeta Tao lewat dan mendengarnya. Sambil tersenyum Dia berkata, “ Saya bisa memastikan bahwa tulisan Anda sangatlah buruk,” Mendengar itu, Zhang kemudian melampiaskan kemarahannya pada Pendeta Tao.

“ Mengapa menertawakan tulisanku, Anda belum membacanya bagaimana bisa tahu kalau itu buruk? “ Pendeta Tao Menjawab, “ Kunci untuk menulis adalah hati harus tenang dan terus menjaganya untuk tetap tenang. Sekarang Anda memaki-maki Hakim dan sangat marah, bagaimana bisa menghasikan karya yang baik? “ Zhang sangat terkejut dan menyadari kesalahanya, akhirnya dia meminta bantuan kepada Pendeta Tao itu.

“Tulisan tentu harus baik, tapi jika ditakdirkan untuk gagal, keterampilan sebaik apapun tidak akan membantu Anda, Jalan terbaik adalah mengubah sikap dan perilaku,” jelas Pendeta Tao.

Zhang bertanya, “ Bagaimana cara untuk mengubahnya? ” Pendeta Tao menjawab, “ Jika mengikuti ajaran Sang Pencipta dan melakukan perbuatan baik, apa yang tidak bisa Anda dapatkan? “

Zhang sambil mendesah berkata, “Saya hanya seorang sarjana miskin. Dimana bisa menemukan cukup uang untuk melakukan perbuatan baik? “

Pendeta Tao menjawab, “Jadilah orang yang penuh belas kasih dan mengultivasi sifat baik, Hal yang paling penting adalah hati. Setiap saat menanamkan kebaikan dalam hati. Rendah hati dan selalu siap membantu orang lain dengan hati yang benar-benar tulus. Ikuti ajaran Tuhan, orang tidak perlu uang untuk melakukan perbuatan baik. Mengapa tidak sebaiknya intropeksi diri daripada memaki hakim tersebut.” Zhang Weiyan mengerti, sambil mengucapkan terima kasih lalu dia pergi.

Sejak saat itu Zhang Weiyan sangat baik pada semua orang dan ketat mematut dirinya. Berkultivasi kebaikan dan menjadi orang yang bermoral tinggi. Dia mendirikan sekolah, menghimbau penduduk untuk bersekolah. Mengajar tiap orang tidak melakukan perbuatan menyimpang dan melakukan perbuatan baik tak peduli betapa kecil situasinya. Dia sangat dipuji oleh penduduk.

Tiga tahun berlalu, suatu hari Zhang Weiyan bermimpi memasuki sebuah rumah besar. Ada sebuah buku, di dalam buku tersebut ada daftar nama dan halaman kosong. Dia bertanya pada orang didekatnya mengenai buku tersebut. Orang itu menjawab,” Dalam buku ini ada daftar nama-nama yang diterima pada musim gugur ini. Jika nama muncul dan orang tersebut tidak melakukan kesalahan, namanya akan tetap disimpan. Halaman kosong adalah mereka yang terhapus namanya karena mereka telah melakukan kesalahan. Nama Anda telah tersimpan di buku ini karena tiga tahun terakhir ini Anda baik terhadap semua orang.”

Tahun itu Zhang Weiyan lulus ujian pengadilan. Dia tetap rendah hati, membantu orang yang membutuhkan dan terus mengultivasi hati dengan prinsip-prinsip langit.
 
Menjaga Hati Tetap Lurus

Di sebuah desa ada sebuah kios yang menjual melon, Wang pemilik kios buah itu sangat ahli, setiap melon jika sudah berada ditangannya, dia pasti bisa dengan tepat mengatakan berat dari melon tersebut.

Pada suatu hari seorang bhiksu yang tinggal disekitar daerah itu, datang bersama seorang bhiksu kecil, melon yang dipilih oleh mereka. Tanpa ditimbang Wang mengatakan berat melon tersebut, “yang ini 1.3 kg dan yang ini 1.5 kg” bhiksu kecil tidak percaya kepada Wang, lalu mengambil melon yang dikatakan Wang dan ditimbang, benar saja berat melon tersebut seperti yang dikatakan Wang.

