12qm7da
IndoForum Newbie B
- No. Urut
- 24616
- Sejak
- 25 Okt 2007
- Pesan
- 192
- Nilai reaksi
- 8
- Poin
- 18
Martin Luther adalah seorang yang terkemuka dari orang-orang yang terpanggil untuk memimpin gereja ke luar dari kungkungan kegelapan kepausan kepada terang iman yang lebih mumi. Seorang yang bersemangat, rajin dan berserah, tidak mengenal rasa takut kecuali takut kepada Allah, dan mengakui tidak ada dasar iman keagamaan kecuali Alkitab. Luther adalah tokoh pada zamannya. Melalui dia Allah melakukan pekerjaan-pekerjaan besar untuk pembaruan gereja dan menerangi dunia.
Seperti pesuruh-pesuruh Injil yang pertama, Luther muncul dari lapisan masyarakat miskin. Masa kecilnya dihabiskan di rumah sederhana seorang petani Jerman. Dengan pekerjaan sehari-hari sebagai seorang pekerja tambang, ayahnya dapat menyekolahkannya. Ayahnya berniat agar Luther kelak menjadi seorang pengacara. Tetapi Allah bermaksud membuat dia menjadi seorang pembangun di bait-Nya yang kudus yang berkembang begitu lambat selama berabad-abad. Kesukaran, penderitaan dan tindakan disiplin adalah sekolah di mana Yang Mahabijak mempersiapkan Luther bagi suatu misi penting dalam hidupnya.
Ayah Luther adalah seorang yang berpikiran kuat dan aktif, an mempu-nyai tabiat yang teguh, jujur, tabah dan lurus. Ia setia kepada keyakinan tu-gasnya walau apa pun akibatnya. Nuraninya yang sejati menuntunnya ti¬dak percaya kepada sistem biara. Ia sangat tidak senang pada waktu Luther memasuki biara tanpa persetujuannya. Selama dua tahun hubungan mereka tidak baik karenanya, dan sesudah berdamai kembali pun pendirian ayah¬nya tetap sama.
Orangtua Luther sangat memperhatikan pendidikan dan pelatihan anak¬-anaknya. Mereka berusaha mengajarkan pengetahuan akan Allah dan mempraktikkan kebijakan Kristen. Doa-doa ayahnya sering dinaikkan de¬ngan didengar oleh anaknya, agar anaknya boleh mengingat nama Tuhan, dan pada suatu hari membantu memajukan kebenaran-Nya. Setiap kesem¬patan untuk memupuk moral dan intelektual yang diberikan oleh kehidup¬an mereka yang keras kepada mereka untuk dinikmati, selalu dikembangkan oleh orangtua ini. Mereka berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan sabar untuk mempersiapkan anak-anak mereka bagi suatu kehidupan yang `saleh dan berguna, meski kadang-kadang mereka melatih terlalu keras. Bagi Luther sendiri, meskipun menya¬dari adanya kesalahan dalam cara orang tuanya mendidik, ia menemukan bahwa dalam disiplin yang direpakan orang tuanya terdapat lebih banyak dukungan daripada hukuman.
Di sekolah, di mana ia belajar pada masa mudanya, Luther diperlakukan dengan kasar dan bahkan dengan kejam. Orangtuanya sangat miskin, se-hingga pada waktu ia bersekolah di kota lain, diharuskan mencari makan sendiri dengan menyanyi dari satu rumah ke rumah yang lain, dan sering ia harus menahan lapar. Pemikiran agama yang gelap dan penuh ketakhyulan yang merajalela membuat ia ketakutan. Ia berbaring pada waktu malam dengan hati yang sedih, memandang ke masa depan yang gelap dengan gemetar, dan dengan ketakutan yang terus-menerus menganggap Allah itu sebagai hakim yang lalim yang tidak menaruh belas kasihan, seorang tiran yang jahat, bukannya seorang Bapa Surgawi yang baik hati.
Namun, di bawah ketawaran hati yang begitu banyak, Luther terus berusaha maju menuju standar moral yang tinggi dan keungguluan intelek-tual yang menarik jiwanya. Ia haus akan pengetahuan, kesungguhan serta pikirannya yang praktis menuntunnya untuk menginginkan yang kuat dan berguna, daripada yang menyolok dan dangkal.
Pada usia 18 tahun, waktu ia memasuki Universitas Erfurt, keadaannya sedikit lebih baik, dan hari depannya lebih cerah daripada tahun-tahun se-belumnya. Orangtuanya, oleh karena berhemat dan rajin, telah mampu memberikan bantuan yang diperlukan. Dan pengaruh teman-temannya yang bijaksana telah mengurangi pengaruh suram pendidikan sebelumnya. Ia mempelajari karya-karya pengarang terbaik, dengan rajin mempelajari pikiran-pikiran berbobot, dan membuat kebijaksanaan orang-orang bijak itu menjadi kebijaksanaannya. Bahkan di bawah disiplin yang ketat dari guru-guru¬ sebelumnya, ia telah menunjukkan keunggulannya. Ingatannya yang tajam, imajinasinya yang kreatif, daya pertimbangannya yang kuat, dan ketekunannya yang tak mengenal lelah, segera menempatkannya pada barisan depan teman-temannya.
Perasaan takut akan Allah selalu tinggal dalam hati Luther, yang membuatnya sanggup mempertahankan tujuannya dengan teguh. Rasa ketergantungan yang kuat kepada pertolongan Ilahi membuatnya tidak pernah lupa memulai setiap hari dengan doa. Sering ia berkata, "Ber¬doa dengan baik adalah setengah pelajaran yang lebih baik."-D'Aubigne, "History of the Reformation of the Sixteenth Century," b. 2, psl. 2.
Ketika suatu hari ia melihat-lihat buku-buku di perpustakaan universitas itu, Luther menemukan Alkitab dalam bahasa Latin. Belum pernah ia me¬lihat buku seperti itu sebelumnya. Ia sama sekali tidak tahu keberadaan buku itu. Ia telah pernah mendengar bagian-bagian dari Injil dan surat¬surat rasul, yang telah dibacakan kepada orang-orang pada waktu kebakti¬an umum, dan ia berpikir bahwa hanya itulah seluruh Alkitab. Sekarang, un¬tuk pertama kalinya ia melihat seluruh firman itu. Dengan rasa kagum ber¬campur heran ia membalik halaman-halaman dari firman yang kudus itu. Denyut nadinya bertambah cepat dan jantungnya berdebar-debar, sambil ia membaca firman ke¬hidupan itu untuk dirinya sendiri. Setelah berhenti sejenak ia berseru, "Oh, seandainya Allah memberikan buku seperti ini menjadi milikku sendiri!"¬Ibid, b. 2, psl. 2.
Roh Kudus menyatakan kekayaan kebenaran firman Allah itu ke dalam pikiran Luther. Sebelumnya ia selalu takut melanggar kehendak Allah. Te¬tapi sekarang ia mempunyai kesadaran yang mendalam mengenai keberada¬annya sebagai orang berdosa yang sangat bergantung kepada Allah.
Suatu kerinduan yang sungguh-sungguh untuk bebas dari dosa dan untuk memperoleh kedamaian dengan Allah, akhirnya menuntun dia memasuki sebuah biara, dan menyerahkan dirinya kepada kehidupan biara.
Di sini ia diharuskan melakukan pekerjaan yang paling rendah, dan mengemis dari rumah ke rumah. Pada waktu itu ia berada pada tingkat umur di mana penghormatan dan penghargaan sangat didambakan, sehingga pekerjaan yang cocok untuk seorang budak ini sangat melukai perasaannya. Te¬tapi dengan tabah dan sabar ia bertahan dalam pekerjaan yang merendah¬kan diri ini, sebab ia percaya bahwa hal itu diperlukan untuk menebus dosa¬dosanya.
Setiap saat di waktu senggangnya ia gunakan untuk belajar, sehingga mengurangi tidurnya, bahkan kadang juga mengambil waktu makannya. Namun di atas segalanya, ia bersuka cita mem¬pelajari firman Allah. Ia menemukan sebuah Alkitab yang dirantai ke din¬ding biara, sehingga untuk membacanya ia sering pergi ke situ. Sementara keyakinannya mengenai dosa semakin mendalam, ia mulai mencari pengampunan dan kedamaian atas usahanya sendiri. Ia menghidupkan suatu kehidupan yang ketat, dengan berpuasa, berjaga dan berdoa sepanjang malam, dan menyiksa diri untuk menundukkan sifat-sifat jahatnya, dimana hal ini tidak bisa diatasi oleh kehidupannnya sebagai biarawan. Ia tidak segan-segan berkorban, de-ngan harapan, ia dapat memperoleh kesucian hati yang akan membuatnya berkenan di hadapan Allah. "Sesungguh¬hya saya adalah seorang biarawan yang taat," katanya kemudian; "dan mematuhi semua peraturan ordo lebih ketat daripada yang dapat saya kata¬kan. Jikalau pernah seorang biarawan memperoleh surga oleh pekerjaan¬nya sebagai biarawan, saya merasa pasti berhak untuk itu .... Jika peker¬jaan itu diteruskan lebih lama lagi, pekerjaan penyiksaan diri itu akan menewaskan saya." D Aubigne, b. 2, psl. 3.
