• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Pura dan Candi di Indonesia

Umat Hindu di Sekitar Alas Purwo

Umat Hindu di Sekitar Alas Purwo
Jati Diri sebagai Penganut Hindu Mulai Bangkit

PIODALAN di Pura Giri Selaka, Alas Purwo, Banyuwangi, yang jatuh tiap hari Pagerwesi, selalu menyisakan keunikan tersendiri. Seperti tampak pada piodalan Rabu (11/8) lalu, perpaduan unsur Hindu Bali dengan Hindu Jawa menjadi sarana pemersatu ke tujuan yang sama, yakni pemujaan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Umat Hindu Banyuwangi seolah mendapatkan tuntutan spiritual untuk menemukan kembali nenek moyangnya. Umat Hindu Kecamatan Tegaldlimo, yang mewilayahi Pura Giri Selaka, Alas Purwo, Banyuwangi saat ini jumlahnya sekitar 1.500 KK. Mereka tersebar di sembilan desa. Sebagian besar mata pencaharian mereka sebagai petani.

Menurut Ketua Parisada Kecamatan Tegaldlimo Yuwono, jika menengok sejarah nenek moyang mereka di bumi Jawa, semuanya bermula dari ajaran Hindu. Hanya, situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan mereka muncul. Mereka tidak berani terang-terangan menunjukkan jati diri sebagai umat Hindu. Mereka umumnya mengaku diri sebagai penganut kepercayaan atau kebatinan.


Baru sejak tahun 1967, mereka mencoba menemukan identitas diri sebagai umat Hindu. Itu pun sebagian besar mereka yang memang imannya kuat. Lain halnya yang tidak kuat, apalagi mayoritas umat Hindu tinggal jauh di pedalaman dan berada di golongan miskin. Mereka menutup diri yang pada akhirnya tak percaya diri.


Meski mereka lama hidup terasing, niat untuk kembali mencari jati dirinya yang sebenarnya sangat tinggi. Dengan perjuangan yang tidak kenal lelah, umat Hindu Kecamatan Tegaldlimo akhirnya berhasil mewujudkan sebuah Pura Giri Selaka, Alas Purwo, sebagai salah satu simbol Hindu yang kini mereka banggakan. Pura yang menelan lahan dua hektar itu, memang awalnya adalah sebuah situs yang masuk catatan Dinas Kepurbakalaan.


Berbekal dengan keyakinan umat Hindu itulah, sejak 1996, Pura Giri Selaka, Alas Purwo mulai dirintis pembangunannya. Jumlah dana yang dianggarkan membangun pura itu mencapai Rp 12 milyar dan dibagi menjadi tiga tahap. Untuk tahap I, pembangunan telah mencapai pada upacara pemelaspasan kori agung, padmasana dan sejumlah pelinggih. Untuk tahap berikutnya, ditargetkan dalam lima tahun ke depan.


Kurangnya dana bagi umat Hindu Kecamatan Tegaldlimo bukanlah menjadi faktor penghambat pembangunan Pura Giri Selaka, Alas Purwo. Sejumlah donatur berdatangan, utamanya umat Hindu dari Bali. Tak terkecuali juga Gubernur Bali Dewa Made Beratha. "Kami hanya ingin mendorong umat Hindu sekitar Alas Purwo, merekalah yang kelak menjadi penyokong utama keberadaan Hindu di Banyuwangi," ujar Gubernur Bali Dewa Made Beratha yang turut hadir saat piodalan Pagerwesi belum lama ini.


Ketua panitia piodalan Pura Giri Selaka, Alas Purwo, Suparno mengatakan, dipilihnya Pagerwesi sebagai hari piodalan merupakan hasil kesepakatan umat Hindu Banyuwangi.
Kebetulan pula, mendem pedagingan Pura Giri Selaka, Alas Purwo pertama kali dilaksanakan bertepatan dengan hari Pagerwesi.

Untuk tiap kali proses piodalan, umat Hindu Kecamatan Tegaldlimo selalu diusahakan menjadi ujung tombak karya. Dalam proses pembangunan, peran umat Hindu dari Bali juga dilibatkan secara tidak langsung.
Seperti dituturkan pemangku Pura Giri Selaka Mangku Adi, hampir semua rangkaian piodalan dituntun sesepuh Hindu dari Bali. Mereka selalu menyebut sesepuh Hindu, sebagai penghargaan atas kedalaman terhadap ajaran-ajaran Hindu yang dulu mereka sempat abaikan. Sebutlah untuk piodalan pada Pagerwesi yang lalu, karya di-puput oleh Ida Pedanda Gde Putra Bajing dan Ida Pedanda Putra Tembau. Sementara untuk proses lainnya, telah dipercayakan kepada para pengemong dan tokoh Hindu setempat.
Seperti halnya di sejumlah pura lainnya di luar Bali, untuk di Pura Giri Selaka, Alas Purwo, semangat kegotongroyongan dan ngayah umat sangat tinggi. Walaupun mereka tinggal jauh dari Pura Giri Selaka, tetapi untuk rangkaian piodalan telah memanggil semangat ngayah. Mereka beramai-ramai datang ke pura. Seperti dikatakan Suparno, dua hari sebelum piodalan, mereka telah makemit di Pura Giri Selaka. Tidak saja, para orang tua, tetapi juga sejumlah anak muda dan anak-anak Hindu pun memiliki semangat ngayah yang tinggi.

Pembina Yayasan Widya Puspita Soekardi yang khusus membina anak-anak sekolah, mengaku ada kebanggaan yang didapatkan anak-anak mereka ketika ngayah menari di pura atau dalam tiap kali acara keagamaan. Itulah sebabnya, yayasan yang berdiri sejak dua tahun lalu itu, tidak pernah bersedia tampil di luar acara piodalan atau keagamaan. Dengan demikian, anak-anak Hindu Banyuwangi sejak kecil telah tertanam sifat mayadnya, sebagai filosofi mendasar dari ajaran Hindu.


Ia mengatakan, kalau sudah diajak ngayah, mereka pasti senang, walaupun hanya tidur di bawah tenda selama dua atau tiga hari sebelum piodalan. Soekardi menambahkan, untuk di Pura Giri Selaka, memang pihaknya membawa tenda khusus untuk makemit penarinya. Selain melibatkan sejumlah tarian daerah Banyuwangi sebagai sarana ngayah dalam piodalan kali ini, para generasi muda Hindu Kecamatan Tegaldlimo, lokasi Pura Giri Selaka, juga menyediakan waktunya untuk membuat canang sari bagi para pemedek. Hal itu dilakukan sejak hampir seminggu sebelum piodalan dilaksanakan. Dengan demikian, pemedek yang ingin tangkil, jangan kaget bila panitia piodalan telah menyiapkan segala sarana persembahyangan.

"Kami bangga akan filosofi Hindu yang mengajarkan semangat mayadnya. Mudah-mudahan kawan-kawan kami yang lain, bisa kembali seperti kami," ujar Suyono, seorang pemuda setempat. Yang dia maksud kawan lain, tentunya mereka yang selama ini berpaling ke keyakinan lain, meski mengakui nenek moyangnya adalah penganut Hindu. Keyakinan itu didapatkan setelah melihat berbagai tradisi yang dilaksanakan selama ini oleh masyarakat setempat, dengan menyerupai ajaran Hindu. "Kami perlu pembinaan intensif lagi soal ajaran Hindu dan bersyukur kawan-kawan dari Bali bersedia menuntut kami di Jawa," katanya. * Agus Astapa
Source : Balipost
 
Jejak Kearifan di Pusat Jagat Bali

Situs tua kawasan Pejeng, yang membentang dari Tirta Empul hingga Goa Gajah, Kabupaten Gianyar, mendenyar-denyarkan kearifan spiritual tetua Bali perihal pemuliaan air dan perayaan keragaman.

Segala yang padat berasal dari yang cair, dan kepada yang cair itu pulalah segala yang padat akhirnya akan kembali.

Kearifan pandangan tetua Bali yang tersurat dalam teks-teks kerohanian kuno itu memberi tuntunan hidup, betapa segenap makhluk hidup di Bumi ini sangat tergantung pada air. Dari air atau sesuatu yang cairlah tubuh manusia beserta Bumi ini berasal dan akhirnya ke dalam air itulah akan kembali dilarutkan.

Kearifan pandangan hidup demikian berlangsung di Bali sejak zaman kuno, nun di masa lampau. Lintasan zaman sejarah memastikan, betapa pusat-pusat kerajaan Bali di masa Bali Kuno pun sangat mengutamakan pertimbangan adanya sumber-sumber air. Tidak mengherankan bila situs-situs tinggalan Bali Kuno lantas ditemukan sangat berdekatan dengan sumber-sumber air, seperti pantai, danau, sungai, ataupun mata air. Pusat Kerajaan Bali Kuno pertama diperkirakan berada di kawasan Bali Utara, di kawasan Bulian yang kemudian berkembang ke arah Kubutambahan, Buleleng Timur. Lalu, bergeser ke kawasan Kintamani, Bangli. Di sini ada Danau Batur sebagai sumber air terbesar di Bali. Dari kawasan Kintamani, Bangli, pusat Kerajaan Bali Kuno lantas bergeser ke arah selatan yang kini dikenal sebagai wilayah Tampaksiring, Pejeng, hingga Bedulu, semua di wilayah Kabupaten Gianyar. Ini memang “pusat jagat” Bali Kuno abad ke-10 hingga abad ke-14, sebagaimana dapat dicermati dari nama pura tua di pusat Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Pura ini dinamakan Pura Pusering Jagat.

Puser dalam bahasa Bali berarti pusat. Pusering Jagat berarti “pusat jagat”. Jagat yang dimaksud tentu adalah jagat Bali, lebih istimewa lagi jagat Bali Kuno abad ke-10 sampai ke-14, sebelum akhirnya Bali ditaklukkan permanen oleh pasukan Majapahit dari tanah Jawa. Secara kosmologis kawasan Tampaksiring hingga Bedulu ini tampak berhadap-hadapan langsung dengan kawasan pebukitan Kintamani yang berpuncak di Gunung Panulisan, di sebelah utara Kintamani yang kini menjadi wilayah Kabupaten Bangli membentang ke arah barat sebagai Pegunungan Batukaru. Di arah timur laut terletak Gunung Agung. Sedangkan secara geografis kawasan ini tampak dibentengi dua sungai (tukad), di sebelah barat ada Tukad Petanu sedangkan di sebelah timur Tukad Pakerisan. Kedua sungai ini berpusat di satu sumber air, Tirta Empul, yang kini berada di lingkungan Desa Manukaya, Tampaksiring—dekat Istana Kepresidenan RI,
Tampaksiring.

Tirta Empul merupakan situs kuno, memang. Nama Tirta Empul sudah tercantum dalam Prasasti Manukaya, berangka tahun 884 Saka atau 962 Masehi. Prasasti ini dikeluarkan Raja Candrabhayasingha Warmadewa. Dalam prasasti disebutkan, sang Raja Candrabhayasingha Warmadewa pada bulan keempat paro terang hari ketigabelas tahun Saka 884 telah memperbaiki permandian suci di Air Mpul yang batunya telah rusak akibat aliran air. Air suci dalam bahasa Bali dikenal dengan sebutan tirta, karena itu Air Mpul yang dimaksud dalam prasasti itulah kini dikenal dengan nama Tirta Empul. Itu berarti Tirta Empul paling tidak sudah ada sejak abad ke-10, kurang lebih 1100 tahun silam! Sungguh luar biasa, karena fungsinya tetap tidak berubah dari zaman ke zaman. Tirta Empul tetap sebagai kawasan suci dan sumber air suci.

Sumber air Tirta Empul inilah kemudian mengalir menjadi Tukad Pakerisan di sisi timur dan Patanu di sisi barat. Air yang mengalir dari Tirta Empul ini dinilai suci, karenanya sampai kini masyarakat Bali di sekitar menjadikan air Tirta Empul ini sebagai air suci yang digunakan dalam upacara-upacara tertentu. Dari satu sumber mata air Tirta Empul yang dibuatkan kolam bernama Telaga Tirta Suci ini lantas dialirkan sehingga menjadilah masing-masing Tirta Teteg, Tirta Sudamala, Tirta Pangelukatan, Tirta Pamarisuda, Tirta Pamlaspas, Tirta Panglebur Ipian Ala, Tirta Pangentas, dan Tirta Pabersihan semua semacam ruwatan di Jawa.

Masyarakat awam di Bali memahami Tirta Empul terkait dengan mitos penaklukan Raja Mayadanawa oleh Batara Indra. Konon, Raja Mayadanawa ini sangat sakti. Dia melarang rakyat Bali menghaturkan persembahan apa pun kepada para dewata, sebaliknya meminta rakyat agar memuja dirinya sebagai dewata. Karena keangkuhannya ini para dewata di kahyangan lantas mengutus Batara Indra memerangi Mayadanawa. Tiada terhindarkan, terjadilah perang amat dahsyat antara pasukan Batara Indra melawan pengikut Mayadanawa. Setiap kali Mayadanawa terdesak dia lantas menciptakan yeh cetik (air racun). Pasukan Batara Indra tewas setiap kali meminum yeh cetik.

Guna mengalahkan yeh cetik ciptaan Mayadanawa, Batara Indra lantas menciptakan benteng membendung yeh cetik. Berikutnya, dari dalam tanah menyembullah air bening, dinamakan Tirta Empul. Konon, Tirta Empul atau air yang menyembul dari dalam tanah inilah yang dapat menghidupkan kembali bala tentara pasukan Batara Indra yang telah tewas oleh yeh cetik Mayadanawa. Di akhir kisah disebutkan, Mayadanawa pun dikalahkan Batar Indra.

Mitos yang tertuang dalam teks Usana Bali itu tentu sulit dibuktikan kebenarannya. Namun satu hal bisa dipastikan: fungsi utama air Tirta Empul itu adalah menyucikan, membersihkan, melebur kekotoran lahir maupun batin menjadi bersih, suci, hening. Selain itu, air juga menyimbolkan kesuburan, atau simbol kehidupan itu sendiri. Air itu mengalir terus seperti kehidupan yang terus berlanjut, dan kehidupan pun berjalan terus seperti aliran air. Tiada kehidupan di Bumi tanpa topangan air, karena itu air menjadi hal yang sangat penting dijaga kelangsungan, kelestarian, dan kemurniannya. Kesadaran terhadap betapa penting makna dan fungsi air bagi kehidupan segenap makhluk itulah kiranya menjadikan masyarakat Bali agraris sangat memuliakan air. Ritus-ritus pemuliaan sumber-sumber air pun digelar dalam kurun-kurun waktu tertentu secara terus-menerus.

Sumber-sumber mata air dikeramatkan agar tidak dirusak ulah-ulah yang tidak sepatutnya. Setiap ritus keagamaan diawali dan diakhiri dengan air suci yang dinamakan tirta. Dengan air kehidupan dimuliakan, dengan memuliakan air kesuburan tanah pun terjaga. Air, karena itu, dalam peradaban Bali menjadi hal yang sangat esensial. Air menjadi lambang kesucian sekaligus kesucian itu sendiri. Aliran air yang jernih memberikan vibrasi ketenangan bagi pikiran, dan gemericik titik-titik air yang bening pun memberikan getaran keheningan pada batin. Tidak heran bila di sepanjang aliran Tukad Pakerisan maupun Patanu membentang situs-situs kuno, baik berupa petirtaan atau permandian suci maupun pertapaan, tempat mengheningkan pikiran dan batin bagi penempuh jalan spiritual. Di sepanjang Pakerisan, misalnya, ditemukan Candi Yeh Mangening, Candi dan Pertapaan Gunung Kawi, Pertapaan Goa Garba, Candi dan Pertapaan Tegallinggah. Sedangkan di sepanjang Petanu terdapat Candi dan Pertapaan Kelebutan Tatiapi dan Pertapaan Goa Gajah.

Di antara tinggalan-tinggalan masa lampau yang gemilang itu, Petirtaan, Pertapaan, sekaligus Candi Gunung Kawi memang terbilang paling besar dan paling utuh keadaannya sampai kini. Candi Gunung Kawi ini diketahui telah dibangun semasa Marakata menjadi Raja Bali tahun 1049-1077 Masehi menggantikan Raja Sri Dharma Udayana, ayahnya, Raja Bali dari tahun 989-1011 Masehi. Raja Marakata kemudian digantikan sang adik, sekaligus putra bungsu Raja Udayana, bernama Anak Wungsu. Diperkirakan setelah tewas, abu jenazah Anak Wungsu yang tanpa keturuanan ini dicandikan di Candi Gunung Kawi. Dengan begitu dapat dipastikan, Candi Gunung Kawi yang juga merupakan lokasi petirtaan sekaligus pertapaan ini sudah dibangun sejak abad ke-11.

Petirtaan sekaligus Pertapaan besar yang lain ada di Goa Gajah yang kini berada di wilayah Desa Bedulu, Kecamatan Blabatuh, Kabupaten Gianyar. Di tebing-tebing batu padas di Goa Gajah ini ada pahatan-pahatan jelas, sebagian lagi tertutupi tanah akibat reruntuhan aliran sungai dengan tebing batu padas.

Petirtaan Goa Gajah merupakan kompleks pertapaan dengan kolam dan pancuran serta tinggalan benda-benda kuno, seperti arca Hariti, Dwarapala, Ganesa, Dyani Budha, dan sebagainya. Dalam gua yang berbentuk huruf T terdapat beberapa ceruk. Pada ceruk sebelah timur tersimpan arca trilingga, sedangkan di ceruk sisi barat terdapat arca Ganesa. Di kawasan ini juga ditemukan sejumlah stupa dengan bentuk relief menyerupai relief Candi Borobudur dari abad ke-8 hingga abad ke-9 Masehi di Jawa Tengah. Ini menunjukkan betapa kuat akar ajaran Budhisme di masa Bali Kuno. Dari tinggalan-tinggalan arkeologis ini disimpulkan: kawasan Goa Gajah di masa lampau sangat mungkin merupakan kompleks pertapaan dan pemujaan bagi penganut Budhisme maupun Siwaisme.

Mencermati tinggalan candi, petirtaan, maupun pertapaan di sepanjang aliran Pakerisan dan Petanu, kita diingatkan pada wihara-wihara di India dari abad ke-5-6 Masehi, seperti di Ellora dan Ajanta, yang juga dipahatkan pada tebing batu karang. Namun, dari sisi bentuk tidak satu pun candi maupun pertapaan tersebut sama dengan di India. Bentuknya sangat khas Bali, karena di daerah lain di luar Bali belum ditemukan. Ini menunjukkan jelas betapa tinggi kreativitas jenius-jenius Bali terdahulu. Tetua Bali tidak menerima begitu saja pengaruh asing, melainkan senantiasa diberikan sentuhan lokal. Ini menunjukkan jelas: betapa cerdas dan cermat daya adopsi maupun adaptasi para tetua Bali di masa lampau.

Meskipun dari sisi bentuk sangat berbeda, namun tata aturan pembangunan pertapaan, candi, maupun wihara di Bali masa lampau sangat ketat mengikuti tata aturan sebagaimana disuratkan dalam kitab India bernama Wastusastra atau Silpasastra. Antara lain, tempat suci sebaiknya didirikan dekat sumber air atau tirta. Sangat bagus bila dekat pertemuan (campuhan) dua atau lebih aliran sungai, danau, laut. Bahkan bila tidak ada sumber air di sekitarnya, kitab Silpasastra menganjurkan, sepatutnya dibuatkan kolam buatan di halaman bangunan suci bersangkutan.
Air memang menjadi pertimbangan sekaligus orientasi utama. Hampir semua petirtaan, candi, maupun pertapaan di sepanjang Tukad Pakerisan maupun Petanu ini arah orientasinya terpusat pada Tirta Empul di hulunya. Dalam arah mata angin itu berarti mengarah ke utara. Utara atau kaja di Bali berarti menuju ke arah gunung. Gunung melambangkan keabadian. Kepada Yang Abadi itulah manusia sepatutnya menuju, mengorientasikan segenap hidupnya di Bumi ini.

Begitulah memang arah orientasi kosmologi maupun geografi di Bali, terpusat pada gunung sebagai hulu. Maka air yang ada di arah ketinggian, di hulu, di utara, menjadi sakral, suci. Kesuburan pun dikonsepsikan berasal dari gunung ke laut, atau dari hulu ke hilir. Bisa dimengerti bila hampir di semua bangunan suci atau pura kuno yang ada di kawasan Tampaksiring, Pejeng, hingga Bedulu sebagai pusat kerajaan Bali Kuno abad ke-11 hingga abad ke-14 ini menyimpan arca sakral berupa lingga dan yoni, dalam berbagai ukuran maupun beragam bahan. Umumnya terbuat dari batu yang keras, ada kalanya juga terbuat dari batu cadas.

