• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Is It Enough or Not Enough ?

reflection4us

IndoForum Newbie E
No. Urut
49346
Sejak
2 Agt 2008
Pesan
67
Nilai reaksi
6
Poin
8
[ Indonesia Version ]

“Cukup ya cukup”, adalah sebuah ungkapan basa-basi yang biasanya berarti tidak cukup. Tak cukup menjelaskan “seberapa yang cukup”.

Seorang lulusan “segar” universitas mendapat gaji satu juta perbulan, Apa ini cukup? Mungkin tidak sih, tapi apa ia punya pilihan lain? Ia melihat ke sekelilingnya dan menemukan bahwa teman-temannya juga mendapat gaji yang sama pada mulanya. Apa ini cukup? Baiklah, untuk saat ini, ok juga, fine, cukup.

Seorang buruh untuk mendapat upah sebesar itu harus bekerja dulu selama bertahun-tahun, dan walaupun ini tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ia tak banyak mengeluh. Ia tahu bahwa banyak orang yang mendapat upah lebih sedikit ketimbang dia, sehingga ia mencoba memenuhi kebutuhan sampai akhir bulan dengan gaji yang ia peroleh. Tapi, apa ini cukup? Baiklah, ok juga, cukup.

Tanyalah pada seorang pembantu rumah tangga; ia bekerja hampir sepanjang hari. Dan, ia mendapat gaji lebih sedikit ketimbang seorang lulusan baru universitas yang hanya bekerja selama 8 jam sehari. Apa ia mengeluh? Apa ia iri pada para lulusan tersebut? Tidak, karena ia tahu bahwa mereka layak untuk itu, “Ia terdidik, sedangkan aku tidak.”

Setahun kemudian….

Lulusan ini bukan lagi “fresh graduate”, gajinya naik hingga 50 persen. Dan ia melihat ke sekelilingnya; ia menemukan bahwa beberapa temannya mendapat gaji lebih banyak. “Apa yang kamu katakan kawan? Apa peningkatan gaji ini cukup?” Ia menjawab, “Tidak, lihatlah temanku yang bekerja di perusahaan lain. Ia sekarang mendapat 2 juta rupiah setiap bulan plus bonus tunjangan lagi.”

Dan… kita berjumpa pula dengan buruh yang dengan susah payah mendapat peningkatan upah 10 persen saja, sama dengan yang diperoleh pembantu rumah tangga. Mereka begitu bahagia, “Kami baru mendapat kenaikan upah 10 persen lho. Lumayan, terimakasih Tuhan!”

Maka, bagaimana kita menyikapi keluhan si lulusan universitas ini?

Pertama-tama, apakah kedua hal ini bisa disikapi secara pukul rata?

Dan, kalau memang keluhan si lulusan universitas masuk di akal, lantas bagaimana komentar kita tentang buruh dan pembantu rumah tangga yang bisa merasa puas dengan peningkatan upah yang hanya 10 persen saja?

Pertanyaannya ialah, kapan cukup benar-benar cukup?

Dan, kapan tidak?

Dan, pertanyaannya lagi ialah, kapan sebuah keluhan itu layak dipertimbangkan dan masuk di akal?

Dan, kapan tidak?

Keluhan layak dipertimbangkan dan masuk di akal ketika ini dibuat oleh orang yang benar-benar pantas dihargai. Ini tak perlu dihiraukan saat dibuat oleh seseorang yang memang tak layak.

Apakah selama setahun ini si lulusan berkembang kemampuannya? Apa ia bekerja dengan baik? Apa ia berprestasi dengan memberi kontribusi tertentu? Dia juga harus mempertimbangkan ukuran dan kemampuan perusahaan tempat ia berkerja dong. Jika seniornya menerima bayaran 2 juta setelah bekerja selama 4 tahun, maka jelas ia tak dapat mengklaim gaji yang sama karena baru bekerja selama setahun. Dalam kasus semacam itu, perusahaan mungkin terlalu kecil baginya. Ia bisa bekerja keras untuk membuat perusahaan ini lebih besar, atau keluar dan cari perusahaan lain.

