Rasulullah Muhammad SAW bersabda pada empat belas abad yang lalu, “Demi Allah, saya tidak takut dengan kemiskinan kalian, akan tetapi saya takut jikalau dunia menjadi lapang bagi kalian sebagaimana umat sebelum kalian sehingga mereka saling memperebutkannya”. Gejala inilah yang nampak ditengah-tengah masyarakat kita. Sebuah pola hidup baru bagi sebuah masyarakat agraris. Gotong royong lambat laun pupus oleh egoisme individu yang berkembang. Kejujuran hilang ditutupi dengan kebohongan. Persaudaraan sulit ditemukan kecuali didalamnya terdapat uang. Kesombongan menggeser sifat lugu, sopan, dan ketawadhu’an. Perubahan cara pandang ini selanjutnya merubah gaya hidup masyarakat.
Akan tetapi, jikalau masyarakat kita tidak berusaha untuk mencari kekayaan duniawi ini, maka masyarakat kita akan menjadi masyarakat bawah yang lemah dan mudah diombang-ambingkan. Rasulullah SAW bersabda,“Seorang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah dari pada seorang mukmin yang lemah”. Dengan logika sederhana pun, seseorang pasti akan membenarkan hadist ini. Logika ini membentuk sebuah asumsi, jika umat ini ingin menjadi besar sudah saatnya meninggalkan idealismenya menuju pada hal-hal yang pragmatis. Kita harus membangun Rumah Sakit, Lembaga Pendidikan, Panti Asuhan, dan Lembaga-lembaga lain yang memiliki tujuan membantu kehidupan umat. Untuk melaksanakan hal tersebut tidak mungkin terlaksana dengan finansial yang lemah.
Beranjak dari pemikiran ini, manakah yang lebih baik antara orang miskin yang sabar dengan orang kaya yang bersyukur? Seorang idealis mungkin akan memilih poin pertama, sebaliknya orang yang pragmatis akan memilih poin yang kedua. Pertanyaan ini terlihat sederhana, tetapi tidak mudah untuk menjawabnya. Bahkan para ulama telah berselisih pendapat mengenai hal ini. Abu Ishaq bin Syaqilan, Qadhi Abu Ya’la, dan para pengikutnya mengatakan bahwa orang miskin yang bersabar itu lebih baik. Sebaliknya, Ibnu Qutaibah dan jamaahnya berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur lebih baik.
Jika kita runut kebelakang, kita akan temukan orang-orang miskin yang sabar, bahkan yang berpredikat nabi sekalipun. Mereka adalah: Isa bin Maryam AS, Yahya bin Zakaria AS, Ali bin Abi Thalib, Abi Dzar Al-Ghifari, Mush’ab bin Umair, Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhum. Sebaliknya juga ada orang-orang kaya yang bersyukur, seperti: Ibrahim AS, Ayub AS, Dawud AS, Sulaiman AS, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Talhah, Zubeir, Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu ‘Anhum, dan masih banyak lagi. Lalu mana yang paling baik?
Kalau kebenaran kita sandarkan hanya pada akal, jawaban tersebut tidak akan ditemukan. Tetapi jika standar kebenaran adalah Al-Qur’an, jawaban tersebut sangat jelas. Allah swt berfirman,“Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling bertakwa diantara kalian” (QS. Al-Hujurat: 13). Lalu, seperti apa takwa yang diinginkan Islam? Kalau kita kembali runut dalam Al-Qur’an jawabannya akan semakin terlihat. Allah swt berfirman,“Maka bertakwalah sesuai kadar kemampuan kalian” (QS. At-Taghabun: 16).
Artinya stressing point dari lafal “takwa” adalah proses, dalam hal ini adalah usaha. Yakni usaha seorang hamba untuk mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (lih. QS. Al-Hasr: 7). Artinya, kebaikan bukan terletak pada kaya-miskinnya, tetapi lebih pada syukur dan sabarnya. Bertolak dari hal ini, maka kita akan temukan golongan ketiga yang sangat sulit untuk dicari dizaman ini. Golongan ini mendapat dua predikat sekaligus; miskin dan kaya. Karena kesederhanaannya golongan ini terlihat miskin, disisi lain merupakan golongan orang yang berada dengan pendapatan yang melimpah. Dia adalah Nabi kita Muhammad SAW. Wallahu a’lam.
