goesdun
IndoForum Junior A
- No. Urut
- 32661
- Sejak
- 7 Feb 2008
- Pesan
- 3.022
- Nilai reaksi
- 66
- Poin
- 48
Iri dan Dengki!
DADA Rubag sesak membaca koran dan memirsa TV beberapa hari belakangan, tentang kerusuhan berdarah yang merenggut belasan nyawa di Desa Balinuraga, Lampung Selatan. Bentrok yang menurut Kapolri berdasar laporan anak buahnya, Kapolda Lampung, berawal dari masalah sepele berkembang menjadi kerusuhan massal. Ribuan orang penduduk Balinuraga harus mengungsi ke Sekolah Polisi Negara Kemiling dan Mapolres Lampung Selatan, meninggalkan rumah dan harta benda mereka yang dilalap api karena dibakar dan dirusak para penyerang yang konon berjumlah belasan ribu orang.
''Sangat ironis! Ketika beberapa stasiun televisi swasta nasional berusaha menayangkan acara apik untuk mengingatkan warga bangsa ini hakikat Sumpah Pemuda, lewat lagu-lagu perjuangan masa lampau, puisi, serta narasi ikhwal pentingnya persatuan dan kebersamaan, di Lampung Selatan justru terjadi kerusuhan berdarah mengerikan. Menurut Kapolda Lampung, Brigjen Pol. Jodie Rooseto, bentrok diawali dua gadis Desa Agom yang mengaku diganggu beberapa pemuda Desa Balinuraga, Sabtu (27/10) malam, sehingga jatuh dari sepeda motornya. Masalah itu sempat didamaikan kedua perangkat desa, namun keluarga kedua gadis tersebut tidak terima, lalu mencari pemuda yang dianggap mengganggu itu ke Desa Balinuraga. Konon kedatangan beberapa pemuda Desa Agom itu membuat bentrokan meletus, menyebabkan tiga orang pihak yang ngelebonin tewas. Ekses dari insiden itu, keesokan dan lusanya, Desa Balinuraga diserbu belasan ribu orang bersenjata tajam, ditengarai dari beberapa desa se-Kecamatan Kalianda. Akibatnya, sembilan warga Balinuraga tewas secara mengenaskan,'' tutur Rubag.
''Ini masalah serius dan pemerintah harus menyelesaikannya secara tuntas, karena ini bisa jadi masalah SARA, sebab kasus melibatkan etnis berbeda. Itu ucapan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pertemuan dengan 50 pengajar muda yang tergabung dalam Program Indonesia Mengajar di kantor PMI Pusat, Jakarta Selatan. Dia juga menyayangkan bangsa Indonesia akhir-akhir ini sering menyelesaikan masalah dengan hukum rimba. Mereka mengadili sesamanya dengan cara sendiri tanpa melaporkan ke pihak keamanan. Perihal kerusuhan berdarah di Desa Balinuraga, Kalla bahkan bertanya, mengapa masyarakat langsung menindak masyarakat lainnya seperti mengira telah terjadi pelecehan? Padahal yang terjadi justru sebaliknya, mereka menolong gadis yang jatuh, tetapi dilaporkan berbeda dan dipercaya semua orang. Pendapat Jusuf Kalla ini, tidak jauh berbeda dengan apa yang kupikirkan, sejak membaca pemberitaan tentang kerusuhan berdarah itu. Bahkan, kuduga, ada sentimen terpendam seperti bom waktu yang menunggu saat terbaik untuk diledakkan,'' ujar Ardita.
''Soal sentimen, sejak awal menonton berita tentang itu di TV aku punya firasat! Malah setelah membaca syarat perdamaian termuat di internet, firasatku kian menampakkan diri jadi kenyataan. Pascakejadian, Rabu (31/10), Kapolda Lampung dan Danrem Garuda Hitam memediasi pertemuan untuk perdamaian bagi pihak-pihak yang bertikai di Lampung Selatan itu. Satu hal yang membuatku terkejut adalah pernyataan Kepala Desa Cungu, Kalianda, Irwan Erwandi. Seluruh elemen masyarakat Lampung Selatan, katanya, setuju dengan perdamaian namun dengan satu syarat. Syarat yang justru membuat pemrakarsa pertemuan itu serentak berujar ''tidak masuk akal''! Irwan seakan memegang mandat seluruh masyarakat Lampung Selatan meminta agar warga Balinuraga hengkang dari wilayah itu. Bahkan, mengusulkan agar pemerintah mentransmigrasikan Balinuraga ke Kalimantan. Gubernur Lampung berkilah, mereka adalah warga negara Indonesia. Mereka datang bukan untuk nyolong, mereka beli tanah dan sudah sekian tahun hidup di sini. Kapolda Lampung mengatakan syarat itu sangat berat dan menyatakan siap untuk mengundurkan diri. Danrem Garuda Hitam berpendapat, soal transmigrasi adalah urusan Presiden, apalagi mau memindahkan kampung,'' papar Purwacita.
''Kawanku Yudiarta, dulu saat jadi mahasiswa STSI kini ISI, sempat melakukan KKN bersama kawan-kawannya selama seminggu di Desa Balinuraga tahun 1995. Di sana, dia dan kawan-kawan membina tabuh dan tari Sekeha Gong Balinuraga. Meskipun singkat, namun dia tahu benar kehidupan dan aktivitas sehari-hari masyarakat, yang kebanyakan berasal dari Desa Batununggul, Nusa Penida, Bali itu. Mereka konon sangat rajin dan tekun menggarap pertanian dan perkebunan, juga tetap melaksanakan ritual sebagai umat Hindu dan melestarikan warisan kesenian para leluhurnya. Karena ulet dan punya semangat agar bisa hidup lebih baik daripada di tempat asalnya, rata-rata kondisi perekonomian masyarakat Balinuraga cukup mapan. Kita bisa lihat konstruksi rumah yang terlihat dilalap api di layar kaca, cukup permanen dan bagus kan? Aku jadi curiga bila sentimen yang kalian maksud, akibat kemapanan ekonomi itu. Sebab, tuntutan hengkang bagi orang sedesa, menurutku, adalah persyaratan tidak masuk akal dan mengada-ada. Aku sepaham dengan Gubernur Lampung itu!'' cetus Rimanta.
''Kecemburuan sosial yang tidak pada tempatnya. Seharusnya, mereka iri dan marah pada koruptor yang kaya karena mencuri uang negara dan rakyat! Jangan sirik pada orang yang sukses karena kerja keras dan memeras keringat! Memang untuk mencari alasan tepat buat pengusiran orang sekampung itu, sulit! Aku tidak menyalahkan kau curiga. Apalagi tidak ada sumber resmi yang bisa menjelaskan akar masalah secara faktual dan adil! Kalau membaca alasan Irwan Erwandi bahwa masyarakat Balinuraga telah berulang kali melakukan kesalahan, lalu siapa bisa menjamin bahwa kesalahan-kesalahan yang dimaksud bukan alasan mengada-ada, seperti sinyalemen Jusuf Kalla? Aku setuju pendapat mantan Wakil Presiden itu bahwa hukum rimba tidak sepatutnya dipakai menyelesaikan masalah! Apalagi dalam konstitusi secara jelas dinyatakan Indonesia adalah negara berdasar hukum, bukan main hakim sendiri, lalu membunuh, membakar rumah, dan mengusir orang dari tempat tinggalnya. Ada polisi, ada jaksa, dan ada pengadilan,'' pungkas Karsana.
''Kayak mengusir penjajah saja ya? Apa pun alasan mereka untuk mengusir warga Balinuraga yang sudah menetap puluhan tahun di desa itu, seharusnya pemerintah seturut bunyi pembukaan konstitusi, melakukan kewajibannya melindungi seluruh rakyatnya. Sayangnya, Presiden SBY lebih mementingkan pergi ke Inggris untuk menerima gelar ''kesatria'' daripada ke Lampung buat menenteramkan rakyatnya yang saling bunuh. Untung di Bali kita tidak memiliki rasa iri atau dengki pada para pendatang, yang jumlahnya kian banyak menyerbu pulau ini. Tidak sedikit di antara mereka yang ketika datang hanya dengan sandal jepit dan sebungkus pakaian, namun karena nasib dan hoki baik, dalam waktu singkat menjadi hartawan. Mereka mendiami lahan yang dulu sawah, ladang dan pinggiran kali, yang kini jadi perumahan elite. Seorang sulinggih yang sering tampil di TV melontarkan anekdot dalam dharma wacana-nya untuk menertawakan diri. Orang Bali jual tanah agar dapat beli sate dan bakso, tapi orang luar jual sate dan bakso agar bisa beli tanah, demikian guraunya. Meski guyonan itu membuat telinga dan hati panas, namun orang Bali tidak berusaha mencari kesalahan-kesalahan pendatang, sebab di sini ada petuah yang berbunyi, tan hana hwang swasta tinulus! Artinya, tidak ada manusia yang sempurna. Kalau mereka dianggap salah, kita pun belum tentu benar!'' kata Westa. (Aridus) *BP
DADA Rubag sesak membaca koran dan memirsa TV beberapa hari belakangan, tentang kerusuhan berdarah yang merenggut belasan nyawa di Desa Balinuraga, Lampung Selatan. Bentrok yang menurut Kapolri berdasar laporan anak buahnya, Kapolda Lampung, berawal dari masalah sepele berkembang menjadi kerusuhan massal. Ribuan orang penduduk Balinuraga harus mengungsi ke Sekolah Polisi Negara Kemiling dan Mapolres Lampung Selatan, meninggalkan rumah dan harta benda mereka yang dilalap api karena dibakar dan dirusak para penyerang yang konon berjumlah belasan ribu orang.