Lingga atau phallus yang berbentuk alat kelamin lelaki itu sebagai simbol energi maskulinitas, sedangkan yoni atau vulva
yang menyerupai alat kelamin perempuan itu sebagai simbol energi feminitas. Di alam semesta, gunung-lah simbol lingga paling abadi, sedangakan laut, danau, sungai, atau sumber-sumber air sebagai wujud yoni. Pertemuan keduanya akan mengakibatkan terjadinya penciptaan, kesuburan. Dan, kesuburan, kehidupan, sangat tergantung pada air. Hamparan lahan sawah tiada akan memberi kesuburan, melainkan justru menjadi tandus, kering kerontang, bila tidak dialiri air. Penyakralan dan pemujaan lingga-yoni itu dalam satu pura tidak terbatas hanya menunjukkan pemujaan bagi unsur kesuburan, pemuliaan pada gunung dan air sebagai muasal kesuburan dan kehidupan, tapi sekaligus memberi pelajaran makna kesetaraan sekaligus perayaan penuh kearifan terhadap keanekaragaman, pluralitas. Bahwa di situ aspek maskulin maupun feminin sama-sama dimuliakan, bukan dibeda-bedakan, apalagi didiskriminasi.

Di situs “pusat jagat” Bali Kuno ini perayaan keragaman atau pluralitas tampak nyata dari pemujaan Siwa dan Budha, sebagaimana sangat nyata dilakukan masyarakat Bedulu dan sekitarnya di Pura Samuhan Tiga. Di Samuan Tiga inilah disebut-sebut Raja Udayana lewat Senapati Kuturan pernah menggelar pertemuan sekte-sekte besar dalam agama Siwa dan Bhuda pada abad ke-11, hingga akhirnya melahirkan sinkretisasi yang dinamakan Tritunggal atau Trimurti: Brahma, Wisnu, dan Siwa/Iswara. Dengan formulasi “trilogi” Trimurti itu, nyaris paripurnalah penghargaan, pengagungan, dan perayaan keragaman penghayatan keagamaan di Bali pada zamannya.

Inilah jejak kearifan paling nyata dari “pusat jagat” Bali Kuno yang sepatutnya terus-menerus disusuri, direnung-renungkan, digemakan ke relung sanubari oleh generasi-generasi masa kini di seantero jagat: Betapa keragaman, pluralitas, itu sesungguhnyalah adalah anugerah dan kenyataan kehidupan di alam semesta ini. Keragaman itu akan senantiasa ada dan mengalir, sebagaimana air suci Tirta Empul terus menyembul dan mengalir dari zaman ke zaman, memberi karunia kesuburan bagi masyarakat di sepanjang Sungai Pakerisan dan Patanu. *I Ketut Sumarta
 
Pura Kehen

Pura Kehen sebagai Pasraman
kehen1.JPG

Yasya
sarve samarambhah
kama
samkalpa varjitah.
knyanagni
dagdha karmanam.
tamahuh
panditam budhah (Bhagawag Gita VI.19).
Maksudnya:
Ia
yang bekerja tidak terikat dengan hasilnya (niskama karma). Ketidakterikatannya itu karena pengetahuannya telah dinyalakah oleh api ilmu pengetahuan suci (Jnyana agni). Beliau itulah yang disebut oleh orang bijaksana sebagai Pandita.

PURA Kehen ini terletak di timur laut kota Bangli. Pura ini dari segi arsitekturnya sangatlah megah dan indah. Karena itu pura ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan karena daya tarik arsitektur spiritualnya serta tata letaknya dengan latar belakang perbukitan dekat kota Bangli. Pura ini tergolong pura yang kuna.

Di
Pura Kehen ini terdapat tiga buah prasasti. Dari tiga prasasti inilah dapat sedikit diungkap keberadaan Pura Kehen ini. Prasasti ini sudah pernah dibaca oleh seorang ahli arkeologi dari Belanda Dr. P.V. Van Stain Callenfanls. Hasil penelitiannya telah dimuat dalam buku ''Epigraphna'' yang terbit tahun 1926.

Tiga
prasasti tersebut ada yang berbahasa Sansekerta dan ada yang berbahasa Jawa Kuno. Dari segi bahasa Sansekertanya pura ini sudah ada pada abad ke-9 Masehi. Yang berbahasa Jawa Kuno dengan angka tahun 1204 Masehi yang menyebutkan nama Senapati Kuturan.
Nampaknya Pura Kehen ini adalah sebuah pasraman para resi untuk mengembangkan konsep hidup berdasarkan Asrama Dharma. Artinya tujuan hidup ini diselesaikan dalam setiap asrama. Brahmacari Asrama untuk memperoleh pemahaman dharma. Grhasta Asrama untuk mencapai artha dan kama. Sedangkan dalam kehidupan Wana Prastha dan Saniyasin Asrama tujuan hidup untuk menyiapkan tujuan akhir yaitu moksha.

Pura
Kehen sebagai tempat umat belajar kepada para resi yang berasrama di Pura Kehen ini. Dalam prasasti ini ada dinyatakan Tuhan sebagai Hyang Api, Hyang Tanda dan Hyang Karimama. Ada tiga resi yang berasrama di pura ini yaitu Siwa Kangsita, Siwa Pradnya dan Siwa Nirmala. Pemujaan Hyang Api inilah menjadi istilah Kehen yang juga artinya api.
Menurut Dr. Made Titib, Ph.D., Pura Kehen ini sebagai Agni Sala yaitu tempat diselenggarakannya upacara Agni Homa sebagai syarat dalam mempelajari Veda. Karena dalam Canakya Nitisastra juga ditegaskan bahwa mendalami Veda tanpa Agni Homa akan sia-sia. Dr. Made Titib menyatakan di Bali sampai pada zaman Mpu Kuturan tidak kurang dari tujuh puluh asrama lengkap dengan Agni Sala-nya sebagai wadah pendalaman ajaran kerohanian Hindu.

Pemujaan
Tuhan sebagai Agni sebagai simbol Jnyana Agni untuk membangun sikap niskala karma sebagaimana dinyatakan dalam kutipan Sloka Bhagawad Gita di atas. Karena mereka yang membangun kemampuan diri dengan Jnyana Agni-lah yang akan dapat berkarma yang Niskama itu. Adanya tiga pandita yang disebut Bhiku Siwa Kangsita, Bhiku Siwa Prajnya dan Bhiku Siwa Nirmala sebagai pemimpin Pasraman Pura Kehen.

Ketiga
pandita ini adalah tergolong Pandita Siwa yang telah mencapai tahapan hidup Bhiksuka atau Sanyasin Asrama. Tiga pandita ini disebut sebagai Siwa Kangsita. Dalam bahasa Jawa Kuna kata ''kangsi'' itu berarti alat musik dari kuningan. Nampaknya Bhiku Siwa Kangsita ini adalah seorang Pandita Sanyasin yang khusus ahli dalam ilmu musik spiritual. Karena seni salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai kerohanian Veda.

Dengan
seni itu ajaran suci Veda tidak saja hanya memberi ilmu semata, tetapi juga menumbuhkan kehalusan jiwa. Karena itu Veda disebut Rg, Sama dan Yajur. Rg artinya nyanyian suci. Maksudnya untuk menanamkan nilai-nilai suci Veda ke dalam lubuk hati umat dengan cara menyanyikan mantram-mantram suci Veda itu. Sama artinya melodi. Menyanyikan Mantra Veda itu dengan diberi melodi sehingga menjadi lebih indah.

Sementara
Yajur artinya ber-yajnya. Maksudnya mantram Veda itu untuk mengantarkan upacara Yajnya oleh para pandita. Bhiku Siwa Prajnya adalah Pandita Sanyasin yang ilmu pengetahuan sucinya telah Jnyana Agni dengan kemampuan Wiweka Jnyana yang sudah sangat mapan. Karena beliau disebut Siwa Prajnya artinya Pandita Sanyasin ini telah paham pada hakikat Tuhan Siwa. Atau dalam istilah sekarang Bhiku Siwa Prajnya ini adalah seorang theolog sejati yang paham akan Brahma Widya dan Atma Widya.
Bhiku Siwa Nirmala adalah Pandita Sanyasin yang memiliki spesialis untuk menuntun para siswa kerohanian dalam oleh spiritual. Ini artinya Pura Kehen sebagai asrama dipimpin oleh tiga pandita yang sudah Sanyasin atau Bhiksuka. Tiga pandita itu adalah seorang seniman agama, seorang ilmuwan agama dan seorang rohaniwan agama Hindu.

Tiga
pandita inilah sebagai guru suci di Asrama Pura Kehen. Bhiku Siwa Kangsita untuk mengembangkan emosi keagamaan lewat seni. Bhiku Siwa Prajnya mengembangkan intelektualitas keagamaan. Sedangkan Bhiku Siwa Nirmala mengembangkan kadar kecerdasan spiritualitas untuk mencapai rohani yang benar-benar Nirmala.

Terpadunya
tiga Pandita Sanyasin ini memimpin Asrama Pura Kehen untuk membangun umat yang utuh dan tangguh. Kalau dihubungkan dengan konsep pendidikan sekarang untuk mengembangkan kadar emosional Bhiku Siwa Kangsita. Mengembangkan kadar intelektual Bhiku Siwa Prajnya, sedangkan untuk mengembangkan kadar spiritual adalah Bhiku Siwa Nirmala. Nampaknya konsep ini sangat tepat untuk dijadikan bahan renungan dalam mengembangkan pendidikan umat Hindu dengan konsep agama ke depan.

Keberadaan
Pura Kehen sebagai asrama ini dikuatkan lagi oleh upacara pujawalinya pada hari Bhuda Kliwon Sinta yang juga disebut hari raya Pagerwesi. Menurut Lontar Sunarigama, Bhuda Kliwon Sinta itu adalah hari payogan Sang Hyang Paramesti Guru yaitu memuja Tuhan sebagai Maha Guru atau gurunya guru. Mungkin istilah sekarang lebih tepat disebut Hari Guru. Artinya hari raya untuk mengingatkan umat untuk hidup berguru sebagai proses memasuki tahapan hidup Brahmacari Asrama.

Dalam
prasasti Pura Kehen yang berbahasa Jawa Kuno menyebutkan Hyang Kehen dan nama Raja dengan gelar Batara Guru Sri Adikuntiketana. Gelar raja ini umumnya diberikan saat dinobatkan atau saat beliau diupacarai setelah wafat dalam proses Dewa Pitra Pratista. Masyarakat umum menyebutkan Ngalinggihang Dewa Pitara-nya sebagai guru. Gelar Batara Guru dan Ketana ini mungkin raja ini sangat peduli dengan pengembangan pendidikan. Kata ''ketana'' dalam bahasa Sansekerta artinya sangat berhasrat atau berkehendak. Karena hasratnya itulah raja diberi gelar Batara Guru. * I Ketut Gobyah
sumber : balipost
 
Pura Pabean

Pura Pabean, Arsitektur Khas dan Kisah Nostalgia

Rangkaian hari raya suci Hindu menghias sebagian hari-hari pada bulan April 2003 ini -- dari Hari Raya Nyepi, Saraswati, sampai Pagerwesi. Adanya hari raya ini terkait pula dengan kegiatan ritual yang dilakukan berbagai pihak dengan melakukan sembah bakti ke tempat-tempat suci, baik peribadatan tempat tinggal masing-masing, maupun di luar tempat kediaman, seperti pantai, atau ke pura-pura yang banyak terdapat di Bali. Salah satu di antaranya adalah Pura Pabean di kawasan Pulaki, Buleleng Barat.

SELAIN sebagai sebuah pura suci Hindu, Pura Pabean di kawasan Pulaki, Buleleng Barat ini juga menyimpan kisah, nostalgia persinggahan atau sebagai pelabuhan bagi pelaut-pelaut dari etnis luar Bali beberapa abad lalu. Dalam perwujudan visualnya, pura ini memasukkan pula unsur-unsur religioitas agama Hindu Bali, Cina (Ciwa, Buddha, Tao, Kong Hu Tju) dan Islam. Adanya palinggih-palinggih yang bernafaskan beberapa keyakinan atau kepercayaan ini membuktikan adanya perkawinan kultur wujud arsitektur Pura Pabean ini.

Maka, tak ayal lagi kalau pura ini disebut Pura Pabean Linggih Ida Batari Dewi Ayu Manik Mas Subandar, atau dengan sebutan lain, Gerya Konco Dewi. Kata pabean sendiri diperkirakan berasal dari suku kata bea, diimbuhi awal pa dan akhiran an. Sehingga pabean bisa diartikan sebagai tempat aktivitas yang berhubungan dengan pengenaan bea-cukai bagi para pelayar yang membawa barang dagangannya ke Bali. Intinya, tentu ada kaitannya dengan tempat berlabuh kapal-kapal asing pada zaman dulu.

Pura ini terletak di seberang jalan Pura Pulaki, yakni di Pantai Pulaki, agak menjorok ke arah laut. Pura ini merupakan salah satu dari lima buah pura yang ada di kawasan Pulaki, yang seluruhnya merupakan stana "Pesanakan Ida Batara Sami" yaitu pesanakan Ida Batara Pulaki, Ida Batara Melanting, Ida Batara Kertaning Jagat (di Desa Banyu Poh), Ida Batara Mutering Jagat (di Dusun Yeh Panes - Pemuteran), dan Ida Batara Pabean.

Pemugaran

Arsitektur Pura Pabean ini merupakan hasil rancangan arsitek Ida Bagus Tugur. Setelah dipugar sekitar tahun 1995, pada 1996 dilakukan upacara memindahkan (magingsir) Ida Batara Pabean sementara waktu (dalam wujud mapurus lumbung) di sebelah selatan lokasi selama pemugaran dan pembangunan pura berlangsung. Kemudian dilakukan upacara malaspas alit tahun 1999, serta ngenteg linggih-nya diselenggarakan tepat pada purnama kelima bersamaan dengan hari Penampahan Galungan, 19 November 2002. Secara keseluruhan fisik arsitekturnya menggunakan bahan baku tabas berwarna hitam.

Dikisahkan oleh Jero Mangku Teken, selaku mangku pengayah di Pura Pabean/Pulaki, bahwa Ida Batara yang malinggih di sini -- konon -- dulunya berasal dari dalem Solo, kemudian hijrah ke Madura, sampai akhirnya tiba Bali, di tempat ini. Dikatakan lebih lanjut, sekitar tahun 1991 pada titik lokasi di Pura Pabean, ditemukan piring Cina oleh seorang profesor dari Jepang. Kemudian tahun 1994 dijumpai lagi empat kerangka manusia -- keempatnya masih memakai gelang -- oleh salah seorang ahli dari Bali. Menurut para ahli atau peneliti, kedua jenis peninggalan itu dikatakan berasal dari dinasti Yim, dan diperkirakan berumur 2500 tahun SM.

Memang, cukup banyak riwayat dan kisah unik tercatat mengisi lembar zaman di persada pesisir Buleleng. Mulai dari penjajahan kolonial Belanda, perjalanan Dang Hyang Dwijendra, era pemerintahan raja Ki Barak Panji Sakti, sampai pada kedatangan perahu-perahu dari Tiongkok, Bugis, Mandar, dan Melayu, yang merapat di beberapa pelabuhan pesisir Buleleng membawa barang-barang dagangannya. Dalam persinggahannya, tentu juga mengusung kultur dan agama yang dianut dari negeri asalnya.

Seperti dituturkan Jero Mangku Teken asal Desa Kalisada, Kecamatan Seririt itu, ada sepotong kisah yang bersumber dari palingsir-nya -- neneknya yang bernama Ninik Made Merik yang telah di-aben pada tahun 1988, ada versi yang sedikit berbeda dengan apa yang diungkap dalam Dwijendra Tatwa. Perbedaan tersebut menyangkut pada kisah kedatangan Pedanda Sakti Wawu Rauh dari Jawa.

Dalam versi ini diceritakan, saat kedatangan pertama Dang Hyang Dwijendra ke Bali, sudah malinggih Ida Batara Pulaki di lokasi Pura Pulaki sekarang. Wujud visualnya ketika itu berupa batu lempeh. Ketika Dang Hyang Dwijendra tiba -- yang konon berlayar dengan menggunakan tongkat -- di Pantai Pulaki, Ida Batara Pulaki sempat menguji kesaktian Dang Hyang Dwijendra dengan cara menampakkan diri berwujud manusia tak berkaki dan tak berlengan (hanya memiliki badan dan kepala). Nah, sejauh mana kebenaran atau otentisitasnya, tentu para ahli yang berkompeten punya kewajiban untuk meneliti segi historisnya.

Tiga Zona

Secara menyeluruh, tapak (site) Pura Pabean ini terbagi atas tiga zona pokok, sebagaimana pembagian tata ruang arsitektur pura atau tata nilai tradisional yang berlaku di Bali pada umumnya. Yaitu terbagi atas zona jaba sisi -- mulai dari jalan setapak yang dibuat mengelilingi pura, sampai dengan pelataran depan Gelung Kori. Kemudian zona jaba tengah yang terdiri atas bangunan Wantilan dua buah yang masing-masing terletak secara simetris di sisi kiri dan kanan, serta adanya Bale Peninjauan dan Bale Kulkul.

Bale Peninjauan untuk sementara difungsikan sebagai Bale Kulkul (karena Bale Kulkul yang sesungguhnya belum selesai dibangun, yakni terletak di sebelah gelung kori bagian kanan. Penataan massa bangunan secara keseluruhan berpola simetri. Dengan garis sumbu orientasi menuju ke arah hulu atau kaja (ke arah gunung) dan teben atau kelod (ke arah laut).

Pola penataan yang simetri bermakna keseimbangan, kestabilan dan ketenangan menuju titik keheningan yang dituju. Sumbu simetri bermakna mengarahkan dan mengumpulkan konsentrasi ke pusat yang tertinggi. Maka ujung titik dari perpanjangan garis sumbu berakhir pada titik tempat yang sangat disucikan, tempat ber-stana Tuhan Sang Maha Pencipta. Pada titik inilah berdiri Padmasana sebagai tempat malinggih Hyang Maha Tunggal, berada pada areal tertinggi, yang merupakan zona jeroan.

Adapun sumbu simetrinya dapat dimulai dari massa palinggih yang paling depan, yaitu Jero Nyoman Pamungkah Karang (Jero Patih Agung) yang diapit oleh dua ekor "naga suci" di kiri kanannya. Kemudian disusul dengan Bale Pegat. Selanjutnya palinggih Pengaruman Agung -- tempat peraneman Ida Batara Sami, yang bangunannya berbentuk segi delapan (hexagonal) dipadukan dengan bentuk bunga teratai. Bentuk segi delapan itu juga disebut patkua bagi etnis Tiongkok, bentuk dasar yang memiliki nilai magis-spiritual.

Hal ini mengandung makna kebaikan yang datang dari segala sisi, pun bermula dari konsep asta dala (delapan penjuru mata angin dengan satu titik di tengah), secara fisik dikelilingi kolam berbentuk lingkaran. Jika menukik lebih dalam lagi mungkin terkait dengan sebuah kalimat bijak dalam Reg Weda yang berbunyi "Aum a no bhadrah kratawo wiswatah", yang artinya "semoga semua pikiran yang baik datang dari semua arah".

Di belakang Pengaruman Agung berderet beberapa palinggih, paling tengah adalah Padmasana yang merupakan bangunan paling tinggi dimensi/ukurannya di antara keseluruhan bangunan dalam pura ini. Pada puncak dari Padmasana berdiri teguh bentuk aksara ongkara (Ang - Ung - Mang). Sedangkan pada bagian depan atas Padmasana menempel relief acintya yang dibuat dari bahan emas.

Lebih jauh jika diamati, hampir seluruh gugus massa arsitektur pura ini, setiap puncaknya mengusung aksara tersebut. Kemudian, lebih hakiki lagi bila ditelusuri, bahwa setiap wujud arsitektur sebenarnya merupakan sebagai suatu aksara (teks) pula. Untuk memahaminya perlu "dialog batin" dan menafsirkannya melalui proses "mendengarkan" makna sebuah wujud arsitektur.

Beberapa palinggih yang berada di sebelah kanan Padmasana adalah Anglurah Manca, Lingga Ida Batara Mpu Kuturan, dan Lingga Ida Batara Baruna. Sedangkan yang berdiri di sisi kiri Padmasana adalah palinggih Ida Ratu Syahbandar dan Dewi Ayu Manik Mas Subandar (dua rong dalam satu palinggih, sebagai stana dua bersaudara -- raka-rai), palinggih Dewi Kwan Im (Dewi Pengasih), dan Anglurah polos.

Pada palinggih Dewi Kwan Im ini sebagian besar diadopsi ornamen dan ragam hias gaya Cina. Seperti adanya motif naga pada bubungan, patra-patra Cina, pepalihan berbentuk uang kepeng, dll. Pada satu sisi kiri di dalam area pura juga terdapat sebuah bangunan kecil berbentuk dasar segi delapan, sebagai tungku/tempat pembakaran kertas-kertas Cina.

