GloryFrench
IndoForum Newbie A
- No. Urut
- 2045
- Sejak
- 10 Jun 2006
- Pesan
- 380
- Nilai reaksi
- 7
- Poin
- 18
Tuhan, Berilah Kekuatan!
Suasana di lapangan sungguh meriah siang itu. Rupanya sedang diadakan lomba mobil balap mainan dan babak finalnya akan dimulai sebentar lagi. Hanya tersisa empat orang peserta dan masing-masing anak pun memamerkan mobil mainan buatan sendiri. Memang begitulah aturan permainannya, mobil harus buatan sendiri.
Di antara peserta itu ada seorang anak yang mobilnya sama sekali tidak istimewa, namun ia termasuk dalam empat anak yang berhasil memasuki babak final. Dibanding semua lawannya, mobilnyalah yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu bisa berpacu melawan mobil lainnya.
Yah, memang, mobil tak begitu menarik. Dengan kayu sederhana dan sedikit lampu kedip di atasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, pemiliknya bangga dengan itu semua, sebab mobil itu buatan tangannya sendiri.
Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil “kebanggaan”, lengkap dengan “pembalap” kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah di antaranya.
Namun, sebelum pertandingan dimulai, salah seorang anak yang memiliki mobil yang paling ‘antik’ dan ‘beda’ dari mobil lainnya meminta waktu sebentar, Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan dirangkup sambil memanjatkan doa. Semenit kemudian ia pun berkata,”Ya, aku siap!” Dorr! Perlombaan pun dimulai ……..
Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat menjagokan mobilnya masing-masing. “Ayo .. ayo… cepat … cepat, maju .. maju,” begitu teriak mereka.
Tali lintasan finish telah terlambai. Dan ternyata pemenangnya adalah mobil yang kurang begitu bagus dan paling diragukan kemampuannya. Semuanya senang .. terutama anak pemilik mobil juara. Ia berucap dan berkomat-kamit lagi dalam hati. “Terima kasih, Tuhan!”
Saat pembagian piala tiba. Sang juara maju ke depan untuk menerima piala kebanggaan. Sebelum piala diserahkan, ketua panitia bertanya,”Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?” Sang juara terdiam sejenak.
“Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan,” kata anak tersebut. Ia lalu melanjutkan “Sepertinya tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongku mengalahkan orang lain. Aku hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah.” Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk tangan para hadirin memenuhi arena.
Seberapa sering kita berdoa kepada Tuhan supaya permintaan kita dikabulkan? Pernahkah kita menyadari bahwa permohonan kita kepada Tuhan mungkin saja merupakan sesuatu yang tidak diharapkan orang lain? Misalkan kita berdoa demi kemenangan dan sesuatu yang bisa menguntungkan kita, pada saat itu tentu ada pihak yang harus kalah dan dirugikan. Lalu pantaskah kita bersorak di atas kegembiraan bahwa Tuhan telah menjawab doa dan harapan kita, sementara ada orang lain yang harus kecewa dan menderita? Padahal ada hal lain yang lebih berarti dari sekedar meraih kemenangan ataupun bergembira tetapi harus di atas penderitaan orang lain. Bukankah akan lebih baik apabila kita berdoa memohon kekuatan dari Tuhan untuk menerima apapun yang direncanakan-Nya? Percaya kepada kasih dan kehendak-Nya untuk kemudian mensyukurinya?
Kisah Sang Maitreya bersama Ibu dan Anak Kelinci
Berkalpa masa yang lalu, hiduplah seorang Buddha dengan nama kesucian Maitreya. Sang Maitreya senantiasa mengajarkan metta, karuna, sukacita, dan rela berkorban untuk membimbing umat manusia. Pada masa itu juga, ada seorang pembina yang bernama Orang Suci Prajna Cemerlang. Pembina ini berkemampuan tinggi dan memiliki kearifan yang luar biasa. Dalam suatu kesempatan beliau dibimbing oleh Sang Maitreya. Dengan penuh ketulusan, beliau mengamalkan ajaran yang disampaikan dan meneguhkan tekad bahwa suatu saat nanti, kalau dirinya mencapai kesempurnaan maka nama kesuciannya juga Maitreya. Kehidupan duniawi pun ditinggalkan dan pergilah ia ke rimba belantara untuk membina diri. Orang-orang di sekitar memanggilnya dengan sebutan ‘Pembina Suci’.
