• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Pura dan Candi di Indonesia

Pura Dalem Jagaraga - Buleleng

''Saksi'' Perang, Prosesi Religius dan Keunikan Arsitekturnya

Belum ditemukan data pasti, entah tahun berapa didirikan Pura Dalem Jagaraga. Pura Dalem -- yang dulu disebut Pura Segara Madu -- ini, terletak di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Berjarak sekitar 11 km dari kota Singaraja. Pura ini merupakan Markas Komando laskar Bali dalam Perang Jagaraga, silam.
--------------
DI Pura Dalem inilah Jero Jempiring -- istri patih I Gusti Ketut Jelantik -- bertahan sebagai sentra perlawanan, menghadang serangan musuh, tatkala benteng Jagaraga yang berjarak sekitar 200 meter dari pura ini diduduki Belanda. Jero Jempiring dikenal luas lantaran berhasil mengatur jalannya pertempuran di sekitar Pura Dalem Jagaraga pada 1848, selaku komando dan penyala semangat laskar Bali saat menghadapi Belanda.


7-2.jpg

Konon wilayah Buleleng atau Bali utara kerap dikatakan sebagai wilayah yang senantiasa bergolak sejak abad ke-17 hingga ke-20. Kehidupan masyarakatnya yang dinamis menyentuh pergaulan multikultur. Saat itu kerajaan Buleleng memiliki rakyat yang dalam komunitas kehidupannya sangat heterogen dibanding wilayah-wilayah di kabupaten lain, misalnya bisa disebutkan adanya etnis-etnis Bugis, Cina, Arab, Jawa, Madura, dan Makassar di kawasan ini.



Akan halnya desa Jagaraga, dulu sempat kesohor sebagai ajang proses pembinaan dan penciptaan kreasi tari dan tabuh, di antaranya seperti terciptanya tarian "Teruna Jaya" dan tabuh "Palawakya" oleh Gde Manik bersama Pan Wandres. Jauh sebelumnya lagi merupakan sebagai tempat berdirinya benteng Jagaraga yang dibangun oleh pahlawan Nasional, Patih I Gusti Ketut Jelantik menjelang perang Jagaraga yang kedua. Mungkin lantaran kondisi geografis yang strategis, Desa Jagaraga telah berfungsi sebagai titik persinggahan pada akhir abad ke-18 bagi laskar-laskar kerabat kerajaan dari Kabupaten lain yang bergerak dari ibukota mereka ke Buleleng.


7-5.jpg

Desa yang diapit sungai (tukad) Gelung Sangsit di sebelah barat dan Tukad Daya di sebelah timurnya ini, berada pada ketinggian sekitar 100 meter dari permukaan laut dan berjarak hampir 5 km dari pantai pesisir laut utara. Di sebelah selatan desa ini -- yang kedudukan tanahnya kian meninggi -- terletak Desa Sawan, Menyali, Bebetin, Sekumpul dan Lemukih. Selain adanya benteng pertahanan yang dibuat ketika itu, sejatinya Desa Jagaraga sudah merupakan benteng alami, dikitari banyak pebukitan kecil dan sungai.

Di zaman silam, untuk mencapai Jagaraga dari Singaraja mesti melintasi empat sungai yang relatif besar dan curam. Strategisnya desa ini juga lantaran gampangnya lintasan ke daerah Batur ketika itu, baik melalui Desa Galungan dan Lemukih maupun lewat jalan Pakisan. Desa ini pun merupakan simpul pertemuan antara desa Bungkulan dan Menyali. Kini, dengan adanya perkembangan prasarana dan sarana transportasi, Jagaraga dapat dicapai dengan mudah dari segala arah.

Religius-Spiritual
Tak kurang sejak 40 tahun sebelumnya, hingga pecah Perang Buleleng 1846, proses penyatuan komunitas Jagaraga berjalan damai dan lestari. Bisa jadi mayoritas tetua moyang kalangan Bangsawan yang punya peran penting dalam Perang Jagaraga telah berdomisili di desa ini sejak kekuasaan wangsa Karangasem berjaya di Singaraja, di awal abad ke-19, yang kemudian bersama-sama rakyat desa setempat berjuang menentang penjajah.

Alkisah, di saat Singaraja jatuh pada pertengahan tahun 1846, tersebutlah patih I Gusti Ketut Jelantik memindahkan markas perlawanannya ke Desa Jagaraga. Idenya muncul untuk membangun benteng ala Barat nan canggih sebagai markas pertahanannya. Benteng ini terletak hanya sekitar 200 meter dari Pura Dalem Jagaraga. Kedekatannya dengan lokasi Pura Dalem ini dapat disebut sebagai perwujudan sistem pertahanan "duniawi-rohani" religius-spiritual. Dan, posisi benteng Jagaraga dianggap sebagai lini terdepan dalam kawasan kekuasaan sakti Dewa Siwa -- sebagai manifestasi Tuhan -- yang melambangkan kehancuran dan pralina bagi musuh atau Belanda yang berani menyerbu desa ini. Sementara istana berada di pusat desa, di muka Pura Desa.


7-6.jpg

Persiapan perang yang dilakukan laskar Bali di bawah pimpinan Patih Jelantik kala itu dapat dikatakan sebagai upaya membangun kekuatan melalui ranah religius spiritual berlandaskan ajaran agama Hindu yang diyakininya. Dalam kondisi genting seperti itu, keberadaan Pura Dalem memiliki keterkaitan sangat erat dengan Pura Desa dan Merajan Agung milik kalangan brahmana, komunitas Pande Besi di Banjar Pande dan keberadaan Patih Jelantik di bilangan belakang Pura Desa Jagaraga.


Prosesi itu bertujuan membangkitkan spirit perjuangan dalam rangkaian upacara masupati (memberi kekuatan gaib dan kesucian) yang dilakukan oleh Patih Jelantik bersama para pejuang di Merajan Agung. Usai di-pasupati, senjata-senjata itu konon secara magis "dihidupkan" kembali, serta siap digunakan. Lantas, berbagai senjata itu -- dari tempat penyimpanannya, diarak menyeberang jalan di muka Pura Desa, melintasi Puri, bergerak ke depan hingga tiba di wilayah belakang perbentengan (dekat Pura Dalem Jagaraga), seterusnya menempati posisi masing-masing memperkuat benteng Jagaraga.

Pasukan bersenjata yang sudah di-pasupati itu pun bergerak melingkar ke arah kanan (searah putaran jarum jam). Dalam mitologi Hindu kerap dinamakan gerakan pradaksina. Arah gerakan ini bermakna membawa keberuntungan serta diyakini memiliki kekuatan-kekuatan magis-spiritual, menambah energi dan daya keampuhan bagi senjata tersebut. Pola serangan melingkar itulah diterapkan di medan pertahanan Jagaraga.


Singkat cerita, Perang Jagaraga berakhir menjelang senja pada 16 April 1849, dengan menelan banyak korban di kedua belah pihak. Menurut perkiraan, sekitar 2.700 orang laskar Bali gugur dalam perang itu. Sementara korban di pihak Belanda lebih dari 400 orang, termasuk beberapa perwira menengahnya.

Keunikan Pura
Konon Raja Buleleng I Gusti Made Karangasem beserta para pengikutnya juga bermarkas di Pura Dalem ini selama terjadinya pertempuran. Solidnya pertahanan ketika itu juga diperkuat oleh pasukan pecalang yang dikoordinir Jero Jempiring. Seorang perempuan, istri patih yang patriotik, pejuang andal nan gagah berani. Peran dan kontribusinya dalam kemenangan pihak Bali pada Perang Jagaraga I sangat besar, menyebabkan strategi perbentengan Patih Jelantik hidup dan berfungsi dengan baik ketika itu.

7-8.jpg


Pura Dalem Jagaraga yang piodalan-nya jatuh setiap Umanis Kuningan, wuku Langkir ini merupakan bagian dari Pura Kahyangan Tiga yang ada di Desa Jagaraga. Tempatnya berseberangan jalan dengan kuburan (setra). Pura ini menghadap ke Barat. Tapak atau site-nya memanjang dari barat ke timur. Pekarangan pura dibatasai tembok panyengker sekelilingnya. Pada jaba sisi -- sebelum memasuki jaba tengah -- terdapat candi kurung atau gelung kori yang khas bentuk maupun ragam hiasnya. Relief atau pepatraan-nya sangat otentik dan memiliki ciri tersendiri. Liang takikan ukiran tidak dalam, tapi melebar dan cenderung meruncing.

Di kiri kanan dari gelung kori atau candi kurung ini terdapat betelan (pintu samping kecil) yang bagian dalam atasnya melengkung. Jarak antara gelung kori maupun betelan terhadap tepi jalan amat dekat -- kurang dari dua meter.


Memasuki jaba sisi, di dalam halamannya terdapat bangunan bale gong yang berdenah segi empat panjang dan beratap seng, serta bale pawaregan yang juga beratap seng. Uniknya, sebelum memasuki halaman jeroan inilah baru bisa ditemui candi bentar. Di kiri kanannya juga terdapat pintu betelan, bentuknya nyaris serupa dengan betelan di luar yang membatasi jaba sisi dengan jaba tengah. Lubang pintu bagian atas berbentuk lengkung.

Pada halaman jeroan inilah berdiri antara lain palinggih Sapta Petala di area kelod kangin atau tenggara, gedong Prajapathi, padmasana dan gedong Ida Betara Dalem yang semuanya berjajar di timur. Di sebelah baratnya masing-masing terdapat taksu, bale pengaruman dan bale piasan.

Keunikan yang dimiliki oleh arsitektur Pura Dalem Jagaraga ini merupakan salah satu aset arsitektur yang ornamentik atau dengan ragam hias yang unik dan otentik. Begitu pula kehidupan sosio-religius masyarakatnya. Semua itu sepatutnya senantiasa dinaungi oleh denyut-denyut pelestarian tradisi yang dijiwai nilai-nilai patriotisme, kebersamaan dan persatuan dalam berkehidupan atau bermasyarakat. Terlebih keberadaan pura ini juga menyimpan nilai-nilai historis perjuangan rakyat Buleleng melawan penjajah (Belanda) tempo dulu.
Pelestarian nilai-nilai dan tampilan wujud arsitekturnya turut berperan di dalam menanamkan nilai-nilai moral yang arif secara berkelanjutan.

Di Mana Benteng?
Sekarang, orang-orang yang berniat mengenang kisah perjuangan rakyat Buleleng tersebut tidak bisa lagi menyaksikan sisa-sisa peninggalan benteng Jagaraga yang sebelumnya digunakan sebagai benteng pertahanan rakyat saat Perang Jagaraga. Khususnya bagi orang-orang yang ingin menyaksikan secara langsung tempat, site, atau tapak berdirinya benteng tersebut. Titik lokasi benteng kini tak berbekas lagi, rata tanah, ditumbuhi rumput, semak-semak dan pepohonan.

Guna lebih mengenang peristiwa bersejarah, sudahkah ada upaya dari pemerintah daerah setempat maupun dari masyarakat Buleleng untuk membangun sebuah "tanda" atau monumen -- kendati tak monumental -- di area bekas benteng Jagaraga ini? Sebuah tanda bermakna, tidakkah perlu diwariskan pada generasi penerusnya?

Dari sisi yang lain, pelestarian arsitektur Buleleng pada khususnya, selain tetap menyesuaikan dengan perkembangan zaman di era informasi digital dan virtual dewasa ini, maka ada baiknya untuk senantiasa menggali atau mengeksplorasi pola, tatanan ruang-ruang arsitektural dan ornamen atau ragam hias yang khas dimiliki.
Adanya pemukiman tradisional Desa Julah, Sembiran, Sidatapa, Tigawasa dan lain-lain adalah beberapa di antara yang memiliki kekhasan tersebut, bisa dipakai sebagai referensi kajian.

Begitu pula banyak pura yang dulu dibangun memiliki karakter khas dalam tampilan bentuk maupun ornamen serta ragam hiasnya. Bukankah ini suatu aset yang bisa dikaji kembali, atau dikembangkan, tanpa menyisihkan "roh" yang terkandung di dalamnya? Mungkinkah ciri-ciri spesifik itu bisa diadopsi ke dalam beberapa rancangan arsitektur di kota Singaraja khususnya atau Buleleng umumnya, yang bisa memberi nuansa atau citra lokal? Dapatkah Buleleng (atau Singaraja) dikatakan sebagai salah satu kota di Nusantara yang banyak menyimpan bangunan peninggalan bersejarah, atau yang beralkulturasi dengan budaya berbagai etnis -- Belanda, Cina, Arab, hingga Bugis?


Zaman terus bergulir, tapi kadang melalui kenangan pula keberadaan wujud visual arsitektural turut memberi nilai-nilai pencerahan moral manusia, menuju peradaban yang lebih bijak dan mulia. Tempat di mana bercermin dan merefleksi diri, merenung sesaat atau berkontemplasi. Salah satunya, memberi makna akan keberadaan peninggalan-peninggalan arsitektur yang bernilai historis-religius. Penghargaan terhadap pelapisan makna yang tersingkap dan kandungan nilai-nilainya, adalah pula suatu upaya melanggengkan spirit patriotisme, kejujuran, kearifan pikir dan tindakan, serta meluhurkan budi pekerti, menuju pada kualitas moral manusia yang lebih baik.

* i nyoman gde suardana
source: BP
 
Pura Perancak : Cikal Bakal Dang Kahyangan di Bali

Perancak dikenal sebagai desa nelayan yang ada di pesisir selatan Jembrana. Di desa ini pula terdapat sebuah pura yang diyakini sebagai cikal bakal Pura Dang Kahyangan di Bali. Pura tersebut adalah Pura Dang Kahyangan Gede Perancak.
Bagaimana sejarah berdirinya Pura Perancak?
Apa saja yang dimohon pemedek saat bersembahyang di pura ini?


perancak4_wah.JPG


BERDIRINYA pura ini tidak bisa dilepaskan dari kedatangan Danghyang Dwijendra ke Bali. Hal itu diakui Mangku Gede Nyoman Sadra (65), pemangku di Pura Dang Kahyangan Perancak. Tetapi tahun berapa kedatangan Danghyang Dwijendra ke Bali tidak bisa dipastikan. Perkiraan yang sering dipakai adalah sekitar tahun 1015. Catatan sejarah yang bisa membuktikan ini pun belum ada.


