penghancur_emperium
IndoForum Junior B
- No. Urut
- 7
- Sejak
- 22 Mar 2006
- Pesan
- 2.477
- Nilai reaksi
- 122
- Poin
- 63
Biaya produksi hanya Rp74 per pesan
Tarif SMS dituding kartel
JAKARTA: Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) dinilai menerapkan praktik kartel dalam menentukan tarif layanan pesan singkat SMS (short message service) sebesar Rp250-Rp300, sehingga merugikan masyarakat.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi menilai praktik kartel itu menyebabkan tarif SMS di Indonesia tidak kunjung turun. Padahal, biaya produksinya hanya Rp74 per SMS.
"Bila operator menerapkan Rp300 per SMS, terjadi peningkatan hingga 400% dari biaya produksi," ujarnya kemarin.
Selama ini, ATSI diduga menerapkan tarif SMS yang cukup tinggi kepada semua operator seluler, sehingga memicu praktik kartel.
Saat ini, ada operator seluler yang mematok tarif SMS Rp100 per pengiriman. "Namun, dengan tarif sebesar itu pun operator sebenarnya masih bisa menangguk keuntungan."
BRTI berencana menyelidiki hal itu, karena terdapat kejanggalan dalam penerapan tarif SMS kepada pelanggan masing-masing. Tarif SMS yang dimaksud regulator tidak termasuk tarif promosi, tetapi yang telah menjadi tarif tetap.
Indonesia Telecommunication User Group (Idtug) mendukung rencana BRTI untuk menyelidiki lebih dalam mengenai adanya kartel tarif di segmen layanan SMS.
Sekjen Idtug Muhammad Jumadi menjelaskan tarif SMS yang diberlakukan para operator sudah tidak wajar lagi. Hal ini mengingat dalam penggunaan layanan tersebut tidak diperlukan komponen tarif lainnya seperti interkoneksi.
"Pola sender keep all dengan memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang sudah ada seharusnya bisa membuat tarif SMS murah. Idealnya sekitar Rp100 per pengiriman."
Namun, Ketua Umum ATSI Johnny Swandi Sjam membantah asosiasi tersebut telah melakukan pengaturan tarif SMS kepada semua operator seluler.
"Tidak benar ATSI menerapkan pengaturan tarif seluler. Dalam setiap pertemuan, kami tidak pernah membicarakan masalah tarif, karena hal itu diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing operator," ujar Johnny yang juga Dirut PT Indosat itu.
Dia menegaskan ATSI telah mengirim surat kepada semua operator telekomunikasi guna meyakinkan bahwa tidak ada praktik kartel tarif dalam organisasi yang mewadahi semua operator seluler di Indonesia itu.
Berdasarkan data dari sejumlah operator seluler, kontribusi layanan pesan singkat terhadap pendapatan perusahaan secara keseluruhan cukup tinggi, yaitu mencapai 30%-40%.
Sementara itu, trafik rata-rata per hari bisa mencapai 100 juta pengiriman SMS, sedangkan pada Lebaran bisa meningkat hingga lima kali lipat.
Di sisi lain, sejumlah operator menerapkan berbagai skema tarif promosi dengan biaya SMS murah. Operator seluler Hutchison, pemilik merek dagang 3, misalnya, menerapkan tarif SMS gratis untuk pengiriman dalam jaringannya dan Rp100 untuk pengiriman ke operator lain.
PT Excelcomindo Pratama (XL) mematok tarif SMS Jempol ke sesama nomor XL Rp45 dan sekitar Rp300 ke pelanggan operator lain.
PT Indosat dan Telkomsel membedakan tarif SMS untuk pelanggan prabayar dan pascabayar sebesar Rp250 dan Rp300. Khusus untuk pelanggan IM3, Indosat mematok tarif Rp40 ke pelanggan Indosat lainnya, yaitu StarOne, Mentari, dan Matrix.
Direktur Niaga PT Telkomsel Tbk Yuen Kuan Moon berpendapat murahnya tarif SMS, apalagi gratis, akan memicu meningkatnya praktik spamming (pengiriman SMS sampah) yang mengganggu pelanggan seluler, seperti Telkomsel.
"Sebagai operator yang memiliki pelanggan terbanyak, Telkomsel tentu paling dirugikan dengan adanya aksi spamming. Hal ini karena bisa saja berisi penipuan atau pemerasan," ujarnya belum lama ini.
Heru menilai aksi spamming itu bukan dipicu tarif SMS murah, tetapi oleh penyedia konten tidak bertanggung jawab. Dengan murahnya tarif SMS, lanjutnya, trafiknya akan meningkat, sehingga secara otomatis industri malah diuntungkan.