Kemudian, Bhiksu tua mengambil sebuah melon yang besar, dan memberikannya kepada Wang sambil berkata, "jika Wang dapat menebak berat melon ini, dia akan memberikan segepok uang yang dia bawa kepada Wang, uang tersebut cukup untuk membeli 2 kg melon.

Wang dengan gembira menyetujui, lalu dengan hati-hati mengangkat melon itu, setelah ditimang-timang ditangannya dia malah berhenti sebentar, beberapa saat kemudian, semua orang yang mengelilingi kios melonnya, mendesaknya mengatakan berapa berat melon tersebut? Akhirnya Wang menjawab, “1.3 kg”, setelah ditimbang ternyata melon itu 1.5 kg.

Segenggam uang, dapat mengacaukan suasana hati Wang, sehingga membuat dia kehilangan keterampilan dan bakat dasarnya yang biasanya sangat tepat.

Cerita ini juga pernah diceritakan oleh Zhuangzi, 'Seorang penjudi mengambil pot tanah sebagai taruhan, dia bisa bermain dengan sangat trampil, tetapi jika memakai emas sebagai taruhan maka dia akan kehilangan kemahiran dan keterampilannya'.

Kebijaksanaan dari Zhuangzi ini disimpulkan sebagai berikut, jika seseorang lebih mementingkan harta duniawi maka akan semakin mudah kehilangan hati nuraninya.

Hati manusia bagaikan air, namun, hanya ada sedikit desiran angin, akan menimbulkan riak permukaan air yang tenang tersebut. Kehidupan dunia yang warna-warni penuh dengan godaan, seperti mobil mewah, uang, gadis cantik, ketenaran dan kekuasaan, selalu seperti badai yang menerjang ke dalam hati. Jika tidak berhati-hati, akan membuat kita kehilangan hati nurani, sehingga sulit untuk mengembalikan sifat dasar kita yang penuh kemurnian, kedamaian dan kebaikan.

Seribu tahun yang lalu, Zhuge Liang didalam bukunya menulis, seseorang jika dapat hidup dengan tenang dengan kesederhanaan, ketulusan dan kedamaian, maka orang tersebut dapat menahan godaan duniawi yang penuh warna warni dengan demikian dapat menjaga hati nurani ini tetap tenang dan baik.

Hati nurani, adalah modal dasar kita hidup didunia ini, didalam hati ini tersimpan kecerdasan dan bakat kita, juga tersimpan kualitas kita sebagai manusia, hanya menjaga hati nurani kita dengan baik dan lurus. Kita bisa mengenali siapa diri kita sebenarnya, dapat sebesar mungkin mengembangkan potensi kita, sehingga akhirnya dapat memenuhi cita-cita kita menjadi manusia yang baik dan berguna bagi masyarakat ini.
 
Hati Nurani

Ada seorang tua berupaya agar ketiga anaknya memperoleh lebih banyak pengalaman hidup. Suatu saat ia berkata kepada ketiga anaknya itu.

"Kalian pergilah merantau, setelah 3 bulan kalian kembali kerumah, ceritakan pengalaman yang paling berkesan selama kalian merantau, saya akan melihat perbuatan diantara kalian bertiga yang paling bisa dibanggakan,” katanya.

Ketiga anaknya setelah mendengar perkataan bapaknya, mulai melakukan perjalanan.

Tiga bulan berselang, mereka bertiga sudah kembali ke rumah, bapaknya bertanya kepada mereka perbuatan yang paling bangga yang telah mereka lakukan. Satu persatu anak-anaknya mengisahkan pengalaman mereka.

"Saya bertemu dengan seseorang, dia menitipkan sekantong permata berharga kepada saya, dia sendiri tidak tahu berapa jumlah permata didalam kantong itu, jika saya mengambil beberapa butir dia juga tidak akan tahu, ketika orang ini mengambil titipannya, saya menyerahkan seperti semula tanpa saya buka sama sekali,” kisah si anak sulungnya.

Setelah mendengar cerita anak sulungnya itu, bapaknya berkata kepadanya.