(Lih. Majmû’ Fatâwa Ibnu Taimiyah, Bab Al-Adâb wa Al-Tashawwuf, Fasl: Ayyu huma Afdhal; Al-Faqîr Al-Shâbir Aw Al-Ghaniy Al-Syâkir)
Sumber: http://muslimindonesia.wordpress.com/2007/10/23/mana-yang-lebih-baik-orang-miskin-yang-sabar-atau-orang-kaya-yang-bersyukur/
Akan tetapi, jikalau masyarakat kita tidak berusaha untuk mencari kekayaan duniawi ini, maka masyarakat kita akan menjadi masyarakat bawah yang lemah dan mudah diombang-ambingkan. Rasulullah SAW bersabda,“Seorang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah dari pada seorang mukmin yang lemah”. Dengan logika sederhana pun, seseorang pasti akan membenarkan hadist ini. Logika ini membentuk sebuah asumsi, jika umat ini ingin menjadi besar sudah saatnya meninggalkan idealismenya menuju pada hal-hal yang pragmatis. Kita harus membangun Rumah Sakit, Lembaga Pendidikan, Panti Asuhan, dan Lembaga-lembaga lain yang memiliki tujuan membantu kehidupan umat. Untuk melaksanakan hal tersebut tidak mungkin terlaksana dengan finansial yang lemah.
Beranjak dari pemikiran ini, manakah yang lebih baik antara orang miskin yang sabar dengan orang kaya yang bersyukur? Seorang idealis mungkin akan memilih poin pertama, sebaliknya orang yang pragmatis akan memilih poin yang kedua. Pertanyaan ini terlihat sederhana, tetapi tidak mudah untuk menjawabnya. Bahkan para ulama telah berselisih pendapat mengenai hal ini. Abu Ishaq bin Syaqilan, Qadhi Abu Ya’la, dan para pengikutnya mengatakan bahwa orang miskin yang bersabar itu lebih baik. Sebaliknya, Ibnu Qutaibah dan jamaahnya berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur lebih baik.
Jika kita runut kebelakang, kita akan temukan orang-orang miskin yang sabar, bahkan yang berpredikat nabi sekalipun. Mereka adalah: Isa bin Maryam AS, Yahya bin Zakaria AS, Ali bin Abi Thalib, Abi Dzar Al-Ghifari, Mush’ab bin Umair, Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhum. Sebaliknya juga ada orang-orang kaya yang bersyukur, seperti: Ibrahim AS, Ayub AS, Dawud AS, Sulaiman AS, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Talhah, Zubeir, Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu ‘Anhum, dan masih banyak lagi. Lalu mana yang paling baik?
Kalau kebenaran kita sandarkan hanya pada akal, jawaban tersebut tidak akan ditemukan. Tetapi jika standar kebenaran adalah Al-Qur’an, jawaban tersebut sangat jelas. Allah swt berfirman,“Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling bertakwa diantara kalian” (QS. Al-Hujurat: 13). Lalu, seperti apa takwa yang diinginkan Islam? Kalau kita kembali runut dalam Al-Qur’an jawabannya akan semakin terlihat. Allah swt berfirman,“Maka bertakwalah sesuai kadar kemampuan kalian” (QS. At-Taghabun: 16).
Artinya stressing point dari lafal “takwa” adalah proses, dalam hal ini adalah usaha. Yakni usaha seorang hamba untuk mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (lih. QS. Al-Hasr: 7). Artinya, kebaikan bukan terletak pada kaya-miskinnya, tetapi lebih pada syukur dan sabarnya. Bertolak dari hal ini, maka kita akan temukan golongan ketiga yang sangat sulit untuk dicari dizaman ini. Golongan ini mendapat dua predikat sekaligus; miskin dan kaya. Karena kesederhanaannya golongan ini terlihat miskin, disisi lain merupakan golongan orang yang berada dengan pendapatan yang melimpah. Dia adalah Nabi kita Muhammad SAW. Wallahu a’lam.
(Lih. Majmû’ Fatâwa Ibnu Taimiyah, Bab Al-Adâb wa Al-Tashawwuf, Fasl: Ayyu huma Afdhal; Al-Faqîr Al-Shâbir Aw Al-Ghaniy Al-Syâkir)
Sumber: http://muslimindonesia.wordpress.com/2007/10/23/mana-yang-lebih-baik-orang-miskin-yang-sabar-atau-orang-kaya-yang-bersyukur/