Sebagai akibat disiplin yang menyakitkan, ia kehilangan kekuatannya, dan menderita pingsan dan kejang-¬kejang, yang pada waktu selanjutnya tidak pernah sembuh benar dari pengaruhnya. Meskipun demikian, dengan semua usahanya ini, jiwanya yang menanggung beban tidak menemukan kelegaan. Akhimya ia berada di tepi jurang keputusasaan.
Bilamana tampaknya semua sudah hilang bagi Luther, Allah memberi¬kan seorang sahabat dan penolong baginya. Staupitz yang saleh membuka firman Allah ke dalam pikiran Luther dan mengajaknya mengalihkan pan¬dangannya dari dirinya sendiri, berhenti merenungkan hukuman tanpa ba¬tas karena pelanggaran hukum Allah, dan memandang kepada Yesus, Juru¬selamat yang mengampuni dosa itu. "Daripada menyiksa dirimu oleh kare¬na dosa-dosamu, jatuhkanlah dirimu ketangan Penebus. Percayalah kepa¬da-Nya, kepada kebenaran kehidupan-Nya, kepada penebusan kematian¬Nya .... Dengarkanlah Anak Allah. Ia menjelma menjadi manusia untuk memberikan kepadamu jaminan perkenan Ilahi." "Kasihilah Dia yang te¬lah lebih dahulu mengasihimu."-lbid, b. 2, psl. 4. Kata-kata itu membawa kesan mendalam di pikiran Luther. Setelah menggumuli cara-caranya yang salah, ia akhirnya mampu menerima kebenaran, dan kedamaian pun datang kepada jiwanya yang susah.
Luther ditahbiskan menjadi imam, dan telah dipanggil keluar dari biara menjadi guru besar di Universitas Wittenberg. Di sini ia mempelajari Alkitab dalam bahasa aslinya. Ia mulai memberi ceramah mengenai Alkitab. Dan kitab-kitab Mazmur, Injil, dan surat rasul-rasul telah ia bukakan para pendengar yang menerimanya dengan gembira. Staupitz, sahabatnya dan atasannya, mendorongnya untuk naik mimbar dan mengkhotbahkan firman Allah. Luther merasa ragu karena merasa dirinya tidak layak berbicara ke-pada orang-orang sebagai ganti Kristus. Hanya selelah pergumulan yang lama dia menerima permintaan sahabat-sahabatnya. Tak lama, ia sudah mahir me¬ngenai Alkitab, dan rahmat Allah turun ke atasnya. Kemampuannya berbi-cara yang memikat para pendengarnya, penyampaian kebenaran yang jelas dan meyakinkan serta semangatnya yang berapi-api menyentuh hati para pendengar.
Luther masih tetap menjadi anggota gereja kepausan yang sungguh-sung-guh, dan tidak pernah berpikir yang lain-lain. Dengan pemeliharaan Allah ia telah dituntun untuk mengunjungi Roma. Ia melakukan perjalanan de¬ngan berjalan kaki, dan menginap di biara-biara sepanjang perjalanan. Di salah satu biara di Italia ia dipenuhi keheranan melihat kekayaan, keindahan dan kemewahan yang disaksikannya. Para biarawan tinggal di apartemen yang megah, dengan pendapatan yang memuaskan, berpakaian yang pa¬ling mewah dan paling mahal, dan memakan makanan yang mewah. De¬ngan sangat ragu-ragu, Luther membandingkan pemandangan ini dengan penyangkalan diri dan kesukaran yang dialaminya dalam hidupnya sendiri. Pikirannya menjadi bingung.
"Akhirnya ia melihat dari kejauhan kota tujuh gunung itu. Dengan perasa-an yang mendalam ia tersungkur ke tanah dan berseru: "Roma yang kudus, aku menghormatimu!"--Ibid, b.2, psl. 6. Dia memasuki kota itu, mengun¬jungi gereja-gereja, mendengarkan kisah-kisah yang diulang-ulangi oleh para imam dan biarawan, serta melakukan semua upacara yang diwajibkan. Di mana-mana ia melihat perbuatan jahat terjadi di antara semua golongan rohamawan. Ia mendengar gurauan tidak senonoh dari para petugas gereja, dan ia dipenuhi kengerian kepada ucapan-ucapan kotor yang hebat, bahkan sementara melakukan misa. Ketika ia bergaul bersama para biarawan dan penduduk kota itu, ia mendapati terjadinya pemborosan dan pesta pora. Kemana saja ia berpaling, di tempat suci pun ia temukan perbuatan jahat. Tak seorang pun dapat mebayangkan," tuIisnya, "dosa-dosa serta tindak¬an-tindakan aneh apa yang dilakukan di Roma, semua itu harus disaksikan dan didengar sendiri, barulah dapat dipercaya. Dengan demikian mereka seakan telah terbiasa untuk mengatakan, `Jika ada satu neraka, maka Roma dibangun diatasnya: itu adalah sebuah lembah di mana semua jenis dosa diakukan. "- Ibid.
Oleh sebuah dekrit baru maka pengampunan dosa telah dijanjikan oleh paus kepada semua orang yang dengan lutut mereka mau menaiki "Tangga Pilatus" yang katanya dengan ajaib telah dipindahkan dari Yerusalem ke Roma. Luther pada suatu hari menaiki tangga itu dengan sungguh-sung¬guh, dimana ia tiba-tiba mendengar satu suara bagaikan geledek yang berkata, "Orang benar akan hidup oleh iman" (Roma 1:17). Ia lang¬sung berdiri dan segera meninggalkan tempat itu dengan malu dan ngeri. Ayat itu tidak pernah kehilangan kuasa atas jiwanya. Sejak waktu itu ia melihat lebih jelas dari sebelumnya pendapat yang keliru, yang mempercayai keselamatan diperoleh atas jasa usaha manusia, dan pentingnya iman yang terus menerus kepada jasa usaha Kristus. Matanya sekarang terbuka, dan tak akan pernah lagi tertutup, karena penipuan kepausan. Pada waktu ia memalingkan wajahnya dari Roma, hatinya juga ikut berpaling, dan sejak waktu itu jurang perpisahanpun semakin melebar, sampai akhirnya ia me¬mutuskan semua hubungannya dengan gereja kepausan.
Seperti pesuruh-pesuruh Injil yang pertama, Luther muncul dari lapisan masyarakat miskin. Masa kecilnya dihabiskan di rumah sederhana seorang petani Jerman. Dengan pekerjaan sehari-hari sebagai seorang pekerja tambang, ayahnya dapat menyekolahkannya. Ayahnya berniat agar Luther kelak menjadi seorang pengacara. Tetapi Allah bermaksud membuat dia menjadi seorang pembangun di bait-Nya yang kudus yang berkembang begitu lambat selama berabad-abad. Kesukaran, penderitaan dan tindakan disiplin adalah sekolah di mana Yang Mahabijak mempersiapkan Luther bagi suatu misi penting dalam hidupnya.
Ayah Luther adalah seorang yang berpikiran kuat dan aktif, an mempu-nyai tabiat yang teguh, jujur, tabah dan lurus. Ia setia kepada keyakinan tu-gasnya walau apa pun akibatnya. Nuraninya yang sejati menuntunnya ti¬dak percaya kepada sistem biara. Ia sangat tidak senang pada waktu Luther memasuki biara tanpa persetujuannya. Selama dua tahun hubungan mereka tidak baik karenanya, dan sesudah berdamai kembali pun pendirian ayah¬nya tetap sama.
Orangtua Luther sangat memperhatikan pendidikan dan pelatihan anak¬-anaknya. Mereka berusaha mengajarkan pengetahuan akan Allah dan mempraktikkan kebijakan Kristen. Doa-doa ayahnya sering dinaikkan de¬ngan didengar oleh anaknya, agar anaknya boleh mengingat nama Tuhan, dan pada suatu hari membantu memajukan kebenaran-Nya. Setiap kesem¬patan untuk memupuk moral dan intelektual yang diberikan oleh kehidup¬an mereka yang keras kepada mereka untuk dinikmati, selalu dikembangkan oleh orangtua ini. Mereka berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan sabar untuk mempersiapkan anak-anak mereka bagi suatu kehidupan yang `saleh dan berguna, meski kadang-kadang mereka melatih terlalu keras. Bagi Luther sendiri, meskipun menya¬dari adanya kesalahan dalam cara orang tuanya mendidik, ia menemukan bahwa dalam disiplin yang direpakan orang tuanya terdapat lebih banyak dukungan daripada hukuman.
Di sekolah, di mana ia belajar pada masa mudanya, Luther diperlakukan dengan kasar dan bahkan dengan kejam. Orangtuanya sangat miskin, se-hingga pada waktu ia bersekolah di kota lain, diharuskan mencari makan sendiri dengan menyanyi dari satu rumah ke rumah yang lain, dan sering ia harus menahan lapar. Pemikiran agama yang gelap dan penuh ketakhyulan yang merajalela membuat ia ketakutan. Ia berbaring pada waktu malam dengan hati yang sedih, memandang ke masa depan yang gelap dengan gemetar, dan dengan ketakutan yang terus-menerus menganggap Allah itu sebagai hakim yang lalim yang tidak menaruh belas kasihan, seorang tiran yang jahat, bukannya seorang Bapa Surgawi yang baik hati.
Namun, di bawah ketawaran hati yang begitu banyak, Luther terus berusaha maju menuju standar moral yang tinggi dan keungguluan intelek-tual yang menarik jiwanya. Ia haus akan pengetahuan, kesungguhan serta pikirannya yang praktis menuntunnya untuk menginginkan yang kuat dan berguna, daripada yang menyolok dan dangkal.
Pada usia 18 tahun, waktu ia memasuki Universitas Erfurt, keadaannya sedikit lebih baik, dan hari depannya lebih cerah daripada tahun-tahun se-belumnya. Orangtuanya, oleh karena berhemat dan rajin, telah mampu memberikan bantuan yang diperlukan. Dan pengaruh teman-temannya yang bijaksana telah mengurangi pengaruh suram pendidikan sebelumnya. Ia mempelajari karya-karya pengarang terbaik, dengan rajin mempelajari pikiran-pikiran berbobot, dan membuat kebijaksanaan orang-orang bijak itu menjadi kebijaksanaannya. Bahkan di bawah disiplin yang ketat dari guru-guru¬ sebelumnya, ia telah menunjukkan keunggulannya. Ingatannya yang tajam, imajinasinya yang kreatif, daya pertimbangannya yang kuat, dan ketekunannya yang tak mengenal lelah, segera menempatkannya pada barisan depan teman-temannya.
Perasaan takut akan Allah selalu tinggal dalam hati Luther, yang membuatnya sanggup mempertahankan tujuannya dengan teguh. Rasa ketergantungan yang kuat kepada pertolongan Ilahi membuatnya tidak pernah lupa memulai setiap hari dengan doa. Sering ia berkata, "Ber¬doa dengan baik adalah setengah pelajaran yang lebih baik."-D'Aubigne, "History of the Reformation of the Sixteenth Century," b. 2, psl. 2.
Ketika suatu hari ia melihat-lihat buku-buku di perpustakaan universitas itu, Luther menemukan Alkitab dalam bahasa Latin. Belum pernah ia me¬lihat buku seperti itu sebelumnya. Ia sama sekali tidak tahu keberadaan buku itu. Ia telah pernah mendengar bagian-bagian dari Injil dan surat¬surat rasul, yang telah dibacakan kepada orang-orang pada waktu kebakti¬an umum, dan ia berpikir bahwa hanya itulah seluruh Alkitab. Sekarang, un¬tuk pertama kalinya ia melihat seluruh firman itu. Dengan rasa kagum ber¬campur heran ia membalik halaman-halaman dari firman yang kudus itu. Denyut nadinya bertambah cepat dan jantungnya berdebar-debar, sambil ia membaca firman ke¬hidupan itu untuk dirinya sendiri. Setelah berhenti sejenak ia berseru, "Oh, seandainya Allah memberikan buku seperti ini menjadi milikku sendiri!"¬Ibid, b. 2, psl. 2.