"Ini hal yang memang harus engkau lakukan, jika engkau mengambil beberapa butir, coba engkau pikirkan engkau akan berubah menjadi orang apakah?” komentar si Bapak.

Putra sulungnya mendengar komentar bapaknya, menganggapnya benar lalu pergi mengundurkan diri. Anak keduanya ganti menceritakan pengalamannya.

“Suatu hari saya melihat ada seorang anak kecil terjatuh di air, saya lalu menolongnya, keluarganya memberi saya hadiah besar, saya tidak menerimanya,” cerita anak kedua.

Mendengar kisah anak keduanya itu, bapaknya mengatakan kepadanya.

“Inipun memang yang seharusnya engkau lakukan, jika engkau melihat anak kecil itu mati tenggelam, apakah hatimu bisa tenang?" kata Bapaknya.

Setelah anak kedua mendengar komentar bapaknya itu, ia tidak berkata apapun. Lalu anaknya yang paling bungsu mengisahkan juga pengalamannya.

“Pada suatu hari saya melihat seorang yang sakit pingsan dipinggir jurang di jalan pegunungan, jika sedikit membalikkan badan saja sudah akan terjatuh dalam jurang, saya mendekatinya melihat, orang itu rupanya adalah musuh besar saya, dahulu beberapa kali saya berpikir untuk membalas dendam, tetapi tidak punya kesempatan, sekarang kesempatan ini muncul, saya tidak memerlukan tenaga mendorong, dia sudah akan terjatuh ke dalam jurang, tetapi saya mengantarnya pulang ke rumah,” kisah anak bungsu.

Bapaknya tidak menunggu dia habis berbicara, lalu dengan memuji ia mengatakan kepadanya.

“Perbuatan kedua kakakmu melakukan hal yang memang secara hati nurani dilakukan setiap orang, tetapi perbuatanmu dengan budi membalas rasa dendam, itu adalah perbuatan yang sangat terpuji.”

Melakukan perbuatan yang memang harus dilakukan, adalah hal yang wajar yang tidak mengkhianati hati nurani, tetapi melakukan perbuatan yang tidak ingin dilakukan, barulah hal itu membuat hati nurani ini dapat bersinar terang.

Cerita diatas, mengisahkan ketiga bersaudara ini melakukan hal yang tidak menyimpang dari permintaan hati nurani, anak sulung tidak tamak, anak kedua menolong orang yang kesusahan, kedua perbuatan ini adalah hal yang wajib dan memang seharusnya dilakukan oleh semua manusia. Sedangkan anak bungsu yang mempunyai dada yang lapang dan mau memaafkan musuhnya, malahan menolong musuhnya, hati nuraninya menyuruh dia tidak melakukan hal yang jahat, malahan bisa melakukan perbuatan baik yang tidak semua orang bisa lakukan, terlihat dari sini dia melupakan seorang yang bisa menjadi panutan bagi orang lain.
 
Kisah Budak Harta Kikir

Pada saat Dinasti Han ada seorang kakek tua, dia membuka sebuah perusahan yang menguntungkan. Ssetelah beberapa tahun berlalu, kakek tua ini menjadi seorang yang sangat kaya.

Tetapi dia tidak mempunyai anak dan keluarga, dia hanya tinggal sendirian di sebuah rumah yang besar.

Kakek ini setiap hari bangun sangat subuh, dia sudah mulai membanting tulang bekerja sampai hari menjadi gelap baru berhenti dan beristirahat. Oleh sebab itu setiap hari dia menghasilkan banyak uang, tetapi karena sangat pelit dia memakan makanan yang sangat sederhana, dan memakai pakaian yang sudah sangat jelek.

Dia sangat hemat, jika terpaksa mengeluarkan uang untuk membeli makanan maka hatinya akan sakit selama beberapa hari tidak dapat makan dan tidur dengan nyenyak.

Biasanya jika menjumpai orang yang ingin pinjam uang dia akan mencari berbagai alasan dan sama sekali tidak akan meminjamkan uang kepada orang lain.

