• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

[TANYA]Tentang Konsep Anatta

Nurani86

IndoForum Newbie E
No. Urut
29165
Sejak
27 Des 2007
Pesan
43
Nilai reaksi
0
Poin
6
Saudara2 sekalian, saya ingin bertanya mengenai 'Anatta'. Sesuai yg telah saya pelajari bahwa Anatta artinya tanpa aku/diri yg kekal. Nah, kalau begitu apakah dalam diri manusia ini sudah tidak ada lagi suatu inti/watak/dasar yg kekal? Apakah unsur diri ini hanya terdiri dari gabungan Panca-Skhanda dan tidak ada dasar yg lain lagi? Bila seseorang yg telah mencapai nibbana, maka apakah artinya semua unsur pancaskandha ini telah berhasil diceraikan sehingga semua kembali ke tahap "Kosong" yg artinya tiada sesuatu apapun lagi yg tertinggal?
Mohon bimbingan dan penjelasan dr saudara2 yg lebih memahami ttg anatta ini.
Terima kasih sebelumnya.
 
silahkan baca disini

https://www.forum.or.id/showthread.php?t=29940


Nibbana merupakan sesuatu yang tak dipahami oleh pemikiran biasa. Usaha menjelaskan Nibbana dalam bahasa keduniawian akan mengalami kegagalan, karena Nibbana tidak bersifat duniawi, malah berlawanan. Mengatakan bahwa Nibbana sama dengan ini dan sama dengan itu ibarat menggambarkan kucing sama dengan harimau.

Nibbana bukanlah kemusnahan. Mungkinkah Sang Buddha meninggalkan kerajaan, istri, anak, dan keluarga hanya untuk mencapai sesuatu yang musnah? Nibbana bukan suatu keberadaan. Nibbana berada di luar keberadaan dan ketidak beradaan, di mana kedua aspek itu bersyarat, mutlak, dan tidak dapat digambarkan sebagai keberadaan maupun ketidak beradaan.

Nibbana ya Nibbana. Sabda Sang Buddha dalam Udana:

"Itulah tempatnya dimana tiada tanah maupun air, tiada api maupun udara, bukan dunia ini pun bukan dunia lain, tanpa matahari maupun bulan. Aku nyatakan pada kalian, disana tidak ada yang datang maupun pergi, tak ada yang tetap maupun timbul, tanpa awal tanpa akhir,tanpa perkembangan, tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak diciptakan, dan yang mutlak.

Saat dalam kedalaman dan keheningan pikiran, Yang Suci Bijaksana mencapai kebenaran, Ia terlepas dari kegembiraan dan rasa sakit, dari yang berbentuk dan tidak berbentuk. Di mana air, tanah, dan udara tidak ditemukan. Tiada bintang maupun matahari yang bersinar, bulan tidak lagi memancarkan cahayanya. Namun, kegelapan tidak ada disana."

Setelah Parinibbana, Sang Tathaghata tidak dapat dikatakan ada, juga tidak dapat dikatakan tidak ada. Tidak dapat pula dikatakan ada baik kedua-duanya ada dan tidak ada. Tidak bisa pula dikatakan ada atau tidak ada. Di dalam Milanda Panha disebutkan, "Tidak di tempat yang terlihat di timur, selatan, barat, atau utara, di atas, di bawah, atau di luar di mana Nibbana berada, walau demikian Nibbana adalah milik orang yang mengatur hidupnya dengan benar, berbicara dengan benar, dan memiliki pengertian benar di manapun dia hidup."

Nibbana bukanlah sesuatu yang tercipta dengan sendirinya, juga bukan sesuatu yang diciptakan.

"Di mana tidak terdapat 4 unsur air, tanah, api, dan angin, di situlah Nibbana."

"Di mana ke-4 unsur yang mengikat, membentang, membakar, dan bergerak tidak lagi ditemukan, di situlah Nibbana."

