• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Renungan

arcala

IndoForum Beginner A
No. Urut
89881
Sejak
20 Jan 2010
Pesan
1.120
Nilai reaksi
71
Poin
48
Hakikat Kemanusiaan Kita

Pada hakikatnya, Allah menciptakan manusia dalam keadaan suci. Takdir kesucian tersebut bersumber dari dorongan untuk selalu menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Dorongan tersebut tertanam kuat di alam bawah sadar, hingga ia terkadang tidak disadari sepenuhnya oleh manusia.

Allah SWT berfirman,


"Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab, 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi!' (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, 'Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)'". [QS. al-A'raf (7): 172].​


Setiap manusia memiliki kerinduan untuk kembali kepada Tuhan, memenuhi janjinya dalam ayat persaksian tersebut. Inilah dorongan yang mendasari lahirnya agama, yang oleh Ibnu Maskawayh disebut al-Hikmah al-Khalidah atau 'Kearifan Abadi'. Dengan demikian, penolakan terhadap dorongan itu merupakan sikap melawan hakikat penciptaan manusia itu sendiri.

Dorongan mencari hakikat llahi ini tidak dapat dibendung. Dan, jika tidak disalurkan secara baik, ia akan melahirkan amalan yang merugikan manusia itu sendiri. Kemunculan sekte-sekte keagamaan yang menyimpang dari ajaran Islam akhir-akhir ini merupakan bukti nyata dari kesalahan memilih saluran itu.

Allah memerintahkan manusia untuk selalu meniti hidup di saluran yang sesuai dengan fitrah penciptaannya, agar lahir tata kehidupan yang beradab. Sebab, inilah inti dari ajaran agama yang benar (hanif), sesuai dengan firman Allah berikut,

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". [QS. Ar-Rum (30): 30].​


Sejarah kehidupan manusia telah membuktikan bahwa setiap tindakan yang menyeleweng dari dorongan asasi tersebut, hanya akan melahirkan kebangkrutan dan malapetaka. Nurcholish Madjid memberi contoh melalui cerita Firaun dalam Al-Quran dan ideologi komunisme di abad ke-20, yang hendak melarang manusia untuk menyembah kepada-Nya.

Yang pertama, telah melahirkan mentalitas thaghut yang dapat menjerumuskan manusia untuk memuja selain kepada-Nya (syirik), sementara yang kedua dapat melahirkan mentalitas ateistis (menolak eksistensi Allah). Keduanya sama-sama terbukti gagal dan telah menciptakan kerugian yang besar bagi umat manusia.
 
Hikmah di Balik Air Mata

Dua ilmuwan pernah melakukan penelitian disertasi tentang air mata. Kedua peneliti tersebut berasal dari Jerman dan Amerika Serikat. Hasil penelitian itu menyimpulkan bahwa air mata yang keluar karena terpercik bawang atau cabe berbeda dengan air mata yang mengalir karena kecewa dan sedih.

Air mata yang keluar karena terpercik bawang atau cabe ternyata tidak mengandung zat yang berbahaya. Sedangkan, air mata yang mengalir karena rasa kecewa atau sedih disimpulkan mengandung toksin atau racun.

Kedua peneliti itu pun merekomendasikan agar orang-orang yang mengalami rasa kecewa dan sedih lebih baik menumpahkan air matanya. Sebab, jika air mata kesedihan atau kekecewaan itu tidak dikeluarkan, akan berdampak buruk bagi kesehatan lambung.

Menangis itu indah, sehat, dan simbol kejujuran. Pada saat yang tepat, menangislah sepuas-puasnya dan nikmatilah karena tidak selamanya orang bisa menangis. Orang-orang yang suka menangis sering kali di labeli sebagai orang cengeng. Cengeng terhadap Sang Khalik adalah positif dan cengeng terhadap makhluk adalah negatif.

Orang-orang yang gampang berderai air matanya ketika terharu mengingat dan merindukan Tuhannya, air mata itu akan melicinkannya menembus surga. Air mata yang tumpah karena menangisi dosa masa lalu akan memadamkan api neraka.

Hal ini sesuai dengan hadis Nabi, "Ada mata yang diharamkan masuk neraka, yaitu mata yang tidak tidur semalaman dalam perjuangan fisabilillah dan mata yang menangis karena takut kepada Allah".

Seorang sufi pernah mengatakan, jika seseorang tidak pernah menangis, dikhawatirkan hatinya gersang. Salah satu kebiasaan para sufi ialah menangis. Beberapa sufi, mata dan mukanya menjadi cacat karena air mata yang selalu berderai.

