Kala memakan makhluk hidup beserta dirinya sendiri. Siang malam bergeser, usia pun kian lama kian bersisa sedikit. Usia habis berlalu mengikuti siang dan malam. Usia senantiasa berkurang terus setiap kejapan mata.
Ibarat benang pintalan, sepanjang mana yang telah dipintal, bagian yang akan dipintal niscaya menjadi sedikit; demikian pula usia makhluk hidup menyusut dan berkurang.
Sebagaimana air sungai yang tidak balik mengalir ke hulu, demikian pula usia umat manusia tidaklah balik menuju usia muda.
Seiring dengan berlalunya waktu, kehidupan seseorang pun berkurang dari manfaat yang akan dilakukan.
Bagaikan gembala menghalau dengan tongkat kumpulan sapi menuju padang rumput, demikian pula usia tua dan kematian menggiring
kehidupan setiap makhluk.
Lihatlah tubuh yang dikatakan indah ini, yang penuh luka,
terbentuk dari rangkaian tulang, berpenyakitan, penuh pemikiran, yang
tak dapat dicari keabadian dan kekekalannya.
Tubuh ini jika sudah menua akan menjadi sarang penyakit dan
lemah. Tubuh yang membusuk ini akan hancur berkeping-keping karena
sesungguhnya kehidupan berakhir pada kematian.
Tubuh yang terbentuk dari tumpukan tulang, terbungkus oleh
daging dan darah ini merupakan tempat bercokolnya ketuaan, kematian,
keangkuhan dan penglecehan.
Tak lama lagi tubuh ini tidak berkesadaran lagi, digeletakkan di
tanah bagaikan sebatang kayu yang tak berguna.
Tulang-belulang ini berwarna putih pucat seperti warna burung
dara. Tak seorang pun yang menghendakinya, ibarat labu di musim rontok.
Kenikmatan apakah yang dapat diperoleh dengan memandanginya?
Sama seperti orang yang sehabis bangun tidur tidak melihat apa
yang dijumpai dalam mimpi, demikian pula, orang yang dicintai, setelah
meninggal, tidaklah dapat dijumpai lagi.
Banyak orang masih terlihat pada pagi hari, tetapi pada sore hari
beberapa di antaranya tak tertampak lagi. Banyak orang masih terlihat pada sore hari, tetapi pada pagi hari beberapa di antaranya tak tertampak
lagi.
Sebagaimana buah yang telah masak yang sepanjang waktu dikhawatirkan
akan jatuh, demikian pula makhluk yang telah lahir; yang dikhawatirkan sepanjang waktu ialah akan mati.
Tidak di langit, di tengah samudra, di cela-cela bukit; tidak di mana pun di dunia ini dapat ditemukan suatu tempat tinggal di mana seseorang dapat menghindarkan diri dari kematian.
Baik anak-anak, orang dewasa, orang dungu, orang bijak, orang kaya maupun orang miskin; semuanya berjalan menuju kematian.
Lihatlah! Meskipun dikerumuni serta diratapi oleh sanak keluarga, orang yang akan mati direnggut Raja Kematian seorang diri; ibarat sapi yang akan dijagal, digiring seekor.
Dengan [pelbagai] cara makhluk yang terlahirkan berusaha menghindar dari kematian namun takberhasil. Kalaupun dapat bertahan hidup hingga tua, pada akhirnya juga akan mati karena memang demikianlah sifat alamiah makhluk hidup di dunia ini.
Pemain sulap mampu mengelabui banyak penonton dan membuat mereka percaya, namun ia tak dapat berbuat demikian terhadap Raja Kematian.
Para ahli waris membawa pergi harta milik orang mati, sedangkan yang mati pergi menuju jalannya sendiri. Tatkala meninggal dunia, tidak ada harta kekayaan apa pun, anak isteri, emas perak atau tanah, yang dapat dibawa serta.
“Saya akan bertinggal di sini selama musim hujan; musim dingin dan kemarau,” demikianlah orang dungu berpikir tanpa menyadari ancaman bahaya [kematian].
Kematian niscaya menyeret orang yang mengumpulkan bunga kenikmatan inderawi, yang pikirannya terpacak pada kenikmatan inderawi; bagaikan banjir besar yang menghanyutkan penduduk yang terlelap.
Orang yang mengumpulkan bunga kenikmatan nafsu inderawi, yang pikirannya terpacak padanya tanpa mengenal puas; niscaya berada dalam kekuasaan Sang Penghancur (Kematian).