Keunikan

Bila diamati lebih seksama, penataan palinggih di pura ini memiliki keunikan tersendiri, baik dari pola penempatan, bentuk, serta makna yang dikandungnya. Lokasi pura ini berada di atas bukit kecil, berseberangan dengan pura Pulaki. Memasukinya diawali dari jalan setapak yang melingkar mengelilingi bukit tersebut, masing-masing sebagai area sirkulasi untuk arah masuk dan arah keluar, sehingga tapak (site) dari pura tersebut mendekati bentuk lingkaran.

Bentuk ini memiliki makna sebagai kura-kura (akupe) yang diapit dua ekor naga -- naga Anthaboga yang melambangkan lapisan bumi dan naga Basuki sebagai sumber mata air. Posisi kedua naga ini juga memiliki makna magis-filosofis, dimana ekor naga menghadap ke gunung, sedangkan kepalanya menghadap ke laut. Gerbang utama masuk pura berbentuk gelung kori yang memiliki ciri khas tersendiri, pada bagian atasnya berbentuk setengah lingkaran yang digestilir dalam bentuk ornamen yang menunjang nilai otentik pura. Sedangkan pada bagian temboknya memiliki motif-motif kuda laut, kera, dll.

Perihal lain dapat ditemukan adanya dua buah palinggih yang unik -- juga kreasi dari arsitek Ida Bagus Tugur, terletak di bawah areal pura (di tepi pantai) dibuat agak abstrak dalam bentuk sculpture dengan bahan asli dari bebatuan berukuran besar yang diambil dari pantai tersebut, kemudian disusun sedemikian rupa menjadi sebuah komposisi yang unik dan menarik.

Kedua palinggih tersebut disebut linggih Dewa Ayu dan linggih Patih Agung. Palinggih-palinggih ini bermakna sebagai tempat peristirahatan kedua beliau tersebut, sehingga bentuk dan ekspresi yang ditampilkan dibuat agar berkesan selaras dan harmonis dengan lingkungannya (terhadap hamparan air laut dan batu-batu), serta memberikan rasa santai, rileks, tentram dan damai. Di depannya terhampar bebatuan pantai yang ditata, sekaligus berfungsi sebagai jalan setapak menuju ke area peristirahatan atau linggih Desa Ayu dan Patih Agung.

Kebhinekaan

Rancangan arsitektur Ida Bagus Tugur ini merupakan arsitektur yang mendulang dinamika dan pembaruan. Sebuah hasil rancangan yang tidak hanya bertitik tolak dari nilai estetis semata-mata, namun menyerap nilai-nilai historis, filosofis, tradisi, serta mengangkat karakter dan potensi alamnya.

Tepat sekali ungkapan "Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa" yang merupakan penuangan konsep "kesatuan" yang dapat menjiwai berbagai perilaku kehidupan maupun penataan fisik arsitektural, hakikatnya mengandung makna satu tujuan, yakni tiada dharma yang dua. Hal ini dapat dilihat pada wujud arsitektur di sini, yakni dibangunnya palinggih-palinggih sebagai tempat ber-stana para dewa-dewi, Ida Batara, roh-roh suci para leluhur dari berbagai etnis dan kepercayaan, seperti nama-nama palinggih yang telah disebutkan.

Rancangan ini juga tak meninggalkan konsep-konsep pemikiran manusia yang berhubungan dengan pemahaman makna kehidupan masa lalu. Keadaan ini tercermin dari penataannya yang tetap memegang teguh nilai-nilai filosofis dan kaidah-kaidah tradisional, seperti filsafat arsitektur, aspek orientasi, hirarki tata ruang, level tinggi rendah suatu tempat, serta menyelaraskan dengan keadaan lingkungan setempat.

* I Nyoman Gde Suardana

Source : Balipost
 
Pura Dasar Bhuana Pemersatu Umat

Pura Dasar Bhuana Pemersatu Umat

Brahmane brahmanam, ksatraya
rajanyam, marudbhyo vaisyam
tapase sudram.
(Yajurveda.XXX.5).
Artinya:
Tuhan telah menciptakan Brahmana untuk mengembangkan pengetahuan. Ksatria untuk perlindungan, Vaisya untuk kesejahteraan dan Sudra untuk pekerjaan jasmani.

SALAH satu swadharma pemimpin negara seperti raja adalah membangun sistem sosial yang dapat membangun kebersamaan yang dinamis untuk menciptakan kerukunan sosial. Rukun itu adalah terminal sosial untuk mengantarkan kehidupan bersama dalam keadaan aman dan damai. Keadaan aman dan damai itu sebagai kondisi yang dibutuhkan agar tumbuh potensi-potensi material dan spiritual yang seimbang dan kontinu untuk membangun manusia yang seutuhnya lahir batin sebagai manusia yang hidup bahagia.

Masyarakat yang aman dan damai itu adalah masyarakat yang di dalamnya ada kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan mengembangkan diri sesuai dengan profesi dan fungsi masing-masing.
Dalam ajaran Hindu ada filosofi dasar membangun masyarakat yang rukun secara vertikal dan horizontal. Bagaikan tampak dara yaitu ada dua garis menyilang. Ada garis vertikal dari bawah ke atas dan ada garis horizontal. Garis vertikal dan horizontal ini menyilang di tengah-tengah. Itulah yang membentuk apa yang disebut dalam simbol Hindu di Bali sebagai tampak dara.

Rukun secara vertikal antargenerasi berdasarkan konsep Catur Asrama. Brahmacari hormat dan bakti pada generasi tua yang Gerhasta Asrama. Demikian juga seterusnya dengan Asrama yang selanjutnya. Demikian juga rukun secara horizontal antara profesi berdasarkan Catur Varna.

Sebagaimana dinyatakan dalam Mantra Yajurveda. XXX.5 bahwa Catur Varna itu sama-sama ciptaan Tuhan berdasarkan Guna dan Karma. Artinya berdasarkan bakat dan pekerjaannya. Catur varna itu kedudukannya paralel horizontal, tidak membeda-bedakan harkat dan martabat sesama manusia.

Keberadaan Pura Dasar Bhuana di Desa Gelgel Klungkung ini sebagai tempat pemujaan untuk menyatukan berbagai golongan yang ada di Bali saat kejayaan Kerajaan Klungkung ketika beribu kota di Gelgel yang waktu itu disebut Sweca Pura. Di Pura Dasar Bhuwana ini di samping ada sarana memuja Tuhan Yang Maha Esa juga terdapat pemujaan Dewa Pitara (roh suci leluhur) dari beberapa warga atau wangsa.
Ada pemujaan Warga Satria Dalem, Warga Pasek Maha Gotra Sanak Sapta Resi, Warga Pande dan Wangsa Dang Hyang Nirartha. Pemujaan berbagai warga nampaknya baru didirikan saat kejayaan Kerajaan Klungkung yang beribu kota di Sweca Pura.

Sebagaimana umumnya pura di Bali berkembangnya secara evolusi sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakatnya. Oleh para peneliti pura ini sudah ada sejak abad ke-10 Masehi sebagai Pasraman Pandita Mpu Graha. Kalau kita perhatikan perkembangan berbagai tempat pemujaan umat Hindu di Bali umumnya pura itu dikembangkan oleh setiap generasi. Ini artinya lewat sistem pemujaan itu umat Hindu menghormati peninggalan-peninggalan leluhurnya dengan melanjutkan apa yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Inilah yang dapat disebut adanya kerukunan antara generasi.
Mengembangkan warisan leluhur itu disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Meskipun demikian substansi universal dari warisan itu sebagai tempat pemujaan untuk membina hidup yang benar dan suci tetap dilanjutkan.
Dalam sistem pemujaan Hindu di samping adanya pemujaan pada Tuhan sebagai unsur yang tertinggi, ajaran Hindu mengajarkan juga pemujaan leluhur atau Dewa Pitara. Karena menurut Sarasamuscaya 250 ada empat pahala orang yang berbakti pada leluhurnya yaitu Kirti, Bala, Yasa dan Yusa.

Sementara dalam Manawa Dharmasastra II.121 dinyatakan bahwa mereka yang tekun berbakti pada leluhurnya akan memperoleh pahala: Ayu, Widya, Yasa dan Bala. Dari ajaran inilah menimbulkan adanya sistem pengelompokan warga. Pandhaninath Prabhu dalam bukunya ''Hindu Social Organisation'' menyatakan ada tiga sistem pengelompokan leluhur yaitu berdasarkan Sapinda, Gotra, dan Pravara.

Sapinda kesamaan leluhur berdasarkan kesamaan darah keturunan yang dapat dilacak dengan pasti. Gotra kesamaan keluarga berdasarkan tokoh yang diyakini sebagai leluhurnya sebagai pembentuk wangsa. Pravara kesamaan keluarga didasarkan pada kesamaan sampradaya atau sekte Hindu yang dianutnya.
Di India umat Hindu juga dikelompokkan berdasarkan sistem Gotra. Karena itu ada ratusan bahkan ribuan Gotra. Sistem pengelompokan berdasarkan sistem wangsa ini tidak ada kaitannya dengan kasta, apalagi Catur Varna. Sistem wangsa atau sistem klan Hindu adalah untuk memantapkan ajaran pemujaan leluhur sebagai tangga untuk memuja Tuhan.
Umat Hindu amat yakin akan pahala mulia bagi mereka yang berbakti pada leluhurnya sebagaimana dijanjikan oleh Pustaka Sarasamuscaya dan Manawa Dharmasastra tersebut. Tidaklah tepat kalau sistem wangsa ini dicampuradukkan dengan sistem Catur Varna. Sistem Varna adalah sabda Tuhan sebagai ajaran untuk mengembangkan profesi melalui pengembangan dan pembinaan Guna dan Karma.

Keberadaan Pura Dasar Bhuana ini sebagai pengejawantahan sabda Tuhan menjadi sistem religi untuk menata masyarakat Hindu agar bersatu padu dalam kebhinekaan swadharma sesuai dengan wangsa dan varna-nya. Karena itu sistem wangsa atau soroh harus tetap ditegakkan untuk memuja leluhur mewujudkan empat pahala mulia yaitu hidup sehat sejahtera (ayu), berilmu (widya), mampu berbuat jasa pada sesama hidup ini (yasa) dan memiliki daya tahan diri yang kuat lahir batin (bala).

Sementara menegakkan sistem Catur Varna untuk membina agar setiap orang memiliki profesi yang jelas, benar dan andal. Lebih-lebih di era post modern ini hidup tanpa profesi yang jelas, andal dan berkualitas tidak mungkin dapat memenangkan persaingan hidup yang makin penuh tantangan ini. Karena itu berbagai lembaga Hindu di Bali, baik lembaga tradisional maupun lembaga modern, seyogianya menegakkan sistem pemujaan leluhurnya sebagai tangga memuja Tuhan. Demikian juga dalam membina pengembangan profesi melalui ajaran Catur Varna agar dapat hidup bersaing secara sehat di era global yang semakin penuh dengan hiruk-pikuk persaingan dalam berbagai bidang kehidupan ini. * I Ketut Gobyah
 
Pura Besakih sebagai ''Huluning Bali Rajya''

Dalam Lontar Padma Bhuwana, Pura Besakih dinyatakan sebagai huluning Bali Rajya. Artinya, Pura Besakih sebagai hulunya daerah Bali. Dengan kata lain, Pura Besakih adalah sebagai kepalanya atau menjadi jiwanya Pulau Bali. Hal ini sesuai dengan letak Pura Besakih di sebelah timur laut Pulau Bali. Timur laut adalah arah gunung dan arah terbitnya matahari dengan sinarnya sebagai salah satu kekuatan alam ciptaan Tuhan yang menjadi sumber kehidupan di bumi ini.
==========================================================

BESAKIH2.JPG


Adanya
Pura Besakih di lereng Gunung Agung sebagai simbol sakral untuk mengingatkan masyarakat Bali agar selalu menjaga kesuburan alam Bali, karena hanya dengan selalu terjaganya kesuburan alam Balilah kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat Bali dapat diwujudkan. Matahari dan gunung sebagai salah satu hulunya kehidupan.

Di
Pura Besakih sendiri terdapat berbagai simbol yang melukiskan tentang kehidupan sesuai dengan apa yang diajarkan dalam agama Hindu. Di sini juga terdapat konsepsi tentang hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam lingkungannya yang dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Dari filosofi Tri Hita Karana inilah diwujudkan konsep-konsep hidup yang lebih detail, baik menyangkut bhakti manusia pada Tuhan, punia atau pengabdian manusia dengan sesamanya dan kasih sayang manusia pada alam lingkungan. Ketiga hubungan itu sangat detail dilukiskan di Pura Besakih dan diimplementasikan dalam kehidupan umat Hindu di seluruh Bali.

Bhakti
umat manusia pada Tuhan untuk membangun kekuatan spiritual umat manusia. Dengan kekuatan spiritual itu manusia dapat memiliki moral yang luhur dan mental yang tangguh dalam menghadapi berbagai bentuk tantangan, hambatan dan godaan hidup.

Tiga
perilaku berdasarkan ajaran Tri Hita Karana itu disebut Tri Para Artha yang artinya tiga tujuan mulia yaitu asih, punia dan bhakti. Asih itu menyayangi alam. Punia artinya mengabdi dengan tulis ikhlas kepada sesama umat manusia. Bhakti artinya menguatkan sraddha dan bhakti kepada Tuhan.

Misalnya
Pura Besakih sebagai hulunya Pura Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali. Pura Penataran Agung Besakih sebagai hulunya Pura Desa di desa pakraman. Pura Basukian di Besakih sebagai hulunya Pura Puseh, Pura Dalem Puri di Besakih hulunya Pura Dalem di desa pakraman.

BESAKIH3.JPG


Di
Besakih ada Pura Ulun Kulkul sebagai hulunya kulkul di desa pakraman dan banjar di seluruh Bali. Di Besakih ada Pura Banua sebagai pemujaan Dewi Sri manifestasi Tuhan sebagai dewanya padi. Pura ini sebagai hulunya jineng bangunan sucinya berbentuk Gedong Limas Catu yang atapnya lancip ke atas. Pura ini sebagai hulunya Limas Catu yang umumnya ada di setiap Merajan Gede atau Merajan Gedong Pertiwi di setiap pemujaan keluarga di Bali. Di setiap Merajan Gede di Bali umumnya di sebelah kanan Pelinggih Gedong Pertiwi ada Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung lambang Pelinggih Pesimpangan ke Gunung Agung dan Gunung Batur.

Di
Besakih ada Pura Bangun Sakti pemujaan Ananta Bhoga atau Sapta Patala di berbagai pura di seluruh Bali ada juga Pelinggih Sapta Patala sebagai pemujaan Tuhan sebagai dewanya lapisan zat padat bumi. Pura Jenggala di Besakih sebagai hulunya Pura Prajapati di setiap areal setra di desa pakraman di Bali. Pura Rambut Sedana di Pura Besakih sebagai hulu dari Pelinggih Rambut Sedana atau sering juga disebut Sri Sedana umumnya yang ada di setiap merajan keluarga di Bali.

Demikianlah di Besakih ada banyak pura sebagai hulunya pura yang ada di berbagai pelosok daerah Bali.

Pura
Besakih memiliki banyak fungsi. Pura Besakih juga sebagai Pura Rwa Bhineda artinya memuja Tuhan sebagai purusa dan pradana. Pura Besakih adalah Pura Purusa, sedangkan Pura Hulun Danu Batur sebagai pradana-nya. Pemujaan Tuhan sebagai pencipta purusa dan pradana untuk menumbuhkan kesadaran umat agar selalu berusaha membangun hidup yang seimbang lahir batin. Pura Besakih juga yang didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka itu melahirkan Pura Sad Kahyangan di Bali. Tujuan pendirian pemujaan Tuhan di Pura Sad Kahyangan untuk menuntun umat menjaga kelestarian Sad Kerti (Atma, Samudra, Wana, Samudra, Jagat dan Jana Kerthi).

BESAKIH3.JPG


Ada
sedikitnya sembilan lontar yang menyatakan keberadaan Sad Kahyangan di Bali itu berbeda-beda. Namun dalam seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu menetapkan bahwa Sad Kahyangan yang dijadikan pegangan di Bali adalah menurut Lontar Kusuma Dewa. Alasannya, karena Sad Kahyangan itu dibangun saat Bali masih satu kerajaan. Setelah Bali menjadi sembilan kerajaan, masing-masing kerajaan memiliki Sad Kahyangan menurut pandangan masing-masing kerajaan. Hal itu tidaklah keliru karena itu merupakan kedaulatan masing-masing kerajaan.

Pura
Besakih juga berfungsi sebagai Pura Padma Bhuwana. Mantra Veda juga menyatakan: Isavasyam idam jagat. Tuhan berstana di seluruh alam semesta. Jadi, menurut keyakinan agama Hindu Tuhan itu Mahaesa dan ada di mana-mana. Bagaimana memahami kemahaesaan Tuhan itu yang berada di mana-mana tentunya tidak mudah bagi umat yang awam. Untuk melukiskan Tuhan itu Esa dan ada di mana-mana, secara simbolis sakral maka umat Hindu di Bali mendirikan Pura Kahyangan Jagat di sembilan penjuru Bali yang disebut Pura Padma Bhuwana.

Pura
Besakih juga sebagai lambang alam bawah dan alam atas. Pura Besakih sebagai simbol alam semesta divisualkan dalam berbagai dimensi. Alam bawah di Pura Besakih disebut Soring Ambal-ambal. Sedangkan alam atas disebut Luhuring Ambal-ambal. Seluruh kompleks Pura Besakih ada yang digolongkan pura di Soring Ambal-ambal dan ada pura yang tergolong di Luhuring Ambal-ambal.

Pura
yang tergolong di Soring Ambal-ambal antara lain Pura Pesimpangan, Pura Manik Mas, Pura Bangun Sakti, Pura Merajan Selonding, Pura Goa Raja dengan Pura Rambut Sedana, Pura Besukian, Pura Dalem Puri, Pura Jenggala, Pura Banua dan Pura Merajan Kanginan.

Pura
yang tergolong Luhuring Ambal-ambal adalah Pura Penataran Agung Besakih, Pura Batu Madeg, Pura Gelap, Pura Kiduling Kreteg, Pura Ulun Kulkul, Pura Peninjoan, Pura Tirtha, Pura Pengubengan dan Pura Pasar Agung di Desa Sebudi. Kompleks Pura Besakih ini sering disebut kompleks-kompleks Pura Besakih. * wiana

Link : Pura Agung Besakih
 
Fungsi Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih

Siwa
Tattwa ngaranya sukha tanpa wali duhkha.
Sadasiwa
Tattwa ngaranya tanpa wwit tanpa tungtung ikang sukha. Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan wenang winastwan ikang sukha.
(Dikutip Dari Wrehaspati Tattwa.50)


Maksudnya:
Hakikat memuja Tuhan Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedukaan. Memuja Tuhan sebagai Sadasiwa akan mencapai kebahagiaan yang tidak ada awal dan tidak akhirnya. Memuja Tuhan sebagai Paramasiwa mencapai kebahagiaan niskala yang tidak dapat dilukiskan kebahagiaan itu.

PELINGGIH Padma Tiga di Pura Besakih sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusa yaitu jiwa agung alam semesta. Purusa artinya jiwa atau hidup. Tuhan sebagai jiwa dari Bhur Loka disebut Siwa, sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa dari Swah Loka disebut Parama Siwa.


Pelinggih
Padma Tiga sebagai media pemujaan Sang Hyang Tri Purusa yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Hal ini dinyatakan dalam Piagam Besakih dan juga dalam beberapa sumber lainnya seperti dalam Pustaka Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali tahun 1988. Busana hitam di samping busana warna putih dan merah dari Padma Tiga bukan simbol dari Wisnu, tetapi simbol dari Parama Siwa.

Dalam
Mantra Rgveda ada dinyatakan bahwa keberadan Tuhan Yang Maha Esa yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian saja. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap karena tidak dijangkau oleh sinar matahari. Tuhan juga maha-ada di luar alam semesta yang gelap itu. Tuhan sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut Parama Siwa dalam pustaka Wrehaspati Tattwa itu.

Busana
hitam Padma Tiga yang berada di kanan atau yang mengarah ke Pura Batu Madeg itu bukan lambang pemujaan Wisnu. Tetapi pemujaan untuk Parama Siwa yang berada di luar alam semesta. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman artinya tanpa sifat atau manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa itu. Sedangkan Padma Tiga yang di tengah busananya putih kuning sebagai simbol dalam Tuhan keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera.

Putih
lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan. Sedangkan busana warna merah pada Padma Tiga yang di kiri atau yang mengarah pada Pura Kiduling Kreteg bukanlah sebagai lambang Dewa Brahma. Warna merah dalam Pelinggih Padma Tiga yang di bagian kiri memang arahnya ke Pura Kiduling Kreteg. Padma Tiga yang berwarna merah itu sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Stithi dan Pralina. Dalam hal inilah Tuhan Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti.