Roh Kudus menyatakan kekayaan kebenaran firman Allah itu ke dalam pikiran Luther. Sebelumnya ia selalu takut melanggar kehendak Allah. Te¬tapi sekarang ia mempunyai kesadaran yang mendalam mengenai keberada¬annya sebagai orang berdosa yang sangat bergantung kepada Allah.
Suatu kerinduan yang sungguh-sungguh untuk bebas dari dosa dan untuk memperoleh kedamaian dengan Allah, akhirnya menuntun dia memasuki sebuah biara, dan menyerahkan dirinya kepada kehidupan biara.
Di sini ia diharuskan melakukan pekerjaan yang paling rendah, dan mengemis dari rumah ke rumah. Pada waktu itu ia berada pada tingkat umur di mana penghormatan dan penghargaan sangat didambakan, sehingga pekerjaan yang cocok untuk seorang budak ini sangat melukai perasaannya. Te¬tapi dengan tabah dan sabar ia bertahan dalam pekerjaan yang merendah¬kan diri ini, sebab ia percaya bahwa hal itu diperlukan untuk menebus dosa¬dosanya.
Setiap saat di waktu senggangnya ia gunakan untuk belajar, sehingga mengurangi tidurnya, bahkan kadang juga mengambil waktu makannya. Namun di atas segalanya, ia bersuka cita mem¬pelajari firman Allah. Ia menemukan sebuah Alkitab yang dirantai ke din¬ding biara, sehingga untuk membacanya ia sering pergi ke situ. Sementara keyakinannya mengenai dosa semakin mendalam, ia mulai mencari pengampunan dan kedamaian atas usahanya sendiri. Ia menghidupkan suatu kehidupan yang ketat, dengan berpuasa, berjaga dan berdoa sepanjang malam, dan menyiksa diri untuk menundukkan sifat-sifat jahatnya, dimana hal ini tidak bisa diatasi oleh kehidupannnya sebagai biarawan. Ia tidak segan-segan berkorban, de-ngan harapan, ia dapat memperoleh kesucian hati yang akan membuatnya berkenan di hadapan Allah. "Sesungguh¬hya saya adalah seorang biarawan yang taat," katanya kemudian; "dan mematuhi semua peraturan ordo lebih ketat daripada yang dapat saya kata¬kan. Jikalau pernah seorang biarawan memperoleh surga oleh pekerjaan¬nya sebagai biarawan, saya merasa pasti berhak untuk itu .... Jika peker¬jaan itu diteruskan lebih lama lagi, pekerjaan penyiksaan diri itu akan menewaskan saya." D Aubigne, b. 2, psl. 3.
Sebagai akibat disiplin yang menyakitkan, ia kehilangan kekuatannya, dan menderita pingsan dan kejang-¬kejang, yang pada waktu selanjutnya tidak pernah sembuh benar dari pengaruhnya. Meskipun demikian, dengan semua usahanya ini, jiwanya yang menanggung beban tidak menemukan kelegaan. Akhimya ia berada di tepi jurang keputusasaan.
Bilamana tampaknya semua sudah hilang bagi Luther, Allah memberi¬kan seorang sahabat dan penolong baginya. Staupitz yang saleh membuka firman Allah ke dalam pikiran Luther dan mengajaknya mengalihkan pan¬dangannya dari dirinya sendiri, berhenti merenungkan hukuman tanpa ba¬tas karena pelanggaran hukum Allah, dan memandang kepada Yesus, Juru¬selamat yang mengampuni dosa itu. "Daripada menyiksa dirimu oleh kare¬na dosa-dosamu, jatuhkanlah dirimu ketangan Penebus. Percayalah kepa¬da-Nya, kepada kebenaran kehidupan-Nya, kepada penebusan kematian¬Nya .... Dengarkanlah Anak Allah. Ia menjelma menjadi manusia untuk memberikan kepadamu jaminan perkenan Ilahi." "Kasihilah Dia yang te¬lah lebih dahulu mengasihimu."-lbid, b. 2, psl. 4. Kata-kata itu membawa kesan mendalam di pikiran Luther. Setelah menggumuli cara-caranya yang salah, ia akhirnya mampu menerima kebenaran, dan kedamaian pun datang kepada jiwanya yang susah.