Danghyang Dwijendra berhasil mencapai moksa. Ketika mencapai moksa, semua lontar mengenai beliau juga ikut moksa. ''Kami pun tidak berani memberi kepastian kapan sebenarnya beliau tiba untuk pertama kalinya di Perancak ini,'' jelas Mangku Gede Nyoman Sadra.
Saat tiba pertama kali di Desa Jembrana Pinggir Pantai (sebutan Perancak zaman dulu), Danghyang Dwijendra mengajak istrinya Ida Ayu Mas Keniten dan tujuh putra. Beliau dan keluarga datang dari tanah Belambangan, Jawa Timur.


Sesampai di Jembrana Pinggir Pantai, beliau bertemu I Gusti Ngurah Rangsasa di Pura Usang, sebuah pura di tepi pantai. Ngurah Rangsasa yang mengemban Pura Usang memaksa Danghyang Dwijendra untuk sembahyang. Jika tidak, bahaya akan mengancam Danghyang Dwijendra dan keluarga.


Awalnya, Danghyang Dwijendra menolak. Namun karena terus dipaksa, Beliau pun berkenan. Ketika Beliau me-mona dan meneng untuk bersemadi, pura tersebut roboh dan encak (hancur).


Ngurah Rangsasa pun ketakutan. Dia lari ke arah utara hingga di Sawe. Sampai menemui ajalnya, dia berada di Sawe. Hingga kini daerah tersebut dikenal dengan nama Sawe Rangsasa.

perancak1_wah.JPG


Sementara
itu, Danghyang Dwijendra membangun kembali pura yang encak tersebut dan melanjutkan kembali perjalanan. Lama-kelamaan pura tersebut dikenal dengan nama Pura Encak atau Purancak atau Perancak. Di pura inilah umat Hindu melakukan pemujaan untuk Danghyang Dwijendra.

Piodalan di pura ini dilaksanakan setiap Buda Umanis Anggara Kasih Medangsia atau 10 hari sesudah hari raya Kuningan.

Pura Perancak merupakan pusat Pura Dang Khayangan di Bali. ''Di sinilah pertama kali Danghyang Dwijendra mendarat dan mulai melakukan perjalanan. Bisa dikatakan mulai dari Pura Perancak-lah cikal bakal Pura Dang Kahyangan di Bali,'' tandas Mangku Gede yang didampingi Mangku Istri Ni Ketut Sodri.

Sepengetahuan Mangku Gede, sudah dua kali dilaksanakan upacara Ngenteg Linggih di pura ini. Ngenteg linggih yang terakhir dilaksanakan sekitar delapan tahun silam usai pemugaran utama mandala. Sebelumnya utama mandala berada di madya mandala yang sekarang. Karena lokasi kecil dan umat yang datang terus bertambah, areal pura pun diperluas. Rencananya, madya mandala juga akan mengalami perbaikan.

Di utama mandala terdapat bangunan pelinggih Ratu Nyoman, pengayatan Besakih, pelinggih Batara Perancak, Meru Tumpang Tiga, Dewa Ayu Melanting, Padmasana, Gedong, Taksu dan Pengaruman. Di bagian depan utama terdapat tiga kori dan sepasang patung buaya kuning dan hitam. Buaya ini dipercayai sebagai kendaraan Ida Batara.

Mohon Keselamatan jika Bepergian Jauh
mangku%20gede_wah.JPG

PURA
Perancak terletak di pinggir laut, kira-kira 19 km dari dari kota Negara. Pengemong Pura Dang Kahyangan Gede Perancak ini terdiri atas tujuh desa yakni Perancak, Yeh Kuning, Sangkaragung, Budeng, Dauhwaru, Batuagung dan Dangin Tukadaya. Setiap enam bulan sekali ketujuh desa ini secara bergantian melakukan piodalan.

Para pemangku dari semua desa ini juga ngayah saat piodalan. Sehari-harinya, selain Mangku Gede dan Mangku Istri, di pura ini juga ada Mangku Alit Nyoman Sena dan Ni Ketut Mudri.
sumur%20baja_wah.JPG


Pada saat piodalan, umat yang datang tidak hanya dari tujuh desa itu saja. Umat dari seluruh Bali dan yang ada di luar Bali juga berdatangan. Sebelum bersembahyang di pura, umat biasanya sembahyang dulu di pelinggih Tri Kona yang ada di sebelah barat. Persembahyangan di pelinggih ini diartikan sebagai penyucian sebelum memasuki utama mandala.

Keberadaan pelinggih Tri Kona ini, menurut Mangku Gede, berawal dari aktivitas para menega atau nelayan Desa Perancak. Sebelum berangkat melaut, mereka mengaturkan bakti memohon keselamatan dan mendapat banyak rezeki. Agar lebih mudah, mereka pun membuat pengayatan. Dengan menganturkan canang, para menega ini bersembahyang mohon keselamatan.

Hal ini pun dipercayai umat yang bukan menega. Setiap akan melakukan perjalanan jauh, mereka bersembahyang di Pura Perancak. ''Umat yang akan berangkat jauh apakah ke luar Bali atau ke luar negeri biasanya sembahyang. Mereka mohon keselamatan selama perjalanan dan mohon tuntunan Ida Batara,'' jelas Ni Ketut Sondri seraya menyebut warga Jembrana yang akan ke Jepang untuk bekerja juga sembahyang ke Pura Perancak.

Selain itu, petani dan subak juga pedek tangkil ke pura yang berada di tepian muara ini. Mereka datang untuk memohon agar hasil pertanian bisa lebih baik dan tidak ada hama yang mengganggu tanaman mereka. (wah)
source: BP
 
Pura Pekendungan

Pekendungan, Pura Hulunya Subak

Annad bhavanti bhutani
prajanyad
annasambhavah.
yadnyad
bhavati parjanyo
yadnyah
karmasamudbhavah. (Bagawad Gita III. 14)

Maksudnya: Makhluk berkembang karena makanan. Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berkembang karena air hujan. Air hujan muncul karena yadnya dan yadnya itu adalah karma.

pekendungan3.JPG

AIR
, bahan makanan dan kata-kata bijak adalah tiga Ratna Permata Bumi. Demikian dinyatakan dalam Canakya Niti Sastra XIII.21.

Pura
Subak sebagai media pemujaan terhadap Tuhan agar muncul kata-kata bijak dalam mengelola air dan bahan makanan. Munculnya Pura Subak sebagai pertanda bahwa di masa lampau kehidupan petani mendapatkan perhatian yang sangat serius dari masyarakat petani maupun penguasa pada saat itu.

Tanpa
air tidak ada tumbuh-tumbuhan sebagai bahan makanan manusia dan hewan. Air dan bahan makanan sumber alam yang paling menentukan hidup dan kehidupan umat manusia. Tanpa kata-kata bijak kedua sumber alam itu akan dirusak dan menjadi bahan pertengkaran manusia. Seperti dewasa ini air digunakan melebihi kemampuan yang disediakan alam. Demikian juga bahan makanan diolah untuk mendapatkan keuntungan sepihak dan merugikan konsumen, karena diracuni zat-zat kimia berbahaya.

Sabda
Tuhan merupakan sumber dari kata-kata bijak. Kata-kata bijak akan diturunkan oleh Tuhan melalui perantara orang suci. Mengelola air dan bahan makanan itu hendaknya dengan kata-kata bijak.

Pura
Subak seperti Pura Pekendungan di Tabanan sebagai media memuja Tuhan untuk membangun jiwa yang tenang. Dari ketenangan itulah kata-kata bijak dapat dituangkan menjadi kebijakan menata kehidupan yang sejahtera lewat pertanian dalam arti yang luas.

Pura
Luhur Pekendungan yang berada di Desa Braban ini adalah hulunya semua Pura Subak di Kediri, Tabanan atau Pura Ulun Suwinya para petani di daerah sana.

Namun
kemudian, perkembangan pura ini ada hubungan dengan tirthyatra Danghyang Dwijendra ke Bali. Saat beliau sedang berada di pantai Desa Beraban, datanglah Bendesa Beraban mohon petunjuk atas wabah yang sedang berjangkit di desanya. Danghyang Dwijendra pun menyampaikan kata-kata bijaknya untuk dijadikan petunjuk dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat desa. Salah satu petunjuk beliau adalah untuk memperluas dan meningkatkan fungsi Pura Subak di Desa Beraban itu sebagai media pemujaan pada Dewa Kesuburan yaitu Lingga-Yoni. Di samping itu, Danghyang Dwijendra juga memberikan sebuah keris yang mengandung kekuatan magis religius untuk dijadikan sarana mendapatkan kekuatan suci. Keris dalam bahasa kawinya adalah duhung. Dari kata duhung inilah muncul istilah Pakaduhungan. Kemudian pura tersebut bernama Pura Luhur Pekendungan.

Keris
yang diberikan oleh Dang Hyang Dwijendra itu sampai saat ini masih ada disimpan di Puri Kediri. Ketika ada pujawali di pura tersebut yang jatuh setiap hari raya Kuningan, keris itu distanakan di pelinggih utama. Pelinggih yang paling utama di Pura Luhur Pekendungan berupa Pelinggih Meru Tumpang Pitu. Di pelinggih inilah dijumpai bulatan Lingga bagian dari Siwabhaga. Pemujaan Tuhan dengan sarana Lingga-Yoni ini sebagai pemujaan Tuhan sebagai Dewa Kesuburan pertanian. Di Pura Luhur Pekendungan ini banyak sekali ada Pura Pesimpangan. Di sebelah selatan pelinggih utama terdapat pelinggih pesimpangan Pura Tanah Lot. Di sebelah utara pelinggih utama terdapat pelinggih meru, pesimpangan Pura Sakenan. Di timur laut terdapat pelinggih pesimpangan Pura Luhur Uluwatu. Juga di timur lautnya terdapat pesimpangan Pura Batukaru. Di Pura Luhur Pakendungan ini juga ada pesimpangan Pura Rambut Siwi, Jembrana. Di sebelah tenggara pelinggih utama terdapat pesimpangan Gunung Agung yang diapit oleh pesimpangan Uluwatu dan Pura Batukaru. Di bagian utara terdapat pelinggih pesimpangan Pura Sri Jong berjajar dengan pesimpangan Pura Rambut Siwi.

Pura
ini diemong oleh sembilan desa yaitu Desa Abian Tuwung, Desa Kediri, Desa Anyar, Desa Nyitdah, Desa Pejaten, Desa Belang, Desa Pandak Bandung, Desa Pandak Gede dan Desa Beraban. Meskipun demikian siapa pun umat Hindu dapat bersembahyang di pura ini sepanjang memenuhi syarat-syarat umum dalam melakukan persembahyangan di pura untuk memuja Tuhan dalam berbagai manifestasinya. Adanya banyak pelinggih pesimpangan di Pura Luhur Pekendungan ini menandakan betapa seriusnya masyarakat Kediri umumnya dan Desa Braban khususnya untuk membangun nilai-nilai spiritual Hindu sebagai dasar menata kehidupan bersama yang bercorak agraris di daerah Kediri dan Tabanan pada umumnya.
* Ketut Gobyah
source: BaliPost

Sebagai Penjaga Wilayah dan Pusat Kemakmuran

Pura Luhur Pekendungan merupakan salah satu pura tua di Bali yang lokasinya berada di objek wisata Tanah Lot, Kediri, Tabanan. Sanghyang Sadhana Tra adalah personifikasi Tuhan yang dipuja di pura yang berfungsi sebagai penjaga wilayah dan kemakmuran negeri ini. Sebagai pusat kemakmuran, pura ini mendapat perhatian yang penting dari seluruh subak di Tabanan. Hari raya Kuningan merupakan piodalan di pura yang memiliki kisah dengan kerisnya Ki Baru Gajah ini. Tumpek Kuningan 28 Maret 2009 mendatang akan digelar piodalan, namun rangkaiannya telah dimulai sejak beberapa hari belakangan ini.

DALAM Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul Pura Luhur Pekendungan disebutkan, pura ini selesai dibangun pada Isaka Warsa 1330 tahun 1408 Masehi. Dalam purana itu disebutkan pula bahwa pura ini patut disungsung oleh seluruh umat Hindu di Bali, termasuk pucuk pemerintahan. Sebab, dalam sejarah pendiriannya, pura ini dibangun dengan fungsi sebagai penjaga wilayah agar selamat, negara makmur, pemerintahan stabil, dan kehidupan penduduk yang tenang.

Menurut sejumlah catatan, pura selesai dibangun dilakukan upacara pada hari Sabtu Kliwon, Kuningan sampai Wuku Merakih, Sasih Kelima, Isaka warsa 1330 tahun 1408 Masehi. Pada 13 Mei 2006 lalu, tepatnya Saniscara Kliwon Kuningan, di Pura Pekendungan diselenggarakan karya agung mamungkah, ngenteg linggih, mupuk pedagingan, pedudusan agung, tawur agung, ngusaba lan nangluk merana. Jika merana (hama) menyerang kawasan pertanian di Tabanan, subak biasanya menggelar serangkaian upacara di Pura ini guna memohon agar pertanian mampu diselamatkan. Air (tirta) dari pura ini diyakini mampu menanggulangi keberadaan hama dan penyakit petani.

Keberadaan pura ini berhungan dengan keris Ki Baru Gajah yang kini di-stana-kan di Puri Kediri, Tabanan. Keris ini merupakan pemberian Dahyang Dwijendra kepada Ki Bendesa Braban yang tiba di Bali pada tahun Isaka 1411. Berdasarkan Lontar Kundalini Tatwa, pada saat kedatangan Danyang Dwijendra ke pulau kecil Let (Tanah Lot) para nelayan berdatangan menghadap. Keesokannya di Pura Pekendungan, Ki Bendesa Braban menghadap sang pendeta di pura tersebut. Saat itu, Ki Bendesa menceritakan bahwa desa pakramannya diganggu oleh Ki Bhuta Babahung sehingga banyak penduduk yang menjadi korban. Selanjutnya, Ki Bendesa memohon kepada Pedanda Sakti Wawu Rawuh agar membantu menghadapi kesulitan yang dialaminya. Mendengar permohonan itu, sang Pendeta memberikan keris yang bernama Ki Baru Gajah miliknya untuk mengalahkan Ki Bhuta Babahung. Selain itu, Danghyang Dwijendra menitahkan agar keris tersebut diaturkan sesaji di pura tersebut, sebab dapat pula dipakai sebagai penolak hama segala tanaman petani.