Untuk
di kompleks Pura Besakih sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg. Sebagai Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan sebagai Batara Iswara di Pura Gelap. Di tingkat Pura Padma Bhuwana sebagai Batara Wisnu dipuja di Pura Batur simbol Tuhan Mahakuasa di arah utara. Dipuja sebagai Bhatara Iswara di Pura Lempuhyang Luhur di arah timur dan sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Andakasa simbol Tuhan Mahakuasa di arah selatan.

Sementara
untuk di tingkat desa pakraman, Batara Tri Murti itu dipuja di Kahyangan Tiga. Mengapa ajaran agama Hindu demikian serius mengajarkan umatnya untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa itu dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti. Salah satu ciri hidup manusia melakukan dinamika hidup. Memuja Tuhan sebagai Tri Murti untuk menuntun umat manusia agar dalam hidupnya ini selalu berdinamika yang mampu memberikan kontribusi pada kemajuan hidup menuju hidup yang semakin baik, benar dan tepat.
Pemujaan pada Dewa Tri Murti itu agar dinamika hidup manusia itu berada di koridor Utpati, Stithi dan Pralina. Maksudnya menciptakan sesuatu yang patut diciptakan disebut Utpati, memelihara serta melindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi disebut Stithi, serta meniadakan sesuatu yang sudah usang yang memang sudah sepatutnya dihilangkan yang disebut Pralina.

Demikianlah
keberadaan Pelinggih Padma Tiga yang berada di Mandala kedua dari Pura Penataran Agung Besakih. Di Mandala kedua ini sebagai simbol bertemunya antara bhakti dan sweca. Bhakti adalah upaya umat manusia atau para bhakta untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Sedangkan sweca dalam bahasa Bali maksudnya suatu anugerah Tuhan kepada para bhakta-nya. Sweca itu akan diterima oleh manusia atau para bhakta sesuai dengan tingkatan bhakti-nya pada Tuhan.

Bentuk
bhakti pada Tuhan di samping secara langsung juga seyogianya dilakukan dalam wujud asih dan punia. Asih adalah bentuk bhakti pada Tuhan dengan menjaga kelestarian alam lingkungan dengan penuh kasih sayang, karena alam semesta ini adalah badan nyata dari Tuhan. Sedangkan punia adalah bentuk bhakti pada Tuhan dalam wujud pengabdian pada sesama umat manusia sesuai dengan swadharma kita masing-masing.

Tuhan
telah menciptakan Rta sebagai pedoman atau norma untuk memelihara dan melindungi alam ini dengan konsep asih. Tuhan juga menciptakan dharma sebagai pedoman untuk melakukan pengabdian pada sesama manusia. Dengan konsep asih, punia dan bhakti itulah umat manusia meraih sweca-nya Tuhan yang dilambangkan di Pura Besakih di Mandala kedua ini.

Di
Mandala kektiga ini tepatnya di sebelah kanan Padma Tiga itu ada bangunan suci yang disebut Bale Kembang Sirang. Di Bale Kembang Sirang inilah upacara padanaan dilangsungkan saat ada upacara besar di Besakih seperti saat ada upacara Bhatara Turun Kabeh, upacara Ngusaba Kapat maupun upacara Manca Walikrama, apalagi upacara Eka Dasa Ludra.

Upacara
padanaan yang dipusatkan di Bale Kembang Sirang inilah sebagai simbol bahwa antara bhakti umat dan sweca-nya Hyang Widhi bertemu. Di Pura Penataran Agung Besakih sebagai simbol Sapta Loka tergolong Pura Luhuring Ambal-ambal. Ini dilukiskan bagaimana umat seyogianya melakukan bhakti kepada Tuhan dan bagaimana Tuhan menurunkan sweca kepada umat yang dapat melakukan bhakti dengan baik dan benar. Semuanya dilukiskan dengan sangat menarik di Pura Penataran Agung Besakih dan amat sesuai dengan konsep Weda kitab suci agama Hindu. * I Ketut Gobyah
 
Pura Amerthasari Pemujaan Dewi Sri

Dharma dhanam ca dhanyan ca
guror
vacenamausadham,
sugrhitan
ca kartavyam,
anyatha
tu na jivati
(Canakya Nitisastra, XIV, 18)


Maksudnya:
Kalau
ingin hidup sejahtera, lindungilah dharma, kekayaan material, bahan makanan, kata-kata bijak Guru Suci dan sistem hidup sehat.

TELAGA.JPG


BERBAKTI
pada Tuhan bukanlah sekadar untuk berbakti dalam wujud ritual formal. Berbakti pada Tuhan dengan sarana tempat pemujaan dengan berbagai kelengkapannya bukanlah sekadar untuk berbakti untuk menunjukkan bahwa kita sudah beragama. Berbakti pada Tuhan memiliki tujuan yang amat luas.

Salah
satu tujuan berbakti pada Tuhan untuk menguatkan motivasi hidup dengan mengembangkan aspek spiritual. Dari kuatnya motivasi hidup itulah berbagai kegiatan hidup dapat diselenggarakan dengan tepat, baik dan benar. Salah satu pahala dari terselenggaranya kehidupan yang tepat, baik dan benar itu terwujudnya kehidupan yang sejahtera. Mengembangkan dan memelihara kehidupan yang sejahetra Tuhan dipuja sebagai Dewa Wisnu. Dewi Sri adalah sebagai ''saktinya'' Dewa Wisnu dalam menuntun umat manusia dalam mengembangkan dan memelihara kehidupan makmur dan sejahtera itu.

Pura
Amerthasari di Banjar Merthasari Desa Adat Lokasari, Loloan Timur, Kabupaten Jembrana adalah pura untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Ayu Manik Galih. Tujuan pemujaan ini adalah untuk mendapatkan motivasi religius dalam mengembangkan kehidupan yang sejahtera. Dewa Ayu Manik Galih sebutan lain dari Tuhan sebagai dewanya padi. Suburnya tanaman pangan yang disebut padi itu adalah simbol kemakmuran ekonomi.

Dalam
tradisi kehidupan beragama Hindu di Bali, Dewa Ayu Manik Galih itu adalah sebutan lain dari Dewi Sri. Dewa Wisnu ''Saktinya'' adalah Dewi Sri sebagai dewinya kemakmuran ekonomi. Mengapa saktinya Dewa Wisnu yang dipuja. Hal ini mempunyai nilai aplikatif dalam mengimplementasikan pemujaan pada Tuhan.

AMERTA2.JPG


Sakti
dalam pustaka suci Wrehaspati Tattwa 14 dinyatakan: Sakti ngaranya ikang sarwa jnanya lawan sarwa karya. Artinya Sakti namanya yang banyak ilmu dan banyak kerja. Ilmu yang diamalkan dalam kerja itulah yang disebut sakti. Dengan demikian pemujaan Dewi Sri sebagai Saktinya Dewa Wisnu mengandung makna bahwa untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan yang makmur sejahtera tidak cukup hanya dengan memuja Tuhan dengan mencakupkan tangan di depan tempat pemujawan Dewi Sri.

Pemujaan
itu hendaknya dilanjutkan dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan tepat, baik dan benar dalam wujud berbagai pekerjaan nyata. Dalam ilmu itu ada nilai dan konsep. Wujudkanlah nilai dan konsep itu dalam kerja sehingga memperoleh pahala mulia dari Tuhan. Dalam memelihara kehidupan yang makmur dan sejahtera itu menurut Canakya Nitisastra XIV.18 yang dikutip di atas ini adalah mengembangkan dan melindungi lima hal yaitu Dharma, Dhana, Dhanyan, Guru Wacana dan Ausada.

Dharma itu sering disinonimkan dengan agama. Artinya kalau ingin hidup sejahtera pelihara dan kembangkanlah dharma agama dengan tepat, baik dan benar. Agama jangan dijadikan media formal untuk meraih citra moral semata dengan menampilkan kegiatan-kegiatan eksklusif. Hal ini dapat menimbulkan beban hidup yang memberatkan hidup. Agama yang intinya berupa sradha dan bhakti pada Tuhan hendaknya diimplementasikan menjadi sistem religi yang lebih dinamis untuk menuntun hidup ke dalam berbagai sistem budaya.


AMERTA4.JPG


Dharma juga berarti kebenaran, kewajiban dan kebajikan. Untuk mendapatkan hidup makmur dan sejahtera itu hiduplah berdasarkan kebenaran, berbuat sesuai dengan kewajiban hidup. Di samping itu, dharma juga berarti melakukan kebajikan pada sesama ciptaan Tuhan.


Dhana
artinya harta benda berupa kekayaan. Hal ini harus dicari dan lindungi dengan tepat, baik dan benar. Mendapatkan dhana haruslah berdasarkan dharma. Dalam Wrehaspati Tattwa 32 ada delapan kepuasan hidup atau Asta Tusti yang seyogianya diusahakan dalam hidup ini. Di antaranya Arjana dan Raksana. Arjana artinya rezeki atau penghasilan yang dapat dikumpulkan dengan kerja yang benar. Sedangkan Raksana adalah memperoleh rasa aman. Juga berarti menggunakan rezeki atau Arjana itu dengan sebaik-baiknya sehingga menimbulkan rasa aman dalam diri.

Dhana
itu seharusnya digunakan untuk menyukseskan tujuan mencapai Dharma, Artha dan Kama. Pemeliharaan dan perlindungan dhana itu agar jangan penggunakan dhana itu justru menimbulkan perilaku adharma.

Dhanyan
artinya bahan makanan. Bahan makanan itu harus didapatkan dari dharma dengan tidak merusak alam sumber dari bahan makanan itu, dipilih makanan yang satvika, diolah secara Catur Sudhi sehingga bahan makanan yang diolah itu tetap dapat berfungsi sebagai bahan makanan yang sehat dan tetap Satvika Ahara. Pola makan dengan konsep ilmu kesehatan yang tepat.

Guru Wacanam artinya kata-kata bijak atau Subha Sita yang dikembangkan oleh para guru suci seperti para maharesi dan para pandita yang ahli dalam mengembangkan ajaran suci Weda ke dalam kata-kata sastra yang bermakna dan dapat meresap ke dalam lubuk hati sanubari umat. Kata-kata bijak atau Subha Sita itulah yang harus dilindungi dengan diajarkan pada umat melalui sistem pendidikan baik formal, nonformal dan informal. Kata-kata bijak guru suci itu adalah warisan karya para resi yang telah banyak, baik dalam wujud Itihasa maupun Purana dan kitab-kitab Sastra Weda lainnya. Kata-kata bijak ini harus disebarkan seluas-luasnya sepanjang masa pada setiap generasi. Dengan demikian umat akan terus tertuntun oleh kata-kata bijak sebagai wacana para guru suci itu sebagai media penyebaran ajaran Weda sabda Tuhan.


Ausada
artinya obat-obatan sebagai cara untuk memelihara kesehatan masyarakat. Dalam pengertian yang lebih luas Ausada juga berarti melindungi sistem hidup sehat untuk diterapkan pada setiap generasi. Demikianlah lima hal yang wajib dilindungi kalau ingin mendapatkan hidup yang sejahtera. * I Ketut Gobyah
 
Prambanan, Candi Hindu Terindah di Dunia

candiPrambanan.jpg

CANDI yang dibangun sekitar abad kesembilan Masehi itu terletak di Desa Prambanan yang wilayahnya dibagi antara Kabupaten Sleman, DIY dan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (Jateng). Candi yang terletak sekitar 20 km timur Yogyakarta itu dikenal dengan nama Candi Prambanan, tetapi juga biasa disebut Candi Rara Jonggrang, sebuah nama yang diambil dari legenda Rara Jonggrang dan Bandung Bondowoso.

Menurut Direktur Utama PT Taman Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Drs Wagiman, Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Asia Tenggara, tinggi bangunan utama mencapai 47 meter. Kompleks candi terdiri atas delapan kuil atau candi utama dan lebih dari 250 candi kecil. "Prambanan merupakan candi Hindu terindah di dunia. Candi Prambanan adalah bangunan luar biasa indah yang dibangun pada masa pemerintahan dua raja, yakni Rakai Pikatan dan Rakai Balitung Maha Sambu," katanya.

Menjulang setinggi 47 meter atau lima meter lebih tinggi dari Candi Borobudur, berdirinya candi itu telah memenuhi keinginan pembuatnya, yakni menunjukkan kejayaan Hindu di tanah Jawa. Luas kompleks candi itu mencapai 39,8 hektar. Pada halaman utama terdapat tiga candi utama, tiga Candi Wahana, dua Candi Apit, dan delapan Candi Patok yang dibatasi oleh pagar keliling, sedangkan di halaman kedua terdapat 224 Candi Perwara. Di tengah area juga telah dibangun taman indah, sehingga menjadikan Candi Prambanan sebagai salah satu obyek wisata budaya yang menarik untuk dikunjungi.

"Candi Prambanan yang telah masuk dalam daftar warisan budaya dunia sejak tahun 1991 merupakan kompleks candi atau kuil Hindu untuk pemujaan Dewa Trimurti, yaitu Siwa, Brahma, dan Wisnu," kata Wagiman.

Candi yang terletak di perbatasan provinsi DIY dan Jawa Tengah itu, menurut arkeolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Joko Dwiyanto, tidak terlepas dari legenda Rara Jonggrang atau biasa disebut Durga Mahisasuramardini atau cerita rakyat yang ingin menjelaskan adanya sebuah legenda Candi Prambanan. Cerita rakyat mengisahkan ada seorang raja bernama Raja Boko dan mempunyai putri sangat cantik Rara Jonggrang, yang kemudian dilamar oleh Bandung Bondowoso. Rara Jonggrang diminta menerima lamaran Bandung Bondowoso.

Awalnya Rara Jonggrang menolak karena tidak mencintai Bandung Bondowoso. Namun, akhirnya ia setuju menerima lamaran dengan syarat, yakni minta dibangunkan 1.000 candi dalam waktu semalam. Bandung Bondowoso setuju dan mulai membangun dengan bantuan makhluk halus sehingga pembangunan dapat lebih cepat. Mengetahui hal itu, Rara Jonggrang khawatir, kemudian menyuruh dayang-dayangnya agar membunyikan suara berisik dan membangunkan hewan peliharaan untuk mengusir makhluk halus.

Ternyata benar, para makhluk halus mengira hari telah pagi dan mereka menghilang kembali. Bandung Bondowoso kemudian melihat ternyata jumlah candi hanya 999 dan mengetahui bahwa dirinya telah dikelabui oleh Rara Jonggrang. Bandung Bondowoso langsung murka dan menyihir Rara Jonggrang menjadi patung batu yang menghias candi terakhir atau yang ke-1.000.

Kisah legenda tersebut dapat dilihat di museum yang berada di lokasi kompleks Candi Prambanan, dan pengunjung dapat menikmati audio visual tentang sejarah ditemukannya Candi Prambanan hingga proses renovasinya secara lengkap.

Sendratari Ramayana

Di Candi Prambanan juga terdapat arena bermain untuk anak dan kereta mini yang akan mengelilingi kawasan wisata tersebut, serta terdapat bumi perkemahan Rama-Sinta dan pementasan Sendratari Ramayana. "Sendratari Ramayana merupakan pementasan seni pertunjukan khas Candi Prambanan yang dipentaskan tiga kali seminggu setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu, serta setiap bulan purnama," kata Kepala Seksi Operasional Taman Wisata Candi Prambanan Wiharjanto.

Sendratari Ramayana adalah seni pertunjukan yang cantik, mengagumkan, dan sulit tertandingi. Pertunjukan itu mampu menyatukan ragam kesenian Jawa berupa tari, drama, dan musik dalam satu panggung dan satu momentum untuk menyuguhkan kisah Ramayana, epos legendaris karya Walmiki yang ditulis dalam bahasa Sansekerta.

Ia mengatakan, kisah Ramayana yang dibawakan pada pertunjukan itu serupa dengan yang terpahat pada Candi Prambanan. Cerita Ramayana yang terpahat di candi Hindu terindah itu mirip dengan cerita dalam tradisi lisan di India. Jalan cerita yang panjang dan menegangkan itu dirangkum dalam empat lakon atau babak, yakni penculikan Sinta, misi Anoman ke Alengka, kematian Kumbakarna atau Rahwana, dan pertemuan kembali Rama-Sinta.

Seluruh cerita disuguhkan dalam rangkaian gerak tari yang dibawakan oleh para penari dengan diiringi musik gamelan. Penonton diajak untuk benar-benar larut dalam cerita dan mencermati setiap gerakan para penari untuk mengetahui jalan cerita. "Tak ada dialog yang terucap dari para penari, satu-satunya penutur adalah sinden yang menggambarkan jalan cerita lewat lagu-lagu dalam bahasa Jawa dengan suaranya yang khas," katanya.

Penonton tidak akan kecewa jika menikmati pertunjukan itu karena tidak hanya tarian dan musik saja yang ditampilkan, pencahayaan juga disiapkan sedemikian rupa sehingga mampu menggambarkan kejadian tertentu dalam cerita. Begitu pula riasan pada setiap penari, tidak hanya mempercantik tetapi juga mampu menggambarkan watak tokoh yang diperankan sehingga penonton dapat dengan mudah mengenali meskipun tanpa dialog.

Penonton juga dapat menikmati adegan menarik seperti permainan bola api dan kelincahan penari berakrobat. Permainan bola api yang menawan dapat dijumpai ketika Hanoman yang semula akan dibakar hidup-hidup justru berhasil membakar kerajaan Alengkadiraja milik Rahwana. "Akrobat dapat disaksikan ketika Hanoman berperang dengan para pengikut Rahwana. Permainan api ketika Sinta hendak membakar diri juga menarik untuk disaksikan," katanya.

Pementasan sendratari itu diadakan di panggung terbuka Ramayana dan panggung tertutup Trimurti. Untuk panggung terbuka Ramayana diadakan pada Mei-Oktober pukul 19.30-21.30 WIB dengan harga tiket VIP Rp150.000, kelas khusus Rp100.000, kelas 1 Rp75.000, kelas 2 Rp45.000, dan pelajar Rp15.000. Untuk panggung tertutup Trimurti pentas diadakan pada Nopember-April pukul 19.30-21.30 WIB dengan harga tiket khusus Rp100.000, kelas 1 Rp75.000, kelas 2 Rp45.000, dan pelajar Rp15.000.

"Harga tiket itu khusus untuk menyaksikan pentas Sendratari Ramayana. Sedangkan harga tiket masuk kompleks Candi Prambanan hanya Rp8.000 bagi wisatawan domestik dan 10 dolar AS bagi wisatawan mancanegara," katanya.


Dalam rangka mendukung program "Visit Indonesia Year 2008", menurut Wagiman, beberapa kegiatan juga akan digelar di kompleks Candi Prambanan, selain Sendratari Ramayana yang rutin digelar. "Kami ingin suatu kegiatan yang lebih besar lagi, misalnya berupa ’grand Ramayana’. Ramayana ditampilkan dengan nuansa baru, misalnya apakah dengan jumlahnya, juga bagaimana penarinya. Berkaitan dengan koreografernya, mungkin juga akan bekerja sama dengan seniman yang sudah terkenal," katanya.

Selain itu, tidak menutup kemungkinan nantinya juga akan ada suatu pencanangan kegiatan berkaitan dengan program "Visit Indonesia Year 2008" di kompleks Candi Prambanan. Upaya itu ditempuh agar wisatawan lebih tertarik untuk mengunjungi Candi Prambanan, sehingga dapat meningkatkan jumlah pengunjung. Wisatawan yang berkunjung diharapkan tidak hanya wisatawan domestik tetapi juga wisatawan mancanegara, terutama pascagempa.

Gempa berkekuatan 5,9 Skala Richter yang melanda wilayah DIY dan sebagian Jateng pada 27 Mei 2006 telah mengakibatkan kerusakan pada sebagian Candi Prambanan. Sejumlah bangunan candi mengalami kerusakan, beberapa ratna (elemen candi yang menyerupai stupa) ada yang runtuh, patah, dan pecah.

"Candi Prambanan memang terkena dampak langsung dengan terjadinya gempa 27 Mei 2006 lalu. Selain kerusakan bangunan candi, pengunjung juga berkurang drastis meskipun sebenarnya Candi Prambanan sudah dapat dikunjungi kembali empat bulan pascagempa," kata Sekretaris PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko, Jamari.

Dari data pengunjung, pada empat bulan sebelum gempa, jumlah pengunjung mencapai 2.400 orang perhari. Namun, empat bulan setelah gempa terjadi, pengunjung mengalami penurunan hingga mencapai 75 persen, yakni hanya 650 pengunjung per hari. Saat ini, setelah hampir dua tahun pascagempa, perlahan namun pasti pengunjung Candi Prambanan mencapai 2.000 orang per hari. "Total jumlah pengunjung Candi Prambanan selama 2007 mencapai 78.730 orang, meningkat sekitar 57 persen dibanding tahun sebelumnya," kata Wagiman.

