Melihat kenyataan ini, Seorang tokoh Hindu etnis Bali, Made Titib menyatakan perlu pelurusan istilah bahwa para pandita kita telah mengucapkan mantra-mantra Veda, yang sesungguhnya diucapkan adalah mantra Stuti Stava para pandita. Sebab, sampai saat ini belum ada bukti ditemukan satu teks pun yang mengenai Veda, dalam arti sesungguhnya yang berbahasa Sanskrit murni. Bahasa Sanskrit memiliki chanda, guru lagu tersendiri, pemenggalan kata yang belum sepenuhnya dimiliki oleh para pandita di Bali.
Di Bali terdapat sangat banyak lontar. Seorang peneliti Belanda, Van Der Tuuk menggolongkan lontar ke dalam enam klasifikasi, yakni:
1. Kelompok Veda (Mantra/Puja)
2. Kelompok Agama bersikan Etika, Tatasusila, sasana
3. Kelompok Wariga/astrologi, tutur, kandha, usada
4. Kelompok Itihasa, epik, parwa
5. Kelompok Babad/sejarah
6. Kelompok Tantri.
Namun demikian, lontar-lontar ini juga sering dikelompokkan dalam 3 kelompok besar berdasarkan isinya, yaitu lontar yang berisi ajaran tatwa, susila (etika) dan agama (upacara).
Lontar yang bersikian tatwa: bhuwana kosa, bhuwana sang ksepa, wraspati tattwa, siwagama, siwaatattwa, gong besi, purwa bhumi kamulan, tantu pagelaran, tatwa jnana, janan sidhanta, sanghyang Mahajnana dan sebagainya.
Sedangkan Lontar yang berisikan tentang etika atau tata susila adalah siwa sasana, resi sasasana, vrati sasana, putra sesana, slokantara, silakrama, nitisastra.
Lontar yang berisikan upacara agama: Lontar Catur Vedhya, wrahaspati kalpa, devata tattwa, widihi tattwa, sundarigama, yama tatwa, yama purana tattwa, mpu lutuk aben, kramaning madhiksa, yajna samskara, kramaning atiwa-tiwa, indik maligia, pateru saji, dharma kahuripan, eka ratama, janmaprawerti, puja kalapati, puja kalih, ekadasarudra, pancawalikrama, indik caru, puja pali-pali, siwa tattwa purana dan lainnya.
Selain itu juga terdapat beberapa lontar lain lagi yang tidak dapat dimasukkan dalam 3 golongan besar tadi, yaitu antara lain;
1. Lontar Pengayam-Ayam, yang membicarakan masalah sambung ayam, bagaimana memilih ayam aduan, warna ayam dan hari baiknya saat di adu agar menang.
2. Lontar Dharmaweci (Lontar Pengiwa) yang menguraikan masalah ilmu hitam.
3. Lontar Pangeleakan, yang merupakan dasar dari keberadaan leak di Bali.
Bagaimana kedudukan lontar yang menganjurkan himsa karma ini? Apakah masih sejalan dengan ajaran Dharma / Veda? Swami Sivananda pernah mengatakan:
“Tidak ada pertapaan yang paling hebat selain melakukan Ahimsa.” Jadi, keberadaan tiga lontar ini dalam ajaran di Bali perlu kita pertanyakan.
Jika kita analogikan bahwa Veda yang universal dan turunannya termasuk ajaran Hindu yang tertuang dalam lontar-lontar di Bali sebagai sebuah undang-undang. Maka Veda dapat dikatakan sebagai Undang Undang Dasar dan lontar-lontar tersebut adalah turunan dan penjelasan detail yang dimaksudkan untuk mengerti Veda secara benar. Undang-undang dan peraturan-peraturan yang diturunkan dari Undang Undang Dasar tidaklah mungkin bertentangan. Tapi bagaimana jika lontar-lontar yang seharusnya merupakan turunan dari Veda ini malahan bertentangan dengan induknya, Veda?
Sejarah munculnya lontar-lontar dan pemahaman Hindu Bali yang sekarang cukup panjang. Mungkin hal ini juga ada kaitannya dengan usaha Mpu Kuturan dalam menyatukan aliran dan bahkan agama yang berbeda di Bali. Waktu itu di Bali terdapat aliran Sivaisme, Vaisnava, Sakti, Bairava dan juga ajaran Buddha dan bahkan Cina. Hal ini ditunjukkan dalam Lontar Bali Pulina 4a yang bunyinya sebagai berikut:
“Sutrepti punang Bali Pulina tan hana wiyadi tiling manahnya agagitayan, punang para pandita Siwa, Buda lan para Rsi mwang Mpu setata akarya Homa nguncaraken wedannya mwang sehe. Humung kang swaranya genta ngastiti Hyang Widhi mwang para dewa-dewata. Tetabuhan maler meswara sadesa-desa, siyang latri angaci ring Pura-Pura tan papegatan. Kadulurin kidung kakawin.“
Artinya:
“Damailah keadaan Bali, orang-orang yang hatinya terpusat pada isi kidung. Adapun para pandita Siwa, Budha, para Rsi dan Mpu (berarti Sarwa Sadhaka?) senantiasa melaksanakan Agni Hotra (homa) mengucapklan mantra Weda (maksudnya puja-puja stava/stotra?) dan sehe (mantra memakai bahasa hati nurani). Bergemalah suara genta memuja Tuhan Yang Maha Esa dan para dewata, gamelan berbunyi di setiap desa, siang dan malam, berbakti di Pura-Pura tiada putusnya. Upacara ini disertai kidung dan kakawin”
Mungkinkah usaha ini menyebabkan garis perguruan yang menurunkan Veda dari guru ke murid terputus? Ataukan tindakan Mpu Kuturan waktu itu adalah tindakan yang paling tepat untuk mempertahankan Bali agar solid dalam menghadapi gempuran penyerangan Mataram Islam waktu itu?
Terlepas dari itu semua, perlu kita garis bawahi bersama tentang pentingnya mempelajari Veda dari garis-garis perguruan (sampradaya/parampara) dan dari guru yang benar-benar berkualifikasi sebagaimana petunjuk dalam sastra Veda. Veda tidak cukup dipelajari hanya dari buku-buku atau lontar-lontar tertentu, apa lagi kalau lontar tersebut hanya dijadikan barang tetamian yang sakral dan hanya di taruh di tempat suci tanpa pernah di jamah.
Veda juga tidak bisa dimengerti dengan terpisah-pisah. Kita tidak cukup dapat mengerti hanya dengan menghafal rangkuman mantra-mantra Veda yang dianggap penting, tetapi harus dipahami dengan bantuan Vedangga, yaitu;
1. Siksa (tentang fonetik)
2. Vyakarana (gramatikal)
3. Chanda (tentang irama, lagu dan persajakan sloka-sloka veda)
4. Nirukta (merupakan asal usul dan arti kata)
5. Jyotisa (tentang astronomi dan astrologi)
6. Kalpa (tentang cara melaksanakan upacara).
Berkenaan dengan ini, dalam Kitab
Vayu Purana I.20, menyebutkan :
Itihâsa Purânabhyam vedam samupabrmhayet
Bibhetyalpasrutad vedo mamayam praharisyati
Artinya;
“Hendaknya Veda dijelaskan melalui Itihasa dan Purana (Sejarah), Veda merasa takut kalau seseorang yang bodoh membacanya”
Veda juga tidak boleh dipahami terpisah. Kita tidak boleh menganggap bahwa Veda Sruti kedudukannya lebih tinggi dari Veda Smrti, tetapi Veda adalah merupakan satu kesatuan yang utuh.
Manava Dharma Sastra 2.10 menyatakan:
Sruthistu wedo wijneyo dharmasastram tu wai smrtih,
te sarwartheswamimasye thabyam dahrmahi nirbabhau
Artinya;
“Sesungguhnya Sruthi adalah Veda dan Smrti adalah Dharmasastra; keduanya tidak boleh diragukan Karena keduanya adalah sumber hukum suci”.
Mungkin pada waktu itu Catur Veda Sirah dapat menjadikan Bali tetap Hindu, namun sekarang jaman sudah berubah. Apakah dengan mempertahankan ajaran Veda yang kurang lengkap ini akan dapat mempertahankan kehinduan pulau Dewata?
Melihat kenyataan ini, jika anda merasa sebagai putra Bali dan bangga pada Hindu di Bali, maka mari kita benahi tatanan pemahaman Hindu yang benar sebelum Hindu Bali menjadi sejarah karena ditinggalkan oleh putra-putra terbaiknya yang kritis atau yang “paid kaung” dan “paid bangkung” akibat kesalahpahaman terhadap pemahaman ajaran Hindu Bali.
Sumber;
1. Tulisan Made Aripta Wibawa SH, M.Ag pada Raditya edisi 123
2.
http://www.gosai.com/chaitanya/saranagati/html/vedic-upanisads/narayana-upanisad.html
=====================================================
Ini saya ambil dari artikel sdr. Ngarayana,.....