Angela
IndoForum Addict A
- No. Urut
- 88
- Sejak
- 25 Mar 2006
- Pesan
- 43.323
- Nilai reaksi
- 31
- Poin
- 0

Angin sore menyapu pelan paras Nara yg duduk sendiri di bangku kayu tua dekat pelabuhan kecil di ujung kota. Ia menatap laut lepas, tempat mentari perlahan tenggelam membawa serta sisa-sisa letih hari ini. Di tangan kanannya, tergenggam erat selembar kertas yg sudah kusut. Surat panggilan kerja dari Jakarta, sesuatu yg sudah ia nanti selama tiga tahun terakhir.
Nara bukan anak orang kaya. Ia lahir & akbar di desa pesisir di Sulawesi Utara, hidup cuma dengan ibunya yg bekerja sebagai penjual ikan asin keliling. Sejak kecil ia tahu, kalau harap hidupnya berubah, ia harus pergi. Tapi pergi tidak pernah mudah, apalagi bagi seorang anak perempuan yg harus meninggalkan satu-satunya keluarga yg ia punya.
"Apa kau benar-benar mau ke Jakarta, Nara?" tanya sang ibu tadi pagi, suaranya bergetar.
Nara cuma diam. Sebenarnya hatinya harap berteriak tidak. Tapi ia tahu, kesempatan tak datang dua kali. Ia sudah melamar kerja di puluhan tempat, mengirim CV dari warnet yg jauh dari desanya, & kadang harus menunggu satu jam cuma untuk membuka email.
"Aku harus mencoba, Ma," jawabnya akhirnya.
Ia ingat betul bagaimana ibunya diam lama, sebelum akhirnya mengangguk. Tidak ada pelukan, tidak ada tangis lebay seperti di sinetron. Hanya tatapan mata yg seakan berkata: "Hidup memang berat, Nak. Tapi saya percaya kau dapat."
Sore itu, Nara memutuskan pergi ke pelabuhan untuk merenung. Bukan karena ragu, tetapi karena ia tahu, langkah yg akan ia ambil ini akan mengubah segalanya. Ia mungkin tidak akan dapat lagi makan pisang goreng buatan ibunya tiap sore, atau mendengar suara ombak yg sudah jadi lagu pengantar tidurnya sejak kecil.
Tapi ia juga tahu, hidup bukan cuma tentang bertahan. Hidup adalah tentang melangkah, meski dengan kaki gemetar.
Hari keberangkatan pun tiba. Nara cuma membawa satu tas ransel, isinya pakaian secukupnya, beberapa makanan kering dari ibunya, & tentu saja... harapan. Ia naik kapal penumpang menuju pelabuhan Tanjung Priok, menempuh perjalanan dua hari dua malam.
Jakarta menyambutnya dengan panas & hiruk-pikuk yg menciptakan kepalanya pening. Tapi Nara tak gentar. Ia datang ke kantor tempat ia akan bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan logistik kecil. Bukan pekerjaan bergengsi, tetapi cukup untuk jadi awal.
Hari demi hari berlalu. Ia mulai terbiasa dengan kereta penuh sesak, dengan tidur cuma empat jam sehari, dengan makan seadanya supaya dapat menyisihkan uang untuk dikirim ke ibu.
Di balik layar ponselnya, ia pasang foto pelabuhan di kampungnyatempat ia duduk saat memutuskan pergi. Foto itu jadi pengingat, bahwa semua ini bukan sia-sia.
Dua tahun berlalu. Nara kini bukan lagi staf biasa. Ia naik jabatan jadi supervisor. Ia sudah menyewa kamar kecil sendiri, & sedang menabung untuk membawa ibunya ke Jakarta.
Dan setiap kali mentari terbenam, meski tak lagi di pelabuhan, ia sering meluangkan waktu sejenak menatap langit senjalangit yg dulu menyaksikan awal langkahnya.
Karena ia percaya, di balik setiap senja, ada asa yg tak pernah padam.
---