Hingga kini, setiap piodalan atau jika ada upacara tertentu, keris Ki Baru Gajah akan di-pendak di Puri Kediri untuk selanjutnya akan dibawa ke Pura Luhur Pekendungan. Selain sebagai tempat memohon kelangsungan pertanian bagi krama subak, pura ini juga diyakini sebagai media memohon kemakmuran, kesejehteraan dan kerahayuan jagat. Saat piodalan selain warga Tabanan, sejumlah umat juga berdatangan untuk melakukan persembahyangan. (upi)
 
Pura Meru

103-P1100263.jpg


Pura Meru, sebuah karya besar dan mengagumkan, terletak berseberangan dengan Taman Mayura dan dibangun bersamaan pada tahun yang sama (1720); letak Pura ini di tengah kota Cakranegara, mudah dijangkau, banyak kendaraan umum dan dekat dengan hotel, baik hotel berbintang maupun hotel-hotel Melati.

Pura Meru, terletak di tengah Kota Cakranegara dibangun pada tahun 1720 di bawah pangawasan Anak Agung Gde Karang Asem salah satu Raja Karang Asem yang dapat menguasai sebagian Wilayah Pulau Lombok, berkuasa pada tahun 1740 -1894.

Pura ini merupakan Pura besar di P. Lombok dan salah satu Pura yang sangat menarik dan Indah, Pura Meru dibangun dengan maksud untuk tempat bersembahyang umat Hindu di Lombok, Pura Meru terdiri tiga halaman yang luas mebentang dari arah barat ke timur, halaman paling barat terdapat Rumah "Kulkul" atau Kentongan, halaman tengah terdapat dua buah bangunan besar yang beundak-undak (tangga); bangunan ini digunakan untuk tempat menyusun sesaji untuk Upacara dan Sembahyangan sedangkan halaman paling timur terdapat bangunan tiga buah menara menjulang tinggi yang terdiri dari susunan atap yang khas dan unik, sebelas susun atap pada menara tengah, dan sembilan susun pada menara kiri dan kanan, merupakan simbol dari Dewa Shiwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma.

Untuk menuju lokasi Pura Meru sangat mudah, karena terletak ditengah-tengah kota dan banyak kendaraan umum yang melaluinya. Selain Taxi, kendaraan umum yang dapat dipergunakan adalah ANGKOT (bemo) angkutan rakyat yang banyak beroperasi di jalan, dengan tarif relatif murah dan kendaraan tradisional CIDOMO, atau kereta kuda. Jarak tempuh dari Pelabuhan Lembar ± 20 km, sedangkan dari Pelabuhan Udara SElaparang ± 5 km.
 
Pura Dalem Balingkang

Melacak Ihwal Pura Dalem Balingkang

REDITE Umanis Warigadian hari upacara piodalan di Pura Dalem Balingkang, Desa Pinggan, Kintamani, Bangli. Lokasinya, dari Denpasar mengikuti jalur Denpasar-Singaraja lewat Kintamani, dan di Pura Pucak Panulisan menuju arah timur laut kira-kira 15-20 km. Tempatnya sangat unik dikelilingi Sungai Melilit, yang dianggap sebagai benteng utama menuju ke Kerajaan Balingkang. Bagaimana sesungguhnya ihwal Pura Dalem Balingkang ini?

----------
subandar01.jpg

Dalam Prasasti Sukawana (Goris, 1954) disebut, Desa Sukawana diserang hujan badai dan Keraton Jaya Pangus hancur, sehingga jong les pindah ke Balingkang. Keberadaan Pura Dalem Balingkang (PDB) sebagai pura maupun sebagai Keraton Raja Bali Kuna tercatat pula dalam "Pengeling-eling Desa Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng" yang dikeluarkan oleh Raja Jaya Kasunu sekitar abad ke-11. Ia tercatat sebagai leluhur Raja Jaya Pangus Harkajalancana.

Masyarakat Bali dewasa ini terbagi menjadi dua kelompok utama -- Bali Mula (Aga) dan Bali Majapahit. Prof. Dr. I Gusti Bagus (alm.) dalam tulisannya "Kebudayaan Bali" (1979) menyebut, masyarakat Bali Mula mendiami daerah pegunungan di Bali, sedangkan Bali Majapahit mendiami daerah dataran. Bahasanya pun berbeda, disebut "omong negari" dan "omong pojol" oleh masyarakat Bali Mula.


Dua Permaisuri
Dalam konteks PDB, nama balingkang berasal dari kata "bali + ing kang". Secara tuturan dan bukti tertulis, ini dikaitkan dengan pernikahan Raja Jaya Pangus Harkajalancana yang memerintah pada tahun saka 1103-1191 atau 1181-1269 Masehi. Raja Jaya Pangus punya dua permaisuri, Paduka Bhatari Sri Parameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Cacangkaja Cihna -- (Cihna-Cina). Dalam cerita rakyat yang berkembang disebut, istri Cinanya bernama Kang Ci Wi, putri Tuan Subandar pedagang dari Cina. Maka digabunglah Bali-Ing-Kang jadi Balingkang.

Masyarakat Bali Kuna di sekitar Danau dan Gunung Batur tercatat amat sulit ditundukkan oleh Raja Sri Kresna Kepakisan yang ditempatkan oleh Maha Patih Gajah Mada. Sampai dewasa ini, mereka amat sulit terpengaruh oleh budaya Hindu Majapahit. Sampai tahun 2006 ini, Pura Pucak Panarajon belum mau menggunakan Ida Pedanda sebagai Sang Trini-nya, tetap menggunakan Jro Mangku dan Jro Kebayan dengan upacara podgala atau mewinten pang solas.

Masyarakat Bali Mula di sekitar Danau Batur menyebut dirinya dengan Gebog Domas (Kelompok Delapan Ratus). Kelompok ini dibagi jadi empat bagian Gebog Satak (Dua Ratus) Sukawana, Kintamani, Selulung dan Bantang. Kelompok ini memiliki Tri Kahyangan yakni (1) Pura Pucak Panarajon sebagai pusatnya terletak di Sukawana, Kintamani, dengan tiga tingkatan pura yang disebut Gunung Kahuripan. Tingkatannya, Pura Panarajon (Ida Bhatara Siwa Sakti), Pucak Panulisan (sejajar dengan pusat pemerintahan -- dulu sebagai keraton Raja Jaya Pangus), dan Pucak Wangun Hurip (simbol membangun kehidupan.

(2) Pura Bale Agung di Sukawana dengan Ida Bhatara Ratu Sakti Kentel Gumi, setara dengan Bhatara Brahma, (3) Pura Pusering Jagat -- Pura Puseh Panjingan di Desa Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng, berstana Ida Ratu Sakti Pusering Jagat setara dengan Bhatara Wisnu, dan (4) Pura Dalem Balingkang berstana Ida Dalem Kepogan (Dalem Balingkang) setara dengan Dewa Siwa.

Kelompok Satak Sukawana terdiri atas beberapa desa di Kecamatan Kintamani dan Tejakula, Buleleng. Sebagai ikatan yang padu, Desa Pinggan ditugaskan oleh Sukawana sebagai kesinoman membawa surat ke kelompok Tejakula. Di Sukawana banyak ada peninggalan tanah pelaba pura, serta di Balingkang ada 175 ha. Rupanya secara diam-diam keduanya saling menguasai tanah itu.

Pada 1960, Sukawana menugaskan Pinggan mengirim surat ke kelompok Buleleng Timur. Surat itu "disembunyikan" sehingga semua warga Buleleng tak tahu ada upacara di Panarajon. Ini berlangsung sampai 1963, sehingga pada 1964 Sukawana malu menugaskan Pinggan. Akhirnya, kelompok pemuja PDB pada 1964 yakni Pinggan, Siakin, Tembok, Gretek Sambirenteng, Les-Penuktukan menyatakan keluar dari kelompok Sukawana dan membuat kelompok baru bernama Gebog Satak Balingkang.

Lalu, sejak 1964 kelompok pemuja Pura Pucak Bukit Indra Kila, Desa Dausa, Kintamani juga melepaskan diri dari Pura Panarajon.

PDB yang dipuja kelompok Gebog Satak Balingkang, juga dipuja oleh warga masyarakat di sekitar Desa Petak, Gianyar. Ini terjadi karena ada hubungan historis dengan keluarga Puri Petak Gianyar. Secara faktual, di utama mandala bagian sisi selatan ada kompleks bangunan pura lengkap dengan sanggar agung, meru 11 (tingkat 11), sebagai pemujaan Ida Dalem Klungkung (Raja Klungkung) dan meru 9 (tingkat 9) sebagai pemujaan pada Ida Dalem Bangli (Raja Bangli).

Menurut Ida Cokorda Dalem Balingkang dalam disertasinya di Surabaya pada 1989, menyebut tentang keberadaan leluhurnya di PDB serta fungsi meru 11 dan meru 9 di utama mandala. Dituturkan, semua itu ada kaitan dengan saat sesudah penyerbuan Panji Sakti ke Bintang Danu pada 1772. Waktu itu, Dewa Agung Mayun Sudha adalah Raja Pejeng, Gianyar. Ia diserang oleh penguasa dari Puri Blahbatuh, Puri Peliatan, Puri Gianyar, dan Puri Ubud.

Karena lawannya banyak, pasukan Puri Pejeng terdesak. Dewa Agung Mayun Sudha yang merasa terdesak, bersama piluhan anak buahnya lari menyelamatkan diri ke arah pegunungan. Rombongan ini bersembunyi di sekitar PDB yang saat itu bangunannya telah terbakar, tinggal dasarnya saja. Bersama rombongannya, Dewa Agung Mayun Sudha memimpin merabas hutan seluas 175 ha. Ia mengajak warga membangun kembali PDB sehingga pelan-pelan menjadi lengkap.

Setelah puranya dibangun, diadakanlah upacara dengan dukungan Raja Bangli serta Raja Klungkung. Akhirnya, hubungan Dewa Agung Mayun Sudha dengan Raja Bangli dan Raja Klungkung makin baik. Suatu hari, Dewa Agung Mayun Sudha memohon bantuan pada Raja Bangli dan Klungkung akan merebut kembali kerajaannya. Disarankan, agar diserang Desa Petak dulu, sebagai tempat berpijak. Dengan bantuan pasukan Raja Klungkung dan Bangli, Desa Petak yang terdiri atas sepuluh dusun dapat dikuasai, sehingga Dewa Agung Mayun Sudha berkuasa di sana.

Untuk mengenang dan memuliakan Ida Bathara Dalem Balingkang, maka Dewa Agung Mayun Sudha bergelar Ida Cokorda Putra Dalem Balingkang. Sampai saat ini, keluarga Puri Petak menjadi pemuja utama di PDB, selain Gebok Satak Balingkang.



Struktur Pura

Struktur PDB termasuk unik, karena dulu konon dijadikan istana raja yang menghindari serangan raja lainnya. Dalam beberapa pustaka ada disebut, PDB sebagai istana Raja Maya Danawa. Raja ini dikalahkan oleh Bathara Indra dari Tampaksiring. Namun dalam naskah lontar "Linaning Maya Danawa" dikisahkan Maya Danawa mati terbunuh oleh Ki Kebo Parud -- utusan Raja Kerta Negara yang menyerang dari utara.

Dalam struktur PDB, di awal adalah kompleks Pura Tanggun Titi -- ujung jembatan dan ada sumber air. Di sumber air ini kerbau disucikan sebelum mepepada. Di kompleks Pura Tangun Titi ada pemujaan Ratu Ngurah Sakti Tanggun Titi, Ratu Mas Melanting, Ratu Sakti Gede Penyarikan, dan Sang Hyang Haji Saraswati. Kompleks kedua setelah melewati tanah lapang yang dulu difungsikan membangun tempat penginapan, ada bangunan cangapit, yakni pintu masuk yang dilengkapi tempat duduk raja saat menyaksikan jro gede mepada mengelilingi pura.

Di jaba tengah, tak banyak bangunan, hanya ada paruman agung, stana Ida Bhatara Sami, serta palinggih Ratu Ayu Subandar. Palinggih ini sebagai pemujaan pada Kang Ci Wi dan ini amat diyakini oleh masyarakat Cina membawa berkah. Di kompleks utama atau jeroan, dibangun pemujaan Puri Agung Petak dengan meru 11 dan meru 9. Juga dibangun pemujaan Dalem Balingkang dengan gedong bata dan meru 7 -- ini mengingatkan pada Sapta Dewata. Ada pula bangunan balai panjang bertiang 24, bertiang 20, dan balai mundar-mundar bertiang 16 (dibagi empat sisi, masing-masing bertiang 4).

* jro mangku
i ketut riana
source: BP
 
@GoesDun,
Wah bagus banget bro pura Meru nya. Kaya Pagoda ya bro...:D
Tingginya berapa tuh bro...
 
Meru, Bangunan Monumental Tahan Gempa
MeruPB.JPG


Meru merupakan salah satu bangunan suci umat Hindu di Bali, yang sangat agung, megah dan monumental, sarat dengan kandungan makna simbolis dan kekuatan religius.
Meru dijumpai pada pura-pura besar di Bali dengan ciri khasnya adalah atapnya yang bertumpang tinggi. Meru tidak hanya dijumpai di pura-pura di Bali, tapi juga pada upacara-upacara ngaben (kremasi) di Bali sebagai wadah sawa atau watang (mayat) pada upacara pitra yadnya. Apa sesungguhnya makna dan fungsi, serta bagaimana tata letak, bentuk, sampai ornamen meru?
---------------------------
MERU dibangun berdasarkan pada keakuratan proporsi, logika teknik konstruksi dan keindahan ragam hias, yang berpegang teguh kepada kearifan lokal arsitektur tradisional Bali seperti Hasta Kosala Kosali, Hasta Bumi, Lontar Andha Buana, Lontar Jananthaka, dll. Konstruksi meru merupakan konstruksi tahan gempa yang telah teruji keandalannya. Gempa yang sangat dahsyat dengan kekuatan yang sangat besar yang pernah terjadi di Bali (seperti di Seririt, Buleleng), dimana bangunan konstruksi modern banyak yang roboh, namun bangunan-bangunan suci di Bali -- khususnya meru -- masih berdiri dengan kokoh, kuat, stabil, dan tegak.