Mengapa bersukaria dan bergembira manakala dunia sedang membara terus? Terliputi oleh kegelapan yang pekat seperti ini, mengapa Engkau tak juga mencari penerangan?
Apabila usia terus berkurang seperti ini, perpisahan pasti terjadi tanpa diragukan. Kelompok makhluk yang masih tertinggal hendaknya saling mencintai dan mengasihi; dan tidak seharusnya bersedih hati terhadap mereka yang telah mati.
Tangisan, kesedihan, gerungan, ratapan; tidaklah membawa manfaat terhadap orang yang telah meninggal. Mereka yang telah mati masih tetap seperti semula.
Tangisan atau kesedihan bukannya akan membantu pikiran menjadi tenang atau tentram, melainkan justru melipatgandakan penderitaan. Kesehatan jasmaniah pun ikut melemah.
Bersedih hati samalah dengan melukai diri sendiri. Tubuh akan menjadi kurus kering; kulit akan menjadi pucat pasi, sedangkan orang yang telah mati tidak dapat mempergunakan kesedihan itu untuk menolong dirinya. Ratap tangis tidaklah bermanfaat apa pun.
Orang yang tidak dapat menyingkirkan kesedihan, hanya memikiri orang yang telah meninggal, jatuh dalam kekuasaan kesedihan; niscaya menderita duka yang lebih berat. Karena itu, Saudara, setelah mendengarkan ajaran mereka yang
telah terjauhkan dari noda batin, hendaknya melenyapkan ratap tangis.
Ketika melihat orang meninggal, tabahkan hati [dengan berpikir] bahwa tidaklah mungkin bagi kita untuk menghidupkannya kembali.
Kalau orang yang telah meninggal dunia dapat dibangkitkan kembali dengan ditangisi, kami sekalian niscaya akan berkumpul bersama untuk saling meratapi sanak keluarga kami.
Engkau tak mengetahui jalan orang yang datang [lahir] maupun yang pergi [mati]. Manakala tidak melihat kedua ujungnya, meskipun diratapi, percuma sajalah.
Demikianlah makhluk hidup di dunia ini berada dalam kekuasaan kematian dan ketuaan. Dengan menyadari sifat alamiah makhluk hidup, orang bijak tidaklah bersedih hati.
Alih-alih bersedih hati terhadap orang yang telah tiada, yaitu mereka yang telah meninggal dunia, sesungguhnya seseorang lebih patut bersedih hati terhadap dirinya sendiri yang jatuh dalam kekuasaan Raja Kematian sepanjang waktu.
Lahir sendirian; mati pun sendirian. Hubungan antara makhlukmakhluk hidup sesungguhnya hanyalah saling bertemu dan berkaitan.
Lihatlah! Orang lain pun sedang mempersiapkan diri menempuh jalan Kamma-nya. Di dunia ini semua makhluk sedang bergulat menghadapi kekuasaan Raja Kematian.
Sekarang ini Engkau tua bagaikan daun layu. Raja Kematian sedang menantimu. Engkau sedang berdiri di ambang pintu keberangkatan, namun Engkau belum memiliki bekal perjalanan.
Sekarang ini usia kehidupanmu telah mendekati akhir. Engkau telah melangkah mendekati Raja Kematian. Tak ada tempat peristirahatan di antara perjalananmu, namun Engkau tidak mencari bekal perjalanan.
Menyadari bahwa tubuh ini mudah pecah serta melompong seperti busa, dan menyadari sifat mayanya; seseorang hendaknya mematahkan panah bunga asmara dan menghindar dari pandangan Raja Kematian.
Menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, seseorang hendaknya memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota, dan selanjutnya menyerang Mâra dengan senjata kebijaksanaan. Jika telah meraih kemenangan, hendaknya menjaganya dengan baik jangan sampai jatuh dalam kekuasaannya lagi, tetapi tidak melekatinya.
Lepaskan [kerinduan terhadap kelompok kehidupan] masa lampau, mendatang dan sekarang. Capailah akhir kehidupan (Nibbâna). Setelah terbebas dari segalanya, Engkau tak akan lagi mengalami kelahiran dan ketuaan.
Barangsiapa memandang dunia ini seperti halnya melihat busa dan fatamorgana [fana dan khayalan] niscaya tidak akan dapat dijumpai oleh Raja Kematian.
Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan, kecerobohan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak mengenal kematian, tetapi orang yang ceroboh tak ubahnya seperti orang yang sudah mati.
Ibarat benang pintalan, sepanjang mana yang telah dipintal, bagian yang akan dipintal niscaya menjadi sedikit; demikian pula usia makhluk hidup menyusut dan berkurang.
Sebagaimana air sungai yang tidak balik mengalir ke hulu, demikian pula usia umat manusia tidaklah balik menuju usia muda.
Seiring dengan berlalunya waktu, kehidupan seseorang pun berkurang dari manfaat yang akan dilakukan.
Bagaikan gembala menghalau dengan tongkat kumpulan sapi menuju padang rumput, demikian pula usia tua dan kematian menggiring
kehidupan setiap makhluk.
Lihatlah tubuh yang dikatakan indah ini, yang penuh luka,
terbentuk dari rangkaian tulang, berpenyakitan, penuh pemikiran, yang
tak dapat dicari keabadian dan kekekalannya.
Tubuh ini jika sudah menua akan menjadi sarang penyakit dan
lemah. Tubuh yang membusuk ini akan hancur berkeping-keping karena
sesungguhnya kehidupan berakhir pada kematian.
Tubuh yang terbentuk dari tumpukan tulang, terbungkus oleh
daging dan darah ini merupakan tempat bercokolnya ketuaan, kematian,
keangkuhan dan penglecehan.
Tak lama lagi tubuh ini tidak berkesadaran lagi, digeletakkan di
tanah bagaikan sebatang kayu yang tak berguna.
Tulang-belulang ini berwarna putih pucat seperti warna burung
dara. Tak seorang pun yang menghendakinya, ibarat labu di musim rontok.
Kenikmatan apakah yang dapat diperoleh dengan memandanginya?
Sama seperti orang yang sehabis bangun tidur tidak melihat apa
yang dijumpai dalam mimpi, demikian pula, orang yang dicintai, setelah
meninggal, tidaklah dapat dijumpai lagi.
Banyak orang masih terlihat pada pagi hari, tetapi pada sore hari
beberapa di antaranya tak tertampak lagi. Banyak orang masih terlihat pada sore hari, tetapi pada pagi hari beberapa di antaranya tak tertampak
lagi.
Sebagaimana buah yang telah masak yang sepanjang waktu dikhawatirkan
akan jatuh, demikian pula makhluk yang telah lahir; yang dikhawatirkan sepanjang waktu ialah akan mati.
Tidak di langit, di tengah samudra, di cela-cela bukit; tidak di mana pun di dunia ini dapat ditemukan suatu tempat tinggal di mana seseorang dapat menghindarkan diri dari kematian.
Baik anak-anak, orang dewasa, orang dungu, orang bijak, orang kaya maupun orang miskin; semuanya berjalan menuju kematian.
Lihatlah! Meskipun dikerumuni serta diratapi oleh sanak keluarga, orang yang akan mati direnggut Raja Kematian seorang diri; ibarat sapi yang akan dijagal, digiring seekor.
Dengan [pelbagai] cara makhluk yang terlahirkan berusaha menghindar dari kematian namun takberhasil. Kalaupun dapat bertahan hidup hingga tua, pada akhirnya juga akan mati karena memang demikianlah sifat alamiah makhluk hidup di dunia ini.
Pemain sulap mampu mengelabui banyak penonton dan membuat mereka percaya, namun ia tak dapat berbuat demikian terhadap Raja Kematian.
Para ahli waris membawa pergi harta milik orang mati, sedangkan yang mati pergi menuju jalannya sendiri. Tatkala meninggal dunia, tidak ada harta kekayaan apa pun, anak isteri, emas perak atau tanah, yang dapat dibawa serta.
“Saya akan bertinggal di sini selama musim hujan; musim dingin dan kemarau,” demikianlah orang dungu berpikir tanpa menyadari ancaman bahaya [kematian].
Kematian niscaya menyeret orang yang mengumpulkan bunga kenikmatan inderawi, yang pikirannya terpacak pada kenikmatan inderawi; bagaikan banjir besar yang menghanyutkan penduduk yang terlelap.
Orang yang mengumpulkan bunga kenikmatan nafsu inderawi, yang pikirannya terpacak padanya tanpa mengenal puas; niscaya berada dalam kekuasaan Sang Penghancur (Kematian).