Jamari mengatakan, untuk kembali mempopulerkan Candi Prambanan, pihak pengelola candi melakukan promosi dan publikasi sebagai upaya memulihkan citra candi yang menjadi salah satu destinasi wisata andalan DIY. Selain pemulihan citra Candi Prambanan, Jamari juga mengingatkan masyarakat Yogyakarta untuk tetap menjaga stabilitas keamanan wilayah dan melestarikan segala bentuk warisan peninggalan sejarah kebudayaan bangsa khususnya kompleks Candi Prambanan agar wisatawan domestik maupun mancanegara tidak lagi enggan berkunjung. (ANT)
 
Candi Sukuh

Bentuk candi ini yang berupa trapezium memang tak lazim seperti umumnya candi-candi lain di Indonesia. Sekilas tampak menyerupai bangunan suku Maya di Meksiko atau suku Inca di Peru. Candi ini juga tergolong kontroversial karena adanya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu yakni di dukuh Berjo, desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.

Situs candi Sukuh ditemukan kembali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta.
Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java.

Kemudian setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, yang berwarganegara Belanda melakukan penelitian.
Lalu pada tahun 1928, pemugaran dimulai.

Candi Sukuh dibangun dalam tiga susunan trap (teras), dimana semakin kebelakang semakin tinggi. Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah candrasangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.

Dilantai dasar dari gapura ini terdapat relief yang menggambarkan phallus berhadapan dengan vagina. Relief ini mengandung makna yang mendalam. Relief ini mirip lingga-yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan. Relief tersebut sengaja di pahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”.

Pada teras kedua juga terdapat gapura dan terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi.

Pada gapura terdapat sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi.

Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama !

Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan.

Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk bersembahyang.

Di sebelah selatan jalan batu, di pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang bidadari dikayangan dengan nama bethari Uma Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil “ngruwat”.

Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku Kidung Sudamala.

Pada lokasi ini terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian Tirta Amerta yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti. Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari Tirta Amerta.

thread terkait Candi Sukuh: https://www.forum.or.id/showthread.php?p=1017570&posted=1#post1017570
 
Pura Selukat Simbol Penyucian

Jnyanam tapo ''gniraharaumrin
manovaryupajanam
vayuh
kamarkakalau
ca sudheh
krtrini
dehinam
Manawa Dharmasastra, V.105).



Maksudnya:
Yang merupakan sarana penyucian bagi makhluk hidup adalah ilmu pengetahuan, kesucian api, makanan suci, pertiwi, pengendalian pikiran, air bhasma, angin, upacara suci, matahari dan sang waktu.


GEDONG.JPG


PENGERTIAN
penyucian dalam hal ini adalah suci secara jasmani dan rohani. Suci secara rohani adalah proses untuk menghilangkan pengaruh klesa dalam diri manusia. Klesa artinya kotor. Klesa itu ada lima yaitu Awidya artinya kegelapan jiwa karena merasa pintar, kaya, muda, kuat, bangsawan, cantik atau ganteng. Asmita mementingkan diri sendiri, Raga mementingkan pengumbaran hawa nafsu, Dwesa adalah benci dan dendam, Abhiniwesa adalah rasa takut. Kalau lima klesa itu mendominasi hidup seseorang, maka hidup tersebutlah yang disebut hidup yang kotor.

Untuk
membersihkan diri dari kekotoran karena kekuasaan lima klesa itu tidaklah mudah. Amat dibutuhkan suatu keyakinan bahwa melawan klesa itu adalah suatu perilaku yang direstui Tuhan. Untuk menguatkan mental dan moral membersihkan diri itu umat seyogianya memohon tuntunan Tuhan. Hal inilah nampaknya yang menjadi dasar pemikiran leluhur umat Hindu di Desa Keramas, Blahbatuh, Gianyar mendirikan Pura Selukat di tengah sawah di Subak Tuas.

Pura
ini adalah untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai pemberi anugerah pangelukatan dengan simbol Tirtha Pangelukatan. Karena dalam berbagai susastra Hindu penyucian tersebut dapat menggunakan berbagai sarana. Seperti pertiwi, agni, surya, upacara suci, dsb. Tetapi dalam Bhuwana Kosa penyucian yang paling utama dengan Jnyana atau ilmu pengetahuan suci. Kalau Jnyana ini diterapkan dengan tepat untuk menguatkan cinta kasih kepada Tuhan (Dewa Abhimana), kepada kebenaran dan kewajiban suci (Dharma Abhimana) dan cinta pada tanah kelahiran dalam wujud pengabdian pada tanah air (Desa Abhimana).

Di
Pura Selukat ada dua Arca Pandita. Arca ini nampaknya untuk mengingat akan fungsi pandita untuk menuntun umat dalam mendalami ajaran yang terdapat dalam pustaka suci. Sebagai penuntun umat dalam mendalami isi pustaka suci pandita disebut acarya. Sedangkan pandita yang ngaloka pala sraya menuntun dalam bidang upacara yadnya disebut Srotria. Dua fungsi pandita inilah yang nampaknya disimbolkan oleh Arca Pandita di Pura Selukat tersebut.

Dua
fungsi pandita dalam menuntun masyarakat inilah yang terkait dengan kehidupan sosial religius. Kalau pandita tersebut sudah mencapai tingkat sanyasin, menurut ketentuan Agastia Parwa tidak dibenarkan lagi untuk berkecimpung dalam kehidupan masyarakat. Sanyasin artinya melepaskan diri dari kehidupan duniawi sama sekali. Yang menjadi perhatian hanyalah patilaring Atma tanupa guruken. Artinya hanya belajar terus untuk melepaskan Atma dari badan sarira-nya.

Pura
Selukat adalah pura untuk menuntun masyarakat luas. Hal ini sebagai dasar mengapa hanya ada dua Arca Pandita di Pura Selukat tersebut. Di samping itu tuntunan pandita sebagai Adi Guru Loka adalah menuntun umat untuk mendapatkan tuntunan hidup duniawi dan rohani atau dalam kehidupan sekala dan niskala.

Fungsi
utama Pura Selukat adalah sebagai media untuk memohon tirtha pangelukatan pada Tuhan untuk menyucikan kehidupannya di bumi ini. Tuhan sebagai dewanya tirtha pangelukatan adalah Ganesa. Fungsi Ganesa adalah sebagai Wighnaghna Dewa atau Wighneswara dan Winayaka Dewa. Tuhan dipuja sebagai Wighnaghna Dewa adalah untuk mendapatkan keyakinan dalam melawan halangan hidup yang berasal dari luar diri manusia.

Dengan
memuja Batara Gana diyakini kehidupan di bumi ini akan terlindungi dari berbagai serangan dari luar diri manusia. Sedangkan tirtha pebersihan untuk melawan gangguan hidup yang berasal dari dalam diri. Tirtha pebersihan simbol kekuatan Dewa Siwa. Dalam mitologi Hindu Dewa Siwa adalah ayah dari Dewa Ganesha. Ini menggambarkan bahwa musuh yang berada dalam diri manusia itu jauh lebih kuat daripada musuh yang berada dari luar diri.

SELUKAT.JPG


Dalam
kekawin Nitisastra dinyatakan: Norana satru mengelwihaning hana geleng ri hati. Artinya, tidak ada musuh yang melebihi musuh yang ada dalam diri. Inilah logikanya mengapa dewa dari tirtha pangelukatan adalah Batara Gana. Hal itu sebagai tuntunan untuk memotivasi umat agar jangan menganggap remeh musuh yang berada dalam diri. Karena musuh dalam diri diyakini jauh lebih kuat daripada musuh dari luar diri karena itu Tuhan yang dipuja dalam menciptakan tirtha pebersihan adalah Batara Siwa.
Sementara tirtha pangelukatan adalah Batara Gana. Batara Gana di samping sebagai Wigheswara juga sebagai Dewa Winayaka. Dewa Winayaka itu adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai ''Dewa Kebijaksanaan''. Winayaka artinya bijaksana. Bijaksana itu suatu langkah yang dilakukan oleh indria yang sehat dikendalikan oleh kecerdasan pikiran dengan kendali kesadaran budhi. Dalam keadaan seperti itulah kesucian Atman dapat diwujudkan.

Tujuan
manusia lahir ke dunia ini adalah menjadikan badan atau sarira ini sebagai alat untuk mencapai empat tujuan hidup. Hal ini dinyatakan dalam Brahma Purana 45.228. Dharma, Artha, Kama, Mokshanam sarira sadhanam. Artinya badan (sarira) ini hendaknya dijadikan alat untuk mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha. Untuk mendapatkan kondisi yang dapat mendorong manusia bijaksana diperlukan upaya penyucian diri.

Penyucian
diri itu meliputi membangun kesehatan fisik yang menyentuh kesepuluh alat indria. Selanjutnya membangun kecerdasan pikiran dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam sloka Manawa Dharmasastra yang dikutip di atas adalah makanan suci sebagai salah satu sarana penyucian diri untuk membangun kesehatan alat-alat indria. Sedangkan ilmu pengetahuan yang disebut Jnyana itu sebagai sarana untuk penyucian diri yang pertama.

Bhuwana
Kosa menyatakan olmu pengetahuan itu sarana penyucian yang paling utama. Jadinya tirtha pangelukatan dari Pura Selukat itu memiliki makna yang multidimensi dalam membangun hidup yang suci sebagai dasar membangun masyarakat suci. * I Ketut Gobyah
 
Tri Purusa di Goa Gajah

Siwa Tattwa ngaranya sukha tanpa wali duhka. Sadasiwa Tattwa ngaranya tan pawwit tanpa tungtung. Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan tan wenang winastwan ikang sukha, salah linaksanan.
(Wrehaspati Tattwa.50).

Maksudnya:
Tujuan Siwa Tattwa mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedukaan. Paramasiwa Tattwa adalah kebahagiaan yang bersifat niskala, tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak benar bila diberi ciri-ciri.

Di Pura Goa Gajah terdapat ceruk di mana di dalam salah satu ceruknya di arah timur goa terdapat tiga buah Lingga berjejer dalam satu lapik. Masing-masing Lingga di kelilingi oleh depalan Lingga kecil-kecil. Dalam tradisi Hindu Lingga itu adalah bangunan suci simbol pemujaan pada Dewa Siwa sebagai salah satu manifestasi Tuhan. Tiga Lingga ini mungkin sebagai salah satu peninggalan Hindu dari sekte Siwa Pasupata.

Tiga Lingga itu sebagai simbol sakral sebagai sarana pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa. Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa itu dalam fungsinya sebagai jiwa agung alam semesta. Siwa sebagai jiwa Bhur Loka. Sada Siwa sebagai jiwa agung Bhuwah Loka dan Parama Siwa sebagai jiwa Swah Loka. Tujuan pemujaan Tuhan sebagai Siwa jiwa agung Bhur Loka adalah untuk mencapai suka tanpa wali duhkha. Sebagai Sada Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tiada berpangkal dan tiada berujung. Sebagai Parama Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang bersifat niskala yang tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak mungkin diberikan ciri-cirinya. Demikian dinyatakan dalam pustaka suci Wrehaspati Tattwa.

Masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil itu sebagai simbol delapan dewa di delapan penjuru dari masing-masing bhuwana tersebut. Delapan dewa itu disebut Astadipalaka, artinya delapan kemahakuasaan Tuhan sebagai pelindung seluruh penjuru alam. Memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa bertujuan untuk menguatkan jiwa untuk mencapai kesuksesan hidup di Tri Bhuwana.

Delapan dewa di masing-masing bhuwana itu adalah sebagai dewa manifestasi dari Siwa. Dalam buku Penuntun ke Objek-objek Purbakala oleh Prof. Drs. I Gst. Gde Ardana dinyatakan tiga Lingga di Pura Goa Gajah itu ada yang menduga sebagai simbol pemujaan Tri Murti. Dugaan itu sepertinya kurang nyambung dengan konsep pantheon Hindu.

Pura Goa Gajah itu terletak di Desa Bedaulu Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Pura ini memiliki banyak peninggalan purbakala. Karena itu pura ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan asing maupun domestik. Pura ini dapat dibagi menjadi tiga bagian. Ada bangunan-bangunan suci Hindu yang amat tua sekitar abad ke-10 Masehi. Ada bangunan suci Hindu berupa pelinggih-pelinggih yang dibangun setelah abad tersebut. Sedangkan yang ketiga ada bangunan peninggalan agama Buddha yang diperkirakan oleh para ahli sudah ada sekitar abad ke-8 Masehi sezaman dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah.

Di ceruk bagian timur goa terdapat tiga Lingga besar berjejer di atas satu lapik, sedangkan di bagian baratnya terdapat arca Ganesa di goa berbentuk T. Jadinya di bagian hulu atau keluwan goa ada tiga Lingga simbol Siwa atau Sang Hyang Tri Purusa. Sedangkan di bagian teben adalah arca Ganesa yaitu putra Siwa dalam sistem pantheon Hindu. Karena adanya arca Ganesa inilah menurut Miguel Covarrubias goa ini bernama Goa Gajah.

Fungsi Dewa Ganesa dalam sistem pemujaan Hindu adalah sebagai Wighna-ghna Dewa dan sebagai Dewa Winayaka. Wighna artinya halangan atau tantangan. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Ganesa adalah pemujaan untuk mendapatkan tuntunan spiritual agar memiliki ketahanan diri dalam menghadapi berbagai halangan atau tantangan hidup. Ganesa dipuja sebagai Dewa Winayaka adalah untuk mendapatkan tuntunan Tuhan dalam mengembangkan hidup yang bijaksana. Kemampuan menghadapi tantangan dan mengembangkan kebijaksanaan ini sebagai langkah awal untuk meraih hidup yang damai dan sejahtera di bumi ini.

Di depan goa terdapat arca Pancuran dalam sebuah kolam permandian sakral yang karena zaman tertimbun tanah. Saat Kriygsman menjabat kepala kantor Prbakala di Bali, maka tahun 1954 permandian itu digali. Di permandian itu terdapat arca Widyadara dan Widyadhari. Arca pancuran ini ada enam buah. Tiga berjejer di bagian utara dan tiga di bagian selatan.
Arca bidadari ini diletakkan di atas lapik teratai atau padma. Padma adalah simbol alam semesta stana Hyang Widhi.

Di tengahnya ada arca laki simbol Widyadhara. Enam arca Widyadhari ini mengalirkan air dari pusat arca dan ada yang dari susu arca. Air yang mengalir di kolam itu sebagai simbol kesuburan. Tujuan pemujaan Tuhan dengan simbol Lingga sebagai media untuk memotivasi munculnya kesuburan. Lingga itu dibagi menjadi dua bagian yaitu alasnya disebut Yoni simbol Predana dan yang berdiri tegak di atas yoni itu disebut Lingga. Bagian bawah lingga berbentuk segi empat simbol Brahma Bhaga, di atasnya berbentuk segi delapan simbol Wisnu Bhaga.

Di atas segi delapan berbentuk bulat panjang. Inilah puncaknya sebagai Siwa Bhaga. Dalam upacara pemujaan Lingga ini disiram air atau dengan susu. Air atau susu itu ditampung melalui saluran yoni. Air itulah yang dipercikan ke sawah ladang memohon kesuburan pertanian dan perkebunan.

Arca pancuran itu lambang air mengalir untuk membangun kesuburan pertanian dalam arti luas. Dalam Canakya Nitisastra, air itu dinyatakan salah satu dari tiga Ratna Permata Bumi.

Tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan obat-obatan serta kata-kata bijak sebagai dua Ratna Permata lainnya. Bangunan suci Hindu di Pura Goa Gajah di samping ada bangunan peninggalan Hindu pada zaman eksisnya Hindu Siwa Pasupata pada zaman berikutnya ada pura sebagai pemujaan Hindu pada zaman Hindu Siwa Siddhanta telah berkembang. Karena itu di sebelah timur agak ke selatan Goa Gajah itu ada beberapa pelinggih.
Ada Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung sebagai Pelinggih Pesimpangan Batara di Gunung Agung dan Gunung Batur.

Ada Pelinggih Gedong sebagai pelinggih leluhur para gusti di Bedaulu. Ada pelinggih Ratu Taman sebagai pemujaan Batara Wisnu sebagai dewanya air. Sebagaimana pura pada umumnya terdapat juga beberapa bangunan pelengkap. Seperti pelinggih Pengaruman sebagai tempat sesaji untuk persembahan saat ada upacara, baik upacara piodalan maupun karena ada hari raya Hindu lainnya.

Peninggalan yang lebih kuno dari peninggalan Hindu di Pura Goa Gajah adalah adanya peninggalan agama Buddha. Di luar goa di sebelah baratnya ada arca Buddhis yaitu Dewi Hariti di Bali disebut arca Men Brayut. Arca ini dilukiskan sebagai seorang wanita yang memangku banyak anak. Dalam mitologi agama Buddha, Hariti ini pada mulanya seorang wanita pemakan daging manusia terutama daging anak-anak. Setelah Hariti ini mempelajari ajaran Sang Budsha, Hariti akhirnya menjadi seorang yang sangat religius dan penyayang anak-anak.

Di sebelah selatan Goa Gajah melalui parit diketemukan arca Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba. Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba ini dalam sistem pantheon Buddha Mahayana sebagai Buddha pelindung arah barat alam semesta. Demikian tiga wajud bangunan keagamaan Hindu dan Buddha di Pura Goa Gajah.* I Ketut Gobyah
 
Pura Pucak Mangu

Tempat Umat Mohon Kerahayuan dan Kemakmuran Jagat

Salah satu Pura Sad Kahyangan yang berada di Kabupaten Badung adalah Pura Pucak Mangu. Pura Pucak Mangu berada di kawasan puncak Gunung Mangu yang sering juga disebut Pucak Pengelengan, Pucak Tinggan dan Pucak Beratan. Di pura ini terdapat lingga. Lingga tersebut berukuran tinggi 60 cm dan garis tengah 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan segi empat (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bentuk bulat (Siwa Bhaga). Ini menunjukkan bahwa pada zaman dulu puncak gunung ini sudah menjadi pusat pemujaan terhadap Dewa Siwa. Di Pura ini umumnya umat memohon kerahayuan dan kemakmuran jagat. Tumbuh-tumbuhan -- pala bungkah dan pala gantung dimohonkan selamat dan terbebas dari hama. Demikian pula ternak peliharaan tidak mengalami gerubug.

Bagi masyarakat Hindu di Bali, tempat suci atau pura adalah wahana penghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Sang Pencipta alam semesta beserta isinya. Beribu-ribu pura ''membentengi'' Bali. Status dan fungsinya beraneka ragam seperti Pura Kahyangan Jagat, Pura Sad Kahyangan, Pura Dang Kahyangan sampai Pura Padharman, Pura Kawitan, Pura Panti, Pura Paibon, Sanggah atau Pemerajan. Pura sendiri dalam bahasa Sansekerta berarti benteng. Karena itu Bali sering disebut seribu pura dan juga pulau suci. Lebih-lebih kata Bali dihubungkan dengan kata wali atau banten atau upakara yadnya, sehari pun Bali tak luput dengan kegiatan upakara. Di Bali terdapat sekitar 5.259 buah pura. Itu belum temasuk pura keluarga yang kecil-kecil.

Dalam keputusan seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu disebutkan bahwa pura adalah tempat suci untuk memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawanya atau manifestasi-Nya. Di samping itu, pura adalah tempat suci untuk memuja Atma Sidha Dewata atau roh suci leluhur. Kahyangan atau parahyangan sering digunakan untuk menyebut pura.

Keberadaan pura yang tersebar di mana-mana sangat sesuai dengan konsepsi Hindu yang menyatakan bahwa Tuhan ada di mana-mana. Tuhanlah yang menjadi asal-muasal dan tujuan dari semua kehidupan di dunia ini.
Secara umum pura berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Tuhan dan manifestasinya. Pura juga berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja roh leluhur. Selain itu, ada pura yang dipakai untuk memuja Tuhan sekaligus memuja leluhur.
Status pura juga dibedakan yaitu sebagai Kahyangan Jagat yaitu pura umum tempat pemujaan Tuhan. Termasuk dalam kahyangan jagat ini adalah Pura Sad Kahyangan -- enam pura besar di Bali.

Pura Dang Kahyangan yakni pura yang berkaitan dengan dharmayatra Dhang Guru.

Sedangkan pura teritorial atau pura kahyangan desa yaitu pura yang disungsung oleh desa adat berupa Kahyangan Tiga yakni Pura Desa atau Pura Baleagung, Pura Puseh dan Pura Dalem.

Di samping itu ada pura swagina yang penyiwi-nya terikat oleh swagina (profesi) yang sama, seperti Pura Subak, Pura Melanting, Pura Ulunsuwi, dll. Terakhir adalah pura kawitan yaitu yang pemujaan ditentukan oleh asal-muasal keturunan atau ikatan leluhur.