Makna dan Fungsi
Meru, didasarkan kepada kutipan yang tercantum pada lontar-lontar warisan leluhur seperti Lontar Andha Bhunana, mengandung makna simbolis atau filsafat sbb.;
"Matang nyan meru mateges, me, ngaran meme, ngaran ibu, ngaran pradana tattwa; muah ru, ngaran guru, ngaran bapa, ngaran purusa tattwa, panunggalannya meru ngaran batur kalawasan petak. Meru ngaran pratiwimbha andha bhuana tumpangnya pawakan patalaning bhuana agung alit." Artinya, "Oleh karena itu meru berasal dari kata me, berarti meme = ibu = pradana tattwa, sedangkan ru berarti guru = bapak = purusa tattwa, sehingga meru berarti batur kelawasan petak (cikal bakal leluhur). Meru berarti lambang atau simbol alam semesta, tingkatan atapnya merupakan simbol tingkatan lapisan alam yaitu bhuana agung dan bhuana alit".
Jadi, berdasarkan keterangan dalam Lontar Andha Bhuana tersebut, meru memiliki dua makna simbolis yaitu meru sebagai simbolisasi dari cikal bakal leluhur dan simbolisasi atau perlambang dari alam semesta. Lebih lanjut diuraikan, meru punya dua makna sbb.;
1. Meru sebagai perlambang atau perwujudan dari Gunung Mahameru -- gunung adalah perlambang alam semesta sebagai stana para Dewata, Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) atau Papulaning Sarwa Dewata. Meru mempunyai makna simbolis dari gunung juga diuraikan dalam Lontar Tantu Pagelaran, Kekawin Dharma Sunia dan Usana Bali. Dalam hal ini, meru sebagai Dewa Pratista -- berfungsi sebagai tempat pemujaan atau pelinggih para Dewa. Meru sebagai Dewa Pratista terdapat dalam kompleks pura seperti Pura Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat dan Kahyangan Tiga.
2. Meru melambangkan "Ibu" dan "Bapak" sebagaimana diuraikan dalam Lontar Andha Bhuana. Ibu mengandung pengertian Ibu Pertiwi yaitu unsur pradhana tattwa dan Bapak mengandung makna "Aji Akasa" yaitu unsur purusa tattwa. Manunggalnya pradhana dan purusa itulah merupakan kekuatan yang maha besar yang menjadi sumber segala yang ada di bumi. Inilah yang merupakan landasan bahwa meru berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur di kompleks pura-pura Pedarman Besakih. Di sini, meru sebagai Atma Pratista yaitu berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur atau sebagai stana Dewa Pitara.
Berdasarkan uraian itu, kesimpulannya, meru bermakna sebagai perlambang Gunung Mahameru, perlambang Tuhan Yang Maha Esa (alam semesta) dan "Ibu Bapak" (purusa pradhana), berfungsi sebagai tempat pemujaan atau stana para dewa-dewi, betara batari, dan roh suci leluhur. Hal ini lebih tegas juga diuraikan dalam Lontar Purana Dewa, Kesuma Dewa, Widhi Sastra, Wariga Catur Winasa Sari dan Jaya Purana.

Filosofi Atap
Keindahan dan keagungan meru ditonjolkan oleh bentuk atapnya yang bertingkat-tingkat yang disebut atap tumpang. Ini dapat dibedakan atas meru tumpang satu, dua, tiga, lima, tujuh, sembilan, dan sebelas.
MeruPK.JPG


Meru sebagai perlambang atau simbolis alam semesta, tingkatan atapnya merupakan simbolis tingkatan lapisan alam yaitu bhuana agung (alam besar atau makrokosmos) dan bhuana alit (alam kecil atau mikrokosmos) dari bawah ke atas sebanyak sebelas tingkatan. Tingkatan tersebut yaitu 1 = Sekala, 2 = Niskala, 3 = Cunya, 4 = Taya, 5 = Nirbana, 6 = Moksa, 7 = Suksmataya, 8 = Turnyanta, 9 = Ghoryanta, 10 = Acintyataya, dan 11 = Cayen. Ada juga meru beratap 21, namun biasanya ini dapat dilihat pada wadah atau bade pada saat ada upacara ngaben di Bali.
Meru "khusus" ini memiliki pengertian Dasa Dewata sebagai dasar pokok, kemudian ditambah 11 tangga atma sebagai kelanjutannya.


Tingkatan-tingkatan atap meru adalah simbolisasi penyatuan dasa aksara (huruf suci) sebagai urip (jiwa) dari meru atau alam semesta.
Sepuluh huruf suci ini merupakan urip bhuana yang letaknya di 10 penjuru alam semesta termasuk di tengah. Ke-10 huruf itu adalah huruf suci sa (letaknya di timur, dewanya Iswara dan warnanya putih), ba (selatan, Brahma, merah), ta (barat, Mahadewa, kuning) a (utara, Wisnu, hitam), i (tengah, Ciwa, campuran atau panca warna, na (tenggara, Mahesora, merah muda atau dadu), ma (barat daya, Rudra, jingga), si (barat laut, Sangkara, hijau), wa (timur laut, Sambu, biru) dan ya (tengah atas, Ciwa, panca warna).
Penunggalan 10 huruf itu menjadi satu lambang aksara suci bagi umat Hindu yaitu Omkara (huruf suci Sanghyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa). Sedangkan pengejawatahan ke-10 huruf suci dan huruf suci Omkara dalam meru diuraikan sbb.:

* Meru beratap 11 adalah lambang dari 11 huruf suci -- 10 huruf suci + huruf suci Omkara sebagai lambang Eka Dasa Dewata.
* Meru beratap 9 adalah lambang 8 huruf di seluruh penjuru (sa, ba, ta, a, na, ma, si, wa) + satu huruf Omkara di tengah, 9 huruf itu lambang Dewata Nawa Sanga.
* Meru beratap 7 adalah lambang 4 huruf (sa, ba, ta, a) + 3 huruf di tengah (i, Omkara, ya). Ini lambang Sapta Dewata/Rsi.
* Meru beratap 5 adalah simbolis dari 5 huruf (sa, ba, ta, a) + satu huruf Omkara di tengah. Ini lambang Panca Dewata.
* Meru beratap 3 adalah simbolis dari 3 huruf di tengah (i, Omkara, ya), merupakan lambang Tri Purusa yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa.
* Meru beratap 2 adalah simbolis dari dua huruf di tengah (i, ya) adalah lambang dari Purusa dan Pradhana (Ibu-Bapak).
* Meru beratap satu adalah simbolis dari penunggalan ke-10 huruf suci itu yaitu "Om" atau Omkara sebagai perlambang Sang Hyang Tunggal (Sanghyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa).

Bentuk sampai Ornamen

Meru secara tata letak berada pada tempat pemujaan di halaman utama (jeroan) dari suatu pura. Dari segi orientasi, meru umumnya menghadap ke barat sebagai tempat pemujaan utama berderet pada sisi timur dari utara ke selatan (kaja-kelod) dengan bangunan-bangunan padma, gedong, dan pemujaan suci lainnya sehingga arah pemujaan menghadap ke timur ke arah matahari terbit. Namun di beberapa pura di Bali, terkait dengan kondisi alam dan filosofis khusus dari pura bersangkutan, ada meru yang menghadap ke selatan seperti Pura Kehen, Bangli, dan menghadap timur laut seperti Pura Uluwatu, Badung, sehingga arah pemujaannya menghadap ke ke utara (Pura Kehen) dan dan barat daya (Pura Uluwatu).
Dari segi bentuk, meru seperti bangunan suci lainnya dibedakan atas bagian kepala (atap), badan (ruang pemujaan atau tempat meletakkan pratima), dan kaki (bebaturan) atau yang dikenal dengan konsep Tri Angga. Walaupun meru dapat dibagi atas tiga bagian (kaki, badan, dan kepala), namun secara proporsi dan penyelesaiannya sangat berbeda. Dalam penyelesaian proporsi bebaturan, tampak badan (ruang pemujaan), penyelesaian tumpang atap meru dan penggunaan ornamen serta bahannya pun sangat bervariasi sesuai dengan kondisi masing-masing daerah di Bali.
Ini berdasarkan pengamatan pada meru yang ada di kompleks Pura Besakih, Pura Batur, Pura Taman Ayun, Pura Kehen, Pura Danau Beratan, dll. Sedangkan dari segi dimensi, denah meru berbentuk segiempat dengan ukuran dasar bervariasi, 5m x 5m, 3m x 3m, sampai 7m x 7m dan tingginya pun bervariasi sampai mencapai 10m, bahkan lebih tergantung jumlah tumpang atapnya.
Bagian badan ditutup dengan menggunakan bahan kayu atau pasangan batu bata, batu kali, paras atau batu karang (sesuai kondisi lokasi) dan di dalamnya terdapat pepaga (altar) atau bale-bale yang berfungsi sebagai tempat menaruh pratima berupa lingga, arca, patung dewa-dewi sebagai simbol sinar manifestasi kekuatan Hyang Widi Wasa dan sesajen pada saat upacara berlangsung serta dilengkapi dengan pintu masuk untuk manusia yang melakukan persembahyangan di dalam ruangan atau badan meru. Karakter pada ruang pemujaan ini memiliki sifat vertikalisme yang tinggi, sehingga seakan-akan orang ditarik ke atas. Hal ini disebabkan oleh pengaruh bentuk ruang di dalamnya yang menerus dari bawah ke atas, sehingga terjadi tarikan udara ke atas yang dihembuskan menerebos melalui celah-celah antartumpang atap meru.
Dari segi bentuk bebaturan (kaki), meru dibedakan atas meru dengan bebaturan tinggi dan pendek. Dari segi stabilitas massa, maka bentuk meru dengan batur pendek akan lebih stabil dibandingkan batur tinggi. Kestabilan ini erat kaitannya dengan titik berat massa bangunan. Umumnya, meru dengan batur pendek banyak dijumpai pada pura-pura di pegunungan. Di samping lebih stabil, juga karena hiasan ornamen atau ragam hias pada bebaturan-nya akan lebih sedikit atau lebih ekonomis. Namun secara umum, bentuk dan dimensi dari meru didasarkan kepada aturan Hasta Kosala Kosali sehingga menghasilkan keharmonisan antara ketepatan proporsi, kekuatan konstruksi dan keindahan ragam hias.
Ornamen pada meru hampir serupa dengan bangunan suci pura lainnya yang sarat dengan kekarangan dan pepatraan yang menunjukkan keharmonisan manusia dengan alamnya yaitu melambangkan flora dan fauna. Pada ujung atap limas meru yang digolongkan ke bagian kepala, umumnya ditemukan ornamen yang disebut murdha seperti murdha bantala pada meru di Pura Besakih. Pada bagian badan meru, terutama pada bagian atas pintu gedong, biasanya terdapat ornamen karang sae. Daun pintunya biasanya memakai ukiran bermotif patra olanda. Selanjutnya pada sendi atau tatakan saka (kolom) memakai patung singa seperti yang terdapat di meru Pura Besakih, atau ada juga yang memakai sendi biasa seperti yang terdapat pada meru di Pura Batur.
Ornamen yang terdapat pada bagian bebaturan berupa pepalihan, karang asti atau karang gajah pada setiap sudut, karang tapel pada bagian tengah di keempat sisi pada bagian paling dasar di atas tepas hujan. Kemudian pada bagian atasnya terdapat karang goak di keempat sudut dan karang bunga dan simbar gantung pada bagian tengah. Ornamen berupa patung naga dan bedawang nala (kura-kura) biasanya dapat dilihat pada bagian dasar kaki dan tangga meru. Naga dan kura-kura sebagai perlambang kemakmuran. Juga dilengkapi patung-patung lain sesuai dengan kondisi masing-masing pura seperti arca dewa, arca manusia, dan lain-lain.
* nk acwin dwijendra
Nama lengkap penulis adalah Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, ST, MA., dosen Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Udayana.
source: BP
 
@GoesDun,
Sedangkan dari segi dimensi, denah meru berbentuk segiempat dengan ukuran dasar bervariasi, 5m x 5m, 3m x 3m, sampai 7m x 7m dan tingginya pun bervariasi sampai mencapai 10m, bahkan lebih tergantung jumlah tumpang atapnya.

Paling tinggi 10 meter ya bro...? Ko ga tinggi ya ? Hanya setinggi bangunan 2 tingkat ? Apa tiap2 bagian keatas itu bisa di tinggali ? Ataukah itu hanya design atap saja bro...?
 
@GoesDun,


Paling tinggi 10 meter ya bro...? Ko ga tinggi ya ? Hanya setinggi bangunan 2 tingkat ? Apa tiap2 bagian keatas itu bisa di tinggali ? Ataukah itu hanya design atap saja bro...?

Berdasarkan lontar-lontar, Meru adalah melambangkan gunung Mahameru yang merupakan stana/pelinggih dewa- dewi, bhatara- bhatari dan leluhur serta didesign sebagai atap saja.
 
Berdasarkan lontar-lontar, Meru adalah melambangkan gunung Mahameru yang merupakan stana/pelinggih dewa- dewi, bhatara- bhatari dan leluhur serta didesign sebagai atap saja.

@GoesDun,
Ooh.. I see.. Btw struktur bangunan seperti itu menarik sekali karena sirkulasi udaranya sungguh baik sekali. Thanks bro... Silakan di lanjut ya ....:)
 
Pura Maospahit Tatasan Tonja

50455324.JPG
maospahittonja02.jpg


Kita sering mendengar nama Wilwatikta di Jawa sedangkan di Bali lebih banyak digunakan Maospahit. Keduanya untuk maksud yang sama, yakni lebih mengangkat nama Majapahit. Bedanya kalau Wilwatika merupakan terjemahan sanskerta yang berkonotasi kemegahan dan petis sedangkan Maospahit merupakan penghalusan dari Majapahit bersifat filosofis-religius. Sifat yang terakhir ini lebih jelas lagi dengan adanya sebutan Batara Maospahit yang sering disediakan Pelinggih dengan hiasan kepala manjangan di komplek pura. Bahkan ada yang seluruh pura itu disebut Maospahit. Salah satunya adalah pura Maospahit Tatasan di desa Tonja, Kecamatan Denpasar Timur, Kabupaten Badung. Pura ini sangat mudah dicari karena hanya sejauh 2,5 km ke arah laut dari pusat kota Denpasar Bali.

Struktur dan fungsi bangunan
Pura Maospahit Tatasan Tonja bukanlah pura yang besar, namun mempunyai beberapa keistimewaan ditinjau secara arkeologis. Pura ini terdiri dari dua halaman, yakni halaman depan atau jabaan dan halaman belakang atau jeroan. Halaman belakang atau jeroan merupakan halaman utama. Susunan yang demikian mirip dengan candi-candi Jawa Timur.

Kalau akan memasuki jabaan kita harus melalui gerbang dalam bentuk candi belah atau candi bentar, kemudian menuju jeroan melalui kori agung dalam bentuk paduraksa.

Di jeroan kita dapatkan berbagai bangunan dan benda-benda suci dalam bentuk tajuk, gedong, bale, padmasana, pelinggih, kori dan lain-lain. Beberapa bangunan atau benda suci yang perlu kita kenali lebih jauh karena pentingnya ditinjau dari sudut arkeologis adalah meja batu, padupaan, prasada, batu pesiraman dan kolam.