Tibalah pada suatu tahun, hutan tempat Pembina Prajna Cemerlang ini membina dilanda banjir yang dahsyat. Semua tetumbuhan dan palawija rusak dilanda banjir. Dalam keadaan demikian semua orang dan binatang di sekitar hutan tersebut amat kekurangan makanan. Demikian juga dengan Sang Pembina, sudah tujuh hari beliau tak mendapat makanan apapun untuk mengisi perut.
Saat itu dalam hutan hiduplah lima ratus ekor kelinci hutan. Ratu kelinci melihat Sang Pembina sudah hampir mati kelaparan, ia langsung terpanggil untuk berkorban diri demi kelangsungan hidup Sang Pembina dan mempertahankan roda dharma agar dapat terus berputar di dunia. Ratu kelinci pun mulai meninggalkan pesan kepada kelinci-kelinci yang sebentar lagi harus ditinggalkannya, “Aku akan mengorbankan raga demi Buddha Dharma, nanti setelah kita semua berpisah, jagalah diri baik-baik!” Pada waktu yang sama dewa hutan dan dewa pohon langsung datang membantu menyiapkan api unggun. Untuk terakhir kali ratu kelinci meninggalkan pesan kepada anaknya, “Sebentar lagi mama akan meninggalkanmu, anakku. Biarlah aku mati demi kelangsungan hidup Pembina dan kelanjutan penyebaran Buddha Dharma. Semoga dengan demikian akan semakin banyak umat manusia yang diberkahi dan mencapai pencerahan. Anakku, jagalah dirimu baik-baik!” Tak disangka anak kelinci menjawab, “Mama, berkorban diri demi seorang Pembina dan Buddha Dharma, sungguh ini adalah perbuatan yang mulia, aku pun ingin melakukannya.”
Tiba-tiba datanglah dewa hutan dan dewa pohon untuk menyampaikan bahwa api unggun telah siap dan api telah berkobar. Di luar dugaan, anak kelinci langsung, “Wuubb!” Ternyata ia mendahului induk kelinci melompat ke dalam api yang berkobar itu. Induk kelinci segera menyertainya melompat ke dalam kobaran api juga. Tak berapa lama daging dua ekor kelinci pun terbakar matang. Dewa hutan segera pergi menyampaikan peristiwa ini kepada Sang Pembina dan mempersilakan beliau menyantap daging kelinci bakar.
Begitu mendengar penyampaian dewa hutan, sedih pilu tak terkira dalam hati Sang Pembina. Detik itu juga Sang Pembina berdiri dan meneguhkan ikrar suci yang menggugah semesta, “Biarlah ragaku luluh lantak, biarlah sakit derita menyayat diriku, selama-lamanya aku tak akan tega melahap daging makhluk hidup manapun juga.” Yang dimaksud di sini adalah walaupun diri sendiri menderita bahkan kehilangan nyawa, selamanya tetap tak tega melahap daging makhluk hidup manapun. Selanjutnya beliau juga berikrar, “Semoga aku selama berkalpa-kalpa kehidupan tak pernah timbul niat pembunuhan dan selamanya tak melahap daging makhluk hidup. Selamanya aku akan mengamalkan sila pantang daging. Demikianlah aku berjuang memancarkan mahakasih hingga mencapai kesempurnaan.” Setelah meneguhkan ikrar yang mahaluhur ini, Sang Pembina langsung melompat ke dalam kobaran api dan wafat bersama kedua ekor kelinci. Sang Buddha Sakyamuni bersabda, “Saat itu induk kelinci adalah diriku sendiri. Anak kelinci itu adalah anakku Rahula, dan Sang Pembina yang penuh kasih adalah Bodhisatva Maitreya sekarang ini.”
Dari kisah ini jelaslah bahwa selama berkalpa kehidupan yang lalu Sang Maitreya membina diri dengan cara tidak melahap daging makhluk hidup. Beliau menjunjung tinggi dan mengamalkan cinta kasih hingga disebut sebagai Maitreya Sang Pengasih. Dengan mahakasih inilah Sang Maitreya membawakan kebahagiaan universal kepada semua makhluk. Manusia yang bercinta kasih tak akan tega menyakiti dan melukai semua makhluk dan benda di dunia. Sampai sekuntum bunga, sebatang rumput, sebatang pohon tetap akan dikasihi bagai mengasihi diri sendiri. Dengan kelembutan kasih memberikan kesempatan kepada semua makhluk dan benda untuk hidup sesuai hakekat di alam semesta.