Salah satu pura Sad Kahyangan yang terletak di hulu Kabupaten Badung adalah Pura Pucak Mangu (berada di puncak Gunung Mangu) dan di bawahnya didirikan Pura Penataran Agung Pucak Mangu.

Jro Mangku Gede Pura Pucak Mangu dan Jro Bayan Runi
mengatakan Pura Pucak Mangu didirikan sekitar tahun 1830 oleh Raja Mengwi. Lokasi Pura Penataran Agung Pucak Mangu berada di Banjar Tinggan, Pelaga, Petang, Badung. Pura ini merupakan stana Ida Batara Sangkara yakni Dewa Kemakmuran. Pura Pucak Mangu berada 1.950 km di atas permukaan air laut. Sedangkan Pura Penataran Agung Pucak Mangu berada sekitar 50 km dari arah Denpasar. Pujawali di pura ini berlangsung setiap tahun sekali yakni bertepatan dengan Purnama Sasih Kelima. Di samping itu, di pura ini secara spesifik diselenggarakan upacara pangebek, mohon kesuburan tanaman. Saat pujawali, pelaksanaan upacara berlangsung pagi hari di Pura Pucak Mangu, kemudian dilanjutkan di Pura Penataran Agung Pucak Mangu. Di Pura Pucak Mangu terdapat pelinggih lingga, meru tumpang lima stana Ida Batara Sangkara, meru tumpang tiga stana Ida Batara Teratai Bang. Di situ juga terdapat pelinggih Panca Rsi. Juga terdapat panggungan, pepelik, padmasana stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan padma campah.

Sementara di Pura Penataran Agung Pucak Mangu terdapat sejumlah pelinggih seperti padmasana stana Ida Sang Hyang Widhi, padma tiga merupkana stana Ida Batara Siwa, Parama Siwa dan Sada Siwa. Di situ juga terdapat pelinggih Pertiwi, meru tumpang sebelas setana Ida Batara Pucak Mangu (Ida Batara Sangkara) sesuai dengan konsep Astadala. Atau stana Hyang Manik Gumawang, putra Hyang Pasupati. Di situ juga terdapat meru tumpang sembilan dan meru tumpang lima.

Puri Mengwi sebagai pengerajeg pura, sedangkan pengempon-nya adalah delapan desa adat yakni Desa Adat Tinggan, Pelaga, Kiadan, Nungnung, Bukian, Semanik, Auman dan Tiyingan. ''Pura ini sebagai tempat memohon kerahayuan dan kemakmuran jagat,'' katanya.

Sima Gunung
Dalam Purana Pura Sad Kahyangan Pucak Mangu yang disusun Bappeda Kabupaten Badung disebutkan Sima Gunung merupakan tradisi spiritual yang dilakukan masyarakat yang berada di lereng Gunung Mangu. Para pemaksan Pura Penataran Agung Pucak Mangu dalam setiap piodalan di pura tersebut senantiasa melakukan upacara yang mereka namakan Sima Gunung. Bentuk dan isi upacaranya khas pegunungan. Uniknya, upakara yang diaturkan tidak ditaruh di pelinggih namun dibawa secara berdiri (di-tampa). Demikian juga eteh-eteh penganteb, pelupuan dan karangan semuanya di-tampa. Pada saat pelaksanaan upacara Sima Gunung, umat setempat tidak lupa mengaturkan babi trus gunung (babi hutan hitam). Demikian pula sorohan pelupuan bawi yang terdiri atas nasi sasanan di atas don telujungan. Semua itu diaturkan kepada Hyang Siwa dengan memohon agar tumbuh-tumbuhan berupa pala bungkah dan pala gantung tumbuh dengan subur dan tidak diserang hama penyakit. Upacara yang juga khas sima gunung adalah upacara yang dilaksanakan pada Purnamaning Sasih Kepitu yang disebut upacara Ngebekin. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar tanam-tanaman tidak diserang hama. Demikian pula ternak peliharaan seperti babi, sapi, ayam dan sebangsanya tidak terserang penyakit (gerubug). (lun)
 
Pura Luhur Jati Luwih

Pura Luhur Jati Luwih sebagai Sarinya Buana

JATILUW2.JPG

Di pedalaman hutan Batukaru, pada ketinggian sekitar seribu meter, disembunyikan oleh rimbunnya pepohonan dan dinginnya udara pegunungan, berdiri sebuah pura yang sederhana, Pura Luhur Jati Luwih. Namun pura ini memiliki makna yang sangat istimewa bagi sebagian besar warga Tabanan. Bahkan, pura ini layak dinyatakan sebagai sarinya buana, karena terkait dengan kesuburan jagat serta tempat memohon kesejahteraan. Sejarah pendirian pura ini, sesuai dengan cerita rakyat yang diyakini kebenarannya sangat unik, apa itu?
======================================================

PURA Luhur Jati Luwih berlokasi di wilayah Desa Adat Sarin Buana, Desa Wanagiri, Selemadeg, Tabanan. Berada di tengah-tengah hutan lindung pada sisi sebelah tenggara punggung Gunung Batukaru dengan ketinggian sekitar seribu meter di atas permukaan laut, beriklim pegunungan yang dingin, dengan kelembaban udara yang cukup tinggi.

JATILUW5.JPG


Pura ini diperkirakan telah berdiri pada abad ke-9 sampai 12 Masehi. Untuk mencapainya, para pamedek dapat melalui jalan raya jalur Denpasar-Gilimanuk, belok ke kanan jurusan Bajera Pupuan Sawah-Wanagiri hingga mencapai Desa Adat Sarin Buana. Dari Desa Sarin Buana kita harus memasuki hutan lindung lebih dari 3 km dengan kemiringan sekitar 45 derajat untuk mencapai pura ini.


Sangat sedikit sumber maupun catatan pengkajian yang mengungkap pendirian Pura Jati Luwih. Sumber yang dapat dikumpulkan melalui penuturan dari pemuka masyarakat, pemangku pura dan pelinggih-pelinggih yang ada, serta tata upacara yang berlaku di pura tersebut. Berdasarkan penuturan Jero Mangku Gede (I Wayan Menteg) yang diyakini kebenarannya secara turun-temurun oleh masyarakat sekitar, pada zaman dahulu, masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Batukaru, khususnya masyarakat di sekitar wilayah pura, mengalami kemarau panjang sehingga lahan pertanian kering tidak menghasilkan. Masyarakat pun mengalami kelaparan oleh peristiwa itu.

Dengan harapan untuk bertahan hidup, sebagian masyarakat masuk ke hutan untuk berburu maupun mendapatkan beberapa bahan makanan. Beberapa di antaranya kawehan (mengalami kehilangan pandangan normal dan mengalami penglihatan gaib) dan melihat sawah yang padinya menguning dan sebuah rumah indah. Oleh sang kakek yang menjadi pemilik rumah dan padi itu, warga tersebut diajak singgah ke rumah.

JATILUW7.JPG


Di sana warga yang berburu itu diberi beberapa helai bulir bibit padi gaga (tegalan) dan berpesan agar padi tersebut ditanam dan dikembangkan di desanya. Setelah menerima bibit padi, tiba-tiba kakek tersebut menghilang seketika dan rumah yang bagus tersebut kini berubah menjadi bebaturan dalam kesadaran yang pulih dari pemburu tersebut.


Bibit padi tersebut ternyata berkembang dengan baik dan di tempat bebaturan itu didirikan pelinggih untuk mengupacarai setelah padi menguning atau menjelang panen. Pelinggih tersebut diberi nama Pucak Sari. Pura Pucak Sari adalah pura yang pertama didirikan untuk penunasan amerta. Tempat itu diberi tanda dengan pelawa yang ditancapkan. Sementara desa di mana bibit padi itu ditanam dikenal oleh masyarakat sebagai Desa Sarin Buana yang memiliki arti tempat sari-sarinya buana atau inti sari bumi yang memberi sumber kehidupan dan kemakmuran.


Dikatakan Jero Mangku Gede, sebelum zaman kerajaan di Tabanan, Pura Luhur Jati Luwih dikenal dengan Pura Luhur Sarin Buana, sama dengan nama desa adat sebagai pengempon pura tersebut. Mulai pada zaman kerajaan, nama Pura Sarin Buana diubah menjadi Pura Luhur Jati Luwih untuk tidak mengaburkan nama Pura Sarin Buana dengan nama Desa Adat Sarin Buana.


Pura Luhur Jati Luwih berarti pura yang berada di atas, di dataran tinggi, yang benar-benar utama, mulia atau baik (luwih). Menurut keyakinan masyarakat setempat, Pura Luhur Jati Luwih juga bermakna tempat suci yang benar-benar selalu memberikan kebaikan dan kesejatian dari hal yang dimohon pada tempat ini.


Dalam perjalanan sejarah, ternyata Pura Luhur Jati Luwih mengalami beberapa kali renovasi sehingga banyak bukti kepurbakalaan hilang. Seingat pemangku pura, pemugaran yang diketahuinya pertama dilakukan tahun 1971, disusul dengan pemugaran kedua tahun 1978 dan pemugaran ketiga tahun 1993. Berdasarkan cerita, bentuk asli pelinggih sebelum dipugar adalah berbentuk bebaturan yang berundak dengan batu menhir tertancap pada sisi-sisi samping ruang altar pemujaan.


Dari pengkajian yang dilakukan termasuk oleh Bappeda Tabanan disimpulkan, bangunan asli pelinggih Pura Luhur Jati Luwih merupakan bangunan zaman batu besar (megalitikum) dengan tradisi kebudayaan Hindu klasik. Di antara delapan buah pelinggih yang berjajar menghadap ke selatan hanya satu buah yang masih berbentuk bebaturan hingga kini yaitu pelinggih paling timur untuk pemujaan Ida Batari Pemutering Danu (Ulun Danu).


Sementara bangunan pelinggih lainnya telah diganti dengan bangunan pelinggih gegedongan yaitu gedong kereb dua buah sebagai pelinggih pokok untuk penghayatan ke Pucak Kedaton dan Pelinggih Agung Ida Batara Luhur Jati Luwih. Sedangkan lima buah pelinggih lainnya berbentuk gedong sekapat makereb duk masing-masing beruangan satu.


Ada satu pelinggih penghayatan ke Majapahit berupa Padma Capak Alit, menggambarkan pura tersebut mengalami proses perkembangan dari satu periode ke periode lainnya, dari zaman kuno hingga adanya pengaruh Jawa, yang diperkirakan zaman Mpu Kuturan sebagai tokoh suci sekaligus arsitek penataan pura di Bali.


Uniknya seluruh pelinggih yang ada berupa bangunan pendek-pendek, berbeda dengan pura lainnya di Bali yang menjulang tinggi. Dari peninggalan sejarah dan konsep pemujaan di pura itu, diperkirakan Pura Jati Luwih dibangun zaman Apaniyaga yaitu peralihan zaman Bali Aga ke zaman pengaruh Jawa sekitar abad ke-9 sampai 12 Masehi. Peninggalan sejarah berupa prasasti yang terdapat di Desa Sarin Buana bertahun Caka 1103, zaman pemerintahan Raja Jaya Pangus.


Bukti penunjuk lain, juga terdapat peninggalan sejarah yang tersimpan di Pura Siwa Desa Adat Sarin Buana berupa batu berbentuk kepala babi dan beberapa buah gong serta peralatan upacara berupa bajra atau genta. Dari bukti tersebut, menunjukkan Pura Luhur Jati Luwih merupakan pura yang cukup tua dengan karakteristik pemujaan pada puncak gunung sebagai purusa dan ulun danu sebagai pradana. Masyarakat pendukung telah mengenal sistem pertanian dan menetap dalam lingkungan desa pakraman.

Sejak dulu, pura ini dibina atau diayomi langsung oleh Puri Agung Tabanan dan pangenceng dari pura ini adalah Jero Subamia Tabanan yang pada zaman kerajaan sebagai patihnya Raja Tabanan. (upi)

Tempat Memohon ''Jejaton''
PURA Jati Luwih memiliki fungsi ganda, di samping memohon keselamatan dan kerahayuan jagat, juga sebagai tempat untuk memohon keselamatan dan kemakmuran di bidang pertanian. Juga sebagai tempat ngerastiti dalam memohon keselamatan tanaman pangan dari gangguan hama dan memohon turun hujan.

JATILUW8.JPG

Penyungsung Pura Luhur Jati Luwih di samping Desa Adat Sarin Buana, juga krama subak dengan luas wilayah yang cukup besar, terdiri atas lima subak pekandelan dan 35 pekaseh subak. Karakter khusus lainnya dari pura ini adalah sebagai tempat untuk memohon sartana (jejaton) beras apabila ada upacara besar. Jejaton ini di wilayah Tabanan disebut nguwub.


Pura ini masih berhubungan dengan Pura Pucak Kedaton Batukaru dan Pura Pucak Sari yang ada di Desa Adat Sarin Buana. Di samping itu juga Pura Siwa yang berlokasi di Desa Sarin Buana merupakan tempat penyawangan dan penyimpanan benda pusaka yang masih ada hubungannya dengan pura ini. Di utama mandala pura ini terdapat delapan buah pelinggih serta empat bangunan suci sebagai penyangga.


Pelinggih paling timur merupakan pelinggih kuno berupa bebaturan untuk pemujaan Hyang Pemuterin Danu. Pelinggih Gedong Alit Saka Pat Rong Tunggal sebagai penghayatan ke Gunung Agung, selanjutnya pelinggih sama penghayatan ke Pucak Sari.


Pelinggih utama berupa pemujaan kepada Ida Batara Luhur Jati Luwih berupa pelinggih Gedong Saka Pat Rong Tunggal, terdapat juga pelinggih penghayatan Ida Batara Lingsir Putus di Pucak Kedaton Batukaru, Ida Batara Ayu Padangluwah, Ida Batara Turun Gunung, pelinggih Padma Capah pemujaan Ida Batara Mas Pahit. Juga masih ada beberapa pelinggih lainnya.


Hal yang menarik yang terdapat di jaba tengah berupa bekas bangunan lumbung padi bersaka empat tempat penyimpanan padi dari subak-subak penungsung dahulunya. Sekitar 400 meter dari pura ini terdapat pelinggih Taman Beji yang terletak di timur laut Pura Luhur Jati Luwih dengan pelinggih berupa bebaturan dengan air pancuran yang keluar dari bilahan batu padas.


Untuk saat ini, direncanakan akan dilakukan rehab terhadap pura yang masih tampak sederhana dengan pagar pembatas hidup, tanpa tembok penyengker ini. Penglingsir Jero Subamia IGG Putra Wirasana selaku penganceng mengaku harus memelihara titik-titik kesucian pura dan melakukan rehab tanpa harus menghilangkan peninggalan-peninggalan kuno yang ada. (upi)
 
PURA Alas Kedaton

Pemujaan Dewi Durgha
Prajanam raksanam danam
Ijyadhyayanameva
ca
Visayesvaprasaktatis
ca
Ksatriyasya
samasatah.
(Manawa Dharmasastra.I.89)
Maksudnya:
Kstriya Varna memiliki kewajiban untuk mengupayakan rasa aman dan kesejahteraan bagi masyarakat. Juga melakukan pemujaan pada Tuhan, menyelenggarakan upacara yadnya, mempelajari Veda dan senantiasa mengendalikan indrianya dari keterikatan duniawi.

Kedaton4.jpg


PURA
Alas Kedaton di Desa Kukuh Kecamatan Marga, Tabanan adalah pura sebagai tempat pemujaan kerajaan dengan keluarga dan rakyatnya. Pura ini lebih populer dengan sebutan Pura Alas Kedaton dan kemudian Desa Adat Kukuh menetapkan dengan nama Pura Dalem Kahyangan Kedaton. Kemungkinan dahulu tempat Pura Alas Kedaton ini adalah hutan yang lebat.

Dalam
kitab Pancawati memang dinyatakan bahwa hutan itu ada tiga jenis yaitu Maha Vama, Tapa Vana dan Sri Vana. Maha Vana adalah hutan lindung. Tapa Vana hutan sebagai tempat membangun pura atau asrama untuk tempat belajar kerohanian dan tempat bertapa. Sri Vana hutan sebagai areal membangun kesejahteraan ekonomi. Di Alas Kedaton ini oleh Raja yang berkuasa saat itu dijadikan tempat bertapa atau Tapa Vana bagi Raja, keluarga dan tokoh-tokoh masyarakat saat itu. Raja sebagai Ksatriya Varna memang menurut Sloka Manawa Dharmasastra yang dikutip di atas, memiliki kewajiban yang sangat berat.

Menciptakan rasa aman dan sejahtera bagi masyarakatnya. Untuk dapat melakukan swadharma tersebut Raja wajib senantiasa mendekatkan diri pada Tuhan dengan mempelajari kitab suci dan melangsungkan upacara yadnya. Dengan cara itulah Raja akan dapat senantiasa mengendalikan gejolak hawa nafsunya atau disebut Visayesvaprasaktati.


Di
Pura Alas Kedaton di samping ada pelingging-pelinggih Utama dan penyawangan juga terdapat beberapa buah arca yang memberikan ciri tersendiri pada pura Alas Kedaton di Desa Kukuh tersebut. Arca tersebut adalah Arca Dewi Durgha sebagai Arca Durgha Mahisasura Mardhini dengan delapan tangan berdiri di atas seekor lembu. Arca yang lainnya dalam Arca Ganesa yang duduk di atas dua ekor naga. Arca ini menandakan bahwa Pura Alas Kedaton itu bercorak Siwa Paksa atau Siwa Sampradaya.

Dalam
ceritra Purana dikisahkan ada raksasa bernama Mahisasura mau merusak dunia dan sorga. Dewi Uma dengan bersenjatakan pedang maju memerangi raksasa Mahisasura. Raksasa tersebut kewalahan melawan kesaktian Dewi Uma. Raksasa tersebut bersembunyi di dalam diri seekor lembu. Dengan kesaktian Dewi Uma, raksasa tersebut dapat dibuat keluar dari persembunyiannya di badan lembu. Begitu keluar dari persembunyiannya raksasa itu dapat dibunuh oleh Dewi Uma dengan pedang. Sejak itulah Dewi Uma bernama Dewi Durgha sebagai Dewi yang sangat cantik menaiki singa dengan senjata pedang. Berdasarkan hasil penelitian awal mulanya konsep Dewi Durgha yang cantik inilah yang masuk ke Bali di awal abad ke-19 M. Dewi Durgha itu dilukiskan sebagai Dewi yang berwajah raksasa atau sebagai Rangda Dewanya ilmu hitam. Diduga penyimpangan ini terjadi saat adanya cerita Rangda Girah. Rangda Girah ini sebagai janda pemuja Dewi Durgha yang mempelajari ilmu pengeleakan di kuburan untuk tujuan negatif. Sesungguhnya Dewi Durgha itu adalah Saktinya Dewa Siwa sebagai Dewi Kasih Sayang atau Prema Vahini Dewi.

Raksasa
Mahisasura yang bersembunyi di dalam badan lembut itu adalah simbol niat buruk. Sedangkan Dewi Durgha Sakti Dewa Siwa manifestasi Tuhan sebagai lambang kasih sayang.

Untuk
menghilangkan niat buruk dan membangun niat baik tanamkanlah dalam-dalam pedang kasih sayang itu ke dalam lubuk hati sanubari. Kata ''Durgha'' berarti sulit dicapai. Membangun niat baik dengan menghilangkan niat buruk itu sesuatu yang sulit dicapai. Dewi Uma sebagai Dewi Kasih Sayang dapat menghilangkan niat buruk yang dilambangkan oleh raksasa Mahisasura. Karena itu Dewi Uma disebut Dewi Durgha Mardhini.

Mardhini
dalam bahasa Sansekerta berarti lembut hati. Di Pura Alas Kedaton terdapat juga Arca Ganesa yang juga disebut Ekadanta yang artinya bertaring satu. Satu taringnya dipatahkan untuk membunuh raksasa Nila Rudraka. Demikian menurut salah satu versi ceritra tentang Ganesa. Dewa Ganesa disebut Winghna-ghna Dewa dan Dewa Winayaka. Ganesa sebagai Wighna-ghna Dewa yaitu sebagai manifestasi Tuhan yang dipuja untuk mendapatkan kekuatan hidup melawan halangan. Arca Ganesa yang duduk di atas dua ekor naga. Dua naga lambang ikatan dunia nyata dan dunia tidak nyata. Ganesa sebagai Dewa Winayaka adalah manifestasi Tuhan yang dipuja untuk mendapatkan kebijaksanaan sebagai bekal mengarungi kehidupan ini.
Arca Ganesa duduk di atas dua ekor naga juga sebagai Candara Sengakala dengan sebutan ''Gana Naga Dwi Tunggal''. Artinya menandakan angka tahun Saka 1286 Saka atau 1364 Masehi.