Meja batu
Meja batu ini terbuat dari batuan jenis tuva breksi, monolit berwarna hitam, berbentuk bulat, berkaki, bercerat, terletak di atas bebatuan. Bebatuan itu berhiaskan kepala Banaspati, bunga teratai, gajah. Di samping meja batu terdapat pedupaan.

Meja batu semacam ini tidak umum terdapat pada pura, asal konteks budaya dan periodenya lain, justeru lebih tua yakni masa prasejarah.

Prasada
Prasada yang termasuk bangunan pokok bagi suatu pura, terdapat di pura Masopahit Tatasan ini. Denahnya segi empat bujur sangkar, terdiri atas kaki, badan dan atap yang makin ke atas makin meruncing serta bertingkat-tingkat. Bahannya dari batu-bata, batu padas, dan batu karang. Bata pada pura ini berukuran lebih besar dan lebih kuat dari pada bata sekarang. Jenis bata demikian disebut bata tipe Majapahit. Di jawa prasada seperti ini disebut candi. Prasada yang tingginya 7,60 m dan berdenah 2,20 x 2,20 m itu mempunyai ruang badannya (garbhadhatu), pintunya terbuat dari kayu. Hiasannya berbagai pepatraan dan kekarangan. Hiasan yang istimewa adalah porselin berupa piring-piring dan mangkuk-mangkuk yang disukkan kedalam lekukan pada permukaan kulit prasada. Hiasan semacam ini di Jawa tidak umum untuk candi tetapi pada bangunan-bangunan istana dan pemakaman pada masa awal perkembangan agama Islam.

Pintu dengan gambar-gambar singa, burung, kepala raksasa dan bingkai pintu sendiri, sering ditafsirkan sebagai candra sangkala yang menunjuk pada angka tahun 1295 Saka atau 1373 M.

Batu Pesiraman
Pepalungan batu ini ditaruh di sebelah barat laut meja batu. Bentuknya agak lonjong ditempatkan di atas bebaturan bata yang rendah. Menilik bentuk dan bahannya batu pesiraman ini adalah dolmen dari tradisi megalitik juga.

Kolam
Kolam yang terdapat di jeroan ini diasosiasikan dengan lautan susu tempat bersemayamnya tirta amerta, atau menurut keyakinan masyarakat setempat berfungsi sebagai tempat pemandian bidadari.

Lintasan Sejarah
Pura pada dasarnya adalah tempat peribadatan agama Hindu-Bali. Meskipun agama Hindu di Indonesia berkembang sejak masa klasik (abad 5-15 Masehi) hingga sekarang, namun kenyataannya di lingkungan pura sering kita temukan unsur-unsur masa sebelumnya, seperti meja batu dari tradisi megalitik masa prasejarah. Dengan begitu ada kemungkinan sebelum dibangun sebagai pura, tempat ini sudah menjadi tempat suci pemujaan arwah nenek moyang pada masa prasejarah atau benda-benda itu dibuat pada masa klasik dengan mengambil pola dari masa sebelumnya. Kesinambungan budaya semacam itu memang lazim terjadi di tanah air kita.

Nama Maospahit mengingatkan kita akan kerajaan Majapahit. Bali pun seperti kita ketahui telah dipersatukan dengan Majapahit. Bukan hanya di bidang pemerintahan, melainkan juga di bidang budaya Bali banyak mengambil pola dari Jawa Timur, khususnya Majapahit. Tokoh-tokoh keagamaan dan kebudayaan seperti Mpu Kuturan, Mpu Baradah, Mpu Sedah, Mpu Panuluh, Prapanca, Mpu Tantular dan lain-lain masih dipandang sebagai pahlawan budaya (culture-hero) dan hasil karyanya masih banyak dikenang dan diamalkan. Disamping itu adanya candra sangkala yang mengacu ke angka tahun 1373 Masehi memberi petunjuk bahwa sangat mungkin pura ini dibangun pada masa kekuasaan Majapahit (abad 14-15 M) dan berfungsi terus hingga sekarang.

Pelestarian dan pendayagunaan
Dalam peraturan cagar budaya bangunan kuno seperti Pura Maospahit Tatasan Toraja termasuk monumen hidup (livingmonument), yakni bangunan purbakala yang statusnya masih berfungsi seperti maksud pembangunannya.

Mengingat pentingnya pura ini ditinjau dari sudut cagar budaya dan melihat kenyataan bangunan itu menghadapi ancaman kerusakan fatal, maka Pemerintah dalam hal ini Depdikbud, Ditjenbud. Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang pada tanggal 14 Juni 1988 ini genap berumur 75 tahun, melalui UPT Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Bali telah melakukan pemugaran. Sebagai livingmonument maka pemeliharaannya diserahkan kepada masyarakat setempat, khususnya penyungsungnya yang menggunakan sebagai tempat ibadah. Di samping itu juga dapat digunakan sebagai sasana wisata budaya sepanjang tidak bertentangan atau mengganggu kepentingan keagamaan. Hal-hal ini tentunya dapat diatur sebaik mungkin.

Tulisan ini diambil dari:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
 
Pura Taman Sari (Bali)

Pict0099-77200812707.JPG


Pict0101-77200812808.jpg



Sepintas Pura Taman Sari tampak sama seperti pura-pura lainnya yang bertebaran di Bali. Pohon beringin di halaman depan dengan latar belakang deretan pohon-pohon kelapa dan bukit menghijau merupakan pemandangan yang banyak dijumpai di Bali. Akan tetapi Pura Taman Sari memiliki nilai-nilai historis di samping mempunyai bentuk yang unik.

Pura Taman Sari terletak di Desa Sengguan, termasuk dalam Kecamatan dan Kabupaten Klungkung (+ 38 km sebelah timur Denpasar), tepatnya di sudut timur laut kota Klungkung. Sebuah kota kecil yang bersuasana tenang.

Memasuki kota Klungkung akan dapat dijumpai Puri Klungkung, yang merupakan istana raja-raja Klungkung, yang pernah jaya di masa lampau. Tidak jauh dari Puri Klungkung dapat pula dijumpai bangunan bersejarah yang diberi nama Kertha Gosa dan Taman Giri. Letaknya yang strategis di sudut perempatan kota menyebabkan bangunan ini banyak dikunjungi oleh wisatawan. Yang khas dari bangunan ini, pada langit-langit terdapat lukisan wayang tradisional gaya Kamasan yang memuat ceritera Dyah Tantri, Bhima Swarga, Adi Parwa, Sutasoma dan sebagainya.

Kertha Gosa berfungsi sebagai tempat persidangan pengadilan dan raja bertindak sebagai hakim, disertai pendeta sebagai penasehat. Sedangan Taman Giri berfungsi sebagai tempat bercengkerama raja beserta keluarganya, sekaligus untuk menyaksikan kehidupan rakyat sehari-hari. Pura Taman Sari berkaitan pula dengan raja Klungkung, yaitu salah satu tempat pemujaan yang penting bagi keluarga raja.

Pura Kuno
Kompleks tempat Pura Taman Sari berada terdiri dari tiga pura; Pura Segening, Pura Taman Sari dan Pura Penataran, berjejer dari utara ke selatan. Dari pola bangunan pura dan data arkeologi yang ditemukan, disimpulkan bahwa Pura Taman Sari merupakan pura yang dapat digolongkan kuno.

Laporan yang pertama mengenai Pura Taman Sari ditulis oleh P.A.J. Moojen, dalam bukunya Kumst op Bali, Inleidende Studie tot deng Baouwkunst, yang diterbitkan pada tahun 1926. Buku ini dilengkapi pula dengan foto-foto, yang dapat membantu dalam pemugaran.

Tahun 1970 Pura Taman Sari ditemukan dalam keadaan rusak berat. Bangunan kuno yang masih dapat dikenal berdasarkan sisa-sisa yang ditemukan adalah meru bertumpang sebelas dan bertumpang sembilan. Itu pun hanya tinggal sebagian dari badannya saja. Piyasan (bangunan kecil berbentuk rumah) yang terdapat di depan meru (bangunan pemujaan dengan atap bertingkat) yang hanya tampak sebagian kecil dari dasarnya. Demikian juga kolam yang mengelilingi meru tumpang sebelas rusak sama sekali.

Kerusakan tersebut diperkirakan terjadi karena ulah manusia ataupun bencana alam. Seperti diketahui, di Bali pernah terjadi gempa bumi yang amat dahsyat pada tahun 1917. Dari penduduk diperoleh pula keterangan bahwa Belanda telah merusah Pura Taman Sari dengan maksud untuk melumpuhkan pertahanan raja Klungkung. Hal ini dilakukan oleh Belanda mungkin karena mengetahui fungsi Pura Taman Sari. Menurut keterangan yang diperoleh, Pura Taman Sari merupakan tempat pemasupatian (memberi kekuatan sakti atau magis) bagi senjata-senjata kerajaan. Dalam perang puputan yang terjadi tahun 1908 ternyata Belanda dapat mengalahkan Kerajaan Klungkung.

Pemugaran dilakukan oleh Pemerintah selama lima tahun melalui Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali. Upacara penyucian kembali diselenggarakan pada tanggal 23 Maret 1984. Sejak itu Pura Taman Sari dapat dinikmati kembali seperti abad lalu.

Bali-Jawa Timur
Menyaksikan Pura Taman Sari setelah dipugar akan ditemukan kekunoan-kekunoan yang beraneka ragam. Dalam badan meru tumpang sebelas dihiasai dengan relief wayang maupun binatang. Diperoleh pula petunjuk bahwa badan meru pernah dihiasi dengan piring-piring proselen. Seekor naga melilit badan meru dan pada pertemuan kepala dan ekor ditemukan bentuk seekor penyu atau empas. Sebuah kolam yang jernih mengelilingi meru tumpang sebelas ini. Selama penelitian ditemukan pula lima buah arca penjaga.

Dari ciri-ciri yang ditemukan di atas, Pura Taman Sari memperlihatkan adanya hubungan budaya dengan Jawa Timur, terutama dari Kerajaan Majapahit. Ciri-ciri di atas ditemukan pula pada beberapa candi di Jawa Timur, seperti Candi Jago, Candi Tiga Wangi dan Candi Panataran. Hubungan sejarah Jawa-Bali sudah dimulai sejak abad XI ketika Raja Airlangga memerintah di Jawa Timur dan Bali diperintah oleh adiknya sendiri, yaitu Mahendradatta dan Udayana.

Pembangunan Pura Taman Sari diperkirakan berkaitan dengan sejarah Kerajaan Klungkung. Semula berpusat di Gelgel (3 km di sebelah selatan Klungkung) yang dikenal dengan nama Swecapura atau Lingharsapura, kemudian dipindahkan ke Klungkung dan dikenal dengan nama Smarapura. Diperkirakan Pura Taman Sari dibangun setelah kerajaan berpindah dari Gelgel ke Klungkung, kurang lebih pada abad XVI atau awal abad XVII. Kerusakan terbesar diperkirakan terjadi pada tahun 1908 ketika terjadi Puputan Klungkung, yaitu perlawanan habis-habisan ketika menghadapi sebuan Belanda.

Dengan berdirinya kembali Pura Taman Sari secara utuh banyak manfaat yang dapat diperoleh, antara lain dapat dinikmati bukti sejarah yang memberi gambaran tentang kemampuan masyarakat jaman dulu, di samping itu dapat pula dikembangkan untuk menunjang pariwisata budaya, karena suasana alam di sekitar Pura Taman Sari sangat menunjang untuk pengembangan pariwisata. Dalam suasana pedesaan terdapat beringin yang teduh, pohon-pohon kelapa, bukit hijau dan Sungai Unda yang melintas di sebelah timur. Semuanya ikut mempengaruhi kenikmatan dalam merenungi hasil budaya masa lalu di tengah-etangah usaha mengejar kemajuan di masa depan.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
 
Pura Tirta Empul Tampaksiring

Img_3047.jpg

736870562_047a352462.jpg
galerifoto_i.php


PURA Tirta Empul dan permandiannya terletak di wilayah desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.

Tampaksiring adalah nama dan sebuah desa yang terletak 36 km dari Denpasar.

Pura Tirta Empul sebagai peninggalan Kerajaan di Bali, salah satu dari beberapa peninggalan purbakala yang menarik untuk disaksikan dan diketahui di desa ini. Disebelah Barat Pura tersebut pada ketinggian adalah Istana Presiden yang dibangun pada pemerintahan Presiden Soekarno.

Mengenai nama pura ini kemungkinan besar diambil dari nama mata air yang terdapat didalam pura ini yang bernama Tirta Empul seperti yang telah disebutkan diatas. Secara etimologi bahwa Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Maka Tirta Empul artinya adalah air suci yang menyembur keluar dari tanah.

Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan. Sepanjang aliran sungai ini terdapat beberapa peninggalan purbakala. Pendirian pura ini diperkirakan pada tahun 960 A.D. pada jaman Raja Chandra Bhayasingha dari Dinasti Warmadewa. Seperti biasa pura – pura di Bali, pura ini dibagi atas Tiga bagian yang merupakan Jaba Pura (HaLaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah) dan Jeroan (Halaman Dalam).
Pada Jaba Tengah terdapat 2 (dua) buah kolam persegi empat panjang dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari Timur ke Barat menghadap ke Selatan. Masing – masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri diantaranya pancuran Pengelukatan, Pebersihan, Sudamala dan Pancuran Cetik (Racun).

Pancuran Cetik dan nama Tirta Empul ada hubungannya dengan mitologi yaitu pertempuran Mayadenawa Raja Batu Anyar (Bedahulu) dengan Bhatara Indra.

Dalam mitologi itu diceritakan bahwa Raja Mayadenawa bersikap sewenang – wenang dan tidak mengijinkan rakyat untuk melaksanakan upacara – upacara keagamaan untuk mohon keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Setelah perbuatan itu diketahui oleh Para Dewa, maka para dewa yang dikepalai oleh Bhatara Indra menyerang Mayadenawa.

Akhirnya Mayadenawa dapat dikalahkan dan melarikan diri sampailah disebelah Utara Desa Tampak siring.

Akibatnya kesaktiannya Mayadenawa menciptakan sebuah mata air Cetik (Racun) yang mengakibatkan banyaknya para laskar Bhatara Indra yang gugur akibat minum air tersebut. Melihat hal ini Bhatara Indra segera menancapkan tombaknya dan memancarkan air keluar dari tanah (Tirta Empul) dan air Suci ini dipakai memerciki para Dewa sehingga tidak beberapa lama bisa hidup lagi seperti sedia kala. *dna
 
Candi Jabung (Jawa Timur)

Candi Jabung terletak di Desa Jabung Candi, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur. Candi ini pernah disebut dalam kitab babad Nagarakrtagama, khususnya pada bagian yang memaparkan perjalanan raja Hayam Wuruk (Rajasanagara). Rajasanagara dikenal sebagai salah seorang raja yang “memperhatikan” berbagai bangunan pemujaan untuk para leluhurnya, yang terserak di berbagai wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perjalanan Rajasanagara tak ubahnya perjalanan yang dilakukan oleh para sejarawan atau para arkeolog masa kini, ketika melakukan penelitian atau peninjauan.

Candi Jabung yang ditahbiskan sebagai bangunan suci dengan nama Bajrajinaparamitapura, dalam Nagarakrtagama disebut Candi Kalayu, sementara dalam Kitab Pararaton disebut Candi Sajabung, merupakan bangunan suci untuk pemujaan bagi tokoh wanita keluarga HayamWuruk, bernama Brha Gundal, didirikan pada pertengahan abad XIV Masehi, dimana kepemimpinan dwi tunggal Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada/Pu Mada.

Baik Nagarakrtagama maupun Pararaton menyebut perjalanan budaya Hayam Wuruk bertujuan terutama untuk menghayati keadaan masyarakat yang dipimpinnya, tak ubahnya semacam “sidak” (inspeksi mendadak) yang biasa dilakukan oleh para pejabat masa kini. Perjalanan itu dimulai pada tahun ketiga masa pemerintahannya, yakni 1275 C/1353 M, lalu pada 1354 M ke Lasem, pada 1357 melewati Lodaya. Selanjutnya pada tahun 1361 M Hayam Wuruk beserta rombongannya melakukan peninjauan ke Palah untuk mengadakan pemujaan, yang kemudian diteruskan ke Lwang Wentar, Balitar, Jime dan terus ke Simping untuk “nyekar” atau ziarah ke makam kakeknya (R. Wijaya/Krtarajasa) sekaligus memperbaiki Candi Sumberjati tersebut.

Hayam Wuruk: Sang pemugar pertama
Secara umum, profil Candi Jabung dapat dijalaskan sebagai berikut. Candi mengharap ke arah barat, batur dan kaki candi berdenah persegi, badan candi silindrik, dan atap candi berakhir dengan ke muncak berbentuk stupa/dagoba (telah runtuh). Candi dengan nama tahbis Brajajinaparamitapura ini, pada bagian batur dan kaki candi terdapat relie hias bermotif sulur-suluran dan medallion, sementara pada badan candi dipahatkan adegan-adegan ceritera Sri Tanjung.

Pada ambang relung-relung candi terdapat hiasan kepala kala motif Jawa Timur, serta sebuah relief rosetta dengan angka tahun 1276 Caka (1354 M). Dalam bilik candi masih terdapat lapik arca, sedangkan pada atap candi dipahatkan motif hias sulur-suluran.

Angka tahun 1276 Caka/1354 Masehi, sangat boleh jadi bkanlah angka tahun pembangunan candi karena baik menurut Nagarakrtagama maupun Pararaton, angka tersebut menunjuk pada pertanggalan perjalanan Hayam Wuruk ke candi tersebut dan sekaligus memperbaiki/memugar candi pemujaan untuk Raden Wijaya itu. Dalam catatan sejarah, Hayam Wuruk-lah raja pertama Nusantara, yang disebut-sebut melakukan perjalanan ke berbagai bangunan/monumen arkeologis dan melaksanakan pemugaran-pemugaran pertama di berbagai candi.

Perjalanan dengan rombongan terbesar, yang diiringi oleh seluruh keluarga raja (Bhatara Sapta Prabhu), para menteri, pemimpin agama dan wakil golongan masyarakat dilakukan pada tahun 1281 Caka/1359 Masehi. Dan baru pada tahun 1362 Hayam Wuruk melaksanakan upacara Craddha (upacara pelepasan roh dalam mitologi Hidu-Buddha, sehingga ia wafat benar-benar memperoleh kelepasan/moksha atau nirwana).

Selain sebagai inspeksi mendadak dan peziarahan, terdapat pula anggapan bahwa perjalanan Hayam Wuruk itu merupakan salah satu dharma yang harus dijalaninya, yang mengandung arti magis, yakni untuk penyatuan dan kesatuan (unity) wilayah kerajaannya.

Dalam usaha memelihara kesatuan tersebut, antara lain tampak dari perhatian “pusat” terhadap “daerah”, misalnya melalui perbaikan-perbaikan berbagai tempat penyeberangan di Sungai Solo dan Brantas, serta perbaikan bendungan Kali Konto, Hayam Wuruk juga memperindah candi pemujaan Tribhuwanattunggadewi di Panggih, menambah candi perwara di Palah (Panataran-Blitar, 1369 M) serta sebuah pendapa untuk kepentingan persajian (1375 M). Selain memugar Candi Jabung pada tahun 1354 M, Hayam Wuruk juga menyelesaikan pembangunan dua buah candi di Kediri, yakni Candi Surawana dan Tigawangi. Akhirnya pada 1371 didirikanlah Candi Pari di dekat Porong-Jawa Timur, yang memiliki bentuk khas menyerupai bentuk percandian di Champa.

Makna Keagamaannya
Di Jawa Timurlah faham-faham keagamaan Hindu dan Budha mengalami sinkretisme. Dewa Agung, apakah itu Siwa atau Budha, dijelmakan dalam berbagai bentuk yang berlainan satu dengan lainnya. Kecenderungan penyatuan ini kemudian lambat laun terjelmakan pula dalam seni bangunan. Karena itu pula, seringkali gelar-gelar raja merupakan gabungan istilah yang terdapat di kedua agama tersebut, termasuk pula bagi istilah pemakamannya.

Sebagai contoh, setelah mati, Krtanagara dianggap pulang ke Jinendralaya karena raja ini dianggap sebagai seorang Jina, tetapi sekaligus pula disebutkan moteng ing Civabuddhalaya. Demikian pula misalnya Wisnuwardhana disebut meninggal dan dimakamkan di Wareli (Waleri?) sebagai Civa dan Jajaghu (Candi Jago) sebagai Amoghapaca.

Mengingat bahwa tradisi perawatan jenazah pada kepercayaan Hindu maupun Buddha dan kremasi (pembakaran) sementara abunya dibuang di sungai/laut, maka dalam menyebut kematian dan pemakaman dikenal berbagai istilah ganda, seperti lumah ri (yang dimakamkan di), mokteng (yang moksa di) atau lina ri (yang meninggal di).

Pada masa eksistensi Majapahit berkembang pemikiran bahwa Hundu dan Buddha merupakan penampilan bentuk berbeda atas kebenaran absolut yang sama, yang dalam praktek ritus keagamaan sehari-hari keduanya dibaurkan. Secara tidak langsung kita dapat melihat simbolisasi kedua keagamaan tersebut dalam bentuk-bentuk bangunan. Pada Candi Jago didapat pahatan relief yang mengangkat legenda yang terdapat dalam baik agama Buddha maupun Hindu. Candi Jawi memiliki arca siwaitis, tetapi berakhir dengan kemuncak stupa. Dari sumber sastera Bali dianggap tidak ada perbedaan esensial antara Siwa dan Buddha, bahkan Mpu Tantular menganggap bahwa lima perwujudan Siwa sama dengan lima Jina.

Candi Jabung juga merupakan candi yang memiliki perpaduan siwaisme dan buddhisme. Pahatan relief Sri Tanjung siwaistik, sementara kemuncak stupa buddhistik. Legenda Sri Tanjung pada dasarnya mengisahkan fitnahan terhadap Sri Tanjung, seorang dewi yang sangat cantik, isteri Raden Sidapaksa, yang berakhir dengan kematian/pembunuhan Sri Tanjung.

Karena tidak bersalah, maka Sri Tanjung dihidupkan kembali oleh para dewa dan bertempat tinggal di kediamannya semula sebelum kawin. Raden Sidapaksa disuruh oleh Betari Durga untuk pergi ke kediaman Sri Tanjung, namun isteri yang teraniaya ini menolak untuk rujuk kembali, kecuali apabila Raden Sidapaksa dapat membunuh dan membawa rambut (si pemfitnah) untuk dijadikan kesed (pembersih kaki) Sri Tanjung. Setelah permintaan tersebut terlaksana, suami-isteri itu kembali bersama-sama.

Relief legenda Sri Tanjung selain dipahatkan di Candi Jabung juga terdapat pada panil-panil di Candi Surawana, di mana terdapat pula pahatan ceritera Bubuksah dan Gagakaking serta Arjunawiwaha. Candi Jabung merupakan salah satu bukti arsitektur yang memadukan falsafah/keagamaan Hindu dan Buddha secara bersamaan.

Candi Jabung Sebagai Cagar Budaya
Pemugaran pertama Candi Jabung pada 1354 Masehi, untuk lebih dari 500 tahun kemudian terlupakan dari jamahan upaya untuk melestarikannya. Candi bata berukuran panjang 13,13 m, lebar 9,6 m dan tinggi 16,42 m tersebut baru dipugar kembali pada 1983-1985. Candi yang secara tipologis memiliki kesamaan bentuk prinsip dengan candi-candi Muara Takus (Riau) dan Biaro Bahal (Padang Sidempuan) tersebut merupakan salah satu benda cagar budaya yang sampai sekarang terus diupayakan pelestariannya.

Kegiatan pemugaran pada 1983-1985 meliputi pemasangan perancah, pendokumentasian dan penggambaran, pembongkaran (dismatling) bagian-bagian yang rusak, pemasangan/sisipan batu isian dan konservasi batuan seta lingkungannya. Dalam kegiatan tersebut ditemui sedikit hambatan, yakni kesulitan memperoleh bata merah berukuran besar di Desa Jabung Candi maupun di wilayah Kecamatan Paiton, sehingga untuk mengatasinya terpaksa didatangkan dari daerah lain.

Candi Jabung yang diresmikan purna pugarnya oleh Dirjen Kebudayaan pada 5-11-87 dan bercorak khas ini harus tetap lestari dan eksis dalam lingkungan yang serasi. Pemanfaatan bagi kepentingan pariwisata dalam fungsinya sebagai salah satu obyek wisata budaya, bagaianapun harus mengacu pada UU No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan peraturan perundang-undangan lain yang belum pernah dicabut/masih diberlakukan.

Pertimbangan pelestarian benda cagar budaya atas dasar bahwa benda-benda tersebut merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pemanfaatan Candi Jabung bagi kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan pariwisata (Pasal 19 ayat 1) tidak boleh bertentangan dengan upaya-upaya perlindungan dan pelestariannya.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1993. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
 
Candi Naga di Kompleks Penataran Blitar (Jawa Timur)

Yang dimaksud Candi Naga ialah candi yang bagian tubuh candinya dibelit oleh ular besar atau naga. Ini sangat unik karena di seluruh Indonesia candi ini merupakan satu-satunya bangunan candi yang dihias ular naga dengan bentuk yang sangat mencook. Umumnya ular naga dijadikan pola hias bentuk makara yaitu pipi tangga di kanan dan kiri tangga naik ke bangunan candi yang dibentuk sebagai badan dan kepala naga: mulut naga digambarkan terbuka lebar dan lidahnya menjulur keluar dalam wujud untaian manik-manik atau mutiara. Sering pula wujud naga dipahat di bawah cerat yoni karena yoni selalu dipahat menonjol keluar dari bingkai bujur sangar sehingga perlu penyangga di bawahnya. Dari tiga peran naga yang dicontohkan di atas fungsi naga pada bangunan candi atau pada yoni tampaknya erat kaitannya dengan tugas penjagaan atau perlindungan.

Pemujaan Naga di India dan Kamboja
Candi sebagai tinggalan purbakala merupakan warisan tradisi kebudayaan Hindu yang asal usulnya dari India. Penggunaan hiasan atau wujud naga dengan sendirinya juga berasal dari sumber yang sama walaupun ada kemungkinan kebudayaan lokal juga mengenai pemujaan kepada jenis ular.

Menurut tradisi ular naga termasuk hewan suci yang dipuja-puja oleh kelompok masyarakat Dravidia (1500 – 600 SM) di India. Dalam pemujaan kepada kekuatan atau unsur alam dan hewan-hewan kekuatan air atau jiwa air diwujudkan dalam bentuk ulat tetapi kemudian diwujudkan dalam bentuk badan manusia dengan kepala ular kobra (lihat Benjamin Rowland: The art and architecture of India 1970: 49). Karena kepercayaan ini maka pada awal kebangkitannya kesenian yang bercorak Buddhis semua bangunannya dihias dengan naga dan juga yaksha yaitu raksasa sebagai penjaga candi. Bangunan candi yang dihias dengan banyak naga ialah candi Sanchi yang dibangun oleh dinasti Maurya (322 – 185 SM) dan Candi Amarawati (lihat James Ferguson: Tree and Serpent Worship in India. Delhi, 1868: 68 foto no. 4; 187 plate LXVIII – LXX.LXXVI – LXXVII.XCI – XCII).

Di Kamboja banyak candi yang dihias naga antara lain pada Candi Nakhon Vat. Angkor Vat. Preah Khan. Bayon dan Bakong (lihat Arthaud & Bernard Philippe Groslier: Angkor, 1968 (Paris) gambar 8, 67, 71, 81 dan nomor J. Pada Candi Nakhon Vat tubuh candi dibelit oleh naga dan tiap sudut atap candinya dihias dengan tujuh kepala naga (Ferguson 1968: 48). Pada Candi Angkor Vat (abad Xii M) jalan masuknya diapit oleh pagar yang berbentuk sepasang naga yang berpuluh-puluh meter panjangnya dan reliefnya juga menggambarkan kobra berkepala tujuh yang badannya disangga oleh sekitar 40 orang (lihat Arthaud 1968 gambar 8). Pada Candi Preah Khan (1191 M) naga yang digambarkan bernama Vasuki (lihat Arthaud gambar 67 dan 71). Pada Candi Bayon (abad XIII M) banyak dilukiskan kepala kobra. Pada Candi Bakong (881 M) juga hanya dilukiskan bentuk hiasan naga.

Candi Naga di Blitar
Candi ini berdiri di kompleks percandian Panataran di Kabupaten Blitar. Di kompleks percandian ini ditemukan prasasti batu yang berangka tahun 1119 Saka (1197 M): prasasti ini menyebut nama Palah, kiranya nama asli dari Candi Panataran. Di kompleks ini berdiri tiga candi dan ada beberapa batur pendopo (lihat Satyawati Suleiman: Batur Pendopo Panataran. Seri Penerbitan Bergambar No. 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 1981). Kompleks percandian ini menghadap ke barat. Sesudah pintu gerbang ada teras pendopo (dahulu ada atapnya dari kayu) lalu di belakangnya berdiri Candi Angka Tahun (Belanda: jaar tempel) karena di atas ambang pintu candi terpahat angka tahun Jawa Kuna: 1291 Saka atau 1369 M (lihat Bernet Kempers: Ancient Indonesian Art 1959: 92). Di belakang Candi Angka Tahun ini ada dua batur pendopo kemudian di belakangnya lagi berdirilah Candi Naga (besarnya hanya seperempat Candi Angka Tahun) dan di belakangnya lagi berdiri candi induk yang besarnya 10 kali Candi Angka Tahun.

Batur pendopo paling depan berangka tahun 1297 Saka (1375 M) dan ada relief ceritera Bubuksah – Gagang Aking dan ceritera Sang Satyawan serta angka tahun 1297 Saka (1375 M0. Pada Candi Angka Tahun atapnya dihias dengan bentuk-bentuk binatang dan di atas ambang pintu ada angka tahun Jawa Kuna: 1291 Saka (1369 M).

Candi Naga dibelit oleh naga dan badan naga ini disangga oleh sembilan makhluk laki-laki yang berdandan model raja-raja sambil memegang genta pendeta. Kaki candinya dihias dengan relief ceritera binatang.

Sesuai dengan tradisi di Bali naga yang membelit candi ini ditafsirkan sebagai wujud dari penjagaan kekayaan dewa. Sementara itu ada pula yang menghubungkan Candi Naga dengan Gunung Meru karena di gunung ini banyak ular.

Wujud ular juga ditampilkan pada batur pendopo paling depan serta pada candi induk. Terlepas dari masalah makna simbol naga pada bangunan ini ular itu membedakannya dari berbagai ornamen sebagai tiruan dari Gunung Meru. Hubungan antara candi kecil ini dengan Gunung Meru terutama sebagai wadah atau tempat amrta (dalam pengertian sebagai air suci) ialah sebagai tempat penyimpanan amrta di dalam candi ini. Dalam hubungan dengan amrta dapat pula ditafsirkan secara lain. Air suci di dalam canoi ini mungkin sebagai minuman dewa yang dihasilkan dari kekuatan meditasi. Dari sudut pandang ini Candi Naga ialah tempat raja dalam wujud sebagai inkarnasi dewa yang dikukuhkan lagi penyatuannya (dengan dewa) dengan cara meditasi.

Kompleks percandian Panataran ini oleh beberapa dinasti raja Jawa Kuna telah dipergunakan sebagai tempat ibadah yang utama sejak 1197 M hingga masa Majapahit (abad ke-15 M0. Bagaimana peran Candi Naga di tengah kompleks percandian Panataran sukar untuk diterangkan. Yang pasti Candi Naga merupakan suatu unikum tersendiri dan atraktif sebagai obyek kunjungan wisata di tengah kompleks percandian Panataran di Blitar Jawa Timur.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
 
Candi Singosari Didirikan Dalam Pemerintahan Raden Wijaya

Dalam zman Indonesia Hindu daerah Malang dan sekitarnya merupakan suatu daerah ramai yang berkasnya masih nampak di mana-mana hingga kini. Banyak sisa bangunan yang didirikan di bawah pengaruh agama yang dianut waktu itu seperti Hindu, Budha maupun campuran anasir Budha dan Siwa.

Di antara sisa-sisa peninggalan itu terdapat bangunan tempat pemujaan raja atau leluhur raja yang umumnya kita kenal sebagai candi. Salah satunya adalah Candi Singosari di daerah Malang, Jawa Timur, di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari; dari Singosari setelah melewati pasar membelok ke kiri, kira-kira 300 meter kemudian di sebelah kanan, terdapat Candi Singosari. Tidak jauh dari sana di alun-alun terdapat dua arca penjaga besar. Banyak lagi arca dan bangunan candi yang ditempatkan di pinggir lapangan percandian. Semuanya itu merupakan sisa dari kelompok bangunan suci yang dahulu pernah meliputi suatu daerah yang luas di sebelah barat daya candi.

Deskripsi Bangunan
Candi Singosari adalah bangunan berbentuk bujur sangkar terbuat dari batu. Bangunan ini menghadap ke arah barat. Seluruh candi terdiri dari tingkat bawah atau batur setinggi 2 meter, kaki yang tinggi, tubuh yang ramping, dan atap yang berbentuk limas.

Kaki
Pada kaki candi terdapat bilik berisi sebuah yoni (lambang kewanitaan) yang biasanya terdapat dalam tubuh candi. Ini merupakan keistimewaan karena umumnya kaki candi memiliki ruangan.

Bilik-bilik lain yang dapat kita masuki melalui selasar keliling pada batur dan dahulu berisi arca Durga (utara), Ganesa (timur) dan Siwa Guru (selatan). Kecuali arca Guru, arca-arca lain sudah tidak ada di tempatnya. Di bilik tengah ini juga merupakan keistimewaannya, terdapat suatu saluran di bawah lantai bilik. Mungkin dahulu dipergunakan untuk mengalirkan air pembasuh linggayoni ke suatu pancuran (sekarang sudah tidak ada, tetapi bekasnya masih terlihat jelas).

Di atas bilik candi, maupun di atas relung terdapat hiasan kepala Kala. Dalam pada itu di sisi kiri kanan bangunan penampil yang ada di depan (barat) terdapat relung tempat arca Nandiswara dan mahakala.

Tubuh
Tubuh candi tidak memiliki bilik karena bilik candi terdapat di dalam kaki candi. Di bagian luar tubuh candi dibuat relung-relung tidak dalam yang semuanya kosong. Relung-relung tidak kelihatan karena tertutup oleh puncak-puncak keempat penampilannya. Apakah relung-relung itu dahulunya arca, tidak diketahui dengan jelas.

Atap
Bagian atap candi hanya sebagian saja yang tinggal. Berlawanan dengan bagian yang lain maka pada bagian atap ini telah selesai di pahat dengan hiasan yang halus, sedangkan bagian bawah masih polos. Ini menunjukkan kemungkinan cara menghias candi dimulai dari bagian atas. Kenyataan seperti ini sering kita jumpai pula pada candi-candi lain, misalnya Candi Sawentar di dekat Blitar.

Candi Singosari tidak berdiri sendiri. Di sekeliling halaman candi masih ditemukan banyak arca. Ditinjau dari jumlah dan sifat arca yang terdapat di situ, dapat disimpulkan mungkin dahulu terdapat sekurang-kurangnya lima bangunan suci, yang sebagian bersifat Siwa dan sebagian lagi Budha. Selain itu dari lapangan percandian ditemukan suatu prasasti berangka tahun 1351 M yang menyebutkan pendirian suatu bangunan suci untuk para penderita Siwa dan Budha yang meninggal bersama Kertanegara. Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa Candi Singosari bersifat campuran Siwa-Budha. Ini tidak mengherankan mengingat agama yang dianut oleh Kertanegara merupakan campuran Siwa dan Budha, bercorak Tantra. Brangkali bangunan itu antara lain memuat arca Brahma dan beberapa arca kecil yang terdapat pada lapangan percandian.

Tidak jauh ke barat, di alun-alun, terdapat dua arca penjaga sangat besar. Arca-arca raksasa itu tidak dapat dipindahkan karena berat sekali dan tentunya berdiri di situ masih pada tempatnya yang asli, sebagai menjaga jalan masuk ke percandian yang sangat luas di belakangnya. Tingginya 3,70 m dan satu di antaranya terpendam sampai ke pusatnya. Arca-arca ini mempunyai tali ular melilit pada bahannya; sedangkan kepalanya dihiasi dengan jamang ular dengan sejumlah tengkorak.

Latar Belakang Sejarah
Perkembangan Candi Singosari dapat dihubungkan dengan raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari. Bangunan ini kemungkinan didirikan bersamaan dengan waktu diadakan upacara sraddha (upacara untuk memperingati 12 tahun sesudah raja wafat) atau tahun 1304 M, masa pemerintahan Raden Wijaya, raja Majapahit I.

Kakawin Nagarakertagama karangan Prapanca, pupuh XLII-XLIII, menyebutkan bahwa Raja Kertanegara adalah seorang raja yang tiada bandingnya di antara raja-raja di masa lampau. Ia menguasai segala macam ilmu pengetahuan seperti Sadguna (ilmu ketatanegaraan) Tatwopadeso (ilmu tentang hakikat), patuh pada hukum, teguh dalam menjalankan ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengan pemujaan Jina (apageh ing jinabrata), tekun berusaha dalam menjalankan prayogakrya (ritus-ritus tantra). Disebutkan pula bahwa sang raja jauh dari tingkah alpa dan congkak, tawakal dan bijak, menganut agama Budha.

Kertanegara adalah raja terakhir. Kerajaan Singosari yang memerintah tahun 1268-1292 M. Ia adalah anak Wisnuwardhana. Sejak tahun 1254 M sudah dinobatkan sebagai Yuwaraja (Raja muda). Biasanya raja muda ini sebelum menggantikan raja yang berkuasa penuh diberi kedudukan sebagai raja di suatu daerah/wilayah. Pada masa pemerintahannya dianggap telah menghina Kaisar Mongol Kubhilai Khan karena selain tidak mau tunduk, ia telah melukasi muka utusannya yaitu Meng-chi, sehingga Khubilai Khan memutuskan menggempur Jawa sebagai hukuman atas tindakan Kertanegara tersebut. Penyerangan ini dilakukan tahun 1292 M dipimpin oleh tiga panglima perang yaitu Shih-Pi, Iheh-Mi-Shih dan Kau Hsing.

Sementara itu di dalam negeri sendiri Kertanegara menghadapi pemberontakan yang dipimpin Jayakatwang, raja bawahan Kertanegara. Kertanegara gugur dan dicandikan di Singosari.

Pemugaran
Pada 1934 keadaan Candi Singosari sangat rusak, sehingga Pemerintah Hindia Belanda melakukan usaha untuk menyelamatkannya dengan membongkar sampai kepada baturnya, kemudian membangun kembali selapis demi selapis. Pembangunan kembali seluruhnya tidak memungkinkan, karena banyak bahan asli yang hilang, terutama dari puncak-puncak bilik samping. Candi dibangun kembali sampai kepada atap tingkat dua dan itu pun tidak lengkap. Pekerjaan pembangunan kembali selesai tahun 1936.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Singosari memegang peranan penting di masa lalu, maka peninggalan-peninggalannya yang tersisa patutlah dilestarikan sebagai benda cagar budaya seperti diatur dalam Undang-Undang No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang antara lain berbunyi: Upaya melestarikan benda cagar budaya dilaksanakan selain untuk memupuk rasa kebanggaan nasional dan memperkokoh kesadaran jatidiri sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila, juga untuk kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pemanfaatan lain dalam rangka kepentingan nasional.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
 
Candi Jago di Masa Singosari

Seperti telah banyak diketahui, raja pertama yang memerintah kerajaan Singosari adalah Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Amurwabhumi. Riwayat dan ceritera tentang raja ini banyak dimuat dalam Kitab Pararaton dan Negarakertagama, yang aslinya berbahasa Jawa Kuno namun sudah ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan tidak terlalu sulit dipelajari. Mulai sejak awal kerajaan ini banyak tercatat sejarah dan peninggalannya di bumi Jawa Timur. Raja Rajasa yang memerintah selama 1222-1227, mempunyai beberapa putera, di antaranya Mahisa Wong Ateleng dan Tohjoyo, sedangkan putera tirinya Anusapati di kemudian hari adalah yang membunuhnya.

Sepeninggal raja Rajasa, Singosari diperintah oleh Anusapati yang berkuasa selama 1227-1246. Dalam pemerintahan Raja Anusapati kerajaan cukup aman. Setelah raja wafat digantikan oleh saudaranya, Tohjoyo yang tidak seberapa lama karena meninggal dunia.

Pengganti Tohjoyo adalah Ranggawuni yaitu putera Anusapati, bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana berkuasa selama 1248-1268. Selama memerintah di kerajaan Singosari ia bekerjasama dengan saudaranya, Mahisa Campaka. Dalam pemerintahannya raja memperhatikan hamba sahayanya dan membalas jasa kepada mereka yang telah banyak membantu waktu masih memerintah raja mengangkat pula puteranya (Kertanegara) menjadi Raja Muda. Bersama puteranya raja memimpin kerajaan. Saat Raja Wisnuwardhana wafat pada 1268 Kertanegara mendirikan beberapa bangunan suci berupa candi sebagai dharma baktinya kepada sang ayah. Satu di antara bangunan itu adalah Candi Jago yang terwujud sebagai bangunan Budha dan Hindu.

Deskripsi Candi Jago
Candi Jago menghadap ke timur, pintu candi berada di sebelah barat. Candi mempunyai bentuk berundak-undak; urutan dari bawah disebut kaki, badan dan atap candi. Pada bagian bawah, yaitu kaki candi, dibuat bersusun tiga tingkat, di atas kaki berdirilah badan candi.

Pada dinding luar candi dipahatkan relief-relief. Untuk mengikuti urutan ceritera kita berjalan mengelilingi candi dengan mengirikan candinya.

Relief pada teras pertama, yaitu undak terbawah sebagai berikut: Sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal ceritera binatang seperti halnya ceritera Tantri. Ceritera ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat ceritera binatang, yaitu kura-kura yang sedang bercanda. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi mengigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.

Pada sudut timur laut terdapat serangkaian ceritera melukiskan ceritera Budha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada Dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Budha.

Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa ceritera Kunjarakarna. Ceritera ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Budah antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksdunya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Budha akhirnya keinginan raksasa terkabul.

Pada Teras kedua terpahat ceritera Parthayajna, berasal dari Kitab Mahabharatha. Isinya mengisahkan Sang Arjuna dan saudaranya yang mengalami kekalahan main dadu, sehingga Arjuna harus bertapa di Gunung Indrakila.

Pada teras ketiga terdapat ceritera Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Nirwatakawaca.

Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan ceritera Kresnayana, yaitu kisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna.

Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk sekarang sudah tidak ada bekasnya.