Tuhan memuji orang menangis. "Dan, mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk". (QS Al-Isra’ [17]: 109). Nabi Muhammad SAW juga pernah berpesan, "Jika kalian hendak selamat, jagalah lidahmu dan tangisilah dosa-dosamu".

Ciri-ciri orang yang beruntung ialah ketika mereka hadir di bumi langsung menangis, sementara orang-orang di sekitarnya tertawa dengan penuh kegembiraan. Jika meninggal dunia ia tersenyum, sementara orang-orang di sekitarnya menangis karena sedih ditinggalkan.

Tampaknya, kita perlu membayangkan ketika nanti meninggal dunia, apakah akan lebih banyak orang mengiringi kepergian kita dengan tangis kesedihan atau dengan tawa kegembiraan.

Jika air mata kerinduan terhadap Tuhan tidak pernah lagi terurai, apalagi jika air mata selalu kering di atas tumpukan dosa dan maksiat, kita perlu segera melakukan introspeksi. Apakah mata kita sudah mulai bersahabat dengan surga atau neraka.

Sumber: Kolom Hikmah Republika, 27 Oktober 2010
 
Mensyukuri Nikmat

Seorang sahabat bernama Atha, suatu hari menemui Aisyah RA. Lalu ia bertanya, “Beritahukanlah kepadaku sesuatu yang menakjubkan dari Rasulullah SAW?” Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba Aisyah menangis.

Lalu Aisyah berkata, “Bagaimana tak menakjubkan, pada suatu malam beliau mendatangiku, lalu pergi bersamaku ke tempat tidur dan berselimut hingga kulitku menempel dengan kulitnya”.

Kemudian Rasulullah berkata, “Wahai putri Abu Bakar, biarkanlah aku beribadah kepada Tuhanmu”. Aisyah menjawab, “Saya senang berdekatan dengan Anda. Akan tetapi, saya tidak akan menghalangi keinginan Anda”. Rasulullah lalu mengambil tempat air dan berwudhu, tanpa menuangkan banyak air.

Nabi SAW pun shalat, lalu menangis hingga air matanya bercucuran membasahi dadanya. “Beliau ruku, lalu menangis. Beliau sujud lalu menangis. Beliau berdiri lagi lalu menangis. Begitu seterusnya hingga sahabat bernama Bilal datang dan aku mempersilakannya masuk”. papar Aisyah.

Ya Rasullulah, apa yang membuat Anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang lalu maupun yang akan datang”, tanya Aisyah. “Tak bolehkah aku menghendaki agar menjadi seorang hamba yang bersyukur?” ungkap Nabi SAW.

Kisah yang tercantum dalam kitab Mukasyafah al-Qulub: al-Muqarrib ila Hadhrah allam al-Ghuyub Fi’ilm at-Ashawwuf karya Imam Ghazali itu mengandung pesan bahwa umat manusia harus selalu mensyukuri setiap nikmat yang dianugerahkan Allah SWT.

Pentingnya bersyukur telah dijelaskan dalam surah Ibrahim ayat 17. Allah SWT berfirman,


…. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.​


Sepertinya, kita perlu belajar dari sejarah Kaum Saba’. Dikisahkan, Kaum Saba’ begitu maju peradabannya. Mereka menguasai teknologi yang tertinggi pada zamannya, yakni telah berhasil membangun bendungan Ma’rib. Menurut penulis Yunani, Ma’rib merupakan salah satu kota termaju saat itu (sekarang Yaman) dan memiliki lahan yang subur.

Bendungan Ma’rib mampu mengairi sekitar 9.600 hektare lahan subur. Negeri itu pun kaya-raya. Namun, karena mereka tak bersyukur atas nikmat yang begitu melimpah, maka Allah menurunkan banjir besar yang menghancurkan semua kekayaan yang dimiliki penduduk negeri Saba’. Dalam suatu tafsir dijelaskan, mereka diberi azab karena tak taat kepada seruan nabi utusan Allah.

Akhir-akhir ini, bangsa kita didera bencana yang beruntun, mulai dari bencana alam hingga kecelakaan yang merenggut begitu banyak korban jiwa. Sepanjang tahun, bencana dan kecelakaan datang silih berganti.

Boleh jadi, semua itu merupakan ujian dari Allah untuk menguji keimanan kita. Bisa pula, bencana itu merupakan peringatan atau bahkan siksaan (azab) dari Allah karena kita tak bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya. Semoga kita senantiasa selalu menjadi insan yang pandai bersyukur.

Sumber: Kolom Hikmah Republika, 21 Oktober 2010
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.