• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Keterikatan terhadap syariat islam

asoybanget

IndoForum Beginner A
No. Urut
52516
Sejak
12 Sep 2008
Pesan
1.375
Nilai reaksi
47
Poin
48
Pendahuluan
Seluruh amal perbuatan manusia, tidak memiliki suatu status hukum sebelum datangnya pernyataan dari Syari’at. Amal itu tidak tergolong wajib, sunnah, haram, makruh, atau pun mubah. Manusia boleh melakukan amal itu sesuai dengan pengetahuannya dan berdasarkan pandangan atas kemaslahatan manusia. Sebab, tidak ada ‘taklif’ (beban hukum) sebelum sampai perbuatan syara’. Allah SWT berfirman:

“(Dan) Kami tidak akan mengadzab suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang Rasul/utusan”. (QS. Al-Isra: 15).

Berdasarkan ayat tersebut dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa Allah SWT memberikan jaminan bahwa tidak akan datang adzab, kepada hamba-Nya atas perbuatan yang mereka lakukan, sebelum diutusnya seorang Rasul kepada mereka. Jadi mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang mereka lakukan. Sebab, mereka tidak terbebani oleh satu hukum pun.

Hanya saja, tatkala Allah SWT mengutus seorang Rasul kepada mereka, atau telah sampai kepada suatu kaum, penjelasan syara’, maka terikatlah mereka dengan risalah yang dibawa oleh Rasul tersebut. Allah SWT berfirman:

“(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu”. (QS. An-Nisaa: 165)

Dengan demikian, siapa pun yang tidak beriman kepada Rasul tersebut, pasti ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak, tentang ketidakimanannya dan ketidakterikatannya terhadap hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepada Rasul serta mengikatkan diri pada hukum yang dibawanya ia pun akan dimintai pertanggungjawaban terhadap penyelewengan sebagian hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut.

Dan berdasarkan kaidah syara’ “Asal dari perbuatan (manusia) terikat dengan hukum syara’”. Maka untuk itu seluruh kaum muslimin diperintahkan melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam, karena kewajiban atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah SWT. Allah Swt berfirman:

“... apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...”

(QS. Al-Hasyr: 7).


Tidak berarti dikatakan disini, bahwa barang siapa yang tidak datang kepadanya suatu perintah atau larangan dari Rasul secara langsung (karena masa Rasulullah saw telah lewat) maka ia tidak termasuk “mukallaf” (orang yang terbebani hukum). Tidak dapat dikatakan demikian, sebab beban hukum menurut syara’ adalah ‘aam (bersifat umum), sebagaimana umumnya risalah untuk seluruh manusia. Selain itu tidak dapat dinyatakan dengan suatu pengertian bahwa ada perbuatan-perbuatan tersebut yang lolos dari hukum Syari’at. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kamu semua”. (QS. Al-A’raf: 158).

Hukum Asal Perbuatan Terikat Hukum Syara’

Perbuatan adalah apa-apa yang dilakukan manusia berupa aktivitas, baik ucapan atau perbuatan untuk memenuhi kebutuhannya.

Hukum syara’ didefinisikan sebagai seruan Syari’ (Allah) yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Hukum syara’ hanya ditunjukan kepada perbuatan, tanpa memperhatikan benda yang berkaitan dengan perbuatan tersebut.

Ulama yang menelusuri/mendalami nash-nash dan hukum-hukum syara’, mendapati bahwa syara’ telah membatasi hukum-hukum terhadap perbuatan dengan lima macam status yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah.