Saat ini, Indonesia masih menerapkan aturan sender keep all, sehingga tidak mengenal interkoneksi atau keterhubungan antaroperator. Hal ini membuat tarif akan tetap berlaku, meski telah terjadi pergantian rezim interkoneksi.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia
Tarif SMS dituding kartel
JAKARTA: Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) dinilai menerapkan praktik kartel dalam menentukan tarif layanan pesan singkat SMS (short message service) sebesar Rp250-Rp300, sehingga merugikan masyarakat.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi menilai praktik kartel itu menyebabkan tarif SMS di Indonesia tidak kunjung turun. Padahal, biaya produksinya hanya Rp74 per SMS.
"Bila operator menerapkan Rp300 per SMS, terjadi peningkatan hingga 400% dari biaya produksi," ujarnya kemarin.
Selama ini, ATSI diduga menerapkan tarif SMS yang cukup tinggi kepada semua operator seluler, sehingga memicu praktik kartel.
Saat ini, ada operator seluler yang mematok tarif SMS Rp100 per pengiriman. "Namun, dengan tarif sebesar itu pun operator sebenarnya masih bisa menangguk keuntungan."
BRTI berencana menyelidiki hal itu, karena terdapat kejanggalan dalam penerapan tarif SMS kepada pelanggan masing-masing. Tarif SMS yang dimaksud regulator tidak termasuk tarif promosi, tetapi yang telah menjadi tarif tetap.
Indonesia Telecommunication User Group (Idtug) mendukung rencana BRTI untuk menyelidiki lebih dalam mengenai adanya kartel tarif di segmen layanan SMS.
Sekjen Idtug Muhammad Jumadi menjelaskan tarif SMS yang diberlakukan para operator sudah tidak wajar lagi. Hal ini mengingat dalam penggunaan layanan tersebut tidak diperlukan komponen tarif lainnya seperti interkoneksi.
"Pola sender keep all dengan memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang sudah ada seharusnya bisa membuat tarif SMS murah. Idealnya sekitar Rp100 per pengiriman."
Namun, Ketua Umum ATSI Johnny Swandi Sjam membantah asosiasi tersebut telah melakukan pengaturan tarif SMS kepada semua operator seluler.
"Tidak benar ATSI menerapkan pengaturan tarif seluler. Dalam setiap pertemuan, kami tidak pernah membicarakan masalah tarif, karena hal itu diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing operator," ujar Johnny yang juga Dirut PT Indosat itu.
Dia menegaskan ATSI telah mengirim surat kepada semua operator telekomunikasi guna meyakinkan bahwa tidak ada praktik kartel tarif dalam organisasi yang mewadahi semua operator seluler di Indonesia itu.
Berdasarkan data dari sejumlah operator seluler, kontribusi layanan pesan singkat terhadap pendapatan perusahaan secara keseluruhan cukup tinggi, yaitu mencapai 30%-40%.
Sementara itu, trafik rata-rata per hari bisa mencapai 100 juta pengiriman SMS, sedangkan pada Lebaran bisa meningkat hingga lima kali lipat.
Di sisi lain, sejumlah operator menerapkan berbagai skema tarif promosi dengan biaya SMS murah. Operator seluler Hutchison, pemilik merek dagang 3, misalnya, menerapkan tarif SMS gratis untuk pengiriman dalam jaringannya dan Rp100 untuk pengiriman ke operator lain.
PT Excelcomindo Pratama (XL) mematok tarif SMS Jempol ke sesama nomor XL Rp45 dan sekitar Rp300 ke pelanggan operator lain.
PT Indosat dan Telkomsel membedakan tarif SMS untuk pelanggan prabayar dan pascabayar sebesar Rp250 dan Rp300. Khusus untuk pelanggan IM3, Indosat mematok tarif Rp40 ke pelanggan Indosat lainnya, yaitu StarOne, Mentari, dan Matrix.
Direktur Niaga PT Telkomsel Tbk Yuen Kuan Moon berpendapat murahnya tarif SMS, apalagi gratis, akan memicu meningkatnya praktik spamming (pengiriman SMS sampah) yang mengganggu pelanggan seluler, seperti Telkomsel.
"Sebagai operator yang memiliki pelanggan terbanyak, Telkomsel tentu paling dirugikan dengan adanya aksi spamming. Hal ini karena bisa saja berisi penipuan atau pemerasan," ujarnya belum lama ini.
Heru menilai aksi spamming itu bukan dipicu tarif SMS murah, tetapi oleh penyedia konten tidak bertanggung jawab. Dengan murahnya tarif SMS, lanjutnya, trafiknya akan meningkat, sehingga secara otomatis industri malah diuntungkan.
Saat ini, Indonesia masih menerapkan aturan sender keep all, sehingga tidak mengenal interkoneksi atau keterhubungan antaroperator. Hal ini membuat tarif akan tetap berlaku, meski telah terjadi pergantian rezim interkoneksi.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia