Creationz
IndoForum Junior E
- No. Urut
- 6396
- Sejak
- 10 Sep 2006
- Pesan
- 1.516
- Nilai reaksi
- 261
- Poin
- 83
JAKARTA--Mahkamah Agung menegaskan dukungannya terhadap penerapan hukuman mati di Indonesia, meski banyak pihak menganggapnya sebagai bentuk pelanggaran HAM. Hakim agung Djoko Sarwoko mengatakan, adalah hak Indonesia mempertahankan hukuman mati, apalagi masih banyak negara yang mempertahankannya sebagai bentuk pemidanaan."Itu merupakan bagian dari law enforcement (penegakan hukum, Red). Apalagi, putusan mati diperbolehkan dalam UU," ujarnya saat ditemui di kantornya di lantai III Gedung MA, kemarin.
Hukuman mati, kata dia, justru dibutuhkan saat ini, termasuk dalam sejumlah kasus pengedaran narkoba.
Sekadar tahu, polemik soal penghapusan pidana mati dalam kasus narkoba dipicu pengajuan uji materiil UU No.22 tahun 1997 oleh terpidana mati kasus narkoba. Permohonan pertama yang diwakili kuasa hukum Todung Mulya Lubis adalah Myuran Sukumaran, Andrew Chan (keduanya warga negara Australia yang juga anggota sindikat Bali Nine, Red), Yunita Sianturi, dan Rani Andriani (WNI, Red).
Sedangkan permohonan kedua dilakukan oleh anggota Bali Nine yang lain, yakni Scott Anthony Rush.
Mereka menggugat Pasal 80, 81, dan 82 UU Narkotika.
"Kalau kita menghapus hukuman mati, sedangkan negara tetangga (Malaysia dan Singapura, Red) kita menerapkannya, maka para pengedar bakal ramai-ramai ke Indonesia," tambah juru bicara MA itu.
Hukuman mati, kata dia, juga bisa menimbulkan efek jera, bukan pada pelakunya tapi pada calon pelaku agar tidak main-main melanggar hukum Indonesia. "Ada hukuman mati saja, masih banyak yang lolos," sebutnya menyinggung lemahnya sistem di Indonesia.
Padatnya penjara, khususnya oleh para terpidana narkoba, juga menjadi pertimbangan. "Penjara kita belum bisa memperbaiki manusia," katanya.
Djoko menambahkan, pemidaan bagi para pemakai narkoba tak hanya bisa dilakukan dengan cara memenjarakannya. Dalam UU Narkotika dikenal pidana rehabilitasi. Maksudnya, meski seorang pemakai diputus bersalah, namun dia tak dihukum dan dimasukkan dalam panti rehabilitasi narkoba.
Kata Djoko, itu lebih positif dan bernuansa recovery. "Tapi sayang, tak banyak hakim yang berani mengambil keputusan seperti itu," tambahnya.
Hukuman mati, kata dia, justru dibutuhkan saat ini, termasuk dalam sejumlah kasus pengedaran narkoba.
Sekadar tahu, polemik soal penghapusan pidana mati dalam kasus narkoba dipicu pengajuan uji materiil UU No.22 tahun 1997 oleh terpidana mati kasus narkoba. Permohonan pertama yang diwakili kuasa hukum Todung Mulya Lubis adalah Myuran Sukumaran, Andrew Chan (keduanya warga negara Australia yang juga anggota sindikat Bali Nine, Red), Yunita Sianturi, dan Rani Andriani (WNI, Red).
Sedangkan permohonan kedua dilakukan oleh anggota Bali Nine yang lain, yakni Scott Anthony Rush.
Mereka menggugat Pasal 80, 81, dan 82 UU Narkotika.
"Kalau kita menghapus hukuman mati, sedangkan negara tetangga (Malaysia dan Singapura, Red) kita menerapkannya, maka para pengedar bakal ramai-ramai ke Indonesia," tambah juru bicara MA itu.
Hukuman mati, kata dia, juga bisa menimbulkan efek jera, bukan pada pelakunya tapi pada calon pelaku agar tidak main-main melanggar hukum Indonesia. "Ada hukuman mati saja, masih banyak yang lolos," sebutnya menyinggung lemahnya sistem di Indonesia.
Padatnya penjara, khususnya oleh para terpidana narkoba, juga menjadi pertimbangan. "Penjara kita belum bisa memperbaiki manusia," katanya.
Djoko menambahkan, pemidaan bagi para pemakai narkoba tak hanya bisa dilakukan dengan cara memenjarakannya. Dalam UU Narkotika dikenal pidana rehabilitasi. Maksudnya, meski seorang pemakai diputus bersalah, namun dia tak dihukum dan dimasukkan dalam panti rehabilitasi narkoba.
Kata Djoko, itu lebih positif dan bernuansa recovery. "Tapi sayang, tak banyak hakim yang berani mengambil keputusan seperti itu," tambahnya.