Pada suatu hari ada seorang yang sangat miskin, dengan wajah sangat memelas datang ke rumahnya meminta pinjaman sambil berkata, “Ibu saya sudah lama cacat berbaring di tempat tidur, istri saya kesehatannya sangat buruk tidak bisa bekerja keras, hasil panen saya tahun ini sangat buruk, sehingga tidak cukup membiayai keluarga saya. Kemarin anak saya sakit keras, saya benar-benar sial. Sudah tidak ada uang untuk mengobatinya, mohon belas kasihan tuan untuk meminjamkan kepada saya sedikit uang.”

Kakek tua ini sama sekali tidak bergeming, dengan tidak berbelas kasihan berkata, “Apa gunanya engkau memohon kepada saya? Saya sama sekali tidak mempunyai uang!”

Bapak yang mau meminjam uang ini tidak putus asa, mengikuti kakek tua ini terus sambil terus memohon, “Tolonglah tuan berbuat baik hati, tuan mempunyai banyak uang, tidak mungkin tuan tega melihat anak saya sakit keras dan meninggal, tolonglah pinjamkan saya sedikit uang, saya pastilah akan membalas budi tuan.”

Bapak yang mau meminjam uang ini memohon dengan memelas terus menerus, sehingga kakek tua ini akhirnya tidak tahan oleh sifatnya, lalu masuk kedalam kamarnya dengan perlahan-lahan mengambil 10 Yuan, dan keluar dari kamarnya berjalan sangat perlahan.

Berjalan beberapa langkah dia mengambil 1 Yuan dimasukkan kembali ke kantong sakunya, berjalanan beberapa langkah memasukkan 1 Yuan ke dalam sakunya, akhirnya sampai di ruang tamu uang yang tersisa ditangannya hanya 5 Yuan, dengan enggan dia menyerahkan uang itu.

Hatinya sangat sakit sampai memejamkan kedua matanya, tidak tega melihat uangnya dipinjamkan, sambil terus berpesan, “Saya sudah meminjamkan seluruh harta saya kepada kamu, ingat jangan memberitahukan kepada orang lain, jika tidak mereka semua akan datang meminjam uang kepada saya.”

Bapak yang meminjam uang ini dengan sedih menerima uangnya sambil berkata, “Uang 5 Yuan ini mana cukup untuk mengobati anak saya, tuan sungguh kejam!” Kakek tua ini juga menangis tetapi dia menangis karena sakit meminjamkan uangnya.

Tidak berapa lama kemudian kakek tua ini meninggal, karena dia tidak ada pewaris, semua harta dan rumahnya diambil alih oleh pemerintah, semua harta bendanya menjadi milik Negara.

Uang dan harta ketika lahir tidak dibawa, mati juga tidak bisa dibawa, semua ini disediakan untuk dipergunakan, tetapi kakek tua ini hanya mengumpulkan harta, hemat makan dan pakaian akhirnya hanya menjadi budak harta.
 
Petani dan Cangkulnya

Ada seorang petani dengan cangkulnya membajak sawah setiap hari. Selama bertahun-tahun waktunya dihabiskan dengan mencangkul tanah. Dia melakukan pekerjaannya dengan rajin sehingga memperoleh hasil cukup bagus.

Pada suatu hari ada seorang kultivator datang ke rumahnya meminta derma. Kultivator ini kelihatan hidup dengan bebas dan bahagia, maka didalam hati petani ini timbul niat untuk berkultivasi.

Setelah pulang kerumahnya, dia bertekad akan melepaskan segalanya, seperti kultivator ini hidup bebas bahagia. Setelah keluar dari rumahnya, dia merasa kedua tangannya kosong sangat tidak terbiasa.

Setiap hari dia senantiasa membawa cangkulnya keluar bersamanya, sekarang melepaskannya seperti merasa ada sesuatu yang hilang. Akhirnya dia masuk kembali ke dalam rumahnya, mengangkat cangkulnya melihat dari atas sampai kebawah, dari bawah sampai ke atas, cangkul ini dipergunakan setiap hari oleh sebab itu kelihatannya sangat mengkilat. Untuk meninggalkannya sungguh tidak terbiasa, setelah berdiri dia kembali terduduk, dan mengelus-elus cangkulnya itu.