''Sangat ironis! Ketika beberapa stasiun televisi swasta nasional berusaha menayangkan acara apik untuk mengingatkan warga bangsa ini hakikat Sumpah Pemuda, lewat lagu-lagu perjuangan masa lampau, puisi, serta narasi ikhwal pentingnya persatuan dan kebersamaan, di Lampung Selatan justru terjadi kerusuhan berdarah mengerikan. Menurut Kapolda Lampung, Brigjen Pol. Jodie Rooseto, bentrok diawali dua gadis Desa Agom yang mengaku diganggu beberapa pemuda Desa Balinuraga, Sabtu (27/10) malam, sehingga jatuh dari sepeda motornya. Masalah itu sempat didamaikan kedua perangkat desa, namun keluarga kedua gadis tersebut tidak terima, lalu mencari pemuda yang dianggap mengganggu itu ke Desa Balinuraga. Konon kedatangan beberapa pemuda Desa Agom itu membuat bentrokan meletus, menyebabkan tiga orang pihak yang ngelebonin tewas. Ekses dari insiden itu, keesokan dan lusanya, Desa Balinuraga diserbu belasan ribu orang bersenjata tajam, ditengarai dari beberapa desa se-Kecamatan Kalianda. Akibatnya, sembilan warga Balinuraga tewas secara mengenaskan,'' tutur Rubag.
''Ini masalah serius dan pemerintah harus menyelesaikannya secara tuntas, karena ini bisa jadi masalah SARA, sebab kasus melibatkan etnis berbeda. Itu ucapan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pertemuan dengan 50 pengajar muda yang tergabung dalam Program Indonesia Mengajar di kantor PMI Pusat, Jakarta Selatan. Dia juga menyayangkan bangsa Indonesia akhir-akhir ini sering menyelesaikan masalah dengan hukum rimba. Mereka mengadili sesamanya dengan cara sendiri tanpa melaporkan ke pihak keamanan. Perihal kerusuhan berdarah di Desa Balinuraga, Kalla bahkan bertanya, mengapa masyarakat langsung menindak masyarakat lainnya seperti mengira telah terjadi pelecehan? Padahal yang terjadi justru sebaliknya, mereka menolong gadis yang jatuh, tetapi dilaporkan berbeda dan dipercaya semua orang. Pendapat Jusuf Kalla ini, tidak jauh berbeda dengan apa yang kupikirkan, sejak membaca pemberitaan tentang kerusuhan berdarah itu. Bahkan, kuduga, ada sentimen terpendam seperti bom waktu yang menunggu saat terbaik untuk diledakkan,'' ujar Ardita.
''Soal sentimen, sejak awal menonton berita tentang itu di TV aku punya firasat! Malah setelah membaca syarat perdamaian termuat di internet, firasatku kian menampakkan diri jadi kenyataan. Pascakejadian, Rabu (31/10), Kapolda Lampung dan Danrem Garuda Hitam memediasi pertemuan untuk perdamaian bagi pihak-pihak yang bertikai di Lampung Selatan itu. Satu hal yang membuatku terkejut adalah pernyataan Kepala Desa Cungu, Kalianda, Irwan Erwandi. Seluruh elemen masyarakat Lampung Selatan, katanya, setuju dengan perdamaian namun dengan satu syarat. Syarat yang justru membuat pemrakarsa pertemuan itu serentak berujar ''tidak masuk akal''! Irwan seakan memegang mandat seluruh masyarakat Lampung Selatan meminta agar warga Balinuraga hengkang dari wilayah itu. Bahkan, mengusulkan agar pemerintah mentransmigrasikan Balinuraga ke Kalimantan. Gubernur Lampung berkilah, mereka adalah warga negara Indonesia. Mereka datang bukan untuk nyolong, mereka beli tanah dan sudah sekian tahun hidup di sini. Kapolda Lampung mengatakan syarat itu sangat berat dan menyatakan siap untuk mengundurkan diri. Danrem Garuda Hitam berpendapat, soal transmigrasi adalah urusan Presiden, apalagi mau memindahkan kampung,'' papar Purwacita.
