• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Lesson Learnt dari Afghanistan Saptono Priyadi - Islamabad

roughtorer

IndoForum Senior A
No. Urut
44416
Sejak
24 Mei 2008
Pesan
6.755
Nilai reaksi
174
Poin
63
Bertugas di salah satu lembaga internasional di Afghanistan ternyata tidak mudah. Dari lingkungan metropolitan Jakarta saya tiba tiba berada di lingkungan yang berbeda, ya orangnya, ya kehidupan sosialnya. Apa yang membuat saya betah melewati 2 tahun di tengah ketegangan bahaya ranjau dan peluru? Sense of humor yang tetap terjaga tinggi.

Berikut beberapa petikan pengalaman dan humor dengan teman teman setempat.

afghan7.jpg

Termos

Barang inilah yang memberikan kesan beda, ketika memasuki ruang kantor di Kabul pertama kali tanggal 28 Maret 2006: sebuah termos besar warna hitam tersedia di sudut ruangan. Dan ternyata hari hari berikutnya dijamin air panasnya akan selalu terisi penuh karena janitor berkeliling memeriksa secara rutin. Termos memang bukan sekedar sumber air panas (dispenser galon air panas/dingin juga tersedia di setiap koridor), tapi bagian dari sarana keramahtamahan. Siapa saja yang mampir ke ruangan, meskipun hanya teman sekantor dari ruangan sebelah pasti akan mendapat tawaran minum teh. Mari ngeteh dulu, teh hijau, teh hitam? Ini salah satu bukti bahwa orang Afghan memang lebih ramah. Selama lima tahun berkantor di Jakarta, rasanya belum pernah ada teman sejawat yang menawarkan teh ketika mampir di cubiclenya.
Demikian juga ketika berkunjung ke kantor kantor pemerintahan, selalu sang ajudan direktur sibuk menyeduh teh dan menjaga agar gelas tamunya tidak kosong. Tehnya tanpa gula, tapi gula batu atau permen selalu disediakan sebagai pendamping (teman teman Afghan yang pernah berkunjung ke Indonesia mengeluh, di Indonesia semua serba manis, tehnya manis, bahkan kebab/sate juga terasa manis).

Lesson learnt: Jangan lupa sediakan gelas di ruangan, karena minum langsung dari termos bisa bikin mulut melepuh.


Hanya ada satu gelas

Suatu kali saya ikut acara workshop bertempat di kantor gubernuran propinsi Laghman. Biasanya workshop sejenis diadakan di hotel, tapi gubernur sendiri yang meminta supaya diselenggarakan di kantornya. Pesertanya wakil wakil dari semua instansi propinsi dan mitra lainnya.

Sebagai salah satu nara sumber, saya duduk terpisah di depan, dibekali sebotol air aqua (bukan merk Aqua tapi Nestle). Bagaimana peserta lainnya minum? Ternyata ada janitor berkeliling membawa teko berisi air dingin ditangan kanan dan sebuah gelas di tangan kiri. Bagi yang haus silahkan minum, gelasnya gantian. Bukti lain bahwa mereka lebih ramah satu sama lain. Di Indonesia mana mau peserta workshop mau minum dari satu gelas bergantian (kecuali sewaktu perjamuan kudus di gereja, itupun harus dilap dulu).


afghan6.jpg


Lesson learnt: bagi yang sering ikut workshop di daerah, jangan lupa bawa sedotan kalau nggak mau gantian gelas, bisa nyedot langsung dari teko.
Sendoknya cuma satu

Kali ini bukan di kantor gubernuran, tapi diundang makan bareng bareng staf di kantor Kandahar (negerinya Mullah Omar, petinggi Taliban). Alas tikar dan perlak sudah digelar, roti dilempar ke tengah arena, kari kambing dan salad sudah ada di piring. Nggak perlu sendok karena makan roti kan harus nyuil pakai tangan. Kali ini nggak perlu gelas karena minumnya coca cola kalengan.

Di situ juga ada baskom/piring besar berisi yogurt di tengah arena. Gimana nih makannya karena sendoknya cuma satu, orangnya bertujuh. Ya ternyata pakai saja sendoknya bergantian.

Lesson learnt: Youghurt lokal ternyata lebih kecut dari yang pabrikan, nggak tahu karena rasanya memang begitu atau karena sendoknya yang gantian dari mulut ke mulut.


Keledai multiguna

Yang multiguna ternyata bukan hanya sedotan, terlebih lagi keledai. Keledai memang jawara soal angkut mengangkut, imut imut tubuhnya tapi kuat tenaganya. Kalau pernah melihat foto yang beredar di internet tentang gerobak yang kelebihan muatan terjengkang ke belakang dan keledainya terangkat ke atas, foto itu diambil di Kabul beberapa tahun yang lalu. Begitulah nasib keledai yang menjadi andalan baik di kota maupun di desa, diperas tenaganya. O, ternyata bukan hanya soal tenaga yang bisa diandalkan. Ia juga sering digunakan oleh tuannya untuk ‘kepentingan’ yang lain. Ketika saya tanyakan kenapa ya begitu, salah seorang teman dengan enteng menjawab karena ‘tingginya’ yang pas.

afghan1.jpg

ntuk lebih mengeksplisitkan maksud ‘kepentingan dan tinggi’ di atas, beginilah ilustrasinya: Ada seorang warlord pulang kampung dan dia menyuruh salah seorang anak buahnya membersihkan kebun untuk membuat bangunan baru.

“Kau tebang saja semua pohon di halaman ini kecuali yang ini dan yang dipojok sana itu”.

“Kenapa Tuan dengan pohon ini, kalau boleh tahu?”

“Di bawah pohon inilah aku duluuu mendapatkan pengalaman seksualku yang pertama kali”.