"Oh, para bhikkhu, seperti sungai-sungai yang mencapai samudra dan derasnya hujan yang jatuh dari langit, tak ada kekurangan atau kelebihan yang dapat teramati pada samudra, demikian pula bahwa banyak para bhikkhu yang memasuki Nibbana tak bersisa, tak ada kekurangan atau kelebihan di dalam Nibbana," kata Sang Buddha.

Dinyatakan dalam Visudhi Maggha:

"Kesedihan memang ada, tak ada yang disedihkan, tidak ada pelaku pelaku di sana, tidak ada hasil perbuatan ditemukan, Nibbana ada, tetapi tak ada si 'pencari'. Jalannya ada, tetapi si penempuh tidak sesungguhnya ada"

Nibbana berada di luar jhana , karena di sana api keserakahan, kebencian dan kegelapan batin beserta semua gangguan yang menyertai, hambatan dan penderitaan berakhir. Demikianlah, Nibbana sendiri abadi, bahagia, dan patut didambakan Laksana seorang yang menderita penyakit kulit yang menimbulkan rasa gatal, dan Nibbana seperti kebahagiaan saat penyakitnya telah disembuhkan. Kebahagiaan sementara didapatkan ketika ia menggaruk, tetapi kuku yang segera menginfeksi menjadi sebab yang memperpanjang penyakit penyakit tersebut. Seperti itulah kerinduan akan nafsu membawa kepuasan sementara yang akan memperpanjang lingkaran kelahiran kembali.

Begitulah Nibbana di mana 108 kemelekatan, usia tua, penyakit, kematian, penyesalan, rasa sakit, keputusasaan dan kesedihan, dihentikan sepenuhnya. Demikianlah, saat kondisi tertinggi tercapai, kita akan memahami bagaimana kehidupan bahagia yang kita rindukan itu tak pernah diperoleh. Mimpi kita akan berakhir. Tidak akan ada lagi angan-angan. Prahara berakhir. Perjuangan hidup selesai. Proses alamiah akan berhenti. Maka, sang roda kereta kehidupan akan patah. Keinginan untuk hidup berakhir. Dasar sungai akan mengering. Tiada air lagi yang mengalir.

Tidak akan roda yang patah itu bergulir. Inilah akhir kesedihan. Inilah pelepasan akhir. Yang tersisa hanya NIBBANA.
 
@Netralman
Thx bro atas penjelasan ttg Nibbana.

Berarti kesimpulan ttg anatta dr thread yg saudara berikan yaitu dalam diri ini tidak ada lagi suatu dasar/watak/bodhi yg kekal, karena tubuh ini hanya terdiri dari unsur badan, kesadaran, persepsi, perasaan, & pikiran yg akan terus berubah-ubah. Bukankah begitu?

Saya mengutip beberapa kalimat dari sebuah buku yg berjudul Vipassana Bhavana yg berbunyi :" Siswa yang telah melaksanakan kontemplasi untuk sekian waktu lamanya, maka akan mengerti bahwa tiada apapun yang kekal, setiap wujud dan benda adalah dalam keadaan selalu berubah. Tiap saat benda atau kejadian baru terbit bila diamati setiap kali begitu ia bangkit, lalu kedapatan ia lenyap. Lalu seketika itu terbit lagi yang lain, lalu diperhatikan, dicatat dan diamati, akan kedapatan iapun lenyap. Maka mengertilah ia bahwa proses terbit dan lenyapnya ini, atau datang dan pergi, terus berlangsung dan dapat dilihat dengan jelas sebagai hal atau peristiwa,benda,hidup, tidak ada yang kekal selama-lamanya, ia akan yakin sepenuhnya apapun semuanya tidak ada yang kekal(Tidak ada yang tetap)!"

Sesuai dgn kutipan di atas, kemudian timbul pertanyaan dalam benak saya.
Apakah benar bahwa segala sesuatu itu adalah tiada diri (Anatta)? Jika benar lalu Siapa yang sedang Mengamati?Siapa yang sedang mencatat? Siapakah yang sedang mengarahkan pikiran dan memperhatikan semua kejadian yang bersifat ANATTA itu? Siapakah yang akhirnya mencapai Pembebasan?
Dan selanjutnya apakah benar bahwa segala-galanya adalah tidak kekal, yang akan terus berubah? yang selalu berganti? Jika benar maka tidak akan ada pengamatan. Karena bagaimana mungkin ada Pengamatan dan pencatatan, jika segala-galanya , semua yang ada terus berganti dari yang ini menjadi yang lain, dan terus menjadi yang lain, termasuk Sang Pengamat sendiri yang terus berganti menjadi pengamat yang lain, jika demikian bagaimana mungkin adanya satu keinsyafan terhadap ketidak-kekalan?
 
