Angela
IndoForum Addict A
- No. Urut
- 88
- Sejak
- 25 Mar 2006
- Pesan
- 43.199
- Nilai reaksi
- 31
- Poin
- 0
Konferensi ICIR ke-5: Dorong Pengakuan Hukum Adat di Indonesia
Suasana konferensi pers "Democracy of the Vulnarable" di di PUI Javanologi, UNS Surakarta. (Dokumentasi ICIR)
Dalam upaya memperluas pengakuan kepada hukum adat, The Intersectoral Collaboration on Indigenous Religions (ICIR) menggelar konferensi 'Democracy of the Vulnerable' pada 22-23 November 2023. Konferensi ini diharapkan dapat membuka wacana publik mengenai hukum adat & hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Inibaru.id- Isu seputar penghayat kepercayaan, agama leluhur, & masyarakat adat semakin memanas di Indonesia. Menghadapi kompleksitas permasalahan ini, The Intersectoral Collaboration on Indigenous Religions (ICIR) melalui program "Rumah Bersama" menyelenggarakan konferensi tahunan ke-5 dengan tema "Democracy of the Vulnerable."
Konferensi ini berlangsung pada Rabu-Kamis, 22-23 November 2023, di PUI Javanologi, UNS Surakarta, Jawa Tengah. Dengan tema tersebut, ICIR berharap dapat mendengar suara & membuka wadah kelompok rentan yg kemudian menjadikannya wacana publik. Konferensi ini juga digelar dengan tujuan untuk memperluas pengakuan kepada keberadaan mereka sebagai warga negara sah Indonesia.
Syamsul Maarif, penyelenggara ICIR dari CRCS UGM mengungkapkan pandangannya dalam konferensi pers pada Rabu, 22 November 2023. Dia menyoroti isu "living law" atau hukum yg hidup di masyarakat adat. Menurutnya, hukum adat di Indonesia ini masih rentan akan diskriminasi.
Mengenai living law atau hukum yg hidup di masyarakat adat ini meskipun sudah dimasukkan dalam KUHP, tetap saja terdapat regulasi yg mendiskriminasi. Ini yg harus kita perjuangkan, terang Syamsul dengan lantang.
Negara harus melibatkan masyarakat adat dalam musyawarah untuk mencapai pluralisme hukum yg berkeadilan. (Dokumentasi ICIR)
Syamsul menekankan bahwa negara harus memainkan peran aktif & memiliki komitmen tinggi dalam mengurus hukum adat. Dan yg lebih penting, negara harus melibatkan masyarakat adat dalam musyawarah untuk mencapai pluralisme hukum yg berkeadilan.
"Negara harus mengakui adanya hukum adat yg berlaku di kelompok adat tertentu, serta memiliki komitmen untuk menghormati, melindungi, & mengakui hak-hak masyarakat adat," tegasnya.
Dalam konteks ini, Sulistyowati Irianto, salah seorang pembicara konferensi, menggarisbawahi bahwa hukum adat adalah hasil dari sistem berfikir, berpengetahuan, & berhukum. Semua etika moral mengenai hubungan manusia dengan Sang Pencipta, lingkungan, & sesama manusia sudah diatur dalam hukum adat.
"Biarkan setiap orang memiliki budaya & hukum adatnya sendiri. Jangan diintervensi!" ungkapnya.
Dewi Kanti memaparkan gagasannya terkait adat sebagai jati diri bangsa Indonesia. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)
Dewi Kanti, perwakilan dari Komnas Perempuan, juga menyampaikan pandangannya. Menurutnya, adat merupakan tabiat bangsa yg mencerminkan jati diri bangsa itu sendiri.
"Adat adalah akar bangunan kebangsaan. Jika masyarakat adat tercabut, pohon bangsa kita dapat rapuh," tambahnya.
Diskursus seputarliving lawatau hukum adat dalam KUHP ini memang harus terus diupayakan supaya nafas peradilan tidak pernah berhenti. Dengan konferensi ini, semoga akan muncul solusi & pemahaman lebih baik terkait hak-hak masyarakat adat & pengakuan kepada keberadaan mereka di Indonesia ya,Millens!(Rizki Arganingsih/E10)

