roughtorer
IndoForum Senior A
- No. Urut
- 44416
- Sejak
- 24 Mei 2008
- Pesan
- 6.755
- Nilai reaksi
- 174
- Poin
- 63
Berbagai keyakinan, kepercayaan dan agama yang berkembang dan eksis di dunia ini kebanyakan sudah melewati masa uji ribuan tahun. Dalam hal masalah teologi, agama selalu dikelompokkan menjadi dua, agama wahyu dan agama alamiah. Agama wahyu dapat diartikan sebagai agama yang turun dari Tuhan sedangkan agama alamiah biasanya disematkan bagi agama-agama yang berasal dari asia timur yang tumbuh dan berkembang apa adanya.
Dalam perkembangannya, kemudian muncul lagi pengelompokan pada paham yang theis dan paham yang atheis. Dalam hal ini, banyak pertentangan yang sudha terjadi dari sebuah agama yang tidak saja hanya menyelamatkan jutaan manusia, namun juga mau tidak mau kita harus menerima berapa galon darah segar yang harus tumpah hanya untuk membela agama. Dengan kata lain membela Tuhan.
Untuk itulah, sebuah wacana dilontarkan dengan ide tentang toleransi.
Seperti juga karakteristik manusia yang tidak ada yang sama antara satu dengan yang lain, bahkan pada kembar siam sekalipun, maka demikian juga dengan keyakinan manusia itu sendiri. Kayakinan diyakini sebagai sebuah proses religius manusia untuk berhubungan dengan penciptanya. Atau otoritas yang lebih besar dari padanya.
Toleransi tidak bisa dipaksakan menyatu dengan kebenaran. Adalah sia-sia mencari sebuah kebenaran yang bisa diterima oleh setiap orang. Sama sia-sianya mengharapkan semua manusia menjalankan vegetarian untuk kebaikan mereka sendiri. Sama dengan usaha untuk menghapus kemaksiatan. Karena pada kenyataann justru kemaksiatan ini muncul lebih awal dari agama/kepercayaan.
Biasanya dari sebuah tempat yang sangat kacau, sebuah agama muncul untuk mengkoreksi prilaku manusia. Untuk mengkoreksi prilaku umat manusia, yah.... bukan mengkoreksi sebuah ajaran agama.
Lalu, pada perkembangannya kemudian, kenyataannya di muka bumi ini sudah eksis bermacam-macam agama. Apabila setiap agama dengan atas nama iman mengklaim kebenarannya yang mutalk sendiri, bagaimana dengan agama lain?
Toleransi adalah cerminan dari pelaksanaan penghormatan pada hak-hak asasi manusia. Semua usaha untuk menjembatani konflik yang terjadi antar agama, patut dijadikan sebuah perbandingan yang mulia. Proses-proses sharing, berbagi, menjelaskan, mengerti, memahami dan memaklumkan sebuah ajaran yang berbeda tentu saja lebih menguntungkan, lebih baik dari pada membicarakannya dengan pisau teracung dan menumpahkan darah.
Namun dalam prakteknya, kadang toleransi yang berlebihan justru menimbulkan prasangka yang bukan-bukan. Gejala ke sini sebenarnya jamak adanya. Namun terkadang kita tidak melihatnya, karena kita menuntut terus akan toleransi.
Masalah agama adalah sebuah masalah yang sangat sensitif.
Terlalu semangat menjalankan toleransi, bisa terpleset dengan mencampur adukkan beberapa ajaran agama. Dan karena agama bukan milik satu atau dua orang atau sekelompok orang. Mencampur adukkan dua ajaran agama atau lebih menjadi satu harus dapat dipertanggung jawabkan pada seluruh umat beragama yang agamanya dicomot.
Semoga gejala ini tidak terjadi pada agama Buddha. kalaupun dalam perkembangannya terjadi sinkritisme, biarlah berlangsung secara evolusi, perubahan secara lambat, bukan revolusi. Revolusi pada ajaran agama, ujung-ujungnya justru akan menyengsarakan manusia sendiri.
Perkawinan dua kepercayaan baik itu agama atau filsafat tidak bisa dihindari. Dalam perkembangannya, sebuah agama justru dapat diterima bila melakukan toleransi dengan menyerap unsur-unsur lokal tempat dimana agama itu berkembang. Ini menciptakan karakteristik-karakteristik yang unik, misal; agama Buddha yang ada di Jawa, di Cina, Tibet, Thailand, Birma atau Srilangka.
Demikian juga dengan agama lain.
Sayangnya, proses asimilasi, penyerapan unsur-unsur lokal dalam penyebaran agama ini terkadang diartikan segelintik orang/kelompok dengan seenaknya menyatukan beberapa kepercayaan yang berbeda, dengan dasar universalitas.
Apa yang dimaksud dengan universal. Universal bisa berarti dapat diterima dimana saja. Semua agama besar yang menyebar di seluruh penjuru dunia dapat dikatakan sebagai agama yang universal. Agama Buddha, Kristen, Hindu, Islam dapat kita jadikan misal akan keuniversalan ini. Benar atau salah, baik atau buruk, faktanya ajaran-ajaran agama ini hampir bisa dijumpai di mana saja.
