• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Mana yang Lebih Baik; Orang Miskin yang Sabar atau Orang Kaya yang Bersyukur

anakjogja

IndoForum Newbie F
No. Urut
36469
Sejak
16 Mar 2008
Pesan
1
Nilai reaksi
0
Poin
1
Rasulullah Muhammad SAW bersabda pada empat belas abad yang lalu, “Demi Allah, saya tidak takut dengan kemiskinan kalian, akan tetapi saya takut jikalau dunia menjadi lapang bagi kalian sebagaimana umat sebelum kalian sehingga mereka saling memperebutkannya”. Gejala inilah yang nampak ditengah-tengah masyarakat kita. Sebuah pola hidup baru bagi sebuah masyarakat agraris. Gotong royong lambat laun pupus oleh egoisme individu yang berkembang. Kejujuran hilang ditutupi dengan kebohongan. Persaudaraan sulit ditemukan kecuali didalamnya terdapat uang. Kesombongan menggeser sifat lugu, sopan, dan ketawadhu’an. Perubahan cara pandang ini selanjutnya merubah gaya hidup masyarakat.

Akan tetapi, jikalau masyarakat kita tidak berusaha untuk mencari kekayaan duniawi ini, maka masyarakat kita akan menjadi masyarakat bawah yang lemah dan mudah diombang-ambingkan. Rasulullah SAW bersabda,“Seorang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah dari pada seorang mukmin yang lemah”. Dengan logika sederhana pun, seseorang pasti akan membenarkan hadist ini. Logika ini membentuk sebuah asumsi, jika umat ini ingin menjadi besar sudah saatnya meninggalkan idealismenya menuju pada hal-hal yang pragmatis. Kita harus membangun Rumah Sakit, Lembaga Pendidikan, Panti Asuhan, dan Lembaga-lembaga lain yang memiliki tujuan membantu kehidupan umat. Untuk melaksanakan hal tersebut tidak mungkin terlaksana dengan finansial yang lemah.

Beranjak dari pemikiran ini, manakah yang lebih baik antara orang miskin yang sabar dengan orang kaya yang bersyukur? Seorang idealis mungkin akan memilih poin pertama, sebaliknya orang yang pragmatis akan memilih poin yang kedua. Pertanyaan ini terlihat sederhana, tetapi tidak mudah untuk menjawabnya. Bahkan para ulama telah berselisih pendapat mengenai hal ini. Abu Ishaq bin Syaqilan, Qadhi Abu Ya’la, dan para pengikutnya mengatakan bahwa orang miskin yang bersabar itu lebih baik. Sebaliknya, Ibnu Qutaibah dan jamaahnya berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur lebih baik.

Jika kita runut kebelakang, kita akan temukan orang-orang miskin yang sabar, bahkan yang berpredikat nabi sekalipun. Mereka adalah: Isa bin Maryam AS, Yahya bin Zakaria AS, Ali bin Abi Thalib, Abi Dzar Al-Ghifari, Mush’ab bin Umair, Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhum. Sebaliknya juga ada orang-orang kaya yang bersyukur, seperti: Ibrahim AS, Ayub AS, Dawud AS, Sulaiman AS, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Talhah, Zubeir, Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu ‘Anhum, dan masih banyak lagi. Lalu mana yang paling baik?

Kalau kebenaran kita sandarkan hanya pada akal, jawaban tersebut tidak akan ditemukan. Tetapi jika standar kebenaran adalah Al-Qur’an, jawaban tersebut sangat jelas. Allah swt berfirman,“Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling bertakwa diantara kalian” (QS. Al-Hujurat: 13). Lalu, seperti apa takwa yang diinginkan Islam? Kalau kita kembali runut dalam Al-Qur’an jawabannya akan semakin terlihat. Allah swt berfirman,“Maka bertakwalah sesuai kadar kemampuan kalian” (QS. At-Taghabun: 16).

Artinya stressing point dari lafal “takwa” adalah proses, dalam hal ini adalah usaha. Yakni usaha seorang hamba untuk mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (lih. QS. Al-Hasr: 7). Artinya, kebaikan bukan terletak pada kaya-miskinnya, tetapi lebih pada syukur dan sabarnya. Bertolak dari hal ini, maka kita akan temukan golongan ketiga yang sangat sulit untuk dicari dizaman ini. Golongan ini mendapat dua predikat sekaligus; miskin dan kaya. Karena kesederhanaannya golongan ini terlihat miskin, disisi lain merupakan golongan orang yang berada dengan pendapatan yang melimpah. Dia adalah Nabi kita Muhammad SAW. Wallahu a’lam.
(Lih. Majmû’ Fatâwa Ibnu Taimiyah, Bab Al-Adâb wa Al-Tashawwuf, Fasl: Ayyu huma Afdhal; Al-Faqîr Al-Shâbir Aw Al-Ghaniy Al-Syâkir)

Sumber: http://muslimindonesia.wordpress.com/2007/10/23/mana-yang-lebih-baik-orang-miskin-yang-sabar-atau-orang-kaya-yang-bersyukur/
 
Kalo kataku keduanya baik..........
Hanya Allah yang tahu kadar kemampuan kita............
Menurutku baik menjadi kaya maupun miskin itu sama-sama sulit...........
Ketika kita kaya kita merasa memiliki semuanya...........
Orang kaya biasa berfikir aku kaya karena kemampuanku........
Uh, fir’aun bgt...............
Orang miskin memang lebih mudah mengenal Allah...........
Tapi kadang mereka berfikir.............
Allah tidak adil............
Allah memberi warna dalam kehidupan di dunia ini...........
Baik dalam segi finansial ataupun yang lainya..........
Andai kita semua kaya............
Ke siapa kita bersedekah???????????????
Entah otakku agak kongslet atau memang pernah dengar hal ini...........
Salah satu tanda kiamat adalah semua orang kaya..............
Lah g bisa sedekah lagi dah................
Contoh terbaik bagi kita adalah Nabi Muhammad SAW............
Beliau tidak mewariskan apapun kepada keluarganya..........
Beliau berwasiat untuk menyedahkan semua hartanya.............
Maka dari itu, mental umat islam pada jaman itu lebih kuat daripada sekarang..................
Hal ini juga dilakukan oleh orang-orang besar di jaman sekarang............
Seperti pendiri honda................
Dia mendidik anaknya untuk tidak meminta kepada orang tuanya tanpa berusaha.............
Aku sih g tahu agama dari pendiri honda itu.............
Tapi bila dia bukan agama islam...........
Kenapa kita yang islam malah terlalu sering bergantung pada orang tua??????????
Kenapa Islam pada jaman sekarang mengalami kemunduran????
karena kita sering membuat patokan sendiri bukan berdasar Al-Qur'an dan Al-Hadits............
Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah dan Al-Hadits adalah tafsiran, batasan dari apa yang ada di Al-qur'an...........
kita banyak menafsirkan Al-Qur'an tanpa melibatkan hadits dari Nabi Muhammad SAW.............
hasilnya adalah bid'ah...............
Weks.........
Oot..........
Sry..........
Back to topic...........
Allah telah menentukan takdir seseorang seperti roda yang berputar............
Kadang kaya, kadang miskin.............
Kadang miskin, kadang kaya.............
Ketika kita berubah dari miskin ke kaya............
Atau dari kaya ke miskin............
Apakah kita masih dapat mengingat Allah?????????
Itu kembali ke individu masing-masing.............
Yang pasti Allah telah memberi contoh kepada kita............
Baik dari segi finansial, percintaan dll.............
Contoh yang finansial yang disebutkan ts tadi...............
Orang yang paling baik menurutku yang kaya dari segi finansial dan segi hatinya............
Banyak orang kaya finansial,miskin hati ataupun sebalikinya................
Kalo hanya kaya dan bersyukur............
Tanpa ada niatan kekayaan kita dapat dijadikan ibadah apa................
Percuma..............

maafin kalo ane salah..........
maklum ane manusia biasa yang penuh keterbatasan..............
 
Ibu ente emang bener, tanda-tanda datangnya kiamat adalah ketika tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat karena harta yang berlimpah.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tidak akan terjadi hari kiamat sebelum harta menjadi banyak dan melimpah, sampai-sampai seseorang yang hendak mengeluarkan zakat hartanya tidak mendapati orang yang mau menerimanya dan sampai tanah Arab kembali menjadi padang gembala dan sungai-sungai.


Tambahan
Di neraka lebih banyak orang kaya dibandingkan dengan orang miskin, hal ini dikarenakan orang-orang kaya kebanyakan tidak membelanjakan hartanya di jalan yang diridhoi oleh Allah.
 
kalau menurut ane mah yang terbaik adalah orang yang kaya tapi sabar dan bersyukur..he..he..
 
2 2 nya dunk ....

tapi yang lebih baik masuk surga ... :P
 
dari pada melihat pendapat saya.. yang ilmunya masih dikit
mending kita baca pendapat para ulama, syaikh, ahli fiqh terkenal.

mari kita baca
VVV
VVV
VVV

Tanya:

Manakah yang lebih afdhal dan utama, orang kaya yang bersyukur atas kekayaannya dan memanfaatkannya untuk kebaikan, ataukah orang miskin yang bersabar atas kemiskinannya?

Jawab:

Syaikhu’l Islām Ibn Taimiyyah berkata, “Banyak dari kalangan kaum muslimin belakangan (muta’akhkhirūn) berbeda pendapat mengenai orang kaya yang bersyukur dan orang miskin yang sabar, manakah yang lebih utama dari keduanya. Sebagian ulama dan ahli ibadah memilih kelompok pertama dan sebagian lain memilih kelompok kedua. Dan dihikayatkan pula adanya dua riwayat (yang bertolak belakang) dari Imam Ahmad dalam hal ini. Adapun para Sahabat dan Tabi`īn, maka tidak terdapat nukilan dari mereka mengenai pengutamaan salah satu dari dua kelompok tersebut atas kelompok lainnya.” (Majmū` al-Fatāwā, vol. XI, hal. 119.)

Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Banyak orang yang apabila berbicara tentang pengutamaan (sesuatu atas yang lain) maka ia tidak memperinci (tafshīl) sisi-sisi pengutamaan (dari objek-objek yang tengah dibicarakan) dan tidak mempertimbangkan antara sisi-sisi tersebut, sehingga hasilnya kurang tepat. Jika hal ini ditambah dengan sejenis fanatisme dan hawa nafsu terhadap individu yang diutamakan, maka yang bersangkutan berbicara dengan kebodohan dan kezhaliman dalam banyak masalah terkait pengutamaan. Syaikhu’l Islam Ibn Taimiyyah pernah ditanya tentang berbagai masalah terkait pengutamaan (sesuatu atas yang lain) maka beliau menjawab dengan perincian yang memuaskan.” (Badā’i` al-Fawā’id, vol. III, hal. 683.)

Dua riwayat dari Imam Ahmad yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut:

Pertama: Orang miskin yang bersabar lebih utama. Riwayat ini dipilih oleh Abū Ishāq Ibn Syāqilā dan al-Qādhī Abū Ya`lā. Pendapat ini juga dipilih oleh mayoritas Shūfiyyah dan banyak ahli fiqh. Termasuk dalam kelompok ini adalah al-Junaid. Di antara alasan yang digunakan adalah, bahwa cobaan kemiskinan lebih berat untuk dirasakan dibandingkan cobaan kekayaan. Imam al-Ghazāli berpendapat bahwa secara umum kefakiran lebih afdhal dibandingkan kekayaan [al-Ihyā’, vol. III, hal. 264]. Meski beliau berkata di tempat lain, “Berapa banyak orang faqir yang bersabar lebih afdhal dibandingkan orang kaya yang bersyukur. Dan (begitu pula sebaliknya), berapa banyak orang kaya yang bersyukur lebih afdhal dibandingkan orang faqir yang sabar. Itulah orang kaya yang memberlakukan dirinya seperti orang faqir. Ia tidak memegang harta untuk dirinya kecuali sebatas kebutuhan darurat, dan selebihnya ia berikan untuk hal-hal kebaikan.” [Lihat al-Ihyā’, vol. IV, hal. 140.]

Dari Abū Hurairah, Nabi bersabda:

يَدْخُل فُقَرَاءُ الْمسْلمِينَ الْجنّةَ قَبْلَ أغْنِيَائِهِم بِنِصْفِ يَوْمٍ، وَهُوَ خَمْسُمِائَة عَامٍ

“Orang-orang faqir kaum muslimin mendahului orang-orang kaya mereka dalam hal masuk surga selama setengah hari (di akhirat), yaitu lima ratus tahun.” [Lihat Shahīh al-Jāmi` no. 8076.]