Menurut
Lontar Usana Bali, Pura Alas Kedaton ini dibangun pada zaman Mpu Kuturan atau Mpu Raja Kertha. Kemungkinan pura tersebut sudah ada jauh sebelum Mpu Kuturan menjadikannya sebagai pemujaan kerajaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya berbagai peninggalan mengalitikum. Peninggalan megalitikum itu berupa arca batu andesit berupa menhir kecil.

Ada
juga peninggalan berupa arca batu laki dan wanita dalam posisi duduk dengan lutut berdiri menyilang di mana kedua tangan diliatkan di atas dua lutut. Arca ini dengan menonjolkan alat vital yang agar vulgar bukan wujud porno seperti paradigma kini. Tetapi dipandang sebagai alat reproduksi. Umumnya hal ini melambangkan pemujaan pada Dewa Kesuburan. Demikian juga terdapat peninggalan berupa lingga sebagai peninggalan zaman megalitikum untuk memuja Siwa Uma demi kesuburan pertanian. Pelinggih utama di pura ini adalah Meru tumpang lima sebagai stana Ida Batara Dalem Kahyangan Kedaton. Pujawali di Pura Alas Kedaton ini setiap Anggara Kliwon Medangsia atau setiap enam bulan wuku. * I Ketut Gobyah
 
Pura Gelap

WEDAWAKYA
Memuja Batara Iswara

Aham rudrebhir vasubhih caramy
aham adityair uta visvadevaih,
aham mitravarunobha bibharmy
aham indragni aham asvinobha.
(Rgveda.X.125.1).

Maksudnya:
Aku gerakkan kekuatan alam menjadi tenaga dan kekayaan. Aku bercahaya menjadi kekuatan yang cemerlang. Aku menyangga sumber kekuatan alam dalam wujud air dan cahaya. Aku adalah pusat energi, cahaya sebagai kehidupan yang datang dari matahari, udara, api dan segala kekuatan alam yang berguna.

PURA Besakih sebagai tempat pemujaan Tuhan adalah simbol Bhuwana Agung. Hal ini sangat sesuai dengan Mantra Yajurveda XXXX.1 yang menyatakan bahwa alam semesta inilah stana Tuhan yang sesungguhnya. Sebagai lambang alam semesta Pura Besakih dibagi menjadi dua bagian yaitu Soring Ambal-ambal dan Luhuring Ambal-ambal. Soring Ambal-ambal itu lambang alam bawah yang disebut Sapta Patala. Sedangkan Luhuring Ambal-ambal lambang alam atas yang disebut Sapta Loka.

Seluruh kompleks Pura Besakih itu terdiri atas 20 kompleks pura. Ada empat pura yang disebut Pura Catur Dala atau Catur Loka Pala yaitu Pura Gelap, Pura Kiduling Kreteg, Pura Ulun Kulkul dan Pura Batu Madeg. Di tengah-tengah Pura Penataran Agung Besakih terdiri atas tujuh Mandala atau tujuh lapisan alam atas atau Sapta Loka.

Pura Gelap sebagai salah satu Pura Catur Lawa adalah sebagai Pura Pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Batara Iswara pelindung arah timur alam semesta atau Bhuwana Agung. Nama-nama pura di kompleks Pura Besakih itu memang sangat khas lokal Bali. Tetapi di balik ciri khas lokal itu terbungkus konsep yang sangat universal. Memang pemuka-pemuka Hindu di masa lampau sudah menggunakan konsep ''berpikir universal berlaku lokal''. Meskipun tidak dengan istilah seperti itu.

Istilah ''gelap'' dalam nama Pura Gelap ini bukan berasal dari bahasa Indonesia. Kata ''gelap'' dalam nama Pura Gelap ini berasal dari bahasa Bali kuno yang artinya petir atau kilat dengan sinarnya yang putih menyilaukan itu. Pura Gelap sebagai media pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara yaitu dewanya sinar. Bumi ini bisa menjadi wahana kehidupan karena adanya sinar matahari. Sinar matahari inilah sebagai pemimpin sumber-sumber alam lainnya sehingga berfungsi memberikan kehidupan pada isi alam ini.

Tumbuh-tumbuhan meskipun disiram dengan air yang memadai tidak akan bisa hidup tanpa kena sinar matahari. Karena itu dalam kutipan Mantra Rgveda di atas dinyatakan Tuhan dalam wujud cahaya matahari itulah sebagai sumber kekuatan alam. Rohani orang-orang suci pun akan semakin kuat dengan meditasi pada cahaya alam tersebut. Karena itu pada zaman dulu, konon, Pura Gelap ini tempat meditasi para pandita maupun orang yang menyiapkan diri menjadi pandita.

Pura ini juga dinyatakan sebagai penegak dan pemelihara kesucian ''kependitaan''. Pura Gelap lambang dari pusat sinar Bhuwana Agung. Dengan sinar alam semesta ciptaan Tuhan ini semua kekuatan unsur alam ini menjadi berfungsi sebagai sumber kehidupan semua makhluk hidup penghuni alam ini. Karena itu Pura Gelap ini menjadi pusat meditasi umat manusia yang berkehendak membangkitkan sinar suci yang bersemayam dalam dirinya atau di Bhuwana Alit.

Kalau sinar Bhuwana Agung dapat terpadu dengan sinar di Bhuwana Alit atas usaha umat manusia maka keharmonisan hubungan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit pun terjadi. Hal ini sebagai salah satu penyebab terwujudnya kehidupan yang bahagia atau hita karana. Pura Gelap tidak semata-mata sebagai tempat meditasinya para pandita, tetapi juga sebagai tempat meditasi semua umat terutama mereka yang ingin mengembangkan kepemimpinannya secara baik dan benar.
Areal Pura Gelap ini mula-mulanya tidak begitu besar. Setelah direhabilitasi pura ini diperluas bahkan sekarang menggunakan Kori Agung. Sebelumnya hanya menggunakan Candi Bentar sebagai pintu masuknya. Karena pura ini merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pura Penataran Agung. Sebelumnya hanya Pura Penataran Agung yang menggunakan Kori Agung atau juga disebut Candi Kurung.

Pelinggih utama di Pura Gelap Besakih ini adalah Meru Tumpang Tiga sebagai media untuk memuja Batara Iswara sebagai manifestasi Tuhan pelindung arah timur dari alam semesta ini. Batara Iswara juga sebagai Dewa kecemerlangan dan kecerahan dari Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Atap Meru yang bertingkat-tingkat itu lambang engelukunan Dasaksara dan lambang urip bhuwana.

Pengelukunan Dasaksara adalah Aksara ''Om'' yang bisa dikembangkan menjadi tiga aksara, lima, tujuh sampai sebelas aksara. Maknanya secara filosofis sama. Meru Tumpang Tiga makna filosofisnya sama dengan Meru Tumpang Lima sampai Sebelas.

Menurut Kekawin Dharma Sunia, Meru itu adalah lambang alam atau Bhuwana stana Tuhan yang sesungguhnya. Meru Tumpang Tiga di Pura Gelap lambang Tri Bhuwana yaitu Bhur, Bhuwah dan Swah Loka. Artinya Tuhan sebagai Batara Iswara menyinari kehidupan di Tri Bhuwana tersebut. Di dalam Meru Tumpang Tiga ini terdapat batu simbol Lingga stana Batara Siwa. Di samping itu, di Pura Gelap ada Pelinggih Sanggara Agung yang menyerupai Padmasana untuk menstanakan tirtha yang diambil dari Pura Tirtha saat ada upacara penting di Pura Penataran Agung Besakih.

Di Pura Gelap terdapat juga Pelinggih Dasar Sapta Patala. Pelinggih ini sebagai media memuja Tuhan sebagai jiwa alam bawah yang terdiri atas tujuh lapisan yang disebut Sapta Patala. Unsur-unsur Sapta Patala ini setelah mendapatkan sinar alam semesta barulah akan berfungsi sebagaimana mestinya. Kerja sama alam inilah yang menghasilkan unsur-unsur alam yang menyebabkan berlangsungnya kehidupan di bumi ini.

Oleh karena itu, manusia hendaknya tidak merusak kerja sama unsur alam ini. Karena kerja sama unsur alam ini berlangsung berkat adanya Rta yaitu hukum alam ciptaan Tuhan. Merusak proses alam sesuai dengan Rta berarti dosa karena tergolong perilaku melawan takdir Tuhan. * I Ketut Gobyah
 
Pura Tunggal Besi Singarata Temukus

Pura Tua Ditemukan di Lereng Gunung Agung
Amlapura, Sebuah temuan Pura tua dilereng Gunung Agung Karangasem, diperkirakan bakal menambah jajaran Pura-pura Sad Kahyangan yang ada di Bali, khususnya di lereng Gunung Agung setelah sebelumnya Pura Agung Besakih dan Pura Pasar Agung. Hal ini dilihat dari angka Tahun maupun berdasarkan keterangan Prasasti Pura yang berhasil ditemukan dan telah dibaca dihadapan sejumlah tokoh adat dan masyarakat beberapa waktu lalu.

Adalah Tim ekspedisi dari Yayasan Gung Tap Sai yang mendalami sebuah temuan Pura itu, menurut I Gusti Ngurah Ariawan yang turut serta tergabung dalam Tim ekspedisi yayasan, Pura itu disebutkan pertama kali ditemukan oleh warga desa pekraman Temukus bahkan sejak tahun 2002 lalu, namun saat itu sebut Ariawan belum ada yang melakukan penelitian lebih lanjut termasuk mencari tahu latar belakang maupun petunjuk-petunjuk yang menjelaskan keberadaan Pura itu.

”Mulai adanya petunjuk tentang keberadaan Pura (tempat ibadah umat hindu-red) yang ditemukan Desa adat temukus itu sejak akhir September lalu, pada saat itu ditemukan prasasti atau Purana yang cukup jelas mengulas tentang keberadaan Pura itu:” bebernya kepada Beritabali.com

Ariawan memastikan bahwa Pura yang baru ditemukan itu tergolong Pura Kahyangan Jagat. Dari catatan Prasasti yang ditemukan tersimpan di Gria Gunung Biau, Muncan Selat, yang telah pula dibaca oleh Ida Pedanda Gde Nyoman Gunung dan turut disaksikan Tim ekspedisi dari yayasan sebut Ariawan, salah satunya menyebutkan nama Pura itu adalah Pura Tunggal Besi Singarata Temukus.

Selain ditemukan angka Tahun 999 Isaka pada Prasasti itu juga terungkap Pura itu didirikan pada masa Raja Markota memerintah. “Sebagaimana diketahui, Raja Markota adalah adik kandung dari Raja Airlangga yang tersohor dan berkuasa di Jawa Timur yang juga merupakan anak kandung dari anak wungsu, dengan petunjuk yang sangat jelas itu tidak bisa diragukan bahwa keberadaan Pura di lereng Gunung tertinggi di Bali itu tergolong cukup tua “ imbuhnya.

Sementara tentang bagaimana status Pura, penjaga dan kaitan upacara besar yang kemungkinan digelar pasca ditemukannya Pura itu, Ariawan bersama tim ekpedisi menyampaikan selanjutnya hal itu menjadi kewenangan umat, kemungkinan sementara di empon (dilindungi-red) oleh tokoh dan desa adat terdekat. (kkk)

Source : Berita Bali
 
Pura Silayukti

Pura Silayukti - Pasraman Mpu Kuturan

Yasya sarve samarambhah
kama samkalpavarjitah.
Jnanagni dagdhakarmanam
tam ahuh panditam budhah.
(Bhagavadgita.IV.19).

Maksudnya:
Ia yang segala perbuatannya tidak terikat oleh angan-angan akan hasilnya (Niskama Karma), kepercayaannya dinyalakan oleh api ilmu pengetahuan (Jnyana Agni).
Kepada ia diberikan gelar pandita oleh orang-orang bijaksana.

Mpu Kuturan tokoh spiritual Hindu di abad ke-11 Masehi adalah salah seorang tokoh yang berbuat dengan landasan niskama karma. Artinya, berbuat tanpa pamerih akan hasilnya. Hal ini dilakukan karena Mpu Kuturan sudah sangat yakin akan ajaran Hukum Karma. Setiap perbuatan baik sudah dapat dipastikan akan membuahkan hasil yang baik. Karena itu, Mpu Kuturan hanya berkonsentrasi pada berbuat baik dan benar untuk kepentingan umat manusia dalam artian yang seluas-luasnya.

Berbuat baik dan benar itu dilakukan karena keyakinan Mpu Kuturan sudah demikian disinari oleh api ilmu pengetahuan yang telah beliau capai. Mpu Kuturan tidak kawin karena beliau menempuh hidup Sukla Brahmacari. Jadinya semua umat manusia itu dianggap sebagai saudaranya. Inilah sesungguhnya perilaku seorang yang tepat disebut Pandita.

Pura Silayukti adalah Pura Pasraman Mpu Kuturan. Mpu Kuturan-lah salah satu tokoh spiritual Hindu di masa lampau yang sangat tepat diberikan gelar Pandita ahli yang juga disebut Brahmanasista dalam pustaka Manawa Dharmasastra. Mpu Kuturan yang nama prinadi beliau Mpu Rajakerta. Beliaulah yang pernah menjabat Senapati Kuturan di Bali pada abad ke-11 Masehi.

Mpu Rajakerta pada awalnya sebagai kesatria karena menjabat Senapati Kuturan. Setelah selesai menjabat Senapati Kuturan barulah beliau sebagai Bhagawanta Kerajaan Bali dengan gelar sebagai Mpu. Selanjutnya lebih populer dengan sebutan atau abhiseka nama Mpu Kuturan dengan asrama di Pura Silayukti.

Di Pasraman Pura Silayukti ada empat kompleks tempat pemujaan. Di bagian utara adalah pura sebagai tempat pemujaan Mpu Kuturan. Beliau dipuja di Meru Tumpang Tiga menghadap ke selatan. Meru Tumpang Tiga inilah sebagai pelinggih utama di kompleks Pura Pasraman Mpu Kuturan. Di barat agak ke utara dari Pura Pasraman Mpu Kuturan ini terdapat Pura Taman Beji sebagai tempat memohon tirtha sebagai sarana utama pada saat upacara di Pura Pasraman Silayukti.

Di kompleks bagian selatan dari Pura Pasraman Mpu Kuturan terdapat kompleks pura sebagai tempat pemujaan Mpu Bharadah. Di pura ini Mpu Bharadah dipuja di Meru Tumpang Tiga juga, cuma menghadapi ke barat. Sedangkan tempat meditasi Mpu Kuturan sebagai kompleks keempat terletak di bagian timur bukit Silayukti agak turun ke bawah menghadap ke timur di mana akan kelihatan laut yang membiru.

Kalau saat bulan purnama dengan berpadu pada pemandangan laut kita melakukan meditasi di tempat ini sungguh sangat menggetarkan spiritual kita. Karena keadaan alam ciptaan Tuhan itu demikian mempesona bagi mereka yang memiliki minat spiritual.

Mpu Kuturan adalah salah seorang dari lima orang suci yang berjasa menata kehidupan keagamaan Hindu di Bali. Lima orang suci yang bersaudara itu disebut Panca Pandita atau Panca Tirtha. Beliau itu adalah Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah. Yang paling banyak berjasa menata kehidupan sosial religius Hindu di Bali adalah Mpu Kuturan. Hal ini dinyatakan dalam berbagai pustaka kuna yang ditulis dalam daun lontar.

Dalam Lontar Usana Dewa dinyatakan Mpu Kuturan-lah yang mengajarkan cara-cara mendirikan tempat pemujaan atau kahyangan seperti Kahyangan Jagat di Bali.

Dalam Lontar Kusuma Dewa juga dinyatakan Mpu Kuturan yang mengajarkan tentang pendirian Pura Sad Kahyangan di Bali dengan landasan konsepsi Sad Winayaka.

Dalam lontar yang berjudul ''Mpu Kuturan'' juga dinyatakan Mpu Kuturan yang mengajarkan tentang pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali. Penataan Pura Besakih lebih lanjut juga dilakukan oleh Mpu Kuturan. Karena jasa beliau itu Mpu Kuturan distanakan di Meru Tumpang Sembilan di Pura Peninjoan. Pura Peninjoan ini termasuk kompleks Pura Besakih.

Menurut Lontar Babad Bendesa Mas dan Lontar Kusuma Dewa, antara Pura Kentel Gumi, Pura Dasar di Gelgel dan Pura Goa Lawah yang mempunyai hubungan historis juga sama-sama didirikan oleh Mpu Kuturan. Karena jasa-jasa beliau itu di berapa Pura Kahyangan Jagat, Mpu Kuturan dimuliakan dalam Pelinggih Manjangan Saluwang. Demikian hampir di setiap pemujaan keluarga Hindu di Bali yang disebut Sanggah Gede atau Merajan Agung, Mpu Kuturan juga dimuliakan di Pelinggih Manjangan Saluwang.

Jadinya Mpu Kuturan sangat berjasa dalam menata kehidupan manusia dan alam Bali berdasarkan ajaran Hindu. Hal inilah menyebabkan Bali sampai mendapat julukan Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Kalau kita perhatikan Mpu Kuturan bukan milik suatu wangsa atau warga tertentu.

Yang patut kita renungkan lebih dalam tentang pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali sebagai pemujaan Tuhan sebagai Dewa Tri Murti. Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti bukan untuk menyatukan adanya sekte-sekte Hindu yang bermusuhan. Para guru besar yang ahli ilmu purbakala di Bali yang pernah saya tanyakan menyatakan bahwa tidak ada catatan sejarah bahwa sekte-sekte Hindu di Bali pernah bermusuhan, apalagi berperang.

Tujuan Mpu Kuturan mengajarkan pemujaan Tuhan sebagai Dewa Tri Murti adalah untuk menguatkan umat dalam melakukan upaya Utpati, Stithi dan Pralina. Utpati artinya giat menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan. Stithi artinya dengan sungguh-sungguh memelihara dan melindungi sesuatu yang seyogianya dipelihara dan dilindungi.

Pralina maksudnya meniadakan sesuatu yang sepatutnya dihilangkan. Pralina bukan berarti merusak. Misalnya menghilangkan kebiasaan mabuk, apalagi saat merayakan hari raya keagamaan. Misalnya menghilangkan kebodohan dan kemiskinan dengan cara-cara yang baik, wajar dan benar. Itu juga tergolong kegiatan hidup yang termasuk pralima. Melakukan upaya Upati, Stithi dan Pralina tidaklah segampang teorinya. Melakukan hal itu perlu ada tuntutan Tuhan melalui pemujaan Dewa Tri Murti di Kahyangan Tiga. * I Ketut Gobyah
 
Pura Luhur Tamba Waras

Pura Luhur Tamba Waras----------------
Tempat Memohon Kesehatan Lahir Batin
Pura Luhur Tamba Waras secara geografis terletak di lereng sebelah selatan Gunung Batukaru, tepatnya di Desa Sangketan, Penebel, Tabanan. Pura yang berada pada satu garis dengan Pura Luhur Batukaru ini terletak pada ketinggian sekitar 725 meter dari permukaan laut. Untuk mencapai pura ini pemedek harus menempuh jarak sekitar 22 km dari kota Tabanan. Jika dilihat dari struktur pura, Pura Luhur Tamba Waras atau juga disebut Tambo Waras berkedudukan sebagai gudang farmasinya jagat raya. Fungsi ini dapat dibuktikan dengan munculnya berbagai sarana penting yang berfungsi sebagai bahan obat-obatan, di samping berkaitan erat dengan sejarah, di mana seorang raja dapat disembuhkan dengan mengaturkan permohonan di tempat yang awalnya berupa hutan belantara Batukaru ini.
============================================================
PURA Tamba Waras ini berdiri sekitar abad ke-12. Menurut beberapa catatan sejarah, Raja Tabanan yakni Cokorda Tabanan sakit keras dan tidak ditemukan pengobatannya. Para abdi mencarikan obat sesuai dengan petunjuk gaib yang diterima, di mana akan ada asap sebagai petunjuknya. Setelah berjalan di dalam hutan Batukaru, dijumpai asap mengepul yang berasal dari sebuah kelapa di tanah di dalam rumpun bambu. Setelah memohon di tempat itu, didapatkanlah obat. Setelah obat tersebut diaturkan kepada raja, ternyata sang raja sembuh dan sehat kembali. Di tempat itu dibangunlah tempat pemujaan yang dinamakan Tambawaras.

Kata Tambawaras berasal dari kata tamba + waras. Tamba artinya obat, sedangkan waras artinya normal kembali. Pura Luhur Tamba Waras bermakna pemujaan kekuatan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi dalam fungsi sebagai penyedia gudang farmasi alam semesta (bhuwana agung). Dengan demikian permohonan kerahayuan, kesehatan, kebijaksanaan untuk mencapai kesejahteraan merupakan objek pemujaan di pura ini.