Jika selama setahun ini ia tak berkembang, ia masih terus menerus membuat kesalahan yang sama, dan cara kerjanya tak layak dihargai oleh majikannya – maka keluhannya sama sekali tak beralasan. Ia tak dapat mengharapkan gaji yang lebih tinggi hanya karena temannya yang bekerja di perusahaan lain di bayar lebih tinggi. Ini karena rasa iri saja.

Kita harus mempertimbangkan dan meninjau kemampuan kita sebelum mengeluh.

Karena, apa yang kita peroleh atau apa yang seharusnya kita peroleh seluruhnya bergantung pada apa yang kita perbuat – yang telah kita lakukan. Jangan mengharapkan output yang baik, jika inputnya jelek. Jangan mengharapkan peningkatan, jika kamu tak melakukan apapun guna mencapainya.
Kata “cukup” sebenarnya rancu. Ini salah kaprah. Tak berarti apa-apa. Karena ini tak ada ukuran bakunya.

Jika kamu ingin menggunakan kata ini, maka kamu harus mendefinisikannya sesuai kriteriamu sendiri. Apa yang cukup untukmu bisa jadi tak cukup untuk ku, ya…Bagaimana kamu mendefinisikannya berbeda dengan bagaimana aku mendefinisikannya, ya…tapi, kita harus tahu pasti kemampuan kita sebelum mendefinisikannya, sebelum kita menentukan kriterianya.

Orang bodoh berkata “ tidak cukup” dengan bodoh pula.

Orang bodoh mengeluh terus dengan bodoh pula.

Orang bijak tak pernah mengeluh.

Mereka tak ada waktu untuk itu. Mereka tak mau menghabiskan energi untuk hal semacam itu. Mereka justru bekerja keras untuk merubah yang “tidak cukup” menjadi “cukup”.

Maka, terakhir, seperti apa sih yang cukup dan yang tak cukup?

Kita hanya mengeluh ini tak cukup ketika kemampuan kita tak berkembang, bertumbuh, dan mampu merubah yang tak cukup itu. Dengan kata lain, keluhan kita sebenarnya pelarian saja.

Mereka yang penuh percaya diri dan pada kemampuannya, mereka yang bertekad untuk terus berkembang, bertumbuh dan berubah – tak pernah mengeluh.
“Apa yang kuperoleh tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membiayai pengobatan sakit punggung Ibu di desa sana,” kata seorang teman.
“Ya, cari kerjaan yang lebih baik dong.” Aku menasehatinya.

“Tapi, amat sulit menemukan pekerjaan yang lain.” Ia menjelaskan.

Apa kamu melihat sebuah cara pandang di sini?

Jika memang sulit mencari pekerjaan, itu karena kamu sama dengan orang kebanyakan. Bursa kerja tak membutuhkanmu. Sehingga, kenapa kamu mengeluh?

Tapi, ia mempunyai seorang istri dan 3 anak untuk dinafkahi.

Dia juga harus membiayai pengobatan ibunya yang sakit….Baik, baik., baik majikanmu bisa jadi bersimpati denganmu. Tapi, ada 999 pegawai lain yang punya masalah yang sama. Dan, perusahaan memiliki skala pembayanan tertentu. Di atas segalanya, sebuah lembaga bisnis bukanlah lembaga sosial. Tujuannya amat jelas, komersil.

Ketika kamu merasa sulit untuk mencari pekerjaan lain, pekerjaan yang lebih baik – maka keluhanmu tak berarti sama sekali. Maka, terimalah “Cukup ya cukup” – untuk selamanya.

Ketika kamu tak merasa kesulitan untuk mendapat pekerjaan lain dengan prospek yang lebih baik – maka kamu tak perlu mengeluh. Kamu jarus bergerak untuk meraih pekerjaan itu.

Dan dalam kasus lain, keluhanmu tak masuk di akal, tak ada gunanya.

Maka, berhentilah mengeluh, cukup ya cukup…Gunakan seluruh energimu untuk bekerja untuk peningkatan hidupmu daripada memboroskan energi untuk mengeluh terus-menerus.

--------------------------------------------------------------------

[ English Version ]

“Enough is enough”, a very common expression that is usually not enough. Not enough to explain “what is enough”.


A fresh graduate gets a starting salary of one million rupiahs per month. Is it enough? Perhaps not, but does he have a choice? He looks around and finds most of his friends getting same salary as starters. Is it enough? Well, for now, okay, fine.

A laborer gets the same salary after having worked for years, and although it is not enough to take care of his household, he does not complain much. He knows many people who earn less than him, so he tries to make both ends meet with what he gets. But, is it enough? Well, ok, enough.

Ask someone who works as a house maid; she is on duty around the clock. And, she gets less than what a fresh graduate gets for working 8 hours a day. Does she complain? Is she jealous of the graduate? No, because she knows that he deserves it, “He is educated, I’m not.”

A year later…..

The graduate is no longer “fresh”, his salary is increased by 50%. And, he looks around; he finds some of his friends getting more. “What do you say friend? Is the increase enough?” He replies, “No, look at my friend working in another company. He is now drawing 2 million rupiahs every month, plus benefits.”

And, we meet the laborer who hardly gets 10% increment, similar to what the house maid gets. Both of them are excited, “We just got an increment of 10%. Not bad, thank God!”

So, how do we justify the graduate’s complain?

In the first place, is it justifiable at all?

And, if the graduate’s complain is justified, then what do we say about the laborer’s and the house maid’s sigh of satisfaction at what may seem to us a negligible increment of mere ten percent?

The question is, when enough is enough?

And, when it is not?

The question is, when complain is justified?

And, when it is not?

Complain is only justified when it is made by a deserving person. It is not justified when made by a non-deserving.

Has the graduate improved over the year? Has he worked well? Has he been able to deliver some results? He must also consider the size and the potential of the company he is working with. If his senior is drawing 2 million after having worked 4 years, then definitely he cannot claim the same for having completed one year in the company. In that case, the company is perhaps too small for him. Either he works to help it become big, or finds another company.

If he has not improved, he is still making mistakes, and his work is not really appreciated by his employees – then his complain is totally not justified. He cannot expect higher salary just because his friend working in another company is paid more. That would be jealousy.

We should consider our ability before complaining.

For, what we get or what we should get entirely depends on what we do – what we have done. Do not expect a good output, if the input has been bad. Do not expect a raise, if you have done nothing to deserve it.

The word “enough” is actually misleading. It is a misnomer. It is meaningless. For, it carries no yardstick.

If you want to use the word, then you must define it yourself. Give meaning yourself. Set your own yardstick. What is enough for you may not be enough for me, yes…. How you define it may differ from how I define it, yes….. But, both of us must know exactly our abilities before defining it, before even deciding on a yardstick.

Foolish people say “not enough” foolishly.

Foolish people complain foolishly.

The wise do not complain.

They do not have time for that. They do not waste their energies in that. Instead, they work hard to change “not enough” to “enough”.

So, finally what is enough and what is not enough?

We only complain it is not enough when our own ability to grow, to develop, and to change is not enough. In which case, our complaints actually mean nothing.

Those who are confident of their ability, those who are willing to grow, to develop, and to change – never complain.

“What I get is not enough to take care of my family at home and an ailing mother back in the village,” says a friend.

“So, find a better job.” I advised him.

“But, it is hard to find another job.” He explains.

Do you see the point here?

If it is hard to find another job, then you are just a commoner. The market does not very much need you. So, what are you complaining about?

But, he has a wife and three children to take care of.

He also has to help his ailing mother….. Well, well, well, your employer may sympathize with you. But, there are 999 other employees having similar problems. And, the company has certain salary scale. After all, a business institution is not a charity institution. Its objective is clearly commercial.

When you find it hard to get another job, a better job – then your complaint ceases to make any sense at all. Then, “enough is enough” – at least for time being.

When you do not find it hard to get another job with better prospects – then you do not complain. You move on to that job.

In either case, your complaint is not justified. It is not necessary.

So, enough of complaining, enough is enough…. Use your energies to work your way up, instead of wasting it in complaining.

source : http://www.aumkar.org/eng/?p=29
 
Boleh juga..

Saya kira tulisan TS tadi,rupanya ada Link Artikel nya /heh

Anyway /thx
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.