Hadits di atas termasuk dalil yang digunakan oleh mereka yang mengatakan bahwa orang faqir yang sabar lebih utama dibandingkan orang kaya yang bersyukur. Namun, Imam Ibnu’l Qayyim berkata, “Di sini ada perkara yang harus diperhatikan, bahwa mendahului masuk surga tidak melazimkan orang miskin lebih tinggi posisinya dibandingkan orang kaya yang belakangan masuk surga. Bahkan, bisa jadi orang yang belakangan masuk surga lebih tinggi posisinya dibandingkan yang mendahului. Dalilnya, ada dari umat ini sekelompok orang yang masuk surga tanpa hisab, yaitu sejumlah 70 ribu orang, sedangkan bisa jadi sebagian orang yang dihisab lebih afdhal dari kebanyakan mereka. Jika orang kaya dihisab, lalu didapati bahwa ia adalah orang yang bersyukur kepada Allah atas kekayaannya dan mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam kebajikan, kebaikan, sedekah dan hal-hal yang positif, maka ia lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang faqir yang mendahului masuk surga namun tidak memiliki amalan-amalan tersebut.” [Hādī’l Arwāh, hal. 80]

Kedua: Orang kaya yang bersyukur lebih utama. Pendapat ini dipilih oleh sejumlah ulama. Di antara tokoh yang memilih pendapat ini adalah Ibn Qutaibah, Abū’l `Abbās Ibn `Athā’, Abū ‘Ali ad-Daqqāq (guru Abū’l Qāsim al-Qusyairi) dan banyak ulama madzhab Syāfi’i. Mungkin ada sebagian orang yang mengklaim bahwa ini adalah ijmā` dan itu merupakan kesalahan fatal. Di antara alasan yang digunakan kelompok ini adalah, bahwa kekayaan merupakan sifat Allah sedangkan kefakiran merupakan sifat makhluk, sementara sifat Allah tentu lebih baik dibandingkan sifat makhluk. Mutharrif Ibn ‘Abdi’Llāh berkata, “Sungguh, aku diberi afiat sehingga aku bersyukur lebih aku sukai dibandingkan aku diberi ujian sehingga aku bersabar.”

Dari Abū Dzarr, beliau menyebutkan bahwa sebagian Sahabat mengadu kepada Nabi,

يَا رَسُولَ اللّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ. يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي. وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ. وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ …

“Ya Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa pahala-pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka puasa sebagaimana kami puasa. Namun mereka memiliki kelebihan harta yang mereka bersedekah dengannya, sementara kami tidak memiliki harta untuk disedekahkan….” [Riwayat Muslim dan lain-lain]

Imam an-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi mereka yang mengutamakan orang kaya yang bersyukur atas orang miskin yang sabar. Dan dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan Salaf dan Khalaf dari berbagai kelompok.” [Lihat ‘Aunu’l Ma’būd, vol. IV, hal. 260]

Dalam masalah ini ada pendapat ketiga, dan inilah pendapat yang benar in syā-a’Llāh, yaitu: tidak dimutlakkan mana yang lebih utama dari kedua kelompok tersebut, dan yang lebih utama adalah yang paling bertaqwa dari keduanya. Jika dalam hal ketaqwaan sama maka derajat dan keutamaan keduanya adalah sama
. Pendapat ini dipilih oleh Ibn Taimiyyah, Ibnu’l Qayyim, al-Munāwi, Abū Hafsh as-Suhrawardi dan lain-lain.

[Lihat: Majmū` al-Fatāwā, vol. XI, hal. 119-123, Fathu’l Bārī, vol. XI, hal. 275-276, Badā’i` al-Fawā’id, vol. III, hal. 683, dan Faidhu’l Qadīr, vol. II, hal. 288.]

Ibnu’l Qayyim berkata, “Menurut ahli tahqīq dan ma`rifah, masalah pengutamaan tidaklah terkait dengan hal kefakiran (kemiskinan) dan kekayaan (itu sendiri). Namun terkait dengan amal, kondisi dan realitas. Yang dipermasalahkan pun pada dasarnya tidak tepat. Sebab pengutamaan di sisi Allah terkait dengan taqwa dan hakikat iman, bukan dengan kefakiran atau kekayaan.” [Madāriju’s-Sālikīn, vol. II, hal. 442]

Allah berfirman:

وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurāt [49]: 13)

إِن يَكُنْ غَنِيّاً أَوْ فَقَيراً فَاللّهُ أَوْلَى بِهِمَا

“Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.” (QS. An-Nisā’ [4]: 135)

`Umar Ibn al-Khaththāb berkata,

الْغِنَى وَالْفَقْرُ مَطِيَّتَانِ لاَ أُبَالِي أَيَّتهُمَا رَكِبْتُ

“Kekayaan dan kefaqiran adalah dua tunggangan, aku tidak peduli yang mana dari keduanya yang aku tunggangi.” [Majmū` al-Fatāwā, vol. XI, hal. 123.]