Lalu dia membersihkan cangkul itu sampai bersih mengkilat, membungkusnya dengan kain yang berlapis-lapis, meletakkan disuatu tempat yang istimewa. Pada saat ini dia merasa hatinya agak tenang, dia lalu keluar dari rumahnya, masuk ke biara menjadi bhiksu.

Petani ini setelah menjadi kultivator hatinya sangat teguh berkultivasi, tetapi setiap dia melihat hamparan padang rumput yang hijau, hatinya selalu teringat kepada cangkulnya. Dia selalu tanpa bisa menahan hatinya lari pulang kerumahnya membuka bungkusan kain, mengelus-elus cangkulnya, kemudian dibungkus kembali kemudian pulang kembali ke biara.

Setelah berkultivator selama 7-8 tahun, dia lalu berpikir, “Kenapa begitu lama saya berkultivasi sudah beberapa tahun, tetapi masih belum mendapat apa-apa?

Setelah dipikirkan dia menyadari bahwa adalah sesuatu keterikatan yang sangat besar yang belum bisa dia lepaskan! Dia bertekad akan melepaskan keterikatan ini, lalu dia pulang kerumahnya, mengambil cangkulnya membawanya ke sebuah danau yang sangat besar, dia mengelilingi danau ini beberapa kali, lalu dengan sekuat tenaganya membuang cangkul itu ke dalam danau. Beban dihatinya bagaikan batu yang besar juga terasa lepas begitu saja.

“Saya sudah berhasil!, saya telah menang!” Dia berteriak dengan gembira.

Pada saat itu kebetulan ada seorang raja dengan para panglima dan prajurit yang menang perang melewati danau. Dari jauh raja sudah mendengar petani yang berteriak dengan gembira itu. Raja yang berada diatas pelana kudanya, lalu mendekatinya dan bertanya kepadanya.

“Engkau memenangkan apa, kenapa demikian gembira?” tanya Raja.

“Saya bisa memenangkan iblis didalam hati saya, saya telah melepaskan semua keterikatan di dalam hati saya,” jawab petani kultivator itu.

Raja melihat dia demikian gembira, benar-benar kegembiraan yang terlepas dari dasar hatinya, bebas bahagia, lalu dia memikirkan keadaan dirinya sendiri, saya mempunyai kekuasaan yang demikian besar, membawa pasukan yang sangat besar, memenangkan peperangan, tapi apakah saya merasa senang, apakah hati saya merasa tenang?

Dia berpikir dia tidak seberuntung kultivator ini, oleh sebab ini raja sangat salut kepada kultivator ini, dia beranggapan dapat mengalahkan iblis didalam hati diri sendiri, ini barulah bisa menjadi orang suci sejati, sedangkan mengalahkan musuh hanyalah duniawi.
 
petani dan cangkulnya

ada seorang petani dengan cangkulnya membajak sawah setiap hari. Selama bertahun-tahun waktunya dihabiskan dengan mencangkul tanah. Dia melakukan pekerjaannya dengan rajin sehingga memperoleh hasil cukup bagus.

Pada suatu hari ada seorang kultivator datang ke rumahnya meminta derma. Kultivator ini kelihatan hidup dengan bebas dan bahagia, maka didalam hati petani ini timbul niat untuk berkultivasi.

Setelah pulang kerumahnya, dia bertekad akan melepaskan segalanya, seperti kultivator ini hidup bebas bahagia. Setelah keluar dari rumahnya, dia merasa kedua tangannya kosong sangat tidak terbiasa.

Setiap hari dia senantiasa membawa cangkulnya keluar bersamanya, sekarang melepaskannya seperti merasa ada sesuatu yang hilang. Akhirnya dia masuk kembali ke dalam rumahnya, mengangkat cangkulnya melihat dari atas sampai kebawah, dari bawah sampai ke atas, cangkul ini dipergunakan setiap hari oleh sebab itu kelihatannya sangat mengkilat. Untuk meninggalkannya sungguh tidak terbiasa, setelah berdiri dia kembali terduduk, dan mengelus-elus cangkulnya itu.