Penentuan hukum perbuatan itu mubah, sunnah, makruh, wajib dan haram harus didasarkan pada (adanya) dalil sam’i (dalil yang sampai pada kita melalui riwayat) tentang hukum-hukum tersebut. Tidak adanya dalil sam’i tidak mungkin menetapkan suatu hukumn hukum atas perbuatan dan tidak mungkin menetapkan suatu hukum atas perbuatan tersebut mubah, haram, makruh, sunnah dan wajib kecuali setekah diketahui adanya dalil sam’i yang menetapkannya. Ini bukan berarti meninggalkan tuntutan untuk mencari hukum Allah atas perbuatan tersebut, dan membatalkan hukum syara atau meninggalkan tugas dan kewajiban hidup dengan alasan tidak mengetahui hukum Allah, karena semuanya ini tidak dibenarkan oleh hukum syara’. Akan tetapi perbuatan manusia membutuhkan pengetahuan tentang hukum Allah, yaitu diwajibkannya mencari dalil-dalil syar’i dan menyesuaikan dalil-dalil dengan fakta tersebut sehingga dapat diketahui hukum Allah atas perbuatan tersebut, apakah haram, wajib, sunnah, makruh atau mubah. Hal ini disebabkan tolok ukur perbuatan bagi seorang muslim berupa perintah dan larangan. Allah yang telaah mewajibkan seorang muslim untuk mengetahui terlebih dahulu hukum Allah atas perbuatan yang akan dilakukannya, apakah mubah, sunnah, makruh, haram atau wajib. Jadi setiap perbuatan mesti berkait dengan hukum yang lima tadi, antara haram, makruh, mubah, sunnah atau wajib. Dan setiap perbuatan yang akan dilakukan seorang muslim harus diketahui lebih dahulu hukumnya, karena Allah akan meminta tanggung jawab atas setiap perbuatannya. Sebagaimana firman Allah:

”Maka demi Rabbmu, pasti kami akan menanyakan (menghisab) mereka tentang apa yang mereka kerjakan dahulu.”

(QS Al Hijr 92-93)

”Kami tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat Al Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatiu pekerjaan melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS Yunus 61)

Yang dimaksud dengan “Kami mejadi saksi” dalam ayat di atas, berupa pemberitahuan dari Allah kepada hamba-Nya bahwa Dia menyaksikan perbuatan mereka dan bahwa Dia akan menghisab dan menanyakan mereka. Rasulullah saw pun menjelaskan tentang wajibnya melakukan perbuatan sesuai dengan hukum Allah (hukum Islam) dengan sabdanya:

“Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak didasarkan perintah kami, maka tertolak”

Dari sini maka jelaslah bahwa setiap perbuatan merupakan hukum syara’ yang wajib bagi seseorang untuk mencari dalil syara’ yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan itu sebelum dilakukan. Ditetapkannya status hukum suatu perbuatan sebagai mubah, makruh, wajib, sunnah atau haram ditentukan dari adanya dalil sam’i bagi hukum tersebut, yaitu dalil yang bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ (sahabat) dan qiyas.

Asal Hukum Benda adalah Ibahah (mubah)


Benda adalah segala sesuatu yang dimanfaatkan, pada hakikatnya berbeda dengan perbuatan. Perbuatan manusia selalu berhubungan dengan atau menggunakan sesuatu agar kebutuhannya terpenuhi, seperti makan, minum, berjalan, berdiri dan sebagainya, yang kesemuanya itu termasuk dalam kategori perbuatan/tindakan. Sedangkan jual beli, sewa menyewa, perwakilan, jaminan dan lain-lain termasuk kelompok perbuatn berupa ucapan.

Kedua jenis perbuatan tersebut berhubungan dengan sesuatu/materi yang digunakan. Misalnya, perbuatan makan berhubungan dengan benda-benda seperti roti, apel, daging babi dan lain-lain. Seluruh benda mempunyai status hukum syara’, sebagaimana dengan perbuatan.

Mengenai benda, ulama yang menelusuri nash-nash syara’ akan mengetahui bahwa Allah menentukan sifat atas benda dengan halal dan haram saja, bukan dengan sebutan wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Allah menjadikan halal atau haram sebagai sifat atas sesuatu/benda sebagaimana firman Allah SWT:

“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan oleh Allah kepadamu, lalu kamu menjadikan sebagiannya haram dan (sebagaian lainnya) halal.’” (QS Yunus: 59)


“(Dan) janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ini halal dan ini haram.”

(QS An Nahl 116)


Dan surat-surat lain, seperti Al Baqarah: 173; Al An’am: 146; Al A’raf: 157; At Tahrim: 1.