Anatta

Anatta berasal dari kata ”an” yang merupakan bentuk negatif atau sering diterjemahkan sebagai tidak atau bukan. Dan ”atta” berarti berarti diri sejati atau inti/`roh`. Dalam bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anatman. Jadi kata ”an-atta” berarti bukan diri sejati atau tanpa inti/`roh`.

Sabbe dhamma anatta berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur, dan juga sesuatu yang tidak berkondisi merupakan sesuatu yang tidak memiliki inti/`roh` dan bukan diri yang sejati.

Beberapa orang telah salah memahami mengenai ajaran anatta dengan beranggapan bahwa tidak ada diri, tidak ada yang namanya orang/person (puggala). Anggapan ini keliru. Guru Buddha tidak mengajarkan hal ini. Beliau mengajarkan bahwa ada yang disebut dengan diri atau orang/person (puggala), tetapi diri atau orang/person (puggala) tersebut bukanlah benar-benar inti atau jati diri dari diri atau orang (person) tersebut, melainkan hanyalah merupakan perpaduan unsur-unsur yang membentuk, yang membuatnya ada atau eksis yang suatu saat akan mengalami perubahan. Karena perpaduan unsur-unsur inilah diri seseorang terbentuk. Dan karena segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan dari unsur-unsur pasti mengalami perubahan, maka diri seseorang pun mengalami perubahan, penguraian, yang akhirnya eksistensi dari diri seseorang tidak lagi ada atau eksis. Inilah mengapa dikatakan tidak memiliki inti atau bukan diri sejati.

Mengapa segala fenomena tidak ada inti atau bukan diri sejati?

Di dalam Anattalakkhana Sutta; Samyutta Nikaya 22.59 {S 3.66}, Guru Buddha menjelaskan bahwa Rupa (jasmani), Vendana (perasaan), Sanna (pencerapan), Sankhara (pikiran) dan Vinnana (kesadaran) disebut sebagai Panca Khanda (lima kelompok kehidupan/kegemaran) yang semuanya bukanlah diri sejati. Jika Khanda itu merupakan diri sejati, maka tidak akan mengalami penderitaan, dan semua keinginan seseorang akan kandha-nya akan terpenuhi, ”Biarkan Kandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu.”

Tetapi karena khanda tidak dapat dikendalikan sesuai dengan keinginan atau harapan seseorang, ” Biarkan Kandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu”, dan juga mengalami penderitaan, maka dikatakan bahwa kandha bukanlah diri sejati.

Selain ajaran Anatta yang diajarkan oleh Guru Buddha, di dunia ini terdapat 2 ajaran atau paham lain yang terdapat dalam kepercayaan lain, yaitu:

Attavada, yaitu paham atau ajaran yang menyatakan bahwa terdapat atta atau inti atau diri sejati yang tidak mengalami perubahan, yang ada sepanjang masa atau abadi meskipun melalui tahap kelahiran kembali. Paham ini juga disebut sebagai paham Eternalisme (paham ini tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).
Ucchedavada, yaitu paham atau ajaran yang menyatakan bahwa sama sekali tidak terdapat atta atau diri, dimana ketika mati maka semuanya akan turut lenyap, tidak membentuk apapun lagi, tidak meengalami kelahiran kembali. Paham ini juga disebut sebagai paham Nihilisme (paham ini tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).
Beberapa contoh nyata mengenai ajaran Anatta. Ketika kita melihat sebuah sofa maka kita akan melihatnya sebagai hal yang biasa dan menyebutnya sebagai sofa. Tetapi ketika sofa yang terbuat dari kayu, busa, kain, lem, tenaga manusia, dan sebagainya itu kita uraikan, kita pisah-pisahkan, kita bongkar, maka yang kita lihat sekarang hanyalah beberapa potong kayu bekas, kain, busa dan sebagainya yang tidak mungkin sama dengan bahan awal pembuat sofa. Kita hanya menyebutnya sebagai sisa sofa, kain bekas sofa, kayu bekas sofa, dan sebagainya. Kita tidak akan melihat lagi sofa tadi.