“Oh, Tuan ternyata seorang yang romantis. Bagaimana dengan pohon yang itu?”
“Di bawah pohon itu ibunya mengawasi kami”

“Ah, Tuan. Jadi ibunya membiarkan saja Tuan berbuat begitu? Lalu apa katanya ?“

“Embeeekkk…..”


Lesson learnt : Yang multiguna ternyata bukan hanya keledai, tapi kambing juga.


Keledai mogok

Humor berkonotasi seksual ternyata tidak tabu. Banyak humor lain yang saya dapat dari teman teman setempat. Yang paling sering adalah menyangkut olok olok hubungan sesama jenis di Kandahar. Enggak tahu bener atau enggaknya, tapi pengalaman si Agus Kembara, seorang avonturir dari Malang yang terbirit birit karena digerayangi oleh tuan rumah yang memberikan tumpangan nginap jangan jangan membenarkan hal itu.

Ketika berkunjung ke Mazar el-Sharif, saya konfirmasikan hal itu (keledai yang multiguna) ke teman teman di sana, apakah ini sekedar olok olok antar suku atau beneran? Dengan antusias salah seorang teman, seorang Wardak langsung menjawab,

"Ah, itu memang banyak dilakukan orang Loghari"

"Wardak juga begitu", teman dari Loghar nggak mau kalah

"Memang begitu semua, tapi ada bedanya", seorang Kandahari mengambil alih, mungkin menyadari sebentar lagi pasti guyonan beralih ke dirinya.

"Apa bedanya?"

"Kalian Wardak suka pelihara keledai jantan, sementara orang Loghar pelihara yang betina".


Sebelum olok olok beralih ditujukan ke dirinya, si teman dari Kandahar langsung bercerita. Di satu jalan sempit terjadi antrian mobil yang panjang. Rupanya di depan ada gerobak keledai yang mogok. Si keledai tak mau maju, mungkin takut dengan jembatan sempit di depannya. Si pemilik gerobak sudah berupaya menarik, menendang, memukul, dan segala cara, tetapi tetap saja si keledai tak bergeming. Tak sabar, salah seorang supir di belakang turun, menepuk leher si keledai sambil berkata sesuatu. Seketika itu si keledai bergerak cepat cepat menyeberang jembatan. Penumpang di mobilpun terheran heran lalu bertanya kepada si supir, "Kau apakan tadi keledai, langsung terbirit birit begitu". Si supir menjawab,"Oh, saya cuma bilang ke dia...Hei di mobilku ada 3 Wardak dan 2 Loghari, kalau kau enggak cepat cepat maju, aku suruh mereka turun ke sini, biar tahu rasa kau".

Lesson learnt: Kalau mau cari suvenir garment asli buatan Kandahar, cari saja yang retslitingnya ada dua, di depan dan di belakang.


Binatang piaraan

Orang Afghan enggak kenal binatang peliharaan seperti kita suka memelihara kucing atau anjing. Yang jamak adalah binatang peliharaan ternak. Jadi, jangan pernah menanyakan kepada mereka, binatang apa yang kamu suka? Bagi kita, maksudnya jelas yaitu kita suka kucing, kita suka burung atau suka kuda. Dengan pertanyaan seperti itu, bisa bisa malah membuat yang ditanya tersinggung. Konotasi ‘suka’ adalah soal multiguna di atas. Kalau aku 'suka' keledai, lalu apa urusanmu?

Lesson learnt: Onta tidak dipelihara di Afghanistan, mungkin karena terlalu ‘tinggi’ untuk bias jadi multiguna.


Wanita Afghan lebih cantik?

Betulkah? Begitulah kesimpulan pengamatan saya setelah beberapa bulan pindah ke Islamabad. Bukan hanya wanitanya, laki laki Afghan pun lebih macho. Posturnya memang pas, enggak bule, enggak arab, enggak asia. Dengan catatan kalau enggak pakai brewok.

Kembali ke soal wanitanya, selain soal fisik, mungkin juga karena persoalan imajinasi. Ikut saja hukum bilangan besar, Sedikit itu indah. Ya dibandingkan di Kabul, wanita di sini (apalagi di Jakarta) kan lebih terbuka dalam berpakaian. Nah, yang lebih kelihatan semua begitu sudah berkurang indahnya.

afghan3.jpg

Lesson learnt: Kalau mau istri jadi lebih cantik, nggak usah mahal mahal nyuruh sedot lemak, nyuruh pergi ke salon. Cukup belikan dan suruh pakai burqa. Lagi pula ada untungnya, yang dibalik burqa bisa diganti tanpa ketahuan tetangga.


Kuburan

Selama dua tahun di Kabul dan berkeliling ke propinsi lain, saya belum pernah melihat pemakaman seperti layaknya pemakaman di Indonesia (kecuali shrinenya orang Sufi di Herat). Sewaktu menyusur jalan darat ke Jalalabad, saya melihat suatu area dengan banyak batu pipih tertancap, yang ternyata adalah areal kuburan, seperti pemakaman masal di Aceh sesudah tsunami. Puluhan tahun dilanda konflik mereka mungkin tidak peduli dengan orang mati, lha ngurus yang hidup saja susah?


afghan5.jpg


afghan4.jpg


Lesson learnt: Pembuat dan penjual batu nisan bukan profesi yang prospektif di Afghanistan.
 
hmm, nice thread ini cc...

ngga semuanya berbau teroris kok ya di afganistan
 
mantheb.../no1
paling g jangan cman nilai Afghan.....istan :D
dari sisi negatifnya....

"Don't judge a book by it's cover" /no1
 
hohoho Teroris itu mah cmn sebagian kecil yg menjadi musuh dalam selimut aja :D
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.