Suasana konferensi pers "Democracy of the Vulnarable" di di PUI Javanologi, UNS Surakarta. (Dokumentasi ICIR)
Dalam upaya memperluas pengakuan kepada hukum adat, The Intersectoral Collaboration on Indigenous Religions (ICIR) menggelar konferensi 'Democracy of the Vulnerable' pada 22-23 November 2023. Konferensi ini diharapkan dapat membuka wacana publik mengenai hukum adat & hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Inibaru.id- Isu seputar penghayat kepercayaan, agama leluhur, & masyarakat adat semakin memanas di Indonesia. Menghadapi kompleksitas permasalahan ini, The Intersectoral Collaboration on Indigenous Religions (ICIR) melalui program "Rumah Bersama" menyelenggarakan konferensi tahunan ke-5 dengan tema "Democracy of the Vulnerable."
Konferensi ini berlangsung pada Rabu-Kamis, 22-23 November 2023, di PUI Javanologi, UNS Surakarta, Jawa Tengah. Dengan tema tersebut, ICIR berharap dapat mendengar suara & membuka wadah kelompok rentan yg kemudian menjadikannya wacana publik. Konferensi ini juga digelar dengan tujuan untuk memperluas pengakuan kepada keberadaan mereka sebagai warga negara sah Indonesia.
Syamsul Maarif, penyelenggara ICIR dari CRCS UGM mengungkapkan pandangannya dalam konferensi pers pada Rabu, 22 November 2023. Dia menyoroti isu "living law" atau hukum yg hidup di masyarakat adat. Menurutnya, hukum adat di Indonesia ini masih rentan akan diskriminasi.
Mengenai living law atau hukum yg hidup di masyarakat adat ini meskipun sudah dimasukkan dalam KUHP, tetap saja terdapat regulasi yg mendiskriminasi. Ini yg harus kita perjuangkan, terang Syamsul dengan lantang.

Negara harus melibatkan masyarakat adat dalam musyawarah untuk mencapai pluralisme hukum yg berkeadilan. (Dokumentasi ICIR)
Syamsul menekankan bahwa negara harus memainkan peran aktif & memiliki komitmen tinggi dalam mengurus hukum adat. Dan yg lebih penting, negara harus melibatkan masyarakat adat dalam musyawarah untuk mencapai pluralisme hukum yg berkeadilan.
"Negara harus mengakui adanya hukum adat yg berlaku di kelompok adat tertentu, serta memiliki komitmen untuk menghormati, melindungi, & mengakui hak-hak masyarakat adat," tegasnya.
Dalam konteks ini, Sulistyowati Irianto, salah seorang pembicara konferensi, menggarisbawahi bahwa hukum adat adalah hasil dari sistem berfikir, berpengetahuan, & berhukum. Semua etika moral mengenai hubungan manusia dengan Sang Pencipta, lingkungan, & sesama manusia sudah diatur dalam hukum adat.
"Biarkan setiap orang memiliki budaya & hukum adatnya sendiri. Jangan diintervensi!" ungkapnya.

Dewi Kanti memaparkan gagasannya terkait adat sebagai jati diri bangsa Indonesia. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)
Dewi Kanti, perwakilan dari Komnas Perempuan, juga menyampaikan pandangannya. Menurutnya, adat merupakan tabiat bangsa yg mencerminkan jati diri bangsa itu sendiri.
"Adat adalah akar bangunan kebangsaan. Jika masyarakat adat tercabut, pohon bangsa kita dapat rapuh," tambahnya.
Diskursus seputarliving lawatau hukum adat dalam KUHP ini memang harus terus diupayakan supaya nafas peradilan tidak pernah berhenti. Dengan konferensi ini, semoga akan muncul solusi & pemahaman lebih baik terkait hak-hak masyarakat adat & pengakuan kepada keberadaan mereka di Indonesia ya,Millens!(Rizki Arganingsih/E10)