Contoh lain tentang ajaran Anatta, ketika kita membuat roti. Roti dibuat dengan memakai tepung, ragi, gula, garam, mentega, susu, air, api, tenaga kerja dan lain-lain Tetapi setelah menjadi roti tidak mungkin kita akan menunjuk satu bagian tertentu dan mengatakan: ini adalah tepungnya, ini garamnya, ini menteganya, ini airnya, ini apinya, ini tenaga kerjanya dst. Karena setelah bahan-bahan itu diaduk menjadi satu dan dibakar di oven, maka bahan-bahan itu telah berubah sama sekali. Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan yang tersebut di atas, namun setelah melalui proses pembuatan dan pembakaran di oven telah menjadi sesuatu yang baru sama sekali dan tidak mungkin lagi untuk mengembalikannya dalam bentuknya yang semula.

Pemahaman akan ajaran anatta dapat juga dianalisa dan direnungkan dalam ajaran mengenai Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada).
 
Sesuai dgn kutipan di atas, kemudian timbul pertanyaan dalam benak saya.
Apakah benar bahwa segala sesuatu itu adalah tiada diri (Anatta)? Jika benar lalu Siapa yang sedang Mengamati?Siapa yang sedang mencatat? Siapakah yang sedang mengarahkan pikiran dan memperhatikan semua kejadian yang bersifat ANATTA itu? Siapakah yang akhirnya mencapai Pembebasan?
Dan selanjutnya apakah benar bahwa segala-galanya adalah tidak kekal, yang akan terus berubah? yang selalu berganti? Jika benar maka tidak akan ada pengamatan. Karena bagaimana mungkin ada Pengamatan dan pencatatan, jika segala-galanya , semua yang ada terus berganti dari yang ini menjadi yang lain, dan terus menjadi yang lain, termasuk Sang Pengamat sendiri yang terus berganti menjadi pengamat yang lain, jika demikian bagaimana mungkin adanya satu keinsyafan terhadap ketidak-kekalan?
pikiran sebagai pikiran ^.^
pencerapan sebagai pencerapan

awal-awal belajar tentu kita akan disebut melekat...

seperti balon udara kalau sudah di isi penuh (butuh kemelekatan alias belajar)
jika kita sadar (penuh) maka isi nya di kosongkan kembali (nibbana)

tidak mungkin tanpa sebab langsung kosong....nibbana hanya bisa di capai oleh orang yang telah melekat(sebab) dan lepas(nibbana)
jika telah lepas dari awal...(tidak ada kelahiran) apakah masih bisa di sebut telah mencapai nibbana?
 
@Netralman
Thx bro atas penjelasan ttg Nibbana.

Berarti kesimpulan ttg anatta dr thread yg saudara berikan yaitu dalam diri ini tidak ada lagi suatu dasar/watak/bodhi yg kekal, karena tubuh ini hanya terdiri dari unsur badan, kesadaran, persepsi, perasaan, & pikiran yg akan terus berubah-ubah. Bukankah begitu?

Saya mengutip beberapa kalimat dari sebuah buku yg berjudul Vipassana Bhavana yg berbunyi :" Siswa yang telah melaksanakan kontemplasi untuk sekian waktu lamanya, maka akan mengerti bahwa tiada apapun yang kekal, setiap wujud dan benda adalah dalam keadaan selalu berubah. Tiap saat benda atau kejadian baru terbit bila diamati setiap kali begitu ia bangkit, lalu kedapatan ia lenyap. Lalu seketika itu terbit lagi yang lain, lalu diperhatikan, dicatat dan diamati, akan kedapatan iapun lenyap. Maka mengertilah ia bahwa proses terbit dan lenyapnya ini, atau datang dan pergi, terus berlangsung dan dapat dilihat dengan jelas sebagai hal atau peristiwa,benda,hidup, tidak ada yang kekal selama-lamanya, ia akan yakin sepenuhnya apapun semuanya tidak ada yang kekal(Tidak ada yang tetap)!"