Luther ditahbiskan menjadi imam, dan telah dipanggil keluar dari biara menjadi guru besar di Universitas Wittenberg. Di sini ia mempelajari Alkitab dalam bahasa aslinya. Ia mulai memberi ceramah mengenai Alkitab. Dan kitab-kitab Mazmur, Injil, dan surat rasul-rasul telah ia bukakan para pendengar yang menerimanya dengan gembira. Staupitz, sahabatnya dan atasannya, mendorongnya untuk naik mimbar dan mengkhotbahkan firman Allah. Luther merasa ragu karena merasa dirinya tidak layak berbicara ke-pada orang-orang sebagai ganti Kristus. Hanya selelah pergumulan yang lama dia menerima permintaan sahabat-sahabatnya. Tak lama, ia sudah mahir me¬ngenai Alkitab, dan rahmat Allah turun ke atasnya. Kemampuannya berbi-cara yang memikat para pendengarnya, penyampaian kebenaran yang jelas dan meyakinkan serta semangatnya yang berapi-api menyentuh hati para pendengar.
Luther masih tetap menjadi anggota gereja kepausan yang sungguh-sung-guh, dan tidak pernah berpikir yang lain-lain. Dengan pemeliharaan Allah ia telah dituntun untuk mengunjungi Roma. Ia melakukan perjalanan de¬ngan berjalan kaki, dan menginap di biara-biara sepanjang perjalanan. Di salah satu biara di Italia ia dipenuhi keheranan melihat kekayaan, keindahan dan kemewahan yang disaksikannya. Para biarawan tinggal di apartemen yang megah, dengan pendapatan yang memuaskan, berpakaian yang pa¬ling mewah dan paling mahal, dan memakan makanan yang mewah. De¬ngan sangat ragu-ragu, Luther membandingkan pemandangan ini dengan penyangkalan diri dan kesukaran yang dialaminya dalam hidupnya sendiri. Pikirannya menjadi bingung.
"Akhirnya ia melihat dari kejauhan kota tujuh gunung itu. Dengan perasa-an yang mendalam ia tersungkur ke tanah dan berseru: "Roma yang kudus, aku menghormatimu!"--Ibid, b.2, psl. 6. Dia memasuki kota itu, mengun¬jungi gereja-gereja, mendengarkan kisah-kisah yang diulang-ulangi oleh para imam dan biarawan, serta melakukan semua upacara yang diwajibkan. Di mana-mana ia melihat perbuatan jahat terjadi di antara semua golongan rohamawan. Ia mendengar gurauan tidak senonoh dari para petugas gereja, dan ia dipenuhi kengerian kepada ucapan-ucapan kotor yang hebat, bahkan sementara melakukan misa. Ketika ia bergaul bersama para biarawan dan penduduk kota itu, ia mendapati terjadinya pemborosan dan pesta pora. Kemana saja ia berpaling, di tempat suci pun ia temukan perbuatan jahat. Tak seorang pun dapat mebayangkan," tuIisnya, "dosa-dosa serta tindak¬an-tindakan aneh apa yang dilakukan di Roma, semua itu harus disaksikan dan didengar sendiri, barulah dapat dipercaya. Dengan demikian mereka seakan telah terbiasa untuk mengatakan, `Jika ada satu neraka, maka Roma dibangun diatasnya: itu adalah sebuah lembah di mana semua jenis dosa diakukan. "- Ibid.
Oleh sebuah dekrit baru maka pengampunan dosa telah dijanjikan oleh paus kepada semua orang yang dengan lutut mereka mau menaiki "Tangga Pilatus" yang katanya dengan ajaib telah dipindahkan dari Yerusalem ke Roma. Luther pada suatu hari menaiki tangga itu dengan sungguh-sung¬guh, dimana ia tiba-tiba mendengar satu suara bagaikan geledek yang berkata, "Orang benar akan hidup oleh iman" (Roma 1:17). Ia lang¬sung berdiri dan segera meninggalkan tempat itu dengan malu dan ngeri. Ayat itu tidak pernah kehilangan kuasa atas jiwanya. Sejak waktu itu ia melihat lebih jelas dari sebelumnya pendapat yang keliru, yang mempercayai keselamatan diperoleh atas jasa usaha manusia, dan pentingnya iman yang terus menerus kepada jasa usaha Kristus. Matanya sekarang terbuka, dan tak akan pernah lagi tertutup, karena penipuan kepausan. Pada waktu ia memalingkan wajahnya dari Roma, hatinya juga ikut berpaling, dan sejak waktu itu jurang perpisahanpun semakin melebar, sampai akhirnya ia me¬mutuskan semua hubungannya dengan gereja kepausan.