Pura ini salah satu Pura Catur Angga, berstatus sebagai Sad Kahyangan Jagat Bali. Pura Luhur Tamba Waras termasuk dalam jajar kemiri, yakni juringan yang membangun kekuatan. Gunung Batukaru dengan puncaknya Kedaton merupakan bentuk manifestasi Hyang Widhi sebagai pelindung kehidupan sarwa prani, dengan menganugerahkan pangurip gumi. Adapun pura jajar kemiri yang dimaksud adalah Pura Luhur Muncaksari dan ke bawahnya Pura Tamba Waras yang terletak di sebelah kanan Pura Luhur Batukaru.

Sementara di sebelah kiri terdapat Pura Patali dan Pura Besikalung. Kesempurnaan antara kedua sisi ini dapat memperkuat alam semesta. Dengan demikian Pura Luhur Tamba Waras merupakan satu kekuatan penyangga keutamaan fungsi Ida Batara Sang Hyang Tumuwuh yang berstana di Luhur Batukaru.

Kesehatan lahir dan batin merupakan modal awal untuk menjalani hidup dengan benar. Pura Tamba Waras adalah kekuatan pemberi anugerah di bidang kesehatan lahir batin dan kelestarian alam semesta. Manifestasi Catur Loka Pala Batukaru sebagai Aswinodewa. Kebijaksanaan, kejujuran, kemuliaan hati merupakan kesehatan batin untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, di samping kesehatan jasmani atau fisik yang kuat.

Kedua hal ini dapat dimohonkan di pura ini, baik dengan melakukan yoga maupun pelaksanaan ritual yang didasari dengan hati yang suci guna memohon berkat-Nya.

Desa Adat Sangketan merupakan krama adat Pekandel. Sementara Jero Subamia merupakan pangenceng dari pura ini. Buda Umanis Prangbakat merupakan piodalan yang diselenggarakan di pura ini. Sementara karya mamungkah, mupuk pedagingan dan ngenteg linggih dilaksanakan mulai Saniscara Pon Pahang (10 Juni) lalu dan berakhir Buda Pon Watugunung (13 September) mendatang, dengan puncak karya Rabu (2/8) lalu.

Melasti dan Masandekan
Ada tradisi unik yang dijalankan saat piodalan di pura ini yakni pamelastian dengan simpang dan masandekan pada beberapa pura yang dilalui. Upacara melasti di Tanah Lot, dengan memakan waktu perjalanan selama tiga hari dengan berjalan kaki dari Pura Tamba Waras menuju segara. Selama perjalanan Ida Batara akan simpang di beberapa pura dan masandekan di Pura Puseh Desa Adat Kota Tabanan.

Selain itu, Ida Batara masandekan di Puseh Penatahan Desa Wanasari, Pura Pesimpangan Kuwuban Luhur Batukaru serta bermalam di Pura Desa Adat Kota Tabanan. Keesokan harinya kembali melanjutkan perjalanan menuju pantai Tanah Lot dengan sebelumnya masandekan di Pura Desa Adat Demung dan Pura Dangin Bingin.

Sekembalinya dari melasti marerepan di Pura Puseh Desa Adat Kota Tabanan. Hari ketiga, baru dilakukan prosesi mamendak Ida Batara rawuh dari melasti di Pura Luhur Tamba Waras.

Wakil Bupati Tabanan IGG Putra Wirasana selaku pengenceng pura yang merupakan penglingsir Jro Subamia terlihat mendampingi berbagai upacara yang berlangsung. Dengan dilaksanakan yadnya di tempat ini diharapkan umat mampu menjaga keseimbangan alam Bali.

Selain itu, Mangku Gede Tamba Waras menyatakan atas berkat dan tuntunan yang diberikan oleh Ida Bathara yang dipuja di pura ini, diharapkan ada ketenteraman batin dalam setiap individu, rumah tangga serta seluruh masyarakat Bali. Jika hal ini terwujud maka akan ada ketenteraman, kedamaian serta kesuksesan dalam pembangunan di Tabanan dan Bali secara umum. Selain itu, piodalan yang dilaksanakan sebagai wujud terima kasih dan rasa bakti ke hadapan Sang Pencipta yang telah memberikan tuntunan dan berkah kepada umat manusia.

Wirasana berharap melalui kebersamaan dalam penyelenggaraan karya, terbentuk rasa kekeluargaan yang menciptakan rasa damai di kalangan umat. Selain itu, karya yang dilaksanakan sebagai wujud rasa bakti segenap umat diharapkan turut membawa keteguhan batin dan kerahayuan jagat, di mana saat ini sebagian besar wilayah Indonesia mengalami bencana. Melalui berbagai piodalan, setiap umat Hindu hendaknya lebih memperkuat keyakinan serta sradha ke hadapan Hyang Widhi, serta mampu menunjukkan sikap yang baik terhadap sesamanya. * surpi
 
Pusat Jagat Puser Tasik

Pura Pangukur-ukuran diyakini jadi tempat mengukur kekuatan Bali tempo dulu. Di sinilah kemampuan Kebo Iwa ditakar sebelum menjadi mahapatih Kerajaan Bali Kuno.

Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, memiliki banyak tempat suci yang dilengkapi ritus-ritus purba. Sebut, misalkan, Pura Penataran Sasih, Pura Kebo Edan, atau Pura Pusering Jagat. Di antara situs-situs tua itulah berdiri Pura Pangukur-ukuran. Lokasinya di Desa Pakraman Sawagunung, Desa Pejeng Kelod.

Beragam kisah dapat dicermati dari keberadaan pura di tepi Tukad Pakerisan ini. Mulai dari jenis palinggih (bangunan suci) hingga tinggalan purbakala yang tersimpan di dalamnya.

Tradisi lisan di Pejeng dan sekitarnya menyebutkan, pura berluas 2 ha ini konon menjadi tempat para raja Bali Kuno mengukur tanah Bali. Termasuk mencari tempat yang cocok buat membangun pura pusat. Kemudian dari Pura Manik Corong, di Desa Pejeng, membidik daerah yang cocok dibangun Pura Basukian. Ada perkira-kiraan semula sang raja hendak membangun Pura Basukian (Besakih) di sebelah utara areal Pura Pangukur-ukuran. Di lokasi ini hingga kini ada peninggalan berupa tanah lapang berdasar batu padas seluas 150 m2. Konon setelah melalui berbagai pertimbangan, di antaranya lokasi pura terlalu di tengah, kurang menunjuk arah timur laut, keinginan membangun Pura Basukian di areal Pura Pangukur-ukuran pun tak dilanjutkan. Kawasan pinggang Gunung Agung (kini bernama Desa Besakih), menjadi pilihan membangun Pura Basukian. “Itu sebab antara Pangukur-ukuran dengan Manik Corong memiliki hubungan erat,” kisah Jero Mangku Dewa Gede Rauh, Pamangku Pamucuk Pura Pangukur-ukuran.

Selain dengan Pura Manik Corong, Pura Pangkur-ukuran juga bertalian dengan Pura Tirta Mangening, Pura Gunung Kawi, dan pura lain di sepanjang Tukad Pakerisan. Hubungan terjadi tak lepas dari berbagai peninggalan yang ada. Sumber air yang melewati Tukad Pakerisan juga berasal dari Tirta Mangening di hulunya. Pura ini juga terkait dengan Pura Samuan Tiga, di Banjar Marga Bingung, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh. Konon usai para raja menentukan lokasi pembangunan Pura Basukian dan Pura Pusering Tasik, semua raja akhirnya berkumpul di Pura Samuan Tiga, merembugkan rencana menata Bali secara utuh dan menyeluruh.

Toh kekunaan situs Pangukur-ukuran tak sebatas berdasar tradisi lisan setempat. Di sini juga terdapat peninggalan bernilai prasejarah dan sejarah, berupa Candi Agung dan ritus purbakala yang tersimpan di palinggih Ratu Bujangga. Di sebelah timur pura, tepatnya di tepi Tukad Pakerisan, terdapat peninggalan Goa Garba. “Gua ini,” tegas Dewa Gede Badung, mantan Klian Subak Sawogunung, yang kini dipercaya sebagai penjaga pura, “menjadi tempat samadi Mahapatih Kebo Iwa dari Kerajaan Bedahulu, ketika hendak menambah bangunan, termasuk membuat tembok pembatas Pura Pangukur-ukuran.” Selain Candi Agung, Goa Garba, dan arca, ada pula peninggalan gapura yang menghubungkan Candi Agung dengan Patirtaan di sebelah timur Pura Pangukur-ukuran.

Patirtaan ini hingga sekarang tetap dimanfaatkan sebagai sarana air suci (tirta) serta sarana mencuci (ngingsah) beras yang dijadikan bahan upacara. Di sebelah selatan pura terdapat jalan setapak dari batu tua serta sisa-sisa pintu gerbang dari batu padas. Jalan ini menuju ke Goa Garba. Di antara jalan setapak tersebut, ada satu batu berisi bekas tapak kaki yang ukurannya melebihi ukuran telapak kaki manusia biasa. Masyarakat Sawagunung dan sekitar meyakini telapak kaki ini bekas hentakan kaki Kebo Iwa, saat membuat jalan menuju ke Pura Pangukur-ukuran. Berbagai ritus purbakala tersimpan di Pura Pangukur-ukuran.

Tapi, kapan istilah pangukur-ukuran pertama kali muncul? Berbagai versi berkembang. Ada mengait-ngaitkan dengan tempat raja-raja Bali Kuno mengukur wilayah kekuasaannya. “Ada pula menghubung-hubungkan dengan keberadaan Kebo Yuwa (Kebo Iwa), seorang keturunan Arya Karang Buncing saat hendak menjadi mahapatih di Kerajaan Bedahulu,” Dewa Gede Raka, Bandesa Pakraman Sawagunung, menuturkan. Sebelum Kebo Iwa diterima resmi menjadi patih di Kerajaan Bedahulu, kemampuannya diuji oleh beberapa petinggi kerajaan, termasuk dengan Ki Pasung Grigis, yang terkenal memiliki kesaktian. Tempat mengukur kesaktiannya ini bernama Dharmma Hanyar.

Setelah melalui berbagai ujian, akhirnya Kebo Iwa tak terkalahkan. Dia diterima menjadi mahapatih di Kerajaan Bedahulu. Oleh karena kedigjayaan Kebo Iwa diukur di Dharmma Hanyar, tempat tersebut lamat-lamat disebut Pangukur-ukuran. Mana yang benar? Belum bisa dipastikan. Terkecuali pendirian Pura Pangukur-ukuran yang bisa diperkirakan berdasarkan peninggalan yang ada. Satu di antaranya laporan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Kebudayaan Suaka Peninggalan dan Purbakala. Dalam laporan yang diterbitkan tahun 1985 itu disebutkan, Pura Pangukur-ukuran memiliki bukti pendirian berupa prasasti yang disebut Prasasti Pura Pangukur-ukuran atau di kalangan ahli prasasti lebih dikenal dengan nama Prasasti Ambang Pintu. Penamaan ini muncul karena prasastinya terletak pada sebuah pintu gerbang (pamedal) pura. Prasasti yang terbuat dari batu padas memiliki panjang 130 cm, lebar 52 cm, dan tebal 18 cm, itu hanya memuat tiga baris kata.

Adapun tulisan yang tertuang dalam prasasti Pura Pangukur-ukuran sebagai berikut:
1….suasti cri caka warsatitanagata wartamana 1116-phalgunamasa tithi pancami cuklapksa.
2….a…wa..wr ning julung pujut dewa arta. Irika dewasa nira mpungkwing dharma hanar guru aji mapanji jiwaya-a
3 …..amurnajiwa ingkang astapaka mowah bhyumi bhatari 1 jro I H 9eng) apanti maka muka mukan ratna kunya (Rapa)…da….
Artinya :
1 …..Selamat Berbahagia tahun caka yang telah lewat yang akan datang dan yang sedang berjalan (saat ini) 1116, bulan kedelapan (sasih kawulu) pada hari kelima paro terang (pananggal ping lima).
2…..Urukung, wage, wraspati, wuku pujut, dewanya arta, pada saat itulah beliau orang suci di Dharmma Hanyar sebagai guru sang raja (bawaganta) bernama Jiwaya.
3……. telah sempurna jiwanya dalam hal astapaka (kawikon) dan lagi wilayah (linggih) batara-batari di dalam dan di luar (jeroan dan jaba) pura sebagai hulu di Ratna Kunjara Pada.

Bila berpijak dari pananggalan yang termuat dalam prasasti Pura Pangukur-ukuran, yaitu: Wraspati Wage Pujut, Pananggal Ping Lima Sasih Kawulu, tahun 1116 Saka, maka dapat diindikasikan pura kahyangan jagat ini diperluas pada tahun 1116 Saka atau 1194 Masehi, yang di-plaspas seorang bagawanta kerajaan bergelar (mapanji) Jiwaya atau Jiwajaya. Selain mengetahui tahun pendirian pura, dapat diketahui pula bahwa sebelum bernama Pangukur-ukuran pura ini bernama Dharmma Hanyar. Ini dapat diketahui dari kalimat “mpungkwing dharma hanar” yang berarti pendetaku di “Dharmma Hanyar” bergelar Jiwaya—kini distanakan di palinggih Ratu Bujangga. Berkat kehadiran guru besar (dang arcaryya) Jiwaya itulah, kata Dewa Raka, status Pura Pangukur-ukuran kerap disebut sebagai dang kahyangan. Layaknya pura di Bali yang menganut konsep trimandala, areal Pura Pangukur-ukuran juga terbagi tiga. Pada tiap bagian dibangun beberapa palinggih. Bhur (paling dalam/jeroan), di antaranya ada Candi Agung berbahan batu padas yang menjadi palinggih pusat. Di dalamnya terdapat pratima terbuat dari batu sebagai simbol Ida Batara Putra Jaya. Bagian bawah candi, dari lantai bilik sampai bagian dasar candi konstruksinya masih berupa batu padas lama. Dari bagian bilik ke atas merupakan pasangan baru.

Dari penuturan para tetua di Sawagunung, tahun 1917 pernah terjadi gempa dahsyat di Bali. Besar kemungkinan bagian atas Candi Agung rusak sehingga tahun-tahun berikutnya diperbaiki. Di sebelah kanan bangunan padmasana terdapat gedong panyawangan Ida Batara di Pura Gunung Agung. Pada deret utara, dari timur ke barat, masing-masing ada palinggih panyawangan Ida Batara di Pura Batur, gedong stana Ida Batara di Gunung Lebah, Ida Batara di Tirta Empul.

Di depan Candi Agung terdapat bale pasamuhan sebagai tempat menstanakan Ida Batara yang diwujudkan dengan beragam simbol (pratima), saat berlangsung upacara. “Waktu upacara ada sekitar sembilan tapakan Ida Batara hadir di sini. Selain dari pura kahyangan jagat yang ada di sekitar Pejeng, ada pula dari Bangli dan Singapadu, Gianyar,” tunjuk Bandesa Pakraman Sawagunung, I Dewa Gede Raka.

Sebelah selatan bale pasamuhan ada palinggih Ratu Madeg, satu-satunya gedong berpintu keluar menghadap ke timur. Di tempat suci inilah warga memohon agar upacara yang hendak digelar di Pura Pangukur-ukuran atau tempat suci lain di Desa Sawagunung berjalan aman, nyaman, dan lancar.
Menempel dengan gedong Ratu Madeg, ada palinggih Ratu Tukang, tempat mohon izin sebelum warga memulai membikin aneka sarana sesaji. “Di sini tak ada berani mengaku diri sebagai tukang banten. Semua menjadi pangayah,” ingat Dewa Badung. Warga yang hendak ngayah membikin sesaji terlebih dulu diperciki tirta dari Palinggih Tukang.

Pada areal bawah (jaba tengah) terdapat palinggih Ratu Bujangga, berlokasi di sebelah kanan (utara) pintu masuk ke jeroan. Dalam palinggih ini, selain tersimpan arca Siwa Guru (Ratu Bujangga), juga ada peninggalan lain, seperti prasasti Pura Pangukur-ukuran dan arca dari batu lainnya.
Mengingat di pura ini sudah distanakan Ida Ratu Bujangga, maka setiap kali menggelar upacara, tidak lagi menggunakan pendeta (sulinggih) memimpin jalan upacara. Cukup diselesaikan Jero Mangku Pamucuk Pura Pangukur-ukuran, dengan didahului mohon tirta atau kakuluh Ida Batara.

Keengganan masyarakat pangemong pura menggunakan sulinggih sebagai pamuput karya, bukan tanpa alasan. Dalam cermatan Dewa Badung, pernah suatu kali masyarakat memohon kehadiran seorang pendeta untuk menyelesaikan upacara di pura ini. Mengingat begitu banyak sesajian yang hendak dipersembahkan, warga merasa kurang mantap bila secara sakala tanpa dipimpin pendeta langsung.

Benar saja, usai muput upacara di Pura Pangukur-ukuran, beberapa saat kemudian sang pendeta sakit. Belum genap seminggu, pendeta itu pun wafat. Sejak saat itu, sebesar apa pun upacara yang dilaksanakan, warga tetap tak menggunakan pendeta. Cukup dipimpin jan banggul Ida Batara Putra Jaya, pamangku utama pura setempat.

Di utara Ratu Bujangga ada palinggih gedong Ratu Panji. Saat umanis piodalan (sehari setelah puncak upacara), stana Ida Batara Putra Jaya, berupa pratima akan dipindahkan dari palinggih pasamuhan agung di jeroan ke gedong Ratu Panji, sedangkan tapakan Ida Batara dari desa lain, distanakan pada bale pasamuhan pada deret utara. Kemudian ada gedong panyawangan Ida Batara di Pura Goa Lawah. Di jaba sisi, ada bangunan pelengkap, seperti wantilan dan palinggih Sedahan Apit Lawang. Upacara di Pura Pangukur-ukuran datang tiap Purnama Karo (Agustus) dengan lama piodalan tujuh hari. Puncak karya tak mesti bertepatan dengan bulan Purnama, bisa mundur atau maju sehari. Patokannya hari Pasah, sesuai pembagian kalender Bali. Jika Pasah datang setelah atau sebelum Purnama Karo, maka saat itulah puncak upacara. Meski berstatus pura kahyangan jagat, toh biaya upacara dan pembangunan di tempat suci ini hampir sepenuhnya ditanggung pangemong. Beda dengan beberapa pura sejenis di tempat lain yang mendapat dana pasti dari pemerintah daerah. Kondisi inilah, menurut Dewa Raka, terkadang dikeluhkan warga pangemong yang berjumlah 200 KK—pura ini di-empon dua desa pakraman: Sawagunung dan Gepokan.

Padahal, selain bertanggung jawab terhadap Pura Pangukur-ukuran, mereka juga melaksanakan ritual keagamaan dan pembangunan di pura lain. “Ada memang bantuan dana dari pemerintah, cuma mesti mengajukan proposal terlebih dulu. Bukan biaya tetap,” tambah Dewa Raka. Sepatutnya, memang, pemerintah daerah memberi perhatian mendalam terhadap pura tua, seperti Pangukur-ukuran ini.
Di sana orang bisa ‘membaca’ denyut kearifan peradaban rohani tanah dan manusia Bali masa silam.

Di Gua Garba Kebo Iwa Bersila
Bila Anda bersembahyang atau berkunjung ke Pura Pangukur-ukuran, di Banjar Sawa Gunung, Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, jangan pernah lupa singgah ke Pura Goa Garba. Inilah tempat suci di tebing timur yang satu kawasan dengan Pura Pangukur-ukuran. Areal pura tak begitu luas, memang, tapi di sini tertera kisah unik. Goa Garba, konon, semula menjadi tempat samadi Mahapatih Kebo Iwa, kepercayaan Raja Bali saat berpusat di sekitar Pejeng.

Pada zaman pemerintahan Raja Bedahulu, Mahapatih yang juga berjulukan Kebo Taruna ini mendapat tugas memelihara dan membangun tempat suci di pinggiran Tukad Pakerisan, termasuk Pura Pangukur-ukuran. “Di pura ini dulu hanya ada satu bangunan Gedong Agung,” urai Dewa Gede Badung, tetua Desa Pakraman Sawa Gunung.

Mendapat titah sang Raja, Kebo Iwa pun menuju lokasi Pangukur-ukuran bersama beberapa orang kepercayaannya, untuk membangun pura. “Selama proses pembangunan berlangsung itulah, konon Kebo Iwa bersamadi di tebing ini,” tunjuk Dewa Badung. Tempat Kebo Iwa bersila tepekur itu kemudian dinamakan Pura Goa Garba—layaknya gua garba Ibu Alam Semesta. Ada berbagai peninggalan bersejarah di pura ini, antara lain topeng berbahan batu padas, lingga, dan peninggalan lain. Semua benda-benda bernilai sejarah ini berada dalam satu gua. Pada atap sebuah ceruk di gua ini terdapat tulisan tipe Kediri Kwadrat berbunyi ‘sra’. Hingga kini belum terpecahkan, entah apa makna tulisan itu. *I Wayan Sucipta
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.