Mengapa bersukaria dan bergembira manakala dunia sedang membara terus? Terliputi oleh kegelapan yang pekat seperti ini, mengapa Engkau tak juga mencari penerangan?
Apabila usia terus berkurang seperti ini, perpisahan pasti terjadi tanpa diragukan. Kelompok makhluk yang masih tertinggal hendaknya saling mencintai dan mengasihi; dan tidak seharusnya bersedih hati terhadap mereka yang telah mati.
Tangisan, kesedihan, gerungan, ratapan; tidaklah membawa manfaat terhadap orang yang telah meninggal. Mereka yang telah mati masih tetap seperti semula.
Tangisan atau kesedihan bukannya akan membantu pikiran menjadi tenang atau tentram, melainkan justru melipatgandakan penderitaan. Kesehatan jasmaniah pun ikut melemah.
Bersedih hati samalah dengan melukai diri sendiri. Tubuh akan menjadi kurus kering; kulit akan menjadi pucat pasi, sedangkan orang yang telah mati tidak dapat mempergunakan kesedihan itu untuk menolong dirinya. Ratap tangis tidaklah bermanfaat apa pun.
Orang yang tidak dapat menyingkirkan kesedihan, hanya memikiri orang yang telah meninggal, jatuh dalam kekuasaan kesedihan; niscaya menderita duka yang lebih berat. Karena itu, Saudara, setelah mendengarkan ajaran mereka yang
telah terjauhkan dari noda batin, hendaknya melenyapkan ratap tangis.
Ketika melihat orang meninggal, tabahkan hati [dengan berpikir] bahwa tidaklah mungkin bagi kita untuk menghidupkannya kembali.
Kalau orang yang telah meninggal dunia dapat dibangkitkan kembali dengan ditangisi, kami sekalian niscaya akan berkumpul bersama untuk saling meratapi sanak keluarga kami.
Engkau tak mengetahui jalan orang yang datang [lahir] maupun yang pergi [mati]. Manakala tidak melihat kedua ujungnya, meskipun diratapi, percuma sajalah.
Demikianlah makhluk hidup di dunia ini berada dalam kekuasaan kematian dan ketuaan. Dengan menyadari sifat alamiah makhluk hidup, orang bijak tidaklah bersedih hati.
Alih-alih bersedih hati terhadap orang yang telah tiada, yaitu mereka yang telah meninggal dunia, sesungguhnya seseorang lebih patut bersedih hati terhadap dirinya sendiri yang jatuh dalam kekuasaan Raja Kematian sepanjang waktu.
Lahir sendirian; mati pun sendirian. Hubungan antara makhlukmakhluk hidup sesungguhnya hanyalah saling bertemu dan berkaitan.
Lihatlah! Orang lain pun sedang mempersiapkan diri menempuh jalan Kamma-nya. Di dunia ini semua makhluk sedang bergulat menghadapi kekuasaan Raja Kematian.
Sekarang ini Engkau tua bagaikan daun layu. Raja Kematian sedang menantimu. Engkau sedang berdiri di ambang pintu keberangkatan, namun Engkau belum memiliki bekal perjalanan.
Sekarang ini usia kehidupanmu telah mendekati akhir. Engkau telah melangkah mendekati Raja Kematian. Tak ada tempat peristirahatan di antara perjalananmu, namun Engkau tidak mencari bekal perjalanan.
Menyadari bahwa tubuh ini mudah pecah serta melompong seperti busa, dan menyadari sifat mayanya; seseorang hendaknya mematahkan panah bunga asmara dan menghindar dari pandangan Raja Kematian.
Menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, seseorang hendaknya memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota, dan selanjutnya menyerang Mâra dengan senjata kebijaksanaan. Jika telah meraih kemenangan, hendaknya menjaganya dengan baik jangan sampai jatuh dalam kekuasaannya lagi, tetapi tidak melekatinya.
Lepaskan [kerinduan terhadap kelompok kehidupan] masa lampau, mendatang dan sekarang. Capailah akhir kehidupan (Nibbâna). Setelah terbebas dari segalanya, Engkau tak akan lagi mengalami kelahiran dan ketuaan.
Barangsiapa memandang dunia ini seperti halnya melihat busa dan fatamorgana [fana dan khayalan] niscaya tidak akan dapat dijumpai oleh Raja Kematian.
Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan, kecerobohan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak mengenal kematian, tetapi orang yang ceroboh tak ubahnya seperti orang yang sudah mati.