Sekarang bangunan sucinya perlu dilestarikan karena di samping masing mempunyai nilai budaya tinggi juga masih bermanfaat. Bagaimana pun pelestarian pada bangunan kuno seperti halnya Candi Jago tidak perlu dilakukan mengingat begitu tinggi nilai sejarahnya. Candi Jago tidaklah semata-mata merupakan bangunan religi seperti misalnya Candi Prambanan, Mendut atau Kalasan di Jawa Tengah. Candi Jago dan candi yang lain di Jawa Timur kebanyakan melambangkan makam atau sebagai bangunan tempat pemujaan kepada leluhur atau arwah raja. Hiasan-hiasan pada bangunan banyak ditemukan ragam ceritera wayang atau panji dan tokoh raja yang berkedudukan sebagai dewa/dewi, seperti di Candi Jago tersebut Raja Wisnuwardhana dilambangkan sebagai Sang Budha.

Selain pelestarian bangunan yang bernilai sejarah yang juga perlu dilakukan adalah penerapan dan pemanfaatan bangunan tersebut di masa sekarang.

Candi Jago yang masih ada sampai sekarang dapat diperankan sebagai sumber pengetahuan, yaitu selain dari segi seni pahat maupun ukir, juga ilmu bangunan dan filsafat, di samping sebagai suatu panorama keindahan di bidang obyek wisata karena keindahan alam di sekitar candi dan taman membuat daya tarik tersendiri.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
 
Candi Tikus di Trowulan

Salah satu peninggalan purbakala di Jawa Timur dari masa pemerintahan kerajaan Majapahit adalah Candi Tikus. Pendirian bangunan diperkirakan pada abad XIV dan merupakan peninggalan termuda yang terdapat di Trowulan. Candi ini mempunyai keistimewaan antara lain dibangun di bawah permukaan tanah dan di sekitarnya, pada kedalaman kurang lebih 3,5 meter dan tidak terdapat arca dewa maupun arca perwujudan bahkan tiada petunjuk/tanda adanya arca. Bila hendak masuk atau mencapai lantai candi harus menuruni tangga terlebih dulu.

Selain itu Candi Tikus disebut juga sebagai candi pemandian atau petirthaan karena ada struktur kolem pemandian atau pertirthaan dan pancuran serta dibangun menjadi satu dengan candinya.

Candi Tikus ini terletak di Dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Jaraknya tiga kilometer di tenggara Balai Penyelamatan (Site Museum) atau delapan kilometer ke barat daya dari pusat kota Mojokerto; empat kilometer dari jalan Madiun-Surabaya.

Candi Tikus disebut demikian karena menurut ceritera rakyat setempat, waktu ditemukan banyak tikus yang bersarang di tempat itu dan sewaktu penduduk menggarap sawahnya selalu rusak akibat adanya tikus yang merusak tanaman padi mereka.

Arsitektur
Candi ini mulai kembali dalam panggung sejarah pada tahun 1914, setelah digali dari timbunan tanah yang menutupinya. Waktu itu seorang bupati Mojokerto bernama R.A.A. Kromodjojo Adinegoro melaporkan bahwa ada penemuan berupa miniatur candi pada kuburan rakyat. Sejak itulah banyak ahli mulai mengadakan penelitian mengenai candi tersebut.

Candi ini merupakan replika Gunung Meru, sedangkan gunung tersebut selalu dihubungkan dengan air amerta (air kehidupan) untuk semua makhluk. Secara mitologi Gunung Meru merupakan ceritera pemutaran lautan susu.

Jika konsep yang melatar belakangi perwujudan banguna dikaitkan dengan ciri bentuk yang ada pada Candi Tikus, maka tujuan pembangunan candi tersebut ialah untuk melambangkan adanya air yang keluar dari gunung.

Secara umum Candi Tikus berdenah segi empat dengan ukuran 22,50 x 22,50 meter, tinggi (dari lantai sampai menara candi induk) 5,20 meter. Arah hadap ke utara dengan azimuth 20 derajat dan tangga masuk terdapat di sebelah utara.

Bangunan candi dibuat dari bahan bata dengan ukuran 8 x 21 x 36 cm, sedangkan untuk jaladwara (pancuran air) dibuat dari bati andesit. Jaladwara yang terdapat di Candi Tikus ini berjumlah 46 dengan bentuk makara dan padma, selain itu juga terdapat saluran-saluran air baik saluran air masuk maupun saluran untuk pembuangan air.

Ditinjau dari sudut arsitektur bangunan candi terbagi menjadi enam bagian, yaitu bangunan induk, kolam (dua) dinding, teras (tiga tingkat), tangga utama, lantai dasar dan pagar.

Bangunan Induk
Bentuk bangunan ini makin ke atas makin kecil dan dikelilingi oleh delapan candi yang lebih kecil bagaikan puncak gunung yang dikelilingi delapan puncak yang lebih kecil.

Bangunan menempel pada sisi selatan teras terbawah. Luasnya 7,65 x 8,75 meter dan tinggi 5,20 meter. Pada dinding batur terdapat pancuran air.

Secara horizontal bangunan induk dibagi menjadi tiga bagian mencakup kaki, tubuh dan atap.

Kaki bangunan berbentuk segi empat, dengan profil kaki berpelipit. Pada lantai atas kaki bangunan terdapat saluran air dengan ukuran 17 cm dan tinggi 54 cm serta mengelilingi tubuh, sedangkan pada sisi luar terdapat jaladwara. Selain jaladwara terdapat pula menara-menara yang disebut menara kaki bangunan karena adanya bagian kaki bangunan.

Ukuran menara 80 x 80 cm. Pada lantai atas kaki bangunan ini berdiri tubuh bangunan dengan denah segi empat, sedangkan di bawah susunan batanya terdapat pula kaki tubuh tempat berdiri menara yang disebut menara tubuh pada keempat sudut dan ukurannya sama dengan menara kaki.

Selain itu di bagian tengah setiap dinding tubuh terdapat bangunan menara yang lebih besar dan berukuran 100 x 140 cm, tinggi 2,78 meter. Salah satu dari menara itu ada yang menempel pada dinding tubuh.

Kolam
Di sebelah timur laut dan barat laut bangunan induk terletak dua bangunan yang berbentuk kolam dan disebut kolam barat dan kolam timur. Kolam ini terdapat di kanan dan kiri tangga masuk. Masing-masing berukuran panjang 3,50 meter, lebar 2 meter, tinggi, 1,50 meter dan tebal dinding 0,80 meter.

Pada sisi utara dinding kolam bagian dalam terdapat tiga jaladwara dengan ketinggian kurang lebih 80 cm dari lantai kolam. Bagian luar kolam sisi selatan terdapat tangga masuk ke bilik kolam, lebar 1,20 meter, sedangkan bagian dalamnya terdapat semacam pelipit setebal 3,50 cm. Di atas dan bawah tangga masuk sisi timur ada dua saluran air.

Dinding Teras
Bangunan dinding ini terdiri atas tiga teras yang mengelilingi bangunan induk dan kolam. Fungsi teras sebagai penahan desakan air dari sekitarnya karena bangunan ada di bawah permukaan tanah, juga sebagai penahan longsor.

Dinding teras pertama berukuran 13,50 x 15,50 meter, sedangkan lebar lantai teras 1,89 meter.

Kaki teras ini berpelipit dan di bagian atas susunan batanya terdapat pancuran air berbentuk padma dan makara, sedangkan di bawah lantai teras terdapat saluran air berukuran 0,20 meter dan tinggi 0,46 meter. Saluran ini berhubungan dengan saluran yang ada pada bangunan induk dan diperkirakan bahwa saluran tersebut dipergunakan untuk mengalirkan air yang berasal dari bangunan induk tersebut, keluar melalui pancuran yang terdapat di bagian dalam dinding kolam sisi utara.

Dinding teras tingkat dua berukuran 17,75 x 19,50 meter. Lebar lantai 1,50 meter dan tingginya 1,42 meter serta tebal dinding teras tersebut sebanyak 17 lapis bata.

Dinding teras tingkat tiga mempunyai ukuran 21,25 x 22,75 meter dengan lebar lantai 1,30 meter, tinggi dinding 1,24 meter, sedangkan tebal tinding 10 lapis bata.

Tangga utama
Tangga utama ini merupakan tangga menuju ke bangunan induk dan bilik kolem. Panjang tangga 9,50 meter, lebar 3,50 meter dan tinggi 3,50 meter.

Pada sisi timur dan barat tangga teras satu dan teras dua terdapat pipi tangga yang menutupi jalan masuk ke teras satu dan dua.

Lantai dasar
Lantai dasar terdiri dari susunan bata yang mempunyai permukaan atau bidang datar di bagian atasnya, tersusun dari dua lapis bata dengan luas kurang lebih 100 meter persegi. Lantai ini tempat berdidi bangunan induk, kolam, dinding teras dan tangga utama.

Pagar tembok luar
Tembok ini ditemukan di sisi utara dan berjarak kurang lebih 0,80 meter dari dinding teras tiga dan menjadi satu dengan pintu gerbang yang terdapat di tangga masuk.

Pelestarian
Untuk kelestarian warisan budaya bangsa yang berupa bangunan candi, perlu adanya penanganan secara berkesinambungan. Salah satu caranya ialah mengadakan pemugaran. Pemugaran ini sangat berguna selain untuk objek pariwisata juga bermanfaat bagi pengembangan kebudayaan. Selain itu Candi Tikus ini dapat berfungsi sebagai barometer air guna mengetahui debit air di saluran-saluran atau waduuk dan dipakai sebagai perbandingan besarnya air yang mengalir.

Pemugarannya berlangsung hingga tahun 1989 dan diresmikan tanggal 21 September 1989 oleh Direktur Jenderal Kebudayaan.

Sumber:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
 
Candi Jago di Masa Singosari

Seperti telah banyak diketahui, raja pertama yang memerintah kerajaan Singosari adalah Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Amurwabhumi. Riwayat dan ceritera tentang raja ini banyak dimuat dalam Kitab Pararaton dan Negarakertagama, yang aslinya berbahasa Jawa Kuno namun sudah ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan tidak terlalu sulit dipelajari. Mulai sejak awal kerajaan ini banyak tercatat sejarah dan peninggalannya di bumi Jawa Timur. Raja Rajasa yang memerintah selama 1222-1227, mempunyai beberapa putera, di antaranya Mahisa Wong Ateleng dan Tohjoyo, sedangkan putera tirinya Anusapati di kemudian hari adalah yang membunuhnya.

Sepeninggal raja Rajasa, Singosari diperintah oleh Anusapati yang berkuasa selama 1227-1246. Dalam pemerintahan Raja Anusapati kerajaan cukup aman. Setelah raja wafat digantikan oleh saudaranya, Tohjoyo yang tidak seberapa lama karena meninggal dunia.

Pengganti Tohjoyo adalah Ranggawuni yaitu putera Anusapati, bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana berkuasa selama 1248-1268. Selama memerintah di kerajaan Singosari ia bekerjasama dengan saudaranya, Mahisa Campaka. Dalam pemerintahannya raja memperhatikan hamba sahayanya dan membalas jasa kepada mereka yang telah banyak membantu waktu masih memerintah raja mengangkat pula puteranya (Kertanegara) menjadi Raja Muda. Bersama puteranya raja memimpin kerajaan. Saat Raja Wisnuwardhana wafat pada 1268 Kertanegara mendirikan beberapa bangunan suci berupa candi sebagai dharma baktinya kepada sang ayah. Satu di antara bangunan itu adalah Candi Jago yang terwujud sebagai bangunan Budha dan Hindu.

Deskripsi Candi Jago
Candi Jago menghadap ke timur, pintu candi berada di sebelah barat. Candi mempunyai bentuk berundak-undak; urutan dari bawah disebut kaki, badan dan atap candi. Pada bagian bawah, yaitu kaki candi, dibuat bersusun tiga tingkat, di atas kaki berdirilah badan candi.

Pada dinding luar candi dipahatkan relief-relief. Untuk mengikuti urutan ceritera kita berjalan mengelilingi candi dengan mengirikan candinya.

Relief pada teras pertama, yaitu undak terbawah sebagai berikut: Sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal ceritera binatang seperti halnya ceritera Tantri. Ceritera ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat ceritera binatang, yaitu kura-kura yang sedang bercanda. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi mengigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.

Pada sudut timur laut terdapat serangkaian ceritera melukiskan ceritera Budha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada Dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Budha.

Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa ceritera Kunjarakarna. Ceritera ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Budah antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksdunya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Budha akhirnya keinginan raksasa terkabul.

Pada Teras kedua terpahat ceritera Parthayajna, berasal dari Kitab Mahabharatha. Isinya mengisahkan Sang Arjuna dan saudaranya yang mengalami kekalahan main dadu, sehingga Arjuna harus bertapa di Gunung Indrakila.

Pada teras ketiga terdapat ceritera Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Nirwatakawaca.

Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan ceritera Kresnayana, yaitu kisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna.

Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk sekarang sudah tidak ada bekasnya.

Sekarang bangunan sucinya perlu dilestarikan karena di samping masing mempunyai nilai budaya tinggi juga masih bermanfaat. Bagaimana pun pelestarian pada bangunan kuno seperti halnya Candi Jago tidak perlu dilakukan mengingat begitu tinggi nilai sejarahnya. Candi Jago tidaklah semata-mata merupakan bangunan religi seperti misalnya Candi Prambanan, Mendut atau Kalasan di Jawa Tengah. Candi Jago dan candi yang lain di Jawa Timur kebanyakan melambangkan makam atau sebagai bangunan tempat pemujaan kepada leluhur atau arwah raja. Hiasan-hiasan pada bangunan banyak ditemukan ragam ceritera wayang atau panji dan tokoh raja yang berkedudukan sebagai dewa/dewi, seperti di Candi Jago tersebut Raja Wisnuwardhana dilambangkan sebagai Sang Budha.

Selain pelestarian bangunan yang bernilai sejarah yang juga perlu dilakukan adalah penerapan dan pemanfaatan bangunan tersebut di masa sekarang.

Candi Jago yang masih ada sampai sekarang dapat diperankan sebagai sumber pengetahuan, yaitu selain dari segi seni pahat maupun ukir, juga ilmu bangunan dan filsafat, di samping sebagai suatu panorama keindahan di bidang obyek wisata karena keindahan alam di sekitar candi dan taman membuat daya tarik tersendiri.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
 
Candi Jawar di Lereng Gunung Semeru

Candi Jawar yang di lereng selatan Gunung Semeru, Jawa Timur, merupakan peninggalan purbakala sebagai tempat yang sangat baik bagi siapa saja untuk memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Hyang Pasupati. Menurut beberapa sumber, candi ini ditemukan oleh penduduk setempat sekitar tahun 1982-1983. Konon, tempat ini dulunya digunakan oleh para pandita, tokoh spiritual, raja-raja -- termasuk Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.