Kemudian juga menjadi sebuah hak asasi manusia untuk meyakini sebuah keyakinan. Namun apakah hak asasi manusia juga merusak sebuah keyakinan dengan mengkawinkannya sesukanya dengan ajaran yang satu dengan ajaran yang lain?
Berdikusi lintas agama adalah sebuah usaha untuk memelihara toleransi. Namun usaha untuk mencampur adukkan dua keyakinan yang berbeda adalah sebuah usaha yang sia-sia dan kemungkinan besar tidak dapat diterima umat-umat agama yang dicampur adukkan.
Maksudku begini. Bila ada satu orang yang mempunyai agama ganda, katakanlah dia Buddha dan juga dalam hal lain dia Kristen. Ini adalag sebuah hak asasi untuk menentukan sendiri keyakinannya.
Bedakan denga ini:
Ada sekelompok orang yang mengatas namakan diri mereka sebagai bagian dari agama Buddha namun pada prakteknya justru mencampur adukkan ajaran agama Buddha (misal) dengan ajaran Islam (misal), Kristen (misal) dan Hindu (misal). Apakah ini juga bentuk dari sebuah toleransi? bentuk dari sebuah pelaksanaan hak asasi manusia?
Hak asasi manusia dilakukan tanpa mengganggu hak asasi manusia yang lain. Hak asasi untuk beragama tidak dilakukan dengan merusak agama orang lain.
Agama Buddha sebagai agama yang cukup tua. Sampai sejauh ini, sampai setua ini tidak mengalami masalah yang berarti kok, dalam bertoleransi. Lalu, mengapa harus dikawinkan/disama-samakan dengan agama lain? Apakah ini langkah yang tepat? atau ini sebuah kesesatan? atau ini sebuah hal yang biasa saja?
Manusia memang suka dibohongi dengan iming-iming persamaan. Manusia pada dasarnya sulit menerima sebuah perbedaan. Maka dari kondisi ini keluar istilah 'semua agama pasa dasarnya sama'. Karena manusia lebih gampang memahami yang sama dari pada memahami yang berbeda.
Saya beda dengan anda, baik secara individu maupun secara keyakinan. Bukan berarti saya harus sama dengan anda baru kita bisa berteman kan? Juga tidak harus agama saya dikawinkan dengan agama anda, baru kita bisa berteman. Juga tak harus kita seiman baru bisa bermaaf-maafan.
Saya percaya kepada Buddha, anda percaya kepada Tuhan. Sejauh kita bisa saling bekerja sama, saling bantu dan saling percaya, mengapa Buddha saya harus diTuhan kan? Mengapa pula Tuhan anda harus diBuddha kan?
Apapun agamanya minumnya Sosro.... akhirnya teh botol yang untung.
Dalam perkembangannya, kemudian muncul lagi pengelompokan pada paham yang theis dan paham yang atheis. Dalam hal ini, banyak pertentangan yang sudha terjadi dari sebuah agama yang tidak saja hanya menyelamatkan jutaan manusia, namun juga mau tidak mau kita harus menerima berapa galon darah segar yang harus tumpah hanya untuk membela agama. Dengan kata lain membela Tuhan.
Untuk itulah, sebuah wacana dilontarkan dengan ide tentang toleransi.
Seperti juga karakteristik manusia yang tidak ada yang sama antara satu dengan yang lain, bahkan pada kembar siam sekalipun, maka demikian juga dengan keyakinan manusia itu sendiri. Kayakinan diyakini sebagai sebuah proses religius manusia untuk berhubungan dengan penciptanya. Atau otoritas yang lebih besar dari padanya.
Toleransi tidak bisa dipaksakan menyatu dengan kebenaran. Adalah sia-sia mencari sebuah kebenaran yang bisa diterima oleh setiap orang. Sama sia-sianya mengharapkan semua manusia menjalankan vegetarian untuk kebaikan mereka sendiri. Sama dengan usaha untuk menghapus kemaksiatan. Karena pada kenyataann justru kemaksiatan ini muncul lebih awal dari agama/kepercayaan.
Biasanya dari sebuah tempat yang sangat kacau, sebuah agama muncul untuk mengkoreksi prilaku manusia. Untuk mengkoreksi prilaku umat manusia, yah.... bukan mengkoreksi sebuah ajaran agama.
Lalu, pada perkembangannya kemudian, kenyataannya di muka bumi ini sudah eksis bermacam-macam agama. Apabila setiap agama dengan atas nama iman mengklaim kebenarannya yang mutalk sendiri, bagaimana dengan agama lain?
Toleransi adalah cerminan dari pelaksanaan penghormatan pada hak-hak asasi manusia. Semua usaha untuk menjembatani konflik yang terjadi antar agama, patut dijadikan sebuah perbandingan yang mulia. Proses-proses sharing, berbagi, menjelaskan, mengerti, memahami dan memaklumkan sebuah ajaran yang berbeda tentu saja lebih menguntungkan, lebih baik dari pada membicarakannya dengan pisau teracung dan menumpahkan darah.