Sesuai dgn kutipan di atas, kemudian timbul pertanyaan dalam benak saya.
Apakah benar bahwa segala sesuatu itu adalah tiada diri (Anatta)? Jika benar lalu Siapa yang sedang Mengamati?Siapa yang sedang mencatat? Siapakah yang sedang mengarahkan pikiran dan memperhatikan semua kejadian yang bersifat ANATTA itu? Siapakah yang akhirnya mencapai Pembebasan?
Dan selanjutnya apakah benar bahwa segala-galanya adalah tidak kekal, yang akan terus berubah? yang selalu berganti? Jika benar maka tidak akan ada pengamatan. Karena bagaimana mungkin ada Pengamatan dan pencatatan, jika segala-galanya , semua yang ada terus berganti dari yang ini menjadi yang lain, dan terus menjadi yang lain, termasuk Sang Pengamat sendiri yang terus berganti menjadi pengamat yang lain, jika demikian bagaimana mungkin adanya satu keinsyafan terhadap ketidak-kekalan?

Jawaban Buddha atas pertanyaan Uruvela Kassapa tentang ATTA !!

--------------------------------------------------------------------------------

Suatu siang, kala Buddha dan Kassapa sedang berdiri di tepi sungai Neranjara, Kassapa berkata, "Gotama, di hari sebelumnya engkau menyebutkan tentang memeditasikan tubuh, perasaan-perasaan, persepsi persepsi, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran. Aku telah melatih meditasi itu, dan mulai dapat memahami betapa berbagai perasaan dan persepsi seseorang menentukan kualitas kehidupannya. Aku juga melihat tidak adanya elemen kekal abadi yang dapat diketemukan di dalam salah satu dari kelima sungai itu. Aku bahkan dapat melihat bahwa keyakinan akan suatu diri yang terpisah keliru adanya. Namun, aku masih belum mengerti mengapa seseorang menelusuri jalur spiritual jika tanpa adanya diri ? Siapakah yang akan menjadi terbebaskan ?

Buddha bertanya, "Kassapa, apakah engkau setuju penderitaan merupakan suatu kebenaran ?"

"Ya Gotama, aku setuju penderitaan merupakan suatu kebenaran".

"Apakah engkau setuju penderitaan pasti ada sebab-sebabnya ?"

"Ya, aku setuju penderitaan pasti ada sebab-sebabnya ?"

"Kassapa, ketika sebab sebab penderitaan hadir, maka penderitaan juga hadir. Ketika sebab sebab penderitaan dihilangkan, maka penderitaan pun hilang."

"Ya, aku melihat ketika sebab sebab penderitaan dihilangkan, penderitaan itu sendiri akan hilang."

"Penyebab penderitaan adalah kebodohan bathin, suatu cara yang keliru untuk melihat realita. Berpikir bahwa yang tidak kekal sebagai kekal merupakan kebodohan bathin. Berpikir ada diri sementara tak ada yang disebut diri merupakan kebodohan bathin. Dari kebodohan bathin lahirlah keserakahan, ketakutan, iri hati, dan penderitaan yang tak terhitung jumlahnya. Jalan menuju pembebasan adalah jalan untuk melihat segala sesuatu secara mendalam agar benar benar mampu memahami sifat dasar ketidak kekalan (Anicca), tiada diri yang terpisah (An-atta), akan saling ketergantungan dari segala sesuatu (Pattica Samupada). Jalan ini adalah jalan untuk mengatasi kebodohan bathin. Setelah kebodohan bathin di atasi, penderitaan pun terlampaui. Itulah pembebasan sejati. Tak perlu ada suatu diri di sana untuk dibebaskan."
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.