Hidup Bukanlah Suatu Lomba
Seorang ibu duduk disamping seorang pria dibangku dekat Taman main CJ di West Coast Park pada suatu minggu pagi yang indah cerah.
"Tuh.., itu putraku yang disitu," katanya, sambil menunjuk kearah seorang anak kecil dalam T-shirt merah yang sedang meluncur turun dipelorotan.
"Wah, bagus sekali bocah itu," kata bapak itu. "Yang sedang main
ayunan di bandulan pakai T-shirt biru itulah anakku," sambungnya.
Lalu, sambil melihat arloji, ia memanggil putranya.
"Ayo Jack, gimana kalau kita sekarang pulang?"
Jack, setengah memelas, "Kalau lima menit lagi, boleh yahhh, sebentar lagi, ayah, boleh kan?"
"Cuma tambah lima menit kok, yaaa...?"
Pria itu mengangguk dan Jack meneruskan main ayunan memuaskan hatinya.
Menit menit berlalu, sang ayah berdiri, memanggil anaknya lagi.
"Ayo, ayo, sudah waktunya berangkat?" Lagi2 Jack memohon,
"Ayah, lima menit lagilah. Cuma lima menit tok, ya?"
Pria itu bersenyum dan bilang, "OK lah, iyalah..."
"Wah, bapak pasti seorang ayah yang sabar," ibu itu menanggapinya.
Pria itu tersenyum, lalu berkata, "Putraku yang lebih tua, John, tahun lalu terbunuh selagi bersepeda dekat2 sini. Oleh sopir mabuk. Aku tak pernah memberikan cukup waktu untuk bersama John, sekarang apapun ingin kuberikan demi dan asal saja saya bisa bersamanya biarpun hanya untuk lima menit lagi. Aku bernazar tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi terhadap Jack. Ia pikir ia dapat lima menit ekstra tambahan untuk berayun. Padahal, sebenarnya, sayalah yang memperoleh tambahan lima menit memandangi dia bermain."
Hidup ini bukanlah suatu lomba. Hidup ialah masalah membuat prioritas.
Prioritas apa yang anda miliki saat ini? Berikanlah pada seseorang
yang kau kasihi, lima menit saja dari waktumu, dan engkau pastilah tidak akan menyesal selamanya.
Suasana di lapangan sungguh meriah siang itu. Rupanya sedang diadakan lomba mobil balap mainan dan babak finalnya akan dimulai sebentar lagi. Hanya tersisa empat orang peserta dan masing-masing anak pun memamerkan mobil mainan buatan sendiri. Memang begitulah aturan permainannya, mobil harus buatan sendiri.
Di antara peserta itu ada seorang anak yang mobilnya sama sekali tidak istimewa, namun ia termasuk dalam empat anak yang berhasil memasuki babak final. Dibanding semua lawannya, mobilnyalah yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu bisa berpacu melawan mobil lainnya.
Yah, memang, mobil tak begitu menarik. Dengan kayu sederhana dan sedikit lampu kedip di atasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, pemiliknya bangga dengan itu semua, sebab mobil itu buatan tangannya sendiri.
Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil “kebanggaan”, lengkap dengan “pembalap” kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah di antaranya.
Namun, sebelum pertandingan dimulai, salah seorang anak yang memiliki mobil yang paling ‘antik’ dan ‘beda’ dari mobil lainnya meminta waktu sebentar, Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan dirangkup sambil memanjatkan doa. Semenit kemudian ia pun berkata,”Ya, aku siap!” Dorr! Perlombaan pun dimulai ……..
Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat menjagokan mobilnya masing-masing. “Ayo .. ayo… cepat … cepat, maju .. maju,” begitu teriak mereka.
Tali lintasan finish telah terlambai. Dan ternyata pemenangnya adalah mobil yang kurang begitu bagus dan paling diragukan kemampuannya. Semuanya senang .. terutama anak pemilik mobil juara. Ia berucap dan berkomat-kamit lagi dalam hati. “Terima kasih, Tuhan!”
Saat pembagian piala tiba. Sang juara maju ke depan untuk menerima piala kebanggaan. Sebelum piala diserahkan, ketua panitia bertanya,”Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?” Sang juara terdiam sejenak.
“Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan,” kata anak tersebut. Ia lalu melanjutkan “Sepertinya tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongku mengalahkan orang lain. Aku hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah.” Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk tangan para hadirin memenuhi arena.