Namun dalam prakteknya, kadang toleransi yang berlebihan justru menimbulkan prasangka yang bukan-bukan. Gejala ke sini sebenarnya jamak adanya. Namun terkadang kita tidak melihatnya, karena kita menuntut terus akan toleransi.
Masalah agama adalah sebuah masalah yang sangat sensitif.
Terlalu semangat menjalankan toleransi, bisa terpleset dengan mencampur adukkan beberapa ajaran agama. Dan karena agama bukan milik satu atau dua orang atau sekelompok orang. Mencampur adukkan dua ajaran agama atau lebih menjadi satu harus dapat dipertanggung jawabkan pada seluruh umat beragama yang agamanya dicomot.
Semoga gejala ini tidak terjadi pada agama Buddha. kalaupun dalam perkembangannya terjadi sinkritisme, biarlah berlangsung secara evolusi, perubahan secara lambat, bukan revolusi. Revolusi pada ajaran agama, ujung-ujungnya justru akan menyengsarakan manusia sendiri.
Perkawinan dua kepercayaan baik itu agama atau filsafat tidak bisa dihindari. Dalam perkembangannya, sebuah agama justru dapat diterima bila melakukan toleransi dengan menyerap unsur-unsur lokal tempat dimana agama itu berkembang. Ini menciptakan karakteristik-karakteristik yang unik, misal; agama Buddha yang ada di Jawa, di Cina, Tibet, Thailand, Birma atau Srilangka.
Demikian juga dengan agama lain.
Sayangnya, proses asimilasi, penyerapan unsur-unsur lokal dalam penyebaran agama ini terkadang diartikan segelintik orang/kelompok dengan seenaknya menyatukan beberapa kepercayaan yang berbeda, dengan dasar universalitas.
Apa yang dimaksud dengan universal. Universal bisa berarti dapat diterima dimana saja. Semua agama besar yang menyebar di seluruh penjuru dunia dapat dikatakan sebagai agama yang universal. Agama Buddha, Kristen, Hindu, Islam dapat kita jadikan misal akan keuniversalan ini. Benar atau salah, baik atau buruk, faktanya ajaran-ajaran agama ini hampir bisa dijumpai di mana saja.
Kemudian juga menjadi sebuah hak asasi manusia untuk meyakini sebuah keyakinan. Namun apakah hak asasi manusia juga merusak sebuah keyakinan dengan mengkawinkannya sesukanya dengan ajaran yang satu dengan ajaran yang lain?
Berdikusi lintas agama adalah sebuah usaha untuk memelihara toleransi. Namun usaha untuk mencampur adukkan dua keyakinan yang berbeda adalah sebuah usaha yang sia-sia dan kemungkinan besar tidak dapat diterima umat-umat agama yang dicampur adukkan.
Maksudku begini. Bila ada satu orang yang mempunyai agama ganda, katakanlah dia Buddha dan juga dalam hal lain dia Kristen. Ini adalag sebuah hak asasi untuk menentukan sendiri keyakinannya.
Bedakan denga ini:
Ada sekelompok orang yang mengatas namakan diri mereka sebagai bagian dari agama Buddha namun pada prakteknya justru mencampur adukkan ajaran agama Buddha (misal) dengan ajaran Islam (misal), Kristen (misal) dan Hindu (misal). Apakah ini juga bentuk dari sebuah toleransi? bentuk dari sebuah pelaksanaan hak asasi manusia?
Hak asasi manusia dilakukan tanpa mengganggu hak asasi manusia yang lain. Hak asasi untuk beragama tidak dilakukan dengan merusak agama orang lain.
Agama Buddha sebagai agama yang cukup tua. Sampai sejauh ini, sampai setua ini tidak mengalami masalah yang berarti kok, dalam bertoleransi. Lalu, mengapa harus dikawinkan/disama-samakan dengan agama lain? Apakah ini langkah yang tepat? atau ini sebuah kesesatan? atau ini sebuah hal yang biasa saja?
Manusia memang suka dibohongi dengan iming-iming persamaan. Manusia pada dasarnya sulit menerima sebuah perbedaan. Maka dari kondisi ini keluar istilah 'semua agama pasa dasarnya sama'. Karena manusia lebih gampang memahami yang sama dari pada memahami yang berbeda.
Saya beda dengan anda, baik secara individu maupun secara keyakinan. Bukan berarti saya harus sama dengan anda baru kita bisa berteman kan? Juga tidak harus agama saya dikawinkan dengan agama anda, baru kita bisa berteman. Juga tak harus kita seiman baru bisa bermaaf-maafan.
Saya percaya kepada Buddha, anda percaya kepada Tuhan. Sejauh kita bisa saling bekerja sama, saling bantu dan saling percaya, mengapa Buddha saya harus diTuhan kan? Mengapa pula Tuhan anda harus diBuddha kan?
Apapun agamanya minumnya Sosro.... akhirnya teh botol yang untung.