Lalu dia membersihkan cangkul itu sampai bersih mengkilat, membungkusnya dengan kain yang berlapis-lapis, meletakkan disuatu tempat yang istimewa. Pada saat ini dia merasa hatinya agak tenang, dia lalu keluar dari rumahnya, masuk ke biara menjadi bhiksu.

Petani ini setelah menjadi kultivator hatinya sangat teguh berkultivasi, tetapi setiap dia melihat hamparan padang rumput yang hijau, hatinya selalu teringat kepada cangkulnya. Dia selalu tanpa bisa menahan hatinya lari pulang kerumahnya membuka bungkusan kain, mengelus-elus cangkulnya, kemudian dibungkus kembali kemudian pulang kembali ke biara.

Setelah berkultivator selama 7-8 tahun, dia lalu berpikir, “kenapa begitu lama saya berkultivasi sudah beberapa tahun, tetapi masih belum mendapat apa-apa?

Setelah dipikirkan dia menyadari bahwa adalah sesuatu keterikatan yang sangat besar yang belum bisa dia lepaskan! Dia bertekad akan melepaskan keterikatan ini, lalu dia pulang kerumahnya, mengambil cangkulnya membawanya ke sebuah danau yang sangat besar, dia mengelilingi danau ini beberapa kali, lalu dengan sekuat tenaganya membuang cangkul itu ke dalam danau. Beban dihatinya bagaikan batu yang besar juga terasa lepas begitu saja.

“saya sudah berhasil!, saya telah menang!” dia berteriak dengan gembira.

Pada saat itu kebetulan ada seorang raja dengan para panglima dan prajurit yang menang perang melewati danau. Dari jauh raja sudah mendengar petani yang berteriak dengan gembira itu. Raja yang berada diatas pelana kudanya, lalu mendekatinya dan bertanya kepadanya.

“engkau memenangkan apa, kenapa demikian gembira?” tanya raja.

“saya bisa memenangkan iblis didalam hati saya, saya telah melepaskan semua keterikatan di dalam hati saya,” jawab petani kultivator itu.

Raja melihat dia demikian gembira, benar-benar kegembiraan yang terlepas dari dasar hatinya, bebas bahagia, lalu dia memikirkan keadaan dirinya sendiri, saya mempunyai kekuasaan yang demikian besar, membawa pasukan yang sangat besar, memenangkan peperangan, tapi apakah saya merasa senang, apakah hati saya merasa tenang?

Dia berpikir dia tidak seberuntung kultivator ini, oleh sebab ini raja sangat salut kepada kultivator ini, dia beranggapan dapat mengalahkan iblis didalam hati diri sendiri, ini barulah bisa menjadi orang suci sejati, sedangkan mengalahkan musuh hanyalah duniawi.

mengalahkan iblis di hati dalah dengan memunculkan sifat nurani dalam diri . Sifat nurani itu ada 5 unsur , yakni : Ada kasih , ada keadilan , ada kepantasan , ada bijaksana , dan ada jujur.

Apa itu pencerahan seketika ?

Pencerahan seketika , ketika seseorang itu terbangun dari illusi kepalsuan diri. Di mana oarng tersebut semerta-merta memiliki 5 unsur di dalam diri maka seketika itu pun seseorang itu dikatakan mencapai pencerahan.

Kenapa demikian ?

Karena 5 unsur nurani itu tidak dapat di latih , tidak bisa di kultivasi , tidak bisa di pupuk.

Kwalitas itu adalah berasal dari sang pencipta. Ketika kwalitas itu hadir di dalam diri seseorang , maka berakhirlah kepalsuan dan berakhirlah kebodohan , berakhirlah ketamakan dan berakhirlah kebencian. Maka berakhirlah 3 akar kejahatan.

Ketika kepalsuan berakhir maka pencerahan pun muncul. Pencerahan bukankah melihat ini dan itu , mengetahui itu dan ini.....itu semua bukan pencerahan , itu hasil efek tambahan dari meditasi.

Tanpa 5 unsur kwalitas nurani maka semua itu adalah palsu.


 
betul juga daaaa.........
Iblis adalah tahapan akhir dari ujian jadi Buddha..........
hahahahahahaha
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.