Seberapa sering kita berdoa kepada Tuhan supaya permintaan kita dikabulkan? Pernahkah kita menyadari bahwa permohonan kita kepada Tuhan mungkin saja merupakan sesuatu yang tidak diharapkan orang lain? Misalkan kita berdoa demi kemenangan dan sesuatu yang bisa menguntungkan kita, pada saat itu tentu ada pihak yang harus kalah dan dirugikan. Lalu pantaskah kita bersorak di atas kegembiraan bahwa Tuhan telah menjawab doa dan harapan kita, sementara ada orang lain yang harus kecewa dan menderita? Padahal ada hal lain yang lebih berarti dari sekedar meraih kemenangan ataupun bergembira tetapi harus di atas penderitaan orang lain. Bukankah akan lebih baik apabila kita berdoa memohon kekuatan dari Tuhan untuk menerima apapun yang direncanakan-Nya? Percaya kepada kasih dan kehendak-Nya untuk kemudian mensyukurinya?
Kisah Sang Maitreya bersama Ibu dan Anak Kelinci
Berkalpa masa yang lalu, hiduplah seorang Buddha dengan nama kesucian Maitreya. Sang Maitreya senantiasa mengajarkan metta, karuna, sukacita, dan rela berkorban untuk membimbing umat manusia. Pada masa itu juga, ada seorang pembina yang bernama Orang Suci Prajna Cemerlang. Pembina ini berkemampuan tinggi dan memiliki kearifan yang luar biasa. Dalam suatu kesempatan beliau dibimbing oleh Sang Maitreya. Dengan penuh ketulusan, beliau mengamalkan ajaran yang disampaikan dan meneguhkan tekad bahwa suatu saat nanti, kalau dirinya mencapai kesempurnaan maka nama kesuciannya juga Maitreya. Kehidupan duniawi pun ditinggalkan dan pergilah ia ke rimba belantara untuk membina diri. Orang-orang di sekitar memanggilnya dengan sebutan ‘Pembina Suci’.
Tibalah pada suatu tahun, hutan tempat Pembina Prajna Cemerlang ini membina dilanda banjir yang dahsyat. Semua tetumbuhan dan palawija rusak dilanda banjir. Dalam keadaan demikian semua orang dan binatang di sekitar hutan tersebut amat kekurangan makanan. Demikian juga dengan Sang Pembina, sudah tujuh hari beliau tak mendapat makanan apapun untuk mengisi perut.
Saat itu dalam hutan hiduplah lima ratus ekor kelinci hutan. Ratu kelinci melihat Sang Pembina sudah hampir mati kelaparan, ia langsung terpanggil untuk berkorban diri demi kelangsungan hidup Sang Pembina dan mempertahankan roda dharma agar dapat terus berputar di dunia. Ratu kelinci pun mulai meninggalkan pesan kepada kelinci-kelinci yang sebentar lagi harus ditinggalkannya, “Aku akan mengorbankan raga demi Buddha Dharma, nanti setelah kita semua berpisah, jagalah diri baik-baik!” Pada waktu yang sama dewa hutan dan dewa pohon langsung datang membantu menyiapkan api unggun. Untuk terakhir kali ratu kelinci meninggalkan pesan kepada anaknya, “Sebentar lagi mama akan meninggalkanmu, anakku. Biarlah aku mati demi kelangsungan hidup Pembina dan kelanjutan penyebaran Buddha Dharma. Semoga dengan demikian akan semakin banyak umat manusia yang diberkahi dan mencapai pencerahan. Anakku, jagalah dirimu baik-baik!” Tak disangka anak kelinci menjawab, “Mama, berkorban diri demi seorang Pembina dan Buddha Dharma, sungguh ini adalah perbuatan yang mulia, aku pun ingin melakukannya.”
Tiba-tiba datanglah dewa hutan dan dewa pohon untuk menyampaikan bahwa api unggun telah siap dan api telah berkobar. Di luar dugaan, anak kelinci langsung, “Wuubb!” Ternyata ia mendahului induk kelinci melompat ke dalam api yang berkobar itu. Induk kelinci segera menyertainya melompat ke dalam kobaran api juga. Tak berapa lama daging dua ekor kelinci pun terbakar matang. Dewa hutan segera pergi menyampaikan peristiwa ini kepada Sang Pembina dan mempersilakan beliau menyantap daging kelinci bakar.