Nash-nash tersebut diatas menentukan bahwa benda hanya memiliki dua alternatif status hukum, yaitu halal atau haram, tidak ada status yang ketiga, dan tidak ada alternatif status selain itu.

Menghalalkan atau mengharamkan suatu benda merupakan urusan Allah. Tidak boleh seorang pun turut campur dengan-Nya dalam menentukan halal dan haram. Halal dan haran adalah dua sifat yang salah satunya pasti ada untuk setiap benda yang diindra, yang diciptakan oleh Allah SWT, seperti benda yang dapat dimakan, dipakai (pakaian), dikendarai, didiami, yang dapat digunakan ataupun yang tidak dapat digunakan.

Allah membolehkan kita memanfaatkan segala sesuatu/benda yang ada, yang diperoleh manusia dari usahanya. Allah hanya mengecualikan dari yang umum itu sebagian kecil benda yang diharamkan-Nya melalui nash secara khusus. Hukum ibahah (mubah) dapat dipahami dari nash-nash syara’ secara global (mujmal) membolehkan segala sesuatu seperti firman Allah SWT:

“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk (dimanfaatkan oleh) kamu.”

(QS Al Baqarah 29)

Ada pula penentuan mubah dengan lafadz yang bersifat umum misalnya:

“Tidak kamu memperhatikan sesungguhnya Allah mengadakan untuk (kepentinganmu) apa yang ada di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” (QS Lukman 20).

Sedangkan nash lainnya ada yang bersifat umum sekaligus memberikan perinciannya, seperti surat-surat ini: Al Baqarah: 22; Ibrahim: 32-34; Qaaf: 9-11; Al A’raf: 32; Al Baqarah: 173; dan Al An’am: 145.

Ayat-ayat diatas menunjukan bahwa Allah SWT membolehkan segala sesuatu yang ada untuk manusia. Adapun yang dilarang adalah pengecualian, yang ditetapkan dengan nash secara khusus. Oleh karena itu hukum asal dari segala sesuatu/benda adalah mubah.

Hukum bagi Masalah Baru

Masalah Syari’at tidak datang dengan hukum-hukum secara terperinci mengenai suatu masalah, sehingga manusia merasa cukup dengan hukum-hukum secara terperinci tersebut. Tetapi Islam datang dengan makna-makna umum (garis global/Kuthuthun ‘aridhoh) yang berkait dengan problema hidup manusia; yaitu dengan melihat ‘manusia sebagai manusia’, sehingga tidak terikat dengan waktu dan kondisi/tempat. Kemudian mengalirlah dibawah makna-makna umum tersebut berbagai makna cabang yang lain.

Jika muncul suatu permasalahan atau kejadian baru, maka ia harus dikaji dan difahami. Kemudian, dilakukan “istinbath” hukum (penggalian status hukum) dari dalil-dalil yang bersifat umum yang terkandung dalam Syari’at maka jadilah hasil istinbath dari suatu pendapat sebagai satu hukum Allah dalam masalah tersebut.

Kaum muslimin melakukan istinbath sejak wafatnya Rasulullah saw, sehingga lenyapnya kekhalifahan Islam di muka bumi ini. Kaum muslimin tidak pernah berhenti mengikatkan diri mereka kepada Syari’at Islam dalam kehidupan mereka. Di masa Abu Bakar ra muncul permasalahan-permasalahan baru yang tidak dijumpai pada zaman Rasulullah saw, begitu pula telah muncul permasalahan-permasalah baru di masa khalifah Harun Al-Rasyid yang tidak ditemui di zaman Abu Bakar ra. Di sini para mujtahidin berusaha menggali status hukum terhadap ratusan bahkan ribuan masalah yang sebelumnya belum pernah ditemukan.

Demikianlah kaum muslimin telah melaksanakan Syari’at Islam dalam setiap masalah dan kejadian, karena Syari’at Islam telah mencakup seluruh perbuatan manusia, tidak satupun masalah yang terjadi kecuali ada pemecahan hukumnya menurut Islam. Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk senantiasa mengaitkan seluruh perbuatannya dengan hukum Syari’at Islam, serta tidak melakukan suatu perbuatan kecuali jika sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.