Diriwayatkan dalam hadits qudsi:

إِنَّ مِنْ عِبَادِيْ مَنْ لاَ يَصْلُحُ إِيْمَانُهُ إِلاَّ بِالْغِنَى وَلَوْ أَفْقَرْتُهُ لَكَفَرَ وَإِنَّ مِنْ عِبَادِيْ مَنْ لاَ يَصْلُحُ إِيْمَانُهُ إِلاَّ بِالْفَقْرِ وَلَوْ أَغْنَيْتُهُ لَكَفَرَ وَإِنَّ مِنْ عِبَادِيْ مَنْ لاَ يَصْلُح إِيْمَانُه إِلاّ بِالسَّقمِ وَلوْ أَصْحَحْته لَكَفَر وَإِنّ مِنْ عِبَاديْ مَنْ لا يصْلحُ إيمَانُه إِلاَّ بِالصِّحَّة وَلَوْ أَسْقَمْتُه لَكَفَرَ

“Sesungguhnya ada dari para hamba-Ku yang tidak memperbaiki imannya kecuali kekayaan. Sekiranya aku menjadikannya faqir niscaya ia kafir. Ada dari para hamba-Ku yang tidak memperbaiki imannya kecuali kefakiran. Sekiranya aku menjadikannya kaya niscaya ia kafir. Ada dari para hamba-Ku yang tidak memperbaiki imannya kecuali sakit. Sekiranya aku menjadikannya sehat niscaya ia kafir. Ada dari para hamba-Ku yang tidak memperbaiki imannya kecuali sehat. Sekiranya aku menjadikannya sakit niscaya ia kafir. [Hadits ini dinyatakan tidak valid oleh Syaikh al-Albāni dalam adh-Dha`īfah no. 1774, akan tetapi in syā-a’Llāh maknanya dapat dibenarkan.]

Ibn Taimiyyah berkata, “Terdapat orang-orang kaya di kalangan para Nabi dan orang-orang terdahulu yang (jelas) lebih afdhal dibandingkan mayoritas orang miskin. (Begitu juga sebaliknya,) di kalangan mereka terdapat orang-orang miskin yang (jelas) lebih afdhal dibandingkan mayoritas orang kaya. Dan orang-orang yang sempurna menunaikan dua posisi, (yakni) mereka melaksanakan syukur dan sabar secara sempurna, seperti halnya kondisi Nabi beserta Abū Bakr dan `Umar.” [Majmū` al-Fatāwā, vol. XI, hal. 120.]

Imam Ibnu’l Qayyim berkata, “Masing-masing dari orang faqir dan kaya harus menunaikan sabar dan syukur. Sebab, iman itu terbagi dua, separuh dalam sabar dan separuh lagi dalam syukur. Bisa jadi bagian kesabaran orang kaya itu lebih banyak, karena ia bersabar padahal ia mampu (untuk melakukan hal yang terlarang), sehingga kesabarannya lebih sempurna dibandingkan orang yang kesabarannya karena ketidakmampuan (yakni orang faqir). Dan (demikian pula sebaliknya), bisa jadi kesyukuran orang faqir itu lebih sempurna.” [Madāriju’s Sālikīn, vol. II, 442-443.]

Imam al-Munāwi berkata, “Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tersebut tidak menyibukkan dan melalaikannya dari Allah, sementara berapa banyak orang faqir yang kefakirannya menyibukkan dan melalaikannya dari Allah.” [Faidhu’l Qadīr, vol. II, hal. 288]

Di samping parameter ketaqwaan yang bersifat individual, penting juga diingat bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.

Dari Jābir, Nabi ` bersabda,

خَيْرُ النّاسِ أَنْفَعُهمْ للنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” [Lihat ash-Shahīhah no. 426.]

Pada saat sekarang ini, di mana kemiskinan tengah melanda banyak kaum muslimin di samping invansi musuh dalam berbagai aspek kehidupan. Ada di antara kaum muslimin yang sampai melakukan kejahatan, bahkan tidak segan menggadaikan iman disebabkan kemiskinan. Karena itu, kemunculan konglomerat-konglomerat muslim yang memberikan hartanya untuk membela dan menegakkan Islam serta membantu sesama muslim menjadi hal yang sangat urgen.

sumber:
http://tanyasyariah.wordpress.com/2007/11/29/kaya-syukur-vs-miskin-sabar/
 
Keduanya baik, kita hidup di dunia apapun kondisinya harus selalu mengingat kepada allah swt
:)
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.