Begitu mendengar penyampaian dewa hutan, sedih pilu tak terkira dalam hati Sang Pembina. Detik itu juga Sang Pembina berdiri dan meneguhkan ikrar suci yang menggugah semesta, “Biarlah ragaku luluh lantak, biarlah sakit derita menyayat diriku, selama-lamanya aku tak akan tega melahap daging makhluk hidup manapun juga.” Yang dimaksud di sini adalah walaupun diri sendiri menderita bahkan kehilangan nyawa, selamanya tetap tak tega melahap daging makhluk hidup manapun. Selanjutnya beliau juga berikrar, “Semoga aku selama berkalpa-kalpa kehidupan tak pernah timbul niat pembunuhan dan selamanya tak melahap daging makhluk hidup. Selamanya aku akan mengamalkan sila pantang daging. Demikianlah aku berjuang memancarkan mahakasih hingga mencapai kesempurnaan.” Setelah meneguhkan ikrar yang mahaluhur ini, Sang Pembina langsung melompat ke dalam kobaran api dan wafat bersama kedua ekor kelinci. Sang Buddha Sakyamuni bersabda, “Saat itu induk kelinci adalah diriku sendiri. Anak kelinci itu adalah anakku Rahula, dan Sang Pembina yang penuh kasih adalah Bodhisatva Maitreya sekarang ini.”
Dari kisah ini jelaslah bahwa selama berkalpa kehidupan yang lalu Sang Maitreya membina diri dengan cara tidak melahap daging makhluk hidup. Beliau menjunjung tinggi dan mengamalkan cinta kasih hingga disebut sebagai Maitreya Sang Pengasih. Dengan mahakasih inilah Sang Maitreya membawakan kebahagiaan universal kepada semua makhluk. Manusia yang bercinta kasih tak akan tega menyakiti dan melukai semua makhluk dan benda di dunia. Sampai sekuntum bunga, sebatang rumput, sebatang pohon tetap akan dikasihi bagai mengasihi diri sendiri. Dengan kelembutan kasih memberikan kesempatan kepada semua makhluk dan benda untuk hidup sesuai hakekat di alam semesta.
Hidup Bukanlah Suatu Lomba
Seorang ibu duduk disamping seorang pria dibangku dekat Taman main CJ di West Coast Park pada suatu minggu pagi yang indah cerah.
"Tuh.., itu putraku yang disitu," katanya, sambil menunjuk kearah seorang anak kecil dalam T-shirt merah yang sedang meluncur turun dipelorotan.
"Wah, bagus sekali bocah itu," kata bapak itu. "Yang sedang main
ayunan di bandulan pakai T-shirt biru itulah anakku," sambungnya.
Lalu, sambil melihat arloji, ia memanggil putranya.
"Ayo Jack, gimana kalau kita sekarang pulang?"
Jack, setengah memelas, "Kalau lima menit lagi, boleh yahhh, sebentar lagi, ayah, boleh kan?"
"Cuma tambah lima menit kok, yaaa...?"
Pria itu mengangguk dan Jack meneruskan main ayunan memuaskan hatinya.
Menit menit berlalu, sang ayah berdiri, memanggil anaknya lagi.
"Ayo, ayo, sudah waktunya berangkat?" Lagi2 Jack memohon,
"Ayah, lima menit lagilah. Cuma lima menit tok, ya?"
Pria itu bersenyum dan bilang, "OK lah, iyalah..."
"Wah, bapak pasti seorang ayah yang sabar," ibu itu menanggapinya.
Pria itu tersenyum, lalu berkata, "Putraku yang lebih tua, John, tahun lalu terbunuh selagi bersepeda dekat2 sini. Oleh sopir mabuk. Aku tak pernah memberikan cukup waktu untuk bersama John, sekarang apapun ingin kuberikan demi dan asal saja saya bisa bersamanya biarpun hanya untuk lima menit lagi. Aku bernazar tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi terhadap Jack. Ia pikir ia dapat lima menit ekstra tambahan untuk berayun. Padahal, sebenarnya, sayalah yang memperoleh tambahan lima menit memandangi dia bermain."
Hidup ini bukanlah suatu lomba. Hidup ialah masalah membuat prioritas.
Prioritas apa yang anda miliki saat ini? Berikanlah pada seseorang
yang kau kasihi, lima menit saja dari waktumu, dan engkau pastilah tidak akan menyesal selamanya.