''Kawanku Yudiarta, dulu saat jadi mahasiswa STSI kini ISI, sempat melakukan KKN bersama kawan-kawannya selama seminggu di Desa Balinuraga tahun 1995. Di sana, dia dan kawan-kawan membina tabuh dan tari Sekeha Gong Balinuraga. Meskipun singkat, namun dia tahu benar kehidupan dan aktivitas sehari-hari masyarakat, yang kebanyakan berasal dari Desa Batununggul, Nusa Penida, Bali itu. Mereka konon sangat rajin dan tekun menggarap pertanian dan perkebunan, juga tetap melaksanakan ritual sebagai umat Hindu dan melestarikan warisan kesenian para leluhurnya. Karena ulet dan punya semangat agar bisa hidup lebih baik daripada di tempat asalnya, rata-rata kondisi perekonomian masyarakat Balinuraga cukup mapan. Kita bisa lihat konstruksi rumah yang terlihat dilalap api di layar kaca, cukup permanen dan bagus kan? Aku jadi curiga bila sentimen yang kalian maksud, akibat kemapanan ekonomi itu. Sebab, tuntutan hengkang bagi orang sedesa, menurutku, adalah persyaratan tidak masuk akal dan mengada-ada. Aku sepaham dengan Gubernur Lampung itu!'' cetus Rimanta.
''Kecemburuan sosial yang tidak pada tempatnya. Seharusnya, mereka iri dan marah pada koruptor yang kaya karena mencuri uang negara dan rakyat! Jangan sirik pada orang yang sukses karena kerja keras dan memeras keringat! Memang untuk mencari alasan tepat buat pengusiran orang sekampung itu, sulit! Aku tidak menyalahkan kau curiga. Apalagi tidak ada sumber resmi yang bisa menjelaskan akar masalah secara faktual dan adil! Kalau membaca alasan Irwan Erwandi bahwa masyarakat Balinuraga telah berulang kali melakukan kesalahan, lalu siapa bisa menjamin bahwa kesalahan-kesalahan yang dimaksud bukan alasan mengada-ada, seperti sinyalemen Jusuf Kalla? Aku setuju pendapat mantan Wakil Presiden itu bahwa hukum rimba tidak sepatutnya dipakai menyelesaikan masalah! Apalagi dalam konstitusi secara jelas dinyatakan Indonesia adalah negara berdasar hukum, bukan main hakim sendiri, lalu membunuh, membakar rumah, dan mengusir orang dari tempat tinggalnya. Ada polisi, ada jaksa, dan ada pengadilan,'' pungkas Karsana.
''Kayak mengusir penjajah saja ya? Apa pun alasan mereka untuk mengusir warga Balinuraga yang sudah menetap puluhan tahun di desa itu, seharusnya pemerintah seturut bunyi pembukaan konstitusi, melakukan kewajibannya melindungi seluruh rakyatnya. Sayangnya, Presiden SBY lebih mementingkan pergi ke Inggris untuk menerima gelar ''kesatria'' daripada ke Lampung buat menenteramkan rakyatnya yang saling bunuh. Untung di Bali kita tidak memiliki rasa iri atau dengki pada para pendatang, yang jumlahnya kian banyak menyerbu pulau ini. Tidak sedikit di antara mereka yang ketika datang hanya dengan sandal jepit dan sebungkus pakaian, namun karena nasib dan hoki baik, dalam waktu singkat menjadi hartawan. Mereka mendiami lahan yang dulu sawah, ladang dan pinggiran kali, yang kini jadi perumahan elite. Seorang sulinggih yang sering tampil di TV melontarkan anekdot dalam dharma wacana-nya untuk menertawakan diri. Orang Bali jual tanah agar dapat beli sate dan bakso, tapi orang luar jual sate dan bakso agar bisa beli tanah, demikian guraunya. Meski guyonan itu membuat telinga dan hati panas, namun orang Bali tidak berusaha mencari kesalahan-kesalahan pendatang, sebab di sini ada petuah yang berbunyi, tan hana hwang swasta tinulus! Artinya, tidak ada manusia yang sempurna. Kalau mereka dianggap salah, kita pun belum tentu benar!'' kata Westa. (Aridus) *BP